BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Batu empedu merupakan batu yang terdapat pada kandung empedu atau pada saluran empedu atau bisa pada keduanya. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa faktor risiko penyakit batu empedu adalah multifaktorial. Faktor risiko yang mempengaruhi terbentuknya penyakit batu empedu adalah usia, jenis kelamin, faktor genetik, kegemukan, diet tinggi lemak rendah serat, kehamilan, peningkatan kadar lemak darah, penurunan berat badan yang cepat, penyakit kencing manis. Selama ini dinyakini penyakit batu empedu terjadi pada kelompok risiko tinggi yang disebut sebagai “4 F”: forty (usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty (orang gemuk lebih berisiko). Namun dewasa ini kecenderungan kelompok risiko tinggi mulai berubah. Dalam beberapa penelitian didapatkan fakta yang berbeda. Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian secara klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Lesmana, 2014). Di Amerika Serikat setiap tahunnya tercatat 700.000 dilakukan prosedur kolesistektomi dengan biaya hingga 6,5 milyar dolar (Shaffer, 2006; Chen, 2014). Insiden batu empedu di negara Barat adalah 20% dan kebanyakan menyerang orang dewasa dan lanjut usia (Sjamsuhidayat, 2010). Sedangkan di Taiwan batu empedu menjadi masalah kesehatan utama dengan peningkatan prevalensi 4,3% pada tahun 1989 hingga 10,7% pada tahun 1995 (Hung SC, 2011). Sampai saat ini di Indonesia belum ada data yang valid mengenai angka kejadian penyakit batu empedu. Sebagian besar pasien dengan batu empedu seringkali tidak menimbulkan keluhan. Walaupun gejala dan komplikasi risiko penyakit batu empedu relatif kecil akan tetapi dapat menjadi ancaman yang serius jika tidak ditangani dengan benar. Hal ini akan menimbulkan dampak medis dan biaya kesehatan yang tinggi (Lesmana, 2014; Chen, 2014). Di Indonesia seiring dengan dilaksanakan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS, upaya preventif dan deteksi dini batu empedu sangatlah krusial dalam menekan tingginya biaya kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Lien dan Huang menemukan bahwa kelompok usia 40 tahun hingga usia 80 tahun merupakan kelompok yang paling banyak menderita penyakit 1
batu empedu (Huang J, 2009). Hal ini didukung penelitian Chen et al yang menyimpulkan bahwa umur adalah faktor risiko yang sangat penting dan berguna untuk meramalkan kejadian penyakit batu empedu, dimana seiring bertambahnya usia maka semakin meningkat pula risiko seseorang terkena penyakit batu empedu (Chen, 2014). Sedangkan penelitian yang dilakukan Bass dkk menemukan hal yang berbeda yakni umur lebih dari 40 tahun bukanlah faktor prediktor terjadinya batu empedu (bass, 2013). Penelitian lain yang dilakukan di Taiwan didapatkan peningkatan penderita batu empedu pada kelompok umur 20-39 tahun walaupun demikian tidak dijumpai perbedaan risiko batu empedu antara pria dan wanita. Keadaan ini menunjukkan adanya perubahan risiko tinggi dari kelompok umur pada kejadian batu empedu (Park, 2009). Terdapat beberapa kontroversi mengenai jenis kelamin sebagai faktor risiko dari penyakit batu empedu. Pada mayoritas penelitian yang dilakukan negara barat menyimpulkan bahwa wanita lebih sering terkena penyakit batu empedu, sedangkan beberapa studi yang dilakukan di Asia belum menemukan hubungan antara penyakit batu empedu dengan jenis kelamin (Hung et al, 2011). Liu et al dan chen et al menemukan bahwa kelompok usia dibawah 50 tahun yaitu laki-laki memiliki insiden penyakit batu empedu lebih tinggi dibandingkan wanita, sedangkan pada kelompok usia diatas 50 tahun yaitu wanita memiliki insiden yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Liu, 2006; Chen, 2014). Liu dkk mengkaji kasus pada sukarelawan yang sehat dan dibayar untuk diperiksa di rumah sakit dan mendapatkan prevalensi 5,3%, studi ini menemukan hubungan antara umur, obesitas, dan diabetes tipe II tetapi bukan jenis kelamin (Liu CM, 2006; Hung SC, 2011). Berat badan lebih dan obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis (Ko, 2006). Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan faktor pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan sekresi empedu dari kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu (Lin, 2014). Kehamilan juga berkontribusi terhadap pembentukan batu di kandung empedu (Ko, 2006; Shaffer, 2006). Kolelitiasis adalah sangat umum pada multipara (paritas 4 atau lebih). Studi lain melaporkan bahwa wanita multipara memiliki prevalensi lebih tinggi dari GSD dari yang nulipara (Ko, 2006; Chen, 2014).
2
Mengingat besarnya masalah, strategi untuk mengurangi kejadian penyakit batu empedu sangat penting, serta masih ada beberapa variabel yang masih kontroversi maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit batu empedu. Penulis menganggap dengan berfokus pada upaya pencegahan faktor-faktor risiko penyakit batu empedu akan dapat mencegah tingginya pengeluaran biaya kesehatan akibat komplikasi dari penyakit batu empedu. Dari kajian pustaka yang telah diuraikan sebelumnya disimpulkan bahwa dijumpai perubahan kecenderungan distribusi epidemiologi faktor risiko dibandingkan konsep yang sudah baku mengenai hubungan antara jenis umur, jenis kelamin, obesitas dan paritas dengan risiko terjadinya batu empedu. Untuk itu diperlukan penelitian yang dapat mengkonfirmasi apakah hubungan antara faktor risiko yang sudah baku seperti jenis kelamin, umur, obesitas, dan multiparitas dengan terjadinya risiko batu empedu 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa definisi batu kandung empedu ? 2. Apa saja anatomi batu kandung empedu ? 3. Apa fisiologi batu kandung empedu ? 4. Apa saja epidemiologi batu kandung empedu ? 5. Bagaimana patogenesis batu kandung empedu ? 6. Apa patofisiologi batu kandung empedu ? 7. Apa saja manifestasi klinis batu kandung empedu ? 8. Apa gejala klinis batu kandung empedu ? 9. Apa saja komplikasi yang ada di batu kandung empedu ? 10. Apa etiologi batu kandung empedu ? 11. Bagaimana penatalaksanaan batu kandung empedu ? 1.3 TUJUAN 1. Mengetahui definisi batu kandung empedu 2. Mengetahui anatomi batu kandung empedu 3. Mengetahui fisiologi batu kandung empedu 4. Mengetahui epidemiologi batu kandung empedu 5. Memahami patogenesis batu kandung empedu 6. Mengetahui patofisiologi batu kandung empedu 7. Mengetahui manifestasi klinis batu kandung empedu 3
8. Mengetahui gejala klinis batu kandung empedu 9. Mengetahui komplikasi yang ada di batu kandung empedu 10. Mengetahui etiologi batu kandung empedu 11. Memahami penatalaksanaan batu kandung empedu
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidayat, 2010; Stinton, 2012).
2.2 ANATOMI KANDUNG EMPEDU Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir yang terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara lobus kanan dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 – 12 cm, dengan kapasitas normal sekitar 35-50 ml (Williams, 2013). Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian besar menempel dan tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari kandung empedu (Williams, 2013; Hunter, 2014). Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann (Sjamsuhidayat, 2010). Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013). Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri. Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. 5
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papila vater, tetapi dapat juga terpisah (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013; Doherty, 2015). Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus yang terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus merupakan cabang dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang dari arteri duktus hepatis komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali dapat muncul dari arteri gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari segitiga Calot (dibentuk oleh duktus sistikus, common hepatic ducts, dan ujung hepar) (Williams, 2013).
2.3 FISIOLOGI 2.3.1 Fisiologi saluran empedu Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari cairan empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium (Doherty, 2015). Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter akan mengalami relaksasi kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum. Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat disemprotkan secara intermitten karena tekanan saluran empedu lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan dari sfingter koledokus (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013). Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu : Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
6
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati. Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam (Townsend, 2012). Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan (Sjamsuhidayat, 2010; Hunter, 2014). 2.3.2 Pengosongan kandung empedu Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum. Hormon kemudian masuk kedalam peredaran darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan ampula mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak (Hunter, 2014). Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu : Hormonal :
7
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu. Neurogen : - Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. - Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu (Williams, 2013).
Komponen
Dari Hati
Dari Kandung Empedu
Air
97,5 gm %
95 gm %
Garam empedu
1,1 gm %
6 gm %
Bilirubin
0,04 gm %
0,3 gm %
Kolesterol
0,1 gm %
0,3 s/d 0,9 gm %
Asam lemak
0,12 gm %
0,3 s/d 1,2 gm %
Lecithin
0,04 gm %
0,3 gm %
2.3.3 Komposisi cairan empedu
1. Garam Empedu Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat. Fungsi garam empedu adalah : Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak. 8
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga apabila terjadi gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu (Townsend, 2012). 2. Bilirubin Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak. Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-1200 ml/hari (Guyton & Hall, 2008). Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 8090% (Garden, 2007).
2.4 EPIDEMIOLOGI Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (Sjamsuhidayat, 2010; Lesmana , 2014). Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok risiko tinggi yang disebut ”4 Fs” : forty (usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty (obesitas) (Reeves, 2001). Pembentukan batu empedu adalah multifaktorial. Studi sebelumnya telah mengindentifikasi jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia, kegemukan, riwayat keluarga dengan batu empedu, etnis, jumlah kehamilan merupakan faktor risiko batu empedu (Hung, 2011; Chen, 2014;Tsai, CH, 2014). 9
1. Umur Frekwensi batu empedu akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah usia 40 tahun risiko terjadi batu empedu 4 hingga 9 kali lipat. Lin dkk menjelaskan bahwa usia tua memiliki paparan panjang untuk banyak faktor kronis seperti hiperlipidemia, konsumsi alkohol, dan DM. Hal ini akan menyebabkan penurunan motilitas kandung empedu dan terbentuknya batu empedu (Lin, 2014). Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Jenis batu juga akan berubah dengan bertambahnya usia. Pada awalnya terutama jenis batu kolesterol (sekresi kolesterol meningkat dan saturasi empedu) namun dengan bertambahnya usia cenderung menjadi batu pigmen. Selanjutnya gejala dan komplikasi akan meningkat dengan bertambahnya usia hal tersebut sering dilakukan tindakan kolesistektomi (Stinton, 2012). 2. Jenis Kelamin dan Paritas Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki (Garden, 2007). Pada wanita usia reproduksi, risiko cholelithiasis adalah 2-3 kali lebih tinggi dari pada lakilaki. Alasan untuk ini belum dijelaskan secara penuh. Kehamilan juga berkontribusi terhadap pembentukan batu di kandung empedu (Ko, 2006; Shaffer, 2006). Kolelitiasis adalah sangat umum pada multipara (paritas 4 atau lebih). Studi lain melaporkan bahwa wanita multipara memiliki prevalensi lebih tinggi dari GSD dari yang nulipara. Perbedaan gender dan seringnya batu empedu terdeteksi pada wanita hamil dikaitkan dengan latar belakang hormonal. Peningkatan kadar estrogen diketahui
untuk
meningkatkan
ekskresi
kolesterol
dalam
empedu
dengan
menyebabkan supersaturasi kolesterol. Selama kehamilan, selain peningkatan kadar estrogen, fungsi pengosongan kandung empedu menurun, sehingga menimbulkan endapan empedu dan batu empedu (Ko, 2006; Chen, 2014). 3. Genetik Beberapa studi telah menunjukkan bahwa riwayat keluarga, genetika, diet, dan kebiasaan budaya memiliki peran utama dalam timbulnya batu empedu. Analisis pasangan kembar dari The Swedish Twin Registry menunjukkan faktor genetik 25% merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu. Dimana ABCG8 D19H genotipe heterozigot atau homozigot telah meningkatan risiko terjadinya batu empedu secara signifikan. ABCG8 D19H dapat menyebabkan penyerapan kolesterol di usus rendah, 10
meningkatkan kolesterol serum, dan sintesis kolesterol di hati tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi insulin. Penelitian baru-baru ini didapatkan fakta bahwa, kerentanan seseorang terhadap terjadinya batu empedu dipengaruhi oleh Mucin
gene
polymorphisms
atau
FGFR4
polymorphism.
The
mucin-like
protocadherin gene (MUPCDH) polymorphism rs3758650 dianggap sebagai penanda genetik untuk memprediksi terjadinya penyakit batu empedu (Ciaula, 2013). 4. Obesitas Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan faktor pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan sekresi empedu dari kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu (Lin, 2014). Berat badan lebih dan obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis (Ko, 2006). Orang dengan obesitas terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi kolesterol dalam empedu. Pada saat yang sama, jumlah yang dihasilkan kolesterol berbanding lurus dengan kelebihan berat badan (Doggrell SA, 2006). Siklus berat badan, independen dari BMI, dapat meningkatkan risiko kolelitiasis pada pria. Fluktuasi berat badan yang lebih besar dan siklus berat badan lebih terkait dengan risiko yang lebih besar (Tsai CJ, 2006). 5. Dislipidemia Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Pada studi yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa sindroma metabolik berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya batu empedu dihubungan dengan usia dan jenis kelamin (Smelt, 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan di negara barat dilaporkan bahwa usia, jenis kelamin, BMI, hiperlipidemia, penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi alkohol, diabetes mellitus berkaitan erat dengan terjadinya batu empedu (Lin, 2014). Penurunan level High density lipoprotein (HDL) merupakan salah satu risiko terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier utamanya berasal dari HDL – C. Penurunan konsentrasi HDL – C dikaitkan dengan resistensi insulin. Penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan kadar Trigliserida (TG) menyebabkan penurunan kontraksi dari kandung empedu yang berakibat pembentukan batu empedu (Mendez, 2005). 6. Diabetes mellitus Diabetes mellitus (DM) dikaitkan dengan terjadinya batu empedu masih kontroversi. Beberapa studi di barat dilaporkan bahwa DM berkaitan dengan batu empedu dimana hiperglikemi umumnya terdapat pada grup batu empedu pada analisis univariat tetapi tidak terdapat pada grup batu empedu dengan multi logistik regresi. 11
Penelitian pada tikus dengan hiperinsulinemia terdapat spesifik spesifik FOXO1 protein yang dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi kolesterol dalam bile (Kovacs, 2008). Hiperglikemia menghambat sekresi bile dari hati dan dapat menggangu kontraksi dari kantung empedu serta menpunyai efek terhadap molititas dari kandung empedu hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya batu empedu (Chen, 2014).
2.5 PATOGENESIS Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus (Erpecum, 2011). Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu empedu. Pada
kondisi
yang
abnormal,
kolesterol
dapat
mengendap,
menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu (Guyton & Hall, 2008). Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
12
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus (Sjamsuhidayat, 2010).
2.6 PATOFISIOLOGI 2.6.1 Patofisiologi Batu Empedu Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait: 1.
Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2.
Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri) Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada Dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehinggakan patofisiologi batu empedu turut terbagi atas: 1. Patofisiologi batu kolesterol Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
supersaturasi kolesterol empedu Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada
metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan 13
memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase (Diagram 5). Berdasarkan diagram 5, titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu, 5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi dengan kolesterol.8 Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal). Selain itu, diagram keseimbangan ini turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CSI didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu. Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi 14
dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk: Hipersekresi kolesterol Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:3 i. peningkatan uptake kolesterol hepatik ii. peningkatan sintesis kolesterol iii. penurunan sintesis garam empedu hepatik iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol mengakibatkan konsentrasi kolesterol yang melampau tinggi dalam empedu hingga terjadi supersaturasi kolesterol dan ini menfasilitasi pembentukan
kristal
kolesterol
sesuai
dengan
gambaran
pada
diagram
keseimbangan fase. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni: i. asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik. ii. asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik. iii. asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik. 15
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu. Kombinasi dari keduadua hal ini akan menjurus kepada empedu yang litogenik. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi
waktu
nukleasi.
Sebaliknya,
asam
ursodeoksikolik
dan
kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid 95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.
Hipomotilitas kantung empedu Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang
mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik.10 Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus menerusi duktus empedu secara optimal dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol halus yang cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi batu empedu. Perlambatan evakuasi kantung empedu membolehkan absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa secara melampau hingga terjadi peningkatan konsentrasi empedu dan ini mempergiat proses litogenesis empedu. 16
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat: a. kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen.
perubahan kontrol neural (tonus vagus).
b. kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal. Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.
Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami
proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang 17
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu. Penelitian in vitro model empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam ?-1.1,4 Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II.1,4 Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.
Hipersekresi mukus di kantung empedu Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor
yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. 18
Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
2. Patofisiologi batu berpigmen Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda. 1.
Patofisiologi batu berpigmen hitam Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase-? endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah.1 Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.
2.
Patofisiologi batu berpigmen coklat Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram 7, patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu.1,2,8 Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan
19
enzim glukuronidase-?, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat.1,4 Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:1,3 i.
glukuronidase
menghidrolisis
bilirubin
terkonjugat
hingga
menyebabkan
pembentukan bilirubin tak terkonjugat. ii. fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam palmitik). iii. hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat. Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu.1,3 Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.1
2.6.2 Klasifikasi Kolelitiasis Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan (Hung,2011; Lesmana, 2014). 1. Batu kolesterol Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) (Bhangu, 2007). Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol (Hunter, 2014). Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap : Supersaturasi empedu dengan kolesterol. 20
Pembentukan nidus. Kristalisasi/presipitasi. Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain yang membentuk matriks batu. 2. Batu pigmen Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain: a. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat) Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi (Townsend, 2012). b. Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi ( Lesmana, 2014). Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada penderita dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril (Doherty, 2015). 3. Batu campuran Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 2050% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol (Garden, 2007). 21
2.7 MANIFESTASI KLINIS 2.7.1. Batu kandung empedu (Kolesistolitiasis) 1. Asimtomatik Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Lesmana, 2014). Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua penderita dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari penderita yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi
setelah
periode
waktu
5
tahun.
Tidak
ada
data
yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua penderita dengan batu empedu asimtomatik (Hunter, 2014). 2. Simtomatik Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pasca prandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris (Beat, 2008).
3. Komplikasi Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini 22
bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (penderita berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan penderita akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik (Garden, 2007; Beat, 2008). Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Penderita dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang (Doherty, 2015). Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadangkadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu (Alina, 2008). 2.7.2 Batu saluran empedu (Koledokolitiasis) Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan 23
timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma (Alina, 2008). Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen penderita serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif (Garden, 2007).
2.8 GEJALA KLINIS 1. Angin duduk (Angina) Pada saat sesak nafas sudah terjadi maka penderita batu empedu bisa merasakan angina atau sakit dada yang cukup parah. 2. Gangguan pencernaan Biasanya penderita batu empedu akan mengalami gangguan pencernaan yang sangat buruk. 3. Terasa saat kenyang Kram dan nyeri perut yang terjadi pada penderita memang sangat menyiksa sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan nafsu makan yang drastis. 4. Warna tinja dan urin lebih gelap Cairan empedu yang di hasilkan oleh batu empedu memang memiliki fungsi untuk membantu sistem pencernaan. Namun ketika ada batu empedu yang menghembat kerja saluran empedu maka sistem pencernaan tidak bisa bekerja dengan baik sehingga akan membuat warna tinja menjadi lebih gelap dan kurang normal.
2.9 KOMPLIKASI 1. Peritonitis Suatu kondisi terjadinya peradangan pada lapisan perut di sebelah dalam yang lebih dikenal dengan istilah peritoneum. Komplikasi ini terjadi sebagai suatu dampak dari pecahnya kantong empedu yang mengalami peradangan dengan parah. 2. Abses kantong empedu 24
Nanah yang kadang juga bisa saja muncul di dalam kantung empedu sebagai suatu dampak negatif dengan reaksi yang sangat parah. 3. Penyumbatan di saluran empedu Saluran empedu yang mengalami sumbatan oleh batu akan menyebabkan saluran ini akan lebih rentan untuk terserang bakteri dari penyebab infeksi dan komplikasi ini biasanya ditangani dengan cara pemberian obat anti biotik serta prosedur ERCP.
2.10 ETIOLOGI 1. Umur Resiko untuk terkena penyakit ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Pada usia >60 tahun lebih cenderung terkena penyakit ini di bandingkan dengan orang yang lebih muda. 2. Aktifitas fisik Kekurangan aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya penyakit ini disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikt bekontraksi. 3. Jenis kelamin Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena penyakit ini dibandingkan dengan pria. 4. Infeksi Bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu, muccuss meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi. 5. Berat badan Orang dengan barat badan tinggi mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi penyakit ini. 6. Makanan Intak rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi batu empedu. 7. Faktor genetik Orang dengan riwayat keluarga penyakit ini mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
25
2.11 PENATALAKSANAAN Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan (Alina, 2008; Sjamsuhidayat, 2010). Pilihan penatalaksanaan antara lain (Sjamsuhidayat, 2010; Doherty, 2015) : 1. Kolesistektomi terbuka Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan penderita dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% penderita. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. 2. Kolesistektomi laparaskopi Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil risiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru-paru Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya penderita dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada penderita dengan kolesistitis akut dan penderita dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, penderita dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
26
komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi (Garden, 2007). 3. Disolusi medis Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% penderita. Kurang dari 10% batu empedu yang dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2014). 4. Disolusi kontak Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten yaitu Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada penderita-penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) (Garden, 2007).
5. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada penderita yang telah benarbenar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini (Garden, 2007; Alina, 2008). 6. Kolesistotomi Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur penderita terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk penderita yang sakitnya kritis (Sjamsuhidayat, 2010). 7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
27
ERCP adalah suatu endoskop yang dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat (Hunter, 2014).
28
BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Batu empedu adalah struktur kristal yang terbentuk dari pembekuan dan pertumbuhan konstituen empedu normal dan abnormal. Batu empedu ini dibentuk dalam vesika velea, faktor resiko terjadinya batu empedu antara lain : jenis kelamin, umur, hormon wanita, infeksi (cholelitiasis) adalah : 1. Gangguan pencernaan, mual dan muntah 2. Nyeri perut kanan atas kadang-kadang hanya rasa tidak enak di epigastium 3. Yang khas yaitu nyeri yang menjalar ke bahu atau sub skapula 4. Demam dan ikterus (bila terdapat batu di duktus choledokussistikus) 5. Gejala nyeri yang perut bertambah bila makan banyak lemak Penatalaksanaan atau implementasi pada pasien cholelitiasis yaitu : 1. Bila penyakit berat, pasien perlu di rawat dan diberikan per infus 2. Istirahat baring 3. Puasa, pasang pipa nasogatrik 4. Analgesik, antibiotik 5. Bila semua itu gagal maka perlu dilakukan kolesistektomi untuk mencegah komplikasi
3.2 SARAN Untuk pasien cholelitiasis diharapkan dapat menjauhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi atau memperburuk batu empedu seperti kolestrol, tingginya kalori dan lemak, diet yang tidak teratur dan lain-lain. Pasien dibantu dengan keluarga dapat melakukan perawatan seperti istirahat baring, puasa, tetapi sesuai dengan advis dokter.
29
DAFTAR PUSTAKA Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi (7th ed). Jakarta: EGC, 2003; p.704-6. Widarjati S. Batu empedu. In: Aziz A, Marcellus SK, Ari FS, editors. Buku Ajar Gastroenterology (2nd ed). Jakarta: Interna Publishing, 2011 ; p.591-600.
30