Dari Sastra Ke Linguistik

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dari Sastra Ke Linguistik as PDF for free.

More details

  • Words: 2,370
  • Pages: 6
DARI SASTRA KE JURNALISTIK, BERMUARA DI LINGUISTIK: SEBUAH ESEI OTOBIOGRAFIS MENEMBUS BATAS Oleh, Aceng Ruhendi Saifullah

Seperti kata Goenawan Mohamad, pada mulanya adalah puisi. Atau dalam bahasa Emha Ainun Najib, kehidupan ini bermula dari puisi. Ya, kurang lebih, seperti itulah awal ketertarikan -- bahkan, boleh jadi semacam ‘keterjerumusan” -- saya ke dalam dunia sastra. Pada guliran berikutnya, sastra menjadi salah satu sumber inspirasi – juga semacam arena mengasah kedalaman dan ketajaman pena -- dalam mengais profesi sebagai seorang jurnalis. Karier jurnalistik saya diawali sebagai reporter lepas, kemudian suntuk mengelola pers kampus “Agio”. Sempat mampir di majalah “Gadis” sebagai editor. Lalu berkelana di koran Pikiran Rakyat dan majalah Tempo. Sirkuit jurnalistik yang lebih gaduh dan militan saya jalani di Tabloid Salam sebagai pemimpin Redaksi. Sejenak rehat di Penerbit Erlangga sebagai editor, sambil ikut mendorong terbitnya koran Republika. Akhirnya parkir sebagai konsultan media di beberapa media dan lembaga: di Majalah SABILI, TPI, RCTI, LP3I, Polda Jabar, Inkopontren, dan KPU. Adapun dunia linguistik baru saya jelajahi kemarin sore, terhitung sejak “mesantren” di Program Linguistik Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dengan memfokuskan minat pada kajian pragmatik dan analisis wacana kritis. Itulah sekadar sinopsis perjalanan otobiografis saya dalam konteks ‘menembus batas’ : dari sastra ke jurnalistik, lalu bermuara di linguistik. Berikut ini rincian kisahnya. Sesuatu yang sentimental mungkin. Tapi biar saja. Kadang-kadang, bergenit-genit itu diperlukan, di tengah atmosfer kehidupan akademis yang kaku dan cenderung memfosil. Ya. Saya masih ingat betul, di awal tahun 70-an, ketika itu saya duduk di bangku SMP di Yogyakarta. Koran pertama yang saya baca adalah Harian Abadi terbitan Jakarta. Adalah Mas Dawan Raharjo, Mas Syu’bah Asa, dan Cak Nurcholis Majid yang memperkenalkan saya dengan koran yang konon berideologi Masyumi itu. Setelah habis mereka baca dan mendiskusikan headline-nya dengan sangat meriah dan hingar-bingar, koran itu biasanya serta merta dilempar sama saya. Sebagai “anak bawang” dan dianggap “masih ingusan” di rumah kos-an itu, saya memang cukup terdidik untuk sabar menjadi pendengar dan penonton yang baik lalu menerima segala sesuatu yang beraroma ‘bekas’ , termasuk koran dan makanan.

Setiap membaca koran, entah mengapa, ketika itu saya tak begitu tertarik untuk membaca headline – yang biasanya bising dengan berita-berita politik dan kriminal-- atau berita-berita seram dan beraroma konflik lainnya. Yang saya baca pertama adalah rubrik sastra yang berisi beberapa puisi atau cerita pendek yang letaknya sembunyi di halaman dalam pojok bawah sebelah kiri. Ketika itu saya tak punya argumentasi yang cukup, mengapa puisi yang saya angap penting dan menarik. Yang pasti, saat membaca baris-baris puisi, hati saya selalu bergetar, terlepas apakah puisi yang saya baca itu ‘terang benderang” atau sama sekali “gelap gulita” dari segi kemampuan pemahaman saya ketika itu. Ringkasnya, awal perkenalan dan percintaan saya dengan puisi, kondisinya nyaris sama dengan awal perkenalan dan percintaan saya dengan seorang gadis bernama Yuli yang tinggal tepat di depan rumah kost kami. Setiap dia berkelebat di balik tirai jendela, sekujur pori-pori merinding dan hati saya langsung dagdig-dug tak beraturan. Ada semacam kenikmatan yang tak terjelaskan, yang membuat segenap lahir batin sumringah. Benar kata Sigmund Freud, puisi kerap bersahabat dengan hati yang bergairah karena ia lahir dari kandungan ibu yang bernama Cinta. Begitulah. Kemudian kehidupan pun mengalir seperti bola salju. Kesukaan saya pada puisi ternyata beranak-pinak. Suatu sore, Mas Syu’bah Asa minta dibonceng sepeda ke Bengkel Teater Rendra. Walaupun dalam kondisi capek karena baru saja main bola, saya tak bisa menolak. Mas Syu’bah Asa teramat baik kepada saya. Di samping sering neraktir makan gudeg di lesehan Malioboro di hari-hari krisis telat wesel, dialah yang membantu menuliskan surat cinta pertama saya buat Yuli, gadis idaman yang sering berkelebat di balik tirai jendela itu. Tiba di Bengkel Teater, Mas Syu’bah Asa memperkenalkan saya kepada Mas Wily (panggilan akrab W.S. Rendra). “Ini anak lagi mabuk puisi. Kalau Mas berkenan dan ada kesempatan, tolong kasih peran kecil-kecilan dalam lakon Kasidah Barjanji yang akan kita pentaskan,” pinta Mas Syu’bah kepada Mas Wily. Mendengar begitu, tentu saja saya kaget campur ge-er. “Boleh saja. Tapi kita coba dulu. Puisi apa yang kamu hafal di luar kepala?” tanya Mas Wily. Ditanya begitu, aku tak bisa segera menjawab. Gelagapan seperti kena teror. “Yang hafal betul cuma sajak ‘Aku’ karya Chairil Anwar”, sahutku, masih gemetaran. “Ayo, deklamasikan di atas trap itu,” seru Mas Wily sambil mengelus kepalaku. Kini jantungku terasa lebih tenang. Serta merta akupun melangkah dengan tegar ke atas tumpukan trap hitam yang mirip panggung mini itu. Baris-baris sajak “Aku” pun mengalir dari hati dan mulutku memecah suasana senja yang hampir merapat ke kelam. Di tengah suasana dan pergaulan Bengkel Teater Rendra, minatku terhadap dunia sastra kian menggebu seperti tanaman mendapat lahan yang subur. Lepas SMP masuk SMA saya mulai coba-coba menulis puisi. Beruntung saya bisa kenal dan dekat dengan kakak kelas SMA saya, Cak Nun (panggilan akrab Emha Ainun Najib), seorang penyair muda berbakat dan dikenal cerdas. Puluhan puisi sudah saya tulis. Sebelum saya kirim ke media, saya konsultasikan dulu kepada Cak Nun. Setelah membaca puisi-puisi saya, dia berkerut kening. “Kamu ini tidak

berbakat jadi penyair. Puisi-puisi kamu lebih mirip reportase berita. Terlalu apa adanya, kurang imajinatif. Jadi kamu lebih berbakat jadi wartawan,” tuturnya, meyakinkan. Mendengar begitu, tentu saja saya terperangah. Ini betul-betul musibah besar. Betulkah saya harus memasuki dunia yang saya benci, yaitu dunia pemberitaan koran yang gaduh dengan konflik, ketegangan, bahkan fitnah dan caci-maki? “Oke. Sekarang juga kamu jalan-jalan ke Malioboro. Disana banyak pengamen jalanan. Bikinlah reportase tentang mereka. Nanti saya bantu pemuatannya di koran.,” desak Cak Nun. Saya sami’na wa atho’na saja, walau hati ini masih menggerundel. Singkat cerita, reportase saya tentang pengamen Malioboro dimuat di koran lokal Kedaulatan Rakyat. Saya pun bersuka cita dan kian yakin, Cak Nun memang suhu yang bijak. Berkat honor tulisan itulah saya bisa ngajak Yuli nonton film ‘Bernapas dalam Lumpur’ di bioskop Indra, lalu pulangnya neraktir makan bakso di Pojok Beteng. Dari situ, saya pun jadi kian tahu diri. Dalam kaitannya dengan sastra, saya lebih memposisikan sebagai penikmat saja. Dalam kaitannya dengan dunia jurnalistik, saya berani ambil posisi sebagai pekerja. Apalagi setelah tulisan saya kedua, reportase tentang Peristiwa Sum Kuning, dimuat di Harian Abadi. Mas Dawam, Cak Nur, dan Mas Syu’bah memuji-muji reportase saya itu. “Kamu menulis peristiwa bukan sekadar berdasarkan hasil penglihatan mata kasat, tapi mata hati kamu pun ikut bekerja. Mungkin itu berkat kamu rajin bergaul dengan puisi,” komentar Mas Syu’bah. Saya pun kian percaya diri, bahwa saya memang lumayan berbakat untuk menggeluti dunia jurnalistik. Dalam perjalanan kemudian, saya merasakan: bakat saja ternyata tidak cukup untuk menerjuni dunia jurnalistik secara lebih total dan profesional. Diperlukan semacam suntikan intelektualisme agar keterampilan jurnalistik saya bisa lebih berkembang. Pikiran itu muncul hanya common-sense saja. Bahkan kemudian selepas SMA pilihan jatuh untuk kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung pun, lebih didorong oleh tebak-tebakkan saja, siapa tahu di situ saya bisa mengembangkan kemampuan berbahasa saya untuk kepentingan berekspresi di dunia jurnalistik. Secara kelembagaan, terus terang saja, saya kecewa. Tebakan saja hampir meleset 100%. Beruntung saya segera bertemu dengan sosok Yus Rusyana, yang di mata saya sangat media oriented, produktif menulis, berwawasan luas dan terbuka, dan yang membuat saya jatuh hati: saya merasakan kejujuran dan ketulusan yang luar biasa dalam setiap tutur-tulis dan tindakannya. Kajian bahasa dan sastra di tangan Pak Yus, bukan sekadar otak-atik struktural dan simsalabim estetis, tapi lebih jauh dan dalam dari itu: kajian bahasa dan sastra diperjuangkannya agar kontributif terhadap ujud ekspresi peradaban manusia Indonesia yang lebih mulia dan holistik. Ketika Yus Rusyana promosi Doktor di Universitas Indonesia, sepulang studi pustaka di Negeri Belanda – dan peristiwa itu menjadi headline di Kompas –

gagasannya tentang bilingualisme sangat orisinal dan tipikal sebagai ilmuwan yang cendekia, yakni sosok ilmuwan yang sangat paham dan peduli terhadap kondisi dan nasib bangsanya, khususnya di tataran pendidikan dasar. Bilingualisme -- kalau saya tafsirkan secara gamblang dari disertasinya -- adalah aset , bukan beban. Bilingulisme Yus Rusyana adalah bilingualisme yang “membela” dan menumbuhkambangkan akar budaya lokal sebagai modal intelektualisme di kancah persaingan global, sambil tetap mempertahankan rasionalisme yang benderang dan tidak terjebak ke dalam kubangan puritanisme yang dekaden. Ya. Salah satu faktor penyangga yang membuat saya bisa sabar bertahan menjalani proses studi di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indoneia FPBS IKIP Bandung hingga lulus adalah keberadaan sosok Yus Rusyana lahir batin. Saya merasa punya guru yang jembar sekaligus kawan berbincang yang mencerahkan. Dialah yang membimbing saya dalam penyusunan skripsi sarjana muda dan sarjana. Dialah yang menghibur dan membangkitkan optimisme saya ketika saya ditimpa musibah karena harus mendekam dalam penjara politik selama enam bulan gara-gara tulisan dan aktifitas saya di Dewan Mahasiswa IKIP Bandung. Dialah yang kerap mencegat saya di jalanan kampus untuk kemudian suntuk berbincang tentang perkembangan di dunia media yang saya geluti. Dan – ini mungkin tak pernah disadari oleh Pak Yus – isyarat-isyarat tersirat dialah yang berkaitan dengan proses bimbingan tesis, yang membuat saya kabur dari program Pasca Sarjana IKIP Bandung dan kemudian menclok di Program Linguistik Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI). Sesungguhnya kajian linguistik rimba belantara bagi saya. Minat saya ke sastra dan aktifitas sehari-hari di dunia jurnalistik membuat wilayah linguistik terabaikan. Sepanjang saya kuliah di tingkat sarjana muda dan sarjana di Jurdiksastrasia FPBS IKIP Bandung, nilai-nilai yang berkaitan dengan mata kuliah kebahasaan tak begitu bagus. Nyaris asal lulus saja. Adalah Prof.Dr. Slamet Harjakusumah yang membangkitkan kepenasaranan saya terhadap linguistik. Saya masih ingat betul, dalam sebuah kesempatan ngobrol-ngobrol ringan di kantor jurusan, Profesor yang sangat saya muliakan itu omong begini,” Disiplin linguistik itu sudah kering kerontang. Wilayah penelitiannya juga sudah tinggal tulang belulang. Apalagi kalau paradigmanya sebatas struktural. Lihat saja: struktur bahasa Indonesia 100 tahun lalu dengan hari ini, tak ada perubahan yang signifikan. Kecuali kalau kajian linguistiknya masuk ke wilayah fungsional, baru di situ sangat kaya dengan masalah yang penting dan menarik untuk diteliti.” Linguistik fungsional? Kepenasaran itu, pada guliran berikutnya, membangkitkan hasrat yang kuat untuk menyelami lebih jauh duduk perkara linguistik fungsional, yang pada akhirnya membulatkan tekad saya untuk melanjutkan studi S2 di program Linguistik Universitas Indonesia, dengan memfokuskan minat pada kajian pragmatik dan analisis wacana kritis. Dengan pragmatik, saya dapat leluasa menjelajahi medan makna yang muncul dalam setiap peristiwa tutur, dari mulai teks, , koteks, dan konteks, yang akhirnya bermuara pada implikatur dan eksplikatur percakapan. Di situ juga ada konsep tentang

praanggapan, entailment, kesantunan, deiksis, hedging, dan lain-lain. Dengan analisis wacana kritis, saya dapat leluasa menembus “something behind words” dalam setiap tuturan, yang bermuara pada terbongkarnya kognisi sosial dan ideologi dari setiap penutur. Dan semua itu, sejauh yang saya rasakan, merupakan perjumpaan yang asyik dan fungsional serta bersahabat antara dunia sastra, jurnalistik, dan linguistik. Pemahaman, pilihan, dan pengalaman saya tenggelam ke kubangan interdisipliner itu tentu tak lepas dari atmosfer pergaulan akademik yang saya hirup di Universitas Indonesia . Di UI-lah saya bertemu dan berkenalan dengan “empu-empu” kajian kebahasaan tingkat nasional, bahkan beberapa sudah mendapat pengakuan internasional. Diantaranya sebut saja Anton Moeliono, Harimurti Kridalaksana, Bambang Kaswanti Purwo, Benny Hoed, Soenjono Dardjowidjojo, Asim Gunarwan, dan sejumlah nama besar lainnya. Dari mereka, saya mendapat bukan sekadar belajar sejauh mana kedalaman dan keluasan kajian linguistik, terutama kajian pragmatik dan analisis wacana kritis, tapi juga sekaligus wawasan ‘kecendekiaan’: betapa pentingnya seorang ilmuwan linguistik terlibat dan berjuang terus untuk menemukan ‘kebermaknaan’ kepakarannya dalam mejawab masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh masyarakat. Tanpa itu, seorang linguis hanya akan menjadi semacam “gadis manis iseng sendiri”, yang alih-alih dapat memberikan kontribusi dan solusi terhadap problem-problem yang membebani publik, justru dia akan menjadi beban masyarakat. Atas dasar kesadaran yang menyejarah itulah, akhirnya saya menulis tesis tentang Kajian Pragmatik dan Analisis Wacana Kritis untuk membedah peristiwa berbahasa dalam dunia jurnalistik, khususnya wawancara. Di sinilah saya menemukan sirkuit yang menantang untuk memicu gairah “menembus batas” kerangkeng keilmuan, sambil tetap bersiaga agar tak tersesat ke wilayah ‘entah berantah” teortis dan analisis. Lewat kegandrungan saya terhadap sastra, terutama puisi, saya merasa punya ‘mata air’ untuk mereguk gairah berkreatifitas. Lewat jurnalistik, saya mendapat sirkuit yang menantang untuk senantiasa memanen “ayat-ayat peristiwa”. Dan lewat lingustik – yang saya pandang dan perlakukan sebagai matematikanya ilmu sosial -- saya merasa punya pisau yang tajam yang siap membedah berbagai realitas sosial dari sudut pandang kebahasaan. Adalah Noam Chomsky dan Teun van Dijk yang kemudian mengilhami dan memperteguh langkah-langkah penjelajahan intelektual saya itu. Dari Chomsky saya banyak belajar ihwal “ penggalian dan pencarian yang tak kunjung henti” terhadap misteri peristiwa kebahasaan di belantara realitas empirik, demi penyempurnaan kredo-kredo teoritis yang lebih ampuh, komprehensif, dan holistik. Yang membuat saya cemburu, Di samping dia menulis tentang temuantemuan mutakhirnya dalam kajian linguistik, dia juga menulis esey tentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia di berbagai penjuru dunia, termasuk yang terjadi di Timor Timur dulu dan di negerinya sendiri, Amerika Serikat. Bahkan, di tengah kesuntukkan aktifitas keilmuannya itu, Chomsky masih sempat-sempatnya berdemo turun ke jalanan New York untuk menyuarakan

aspirasi politiknya yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dalam sebuah kesempatan ngobrol lewat facebook, hal itu sempat saya pertanyakan. Apa jawaban Chomsky? “Kualitas manusia tidak hanya diukur dari apa yang dipikirkannya dan dikatakannya, tapi lebih dari itu: kita harus melihat kualitas manusia dari apa yang dilakukannya.” Ck,ck,ck. Luar biasa. Saya sangat ingin menjawab ungkapan Chomsky itu begini: “Sebagai seorang muslim, saya sangat setuju pendapat Anda itu. Tapi sayang, Anda seorang Yahudi!” Entah mengapa, sampai hari ini saya tak kunjung tega menuliskan jawaban saya itu di facebook untuk dibaca langsung oleh “Si Yahudi yang pintar dan baik hati itu”. Adapun dengan van Dijk, “pergaulan” saya agaknya lebih suntuk. Sepanjang proses penulisan tesis S2 saya di UI, saya kerap berkorespondensi via e-mail dengannya. Sebagai Embahnya “Analisis Wacana Kritis”, gagasan-gagasan van Dijk saya nilai sangat revolusioner, bahkan dalam kasus-kasus tertentu terasa sangat provokatif. Mimbar dia memang bukan hanya kampus, tapi jauh menembus kancah-kancah dunia politik, seperti parlemen, pusat-pusat pemerintahan, lembaga pengadilan, dan tentu saja media, baik cetak maupun elektronik. Di mata saya, van Dijk adalah tipikal ilmuan lintas disiplin yang sangat progresif. “Sayang, Anda seorang komunis...” tulis saya dalam salah satu e-mail yang saya kirimkan kepadanya. Begitulah. Bahwa kemudian perjalanan intelektual saya banyak dicurigai sebagai ‘penuh dengan noda-noda penyimpangan’ – bahkan dalam beberapa kasus dituding sangat beraroma ‘pemberontakan’, boleh jadi memang benar adanya. Semua itu rasanya berlangsung apa adanya dan alamiah saja. Atau barangkali semua itu hanya sejenis kegenitan intelektual dari seorang yang terlalu panjang menjalani masa cebol dan ‘tak kunjung dewasa’? Atau mungkin saja hanya sekadar rintihan yang sudah kehilangan perih dari seorang yang terlalu lama tertindas dan terpinggirkan? Wallahualam. Garut, 11 Februari 2009 untuk mengenang Pak Yus, sekaligus memperingati ‘Hari Sakit se Dunia’

Related Documents

Linguistik
May 2020 22
Dari Fiji Ke Tuamotu
November 2019 31