Dari Minyak Ke Batubara

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dari Minyak Ke Batubara as PDF for free.

More details

  • Words: 651
  • Pages: 2
DariMinyakkeBatubara 05.Nov.2007 Jeroen van der Veer, sang CEO Shell, pernah menyatakan kepada BBC bahwa “we are not responsible for deciding the energy mix of the world.” Benarkah demikian? Tampaknya tidak. Setiap individu memiliki kemampuan untuk ikut menentukan bauran energi dunia. Apalagi perusahaan minyak raksasa macam Shell. Tanggung jawab untuk menentukan bauran energi dunia, juga nasional, benar-benar sangat penting untuk disadari sekarang, manakala dunia menghadapi ancaman bencana lingkungan yang sangat besar: pemanasan global. Dan, untuk memastikan bahwa proporsi karbon di atmosfer tetap berada di bawah 450 ppm—proporsi yang dianggap ”aman” bagi dunia—bauran energi adalah salah satu penentunya. Sayangnya, ada kendala yang sangat besar untuk memastikan itu. Harga minyak dunia yang melambung mendekati USD 100 benar-benar membuat perusahaan minyak mendapatkan keuntungan besar, dan ini berarti insentif untuk terus melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Kalau kondisinya ini terus dimaknai demikian oleh perusahaan minyak, agak sulit bagi dunia untuk berharap bauran energi menjadi kurang bergantung pada bahan bakar fosil itu. Padahal, penggunaan bahan bakar fosil itulah yang bertanggung jawab sangat besar terhadap naiknya proporsi karbon di atmosfer. Di sisi lain, naiknya harga minyak tentu membuat reaksi pasar yang menjauhi minyak. Alternatif bahan bakar pun dicari. Sayangnya, pilihan itu terutama tidak dijatuhkan kepada jenis-jenis sumber energi yang ramah lingkungan. Murahnya batubara telah memikat banyak perusahaan untuk segera beralih ke sana, termasuk perusahaanperusahaan di Indonesia. Koran Tempo (31/10/2007) melaporkan bahwa 200an industri tekstil di Bandung telah melakukan konversi sumber energi itu, dan entah berapa perusahaan dari industri yang lain. Hitung-hitungan ekonomi dari konversi energi ini sangat jelas. Batubara di minggu yang lalu dilaporkan dijual pada kisaran harga USD 75/ton, sementara minyak sempat nangkring di USD 96/barel. Padahal, energi yang dihasilkan oleh satu ton batubara kira-kira sama dengan 4,8 barel. Artinya, kalau dihitung dari harga di atas, biaya energi dari minyak memang 6,14 kali lipat batubara. Hitung-hitungan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam laporan terbaru mereka ”The Future of Coal” memang menyatakan bahwa batubara akan berharga antara USD 1-2/MMBtu, sementara minyak dan gas berharga USD 6-12/MMBtu. Ini berarti rentang perbandingan harga energi migas dan batubara adalah antara 6-12 kali lipat. Tapi apakah hanya hitungan ekonomi saja yang akan dipakai? Kebijakan Energi Nasional juga mendorong penggunaan batubara yang lebih besar hingga setidaknya tahun 2025. Yang tampaknya kerap dilupakan adalah bahwa batubara punya dampak lingkungan yang jauh lebih besar dibandingkan minyak. Eksplorasi dan eksploitasi migas menggunakan ruang yang jauh lebih kecil dibandingkan batubara, yang selalu mengubah bentang alam dalam skala raksasa. Selain emisi karbon, batubara juga membuang sulfur oksida, nitrogen oksida, dan partikulat ke atmosfer. Dampak lingkungan yang jauh lebih

besar ini, sebetulnya tidak membuat batubara lebih murah dibandingkan migas, namun masih kerap dianggap sebagai eksternalitas belaka. Bagaimanapun, batubara akan terus dipergunakan dalam beberapa dekade ke depan. Kecenderungannyapun sudah pasti: akan terus meningkat dengan kecepatan relatif tinggi. Masalahnya adalah, bagaimana meminimumkan berbagai dampak negatif itu. Tentang meminimumkan emisi karbon dari batubara, studi MIT yang dikutip di atas dengan tegas menyebutkan bahwa hanya dengan teknologi ”carbon capture and sequestration” (CCS) sajalah emisi itu bisa ditekan. Teknologi ini memungkinkan batubara tetap melayani kebutuhan masyarakat atas energi dengan dampak negatif yang minimum. Sayangnya, hingga sekarang belum terdapat projek CCS yang paripurna. Untuk itu, pemerintah harus mau berinvestasi dalam kebijakan dan sumberdaya finansial agar teknologi itu benar-benar bisa terwujud dalam skala yang memadai untuk menangani seluruh dampak negatif itu. Pun demikian dengan sektor swasta. Pengakuan bahwa mereka beralih ke sumber energi yang lebih kotor harus secara jujur dikemukakan. Penghematan yang bisa mereka lakukan karena konversi energi itu seharusnya membuat mereka mau berinvestasi dalam menekan dampak negatif penggunaan batubara terhadap lingkungan dan masyarakat. Membantu pemerintah dalam riset CCS dan atau membiayai riset teknologi yang lain (termasuk sumber energi ramah lingkungan), melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan teknologi terbaik yang telah tersedia, serta membayar kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak melalui berbagai program lingkungan dan pengembangan masyarakat adalah langkah-langkah bijak yang perlu dilakukan. Hanya dengan cara demikianlah perusahaan yang melakukan konversi ke batubara bisa dianggap melakukan CSR dengan benar.

Related Documents