Dari Hati Hamka Ke Hati Kita.docx

  • Uploaded by: Makinun amien
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dari Hati Hamka Ke Hati Kita.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,472
  • Pages: 4
Dari Hati HAMKA ke Hati KITA “Umurmu sudah 111 Tahun buya”, siapa yang tidak tahu Buya Hamka. Namanya abadi dalam catatan khazanah sejarah ulama Nusantara, iya selalu hadir memberikan penawar dari setiap permasalahan yang ada, baik berkenaan dengan keindonesiaan maupun keagamaan, antara keduanya sering dibenturkan dengan isu politik, sosial, dan budaya, Hamka hadir dengan gagasannya sebagai jalan penegah yang mudah diterima banyak kalangan, kecuali dedengkot Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membuatnya mendekam di penjara. Saya bangga menjadi orang Muslim Indonesia yang mempunyai tokoh pembaharu dengan nama lengkap Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang ledih masyhur disebut Hamka. Beliau putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah seorang ulama terkenal di Sumatera Barat pada masanya. Sejak remaja Hamka memang suka menyingkat namanya pada saat itu masih AMKA (Abdul Malik Karim Amrullah), kemudian setelah naik haji ke tanah suci mekkah pada tahun 1927 akronim tersebut menjadi Hamka, seperti yang kita ketahui sampai sekarang ini. Hamka lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Pada tanggal 16 Februari 1908, dan sebentar lagi umurnya 111 Tahun. Selain dikenal sebagai ulama buya Hamka juga dikenal sebagai pujangga baru, ada juga yang mengatakan pujangga surau dengan nilai riligius yang menjadi ruh dari satiap karyanya, mengambarkan cinta sesuci mungkin dan lahirlah salah satu diantara karya sastra yang paling fenominal ‘Di Bawah Lindungan Ka’bahh’. Hamka kecil putus dari sekolah formalnya cuma sampai kelas II, saat itu masih dikenal dengan sebutan sekolah rakyat, meskipun demikian Hamka kecil dikenal sebagai anak yang cerdas dan haus ilmu pengetahuan, ilmu dasar keislaman beliau dididik langsung oleh ayahandanya Dr. Abdul Karim Amrullah dan beberapa ulama disekitar daerahnya. Selebihnya Hamka kecil belajar sendiri (otodidak) dari setiap disiplin ilmu yang ingin iya ketahui, iya juga mencari orang-orang hebat untuk dijadikan tutornya termasuk dibidang jurnaistik, sehingga iya juga menjadi wartawan terkenal sebagai pimpinan redaksi beberapa surat kabar ataupun majalah, mulai zaman belanda sampai akhir hayatnya. Menginjak umur 18 tahun (1924) berbekal pendidikan rakyat dan ilmu dasar keislaman Hamka remaja beranikan diri merantau ketanah Jawa, pada saat itu sudah dikenal dengan tanah sebagai pusat kegiatan pergerakan nasional, hingga dipertemukan dengan seorang tokoh pergerakan islam di Surabaya, Haji Umar Said Cokroaminoto (HOS Cokroaminoto), Ketua Umum Partai Sarekat Islam (SI). Kepada tokoh ini Hamka remaja belajar banyak ilmu, terutama Politik, Kenegaraan, serta perjuangan kemerdekaan. Tiga tahun kemudian Hamka pergi ketanah suci untuk menunaikan

ibadah haji, dari sinilah lahir karya sastra yang fenominal berjudul ‘Di Bawah Lindungan Ka’bahh’ Balai Pustaka (1938). sebuah novel yang menceritakan kisah cinta suci Abdul Hamid dan Zaenab yang berakhir dengan kesedihan. Konon seorang pujangga itu lahir dari ruang kerajaan, atau pemerintahan. Namun tidak dengan sang pujangga baru, Hamka. Iya dikenal sebagai ulama hal tabu bagi seorang ulama menulis karya sastra seperti novel, karena seseorang yang paham agama lebih pantas untuk menulis kitab-kitab dan berfatwa tentang halal dan haram, begitulah buah bibir yang tersebar. Dengan novel nya Hamka mampu memadukan antara Agama, Budaya, dan Seni tanpa membenturkan diantara salah satunya, dan menjadikan sastra sebagai konsep besar kehidupan. Islam yang Hamka suguhkan sebagai ajaran yang lunak mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, Hamka hanya menkritiki budaya yang mengakar dimasyarakat tersebut dengan rasionalisasinya mampu diterima banyak pembaca dengan baik. Tidak sepeti apa yang kaum Orientalis propagandakan, bahwa Islam akan menabrak Adat. Bagaimana Hamka memaparkan proses pingit (tidak boleh keluar rumah) bagi seorang wanita yang sudah beranjak dewasa sebagai produksi Adat daerahnya, wanita yang sudah dipingit tidak boleh melakukan aktifitas diluar rumah, meskipun untuk sekolah, Zaenab sebagai tokoh perempuan yang dipingit saat itu tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Meskipun demikian Hamka menjadikan Haji Jakfar dan Mamak Asiyah (Keluarga Zaenab) sebagai tokoh baik yang menyekolahkan Hamid. Hamid seorang yatim yang hidup di gubug kecil berdua bersama ibunya, ibu Hamid yang janda dan lanjut usia itupun juga diberi pekerjaan sebagai pembantu keluarga Haji Jakfar, terangkatlah sedikit nasib mereka. Belum selesai disini, Hamid dan Zaenab kecil itu mulai tumbuh dewasa, yang dulunya mereka saling menganggap satu sama lain kakak dan adik saling membela dan melindungi. Dewasa ini rasa itu berubah, ada bercak cinta antara mereka berdua. Meskipun tidak saling mengungkapkan dan menyatakan, cinta itu dirasakan dari bahasa mata dan tubuh mereka. Mereka yankin tidak akan pernah bisa bersatu dengan cinta itu, karena mereka terlahir dari status sosial yang berbeda, dan itu mustahil untuk bersatu. Bagaimana mungkin anak yatim, dan pembantu yang tidak memiliki apa-apa dan tidak punya siapa-siapa mampu untuk mempersunting puteri saudagar kaya raya yang kebetulan menjadi majikannya. Masa remaja adalah puncak dari segalanya, puncaknya nafsu membirahi, puncaknya rasa yang sulit dimengerti, puncaknya batin yang tak mudah dinahkodahi. Mempuncak termasuk cinta. Hamka memualainya dengan konflik besar yang bisa menyaingi besarnya cinta Hamid kepada Zaenab. Pada saat itu Hamka buat tokoh

Hamid itu menggubur semua cintanya kepada Zaenab ketika Haji Jakfar bapak Zaenab atau ayah angkat Hamid meninggal dunia. Tidak lama kemudian ibu kandung Hamid pun meninggal dunia. Lengkaplah sudah penderitaan Hamid yang seorang diri sebatang kara tak punya siapa-siapa, sementara Zaenab ingin dinikahkan dengan anak seorang konlomerat yang kebutulan masih family dengannya. Zaenab menolak begitu kerasnya dengan tangis yang menjerit terdengar dari stiap sudut kamarnya, tak tahu dengan cara apa ibu asiyah dapat meluluhkan dan membujuk hati Zaenab kecuali dengan mendatangkan Hamid disisnya. Hamid diminta untuk membujuk Zaenab agar menerima pemuda pilihannya. Laki-laki mana yang kuat, datang di depan mata perempuanya lalu mengatakan, “Menikahlah dengan lelaki pilihan ibumu”. Bagaimana tidak dikatakan dahsyat, Hamka memantik cerita cinta dua orang remaja dengan begitu sangat suci, meskipun Hamid mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya didepan Zaenab, namun dia tidak lakukan itu. Hamid membujuk Zaenab seperti yang ibu Asiyah perintahkan, akhirnya Zaenab menerima pemuda pilihan mamak asiyah tersebut. Jangan tanyakan hati dan perasaan Hamid, “Laki-laki tak akan pernah memperlihatkan kalau dirinya cenging diahadapan perempuan, apalagi yang dicintainya. Iya lebih suka menjerit didepan Tuhan-nya, dibawah lindungan Ka’bahh dia ungkapkan, keluh kesah gundah gulana, dari rasa cinta hingga rasa yang tak biasa iya rasakan menjadi seorang yatim piatu tanpa siapapun kecuali hanya dengan Tuhannya”. Dari Hati Hamka ke-Hati Kita, judul ini sebenarnya adaptasi dari judul buku ‘Dari Hati Ke Hati’ buku ini mereupakan kumpulan dari tulisan Hamka yang pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat dalam rubrik Dari Hati Ke Hati selama 14 Tahun, sejak 1967-1981) kandungan yang ada didalam buku tersebut masih sangat relevan dengan keadaan saat ini, isu keagamaan, politik, dan sosial. Termasuk juga toleransi dan kerukunan umat beragama tetap menjadi topik segar untuk dibahas dan diperbincangkan diruang-ruang diskusi sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Sejak zaman Hamka, pergulatan islam dengan kelompok yang memusuhi islam sudah ada, bahkan upaya tersebut sudah ditanamkan sejak kolonial belanda masuk ke Nusantara. Tepatnya sejak berakhirnya Perang Dingin anatara Barat melawan Komunis, maka Islam menjadi musuh utama Barat sejak itu hingga saat ini. Perang peradaban dimulai antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam). Dalam masa kejayaannya, Islam pernah menguasai barat dalam kurun waktu yang tidak sedikit, 700 tahun. Dan peradaban ini yang dikhatirkan Barat terulang kembali, sejak itulah Barat mengawasi pergerakan Islam agar Barat tetap menguasa dunia selamanya. Salah satu usaha barat untuk menghancurkan Islam itu dibuktikan dengan kegiatan deislamisasi dan liberalisasi yang menyasar negara-negara Islam, termasuk

juga Indonesia. melalui berbagai bidang, seperti bidang politik, sosial, budaya, pemikiran, pendidikan, hingga ekonomi sekalipun. Kenapa harus deislamisasi dan liberalisasi, karena mereka takut islam menjadi kuat ketika ajaran Islam menyatu dalam diri pengikutnya. “Di Spanyol atau Andalusia itu sekarang habis semua, Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah), itupun habis, yang tersisa hanyalah lukisan kaligrafi ayat AlQur’an, di dinding istana al-Hambra, penghuni kota Granada sendiri tidak ada yang pandai membaca kalimat Laa ghaliba illallah (Tidak ada yang menang melainkan Allah). Ya, yang menang hanya Allah. Kaum musliminpun jika meninggalkan Allah, pasti kalah juga.” (Lihat, Dari Hati Ke Hati. 32-33) Hamka tidak menginginkan hal yang sama terjadi di Indonesia, “Meskipun Islam tak akan hilang dari dunia, tapi mungkin saja akan hilang dari Indonesia.” (K.H. Achmad Dahlan). Maka jadikanlah Bhinnika Tunggal Ika bukan sekadar simbol dan kata-kata belaka. Terlebih bagi para pemuda yang semangatnya membara, jadikan Islam sebagai Agama, dan Indonesia sebagai Negara. Karena sejatinya tak bisa dipisahkan antara keduanya. Jika orang-orang di Negeri ini tak lagi peduli dengan ke-Bhinnikaan bukan hanya Indonesia yang akan bubar, bahkan Islam juga demikian. Sama seperti tempo dulu di Andalusia, sedikitpun tak akan tersisa. Problem kita belum berakhir, sebelum menganggap penting Politik dan pengaruhnya, sebagai Negara Republik yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Cukuplah Orde Lama, dan Orde Baru, menjadi pelajaran penting bagi kita sebagaimana dituturkan Hamka. Orde reformasi ini sebagai perbaikan diri bahwa peran politik sangat besar dalam memproduksi kebijakan untuk menentukan masa depan Indonesia dan Islam. Kita sepakat, tak akan ada lagi yang namanya Penjajah bersenjata, ataupun PKI. Tapi jangan pernah bilang kita bebas dari penjajahan budaya dan tradisi yang saat ini sudah menyasar negeri ini, jangan bilang pula bebas dari Ideologi Komunis jika masih mengagumi sosok Karl Marx bukan Ibrohim atau Muhammad, sebagai bapak Ideologi Umat Islam. Allahu ‘alam... *Moh. Makinun Amien, Mahasiswa Institut Agama Islam Al-Khairat, Pamekasan Madura.

Related Documents

Dari Hati Ke Hati
November 2019 50
Hati-hati
June 2020 43
Hati
May 2020 43
Iman Dari Segi Hati
June 2020 24

More Documents from ""

Bab11 Etika & Hukum Ti
December 2019 50
Penda Hulu An
June 2020 28
Internet
November 2019 52
Ralat Buku Bos2019 Baru.xlsx
December 2019 21