MAKALAH ILMU TERNAK PERAH MANAJEMEN PAKAN DAN EVALUASI PEFORMA LAKTASI PADA SUSU SAPI PERAH FH
Oleh : Nama : Dwi Nur Cholis Nim
: D1A017164
Kelas : B
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2019
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perkembangan peternakan sapi perah berjalan seiring dengan bertambahnya kebutuhan akan susu sapi. Susu merupakan produk utama dari ternak khususnya sapi perah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. susu sapi segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya sehingga perlu penanganan yang baik agar kualitas susu tesebut terjaga. Ditinjau dari segi ekosistim dan ekonomis, sapi perah berperan sangat penting sebagai pengumpul bahan-bahan yang tidak bermanfaat sama sekali bagi manusia seperti rumput, limbah dan hasil ikutan lainnya dari produk pertanian disekitar. Bahan-bahan yang tidak berguna bagi manusia itu menjadi bahan makanan bagi sapi sehingga dapat memproduksi susu dan daging. Disisi lain para peternak atau produsen susu mempunyai kendala dalam pemeliharaan, karena untuk meningkat produksi susu maka memerlukan bahan pakan yang lebih. Bahan baku yang berguna untuk meningkatkan produksi yaitu pakan yang mengandung kadar protein yang tinggi. Pakan merupakan komponen terbesar pada usaha peternakan. Biaya pakan yang dipengaruhi oleh inflasi dan kenaikan harga menjadi perhatian utama para pelaku usaha peternakan. Pakan merupakan salah satu faktor yang penting untuk peningkatan produktivitas ternak. Pakan memegang peranan yang sangat penting di dalam keberhasilan suatu usaha peternakan yaitu 70% dari total biaya produksi adalah pakan. Kurang tersedianya bahan pakan secara memadai baik jumlah, mutu maupun kontinuitas merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan usaha peternakan. Pakan yang tidak konstan ini disebabkan oleh hijauan yang sangat bergantung pada musim, serta lahan untuk hijauan yang semakin sempit. Susu merupakan sumber nutrisi yang penting untuk pertumbuhan bayi mammalia, termasuk manusia, yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Laktosa yang merupakan satu-satunya karbohidrat dalam susu mammalia, adalah disakarida yang terdiri dari gabungan 2 monosakrida yaitu glukosa dan galaktosa Laktasi ialah kombinasi proses sekresi air susu dari seekor induk ternak. Periode laktasi merupakan rentang masa laktasi pertama ke masa laktasi berikutnya dan seterusnya.
2
1.2 Tujuan 1. Mengetahui manajemen pemberian pakan sapi perah periode laktasi 2. Mengetahui manajemen pemberian pakan sapi perah periode kering 1.3 Rumusan Masalah 1. Bagaimana manajemen pemberian pakan sapi perah periode laktasi yang baik? 2. Bagaimana manajemen pemberian pakan sapi perah periode kering yang baik?
3
II. TEORI DAN PEMBAHASAN 2.1 Teori 2.1.1 Sapi Perah jenis Friesian Holstein Sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah sapi perah Friesian Holstein (FH). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki tingkat produksi susu tertinggi dengan kadar lemak yang relatif rendah dibandingkan sapi perah lainnya (Blakely dan Blade 1998). Meningkatkan kapasitas produksi susu dalam negeri diperlukan peningkatan jumlah populasi sapi perah dan produktivitas sapi perah dalam negeri. Produktivitas sapi perah sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kualitas genetik ternak, tata laksana pemberian pakan, umur beranak pertama, periode laktasi, frekuensi pemerahan, masa kering kandang, dan kesehatan (Schmidt et al. 1988). Sapi FH mempunyai ciri – ciri yaitu warna bulu hitam dengan bercak putih, bulu ujung pada ekor berwarna putih, pada bagian bawah dari carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah tanduknya pendek menjurus ke depan. Sapi FH kemampuan memproduksi susunya lebih banyak dibandingkan sapi perah lainya, yaitu mencapai 581,06 liter per laktasi dengan kadar lemak susunya 3,7% (Schmidt et al. 1988). 2.1.2 Pakan Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama untuk keberhasilan suatu usaha peternakan. Pakan bagi ternak berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi. Jenis pakan yang diberikan pada sapi perah dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu, serta dapat berpengaruh terhadap kesehatan sapi perah. Pakan untuk sapi perah yang laktasi terdiri atas sejumlah hijauan dan konsentrat Pakan yang berkualitas baik mempunyai tingkat konsumsi yang relatif tinggi dibandingkan pakan yang berkualitas rendah (Parakkasi, 1988). 2.1.3 Laktosa Laktosa, β galacotse 1,4 glukosa merupakan komposisi gula pada susu mammalia yang unik. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa (Solomons, 2002). Laktosa merupakan sumber energi yang memasok hampir setengah dari keseluruhan kalori yag terdapat pada susu (35-45%). Selain itu, laktosa juga diperlukan untuk absorbsi kalsium. Hasil hidrolisa laktosa yang berupa galaktosa, adalah senyawa yang penting untuk pembentukan sebrosida. Serebrosida ini penting untuk perkembangan fan fungsi otak. Galaktosa juga dapat dibentuk oleh tubuh dari glukosa di hati. Karena itu keberadaan laktosa sebagai karbohidrat utama yang terdapat di susu mammalia, termasuk ASI, merupakan hal yang unik dan penting (Sinuhaji, 2006). 4
Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa menyusui melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose synthetase. Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalia dengan yang lain. ASI mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung 4% (Sinuhaji, 2006). 2.1.4 Periode Laktasi Periode laktasi yaitu suatu masa dimana sapi berproduksi susu yang berlangsung selama 10 bulan atau 305 hari. Permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena sebagian dari zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil dari tubuh sapi. Sapi laktasi mengalami kesulitan untuk memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sebab nafsu makannya rendah. Produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai mencapai puncak produksi pada 35-50 hari setelah melahirkan. Puncak produksi, produksi susu harian akan mengalami penurunan rata-rata 2,5% perminggu. Lama diperah atau lama laktasi yang paling ideal adalah 305 hari atau sekitar 10 bulan. Sapi perah yang laktasinya lebih singkat atau lebih panjang dari 10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang menurun pada laktasi yang berikutnya (Laryska, 2013). Produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan periode laktasi yang ke-4 atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan (laktasi pertama) dan setelah itu terjadi penurunan produksi susu. Kebersihan dan kesehatan sapi perah harus selalu dijaga dengan baik. Pencegahan terhadap berbagai penyakit terutama mastitis harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Umur sapi adalah suatu faktor yang mempengaruhi produksi air susu. Produksi pada laktasi pertama adalah terendah dan akan meningkat pada periode-periode laktasi berikutnya (Syafrudin, 2016). Laktasi normal sapi yang tiap tahunnya dikawinkan dan mengandung adalah selama sekitar 44 minggu atau 305 hari. Perkawinan yang lebih lambat dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi lebih panjang. Faktor lain seperti makanan, kesehatan, frekuensi pemerahan, dapat lebih berpengaruh terhadap produksi air susu dibandingkan faktor umur sapi. Lama laktasi induk sapi perah umumnya bergantung pada keefisienan reproduksi ternak sapi tersebut. Ternak sapi perah yang terlambat menjadi bunting menyebabkan calving interval diperpanjang sehingga lama laktasi menjadi panjang karena induk sapi perah akan terus diperah selama belum terjadi kebuntingan (Musnandar, 2012). 2.1.5 Metabolisme Laktasi Laktasi terjadi pada waktu kelahiran bersamaan dengan penurunan kadar progesteron dan esterogen di dalam darah dan peningkatan prolaktin atau hormon laktogenik dari kelenjar hipofisa. Penggunakan hormon estrogen dan progesteron, kelenjar susu hewan betina dara 5
dapat ditumbuhkan dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat dibuat berlaktasi. Oleh karena itu dimungkinkan secara buatan, merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan menyuruh kelenjar tersebut mengeluarkan susu (Anonim, 2008). Karbohidarat yang dimakan diserap dalam bentuk monosakarida (glukosa, galaktosa, dan fruktosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa menjadi glukosa dan galaktosa terlebih dahulu agar proses absorbsi dapat berlangsung. Hidrolisa ini dilakukan oleh laktase (β galactosidase), suatu enzim yang terdapat pada brush border mukosa usus halus (Mattews, 2005). Laktosa
hanya
dibuat
di
sel-sel
kelenjar
mamma
pada
masa
menyusui
melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose synthetase. Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalia dengan yang lain. ASI mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung 4% (Sinuhaji, 2006). 2.2 Pembahasan 2.2.1 Manajemen pakan periode laktasi Performa produksi dari seekor sapi perah dapat dilihat dari produksi susu, lama laktasi, puncak laktasi, dan lama kering. Setiap sapi perah memiliki nilai yang berbeda dalam hal tersebut, sehingga perlu adanya sebuah pencatatan untuk dijadikan pedoman yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi sapi perah yang memiliki produktivitas tinggi. Perbedaan lingkungan antara di Indonesia dengan daerah asalnya yaitu Australia dapat mempengaruhi produksi susu sapi perah FH dan juga dengan performa sapi perah FH akan sangat berpengaruh. Performa produksi dari seekor sapi perah dapat dilihat dari produksi susu, lama laktasi, puncak produksi, dan masa kering. Setiap sapi perah memiliki nilai yang berbeda dalam hal tersebut, sehingga perlu adanya sebuah pencatatan untuk dijadikan pedoman yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi sapi perah yang memiliki produktivitas tinggi. Apabila diikuti Manajemen yang benar, standar lama laktasi adalah 305 hari karena bila sapi diperah selama 10 bulan itu berarti total 305 hari, sepuluh bulan laktasi, masa kering 60 hari, dan dengan calving interval 12 bulan (360 – 365 hari). Oleh karena itu perbedaan performa sapi keturunan FH impor antar laktasi apakah menjadi lebih bagus atau menurun dengan manajemen di PT.UPBS, maka penelitian tentang evaluasi performa produksi susu sapi perah keturunan FH impor di PT.UPBS Pangalengan, Jawa Barat perlu untuk dilakukan.
6
PARAMETER
KELOMPOK SAPI PERAH FH
PERFORMA
LAKTASI SUSU 1
INDUKSI
RATA RATA
LAKTASI SUSU 2
KOEFISIEN
RATA RATA
VARIASI (%)
KOEFISIEN VARIASI(%)
Lama Laktasi (hari)
353,30±5,32
19
350,90±13,25
24
Lama Kering (hari)
58,75±2,39
50
65,24±4,62
45
Puncak Produksi (hari
113,95±5,01
54
77,51±5,36
44
5.992,76±110,28
23
5.989,32±185,83
20
ke-) Produksi Susu Terkoresi (kg)
Rata-rata lama laktasi sapi perah keturunan FH impor laktasi satu yaitu rataan 353,30±5,32 hari, sedangkan lama laktasi sapi perah keturunan FH impor laktasi dua yaitu 350,90±13,25 hari. Hasil pengamatan tersebut tidak berbeda dengan sapi perah yang berada di BPPTU Baturraden yaitu rataan lama laktasi satu 334±64 hari, laktasi dua 330±64 hari dan (Atabany dkk, 2008). Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di BPPTU Baturraden (Santosa, 2014) menunjukkan bahwa rataan lama laktasi sapi perah FH 312,7±63 hari dengan koefisien variasi 20,4%. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan jumlah hari laktasi sapi perah FH di PT. Sumber Susu Indonesia Malang yaitu 317,35±71 hari (Surjowardojo, 1993)., maka rata-rata lama laktasi di PT. UPBS tidak terlalu jauh berbeda dengan lama laktasi normal. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa lama laktasi sapi perah FH keturunan impor laktasi satu dengan sapi perah FH keturunan impor laktasi dua di PT. UPBS dapat dikatakan tidak berbeda nyata Periode awal laktasi yaitu trisemester pertama atau yang disebut 100 hari pertama laktasi merupakan periode kritis, sehingga sapi membutuhkan pemenuhan nutrisi yang relatif banyak dalam pakannya khususnya pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Usaha peningkatan dan perbaikan kualitas produksi dilakukan dengan cara perbaikan mutu genetik dan perbaikan manajemen pakan. Menurut Wahyudi
(2010) peternakan sapi perah di
Indonesia masih mempunyai permasalahan nutrisi, yaitu defisien dan ketidakseimbangan gizi baik energi, protein, mineral dan vitamin. Hal ini disebabkan kebutuhan nutrien terutama bagi ternak sapi perah dan ternak yang sedang laktasi jumlahnya sangat besar. Salah satu cara yang digunakan untuk memperbaiki nutrisi pakan adalah dengan pemberian suplemen guna memperbaiki nilai gizi dari konsentrat maupun hijauan yang disediakan oleh peternak. Pemberian pakan menurut fase periode laktasi: 7
a. Fase 1, Laktasi Awal (0-72 hari) Fase awal laktasi ini produksi susu tinggi, namun konsumsi pakan kurang. Sehingga jaringan-jaringan tubuh akan dirombak menjadi zat-zat makanan yang diperlukan. Untuk menangani hal ini dapat ditingkatkan pemberian konsentrat per hari dan pemberian hijauan yang berkualitas tinggi. b. Fase 2, Komsumsi BK puncak (10 mgg kedua) Fase 2 ini sapi perah laktasi tetap diberi pakan yang berkualitas untuk mempertahankan produksi susunya. Dapat diberikan hijauan dan konsentrat, dan membatasi pemberian urea.
c. Fase 3, Laktasi Akhir (140-305 hari) Fase 3 ini sapi tidak terlalu membutuhkan konsumsi pakan dalam jumlah besar karena produksi susu yang menurun, disamping hal itu sapi juga dalam kondisi bunting sehingga kebutuhan zat makanan dapat terpenuhi atau bahkan dapat melebihi kebutuhan. Sehingga pada fase inilah dapat ditingkatkan bobot badan sapi yang hilang pada fase awal laktasi. Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30 - 50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi perah dewasa umumnya diberikan sebanyak ± 10 % dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1 - 2 % dari BB. Sapi yang sedang menyusui ( laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25 % hijauan dan konsentrat dalam ransumnya.Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang kacangan ( legum ). Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Mukhtar (2008) yang menyatakan bahwa Ransum induk laktasi pada dasarnya terdiri dari hijauan baik dalam bentuk kacang-kacangan (leguminosa) maupun rumput-rumputan(grammeae) dalam keadaan segar atau kering) dan konsentrat yang tinggi kualitas dan palatabilitasnya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan ransum sapi adalah ransum cukup mengandung protein dan lemak, perlu di perhatikan sifat efek suplemen (supplementary effect) dari bahan pakan ternak, dan ransum tersusun dari bahan pakan yang dibutuhkan ternak. Pemberian pakan dan minum bagi sapi perah, dapat diberikan sebagai berikut : 1.
Pakan hijauan diberikan 2 - 3 kali sehari yaitu pagi dan siang sesudah pemerahan.
Pakan hijauan diberikan sebanyak ± 10 % dari berat badan (BB); 2.
Pakan konsentrat diberikan dalam keadaan kering, sesudah pemerahan 1 - 2 kali sehari
sebanyak 1,5 - 3 % dari berat badan (BB), Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi diperah 3.
Air minum disediakan secara tidak terbatas (ad libitum ) atau sebanyak 10 % dari berat
badan per hari. 8
Hubungan antara Produksi Susu dan Periode Laktasi 2 1.8
Produksi Susu
1.6 1.4 y = 0.151x + 0.931 r = 0.832
1.2 1
Produksi Susu
0.8
Linear (Produksi Susu)
0.6 0.4 0.2
0 0
1
2
3
4
5
6
Periode Laktasi
Bath (1992) dalam Izza (2011) menyatakan bahwa kerbau perah umumnya akan memperlihatkan puncak produksi pada laktasi ke 4-6 setelah itu produksi susu kerbau akan cenderung menurun secara tetap. Kondisi tersebut serupa pada kerbau lumpur. Perbedaan periode laktasi dapat menyebabkan perbedaan jumlah susu yang didapatkan dalam satu masa laktasi. Kondisi yang serupa juga ditemukan pada sapi perah FH dimana puncak produksi susu sapi terjadi pada periode laktasi keempat lalu terjadi penurunan produksi susu mulai periode laktasi kelima (Sangbara, 2011). Gambar 2 memperlihatkan bahwa dengan bertambahnya periode laktasi terjadi peningkatan produksi susu.
Meskipun pada periode laktasi kelima terdapat penurunan
produksi susu namun hal tersebut disebabkan oleh faktor internal dari ternak tersebut yaitu kondisi tubuh yang menurun akibat umur ternak yang semakin tua maupun pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh ternak kerbau baik sedang laktasi maupun tidak. Berdasarkan korelasi (lampiran 1) terlihat bahwa periode laktasi memiliki korelasi yang tinggi dengan produksi susu kerbau yaitu 82,8%. Persentase korelasi memperlihatkan hubungan yang erat antara periode laktasi dan produksi susu. 2.2.2 Pakan Periode Kering Kebutuhan energi pada sapi perah laktasi ditentukan oleh kebutuhan untuk hidup pokok yang dipengaruhi oleh berat badan, sedangkan kebutuhan untuk produksi susu dipengaruhi oleh banyaknya susu yang disekresikan dan kadar lemak yang terkandung di dalam susu (Bath, 2008). Kebutuhan sapi perah laktasi terhadap nutrisi pakan erat hubungannya dengan bobot badan dan produksi susu yang dihasilkannya, sedangkan konsumsi pakan erat kaitannya dengan kan tersebut sesuai dengan pendapat Al-amin (2017) masa kering bertujuan 9
untuk memberi kesempatan pada induk menimbun zat gizi yang diperlukan bagi produksi susu berikutnya serta involusi dan penyegaran ambing agar sapi tersebut berada dalam kondisi sehat ketika sapi tersebut melahirkan. Lama kering sapi perah FH keturunan impor laktasi satu yaitu 58,75±2,39 hari, sedangkan lama kering sapi perah FH keturunan impor laktasi dua yaitu 65,24±4,62 hari. Lama kering sapi perah FH keturunan impor laktasi satu dan dua tidak berbeda jauh antara 40-60 hari masa istirahat yang normal. Hasil uji statistik lama kering keturunan FH di PT.UBPS tidak berbeda nyata antara laktasi satu dan dua. Hasil penelitian tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Sudono (2003) bahwa masa istirahat yang normal berlangsung sekitar 40-60 hari, panjang pendeknya masa kering kandang akan sangat mempengaruhi produksi dalam satu masa laktasi. Kering kandang atau masa istirahat yang terlalu
singkat
menyebabkan
produksi
air
susu
pada
masa
laktasi
berikutnya menjadi rendah. Lama kering di PT.UPBS tidak berbeda jauh lama kering di daerah cikole lembang menurut Anggraeni, dkk (2008) bahwa masa kering normal 50-60 hari, masa kering sapi perah FH sangat variasi setiap laktasinya, faktor yang menyebabkannya yaitu oleh perbedaaan sapi mencapai kapasitas produksi dan faktor manajemen. Terlihat dengan hasil penelitian tersebut rataan lama kering sapi keturunan FH laktasi satu dan laktasi dua yang berada di PT.UBPS pangalengan tidak berbeda jauh dengan lama kering normal (40-60 hari). Lama kering di PT. UPBS sangat beragam dengan melihat koefisien variasi yang tinggi pada sapi FH keturunan impor laktasi satu dan dua. Rentang yang lebar menunjukkan perbedaan performa yang sangat berbeda, yang merupakan cerminan dari pengaruh manajemen terhadap sebagian ternak yang performanya kurang baik. Lama kering yang pendek bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam mengelompokan ternak, sapi yang seharusnya sudah masuk dalam periode kering kandang terkadang tidak terkontrol sehingga sapi tersebut masuk pada kelompok sapi yang diperah. Sapi yang berproduksi rendah pun biasanya akan dipaksa untuk dikeringkan demi efisiensi pengeluaran pakan. Sapi perah yang berproduksi rendah biasanya akan diberikan pakan yang kualitasnya lebih rendah dari pakan untuk sapi laktasi dikarenakan untuk mencegah kerugian atau dijual apabila tidak meningkat produksinya. Secara umum pada konsisi kering ini, ternak diberikan sedikit hijauan dan pengurangan bahkan penghentian pemberian konsentrat pada masa awal kering, sedangkan pada akhir masa kering hijauan diberikan dalam jumlah seperti biasa dan diikuti dengan penambahan konsentrat. Ransum
harus
diformulasikan
untuk
memenuhi
kebutuhannya
yang
spesifik:maintenance, pertumbuhan foetus, pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai dengan 10
pendapat Sudono (2008) menyatakan bahwa tingkat nutrisi yang baik dimaksudkan untuk menunjang perkembangan fetus, sebab jika kekurangan pakan pada masa kering kandang akan menyebabkan bobot lahir pedet kecil, kondisinya lemah, dan mortalitasnya tinggi. Kondisi ini konsumsi BK ransum harian yang diberikan pada ternak tidak boleh melebihi dari 2% berat badan, konsumsi hijauan minimal 1% berat badan. Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya cukup untuk program pemberian pakan sapi kering. Pada masa kering, sapi perah harus di tekan jangan sampai terlalu gemuk atau BCS nya melebihi standar untuk sapi bunting (2,5 – 3). Hal ini dimaksudkan agar sapi tersebut tidak ada kendala dalam proses kelahiran nantinya. Komposisi hijauan kualitas rendah, seperti grass hay, baik diberikan pada kondisi ini dengan tujuan untuk membatasi konsumsi hijauan. Pada kondisi kering kebutuhan protein yang dikonsumsi sapi perah sebesar 12 % sudah cukup untuk menjaga kesehatan ternak tersebut. Kebutuhan Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian yang berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca dan 0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangiretained plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet. Sedikit konsentrat perlu diberikan dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan: Mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat; Meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak. Kering kandang dibagi dalam dua fase yaitu fase awal kering dan fase akhir kering. a. Fase awal kering Fase ini dimulai saat sapi dikeringkan hingga 2 – 3 minggu sebelum beranak. Pada fase ini, sapi perah dengan kondisi baik hanya membutuhkan hijauan yang berkualitas baik. Induk
sapi
yang
kondisinya
kurang
baik
membutuhkan makanan penguat untuk memperbaiki kondisi akibat laktasi sebelumnya. Menurut Siregar (2009) menyatakan bahwa pemberian pakan awal kering kandang dilakukan tiga
hari
sebelum
pengeringan
dimana
pemberian
konsentrat
ditiadakan serta pemberian hijauan dikurangi sekitar dua pertiga/hari yang berpengaruh terha dap produksi susu. b. Fase Akhir kering Fase ini dimulai 2 – 3 minggu sebelum beranak. Sapi kering sebaiknya diberi konsentrat yang setara dengan konsentrat puncak produksi. Tujuannya untuk pertumbuhan bakal pedet, 11
produksi kolostrum, dan pedet yang kuat waktu lahir. Pemebrian berlangsung hingga sapi mencapai produksi puncak 2 – 3 bulan setelah beranak.maksudnya untuk mempersiapkan tubuh sapi dalam kondisi puncak sewaktu mulai berpoduksi. Jika nutrisi dalam pakan tidak mencukupi maka cadangan zat gizi dalam tubuh dikuras sehingga sapi menjadi kurus, lemah, dan bahkan lumpuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (2008) bahwa pemberian pakan akhir kering kandang dilakukan 2-3 minggu sebelumterakhir kering kandang atau menjelang melahirkan. Sapi diberi hijauan dengan kualitas tinggi, sedangkan konsentrat diberikan secara bertahap sampai sapi mampu menghabiskan 1,5 kg untuk 100 kg bobot badan. Menurut Akramuzzein (2009) selama 2 -3 minggu periode kering kandang menjelang kelahiran sebaiknya diberikan konsentrat dengan kualitas yang lebih tinggi untuk melengkapi ransum sapi.
12
III.
KESIMPULAN
1. Hasil dari penelitian didapat bahwa sapi perah keturunan FH impor laktasi satu dan dua memiliki performa produksi susu lebih baik dibandingkan performa sapi perah FH lokal, tetapi masih dibawah performa sapi perah FH di daerah asalnya. 2. Performa produksi susu, lama laktasi dan lama kering tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara laktasi satu dan dua, hanya performa puncak laktasi yang menunjukan perbedaan yang nyata. 3. Periode Laktasi : a. Fase 1, Laktasi Awal : ditingkatkan pemberian konsentrat per hari dan pemberian hijauan yang berkualitas tinggi. b. Fase 2, Konsumsi BK Puncak : diberikan hijauan, konsentrat, dan membatasi pemberian urea. c. Fase 3, Laktasi Akhir : sapi tidak terlalu membutuhkan konsumsi pakan dalam jumlah besar karena produksi susu menurun. 4. Periode Kering : a. Fase Awal Kering : sapi perah dengan kondisi baik hanya membutuhkan hijauan yang berkualitas
baik,
sapi
yang
kondisinya
kurang
baik
membutuhkan makanan penguat untuk memperbaiki kondisi akibat laktas sebelumnya. b. Fase Akhir Kering : sebaiknya diberi konsentrat yang setara dengan konsentrat puncak produksi dan diberi hijauan dengan kualitas tinggi. Manajemen pakan sangat mempengaruhi kualitas produksi susu pada proses laktasi sehingga perlu sebuah kesadaran diri dari peternak agar produksi yang dihasilkan tidak menurun dan lebih baiknya lagi meningkat.
13
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, A., Y. Fitriani., A. Atabany dan I. Komala. 2008. Penampilan Produksi Susu Dan Reproduksi Sapi Friesian-Holstein Di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah Cikole, Lembang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Akramuzzein. 2009. Program Evaluasi Pemberian Pakan Sapi Perah untuk Tingkat Peternak dan Koperasi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, ITB. Bogor. Al-amin, A.F., M. Hartono., S. Suharyati. 2017. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Calving Interval Sapi Perah pada Peternakan Rakyat di Beberapa Kabupaten/Kota Provinsi Lampung”. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia. 1(1): 33-36. Anggraeni., Anneke. 2008. “ Penampilan Produksi Susu dan Reproduksi Sapi Friesian Holstein di Balai Pengembangan Pembibitan Ternak Sapi Perah Cikole, Lembang”. Prossiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor:11-12.
Bath, D. L., F.N Dickinson. 2008. Dairy Cattle: Principels, Practices, Problems, Profits. 3rd Edition. Lea and Febiger, Philadelphia.
Blakely, J., dan D.H. Bade. 2008. Pengantar Ilmu Peternakan. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Larysca., Nabila., T. Harjati. 2013. “Peningkatan Kadar Lemak Susu Sapi Perah dengan Pemberian Pakan Konsentrat Komersial dibandingkan dengan Ampas Tahu”. Jurnal Agroveteriner. 1: 79-87. Makin, M., D. Suharwanto. 2012. “Performa Sifat-Sifat Produksi Susu dan Reproduksi Sapi Perah Fries Holland di Jawa Barat”. Jurnal Ilmu Ternak. 12(2): 68-71.
14
Matthews SB, Waud JP, Roberts AG, Campbell AK. 2005. Systemic lactose intolerance: a new perspective on an old problem. Postgrad. Med. J. 81, 167-173. Mukhtar, A. 2008. Ilmu Produksi Ternak Perah. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan (UNS Press). Surakarta. Musnandar, Endri. 2012. “Efesiensi Energi pada Sapi Perah Holstein yang diberi Berbagai Imbangan Rumput dan Konsentrat“. Jurnal Penelitian Universitas Jambi. vol 13(2): 44-56.
Parakkasi, A. 1988. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Rahman, MT, Hermawan dan D. Tansripin. 2014. Evaluasi Performa Produksi Susu Sapi Perah Frieshollan (FH) Keturunan Sapi Impor (Studi Kasus di PT. UPBS, Pangalengan, Jawa Barat). Jurnal Penelitian Universitas Padjadjaran. 5(2): 1-8
Sangbara, Y. 2011. Pengaruh Periode Laktasi terhadap Produksi Susu pada Sapi Perah Fries Holland di Kabupaten Enrekang.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MP. 1988. Principles of Dairy Science. 2th Ed. New Jersey (US): Prentice Hall. Sinuhaji
AB.
2006.
Intoleransi
laktosa.
Majalah
kedokteran
nusantara
39,
4,
424-
429. Siregar, S.B. 2009. “ Peningkatan Kemampuan Berproduksi Susu Sapi Perah Laktasi Melalui Perbaikan Pakan dan Frekuensi Pemberiannya”. Jurnal Ilmu Ternak Veteriner. 6 (2): 7682.
Sudono. 2008. Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Bogor (tidak untuk dipublikasikan).
15
Surjowardojo, P. 1993. Parameter Genetik dan Pengaruh Faktor Non Genetik terhadap Produksi Susu di PT Sumber Susu Indonesia Kabupaten Malang. Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Syafrudin, M. 2016. “Analisis Fungsi Keuntungan, Efisiensi Ekonomi, dan Kemungkinan Kredit Bagi Pengembangan Skala Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor. Jurnal Agro Ekonomi. Vol 23(2): 191-208. Wahyudi, A. 2010. “Evaluasi Penggunaan Urea Molasses Mineral Probiotik Blok (Ummpb) Pada Sapi Perah Laktasi terhadap Produksi dan Kualitas Susu”. Jurnal Protein. 14(2): 55-62.
16
17