Cuek ? Februari lalu Kompas berturut-turut menyoroti persoalan penelitian di Indonesia. Dimulai dengan komentar pemenang Nobel Kimia 2001 dari Jepang, Prof Dr Ryoji Noyori, tentang iklim yang diperlukan untuk mengembangkan sumber daya manusia dan penelitian di Indonesia, kemudian diikuti dengan tulisan seperti "Sulitnya Penelitian Ilmu Dasar di Indonesia" oleh Terry Mart, sampai ke profil para peneliti pemenang Toray Award 2004. Tulisan-tulisan di atas mengilhami dan sekaligus menjadi pencelik mata (eye opener). Mata (hati) kita dicelikkan terhadap dua hal yang memprihatinkan. Hal pertama yang menyedihkan ialah tiadanya suasana, fasilitas, dan kebijakan yang kondusif bagi peneliti ilmu dasar di Indonesia, untuk dapat berprestasi. Belum terbangun infrastruktur sains yang kuat untuk menunjang penelitian dasar. Padahal, menurut penerima penghargaan Nobel dari Pakistan, Abdus Salam (almarhum), infrastruktur sains yang kokoh merupakan conditio sine qua non bukan saja untuk bergulirnya penelitian dasar, tetapi juga untuk memulai penelitian terapan dan pengembangan teknologi. Bahkan, untuk menyukseskan program alih teknologi pun diperlukan infrastruktur sains yang memadai! Berbeda dengan di negara- negara maju, di Indonesia dosen-peneliti dibebani tugas mengajar yang cukup berat. Kadang-kadang di atas itu masih ditumpangkan tugas administratif. Gajinya yang kecil harus pula dicarikan tambahan dengan mencari "samben", alias melakukan moonlighting. Dalam suatu diskusi di Program Pascasarjana UGM Januari lalu, Muslim, guru besar Fisika, berkata, "Sama-sama dapat dua juta, daripada susah payah jadi profesor, lebih enak jadi sopir TransJakarta saja." Kesempatan bertukar pikiran dengan mitra bestari (peers) dalam Kaffeeklatsch yang bersuasana sersan (serius namun santai) juga tidak selalu ada. http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1079006685&44
Dalam tulisan-tulisan di Kompas, muncul pula tiadanya otonomi bagi peneliti di Indonesia untuk mengelola biaya penelitian, dan dananya sering dipotong. Pemotongan ini terjadi di lembaga penyalur hibah penelitian dan di lembaga tempat peneliti itu bekerja. Ketika memaparkan hasil-sementara penelitiannya untuk mendapatkan dana Riset Unggulan Terpadu Internasional (RUTI) tahun kedua, Tati Mengko mengiba, "No more budget cuts, please!" (Tolong, anggarannya jangan dipotong lagi!) Potongan di lembaganya sendiri biasanya disebut institutional fee dan- asal tidak terlalu besar-wajar saja sebab si peneliti menggunakan fasilitas yang ada di lembaganya. Yang juga menyulitkan peneliti adalah terlambatnya kucuran dana. "Untuk membayar asisten dan teknisi yang sudah bekerja keras, sering harus nomboki dulu," kata Prof Tjia May On baru-baru ini ketika memaparkan kemajuan penelitiannya di Gedung II BPPT. Hal kedua yang pada hemat saya juga memprihatinkan ialah yang dikeluhkan Terry Mart, yakni bahwa dengan masa dinas 13 tahun dan 50-an publikasi di jurnal dan prosiding konferensi internasional, tetap saja ia masih ndongkrok di golongan IIIA. Padahal, ia mengurus kenaikan pangkatnya. Jadi tentulah ada sesuatu yang salah dalam prosedur promosi di UI atau khususnya di jurusan fisikanya. Barangkali "pita merah" birokrasinya berbelit-belit dan ruwet. Mungkin juga penilaian peer reviewers dan atau atasannya terlampau ketat. Masalah ini sudah saya lihat ketika kami menjadi assessor Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk program Pascasarjana Fisika UI. Dalam pertemuan dengan staf pengajar Jurusan Fisika, yang rata-rata menyandang gelar doktor, kelangkaan guru besar di jurusan ini saya kemukakan. Mengapa hanya ada Prof Gatuk Parangtopo (almarhum), yang kemudian digantikan oleh Prof Darmadi?
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1079006685&44
Sesudah Prof Darmadi meninggal dalam usia relatif muda, lalu Jurusan Fisika UI tidak mempunyai guru besar. Mengapa dosen-dosen senior bergelar doktor, seperti Romo Na Peng Bo dan Bernadus dari Silva, belum juga ber-JAFA (jabatan fungsional akademik) guru besar? Dalam pertemuan itu Bernadus menjawab, "Lebih baik tidak jadi profesor. Malu, cuma dengan publikasi kami seperti ini kok mau jadi profesor." Kalau jawaban Bernadus dari Silva itu mewakili rekan-rekannya, jelaslah bahwa Jurusan Fisika UI mewarisi standar yang amat tinggi dari Parangtopo. Doktor fisika lulusan Universitas Lomonosov, Leningrad (sekarang Petersburg), ini tuntutannya memang tinggi, juga terhadap dirinya sendiri. Masalah kelangkaan guru besar juga saya kemukakan di depan staf pengajar Jurusan Astronomi ITB, yang semuanya juga peneliti di Observatorium Boscha, Lembang. Mengapa Jorga Ibrahim, yang "peng- pengan" dalam teori matematis di bidang astronomi/astrofisika, pensiun tanpa mencapai JAFA guru besar? Mengapa "gap" antara Bambang Hidayat dan rekan-rekannya yang lebih muda, yang semuanya juga doktor, terlalu lebar? Danny dan Permana yang menjawab pertanyaan saya. Kata mereka, "Kami sudah puas dengan pengakuan dalam bentuk yang lain. Kami diundang ke konferensi-konferensi internasional. Makalah hasil penelitian kami dimuat di jurnal internasional." Kalau jawaban kedua astronomiwan muda itu tulus, ya memang tidak ada nada keluhan seperti yang diungkapkan Terry Mart. Staf Jurusan Astronomi ITB rupanya "cuek" terhadap formalitas jabatan fungsional akademik. Atau seperti almarhum Parangtopo di Jurusan Fisika UI, Bambang Hidayat, juga mematok standar yang amat tinggi di Jurusan Astronomi ITB.
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1079006685&44