Membuat Rumah di Awan Berbagai badai muncul silih berganti di dunia. Badai telah menimbulkan kengerian di masa lalu, kini, dan di masa depan. Tanda-tanda peralihan tempat kehidupan mikroskopik, katanya. Kok bisa begitu? Kawasan Asia digempur badai Rananim, Aere, Charley, Megi, dan Chaba. Benua Amerika mengalami nasib sama. Badai Jeanne, Charley, Frances, dan Ivan bergantian mengamuk. Di belahan dunia lain pun tak kalah menakutkannya. Namun, ada yang lebih menarik dari sekadar deskripsi bencana alam. Semua itu adalah tanda-tanda peralihan tempat koloni kehidupan mikroskopik di permukaan Bumi ke awan hingga ada kemungkinan kolonisasi manusia di dalam awan planet lain. Terangkatnya materi Badai timbul jika di atmosfer Bumi mengalami tekanan rendah akibat sistem peredaran udara ataupun pemanasan. Perbedaan tekanan ini berbanding terbalik dengan jarak dan konstanta gaya putar Bumi (disebut gaya coreolis), akibatnya muncul peredaran udara (angin). Kecepatan angin kian besar apabila perbedaan tekanan semakin besar. Pada jarak yang jauh dari ekuator/khatulistiwa Bumi, atau memiliki lintang geografis besar, punya kemungkinan menghasilkan badai skala besar. Badai skala besar itu awalnya dari tekanan udara rendah akibat pemanasan, lantas berkembang yang didukung oleh pergerakan udara sebagai pemerataan energi dan oleh perputaran Bumi sehingga memunculkan gerakan udara memutar. Di belahan Bumi utara, gerakan udara berlawanan arah jarum jam, sedangkan di belahan selatan searah jarum jam. Ternyata pusaran udara itu mengumpul/memusat sekaligus membubung tinggi dengan radius hingga 100 kilometer dan bergerak menjauhi ekuator. Partikel hujan/kondisi basah dan partikel pasir/kondisi kering mengikuti gerakan badai yang terjadi itu. Kondisi basah terjadi di sekitar kawasan dekat laut, dan kondisi kering terjadi di kawasan gurun pasir (dikenal dengan badai pasir). Materi yang bergerak dalam badai ternyata tidak seluruhnya kembali ke permukaan Bumi, darat, ataupun lautan, tetapi ada yang terus membubung ke atas awan cumulonimbus (awan penghasil badai) menuju ke awan cirrus. Yang mengejutkan, ternyata materi tersebut membentuk koloni kehidupan di ketinggian angkasa Bumi. Hasil penelitian ini dilakukan melalui pesawat terbang yang mengambil contoh materi di awan itu yang dikerjakan oleh beberapa ilmuwan tahun 2003. Ditemukan bahwa di awan cirrus pada ketinggian langit Oklahoma (bagian timur http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1097933768&39
Amerika Serikat) terdapat garam laut dan plankton beku yang merupakan sisa dari badai Nora yang terjadi di tahun 1997 di Lautan Pasifik (bagian barat AS). Badai di luar Bumi Penemuan penting di atas merangsang penelitian dalam lingkup astrobiologi (yaitu cabang astronomi yang mempelajari kemungkinan kehidupan lain di luar Bumi) fenomena badai dan awan di planet lain. Beberapa planet di tata surya terutama planet Jovian- planet yang didominasi oleh unsur-unsur ringan, seperti hidrogen dan helium, seperti Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus-hingga sekarang belum diketahui kondisi permukaannya. Fenomena alam yang bisa dilihat adalah aktivitas atmosfer yang seluruhnya merupakan lapisan awan tebal dengan berbagai kemunculan badai yang bisa berlangsung bertahun-tahun. Berbeda dengan planet terestrial (bebatuan beratmosfer), yaitu Venus dengan selimut awan tebal dan Mars yang sering kali memunculkan badai skala global, misi pendaratan wahana antariksa pernah dilakukan, sedangkan untuk planet Jovian belum pernah dilakukan. Dengan mengikuti logika fisika atas fenomena terjadinya badai, para ahli bisa memperkirakan kondisi bagian dalam planet Jovian itu melalui fenomena badai yang terjadi dan meneliti kemungkinan keberadaan koloni kehidupan renik di awannya. Kemungkinan keberadaan kehidupan renik di awan tidak bisa dilepaskan dari tumbukan benda langit lain seperti asteroid dan komet. Pasalnya, menurut simulasi komputer yang dilakukan Chris McKay dan Bill Borucki dari NASA (1997) dan gabungan berbagai lembaga ilmiah di Universitas California, Berkeley (2001), tumbukan benda langit itu akan memunculkan asam amino (unsur dasar terbentuknya organisme sederhana) sebagai reaksi dari perubahan temperatur dan tekanan atmosfer planet. Ada tiga hal sebagai syarat terbentuknya asam amino, yaitu air, energi, dan materi organik, yang berasal dari unsur-unsur karbon. Penelitian astrobiologi di planet Jovian belum memberikan hasil final. Rumah di awan Venus Jika koloni kehidupan mikroskopik bisa berada di awan, maka dimungkinkan pula koloni manusia dilakukan di awan, dan kondisi awan yang memungkinkan itu ternyata berada di Venus. Di ketinggian 50 kilometer dari planet yang membara (temperatur rata-rata di Venus 461 derajat Celsius) itu terdapat awan abadi yang memantulkan cahaya matahari dan tersusun dari hablur es dan titik-titik air pada bagian yang lebih rendah. Ada tiga jenis partikel yang membuat awan ini kedap cahaya, yaitu
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1097933768&39
partikel asam sulfat murni berdiameter 1 mikron (sepersejuta meter), butiran asam sulfat berdiameter 2 mikron, dan senyawa klorida padat berdiameter 8 mikron. Di dalam lapisan awan itu merupakan tempat bertekanan sama dengan lingkungan di permukaan Bumi. Temperaturnya dalam rentang 0-500 Celsius, di mana air (dalam wujud cair) dimungkinkan ada, gravitasinya hanya 0,9 gravitasi Bumi, terdapat banyak unsur yang mendukung kehidupan seperti C, H, O, N, dan S, terlindung dari radiasi sinar kosmis dan letupan matahari yang panas (solar flare), memiliki kelimpahan cahaya matahari yang menjadi sumber tenaga sel surya di atas awan abadinya. Meskipun di ketinggian ini terdapat asam sulfat yang bisa membuat korosi logam, teknologi yang berkembang akan bisa membuat logam yang tahan korosi. Yang pasti, saat ini, lingkungan atmosfer Venus di ketinggian ini banyak kemiripan dengan di Bumi. Jika manusia membuat kota terapung di Venus, memang manusia tidak bisa bernapas di sana. Namun, manusia tidak memerlukan tempat pelindung atau baju pelindung tekanan udara dikarenakan tekanannya sama dengan di Bumi. Dalam jangka pendek, pasokan udara yang sehat untuk bernapas bisa dibawa dari Bumi, tetapi dalam jangka panjang, manusia bisa mengubah komposisi atmosfer Venus yang didominasi karbondioksida dengan cara menerjunkan organisme sederhana yang mampu beradaptasi di temperatur yang tinggi seperti ganggang biru-hijau yang telah beradaptasi pada lingkungan panas buatan di laboratorium. Organisme itulah yang akan mengubah komposisi atmosfer Venus yang didominasi karbondioksida menjadi oksigen dan karbohidrat melalui fotosintesis. Berkurangnya CO2 membuat temperatur permukaannya menjadi cukup rendah sehingga memungkinkan terkumpulnya air dalam wujud cairan di kedua kutubnya dalam jangka panjang. Secara simultan, peristiwa ini akan membuat efek rumah kaca kian berkurang, dan proses pendinginan kian cepat. Dampak lainnya, hujan akan lebih banyak terjadi. Akibatnya, awan penahan panas yang menyelubungi Venus akan tersibak dan cahaya matahari bisa langsung mengenai tanah Venus. Venus berkembang menjadi planet yang memiliki cukup banyak oksigen dan bersuhu rendah yang mampu menopang kehidupan tumbuhan dan binatang. Bahkan, diperkirakan, Venus akan menjadi tempat yang cocok bagi manusia karena apa yang hidup di sana memiliki daya tahan yang tinggi akibat telah beradaptasi dengan lingkungan yang ganas. Salah satu efek dari awan yang mengandung kristal es sisa dari badai nora adalah terbentuknya halo. Penelitian bagaimana kristal es dan lapisan-lapisan materi di awan itu terbentuk serta interaksinya dengan cahaya matahari
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1097933768&39
termasuk sinar inframerah akan mampu menjelaskan terjadinya peristiwa perubahan iklim global. . Dua badai yang terbentuk di Saturnus dengan diameter masing-masing 1.000 kilometer. Keduanya akan bergabung membentuk badai yang lebih besar. Fenomena ini diamati oleh wahana antariksa Cassini, NASA. Tabel : Tekanan atmosfer Venus kian berkurang seiiring dengan ketinggiannya. Di ketinggian 50 km tekanan atmosfer Venus sama dengan tekanan di permukaan bumi. Gambar : 1. Dua badai yang terbentuk di Saturnus dengan diameter aisng-maisng 1.000 km. Keduanya akan bergabung membentuk badi yang lebih besar. Fenomena ini diamati oleh wahana antariksa Cassini. 2. Salah satu efek dari awan yang mengandung kristal es sosa dari badai nona adalah terbentuknya halo. Peneltiian bagaimana kristal es dan lapisan-lapisan materi di awan itu terbentuk serta interaksinya dengan cahaya matahari termasuk sinar inframerah akan mampu menjelaskan terjadinya peristiwa perubahan iklim global.
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1097933768&39