Clinical Science Session
TRAUMA VASKULAR
Oleh: Adika Azaria
1840312225
Afifah Aqilatul FPW
1840312210
Wahyu Zikra
1840312291
M. Fadhillah Ghivari
1840312407
Preseptor: dr. Vendry Rivaldy, Sp.B(K)BV
BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2019
BAB I PENDAHULUAN Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskular memerlukan diagnosis dan tindakan penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan kegagalan organ multipel.1 Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun luka iatrogenik. Trauma vaskular sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain seperti syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur atau dislokasi pada ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau transeksi komplit. Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang inkomplit, sedangkan pada pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi dan konstriksi pembuluh darah sehingga dapat mengurangi atau menahan perdarahan.2 Ruptur arteri brakialis adalah trauma yang mengenai Arteri Brakialis, sebagian besar dari trauma ini diakibatkan oleh trauma tajam (akibat pisau), trauma tumpul (akibat kecelakaan lalulintas dan terjatuh), dan crush injury. Tujuan dari penanganan trauma vaskular sama seperti trauma lainnya yaitu life saving yang diikuti limb salvage dan pemulihan fungsi.3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Trauma vaskular didefinisikan sebagai suatu kecederaan yang timbul terhadap
pembuluh darah arteri dan vena yang disebabkan oleh laserasi, kontusio, pungsi atau hancur dan tipe cedera yang lainnya. Gejalanya sangat bervariasi dan antaranya ialah perdarahan, memar, pembengkakan, nyeri dan kebas-kebas. Trauma vaskular tidak termasuk kecederaan sekunder terhadap fungsi patologis atau penyakit seperti atherosclerosis.4 Trauma vascular harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada kejadian luka tusuk, luka tembak kecepatan rendah, dan trauma tumpul yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi.5 2.2
Epidemiologi Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit
setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44 tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko kematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih tinggi pada populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di antaranya adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan terkena benda tajam.1 Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah. Kasus- kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak kecepatan tinggi (70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-10%). 2
2.3
Mekanisme Trauma
Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul. Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma. Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE) yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan (V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2/2. Rumus ini berlaku baik untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.6 Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal (teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan oleh pemindahan jaringan.1 Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma. Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan
intima flap yang terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan vena yang bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.6 Tabel 2.1 : Tipe dan Gejala Klini Trauma Vaskular Tipe Trauma Laserasi parsial Transeksi Kontusio
Gejala Klinis Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan Hilangnya pulsasi distal, iskemia Awal : pemeriksaan dapat normal
Kompresi eksternal
Dapat progresif menjadi thrombosis Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur diluruskan
Gambar 2.5 Tipe kecederaan arteri 2.5
Diagnosis
Trauma vaskular harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia. 1 Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia, hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui dengan melihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut berupa hard sign dan soft sign. Tabel 2. : Gejala Hard Sign dan Soft Sign 1 Hard Sign Hilangnya pulsasi distal Perdarahan pulsatil yang aktif Tanda-tanda iskemia Thrill arteri dengan palpalsi manual Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma yang meluas
Soft Sign Berkurangnya pulsasi distal Riwayat perdarahan sedang Trauma pada daerah dekat PD utama Defisit neurologis Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan. 1
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang tertinggal. (Jusi HD, 2008) Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi kolateral yang ada. Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan dislokasi dan fraktur, tandatanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam. (Jusi HD, 2008) Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri. Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih murah. (Jusi HD, 2008)
Gambar 2.6 : Algoritma diagnosa gangguan arteri (Jusi HD, 2008) 2.6
Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang ikut terbendung. Golden period pada lesi vaskular adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan terhadap adanya iskemia. 2.6.1
Penatalaksanaan Non Operatif
Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial. Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang
minimal (<5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan untuk melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau stabilisasi. Penatalaksanaan Endovascular Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa. Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan penggunaan teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan endoluminal pada
false aneurysm
atau fistula arteriovenosa besar dapat
dimungkinkan. 2.6.2
Penatalaksanaan Operasi
Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena. Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan.(Bjerke HS dkk, 2010) Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera. Arteri proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila perlu dengan menggunakan klem vaskular. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal. Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru. Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang
berbahaya, namun pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat mencegah terbentuknya trombus. (Bjerke HS dkk, 2010) Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, endto-end anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft berguna pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis. (Bjerke HS dkk, 2010) Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada umumnya graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskular. Autograft vena pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea. Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi ketika digunakan pada posisi di atas lutut. (Bjerke HS dkk, 2010) Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta membantu memperbaiki aliran arteri. (Bjerke HS dkk, 2010) Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima), bila sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan iskemia otot menyebabkan meningginya tekanan kompartemen. (Bjerke HS dkk, 2010)
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih dahulu. Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama pada fraktur ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai kerusakan jaringan lunak. (Bjerke HS dkk, 2010) Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang terhambat dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi kerusakan jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan kehilangan tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat ditangani, maka hasilnya akan jauh lebih memuaskan. (Bjerke HS dkk, 2010) Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft (35%), dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko independen yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri adalah oklusi bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi arteri. (Bjerke HS dkk, 2010) Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah: a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal d. Pemakaian heparin yang sepantasnya e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft. (Bjerke HS dkk, 2010)
2.7
Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arterivena, dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan komplikasi lama. 1 Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau terjadi emboli paru. 1 a.
Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vaskular adalah komplikasi yang paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas. Beberapa kesalahan teknis yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis: 1.
Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding
arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis. 2.
Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya
dalam kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular sebelah distal, karena aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas. 3.
Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada
anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan
perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa bekuan darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah distal agar arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada thrombus yang tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus keluar. Bila persediaan ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk menghancurkan thrombus yang masih tersisa. 4.
Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang
berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi bila pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke ujung tetap dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk melakukan graft dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat mengganggu aliran darah laminar. 5.
Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft
sintesis biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis ini dapat dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu dilapiskan adventisia. 1 Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus waspada, karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu panjang. Apabila pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan thrombosis, terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai keadaan umum mengizinkan karenatindakan operatif yang berulang kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila cukup waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan Doppler (Ultrasonic
Sounding Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari sumbatan. (Jusi HD, 2008) Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan adanya trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah keragu-raguan dalam menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan intima atau robekan pada intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tetapi memang spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang biasanya dapat diatasi dengan pemberian Papaverin hydroclorida atau procain hydrochloride 1%. (Jusi HD, 2008) Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga terjadi kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture. 2 b. Infeksi Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat, kesinambungan pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik. 2 Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga berbahaya untuk kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi. Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic
secara teratur dan terus-menerus serta pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi adalah penyebab kedua dari kegagalan rekonstruksi arteri pada trauma vaskular. 2 c. Stenosis Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan): 1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten. 2.
Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau
bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen. 2 d. Fistula arteri vena Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu kelainan bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus yang mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir dari arteri ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan arteri yang kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah. (Davies AH dkk, 2006) Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan mengalir melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung. Ini menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan menurun dan denyut jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik, sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta arteri dan vena yang terlibat juga akan melebar menyebabkan volume darah yang melalui pintasan ini akan bertambah besar. Pembuluh vena melebar demikian rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini bila berlangsung lama dapat menyebabkan payah jantung karena curahnya yang bertambah. (Davies AH dkk, 2006)
Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam, adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi terdengar bissng seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh arteri dengan pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal dari fistula adalah klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena yang berkelok-kelok dan disertai warna kulit yang agak kebiruan. (Davies AH dkk, 2006) Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk penentuan lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan operasi adalah segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah vaskular juga berlaku di sini, yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada proksimal dan distal dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum fistulnya dieksisi. Bila mungkin pembuluh arterinya direkonstruksidengan jahitan langsung atau graft dengan vena autogen, sedangkan lesi pembuluh darah vena biasanya dapat dijahit lateral langsung. Kelainan struktur dan hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri dan vena traumatic biasanya pasca operasi menjadi normal kembali. (Davies AH dkk, 2006) e. Aneurisma Palsu Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan oleh kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma palsu. (Davies AH dkk, 2006) Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan tamponade terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru
yang berasal dari pinggir luka lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu. (Davies AH dkk, 2006) Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu. Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini terletak di bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada seluruh benjolan ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu atau bila letak lesinya sukar dicapai pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat pula menolong untuk menentukan besar serta letak aneurisma palsu ini. (Davies AH dkk, 2006) Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi ini, maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya diperlukan beberapa jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan secara spontan sangat kecil. (Davies AH dkk, 2006) f. Sindrom Kompartemen Sindroma
kompartemen
disebabkan
oleh
kenaikan
tekanan
internal
pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi. Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot. Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor, dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain: 1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada tekanan darah lebih tinggi. 2. Kerusakan akibat reperfusi
Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas. 2
DAFTAR PUSTAKA 1. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA: Elsevier Saunders. 2004. 2. Hands L, Sharp M, Ray-Chaundhuri S dan Murphy M. Vascular Surgery. Oxford University Press. 2007. 3. Nuraini P. Ruptur Arteri Brachialis, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. 2013. 4. Brohi K. Peripheral Vascular Trauma. 2002. 5. Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher. 6. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskular Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. H:50-65. 7. Bjerke HS, 2010. Extremity Vascular Trauma. Davies AH, Brophy CM (2006). Vascular Surgery. Springer Science & Business Media. Hansen J.T., 2011. Netter’s Anatomy Coloring Book 2 nd ed. : Saunders Publications, United Kingdom. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskular Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. H:50-65. .