Contoh Kasus Gender dan Marginalisasi Peran Perempuan di Bidang Pangan Tak Diperhatikan Oleh Umar Idris – Rabu, 07 Maret 2012 | 20:52 WIB JAKARTA. Pada peringatan hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret 2012 ,sejumlah LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan pangan yang memperhatikan peran perempuan. Sebab, berdasarkan penelitian dan kesaksian para LSM ini, peran perempuan di sektor pangan sangat besar. Contoh kebijakan yang dikritik ialah penggunaan benih hibrida. Pemerintah tidak menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan mengurangi peran perempuan sekaligus bisa mengurangi penghasilan perempuan. Pasalnya, benih hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa tanam sehingga petani harus membeli benih hibrida yang baru dari pabrikan. Padahal peran petani perempuan dalam pemuliaan benih selama ini cukup besar karena perempuan dianggap lebih teliti. Di daerah lain, banyak petani perempuan masih hidup miskin. Bahkan di Karawang, Jawa Barat, saat ini semakin banyak perempuan yang berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil panen (profesi yang di masyarakat setempat disebut blo-on) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal sepuluh tahun lalu, profesi ini dicibir oleh para petani sendiri. Namun sekarang banyak keluarga petani, sebagian besar dari mereka ialah perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan wilayah semakin luas hingga lintas kecamatan. “Dimana perhatian pemerintah kepada mereka?,” tanya Said..Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini peran perempuan masih terpinggirkan. Meski banyak perempuan menjadi buruh sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya dalam surat tanah maupun tidak berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo, aktivis Sawit Watch, tidak memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit. Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan mulai saat ini pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam setiap kebijakan di bidang pangan. “Jika pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan perempuan, maka ketersediaan pangan dan pemberantasan kemiskinan dengan sendirinya akan terselesaikan, “kata Tejo. Di sisi lain, data BPS menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53% terhadap garis kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan banyak disebabkan akibat kekurangan pangan. “Selama perempuan belum terangkat taraf hidupnya, persoalan pangan dan kemiskinan tidak akan cepat selesai,” tutur Tejo. Sumber:http://nasional.kontan.co.id/news/peran-perempuan-di-bidang-pangan-tak-diperhatikan
Analisis tentang kasus gender dan marginalitas perempuan dalam kasus peran perempuan dalam sector pangan di katakana sebagai ketidak adilan gender antara perempuan dan laki-laki. Sebagai kaum yang di anggap tidak berperan penting (perempuan) di masyarakat maka ketidak adilan itulah yang di permasalahkan dalam kasus ini. Sector pangan yang banyak di kelola oleh kaum perempuan justru yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran agar menjadi baik. Seperti pemuliaan benih, tidak semua laki-laki bisa melakukan hal tersebut dengan baik. Didalam kasus ini perempuan di kesampingkan karena adanya system teknologi yang maju, dan perempuan di biarkan hidup dengan cara tidak produktif dan jika masih bekerja, perempuan di jadikan buruh
yang paling bawah, sehingga gaji atau penghasilannya sangat sedikit di banding dengan kaum laki-laki. Yang di harapkan penulis dalam kasus ini salah satunya agar pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dalam system pangan, agar kesediaan pangan masyarakat dapat meningkat. Dan pemberantasan kemiskinan dengan adanya kaum perempuan sebagai buruh harus di pertimbangkan dan di naikkan taraf hidupnya. Permasalah ini sering terjadi, karena kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kaum perempuan dalam sector pembangunan bangsa dan negara.