Cerpen Tiada Yang Sempurna.docx

  • Uploaded by: Taesar Hawaij
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cerpen Tiada Yang Sempurna.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 959
  • Pages: 4
TIADA YANG SEMPURNA Karya : Davina Senjaya

Aku sangat bersyukur dengan letak rumahku yang amat dekat dengan perpustakaan kota. Tapi bukan hanya itu saja, perpustakaan ini juga amat lengkap bukunya, selalu diupdate. Aku rasa siapapun yang datang kemari takkan bosan untuk membaca. Di bangunan itulah aku seringkali mengisi waktu liburku dan kebosananku bersama buku buku yang sudah menguning dan agak usang. Ya setidaknya ini jalan terbaik ketimbang sumpek di dalam rumah. “Eh Nita. Kau emang kutu buku yah.” Ucap sebuah suara pria di belakangku. “Oh hai Jerry.” Ucapku setelah menoleh sejenak. Aku kembali fokus pada bukuku. “Bareng siapa kesini Nit? Kamu suka kesini?” Tanyanya lagi. Lagi-lagi aku harus menoleh dan menjawab “sendiri. Iya kalau bosen.” Jawabku singkat. “Nit Nit.. kamu tuh selalu sendirian aja, cari cowok dong. Gak bosen apa sama buku melulu?” sejenak kemudian aku menoleh dan menatap pria yang berdiri di jajaran rak belakangku dengan tajam. “Ini perpustakaan. Kalau mau ngobrol sana aja di cafe.” Ucapku sedikit membentak seraya melangkahkan kali ke ruang baca. Perpustakaan ini memang sangat luas, mempunyai dua buah ruangan. Ruangan pertama berisi rak dan buku-buku. Sedangkan ruang kedua berisikan meja meja kayu untuk membaca.

“Ayo kita ke cafe.” Lagi-lagi suara pria itu. Belum juga 10 menit dia sudah ada di dekatku lagi. Uhhh. “Katanya kalau mau mengobrol ke cafe. Jadi ayo.” Ucapnya polos. Aku terbengong. Apakah dia adalah pria yang suka menantang orang lain? “Pergilah sendiri.” Ucapku “Kau itu manusia atau buku. Temanmu buku semua. Aku berbaik hati mau jadi temanmu malah ditolak.” Ucapnya lagi. Aku mendengus. “Terserah kau saja.” Tak lama pria itu lenyap, pergi entah kemana. Kini aku bisa bernafas lega. Tapi juga aku renungkan, ada benarnya juga ucapan Jerry. Aku mungkin kesepian. Tapi selama ini aku juga tak pernah menemui orang yang baik, jujur, pintar, tulus, dan sempurna. Kurasa buku punya semua itu. Well aku mencintai buku. Pagi ini udara kota cukup sejuk, kurasa ada baiknya bila aku lari pagi. Sudah lama juga aku tidak berolahraga sejak libur kenaikan kelas kemarin. Lagipula aku harus fokus UN.

“Kak Nita, bareng yu!”

Rasanya aku kenal suara itu. Belum kutengok dia sudah ada di sampingku. Mery. Dia adik kelasku tersayang. Dia murid terajin di kelasnya, tak heran dia selalu jadi juara 1. “Rajin juga kamu Mer.” ucapku sambil tersenyum. “Gak juga Kak. Itung itung refreshing.” Balasnya dengan senyuman. Melihat panas matahari sudah mulai menusuk kulit aku mengajaknya beristirahat. “Ga takut Mer jogging pagi-pagi sendiri?” Tanyaku merobek keheningan. “Ga Kak. Udah biasa. Kakak sendiri gimana?” Tanyanya. “Masa Kakak takut hehehe.” “Kak gak pacaran?” Tanyanya ringan seraya membenarkan jepit poninya. “Soal itu.. emm kakak gak berminat. Kakak mau fokus belajar dulu deh.” Jawabku. “Kamu mau ikut ke perpustakaan kota sore ini?” Ucapku cepat mengganti topik. “Duh maaf Kak aku ada shooting film sama Kak Rangga. Teman Kakak kan?” “Iya.” Pria itu juga korban pacaran. Gara-gara patah hati ia hampir bunuh diri. “Oke deh pulang yu.” Ajakku sebelum matahari tepat di atas kepala. — “Bi Ta… eh. Kak Tari.” Ucapku tertawa setelah melihat ekspresi gadis berkacamata dengan rambut berkepang panjang cemberut. “Bi melulu, aku bukan bibimu toh. Tua begitu. Kakak to wis cukup.” “Iya Kak Tari hehehe. Kak ibu kemana?” “Ibu barusan pergi ke pasar. Katanya mau beli sayur dulu. Banyak pesanan.” O. Aku membulatkan bibir. Semenjak ayah pergi, ibu selalu saja sibuk. Sampai-sampai rumah ini juga kehilangan komunikasi keluarga. Tapi aku cukup beruntung karena masih punya kakak angkat seperti Kak Tari. Kak Tari orang yang ada saat aku membutuhkan apapun. Ia juga orang yang pandai sayangnya keluarganya tak mampu memenuhi biaya pendidikannya.

Andai saja aku orang kaya aku pasti membiayainya untuk sekolah. “Bengong mulu. Mukirin apa? Makan sana gih.” Ucap Kak Tari. “Wah Kak Tari masak apa hari ini. ” “Pete ama jengkol.” Aku cemberut. Seolah tak mau kehilangan momen indah ini, Kak Tari tertawa puas sampai lesung di pipinya nampak jelas.

“Nasi goreng sosis pakai keju parut kesukaanmu.” ucapnya sambil tersenyum. “Kak Tari udah makan?” Tanyaku. “Belum.” “Ayo makan bareng Kak. Sudah lama kita gak makan bareng.” Tok tok tok. Satu sendok nasi gorengku pun tak jadi kucicipi. “Sebentar biar Kakak buka.. eh iya tadi ada teman kamu yang datang. Namanya… Reza. Katanya mau ada perlu sama kamu.” “Lah anak sepandai secerdas segenius itu buat apa nyari aku?” Tok tok tok “Bentar!!! Kak aku aja yang buka.” Segera kulangkahkan kaki ke arah pintu utama. “Eh Reza ada apa?” “Begini aku disuruh Pak Hadri buat ngajak kamu ikut olimpiade kimia. Nah aku disuruh ngajar kamu. Olimpiadenya dua minggu lagi, tepatnya di hari Sabtu. Aku disuruh buat ngajarin kamu. Kamu bisa gak belajar bareng tiap jam 1 sanpe jam 5 sore?” Aku mengangguk setuju. Tak lama Reza pun pulang. “Rumah Reza dimana Nit?” “Beda 5 rumah sama kita, Kak.” Ucapku sambil mencicipi masakan Kak Tari. “Oh”. “Kak enak ya kalau jadi keluarga Reza. Keluarganya kaya. Anaknya pintar selalu meraih juara umum sampai bebas biaya.” “Makanya jangan juara 3 melulu. Bosen.” Ejek Kak Tara. “Aku pakai prinsip bersyukur Kak.” Kami tertawa. — Siang ini agak berbeda. Rasanya ada semangat dalam jiwa untuk belajar. Tok tok tok “Nit, Reza tuh.” “Ya Kak.” “Nita, ini soal-soalnya.” Hatiku mulai tak enak kurasa itu 50 lembar soal. “Ini ada 50 lembar soal” sudah kuduga. “Tiap sepuluh lembar menjadi satu paket soal 99 soal pilihan berganda dan 1 soal essay. Silahkan kerjakan.” Ucapnya tenang. Aku ternganga. Bisa gila.

Satu per satu soal aku kerjakan. Di jam jam pertama aku masih bersemangat, lama kelamaan aku lelah. Bayangkan saja 4 jam nonstop. “Reza gak boleh istirahat nih?” “Gak. Nanti. Dikit lagi.” — “Gimana?” Tanya Kak Tari. “kok pucat?” “Lelah” ucapku pasrah. Bagai hidup enggan mati tak mau. “Perfeksionis?” “Perfeksionis Kak.” Ucapku sambil mengacungkan jempol. Buru-buru aku ke kamarku lekas tidur. Setelah kupikir-pikir, Reza emang perfect. Tapi… sifatnya angkuh. Kurasa manusia memang tiada yang sempurna.

Related Documents


More Documents from ""