2006
http://www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125-913X
151. Infeksi pada Kehamilan
2006
http://www.kalbefarma.com/cdk International Standard Serial Number: 0125 – 913X
151. Infeksi pada Kehamilan Daftar isi : 2. 4.
2006
Editorial English Summary
http:// www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125 –913X
Artikel 5. 8. 11. 14.
18. 151. Infeksi pada Kehamilan
ket.: Gambaran sitologik infeksi HPV dari sediaan apus vagina www.altavista.com
21. 24. 29.
Infeksi TORCH pada Ibu Hamil di RSUP Sanglah Denpasar - Kornia Karkata, TGA Suwardewa Pengaruh Infeksi TORCH terhadap Kehamilan - Enny Muchlastriningsih Lama Perawatan dan Komplikasi Kuretasi Segera dan Tunda pada Abortus Infeksiosus - I Ketut Suwiyoga, I Made Agus Supriatmaja Peranan Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini terhadap Insidens Sepsis Neonatorum Dini pada Kehamilan Aterm - Raka Budayasa AAG, Suwiyoga IK, Soetjiningsih Dampak Infeksi Genital terhadap Persalinan Kurang Bulan - Sofie Rifayani Krisnadi Sulbaktam / Ampisilin sebagai Antibiotika Profilaksis pada Seksio Sesarea Elektif di RSIA Rosiva Medan - R. Haryono Roeshadi Sindrom HELLP - John Rambulangi Tes Human Papillomavirus sebagai Skrining Alternatif pada Kanker Serviks - I Ketut Suwiyoga
33. Karakteristik Candida albicans - Conny Riana Tjampakasari 37. Sindrom Nefrotik pada Kehamilan - Zulkhairi, Salli R Nasution 42. Sindrom Antifosfolipid dan Trombosis - William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri 48. Studi Manfaat Daun Katuk (Sauropus androgynus) - Sriana Azis, S.R. Muktiningsih 51. Dinamika Pelacuran di Wilayah Jakarta dan Surabaya dan Faktor Sosio Demografi yang Melatarbelakanginya - Kasnodihardjo, Rachmalina S Prasojo, Helper S P Manalu 55. Perkembangan Terbaru Pengobatan Flu Burung - Tjandra Yoga Aditama 58. Latihan Beban Meningkatkan Kualitas Hidup Menghadapi Penuaan Phaidon Lumban Toruan 60. 61. 62. 63. 64.
Produk Baru Kegiatan Ilmiah Kapsul Abstrak RPPIK
EDITORIAL Sampai saat ini kesakitan dan kematian ibu dan anak masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia; hal ini tentu terkait tidak hanya dengan masalah kesehatan saja, tetapi juga dengan masalah - masalah sosial lainnya. Cermin Dunia Kedokteran edisi ini menerbitkan artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah atau komplikasi yang dapat ditemukan pada masa kehamilan, terutama masalah infeksi yang secara teoritis seharusnya dapat dicegah. Selain itu beberapa artikel membahas masalah ginekologi yang juga bisa mempengaruhi kesehatan perempuan. Beberapa artikel lain ikut melengkapi edisi ini, di antaranya artikel baru mengenai flu burung yang kami sertakan di sini agar Sejawat dapat tetap menerima informasi yang aktual, Selamat membaca
Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
2006
International Standard Serial Number: 0125 - 913X KETUA PENGARAH
REDAKSI KEHORMATAN
Prof. Dr. Oen L.H. MSc
PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan
KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.
PELAKSANA
- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Guru Besar Purnabakti Infeksi Tropik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
- Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt. Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta
- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi MScD, PhD.
E. Nurtirtayasa
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
TATA USAHA Dodi Sumarna
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
INFORMASI/DATABASE Ronald T. Gultom
ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail :
[email protected] http: //www.kalbefarma.com/cdk
NOMOR IJIN DEWAN REDAKSI
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk.
- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D
- Prof. Dr. Sjahbanar Zahir MSc.
Soebianto
PENCETAK PT. Temprint
http://www.kalbefarma.com/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan
pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail :
[email protected] Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.
English Summary positve in 73% and IgM antibody in 1%. For Cytomegalovirus infection, IgG antibody was positive in 95% but no positive IgM antibody. For HSV II infection, positive IgG antibody in 56% and IgM antibody in 21%. Congenital anomaly was found in 2% of samples; 15% had abortions and 8% with foetal death in utero. None of the mothers belonged to low socio-economic group; 74% had some contact with cats, directly or indirectly,in their house. Only 22% used to consume raw vegetables and very few (1%) consumed raw or undercooked meat. No significant correlation found between the incidence and socio-behavioral factor.
TORCH INFECTIONS IN PREGNANT WOMEN AT SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR Kornia Karkata, TGA Suwardewa Dept. of Obstetrics and Gynecology,Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar, Bali, Indonesia A prospective study was done to evaluate the incidence of TORCH infections among women under 20 weeks of pregnancy, who visit prenatal clinic at Sanglah General Hospital, Denpasar. From one hundred random samples taken between March and July 1997, the mothers’ age ranged from 18 40 years (average 27.7 years), mothers with first pregnancy 32% ; with second pregnancy 47% ; with third pregnancy 18% and with fourth pregnancy 3%. All mothers (100%) had experienced at least one of the TORCH infections, but all were symptomless. For Toxoplasma infection we found IgG antibody in 21% and IgM antibody in 5%. For Rubella infection, IgG antibody was
Cermin Dunia Kedokt.2006;151:5 -7 kka, tga
HELLP SYNDROME John Rambulangi Dept. of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine Hasanuddin University, Makassar, Indonesia. HELLP syndrome is a disease characterized by hemolysis, elevated liver enzymes and low platelets found in pregnancy. The pathology involved was microvascular endothelial damage and intravascular thrombolytic activation causing thrombocyte aggregation. Clinically there are two types of classifications, one is according to clinical symptoms and the other is according to platelet count. The management consist of anticonvulsant use, blood pressure lowering and evaluation of fetal wellbeing in ICU setting; termination of pregnancy can also be considered. Cermin Dunia Kedokt.2006;151:24-8 brw
Redaksi Cermin Dunia Kedokteran turut berduka cita atas meninggalnya Prof. dr. Boedhi Darmojo SpPD di Semarang pada hari Selasa, 17 Januari 2006. Beliau adalah juga salah seorang redaktur kehormatan majalah ini; atas bantuan dan kerja sama beliau selama ini kami ucapkan banyak terima kasih
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Artikel HASIL PENELITIAN
Infeksi TORCH pada Ibu Hamil di RSUP Sanglah Denpasar Kornia Karkata, TGA Suwardewa Lab/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK Telah dilakukan pemeriksaan serologis TORCH dengan metode Enzyme Immuno Assay pada ibu hamil dengan usia kehamilan di bawah 20 minggu, yang datang untuk perawatan antenatal di Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar. Dari 100 sampel yang diambil secara acak pada bulan Maret s/d Juli 1997 umur ibu termuda 18 tahun dan tertua 40 tahun dengan rata rata 27.07 tahun. Ibu yang hamil pertama 32 orang (32%), kehamilan kedua 47 orang (47%), kehamilan ke tiga 18 orang (18%) dan sisanya kehamilan ke empat 3 orang (3%). Seluruhnya (100%) pernah mengalami infeksi salah satu unsur TORCH dan seluruhnya (100%) tanpa gejala. Untuk toxoplasma IgG positif 21% dan IgM positif 5%. Untuk rubella IgG positif 73% dan IgM positif 1%.Untuk cytomegalovirus IgG positif 95% dan tak ada IgM positif. Untuk HSV II IgG positif 56% dan IgM positif 21%. Didapatkan 2% ibu pernah melahirkan anak cacat, 15% pernah mengalami abortus dan 8% pernah mengalami anak mati dalam kandungan. Seluruh ibu hamil tidak termasuk kategori kelompok ekonomi lemah dan 75% mengaku berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kucing, 22% mengaku suka makan sayur mentah dan sangat sedikit (1%) yang suka makan daging mentah atau setengah matang. Data ini menunjukkan perlunya perhatian lebih serius pada infeksi TORCH tanpa gejala pada ibu hamil. Pada penelitian ini belum dapat ditarik kesimpulan tentang hubungan TORCH dengan faktor perilaku sosial. Kata kunci : kehamilan; infeksi TORCH
PENDAHULUAN Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes Simplex) sudah lama dikenal dan sering dikaitkan dengan hal-hal di atas.(1,2) Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi
agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat infeksi berlangsung. Infeksi Toxoplasma pada trimester pertama kehamilan dapat mengenai 17% janin dengan akibat abortus, cacat bawaan dan kematian janin dalam kandungan, risiko gangguan perkembangan susunan saraf, serta retardasi mental.(1-4) Infeksi saat kehamilan trimester berikutnya bisa menyebabkan hidrosefalus dan retinitis.(5) Infeksi rubella erat kaitannya dengan kejadian pertumbuhan bayi terhambat, patent ductus Botalli, stenosis pulmonalis, katarak, retinopati, mikrophthalmi,
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
5
tuli dan retardasi mental.(6) Infeksi cytomegalovirus dapat menimbulkan sindrom berat badan lahir rendah, kepala kecil, pengapuran intrakranial, khorioretinitis dan retardasi mental, hepatosplenomegali dan ikterus.(7,8) Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui adanya infeksi ini pada ibu hamil. Diagnosis infeksi TORCH dapat dilakukan dengan berbagai cara: pemeriksaan cairan amnion, menemukan kista di plasenta, isolasi dan inokulasi, polymerase-chain reaction sampai kultur jaringan.(2,8-13) Cara yang lazim dan mudah adalah pemerikasaan serologis. Infeksi TORCH sering subklinis dan diagnosisnya hanya dapat dilakukan secara serologis mengukur kadar antibodi IgM dan IgG. Adanya IgM menyatakan bahwa infeksi masih baru atau masih aktif sedangkan adanya IgG menyatakan bahwa ibu hamil sudah mempunyai kekebalan terhadap infeksi tersebut.(1,2,8,12) Sampai saat penelitian ini dibuat belum ada data prevalensi infeksi TORCH pada ibu-ibu hamil di Indonesia. Sampai saat ini di RSU Sanglah pemeriksaan TORCH pada ibu hamil belum dilakukan secara rutin karena biayanya relatif mahal. TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui prevalensi infeksi TORCH pada ibu hamil di RSUP Sanglah Denpasar. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan secara potong lintang atas ibu-ibu hamil yang datang kontrol ke Poliklinik Hamil RSUP Sanglah pada bulan Maret sampai dengan Juli 1997. Penderita diambil secara consecutive sampling, mencari 100 ibu hamil pertama yang datang secara berurutan yang memenuhi kriteria : - sedang hamil dengan umur kehamilan 20 minggu atau di bawahnya - setelah mendapat penjelasan tertulis bersedia ikut dalam penelitian. Ibu hamil yang terpilih diwawancarai untuk pengisian data dan setelah pemeriksaan prenatal rutin, diambil darahnya sebanyak 10ml. Sampel darah beku selanjutnya di sentrifuse dan dipisahkan serumnya. Pemeriksaan toxoplasma dilakukan di Prodia Denpasar sedangkan sisanya dikirim ke Prodia Kramat di Jakarta. Bahan serum diperiksa dengan metoda Enzyme Immuno Assay memakai reagen Roche/Zeus dengan alat Cobas Core/Reader 210. Dicari antibodi IgM dan IgG untuk semua unsur TORCH. Data deskriptif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL DAN DISKUSI Dari 100 ibu hamil terpilih yang menjalani pemeriksaan darah dan mengisi kuesioner didapatkan hal-hal sebagai berikut: Umur ibu hamil termuda adalah 18 tahun, tertua 40 tahun dengan rata rata 27.07 tahun. Yang hamil pertama 32%, hamil ke dua 47%, hamil ke tiga 18% dan 3% merupakan kehamilan yang ke empat. Ternyata tak satupun di antara 100 ibu hamil yang diperiksa bebas dari salah satu infeksi TORCH meskipun tidak ada yang menunjukkan gejala klinis infeksi. Ibu hamil yang pernah mengalami infeksi CMV sangat tinggi
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
(95%) dan infeksi terendah oleh Toxoplasma (21%). Sebagian infeksi itu masih aktif yang ditunjukkan oleh IgM yang masih positif. Soesbandoro di RSU Mataram(14) menemukan IgG Toxoplasma positif pada 38.3% dari 225 ibu hamil yang diperiksanya. Lazuardi di RS Dr Sutomo Surabaya(15) menemukan hasil IgG positif 52% untuk Toxoplasma, 73% untuk Rubella, 99% untuk CMV dan hanya 17% untuk HSV II. Kebanyakan (87%) peserta penelitian ini dalam kelompok umur reproduksi sehat (20-35 tahun), sisanya 4% di bawah 20 tahun dan 9% berumur 35 tahun lebih. Penyebaran infeksi TORCH terjadi di semua kelompok umur meskipun tidak diketahui usia saat infeksi itu mulai terjadi. Yang jelas masih ditemukan 5 kasus infeksi Toxoplasma, 1 kasus infeksi Rubella dan 21 kasus infeksi HSV-II yang masih aktif. Tabel 1 . Distribusi hasil serologi TORCH pada 100 ibu hamil Jenis Infeksi
IgG (%)
IgM (%)
21 73 95 56
5 1 0 21
Toxoplasma Rubella CMV HSV II
Catatan : terdapat 9 pemeriksaan yang hasilnya “gray zone” ( 4 IgG Toxoplasma,,2 IgM Toxoplasma, 2 IgG Rubella , 1 IgG CMV), dan dicatat sebagai hasil negatif karena tidak ada pemeriksaan ulang. Tabel 2. Hubungan kelompok umur dan frekuensi TORCH Toxoplasma Usia
n
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 Total
4 25 39 23 8 1 100
Rubella
CMV
HSV II
IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
IgM
1 7 10 3 0 0 21
1 1 3 0 0 0 5
4 17 32 14 5 1 73
0 1 0 0 0 0 1
4 24 36 23 7 1 95
0 0 0 0 0 0 0
2 13 21 14 5 1 56
1 8 8 4 0 0 21
Catatan : hasil lab grayzone pada 9 kasus dinyatakan negatif. Tabel 3. Kejadian kehamilan dulu dan frekuensi TORCH Toxoplasma
Rubella
CMV
HSV II
Paritas
n IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
Primigravida
32
9
3
23
1
31
0
14
8
Eks abortus
15
2
0
13
0
14
0
12
3
IgM
Eks cacat
2
0
0
2
0
2
0
0
1
IUFD
8
2
0
4
0
7
0
3
2
Normal
63
7
1
44
0
59
0
38
17
Primigravida
32
9
3
23
1
31
0
14
8
Hubungan infeksi TORCH dengan keluaran kehamilan tidak dapat dianalisis (Tabel 3). Baik yang mempunyai riwayat persalinan bayi normal dan yang mengalami abortus,bayi lahir cacat dan kejadian bayi mati dalam kandungan secara tersebar pernah mengalami salah satu atau lebih infeksi TORCH. Analisis makin sulit karena pengaruh terhadap akhir kehamilan adalah multifaktorial. Soesbandoro(14) menemukan
IgG Toxoplasma didapatkan lebih banyak pada ibu yang mengalami abortus, lahir mati dan cacat bawaan meskipun perbedaannya tidak bermakna. FAKTOR RISIKO INFEKSI TORCH Berdasarkan kepustakaan, risiko infeksi Toxoplasma akan meningkat pada mereka yang higiene/sanitasinya jelek terutama keadaan rumah, penghasilan keluarga, kontak dengan kucing, dan cara menyiapkan makanan sehari-hari. Adi Priyana(16) menemukan adanya IgG Toxoplasma positif pada 52.5% dari 80 ekor ayam kampung yang ditelitinya. Pada penelitian ini 100% ibu hamil yang diperiksa bukan golongan ekonomi lemah, 75% berhubungan langsung atau tak langsung dengan kucing, 22% suka sayur mentah dan hanya 1% suka makan daging mentah atau setengah matang. Tidak dapat diambil kesimpulan yang dapat menerangkan hubungan sanitasi dengan kejadian infeksi TORCH. KESIMPULAN 1. Dari 100 ibu hamil yang diteliti, tak satupun terbebas dari salah satu infeksi TORCH. 2. Besaran infeksi TORCH pada ibu hamil: 95% oleh Cytomegalovirus, 73% oleh Rubella, 56% oleh HSV II dan 21% oleh Toxoplasma. 3. Infeksi masih aktif didapatkan : 21% oleh HSV II, 5% oleh Toxoplasma, 1% oleh Rubella
5. Daffos F, Forestier F, Capella Pavlovky M, Thulliez P, Aifrant C, Valenti D, Cox WL. Prenatal management of 746 pregnancies at risk for congenital toxoplasmosis. N Engl J Med 1988; 318 (5) : 271-5. 6. Suzumori K, Iida,T, Adachi R, Okada S, Yagami Y. Prenatal diagnosis of rubella infection by fetal blood sampling. Asia-Oceania J.Obstet.Gynaecol. 1991;17(2): 113-7 7. LamyME, Mulongo KN, Gadisseux JF. et al. Prenatal diagnosis of fetal cytomegalovirus infection. Am.J.Obstet.Gynecol.1992;166 No.1(Part 1):. 91-4. 8. Hohlfeld P, Vial Y, Maillard-Brignon C, Vaudaux B, Fawer CL. Cytomegalovirus fetal infection: Prenatal Diagnosis. Obstet Gynecol 1991; 78 : 615 ,. 9. Hohlfeld P, Daffos F, Costa JM, Thulliez P, Forestier F, Vidaud M. Prenatal diagnosis of congenital toxoplasmosis with a polymerase chainchain reaction test on amniotic fluid. N Engl J Med 1994; 331:695 10. Lisawati S, Srisasi G, Taniawati S. Berbagai aspek diagnosis toksoplasmosis dengan menggunakan polymerase chain reaction. Maj Kedokt Indon 1998;:48(7):270-5. 11. Gumilar E. Toksoplasmosis kongenital : kontribusi kultur inokulasi cairan ketuban dalam diagnostik prenatal. MOGI Supl. Juli 1999:25. 12. Srisasi Gandahusada.Diagnosis prenatal toksoplasmosis kongenital dan pencegahannya. Maj Kedokt Indon 1999;49(1):15-8. 13. Srisasi Gandahusada. Diagnosis laboratoris toxoplasma. Maj Kedokt Indon 1999;:49 (6 ). 14. Soesbandoro SDA, Soewignyo S, Gerudug E et al. Infeksi toksoplasma pada ibu ibu hamil di RSU Mataram. MOGI , Supp. I , Juli 1996 , 15. 15. Lazuardi T, Joewono HT, Abadi A. Gambaran serologi IgM dan IgG anti TORCH pada ibu hamil <20 minggu dan bayinya. MOGI Suppl. Juli 1999: 35. 16. Priyana A. Antibodi anti Toxoplasma pada ayam kampung (Gallus domesticus) di Jakarta. Maj Kedokt Indon 2000; (11): 504-7.
KEPUSTAKAAN 1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD (eds). Williams Obstetrics. Ch. 56: Infections.: 1461-80. 2. Chandra G. Toxoplasma gondii: Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Medika 2001; XXVII(5 ): 297-304. 3. Chiodo-F, Venucchi-G, Mori-F, Attard-L, Ricchi-E. Infective diseases during pregnancy and their teratogenic effects. Ann-Ist-Super-Sanita. 1993;29(1):57-67 4. Isada NB, Paar DP, Gossman JH, Staus SE. Torch infections diagnosis in the molecular age. J.Reprod.Med. 1992;37(6):499-507.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih pada PERINASIA Pusat yang telah memberi kesempatan ikut dalam penelitian multi-senter ini dan khusus kepada Laboratorium Klinik PRODIA Denpasar, diucapkan terima kasih atas bantuan pemeriksaan serologis dan kerjasamanya.
Every age has its pleasures, its style of wit, and its peculiar manners (Boileau)
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
7
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pengaruh Infeksi TORCH terhadap Kehamilan Enny Muchlastriningsih Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Ibu hamil termasuk dalam kelompok rentan kesehatan selain bayi, balita, ibu bersalin, dan ibu menyusui sehingga pemerintah mengupayakan pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau oleh mereka. Pelayanan antenatal (prapersalinan) terhadap ibu hamil meliputi pengukuran tekanan darah, penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, pemberian imunisasi Toxoid tetanus (TT), pemberian tablet besi (Fe), dan pengukuran fundus uteri. Pelayanan ini diharapkan minimal diterima ibu hamil sebanyak 4 kali yaitu sekali pada triwulan pertama dan ke dua serta dua kali pada triwulan ke tiga. Upaya ini belum sepenuhnya berhasil; secara nasional pelayanan kunjungan baru ibu hamil mencakup 92,72% dan kunjungan ibu hamil minimal 4 kali 75.66%. Imunisasi TT sebanyak 2 kali selama kehamilan (TT1 dan TT2) tetapi cakupan TT1 baru 85,1% sedangkan TT2 lebih rendah lagi yaitu 78,1%. Pemberian tablet besi kepada ibu hamil ada 2 paket yaitu paket Fe1-30 tablet (1 bungkus) dan paket Fe3-90 tablet (3 bungkus), dan cakupannya untuk Fe1 sebesar 77,07% sedangkan Fe3 sebesar 63,45%. Selain itu ibu hamil juga rentan terhadap serangan infeksi baik infeksi intra uterin maupun perinatal. PENYAKIT TORCH Penyakit TORCH ialah penyakit-penyakit intrauterin atau yang didapat pada masa perinatal; merupakan singkatan dari T = Toksoplasmosis O = other yaitu penyakit lain misalnya sifilis, HIV-1dan 2, dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat ( Acquired Immune Deficiency Syndrome/AIDS),dan sebagainya; R = Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes simpleks. Berikut ini akan dibahas penyakit-penyakit tersebut. Toksoplasmosis Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii dan biasa menyerang binatang menyusui, burung, dan manusia. Pola transmisinya ia-
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
lah transplasenta pada wanita hamil, mempunyai masa inkubasi 10-23 hari bila penularan melalui makanan (daging yang dimasak kurang matang) dan 5-20 hari bila penularannya melalui kucing. Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester pertama akan menyebabkan 20% janin terinfeksi toksoplasma atau kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi pada trimester ke tiga 65% janin akan terinfeksi. Infeksi ini dapat berlangsung selama kehamilan. Manifestasi klinis yang mungkin terjadi ialah: hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis, mikrosefali, hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial, miokarditis, lesi tulang, pnemonia, dan rash makulopapular Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara: memasak daging sampai matang, menggunakan sarung tangan baik saat memberi makan maupun membersihkan kotoran kucing, dan menjaga agar tempat bermain anak tidak tercemar kotoran kucing. Sifilis Penyakit ini disebabkan infeksi Treponema pallidum; dapat akut maupun kronis yang mempunyai gambaran khas yaitu lesi, erupsi kulit dan mukosa; jangka panjang dapat mengakibatkan lesi tulang, sistem pencernaan, sistem saraf pusat, dan sistem kardiovaskuler. Penularan biasanya terjadi karena adanya kontak dengan eksudat infeksius yang berasal dari kulit, membran mukosa, cairan dan sekret tubuh (darah, ludah, cairan vagina). Penyakit ini dapat ditularkan melalui plasenta sepanjang masa kehamilan; biasanya respon janin yang hebat akan terjadi setelah pertengahan kedua kehamilan dengan manifestasi klinik hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis, dan lesi tulang. Infeksi yang didapat di akhir kehamilan biasanya tidak menyebabkan gejala pada bayi baru lahir, baru setelah beberapa minggu/bulan kemudian akan ditemukan gejala-gejala: snuffles (kotoran hidung mukopurulen), ruam makuler besar berwarna tembaga, lesi (plak) sekitar mulut dan anus, hepatosplenomegali, radang periosteum, Hutchinson’s teeth, saddle nose, saber shins, dan
lainnya. Infeksi penyakit ini juga dapat menyebabkan bayi berat badan lahir rendah, atau bahkan kematian janin. Tabel 1 memperlihatkan jumlah penderita sifilis di masyarakat yang berobat di puskesmas; meskipun tahun 2002 terlihat menurun tetapi dapat disebabkan karena sedikitnya laporan yang masuk. Penderita ada di semua golongan umur terutama di golongan usia produktif. Adanya kasus bayi sangat menyedihkan dan jumlahnyapun cukup banyak; untuk itu diperlukan tindakan yang sungguh-sungguh agar penyakit ini tidak menjadi kronis. Pencegahan antara lain dengan cara: promosi kesehatan tentang penyakit menular seksual, mengontrol prostitusi bekerja sama dengan lembaga sosial, memperbanyak pelayanan diagnosis dini dan pengobatannya, untuk penderita yang dirawat dilakukan isolasi terutama terhadap sekresi dan eksresi penderita. Tabel 1:
Umur < 1 th 1-4 th 5-14 th 15-44 th > 45 th Jumlah
Jumlah penderita sifilis di Indonesia berdasarkan umur, 20002002
RJ 5 13 22 393 52 485
Tahun 2000 RI PS 9 18 3 454 11 2396 62 7897 186 3335 271 14100
RJ 4 7 16 62 18 107
Tahun 2001 RI PS 23 3 4 15 8 5922 27 1004 11 4332 73 11276
Tahun 2002 RJ RI PS 62 2 24 159 1 27 341 1 101 961 0 896 470 0 538 1993 4 1586
Keterangan: • Data dasar diambil dari Buku Data Tahun 2000-2002, Ditjen PPM&PL, Depkes RI, tahun 2003. • RJ= penderita rawat jalan, RI= penderita rawat inap, PS= penderita di puskesmas
HIV dan AIDS Penyakit ini terjadi karena infeksi retrovirus. Pada awalnya infeksi ini menunjukkan gejala yang tidak spesifik, misalnya limfadenopati, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, dan sebagainya. Komplikasi penyakit ini antara lain ialah Pneumocystis carinii pneumonia, chronic enteric cryptosporidiosis, disseminated strongyloidiasis, dan sebagainya. Penularan terjadi karena kontak seksual antar manusia dengan masa inkubasi antara 6 bulan hingga 5 tahun; jika lewat transfusi darah masa inkubasinya rata-rata 2 tahun. Pada janin penularan terjadi secara transplasenta, tetapi dapat juga akibat pemaparan darah dan sekret serviks selama persalinan. Kebanyakan bayi terinfeksi HIV belum menunjukkan gejala pada saat lahir, sebagian anak akan menunjukkan gejala pada umur 12 bulan pertama dan sebagian lainnya pada umur yang lebih tua. Gejala yang akan terlihat antara lain: gejala non spesifik, penyakit neurologis progresif (ensefalopati dengan gejala kelambatan perkembangan atau kemunduran fungsi motorik, kemampuan intelektual,atau perilaku), pneumonitis interstisial limfoid, infeksi sekunder (infeksi oportunis yaitu Pneumocystis carinii pneumonia, chronic enteric cryptosporidiosis, disseminated strongyloidiasis, dan dapat terjadi infeksi bakteri misalnya meningitis, infeksi lainnya misalnya varisela primer yang mengakibatkan infeksi menyeluruh pada hati, paru, sistem koagulasi, dan otak), kanker sekunder.
Pencegahan antara lain dengan cara: menghindari kontak seksual dengan banyak pasangan terutama hubungan seks anal, skrining donor darah lebih ketat, dan pengolahan darah dan produknya dengan lebih hati-hati. Rubella (German measles) Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena adanya kontak dengan sekret orang yang terinfeksi; pada wanita hamil penularan ke janin secara intrauterin. Masa inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode prodromal dapat tanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa lemah, demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Penyakit ini agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin bila didapat saat kehamilan pertengahan pertama, makin awal (trimester pertama) ibu hamil terinfeksi rubela makin serius akibatnya pada bayi yaitu kematian janin intrauterin, abortus spontan, atau malformasi kongenital pada sebagian besar organ tubuh (kelainan bawaan): katarak, lesi jantung, hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningo-ensefalitis, khorioretinitis, hidrosefalus, miokarditis, dan lesi tulang. Sedangkan infeksi setelah masa itu dapat menimbulkan gejala subklinik misalnya khorioretinitis bertahun-tahun setelah bayi lahir. Pencegahan antara lain dengan cara isolasi penderita guna mencegah penularan, pemberian vaksin rubela, dan semua kasus rubela harus dilaporkan ke institusi yang berwenang. Sitomegalovirus ( Cytomegalovirus=CMV) Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus, subfamili betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya lewat paparan jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh yang terinfeksi (urine, ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu. Pada kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin. Pada bayi, infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat. Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat; sebagian besar wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan tidak mengakibatkan gejala yang berarti. Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai berikut: hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi psikomotor maupun kehilangan pendengaran. Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan terutama sesudah buang air besar, menghindari transfusi darah pada bayi dari ibu seronegatif dengan darah yang berasal dari donor seropositif, dan menghindari transplantasi organ tubuh dari donor seropositif ke resipien seronegatif.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
9
Herpes simpleks ( Herpervirus hominis) Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus (HSV); ada 2 tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2. Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan hanya terjadi pada bayi karena adanya kontak dengan lesi genital yang infektif; sedangkan HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular lewat hubungan seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara imunologi. Masa inkubasi antara 2 hingga 12 hari. Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada kulit dan membran mukosa juga pada mata. Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat persalinan lama sehingga virus ini mempunyai kesempatan naik melalui membran yang robek untuk menginfeksi janin. Gejala pada bayi biasanya mulai timbul pada minggu pertama kehidupan tetapi kadang-kadang baru pada minggu ke dua-tiga. Manifestasi kliniknya: hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis, mikrosefali, dan miokarditis. Pencegahan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan perseorangan dan pendidikan kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius, menggunakan kondom dalam aktifitas seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani lesi infeksius.
KESIMPULAN Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa perinatal yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian sehingga diperlukan tindakan pencegahan baik yang dapat dilakukan oleh wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah sehingga diharapkan didapat generasi penerus yang bermutu KEPUSTAKAAN 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
8.
Benenson AS (ed). Control of Communicable Disease in Man. 14th ed. The American Public Health Association. Washington DC 20005. 1985. Berge TO. International Catalogue of Arboviruses including Certain Other Viruses of Vertebrates. 2nd ed. US Departement of Health, Education, and Welfare. Public Health Service. Center for Disease Control. Rubella vaccination during pregnancyUnited States, 1971-1988.MMWR 38:289, 1989. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Ditjen PPM-PLP. Buku Data Tahun 2000-2002. 2003. Editorial. TORCH syndrome and TORCH screening. Lancet 1990;.335:1559, Shulman ST, Phair JP, Sommers HM. Dasar Biologis & Klinis Penyakit Infeksi. Wahab AS (terj.). Sutaryo (ed.). Edisi keempat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 1992. Horsfall FL, Tamm, I. Viral and Rickettsial Infections of Man. 4th ed. Igaku Shoin Ltd, Japan.First printing (Asian ed.) 1966.
A Good friend is worth more than a hundred relations
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
HASIL PENELITIAN
Lama Perawatan dan Komplikasi Kuretasi Segera dan Tunda pada Abortus Infeksiosus I Ketut Suwiyoga, I Made Agus Supriatmaja Sub-divisi Obstetri Sosial, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK Tujuan: Mengetahui perbedaan lama perawatan dan komplikasi antara kuretesi segera dengan kuretasi tunda pada abortus infeksiosus. Bahan dan Cara: Penelitian single blind randomized clinical trial dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar selama tahun 2002. Sampel adalah pasien abortus infeksiosus klinik yang. diberi antibiotika dan bersedia menjadi subjek penelitian, dipilih secara consecutive. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu menjalani kuretasi segera atau 24 jam/bebas panas setelah pemberian antibiotika standar penanganan di RS Sanglah Denpasar. Besar sampel dihitung dengan rumus Pocock dan data penelitian diolah dengan SPSS-10 for Windows. Dilakukan test homogenitas dengan Levent T test pada variabel besar uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar hemoglobin. Uji perbedaan waktu kuretasi memakai uji T dilanjutkan dengan KolmogorovSmirnov Z, dan komplikasi dengan test Chi square. Hasil: Sejumlah 64 consecutive samples dibagi dua yaitu 32 pasien kelompok perlakuan dengan kuretasi segera dan 32 pasien kelompok kontrol dengan kuretasi tunda. Variabel besar uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar hemoglobin adalah homogen (p > 0,05). Diperoleh rerata lama perawatan pada kuretasi segera dan tunda masing-masing adalah 59,97 jam/2,89 hari dan 72,29 jam/3,43 hari. Kejadian komplikasi perdarahan dan perforasi uterus pada kedua kelompok berbeda tidak bermakna (X2= 3,65; p > 0,05) pada penanganan abortus infeksiosus. Simpulan dan Saran: Pada kasus abortus infeksiosus, lama perawatan pada kuretasi segera lebih pendek dibandingkan dengan lama perawatan kuretasi tunda (p < 0,05) dan komplikasinya tidak berbeda di antara kedua kelompok. Pada kasus abortus infeksiosus dapat dilakukan kuretasi segera setelah pemberian antibiotika. Kata kunci; kuretasi segera, kuretasi tunda, abortus infeksiosus.
PENDAHULUAN Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai infeksi organ ginekologi; merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Di Indonesia, abortus infeksiosus biasanya berawal terutama dari aborsi pada kehamilan tidak dinginkan; persentasenya satu di antara sepuluh abortus dengan risiko kematian 57-59/100.000 kelahiran hidup; sebagian besar aborsi dilakukan oleh tenaga tidak terlatih. Jadi, kontribusi unsafe abortion terhadap kematian ibu adalah 10-20%. Kejadian
abortus infeksiosus di RS Sanglah Denpasar 7,59% dari seluruh kasus abortus dan angka kematian ibunya 18/100.000 kelahiran hidup.(1,2) Penanganan abortus infeksiosus masih kontroversial terutama masalah pemberian antibiotik.(3,4) Ada yang menyatakan kuretasi dilakukan setelah 24 jam pemberian antibitioka masif karena payung perlindungan dianggap memadai. Sedangkan pendapat lain, kuretasi segera pasca pemberian antibiotika untuk menghilangkan sumber infeksi.(5,6) Jangka waktu kuretasi segera ini bervariasi; di RS
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 11
Dr Soetomo adalah 3-6 jam, di RS Cipto Mangunkusumo adalah 6 jam pasca pemberian antibotika. Beberapa klinik melakukan kuretasi 24-48 jam pasca pemberian antibiotika, 3 hari bebas panas/7 hari pasca antibiotika jika demam tidak turun.(1,3,4) Kuretasi segera lebih rasional daripada kuretasi tunda sehubungan dengan pengeluaran jaringan nekrotik intra uterus, evakuasi mikroba, mengurangi sumber inflamasi, dan komplikasi lainnya.(5-7) Hal ini juga mempengaruhi lama perawatan yang selanjutnya berakibat pada efisiensi dan efektivitas serta keselamatan pasien.(8) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama perawatan dan komplikasi antara kuretasi segera dan tunda pada abortus infeksiosus. Hasilnya diharapkan dapat dipakai sebagai masukan untuk pengelolaan abortus infeksiosus dalam upaya mencapai valid clinical conclusion. BAHAN DAN CARA Penelitian single blind randomized clinical trial dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar. Sampel adalah pasien abortus infeksiosus yang dirawat dan menyetujui penelitian ini (informed consent) dan ditentukan secara consecutive. Kelompok perlakuan adalah kuretasi segera dan kontrol adalah kuretasi tunda seperti tatalaksana yang sedang berlaku di RS Sanglah Denpasar. Dilakukan matching faktor risiko besar uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar hemoglobin. Sampel dengan penyakit kronis lain dikeluarkan dari penelitian. Besar sampel dihitung dengan rumus Pocock untuk kuantitatif yaitu:
n= 2δ2 x f (αβ)/(µ1-µ2)2 Keterangan: n = jumlah sampel. µ1= rerata kelompok perlakuan. µ2= rerata kelompok kontrol. δ=perbedaan rerata antara µ1µ2. f(αβ) dapat dilihat pada tabel.
Didapatkan, besar sampel untuk masing-masing kelompok adalah 31,6 dibulatkan 32. Lama perawatan dihitung dalam satuan jam/hari dan komplikasi adalah perdarahan profus/masif saat kuretasi dan perforasi uterus. Pasien dinyatakan sembuh sesuai dengan indikasi boleh pulang oleh dokter yang merawat yaitu keluhan dan hasil laboratorium darah. Data dicatat pada lembar penelitian, diolah dengan SPSS 10 for Windows. Dilakukan uji T untuk lama perawatan dan uji X2 untuk jenis komplikasi. Hasil uji analisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Definisi operasional variabel 1. Abortus infeksiosus adalah abortus dengan tanda-tanda infeksi organ genitalis. 2. Kuretasi segera adalah kuretasi segera setelah pemberian antibiotika standar. 3. Kuretasi tunda adalah kuretasi setelah bebas panas pasca pemberian antibiotika standar. 4. Lama perawatan adalah waktu dalam jam yang diperlukan sampai pasien boleh pulang. Pasien dipulangkan apabila
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
keadaan umum baik, demam dan nyeri perut berkuranghilang, jumlah lekosit, laju endap darah, dan trombosit darah tepi dalam batas normal. 5. Besar uterus adalah tinggi fundus uteri saat pasien tiba di RS Sanglah, setelah kandung kencing dikosongkan. 6. Perdarahan adalah perdarahan lebih dari 500 ml selama 30 menit berturut-turut selama kuretasi atau perdarahan merembes aktif. 7. Perforasi adalah terjadinya perlukaan menembus seluruh lapisan dinding uterus oleh sendok kuret. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejumlah 64 pasien abortus infeksiosus sebagai sampel yang dipilih secara consecutive, dibagi menjadi dua kelompok yaitu 32 sebagai kelompok kasus kuretasi segera dan 32 sebagai kelompok kontrol kuretasi tunda sesuai protap Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar. Dilakukan uji homogenitas variabel besar uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar hemoglobin. Didapatkan bahwa ke empat faktor tersebut berbeda tidak bermakna antara ke dua kelompok (p > 0,05) (Tabel 1). Tabel 1. Hasil uji Levent T test untuk besar uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar hemoglobin kedua kelompok.
Besar uterus /kehamilan (minggu) Suhu rektal (0C) Nadi (kali/menit) Hemoglobin (g/dL)
Kuretasi segera Rerata SD 11,46 3,66 38,71 103,71 10,65
0,62 8,50 1,22
Kuretasi tunda Rerata SD 9,86 2,76 38,47 99,46 10,74
0,44 8,00 1,26
p 0,486 0,197 0,115 0,759
Faktor yang mempengaruhi penanganan, komplikasi, dan prognosis yaitu besar uterus, suhu rektal, nadi, dan hemoglobin antara kedua kelompok adalah homogen (p>0,05) untuk semua variabel tersebut. Selanjutnya, perbedaan lama perawatan pada kelompok kuretasi segera dan kuretasi tunda dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji T tentang lama perawatan pada kuretasi segera dan kuretasi tunda Kuretasi segera (n=32) Rerata SD
Kuretasi tunda (n=32) Rerata SD
p
Lama perawatan (jam)
59,97
3,83
72,29
11,52
0,000
Lama perawatan (hari)
2,89
0,40
3,43
0,50
0,007
Hasil uji T menunjukkan p=0,00 (df 68, 95%CI=8,2216,41) dan dengan Kolmogorov-Smirnov Z test diperoleh 1,673 (p=0,007). Jadi, lama perawatan baik dalam jam maupun hari berbeda bermakna (p < 0,05). Berarti pada abortus infeksiosus lama perawatan pada kuretasi segera lebih pendek daripada pada kuretasi tunda. Rerata perbedaannya adalah 12,36 jam. Pada penelitian Agus dan Mayun (1999), lama perawatan abortus infeksiosus yang menjalani kuretasi segera karena perdarahan aktif rata-rata 2,8 hari, sedangkan lama perawatan abortus infeksiosus yang dikuret 6 jam setelah bebas
demam adalah 3,3 hari; dan yang ditunda 12 jam bebas demam adalah 3,6 hari.(3) Adhi dan Hartono juga mendapatkan pada tindakan kuretasi 6 jam pertama lama demam dan lama perawatan lebih pendek.(1) Demam dapat diakibatkan oleh endotoksin yang dihasilkan oleh kuman Gram negatif, reaksi jaringan, reaksi inflamasi/ekspresi IL-1 dan IL-6, trauma sel/jaringan. Sel yang rusak ini mengeluarkan lisosom dan histamin; lisosom dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lebih hebat dan aktivasi sekresi bradikinin. Bradikinin dan histamin dapat mengakibatkan vasodilatasi masif dan meningkatkan permeabilitas kapiler dengan manifestasi klinis berupa demam.(5,9) Tindakan kuretasi segera juga bermanfaat karena dapat mencegah perdarahan lebih banyak dan menghilangkan jaringan nekrotik yang dapat sebagai media biakan mikroorganisme. Dengan demikian, demam akan segera turun, perdarahan dapat dikendalikan.(6,10,11) Perforasi sebagai komplikasi kuretasi pada abortus infeksiosus lebih sering terjadi dibandingkan dengan pada yang bukan abortus infeksiosus. Hal ini disebabkan oleh proses infeksi dan inflamasi yang mengakibatkan kontraksi uterus lemah, dinding uterus tipis, perdarahan lebih banyak. Akan tetapi dengan prinsip kehati-hatian dan dengan memberikan uterotonika selama prosedur kuretasi berlangsung maka komplikasi perforasi dan perdarahan dapat dieliminasi.(5,6) Pada penelitian ini tidak ditemukan komplikasi perforasi. Walaupun didapatkan komplikasi perdarahan lebih masif/aktif selama kuretasi pada abortus infeksiosus, tetapi tidak berbeda bermakna antara kuretasi segera dengan kuretasi tunda (X2= 0,94 p >0,05). Beberapa penelitian melaporkan komplikasi perforasi uterus pada saat kuretasi sekitar 5-7%(5,9) terlebih lagi jika miometriumnya relatif rapuh dan lunak risiko perforasi 2 kali lebih besar dibandingkan dengan kuretasi pada bukan abortus infeksiosus.(3,9) Hal ini dapat dicegah dan dikurangi dengan pemberian uterotonika pre dan durante kuretasi.
KESIMPULAN Pada penelitian randomized clinical trial single blind atas 64 abortus infeksiosus yang dibagi dua yaitu 32 kelompok kasus dan 32 kelompok kontrol, didapatkan: 1. Rerata lama perawatan pada kuretasi segera dan tunda masing-masing adalah 59,97 jam/2,89 hari dan 72,29 jam/3,43 hari. Uji T menunjukkan perbedaan bermakna (p < 0,05). Jadi lama perawatan kasus abortus infeksiosus pada kuretasi segera lebih pendek dibandingkan dengan lama perawatan pada kuretasi tunda. 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal komplikasi perdarahan antara kedua kelompok (X2= 0,94 p > 0,05). 3. Tidak terdapat perforasi uterus pada kedua kelompok.
KEPUSTAKAAN 1.
Adhi P, Hartono HS. Karakteristik abortus infeksiosus. Maj. Obstetr. Ginekol..Indon. 1992; 20: 6-7. 2. Samil RS. Abortus atas indikasi nonmedis. Simposium Etika Profesi dalam Kesehatan Reproduksi, PIT POGI XI Semarang, 1999. 3. Agus S, Mayun M. Abortus infeksiosus di RS Sanglah Denpasar tahun 1996-1998, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah Denpasar, Penelitian Deskriptif, 1999. 4. Max B. Septic Abortion In: Friedmann EA, Acker DB, Sachs BP, Obstetrical Decision Making. 2nd ed. B.C Decker Inc,1998: 44-5. 5. Richard HS. Handbook of Obstetrics 3rd ed. New York, Down State Medical Centre, 1997: 3-6. 6. Saifuddin AB, Adrianz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. Perdarahan pada kehamilan muda. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Ed 2, Jakarta, 2001:145-52. 7. Rosevear S. Bleeding in early pregnancy, In: High risk pregnancy management option. London: WB Saunders Co, 4th ed. 2001:75-83. 8. Kodim N. Abortus: determinan sosial yang bermuara pada dokter. Maj. Obstetr. Ginekol. Indon. 1999; 23:130-4. 9. Cunningham FG, Paul MC, Leveno KJ et al. Abortion. in: William Obstetrics, 20th ed. Connecticut, Appleton and Lange, 2002: 579-601. 10. Mangku G, Wiryana M. Penatalaksanaan syok septik, Lab/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unud/RS Sanglah Denpasar, 1997. 11. Rattu RB. Abortus provokatus kriminalis di RSU Manado. Naskah Lengkap KOGI II Surabaya, 1973.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 13
HASIL PENELITIAN
Peranan Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini terhadap Insidens Sepsis Neonatorum Dini pada Kehamilan Aterm Raka Budayasa AAG, Suwiyoga IK, Soetjiningsih* Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi, * Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK Tujuan : Mengetahui peranan faktor risiko pada ibu dengan KPD tehadap insidens sepsis neonatorum. Subjek dan cara kerja : Penelitian kohort prospektif dengan pembanding interna. Sebanyak 123 subjek secara consecutive ikut serta dalam penelitian dan 113 kasus dianalisis. Setiap bayi akan diamati dalam empat hari pertama untuk timbulnya gejala sepsis neonatorum dini. Pada bayi dengan gejala sepsis dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk diagnosis pasti sepsis neonatorum. Peranan faktor risiko terjadinya sepsis neonatorum (khorioamnionitis klinis, febris, adanya koloni kuman Streptokokus Grup Beta dari apusan vagina bawah, lama ketuban pecah sampai persalinan dan jumlah pemeriksaan vagina) akan dihitung dengan uji kai kuadrat dan semua faktor risiko yang bermakna (p<0,05) akan dimasukkan dalam analisis multivariat untuk menentukan faktor risiko utama terjadinya sepsis neonatorum. Hasil : Dari seluruh kasus insidens sepsis neonatorum dini klinis adalah 4,4% dan insidens sepsis neonatorum dini pasti (definite early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Faktor risiko yang bermakna terhadap insidens sepsis neonatorum adalah : febris : RR 28,28 (IK 95% 3,40235,52), p=0,001, khorioamnionitis klinis : RR 46,22 (IK 95% 5,75-371,02), p=0,001, koloni kuman Streptokokus Grup Beta : RR 13,38 (IK 95% 1,56-114,56), p=0,002, lama ketuban pecah > 18 jam : RR 9,29 (IK 95% 1,08-80,12), p=0,013, lama ketuban pecah > 24 jam: RR 6,18 (IK 95% 1,15-33,09), p=0,02 dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali : RR 9,16 (IK 95% 1,42-59,3), p=0,014. Dari analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang paling berperan terhadap sepsis neonatorum dini adalah khorioamnionitis klinis, febris dan adanya koloni kuman Streptokokus Grup Beta. Kesimpulan : Insidens sepsis neonatorum dini secara klinis adalah 4,4% dan insidens sepsis neonatorum dini pasti (definite early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Pada kasus KPD aterm: khorioamnionitis klinis, febris dan koloni kuman Streptokokus Grup Beta merupakan faktor risiko utama terjadinya sepsis neonatorum. Kata kunci : ketuban pecah dini, sepsis neonatorum, khorioamnionitis klinis, Streptokokus Grup Beta
PENDAHULUAN Angka kematian perinatal di Indonesia masih tinggi dengan penyebab utama prematuritas, asfiksi dan infeksi. Peranan infeksi neonatus masih cukup besar dalam kematian perinatal. 14 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Sepsis neonatorum adalah suatu penyakit berat yang cepat terjadi dan sering tidak terpantau. Angka kematiannya masih cukup tinggi. Diagnosisnya sulit, memakan waktu dan biaya. Kejadian sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan
berkisar antara 1,5% sampai 3,72% dengan angka kematian 37,09% sampai 80,0%.(1) Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-tanda persalinan. Insidens KPD masih cukup tinggi; ± 10% persalinan didahului oleh KPD. Hal ini dapat meningkatkan komplikasi kehamilan pada ibu maupun bayi, terutama infeksi.(2) Infeksi neonatus setelah pecah ketuban dipengaruhi oleh kolonisasi kuman Streptokokus Grup Beta, lama ketuban pecah, khorioamnionitis, jumlah pemeriksaan vagina, pemberian antibiotika, dan lain lain.(3) Terdapat perbedaan penatalaksanaan KPD khususnya dalam pemberian antibiotika profilaksis. Di RS Sanglah Denpasar antibiotika profilaksis diberikan pada semua kasus KPD, sedangkan di negara lain seperti di Amerika sesuai dengan rekomendasi ACOG (American College of Obstetrics and Gynaecologist) dan AAP (American Academy of Pediatrics) antibiotika profilaksis hanya diberikan pada kasus persalinan dengan faktor risiko infeksi seperti kasus KPD dengan lama ketuban pecah melewati 18 jam, febris, adanya koloni kuman Streptokokus Grup Beta dan persalinan kurang 37 minggu. Pembatasan penggunaan antibiotika profilaksis ini dimaksudkan untuk mengurangi efek samping antibiotika, mencegah resistensi kuman dan mengurangi biaya.(4) BAHAN DAN CARA KERJA Rancangan penelitian ini adalah rancangan penelitian kohort untuk mencari hubungan antara faktor risiko pada kasus KPD aterm (khorioamnionitis klinis, febris, koloni kuman Streptokokus Grup Beta, lama ketuban pecah dan jumlah pemeriksaan vagina) terhadap efek yaitu insidens sepsis neonatorum dini. Pengamatan timbulnya efek dilakukan dalam empat hari pertama kelahiran bayi. Kriteria penerimaan adalah kasus KPD dengan umur kehamilan ≥ 37 minggu dan BBL ≥ 2500 gram, kehamilan tunggal, presentasi belakang kepala, persalinan spontan dan kadar hemoglobin > 10 g/dL. Kriteria penolakan : persalinan operatif pervaginam atau perabdominal (SC), bayi asfiksi, bayi dengan kelainan kongenital dan trauma pada bayi. Pemilihan sampel dengan cara consecutive sampling. Sampel penelitian minimal adalah 108. Pada semua sampel penelitian dilakukan pemeriksaan kultur apusan vagina bawah sebelum diberi antibiotika Penisilin Prokain 1 juta IU setiap 12 jam. Semua data dianalisis dengan SPSS versi 10,0 for Windows. Nilai risiko relatif (RR) merupakan perbandingan insidens sepsis neonatorum kelompok dengan faktor risiko dengan insidens sepsis neonatorum kelompok tanpa faktor risiko. Semua variabel yang bermakna pengaruhnya terhadap sepsis neonatorum (p<0,05) akan dianalisis menggunakan analisis multivariat (regresi logistik ). HASIL DAN DISKUSI Karakteristik Kasus Karakteristik demografi pasien dapat dilihat pada Tabel 1. Dari 113 subjek penelitian terbanyak di kelompok umur 20-24 tahun (41 kasus-36,3%), dengan rerata umur ibu adalah 26,1 (SD:4,9) tahun. Data ini sesuai penelitian Seaward et al (1998) yang mendapatkan rerata usia ibu pada kasus KPD aterm
adalah 28,5 (SD 5,3) tahun.(3) Tidak terdapat perbedaan bermakna insidens sepsis neonatorum antar kelompok umur ibu (p>0,05). Insidens sepsis neonatorum di kelompuk umur kurang 20 tahun adalah 14,2%, lebih tinggi dari insidens sepsis di kelompok umur 20 tahun atau lebih. Usia ibu kurang 20 tahun diketahui berhubungan dengan kolonisasi kuman Streptokokus Group Beta di jalan lahir. Tabel 1. Sebaran kasus ibu dengan KPD aterm berdasarkan karakteristik demografi (n=113)
No
1.
2.
Variabel
Usia ibu (tahun) 16 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 ≥ 35 Paritas Nullipara Multipara
Luaran bayi tidak sepsis (n=108) n n
n
%
sepsis (n=5)
7 41 38 20 7
6,2 36,3 33,6 17,6 6,2
1 1 1 2 0
74 39
65,5 34,5
2 3
x2
p
6 40 37 18 7
0,564
0,754
72 36
1,504
0,223
Tabel 2. Sebaran kasus KPD aterm berdasarkan hasil kultur apusan vagina (n=113). No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10. 11. 12.
Jenis Kuman Eschericia coli Enterobacter Staphylococcus Streptococcus Grup Beta Klebsiella Streptococcus Grup Alfa Pseudomonas Proteus Bacteriodes Candida Micrococcus Steril
n
%
37 28 27 26 10 9 7 7 5 2 1 1
32,7 24,8 23,9 23,0 8,8 7,9 6,2 6,2 4,4 1,8 0,9 0,9
Sebagian besar subjek penelitian adalah nullipara (74 kasus - 65,5%). Tidak terdapat perbedaan bermakna insidens sepsis neonaturum pada nullipara dan multipara. Seaward P et al (1998) juga mendapatkan paritas tidak berperan secara independen sebagai prediktor infeksi neonatus.(3) Pada saat pasien pertama datang, sebelum pemberian antibiotika dilakukan pemeriksaan kultur kuman dari apusan vagina bawah. Hasilya tertera di Tabel 2. Didapatkan koloni kuman pada 112 sediaan (99,1%), hanya pada 1 kasus (0,9%) tidak ditemukan pertumbuhan kuman. Kolonisasi kuman yang ditemukan sebagian besar (70 kasus - 62,5%) adalah koloni kuman tunggal ; pada 42 kasus (37,5%) ditemukan lebih dari satu kuman; koloni dua kuman ditemukan pada 37 kasus (33,0%) dan pada 5 kasus (4,5%) ditemukan tiga kuman. Kuman dominan adalah E. coli (37 kasus - 32,7%), Enterobacter (28 kasus - 24,8%), Stafilokokus (27kasus - 23,9%). Koloni kuman Streptokokus grup Beta didapatkan dalam 26 sediaan (23,0%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Benitz W et al (1999a) yang menemukan koloni kuman Streptokokus Grup Beta selama kehamilan adalah 6,9 29,3%.(4) Bernstein (2000) mendapatkan koloni Streptokokus Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 15
Grup Beta bervariasi tergantung ras, geografi, etnik dan sosial ekonomi tetapi umumnya berkisar 10-30%.(5)
Hubungan khorioamnionitis klinis dengan sepsis didapatkan bermakna. Odd ratio terjadinya sepsis neonatorum onset awal pada ibu dengan khorioamnionitis pada salah satu penelitian adalah 6,42(6). Dari uji korelasi didapatkan hubungan Luaran Pengelolaan Dari 113 bayi yang dilahirkan dari ibu dengan KPD aterm, yang bermakna antara khorioamnionitis dengan lama ketuban sepsis neonatorum klinis dini didapatkan pada 5 kasus (4,4%). pecah, jumlah pemeriksaan vagina dan infeksi Streptokokus Pada lima bayi tersebut dilakukan pemeriksaan kultur darah; 3 Grup Beta; hal ini menunjukkan khorioamnionitis disebabkan di antaranya positif sehingga insidens sepsis pasti (definite oleh infeksi asenden dari flora vagina ke kavum uteri. early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Rerata waktu Pada penelitian ini didapatkan 14 kasus (12,4%) ibu diagnosis klinis sepsis ditegakkan setelah 4 hari. Onset paling dengan febris dan mempunyai hubungan bermakna dengan awal ditemukan pada hari ke tiga dan yang terlama adalah hari sepsis pada bayi. Dari 14 kasus, 9 kasus (64,3%) adalah kasus ke empat. Dari pemeriksaaan darah lengkap ulangan saat khorioamnionitis dan pada 5 kasus (35,7 %) ditemukan febris timbul gejala sepsis didapatkan jumlah leukosit abnormal (< tanpa tanda khorioamnionitis lainnya. Dari uji korelasi terlihat 9000 sampai 4 hari) pada 3 kasus (60%). Jumlah neutrofil febris ibu mempunyai hubungan kuat dengan khorioamnionitis abnormal (< 4500 sampai 4 hari) pada 4 kasus (80%). Jumlah dan jumlah pemeriksaan vagina. Jadi makin sering dilakukan trombosit kurang 100.000/mm3 ditemukan pada satu kasus pemeriksaan vagina risiko febris pada ibu akan meningkat. (20%). Adanya bakteri dalam darah ditemukan pada tiga dari Koloni kuman Streptokokus Grup Beta didapatkan pada 26 lima kultur darah yang dilakukan. Kuman yang tumbuh kasus (23,0%) pada kelompok ini, 4 kasus (15,4%) bayi yang meliputi Streptococcus agalactiae, Staphylococcus coagulase dilahirkan menjadi sepsis dibandingkan dengan 1,1% pada ibu dan Eschericia coli. Koloni kuman yang tumbuh pada kultur yang tidak terkoloni (р<0,05). Uji dengan kuman lain tidak darah bayi ini sesuai dengan pola kuman yang didapatkan pada mendapatkan hasil bermakna : Stafilokokus (p=0,734), E. coli apusan vagina ibu. (p=0,643) dan Enterobacter (p=0,800). Peneliti lain Tidak terdapat perbedaan bermakna berat badan dan mendapatkan insidens sepsis neonatorium pada ibu dengan jumlah leukosit bayi segera setelah lahir antara bayi yang koloni Streptokokus Grup Beta adalah 7-11%.(3) menjadi sepsis dan yang tidak. Rerata lama perawatan bayi Lama ketuban pecah berhubungan dengan infeksi dengan sepsis adalah 17,7 hari; lebih lama dari bayi yang tidak neonatal; hal ini dihubungkan dengan peningkatan koloni sepsis ( 5,3 hari). kuman, infeksi ascending dan jumlah pemeriksaan vagina (vaginal toucher). Insidens sepsis pada ibu dengan lama Hubungan faktor risiko terhadap Sepsis Neonatorum ketuban pecah kurang 12 jam adalah 2,7% dibandingkan 5,2% Beberapa faktor risiko ibu yang dianalisis pengaruhnya pada subjek dengan lama ketuban pecah lebih 12 jam, kasus terhadap insidens sepsis neonatorum adalah khoriamnionitis sepsis paling tinggi (4 kasus - 80%) ditemukan pada persalinan klinis, febris, lama ketuban pecah, adanya kuman Streptokokus setelah 18 jam pecah ketuban. Insidens sepsis neonatorum pada Grup Beta pada apusan vagina dan jumlah pemeriksaan vagina. persalinan setelah ketuban pecah ≥ 18 jam adalah 11,7 % dibandingkan dengan 1,3% pada persalinan kurang dari 18 jam Tabel 3. Risiko relatif faktor risiko terhadap sepsis neonatorum setelah pecah ketuban. Di Amerika (sesuai rekomendasi ACOG) umumnya lama ketuban pecah lebih 18 Luaran bayi jam dianggap sebagai risiko terjadinya infeksi tidak 2 neonatus.(6) Frekuensi pemeriksaan vagina sepsis Variabel p RR IK 95% x sepsis (n=5) (vaginal toucher) dihubungkan dengan (n=108) peningkatan infeksi neonatus karena Khorioamnionitis klinis 4 5 46,22 5,75 - 371,02 37,034 0,001 meningkatnya infeksi ascenden dari vagina ke Febris 4 10 28,28 3,40 - 235,52 22,032 0,001 kavum uteri. Risiko relatif terjadinya Streptokokus Grup Beta 2 22 13,38 1,56 - 114,56 9,592 0,002 Ketuban pecah >18 jam 4 30 9,29 1,08 - 80,12 6,195 0,013 infeksi/sepsis bayi pada pemeriksaan vagina ≥ 5 Ketuban pecah >24 jam 2 9 6,18 1,15 - 33,09 5,454 0,02 kali dibandingkan < 5 kali adalah 2,1 ( p>0,05). Jumlah VT > 8 kali 1 2 9,16 1,42 - 59,30 6,090 0,014 Frekuensi pemeriksaan vagina yang secara statistik bermakna terhadap terjadinya sepsis Insidens khorioamnionitis klinis pada penelitian ini didapatkan adalah jika dilakukan lebih 8 kali (RR : 9,16, p=0,014). 9 kasus (8,0%). Penelitian Seaward et al (1998) mendapatkan Tabel 4. Hubungan faktor risiko terhadap sepsis neonatorum dengan khorioamnionitis klinis pada 7,0% kasus KPD aterm.(3) Dari ibu analisis multivariat dengan khorioamnionitis 44,4 % bayi yang dilahirkan menjadi No Variabel n % RR p sepsis. Peneliti lain mendapatkan 16% bayi sepsis dari ibu dengan khorioamnionitis dan insidens ini tetap tinggi meskipun 1. Khorioamnionitis klinis 9 8,0 37,03 0,001 ibu telah mendapatkan antibiotik yang adekuat(3). Insidens 2. Febris 14 12,4 22,03 0,021 3. Koloni Streptokokus Grup Beta 26 23,0 9,59 0,022 sepsis neonatorum yang lebih tinggi pada penelitian ini 4. Lama ketuban pecah > 18 jam 34 30,0 6,19 0,356 mungkin akibat pemberian antibiotika yang tidak adekuat, 5. Lama ketuban pecah > 24 jam 11 9,7 5,45 0,471 sebab semua kasus hanya diberi antibiotika penisilin (tanpa 6. Jumlah vt > 8 kali 3 2,7 6,09 0,061 cakupan untuk kuman gram negatif). 16 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Dari perhitungan kai kuadrat (chi-square) faktor risiko yang bermakna pada ibu dengan KPD terhadap sepsis neonatorum yaitu: khorioamnionitis klinis (p=0,001), febris ≥ 37,6oC (p=0,001), kolonisasi Streptokokus Grup Beta (p=0,002), ketuban pecah >18 jam (p=0,013), ketuban pecah >24 jam (p=0,02) dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali (p=0,014) (Tabel 3). Hubungan faktor risiko terhadap sepsis neonatorum dengan analisis regresi logistik multivariat dapat dilihat pada Tabel 4. Terlihat faktor risiko yang paling berperan atau dengan nilai prediksi paling kuat untuk terjadinya sepsis neonatorum adalah khorioamnionitis klinis ( p=0,001), febris (p=0,021) dan kolonisasi Streptokokus Grup Beta (p=0,022), sedangkan untuk variabel lama ketuban pecah > 18 jam maupun > 24 jam dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali didapatkan p > 0,05. Demam ibu saat persalinan perlu mendapat perhatian karena mungkin menandakan adanya infeksi maternal terutama pada kasus dengan risiko infeksi misalnya pada KPD. Meskipun demam dapat disebabkan oleh bukan infeksi, morbiditas perinatal ditemukan lebih tinggi pada persalinan ibu dengan febris. Peranan Streptokokus Grup Beta sebagai faktor risiko sepsis neonatorum sudah diketahui sejak dua dekade terakhir, terutama jika ditemukan saat persalinan dibandingkan jika ditemukan saat kehamilan. Apabila pada ibu dengan koloni Streptokokus Grup Beta tidak ditemukan faktor risiko lain saat persalinan maka peran kuman tersebut sebagai penyebab sepsis berkisar 20-30%.(7) Dari keseluruhan pasien dengan KPD aterm jumlah pasien yang mempunyai faktor risiko satu atau lebih (febris, khorioamniotis klinis, lama ketuban pecah >18 jam, adanya koloni Streptokokus Grup Beta dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali) adalah 58 kasus (51,3%) dan subjek tanpa faktor risiko sebanyak 55 kasus (48,7%). Tidak ditemukan sepsis neonatorum pada bayi yang dilahirkan dari ibu tanpa faktor risiko. KESIMPULAN Dari 113 kasus bayi yang dilahirkan dari ibu dengan KPD aterm didapatkan insidens sepsis neonatorum dini klinis 4,4% dan insidens sepsis neonatorum dini pasti 2,65%. Faktor risiko meliputi : febris : 12,4%, khorioamnionitis klinis : 8,0%, koloni kuman Streptokokus Grup Beta : 23,0%, lama ketuban pecah > 18 jam : 30,0% dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali : 2,7%. Dari kultur apusan vagina distal pasien dengan KPD aterm koloni kuman dominan adalah E.coli : 32,7%, Enterobacter : 24,8%, Stafilokokus : 23,9% dan Streptokokus Grup Beta 23,0%.
Faktor risiko yang bermakna terhadap insidens sepsis neonatorum adalah : febris, khorioamnionitis, koloni kuman Streptokokus Grup Beta, lama ketuban pecah > 18 jam, lama ketuban pecah > 24 jam: dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali (Tabel 3). Dengan analisis regresi multivariat didapatkan faktor risiko yang paling berperan dalam terjadinya sepsis neonatorum adalah khorioamnionitis klinis, febris dan koloni kuman Streptokokus Grup Beta. Apabila pendekatan faktor risiko dipakai dalam penatalaksanaan pasien KPD maka subjek penelitian dengan ≥ 1 faktor risiko didapatkan pada 51,3%. SARAN Perlu uji klinis pemberian antibiotika profilaksis kasus KPD pada seluruh kasus dibandingkan dengan pemberian antibiotika profilaksis hanya pada kelompok dengan faktor risiko sesuai dengan rekomendasi ACOG/AAP. Pada kasus risiko tinggi infeksi neonatus seperti kasus dengan khorioamnionitis klinis, di samping pemberian antibiotika yang mencakup kuman Gram positif (ampisilin atau penisilin) perlu ditambahkan obat yang mencakup kuman Gram negatif misalnya gentamisin.
KEPUSTAKAAN 1. Monintja HE. Beberapa masalah perawatan intensif neonatus. FKUI, Jakarta 1995.: 217-29 2. Gjoni M. Preterm premature rupture of the membranes. Matweb Network 1998:1-6 3. Seaward P, Hannah M, Myhr T, Farine D, Ohlsson A, Wang E. International multicenter term PROM study. Evaluation of predictors of neonatal infection in infant born to patients with premature rupture of membranes. Am J Obstet Gynecol. 1998;179: 635-9 4. Benitz W, Gould JB, Druzin ML. Risk factors for early onset group B streptococcal sepsis : Estimation of odds ratio by critical literature review. Pediatrics 1999a;103 : 72-7 5. Bernstein PS. Reduction of early-onset, neonatal group B streptococcal sepsis. The American College of Obstetricians and Gynecologists 48th Annual Meeting 2000: 1-5 6. Benitz W, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial prevention of early onset group B Streptococcal sepsis : Estimation of odds ratios by critical literature review. Pediatrics 1999b;103 : 78-99 7. Towers CV, Rumney P, Minkiewicz S, Asrat T, Incidence of intrapartum marternal-perinatal risk factors for identifying neonatus at risk for early onset neonatal sepsis : A prospective study. Am J Obstet Gynecol. 1999; 181 : 1197-202
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 17
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dampak Infeksi Genital Terhadap Persalinan Kurang Bulan Sofie Rifayani Krisnadi Bagian Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat, Indonesia
PENDAHULUAN Persalinan kurang bulan (PKB persalinan prematur) kejadiannya masih tinggi, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang; dan bayi kurang bulan (prematur) merupakan penyumbang tertinggi terhadap angka kematian bayi baru lahir. Pencegahan persalinan kurang bulan umumnya sulit dan tidak efektif, antara lain karena etiologinya multifaktor, seperti status sosioekonomi, nutrisi, konstitusi, imunologi dan mikrobiologi di samping penyebab yang terkait dengan komplikasi obstetri (perdarahan antepartum, hipertensi pada kehamilan atau komplikasi medis lainnya).(1) Banyak penelitian yang mengaitkan kejadian PKB dengan infeksi, terutama akibat korioamnionitis pada kejadian ketuban pecah dini (KPD). KPD meningkatkan risiko bayi terinfeksi, sehingga memperberat masalah akibat kurang bulannya (ketidak matangan paru, hipotermi, sindrom gawat nafas dan lain-lain). KPD atau korioamnionitis tanpa KPD sering dihubungkan dengan infeksi urogenital. Pada kehamilan normal cairan amnion steril; adanya mikroorganisme intraamnion berhubungan dengan kejadian PKB.(4) Tabel 1. Microorganisms isolated from the amniotic cavities of women with preterm labor.(3) Genital mycoplasms Ureaplasma urealyticum Mycoplasma hominis Aerobes Group B streptococci Enterococci Streptococcus viridans Gardnerella vaginalis Hemophilus influenza Pseudomonas species Lactobacilli Coliforms Corynebacterium Moraxella Staphylococci
Acinetobacter wolffi Bacillus cereus Capnocytophaga species Diphtheroids Enterobacter cloacae Anaerobes Fusobacterium species Veillonella parvula Peptostreptococcus species Propionobacterium species Peptococcus species Bacteroides species Neisseria species Yeasts Candida species
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Dari sekian banyak faktor penyebab PKB, infeksi merupakan penyebab sekitar 40% PKB(2) dan paling dapat dicegah dan diobati untuk menurunkan kejadian PKB. Karena ketuban pecah dini (KPD) merupakan faktor sangat penting terhadap kejadian infeksi, maka seyogyanya pemberian antibiotika dilakukan sebelum terjadi KPD(5) Pendapat ini masih diperdebatkan sampai saat ini terutama pada PKB dengan selaput ketuban intak.(6-7) Infeksi urogenital yang dianggap berpengaruh terhadap kejadian KPD adalah: 1. Bakteriuri tanpa gejala(8,9) 2. Vaginosis bakterial 3. Trikomoniasis 4. Servisitis Gonorrhoeae 5. Infeksi Chlamydia trachomatis BAKTERIURI TANPA GEJALA (asymptomatic bacteriuria) Bakteriuri tanpa gejala didefinisikan sebagai terdeteksinya > 100.000 koloni satu spesies bakteri per ml urin yang dikultur dari sampel midstream. Kejadiannya pada ibu hamil ± 2-7 %.(9) Bakteri yang tersering dapat diisolasi adalah Escherichia coli. Kehamilan sendiri tidak meningkatkan kejadian bakteriuri tanpa gejala, akan tetapi pielonefritis akut terjadi pada 20-40% ibu hamil dengan bakteriuri tanpa gejala yang tidak diobati. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kejadian PKB lebih banyak pada ibu dengan bakteriuri dibandingkan dengan pada ibu hamil tanpa bakteriuri. Sekitar 40-80% komplikasi kehamilan yang disebabkan oleh pielonefritis akut dapat dicegah dengan mengobati bakteriuri tanpa gejala; oleh karena itu mengobati bakteriuri tanpa gejala dapat menurunkan risiko PKB. Penyebab lain bakteriuri adalah Streptokokus Grup Beta (GBS) yang sering berhubungan dengan kolonisasi GBS di daerah urogenital. The Center for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan agar ibu hamil dengan bakteriuri GBS diterapi pada saat diagnosis untuk mengurangi kemungkinan PKB dan pada saat persalinan untuk mencegah
infeksi GBS pada neonatus. Setelah pengobatan selesai, biakan urin harus diulang untuk meyakinkan eradikasi GBS; jika masih positif berarti tergolong bakteriuri persistent atau recurrent. Untuk ini diberi pengobatan supresif 100 mg nitrofurantoin per hari p.o. sampai bayi lahir.(10) VAGINOSIS BAKTERIAL (BV-Bacterial vaginosis)(11-18) Suatu keadaan karakteristik yang ditandai oleh perubahan ekosistem vagina, yang ditunjukkan dengan berkurangnya Laktobasili, sedangkan beberapa bakteri fakultatif anaerob bertambah dengan mencolok yakni Mobiluncus species, Prevotella species, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum. Kejadiannya pada ibu hamil sekitar 15-20%(13) keadaan ini merupakan faktor risiko persalinan kurang bulan spontan, ketuban pecah dini serta infeksi pasca salin/pasca operasi. Sekitar 15-40% penderita BV tidak menunjukkan gejala klinis, selebihnya mengeluhkan keluarnya duh tubuh vagina berbau amis. Untuk praktisi klinik, diagnosis ditegakkan dengan kriteria Amsel, yakni apabila ada tiga dari empat kriteria di bawah ini : 1. Cairan vagina homogen, putih keabuan atau seperti susu. 2. Clue cells (terdapat pada > 20% epitel sel vagina pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 400x). 3. pH vagina >4.5 4. Bau amis sebelum atau setelah penambahan 10% KOH. Di Indonesia, kejadian BV dalam kehamilan lebih tinggi dari penyakit infeksi dalam kehamilan lainnya (bakteriuri tanpa gejala, N. gonorrhoeae, C.trachomatis dan T. vaginalis) dan keberadaannya meningkatkan kejadian ketuban pecah dini/KPD dan persalinan kurang bulan/PKB. Secara teoritis pengobatan BV sangat potensial dapat menurunkan kejadian KPD dan PKB.(18) Pengobatan BV telah banyak dilakukan. McGregor memakai krim klindamisin. Metronidazol oral terbukti menurunkan kejadian PKB dari 39% menjadi 18% (Morales, dikutip oleh McGregor, 2000). Hauth (1995) memakai metronidazol oral digabung dengan eritromisin, berhasil menurunkan kejadian PKB. Penelitian berikutnya yang memakai klindamisin oral dan metronidazol oral membuktikan penurunan kejadian PKB, tetapi Joesoef di Indonesia mendapatkan angka kejadian BBLR sedikit meningkat di kelompok terapi (dibanding plasebo). INFEKSI TRICHOMONAS VAGINALIS Infeksi protozoa ini merupakan PMS yang banyak ditemukan, namun dapat diobati dengan baik. Kejadiannya pada ibu hamil di Australia berkisar sebanyak 25%, di Indonesia tidak ditemukan data. Diagnosis ditegakkan pada saat Pap’s smear rutin wanita hamil atau dengan preparat basah pada ibu hamil dengan keluhan. Trikomoniasis dalam kehamilan dapat menyebabkan bayi terinfeksi saat persalinan dan dapat menyebabkan demam pada masa neonatal.(19) Cochrane review menyatakan dampak trikomoniasis terhadap hasil kehamilan, baik berupa KPD atau PKB belum jelas.(20) Gejala yang timbul berupa duh vaginal berwarna hijau kekuningan, berbau busuk, gatal, dan nyeri saat berkemih atau
saat bersanggama.(21) Pengobatan metronidazol pada ibu hamil tanpa gejala, gagal menurunkan angka kejadian PKB. Hal ini menggaris bawahi perlunya pengobatan trikomoniasis sebelum kehamilan.(19) Metronidazol cukup efektif, dosis tunggal biasanya diberikan hanya pada kehamilan trimester 2 atau 3. Efektifitas pengobatan akan meningkat jika pasangan seksual juga diobati. SERVISITIS GONOROIKA Neisseria gonorrhoeae dapat ditransmisikan dari ibu ke bayi pada saat persalinan, mengakibatkan oftalmia gonokokal atau infeksi sistemik pada neonatus. Servisitis N.gonorrhoeae juga meningkatkan kejadian PKB meskipun tidak ada penelitian plasebo-kontrol (karena melanggar etik). Keadaan ini juga dapat meningkatkan kejadian endometritis dan sepsis pasca salin. Gejala servisitis gonoroika mirip klamidiasis (sering tanpa gejala), juga gejala sisanya; servisitis gonoroika lebih sering bergejala daripada klamidiasis. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan apus serviks (diplokokus intraseluler) dan kultur atau PCR (Polymerase chain reaction). Tes resistensi/uji kepekaan antibiotika dilakukan bersamaan dengan pengambilan apus serviks. Pengobatan gabungan amoksisilin dengan probenesid unggul dibandingkan dengan spektinomisin (OR 2.40, 95%CI 0.71-8.12), juga jika dibandingkan dengan seftriakson (OR 2.40, 95%CI 0.71-8.12); tetapi seftriakson unggul dibandingkan dengan cefixime (OR 1.22, 95%CI 0.169.04). Penelitian ini dilakukan pada 346 ibu hamil.(22) Antibiotik yang diberikan hendaknya juga dapat meliputi pengobatan untuk klamidia, karena sering terjadi ko-infeksi.22 INFEKSI CHLAMYDIA TRACHOMATIS Infeksi Chlamydia trachomatis (PMS) biasanya tidak bergejala, dapat menyebabkan servisitis, endometritis dan radang panggul dengan gejala sisa faktor tuba (infertilitas atau kehamilan ektopik). Diagnosis ditegakkan dengan PCR (Polymerase chain reaction) DNA probe assay atau uji cepat dengan immunofluorescence dan enzyme immunoassay langsung (dapat dilakukan sendiri dengan apus serviks).(24) Pengobatan dengan amoksisilin sama efektifnya dengan eritromisin, bahkan lebih dapat ditolerir.(25) Klindamisin dan azithromisin hanya digunakan bila amoksisilin atau eritromisin tidak dapat diberikan. Pengobatan mutakhir adalah dengan azitromisin. Uji klinik membuktikan bahwa dosis tunggal per oral preparat ini setara efektifitasnya dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama tujuh hari; keduanya dapat mencapai keberhasilan terapi 95%. Azitromisin juga efektif untuk non specific urethritis pada ibu hamil. Pengobatan yang tidak sempurna menyebabkan radang panggul pasca salin, nyeri panggul kronis, infertilitas dan kehamilan ektopik. Pemberian antibiotika dalam kehamilan umumnya ditujukan untuk prevensi morbiditas dan mortalitas perinatal pada ibu dan janin. Pada ancaman persalinan kurang bulan (PKB) harus dicari kemungkinan penyebab infeksi. Tabel 2 menunjukkan antibiotika yang dianjurkan oleh CDC.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 19
Tabel 2 . Jenis antibiotika yang direkomendasikan dalam kehamilan(21) Jenis infeksi
Asymptomatic bacteriuria
Neisseria gonorrhoeae
Bacterial vaginosis
Chlamydia trachomatis
Trichomonas vaginalis
2.
Jenis antibiotika
Pasangan seksual
3.
Amoksisilin 250 mg p.o. 3 kali sehari, selama 3 sampai 7 hari; atau Nitrofurantoin 100 mg p.o. 2 kali sehari, selama 3 sampai 7 hari; atau Cephalexin 250 mg p.o. 4 kali sehari selama 3 sampai 7 hari. Ceftriaxone 125 mg i.m. dosis tunggal; atau Cefixime 400 mg p.o. dosis tunggal; atau Erythromycin basa 500 mg 3 kali sehari, selama 7 hari; atau Azithromycin 1 gram p.o. dosis tunggal. Clindamycin 300 mg p.o. 2 kali sehari selama 7 hari; atau Metronidazole 250 mg 3 kali sehari selama 7 hari; atau Metronidazole spt tsb diatas; ditambah Erythromycin base 333 mg p.o. 3 kali sehari selama 14 hari. Erytrhromycin base 500 mg p.o. 4 kali sehari selama 7 hari; atau Amoxycillin 500 mg p.o. 3 kali sehari selama 7 hari; atau Azythromycin 1 gram p.o. dosis tunggal Metronidazole 2 gram p.o. dosis tunggal (tidak dianjurkan pada trimester pertama); atau Metronidazole 500 mg p.o. 2 kali sehari selama 7 hari.
Pengobatan rutin pasangan seksual tidak dianjurkan
4. 5.
6. Rujuk pasangan seksual untuk diagnosis dan terapi
7.
8. Pengobatan rutin pasangan seksual tidak dianjurkan
9. 10.
11. Rujuk pasangan seksual untuk diagnosis dan terapi
Pasangan seksual harus diobati
Pada kehamilan Chlamydia menyebabkan amnionitis dan endometritis postpartum(23). Transmisi dari ibu ke anak dapat terjadi saat persalinan dan dapat menyebabkan oftalmia dan/atau pneumonitis pada neonatus. Selain infeksi genital, infeksi maternal seperti tifoid, pielonefritis, apendisitis, pneumoni atau infeksi lain dengan demam tinggi dapat menyebabkan PKB terutama karena toksin mikroorganismenya. KESIMPULAN Persalinan kurang bulan (PKB) merupakan masalah obstetri; sampai saat ini belum ada cara pencegahan atau pengobatan yang efektif. Penelitian menunjukkan hubungan kejadian PKB dengan infeksi, terutama infeksi urogenital pada ibu hamil. Uji klinis tidak menunjukkan manfaat nyata pemberian antibiotika rutin pada PKB tanpa ketuban pecah dini; kecuali untuk eradikasi Streptokokus grup B, vaginosis bakterial dan penyakit menular seksual lainnya. Oleh karena itu pemeriksaan infeksi urogenital pada ibu hamil perlu dilakukan secara rutin.
12. 13.
14. 15. 16. 17. 18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25. KEPUSTAKAAN 1.
Romero R, Suplelveda W, Baumann P et al. The preterm labor syndrome: biochemical, cytologic, immunologic, pathologic, microbiologic, and clinical evidence that preterm labor is a heterogeneous disease. Am J Obstet Gynecol 1993, 168:288.
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
26.
Gibbs R, Eschenbach D. Use of antibiotics to prevent preterm birth. Am J Obstet Gynecol 1997, 177:375–80. Mertz HL, Ernest JM..Antibiotics and Preterm Labor. Current Women’s Health Reports 2001, 1:20–6. Mazor M, Chaim W, Maymon E et al. The role of antibiotic therapy in the prevention of prematurity. Clin Perinatol 1998, 25:659–85. Hay PE, Lamont RF, Taylor-Robinson D, Morgan DJ, Ison C, Pearson J. Abnormal bacterial colonisation of the genital tract and subsequent preterm delivery and late miscarriage. BMJ 1994; 308:295-8. Mercer B, Miodovnik M, Thurnau G et al. Antibiotic therapy for reduction of infant morbidity after preterm premature rupture of the membranes. JAMA 1997, 278:989. King J, Flenady V. Antibiotics for preterm labor with intact membranes. In:A comprehensive review of all clinical trials to date examining the use of antibiotics in patients with preterm labor and intact membranes. The Cochrane Database of Systematic Reviews.Oxford: The Cochrane Library; 2001. Romero R, Oyarzun E, Mazor M, Sirtori M, Hobbins, JC, Bracken M. Meta-analysis of the relationship between asymptomatic bacteriuria and preterm delivery/low birth weight. Obstet Gynecol 1989;73:576-82. Kinningham RB. Asymptomatic bacteriuria in pregnancy. Am Fam Physician 1993;47:1232-8. Patterson TF, Andriole VT. Detection, significance, and therapy of bacteriuria in pregnancy. Update in the managed health care era. Infect Dis Clin North Am 1997;11:593-608. Eschenbach DA, Hillier S, Critchlow C, Stevens C, DeRouen T,Holmes KK. Diagnosis and clinical manifestations of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1988;158:819-28. Spiegel CA. Bacterial vaginosis. Clin Microbiol Rev 1991;4:485-502. Eschenbach DA, Gravett MG, Chen KC, Hoyme UB, Holmes KK. Bacterial vaginosis during pregnancy: an association with prematurity and postpartum complications. Scand J Urol Nephrol Suppl 1984;86:21322. Eschenbach DA. Bacterial vaginosis and anaerobes in obstetric gynecologic infection. Clin Infect Dis 1993;16 Suppl 4:S282-7. McGregor JA, French JI. Bacterial vaginosis in pregnancy. Obstet Gynecol Surv 2000;55:S1-19. Ugwumadu AH. Bacterial vaginosis in pregnancy. Curr Opin Obstet Gynecol 2002;14:115-18. Gibbs RS. Chorioamnionitis and bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1993;169:460-62. Joesoef MR, Hillier SL, Wiknjosastro G, Sumampouw H et al. Intravaginal clindamycin treatment for bacterial vaginosis: effects on preterm delivery and low birth weight. Am. J. Obstetr. Gynecol. 1995;173:1527-31. Klebanoff MA, Carey JC, Hauth JC, et al. Failure of metronidazole to prevent preterm delivery among pregnant women with asymptomatic Trichomonas vaginalis infection. N Engl J Med 2001; 345: 487-93. Gülmezoglu AM. Interventions for trichomoniasis in pregnancy. The Cochrane Database of Systematic Reviews 2002, Issue 3. Art. No.: CD000220. DOI: 10.1002/14651858.CD000220. Centers for Disease Control and Prevention. 1998 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 1998; 47(No. RR-1): 20-26, 52-74, 88-94 Brocklehurst P. Antibiotics for gonorrhoea in pregnancy. The Cochrane Database of Systematic Reviews 2002, Issue 2. Art. No.: CD000098. DOI: 10.1002/14651858.CD000098 Sawhney MPS, Batra RB. Chlamydia trachomatis seropositivity during pregnancy. Indian J Dermatol Venereol Leprol November-December 2003; 69 Issue 6,394-95. Ostergaard L, Andersen B, Moller JK, Olesen F. Home sampling versus conventional swab sampling for screening of Chlamydia trachomatis in women: a cluster-randomized 1-year follow-up study. Clin Infect Dis 2000; 31: 951-57. Brocklehurst P, Rooney G. Interventions for treating genital chlamydia trachomatis infection in pregnancy. The Cochrane Database of Systematic Reviews 1998, Issue 4. Art. No.: CD000054. DOI: 10.1002/14651858.CD000054. Martin DH, Mroczkowski TF, Dalu ZA et al. A controlled trial of a single dose of azithromycin for the treatment of chlamydial urethritis and cervicitis. The Azithromycin for Chlamydial Infections Study Group. N Engl J Med 1992; 327: 21-925.
HASIL PENELITIAN
Sulbaktam / Ampisilin sebagai Antibiotika Profilaksis pada Seksio Sesarea Elektif di RSIA Rosiva Medan R. Haryono Roeshadi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia
ABSTRAK Penelitian dilakukan di RSIA Rosiva Medan melibatkan 60 orang ibu hamil yang akan menjalani seksio sesarea elektif untuk membandingkan manfaat Sulbaktam / Ampisilin sebagai antibiotika profilaksis (dosis tunggal) dan terapeutik (multidosis). Penelitian dilakukan dengan rancangan klinik acak (Randomized Clinical Trial): penderita dibagi 2 kelompok masing-masing 30 kasus mendapat antibiotika dosis tunggal dan 30 kasus lainnya mendapat antibiotika multidosis. Tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok penelitian, semua kasus sembuh sempurna, tidak terdapat tanda infeksi. Pada seksio sesarea yang bersih dan didukung fasilitas yang baik dan aseptis, disarankan cukup menggunakan antibiotika profilaksis dosis tunggal.
PENDAHULUAN Meskipun diktum Once a caesarean always a caesarean di Indonesia tidak dianut, tetapi sejak dua dekade terakhir ini telah terjadi perubahan kecenderungan sectio caesarea (SC) di Indonesia. Angka kejadian SC sejak tahun 1980 meningkat; di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta SC pada tahun 1981 sebesar 15,35% meningkat menjadi 23,23% pada tahun 1986. Peningkatan ini juga terjadi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat angka kejadian SC meningkat dari 5,5% pada tahun 1970 menjadi 15% pada tahun 1978 dan 24-30% saat ini. Peningkatan ini diduga disebabkan karena teknik dan fasilitas operasi bertambah baik, operasi berlangsung lebih asepsis, teknik anestesi bertambah baik, kenyamanan pasca operasi dan lama rawat yang bertambah pendek. Di samping itu morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal dapat diturunkan secara bermakna. Peningkatan angka kejadian SC ini juga dipengaruhi oleh perubahan penanganan persalinan terutama dengan kehadiran partograf, penanganan persalinan aktif dan penanganan persalinan kehamilan risiko tinggi.
Dibandingkan dengan persalinan pervaginam, biaya SC jauh lebih tinggi. Di Amerika Serikat biaya SC lebih kurang 22,5 kali biaya persalinan pervaginam. Sedangkan di Medan lebih kurang 2,5-3 kali biaya persalinan pervaginam.Salah satu komponen biaya dalam SC adalah penggunaan antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis dosis tunggal diharapkan dapat menghemat biaya antibiotika sampai 75%. Dengan pemberian antibiotika dosis tunggal ½-1 jam sebelum operasi, diharapkan kadar hambat maksimal dalam darah atau di daerah pembedahan akan dapat mencegah penyebaran kuman nosokomial, mengingat sterilisasi alat, bahan dan kamar bedah di beberapa rumah sakit belum memadai. Kadang-kadang hal tersebut di atas diperburuk oleh keadaan umum dan keadaan gizi pasien yang rendah. Pada penelitian ini akan dikaji manfaat penggunaan Sulbaktam/Ampisilin sebagai antibiotika profilaksis dosis tunggal yang diberikan ½-1 jam sebelum operasi dibandingkan dengan pemberian multidosis yang dimulai segera setelah operasi selesai dan diulangi setiap 12 jam selama 3 hari.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 21
Sulbaktam/Ampisilin keduanya merupakan derivat Penisilin berspektrum luas terhadap bakteri Staphylococcus, Streptococcus, H. influenzae, Bacteroides fragilis, E.coli, Klebsiella sp. Neisseria meningitis, Neisseria gonorrhoe, Proteus sp. dan Enterobacter sp. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di RSIA Rosiva Medan atas penderita yang akan menjalani seksio sesarea elektif selama periode Juli sd. Nopember 2000. Rancangan penelitian berupa rancangan uji klinik acak (Randomized Clinical Trial) membandingkan pemberian antibiotika Sulbaktam/Ampisilin multidosis pasca bedah. Penderita diseleksi sesuai dengan kriteria penerimaan; semua penderita yang memenuhi kriteria diminta kesediaannya untuk ikut serta dalam penelitian dan diwawancara untuk pengisian data klinik. Diamati dan dicatat jenis operasi, lama operasi dan komplikasi yang terjadi. Penderita dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan kartu random sampling. Pada kelompok profilaksis diberikan antibiotika Sulbaktam/Ampisilin 1,5 gram dosis tunggal, ½-1 jam sebelum operasi dimulai, sedangkan pada kelompok pembanding diberikan Sulbaktam/Ampisilin multidosis dimulai dengan dosis 1,5 gram setelah operasi selesai dan diulangi setiap 12 jam selama 3 hari.
Tidak ada perbedaan bermakna mengenai sebaran umur, berat badan, kadar Hb dan jumlah kehamilan penderita pada kedua kelompok (p > 0,05) (Tabel 1). Umumnya penderita dalam masa reproduksi sehat dan gizi yang baik; umur rata-rata 29-30 tahun, jumlah kehamilan rata-rata ± 2, kadar Hb ratarata : 12,5 g% dan berat badan rata-rata 72 kg. Keadaan ini ikut mempengaruhi morbiditas penderita pasca seksio sesarea.(7) Tabel 2. Sebaran kasus berdasarkan indikasi seksio sesarea elektif kelompok dosis tunggal dan kelompok multidosis.
Indikasi SC Ulangan SC Pertama : Letak Lintang Letak Sungsang F.P.D Anak Berharga Gemelli Plasenta Previa Jumlah
Dosis tunggal 11 19
Multi dosis
Jumlah
11 19
22 38
1 6 6 3 1 2 30
2 7 5 4 0 1 30
3 13 11 7 1 3 60
% 36,7 63.3 5,0 21,7 18,3 11,6 1,7 5,0 100,0
Tabel 2 memperlihatkan bahwa seksio sesarea ulangan yang dilakukan pada 22 (36,7%) penderita, merupakan indikasi tersering, 7 kasus menjalani seksio sesarea yang ke tiga. Indikasi anak berharga pada 7 kasus; 5 kasus di antaranya telah berumah tangga lebih dari 5 tahun dan 2 kasus lainnya Kriteria Penerimaan primigravida pada usia di atas 35 tahun. Tiga kasus dengan 1. Bersedia ikut dalam penelitian. 2. Tidak menderita komplikasi kehamilan yang memerlukan plasenta previa, dilakukan seksio sesarea elektif pada penanganan khusus seperti preeklampsia, diabetes melitus, kehamilan di atas 37 minggu dan belum mengalami perdarahan. Manfaat Sulbaktam / Ampisilin pada penelitian ini penyakit jantung, dan penyakit ginjal. dapat dilihat dari tanda infeksi dan kenyamanan pasca bedah. 3. Kehamilan aterm, lebih dari 37 minggu. Adanya infeksi pasca bedah yang berupa endometritis dan infeksi luka bedah dapat dinilai dari tanda-tanda klinis berupa HASIL DAN PEMBAHASAN Pada periode Juli 2000 sd. Nopember 2000 di RSIA kenaikan suhu tubuh lebih dari 38°C, subinvolusi uteri, uterus Rosiva Medan terdapat 905 persalinan, 239 (26%) kasus di lembek dan nyeri tekan, lokhia berbau atau adanya eritema antaranya dengan seksio sesarea. Yang diikutsertakan dalam dengan cairan serous, serosanguinus atau pus, adanya indurasi penelitian ini sebanyak 60 kasus, masing-masing 30 kasus atau infiltrat disertai nyeri tekan, kadang-kadang luka operasi memperoleh antibiotika Sulbaktam/Ampisilin dosis tunggal terbuka. Sedangkan kenyamanan operasi dapat dinilai dari lama operasi, keadaan umum dan keadaan penyakit pasca dan 30 lainnya memperoleh multidosis. bedah, lama puasa dan immobilisasi, adanya komplikasi dan lama rawat di rumah sakit. Pada penelitian ini, semua kasus Tabel 1. Hasil tes kemaknaan sebaran umur, berat badan, kadar Hb dan jumlah kehamilan pada kelompok dosis tunggal dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi, luka operasi sembuh kelompok multidosis pemberian antibiotika Sulbaktam / sempurna. Pasca bedah tidak perlu puasa, mobilisasi dilakukan Ampisilin. 24 jam setelah pembedahan dan lama rawat antara 3 sampai 5 hari, semua pasien dipulangkan tanpa komplikasi. Dosis tunggal Multidosis Kemaknaan Pada penelitian ini semua kasus baik kelompok Sebaran profilaksis (dosis tunggal) ataupun kelompok Mean SD Range Mean SD Range t P multidosis: 1. Keadaan umum dan keadaan gizinya baik; berat Umur 29,50 4,03 21 – 38 30,17 3,98 22 – 39 0,647 0,26 badan terendah 50 kg dan berat badan rata-rata Berat 72,00 7,64 53 – 90 72,50 7,11 50 – 88 0,263 0,40 72 kg. Di samping itu kadar Hb terendah 10 g badan % dan kadar Hb rata-rata 12,5 g %. 2. Kemungkinan adanya infeksi subklinis kecil, Kadar Hb 12,40 0,70 10,5 -14,5 12,43 0,73 10,0 – 14,5 0,160 0,07 karena semua kasus dipersiapkan dengan baik dan penderita dengan ketuban pecah dini tidak Jumlah 1,97 0,98 1–4 0,91 0,91 1–4 0,246 0,18 kehamilan dimasukkan dalam penelitian. 3. Lama operasi berkisar antara 30-60 menit.
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Di samping pemberian antibiotika dosis tunggal dan multidosis, keadaan pasien seperti di atas tampaknya turut berpengaruh dalam penyembuhan luka operasi, seperti yang dinyatakan oleh beberapa peneliti; Younis MN dkk. menemukan perbedaan bermakna angka kekerapan infeksi jika kadar Hb < 9 g % dibandingkan dengan kadar Hb ≥10 g %(7) Feijgin dkk. menemukan jika lama operasi lebih dari 4 jam maka kekerapan infeksi pasca bedah akan meningkat dua kali lipat.(3) Sedangkan Unalp K menemukan jika antibiotika profilaksis diberikan pada kasus yang sudah mengalami infeksi subklinis maka kekerapan infeksi pasca bedah akan meningkat.(6) Pada penelitian ini dijumpai 2 kasus dengan reaksi alergi terhadap pemberian Sulbaktam/Ampisilin. Kasus pertama mengalami hidung tersumbat, konjungtiva merah, telapak tangan dan kaki eritema yang muncul segera setelah operasi berlangsung dan hilang dalam 48 jam setelah pemberian antihistaminika dan kortikosteroid. Sedangkan pada kasus ke dua reaksi alergi muncul setelah 24 jam pasca bedah berupa eritema hampir pada seluruh tubuh. Pemberian Sulbaktam / Ampisilin multidosis kemudian dihentikan, penderita sembuh setelah diberi antihistaminika dan kortikosteroid.
SARAN Pada seksio sesarea yang bersih dan didukung fasilitas dan bahan-bahan kamar bedah yang aseptis, disarankan cukup menggunakan antibiotika profilaksis dosis tunggal.
KEPUSTAKAAN 1.
2. 3. 4.
KESIMPULAN 1. Keberhasilan penggunaan antibiotika profilaksis Sulbaktam / Ampisilin dipengaruhi oleh keadaan umum, gizi, infeksi nosokomial, lama operasi, fasilitas dan bahanbahan aseptis di kamar bedah. 2. Dengan penggunaan antibiotika profilaksis, kebutuhan antibiotika dapat dikurangi sampai 75 %.
5. 6. 7.
Achadiat CM, Wiknjosastro GH. Single dose prophylaxis of sulbactam / ampicillin for non elective caesarean section. Proc. Seventh Annual Meeting of Indonesia Society of Obstetrics and Gynecology, Surakarta, 1991. Quililgan EJ. Caesarean Section : Modern Prospectives In Management of High Risk Pregnancy, Ed. Queenan JT, Third Ed, Boston: Blackwell Scient Publ, , 1994 Ch. 58 : 520-3. Feijgin, Markous, Goshens S, Segal J, Arbely, Lang R. Antibiotic for Caesarean Section : The case for true prophylaxis, Int. J. Gynecol & Obstet, 1993 ; 43 : 257-61. Rustam RP. Pemberian antibiotika profilaksis ampisilin dosis tunggal pra bedah dan multidosis pasca bedah pada bedah sesar elektif. Tesis Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran USU, September 1999. Samil RS. Changing trends in caesarean section in Indonesia. Maj Obstetr Ginekol Indon. 1988;14(2) : 72- 9. Unalp K, Condon RE. Antibiotic prophylaxis for scheduled operation procedure. Infect Dis Clin N Am. Sept 1992 : 613-24. Younis MN, Hamed AF, Abdel MS, Edessy M. The febrile morbidity score as a predictor of febrile morbidity following cesarean section. Int. J. Gynecol Obstetr.1991 ; 35 : 225-9.
Virtue is the only thing necessary
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 23
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sindrom HELLP John Rambulangi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
ABSTRAK Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit. Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi, total bilirubin > 1,2 mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase (AST) > 70 U/L, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Jumlah trombosit < 100.000/mm3. Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada. Klasifikasi kedua berdasarkan jumlah trombosit. Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, terapi antihipertensi tambahan harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg. Antihipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine, labetalol dan nifedipin. Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau kelainan respiratorik. Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. Angka kematian bayi berkisar 10-60%. Kata kunci : Sindrom HELLP, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan.
PENDAHULUAN Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc Kay 1972).(1,2,7) Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe II, MacKennan dkk. menganggapnya sebagai suatu misdiagnosis preeklampsi,(2) sedangkan penulis lain menyebutkannya sebagai bentuk awal preeklampsi berat, variasi unik dari preeklampsi.(3) Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus preeklampsi berat, eklampsi dengan komplikasi trombositopeni, kelainan sediaan apus darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Ia menyatakan bahwa kumpulan tanda dan gejala
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
ini benar-benar terpisah dari preeklampsi berat dan membentuk satu istilah: Sindrom HELLP;H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelet.(1,3,5) Sibai dkk. menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam hal terminologi, insidens, penyebab, diagnosis dan penatalaksanaan sindrom ini.(1,3) Insidens dilaporkan sekitar 2-12%, kisaran ini menggambarkan perbedaan kriteria diagnosis dan metode yang digunakan. Ada perbedaan besar mengenai saat terjadi, tipe, dan derajat kelainan laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom ini.(1,3,5,7) Ada yang mendiagnosis jika pasien saat masuk sudah ada kelainan, ada yang jika kelainannya timbul selama penanganan
konservatif; yang lain jika kelainannya muncul post partum.(3) Bukti adanya hemolisis telah dilaporkan pada beberapa studi dan definisi trombositopeni berkisar dari <75.000/mm3 sampai < 150.000/mm3. Belum ada konsensus mengenai peranan tes fungsi hati untuk mendiagnosis sindrom HELLP. Banyak penulis mendukung agar nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin dimasukkan untuk mendiagnosis sindrom ini.(1,3)
lain juga mempunyai observasi serupa (Mc Kenna, Dover dan Brame 1983, Thiagarajah dkk 1984, Weinstein 1985).(1) Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu; di masa antepartum pada sekitar 69% pasien dan di masa postpartum pada sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.(4)
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas.(2,4) Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells.(4) Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati.(4,5) Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau destruksi trombosit.(4) Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, α2 antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan fibrin split product > 40 µg/ml2. Semua pasien sindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.(4)
Tabel 1. Faktor risiko
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Sindrom HELLP terjadi pada ± 2-12% kehamilan.(1,3,5,7) Sebagai perbandingan, preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini sering terlambat. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi (Tabel 1).(4) Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.(1,3,7) Penulis
Sindroma HELLP
Preeklampsi
Multipara Usia ibu > 25 tahun Ras kulit putih Riwayat keluaran kehamilan yang jelek
Nullipara Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun Riwayat keluarga preeklampsi Asuhan mental (ANC) yang minimal Diabetes Melitus Hipertensi Kronik Kehamilan multipel
MANIFESTASI KLINIS Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.(1,2,5) Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain.(1,3,5,7) Tabel 2. Perbedaan hasil laboratorium AFLP dan sindrom HELLP
Glukosa Asam urat Kreatinin Trombcsit Fibrinogen
AFLP Rendah Tinggi Tinggi Rendah atau normal Rendah
Waktu Prothrombin (PT)
Memanjang
HELLP Normal Tinggi Tinggi Rendah atau normal Normal sampai meningkat Normal
Waktu Parsial Thromboplastin (PTT)
Memanjang
normal
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.(1) Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik ≥ 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolik ≤ 90 mmHg.(1,2) Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari setengah (13 pasien) mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit ≥ 160/110 mmHg. Jadi sindrom HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 25
bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis, gastroenteritis, glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus.(1) Perlemakan hati akut (AFLP) jarang terjadi tapi potensial menjadi komplikasi yang fatal pada kehamilan trimester ke tiga. Pada awalnya, perlemakan hati akut dalam kehamilan sukar dibedakan dari sindrom HELLP. Pasien AFLP mempunyai gejala khas berupa : mual, muntah, nyeri abdomen, dan ikterus. Sindrom HELLP dan AFLP keduanya ditandai dengan peningkatan tes fungsi hati, tapi pada sindrom HELLP peningkatannya cenderung lebih besar. PT dan PTT biasanva memanjang pada AFLP tapi normal pada sindrom HELLP (Tabel 2). Pemeriksaan mikroskopik hati merupakan tes diagnosis untuk menentukan AFLP. Panlobular microvesicular fatty change (steatosis) difus derajat rendah merupakan gambaran patognomonik AFLP. Penanganan AFLP meliputi pengakhiran kehamilan segera, atasi hiperglikemi atau koagulopati bila timbul.(1) DIAGNOSIS Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah.(4) Banyak penulis mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD.(1) (Tabel 3).(1-3,5,6) Tabel 3. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee, Memphis) Hemolisis - Kelainan apusan darah tepi - Total bilirubin > 1,2 mg/dl - Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L Peningkatan fungsi hati - Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L - Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L Jumlah trombosit yang rendah - Hitung trombosit < 100.000/mm3
DIAGNOSIS BANDING Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan. Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi ( 2-5,7) : - Perlemakan hati akut dalam kehamilan - Apendistis - Gastroenteritis - Kolesistitis - Batu ginjal - Pielonefritis - Ulkus peptikum - Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik - Trombositipeni purpura trombotik
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
-
Sindrom hemolitik uremia Ensefalopati dengan berbagai etiologi Sistemik lupus eritematosus (SLE)
KLASIFIKASI Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada. Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif. Klasifikasi ke dua berdasarkan jumlah trombosit (Martin dkk.) Sindrom HELLP kelas I jika jumlah trombosit < 50.000/mm3. Jumlah trombosit antara 50.000 - 100.000/mm3 dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara 100.000 - 150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.(2,4) PENATALAKSANAAN Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah (Tabel 4).(1,2,5,7) Tabel 4. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu (stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur kehamilan ≥ 35 minggu). 1.
2.
3.
Menilai dan menstabilkan kondisi ibu a. Jika ada DIC, atasi koagulopati b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4 c. Terapi hipertensi berat d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier e. Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati Evaluasi kesejahteraan janin a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST) b. Profil biofisik c. USG Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu a. Jika matur, segera akhiri kehamilan b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline®) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne®) dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.(4) Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur.(1,2) Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.(4) Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.(1,2,6) Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini.(1,2,5,6) Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason. Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup; pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm3 atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.(2) Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih
cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.(8) Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik. Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv (25-50 mg) intermiten. Anestesi lokal infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio sesarea.(1,5,7) Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati. Ruptur hematom subkapsular hati merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang paling sering adalah ruptur lobus kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya ditandai dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam sebelum kolaps sirkulasi. Pasien sering merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan bernafas atau efusi pleura dan biasanya dengan janin yang sudah meninggal.(1,2) Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan pembedahan emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah masif, koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi segera. Pilihan tindakan pada laparatomi meliputi : packing & draining, ligasi segmen yang mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena dan atau penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat, kematian ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan pembekuan. Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.(1,2) Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur; namun pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara konservatif pada pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus meliputi : pemantauan ketat keadaan hemodinamik dan koagulopati. Diperlukan pemeriksaan serial USG atau CT scan terhadap hematoma subkapsuler, penanganan segera bila terjadi ruptur atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting dalam penanganan konservatif adalah menghindari trauma luar terhadap hati seperti : palpasi abdomen, kejang atau muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien. Peningkatan tekanan
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 27
intraabdominal yang tiba-tiba berpotensi menyebabkan ruptur hematom subkapsular.(1,2) Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau kelainan respiratorik. Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.(1) Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun postpartum.(1,2) Penanganannya sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.(1) KOMPLIKASI Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25% berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan ruptur hati.(4,5) Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi intrauterin, dan prematur.(5) Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30%(5) dan sindrom gangguan pernafasan (RDS).(4)
5. Abramovici D, Mattar F, Sibai BM. Hypertensive disorders in pregnancy. In Ransom SB, Dombrowski MP, Mc Neeley SG, Moghissi KS, Munkarah AR, eds. Practical strategies in obstetrics and gynecology. Philadelphia: WB Saunders Co, 2000; 384-6. 6. Mordechai H. Hypertension in pregnancy. In: James KD, Steer JP, Weiner CP, Gonik B, Eds. High risk pregnancy management option. 2nd ed. London: WS Saunders, 1999; 650-1. 7. Sibai BM. Preeclampsia-eclampsia. In: Queenan JT, ed. Management of high risk pregnancy. 3rd ed. Boston: Blackwell Scientific Publ.1999; 3 80-1. 8. Isler CM, Barrileaux PS, Magann EF, Bass JD, Marthin JN. A Prospective randomized trial comparing the efficacy of dexamethasone and betamethasone for the treatment of antarpartum HELLP syndrome. Am J Obstet Gynecol 2001; 184: 1332-9.
Penanganan Sindrom HELLP(4)
Umur kehamilan 32-34 minggu
Umur kehamilan < 32 minggu
Umur kehamilan > 34 minggu
Pemberian kortikosteroid
Kortikosteroid
Observasi respon kliniknya
Penanganan konservatif
Terminasi Tidak
Ya
Kondisi pasien memburuk
Terminasi
Kondisi pasien stabil
Pantau pasien di fasilitas pusat perawatan tersier
Konsul pasien untuk mendapatkan pertolongan jika kehamilan dilanjutkan 2 minggu/lebih untuk kematangan paru janin
Transfer pasien ke fasilitas pusat perawatan tersier yang mempunyai NICU
KEPUSTAKAAN 1. Barton JR, Sibai BM. Management of severe hypertension in pregnancy-USA. In: Walker JJ.,Gant NF, eds. Hypertension in pregnancy. London: Chapman & Hall, 1997; 300-6. 2. Berkowits RL. Hypertension in pregnancy. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL eds. Obstetrics normal & problem pregnancies. 3rd ed. New York : Churchill Livingstone, 1998; 947-53. 3. Sibai BM, Rodriquest JJ. Preeclampsia : diagnosis and management. In : Norbert G ed. Principles and practice of medical therapy in pregnancy.2nd ed. California Appleton and Lange, 1991; 878-9. 4. Padden MD. HELLP syndrome: Recognition and perinatal management. Available from : http./members. Tripad.. Com/Ander Pander/hellp.html. accessed at: Sept 2001.
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Kondisi pasien memburuk
Terminasi
Kondisi pasien baik
Pantau pasien di fasilitas pusat perawatan tersier
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Tes Human Papillomavirus sebagai Skrining Alternatif Kanker Serviks I Ketut Suwiyoga Sub divisi Gineko-Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian yang berhubungan dengan kanker pada perempuan. Upaya skrining dengan Pap smear belum mampu menurunkan insiden dan kematian akibat kanker ini di negara-negara sedang berkembang. Sejak diketahui bahwa infeksi human papillomavirus berhubungan kuat dengan perkembangan dari CIN menjadi kanker serviks maka skrining ditujukan untuk mengetahui keberadaan DNA-HPV. Infeksi HPV grup risiko tinggi terbukti berhubungan kuat dengan perkembangan lesi prekanker menjadi kanker serviks. Sebagian besar infeksi HPV bersifat transien, subklinik, dan sering pada perempuan seksual aktif. Pada infeksi HPV persisten risiko tinggi dan smear abnormal terlihat perkembangan penyakit yang signifikan. Berbeda dengan infeksi HPV grup risiko rendah yang tidak signifikan mempengaruhi perkembangan penyakit sehingga tesnya kurang bermanfaat bahkan dapat mengakibatkan dampak psikologik; tes HPV dengan HC-II melalui sediaan olesan serviks memilki sensitivitas tinggi >90%, spesifisitas rendah (10,0%), positif palsu 5-20% dan negatif palsu 1,1-7,5%. Test HPV sebaiknya tidak dipakai skrining serviks secara tersendiri, tetapi bersama dengan sitologi dan kolposkopi dan bahkan histopatologi apabila diperlukan. Kata kunci : HPV, skrining, kanker serviks
PENDAHULUAN Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian perempuan yang berhubungan dengan kanker. Di seluruh dunia, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya dan ± 80% terjadi di negara-negara sedang berkembang.(1,2) Di Indonesia, insiden kanker serviks diperkirakan ± 40.000 kasus pertahun dan masih merupakan kanker perempuan yang tersering. Mortalitas kanker serviks masih tinggi karena ± 90% terdiagnosis pada stadium invasif, lanjut bahkan terminal. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan insiden dan kematian akibat kanker serviks baik melalui pendekatan faktor risiko maupun terapi. Pendekatan faktor risiko baik major maupun minor, down staging, diagnosis dini dengan Pap smear dan inspeksi visual asam asetat, berbagai modalitas terapi, bahkan terapi paliatif; belum memuaskan.(3-5)
Di Negara maju, skrining Pap smear telah terbukti mampu menemukan lesi prekanker, menurunkan insiden dan sekaligus menurunkan angka kematian akibat kanker serviks. Insiden kanker serviks turun antara 70-80% dalam 10 tahun sejak program skrining dimulai.(2,6) Berbeda dengan negara maju, di negara-negara sedang berkembang skrining dengan Pap smear tidak terbukti mampu menurunkan insiden dan angka kematian akibat kanker serviks. Di Indonesia, berdasarkan metaanalisis akurasi Pap smear bervariasi sangat lebar antara satu senter dengan senter lain. Selain itu, keterbatasan pengetahuan, status sosial ekonomi, kebudayaan dan politik, geografi, demografi juga berpengaruh dan kanker serviks sendiri belum merupakan program pemerintah sehingga ditangani oleh perorangan, perkumpulan, dan lembaga swadaya masyarakat.(2) Pap smear memiliki sensitivitas 70-80%, spesifisitas 60-65%, negatif palsu 20-30%. Negatif palsu ini menyebabkan perkembangan prekanker menjadi kanker serviks luput dari
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 29
pengamatan; sehingga ± 30% kanker serviks terjadi pada mereka yang melakukan Pap smear rutin. Selain itu, positif palsu sitologi serviks antara 15-70% menyebabkan pemberian terapi kepada bukan penderita kanker serviks.(2,7,8) Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik skrining alternatif terutama untuk negara-negara sedang berkembang. Pada saat ini dikembangkan teknik skrining yang tidak hanya lebih akurat, akan tetapi lebih sederhana, murah, dan dapat diterima masyarakat. Hal ini didasarkan pada kesepakatan bahwa human papilloma virus (HPV) merupakan faktor risiko mayor, bahkan pada kanker serviks invasif hampir 100% DNA HPV dapat diisolasi, terutama kelompok HPV risiko tinggi. Dalam hubungannya dengan kanker serviks, HPV dibedakan atas kelompok HPV risiko tinggi dan HPV risiko rendah. Oleh karena itu, skrining ditujukan untuk melacak keberadaan DNA HPV pada sediaan swab/smear serviks.(1,2,9) Swab serviks sendiri lebih sederhana dan murah dibandingkan dengan prosedur Pap smear. HUBUNGAN ANTARA INFEKSI HUMAN PAPILLOMA VIRUS DENGAN KANKER SERVIKS Sejak tahun 1980-an, melalui penelitian terus menerus maka disepakati bahwa infeksi HPV merupakan faktor risiko mayor atau mungkin penyebab sentral kanker serviks invasif, juga pada cervical intraepithelial neoplasia (CIN) sebagai lesi prekanker. Studi molekuler juga telah membuktikan peran HPV pada karsinogenesis kanker serviks; beberapa onkoprotein virus tersebut telah teridentifikasi untuk dapat menjelaskan mekanisme biologi transformasi keganasan.(7,8) WHO (1996) menyatakan bahwa HPV merupakan penyebab penting kanker serviks. HPV merupakan penyakit menular seksual baik pada wanita maupun lelaki.(10) Sekitar 85 tipe HPV telah teridentifikasi melalui teknik sekuensing DNA dan dibedakan atas HPV risiko tinggi dan HPV risiko rendah. HPV risiko tinggi terdiri atas tipe 16, 18,31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68, dan 70 selain tipe tersebut termasuk HPV risiko rendah.(2,8,11) Walaupun infeksi HPV bukan ganas, infeksi persisten dapat berasosiasi dengan perkembangan kanker serviks. Dari kanker serviks tipe skuamosa, ± 99,7% DNA HPV dapat diisolasi terutama HPV-16 9 dan familinya seperti tipe 31, 33, 35, 52, dan 58. Sedangkan kanker serviks tipe adenosa, sebagian besar (82,5%) berhubungan dengan HPV189 dan familinya seperti 39,45,59,68 dan juga tergantung pada usia. Pada usia kurang dari 40 tahun dengan kanker serviks tipe adenosa didapatkan HPV sebanyak 89% sedangkan pada umur 60 tahun atau lebih hanya 43%.(2,6,9) Studi metaanalisis menyatakan bahwa 2/3 kanker serviks berhubungan dengan 51% HPV-16 dan 16,2% HPV-18.(2) Ambar (2002), pada studi cross sectional tentang kanker serviks invasif mendapatkan bahwa HPV-16 dan 18 sebanyak 52,42%.(12) Sedangkan Surya Negara (2002) di Denpasar, melaporkan pada kanker serviks invasif dapat diisolasi DNA HPV-16 sebesar 53,54%, HPV-18 sebesar 68,8%, dan gabungan HPV-16 dan 18 sebesar 72,5%.(13,14) HPV tipe lain selain tipe 16 dan 18 sebanyak 18,3% dan HPV yang juga menonjol adalah tipe 45,31, 33, 58, dan 52. Tipe-tipe HPV berbeda antara satu negara dengan negara lain; di Eropa
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
ditemukan lebih banyak HPV-16 sedangkan di Asia HPV-18. Di Asia juga ditemukan HPV-58 (5,8%) dan HPV-52 (4,4%) serta lebih sering dibanding dengan HPV-45, 31, dan 33.(2,7,15) EPIDEMIOLOGI INFEKSI HUMAN PAPILLOMA VIRUS Infeksi HPV paling sering adalah pada usia 18-30 tahun (30-50%) yaitu beberapa tahun setelah melakukan aktivitas seksual; menurun tajam setelah usia 30 tahun. Infeksi HPV persisten dapat dipengaruhi oleh perilaku seksual seperti aktivitas seksual usia dini di bawah 17 tahun, multipartner seksual, terinfeksi kuman penyebab PHS lain, kutil genitalis, riwayat Pap smear abnormal, dan kanker penis. Perlu dicatat bahwa pemakaian kondom tidak efektif mencegah infeksi HPV karena HPV dapat ditularkan melalui labia majora, skrotum, dan anus.(2,10,15) Walaupun infeksi HPV berhubungan kuat dengan kanker serviks, tidak seluruhnya berkembang menjadi kanker serviks invasif. Sebagian besar berupa infeksi ringan, tidak menimbulkan tanda klinik dan secara sitologik/histopatologik terdapat perubahan berupa low-grade squamous intraepithelial lesion (LSIL) yang dapat mengalami regresi spontan/alamiah. Infeksi HPV transien pada usia 13-22 tahun dapat mengalami regresi spontan alamiah yaitu 70% untuk infeksi HPV risiko tinggi dan 90% untuk infeksi HPV risiko rendah. Hal ini memberikan pola sitologik ± 15% cervical intraepithelial neoplasia (CIN)-I berkembang menjadi CIN-II, ± 50% CIN-II berkembang menjadi CIN-III dan ± 90% CIN-III berkembang menjadi kanker serviks invasif.(9,16,17) Pada beberapa kasus terjadi infeksi HPV persisten yang diperberat oleh infeksi beberapa HPV tipe lain secara bersamaan, viral load yang tinggi, dan kegagalan respon imun. Kasus ini berhubungan kuat dengan progresifitas penyakit menjadi kanker serviks. Viral load yang tinggi terdapat pada high-grade squamous intraepithelial lesion (HSIL) dan pada lesi serviks yang progresif. Didapatkan pula bahwa hanya HPV-16 yang viral loadnya jauh lebih besar dibandingkan dengan HPV-18, 31, dan 33 serta HPV risiko rendah seperti tipe 6 dan 11. Akan tetapi HPV risiko tinggi dengan viral load yang rendah juga dapat mengakibatkan perubahan ganas. Hanya pada smear abnormal persisten dan infeksi HPV risiko tinggi yang menunjukkan perkembangan pola CIN. Berarti wanita tanpa infeksi HPV risiko tinggi tidak akan berkembang menjadi CIN III. Juga dilaporkan tidak terdapat perbedaan antara beberapa HPV risiko tinggi dalam menginduksi dan mempertahankan CIN III.(2,18) Dengan demikian keberadaan HPV risiko tinggi merupakan indikator apakah penyakit dapat berkembang menjadi ganas. Oleh karena itu skrining alternatif untuk mengetahui keberadaan HPV adalah salah satu strategi sangat penting. TEST HUMAN PAPILLOMA VIRUS Test molekuler dengan polymerase chain reaction (PCR) adalah metode yang sangat sensitif dan spesifik yang memadai tetapi sangat tergantung pada dedikasi dan kemampuan / keterampilan personal serta kelengkapan sarana. Pengembangan teknik deteksi DNA HPV akhir-akhir ini berupa hybrid capture (HC) merupakan teknik sederhana dan
cara alternatif yang menarik; seperti produk Hybrid Capture II (HC-II). HC-II adalah sebuah antibody capture/solution hybridization/signal amplication assay yang memakai deteksi kualitatif chemiluminescence terhadap DNA HPV. Dibandingkan dengan PCR, HC-II memiliki ketepatan 92-94% terhadap teknik pemeriksaan sitologi/histologi, waktu yang lebih singkat, tidak terdapat/sedikit kontaminasi, dan juga disertai dengan probe. Probe A untuk melacak DNA HPV risiko rendah seperti HPV-6, 11,42, 43 dan 44, sedangkan probe B untuk melacak 13 tipe DNA HPV risiko tinggi yaitu HPV-16,18,31,33,35,39,45,51,52,56,58,59 dan 68.(2,19) Tes ini dapat dilakukan pada sediaan apusan/cairan vagina dan sel sisa bahan pada sediaan sitologi Pap smear. Sensitivitas HC-II adalah > 90% untuk mendeteksi LSIL dan 25% lebih tinggi dibanding dengan sitologi. Akan tetapi, spesifisitasnya sangat rendah yaitu ± 10%, lebih-lebih jika dipakai untuk skrining primer. Positif palsu antara 5-20% mungkin diakibatkan oleh reaksi silang dengan HPV risiko rendah dan kepekaan probenya. Selain itu, terdapat reaksi silang pada plasmid bakterial pBR 322 level tinggi. Negatif palsu antara 1,1-7,5% dapat terjadi karena infeksi, kesalahan bahan dan tercampur dengan bahan lain seperti obat vaginal anti jamur, jeli kontrasepsi dan vaginal douche. Test HC-II dengan relative light unit (RLU) juga dapat untuk mengetahui viral load secara semi kuantitatif.(2,8,19) Secara klinik, hanya HPV-risiko tinggi saja yang direkomendasi untuk diuji sehubungan dengan etiopatogensis kanker serviks dan faktor psikologik penderita HPV risiko rendah apabila ditemukan DNA HPV.(2,20) PERANAN TEST HUMAN PAPILLOMA VIRUS DALAM PROGRAM SKRINING Peranan test HPV adalah untuk skrining primer, hubungannya dengan sitologi serviks, triase atypical squamous cell of uncertain significance (ASCUS), triase LSIL, dan pengawasan lanjut pascaterapi. Selanjutnya, peranan test HPV diuraikan sebagai berikut. 1. Skrining primer Berdasarkan hubungan antara HPV risiko tinggi dengan CIN dan kanker serviks maka test HPV dapat dipertimbangkan sebagai skrining alternatif selain sitologi serviks. Test HPV memiliki beberapa keunggulan, terutama untuk negara sedang berkembang dengan sumber terbatas, seperti sensitivitas tinggi yang mampu memprediksi kemungkinan suatu penyakit pada wanita dengan risiko, pengamatan lebih cepat, prosedur lebih sederhana dibanding dengan sitologi dan dapat dikerjakan sendiri oleh pasien. Biaya dapat ditekan pada skrining banyak pasien. Kendala lain test HPV adalah spesifisitas dan prediksi positif yang rendah, prevalensi infeksi HPV relatif tinggi. Infeksi HPV yang tidak persisten juga dapat menyebabkan test positif terutama pada wanita di bawah 30 tahun. Regresi spontan alamiah infeksi HPV dalam 8-14 bulan sebanyak 70% mengakibatkan insiden kanker serviks di bawah umur 30 tahun sangat rendah; oleh karena itu test PHV direkomendasikan pada umur di atas 30 tahun. Selain itu, hanya 2,0% CIN I akan berkembang menjadi kanker serviks
walaupun terdapat infeksi HPV. Karena itu test HPV tidak dilakukan secara sendiri. melainkan bersamaan dengan kolposkopi, sitologi bahkan histopatologi.(2,10,21) 2. Hubungannya dengan sitologi serviks Sensitivitas test HPV sangat tinggi dan apabila dilakukan bersamaan dengan sitologi akan sangat bermanfaat untuk mendeteksi prevalensi penyakit. Kombinasi antara sitologi normal dengan test HPV negatif dapat memberikan nilai prediksi negatif sampai dengan 100%. Pada test HPV positif, dilakukan pengamatan lebih seksama dan biaya akan dapat dihemat dengan mendeteksi penyebab HSIL sehingga dapat menurunkan kekerapan Pap smear, kolposkopi, dan biopsi serta terapi yang tidak perlu. Hal ini juga berdampak pada status emosional dan psikologik.(2,5,17) 3. Triase ASCUS Pada atypical squamous cell of uncertain significance (ASCUS) gambaran patologiknya sangat meragukan, sehingga penanganan ASCUS harus cermat, saksama dan lebih spesifik. Di negara-negara berkembang, test DNA HPV dengan HC-II telah terbukti praktis dalam penanganan dan triase smear abnormal. Pada ASCUS, test HPV risiko tinggi positif dapat sebagai petunjuk atas perkembangan penyakit menjadi CIN III/kanker serviks. Hal ini merupakan indikasi kolposkopi lebih awal. Pada test HPV negatif, penanganan lebih konservatif yaitu sitologi ulang 6-12 bulan. Dengan demikian pada triase ASCUS/LSIL maka pilihan penanganan adalah 1) segera kolposkopi, 2) konservatif dengan sitologi ulang setiap 6-12 bulan dan kolposkopi apabila terdapat HSIL, 3) triase HPV(test HPV langsung kolposkopi apabila DNA HPV risiko tinggi positif). Dengan demikian, triase ASCUS dapat menurunkan rujukan untuk pemeriksaan kolposkopi sebesar 44,0%.(2,9,21) 4. Triase LSIL Pada LSIL, sekitar 80,9% dapat diisolasi HPV risiko tinggi yang harus segera diikuti test sitologi dan histopatologi. Walaupun masih dalam status LSIL, akan tetapi jika positif infeksi HPV risiko tinggi maka seharusnya segera diikuti pemeriksaan sitologi/histopatologi. Sekitar 83% LSIL dengan HPV risiko tinggi positif dengan test HC-II positif, harus mendapat penanganan segera.(2,21) Jadi pada HPV risiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan sitologi ulangan dan dilanjutkan dengan histopatologi tanpa memandang perubahan sitologi baik LSIL maupun HSIL. 5. Pengawasan lanjut pasca terapi Pada CIN III yang telah diterapi dengan eksisi luas dapat terjadi kekambuhan 2-3% yang dapat disebabkan oleh lesi multifokus, pemeriksaan bahan eksisi yang tidak adekuat dan rekurensi karena infeksi HPV persisten. Terapi akan lebih berhasil jika dapat menghilangkan infeksi HPV dibandingkan dengan terapi operatif eksisi luas pada CIN. Operasi eksisi ini juga berhubungan dengan penurunan respon imun lokal mucosal antibody lymphoid tissue (MALT).(2,8,23) Test HPV dapat untuk mendeteksi sisa lesi pascaterapi; pada HPV yang tetap positif harus dilakukan terapi ulang. Hal
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 31
ini berarti bahwa pada kasus HPV negatif dan sitologi normal maka risiko rekurensi sangat rendah. Studi kohort pada 58 kasus yang diterapi konisasi, mendapatkan bahwa ± 20% persisten HPV dan 40% nya terjadi rekurensi antara 4-10 bulan setelah terapi. Juga dilaporkan bahwa pada HPV negatif pascaterapi tidak ditemukan rekurensi.(2)
7.
8.
9. 10.
RANGKUMAN Pap smear efektif menurunkan insiden (70-80%) dan kematian akibat kanker serviks di negara maju, berbeda dengan di negara-negara sedang berkembang. Infeksi HPV risiko tinggi terbukti berhubungan kuat dengan kejadian CIN dan perkembangannya menjadi kanker serviks invasif; jika tidak terdapat infeksi HPV maka risiko kanker serviks sangat kecil. Infeksi HPV sebagian besar adalah transien, subklinik, terutama pada perempuan dengan seksual aktif. Infeksi HPV risiko tinggi yang persisten dan Pap smear abnormal, memperlihatkan perkembangan penyakit. Test untuk HPV risiko rendah kurang bermanfaat bahkan dapat mengakibatkan dampak sosial-ekonomi dan psikologik. Test HPV pada sediaan swab serviks/Pap smear dengan hybrid capture II (HC-II) yaitu antibody capture/solution hybridization/signal amplication assay yang memakai deteksi kualitatif chemiluminescence terhadap DNA HPV. HC-II memiliki sensitivitas tinggi >90%, spesifisitas rendah (10,0%), positif palsu 5-20% dan negatif palsu 1,1-7,5%. Test HPV sebaiknya tidak dipakai secara sendiri akan tetapi bersama dengan kolposkopi, sitologi, bahkan histopatologi jika perlu. KEPUSTAKAAN 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Franco EL, Franco ED. Cervical Cancer: Epidemiology, Prevention and The Role of Human Papillomavirus Infection. Can. Med. Assoc. J. 2001; 25: 164-9. Chan YM, Ngan YS. Human Papillomavirus testing in Cervical Cancer Screening. JPOG 2004; 30 (1):33-8. Roemwerdiniadi S. Upaya Penanggulangan Kanker dalam Meningkatkan Kualitas Manusia. Lustrum Program Pasca Sarjana Unair. Surabaya 1993: 1-18. Azis F. Masalah Kanker Serviks dan Upaya Penanganan. Pertemuan Forum Ilmiah Penelitian Kanker Serviks di Indonesia. Bandung 2001: 23-6. Laila N. Down Staging Kanker Serviks. Suatu Cara Metoda Alternatif. Maj Obstet Ginekol Indon 2000 (supp): 67-71. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Estimate of worldwide incidence of 25 major cancer in 1990. Int J Cancer 1999; 80: 827-41.
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18. 19.
20.
21.
22.
23.
Bosch FX, Lorincz A, Munoz N, Meijer CJLM, Shah KV. The causal relation between human papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol 2002;55 (4): 244-65. Tyring SK. Human Papilloma Virus Infection: Epidemiology, Pathogenesis, and Host Immune Response. J Am Acad Dermatol 2000; 43: 518-26. Cox JT. Epidemiology of Cervical Intraepithelial Neoplasm: The Role of Human Papilloma Virus. Bailliere’s Clin Obstet Gynaecol 2000; 9:1-37. Garland SM, Tabrizi SN, Chen S et al. Prevalence of sexually transmitted infection (Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Trichomonas vaginalis and human papillomavirus) in female attendees of a sexually transmitted diseases clinic in Ulanbator, Mongolia. J Infect Dis Obstet Gynaecol 2001; 9 (3): 143-6. Nobbenhus MAE, Walboomer JMM, Helmerhorst TJM et al. Relation of Human Papilloma Virus Status to Cervical Lesion and Consequences for Cervical Cancer Screening: a prospective study. Lancet 1999; 354 (9172): 20-5. Ambar W. Peran p53, pRB, c-myc pada proliferasi sel kanker serviks terinfeksi human papilloma virus tipe 16 dan 18. Disertasi Univeristas Airlangga Surabaya; 2003 Surya Negara IK, Suwiyoga IK, Surya IGP. Ïnfeksi HPV tipe 16 dan 18 pada kanker serviks uterus dan penyakit menular seksual. Program Pendidikan Spesialis I Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2002. Widiarsa IB, Suwiyoga IK. Ïnfeksi HPV tipe 16 pada kanker serviks uterus. Program Pendidikan Spesialis I Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2000. Munoz N, Bosch FX, de Sanjose S et al. Epidemiologic Classification of Human Papillomavirus Types associated with Cervical Cancer. N. Engl J. Med 2003;348: 518-27. Nobbenhus MAE, Walboomer JMM, Helmerhorst TJM et al. Relation of Human Papilloma Virus Status to Cervical Lesion and Consequences for Cervical Cancer Screening: a prospective study. Lancet 1999; 354 (9172): 20-5. Ylitato N, Sorensen P, Josefsson AM et al. Consistent High Viral Load of Human Papilloma Virus 16 and Risk of Cervical Carsinoma in situ: a Nested Case-Control Study. Lancet 2000; 355: 2194-8. Santos C, Muffoz N, Klug S et al. HPV types and cofactors causing cervical cancer in Peru. Br J Cancer 2001; 85: 966-71. Xiao Y, Sato S, Oguchi T et al. High sensitivity of PCR in situ hybridization for the detection of human papillomavirus infection in uterine cervical neoplasias. J Gynaecol Oncol 2001; 82 (2): 350-4. Herrero R, Hidensheim A, Bratti C et al. Population based study of human papillomavirus infection and cervical neoplasia in rural Costa Rica. J Natl Cancer Inst 2000;92: 462-74. Franco EL, Franco ED. Cervical Cancer: Epidemiology, Prevention and The Role of Human Papillomavirus Infection. Can Med Ass J 2001; 164 (7):1-10. Schwartz SM, Dalling JR, Shera KA et al. Human Papillomavirus and Prognosis of Invasive Cervical Cancer: A Population-Based Study. J Clin Oncol 2001; 19 (7): 1906-15. Brentjens MH, Yeung-Yue KA, Lee PC, Tyring SK. Human Papillomavirus: A Review. Dermatol Clin 2002; 20 (2): 315-35.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Karakteristik Candida albicans Conny Riana Tjampakasari Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
ABSTRAK Kandidosis merupakan penyakit jamur teratas di antara penyakit jamur lainnya hingga saat ini. Penyebab utama infeksi ini umumnya adalah Candida albicans (C. albicans). Jamur ini dapat menginfeksi semua organ tubuh manusia, dapat ditemukan pada semua golongan umur, baik pria maupun wanita. Jamur ini dikenal sebagai organisme komensal di saluran pencernaan dan mukokutan, sering ditemukan di kotoran di bawah kuku orang normal. Jamur ini juga dikenal sebagai jamur oportunis.
PENDAHULUAN C. albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Sel ragi (blastospora) berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 µ x 3-6 µ hingga 2-5,5 µ x 5-28 µ . C. albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain, blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol, dalam jumlah sedikit. Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar 8-12 µ.(1-4) Morfologi koloni C. albicans pada medium padat agar Sabouraud Dekstrosa, umumnya berbentuk bulat dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin dan kadang-kadang sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang telah tua. Umur biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape.(2,3) Dalam medium cair seperti glucose yeast, extract pepton, C. albicans tumbuh di dasar tabung.(3) Pada medium tertentu, di antaranya agar tepung jagung (corn-meal agar),agar tajin (rice-cream agar) atau agar dengan
0,1% glukosa terbentuk klamidospora terminal berdinding tebal dalam waktu 24-36 jam.(1-3) Pada medium agar eosin metilen biru dengan suasana CO2 tinggi, dalam waktu 24-48 jam terbentuk pertumbuhan khas menyerupai kaki laba-laba atau pohon cemara.(3) Pada medium yang mengandung faktor protein, misalnya putih telur, serum atau plasma darah dalam waktu 1-2 jam pada suhu 37o C terjadi pembentukan kecambah dari blastospora.(2,3) C. albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5.(5) Jamur ini dapat tumbuh dalam perbenihan pada suhu 28oC 37oC.(4) C. albicans membutuhkan senyawa organik sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses metabolismenya.(2) Unsur karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat.(4) Jamur ini merupakan organisme anaerob fakultatif yang mampu melakukan metabolisme sel, baik dalam suasana anaerob maupun aerob. Proses peragian (fermentasi) pada C. albicans dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob. Karbohidrat yang tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan untuk melakukan metabolisme sel dengan cara mengubah karbohidrat menjadi CO2 dan H2O dalam suasana aerob. Sedangkan dalam suasana anaerob hasil fermentasi berupa asam laktat atau etanol dan CO2. Proses akhir fermentasi anaerob menghasilkan persediaan bahan bakar yang diperlukan
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 33
untuk proses oksidasi dan pernafasan.(4) Pada proses asimilasi, karbohidrat dipakai oleh C. albicans sebagai sumber karbon maupun sumber energi untuk melakukan pertumbuhan sel.(2, 4) C. albicans dapat dibedakan dari spesies lain berdasarkan kemampuannya melakukan proses fermentasi dan asimilasi. Pada kedua proses ini dibutuhkan karbohidrat sebagai sumber karbon. Pada proses fermentasi, jamur ini menunjukkan hasil terbentuknya gas dan asam pada glukosa dan maltosa, terbentuknya asam pada sukrosa dan tidak terbentuknya asam dan gas pada laktosa. Pada proses asimilasi menunjukkan adanya pertumbuhan pada glukosa, maltosa dan sukrosa namun tidak menunjukkan pertumbuhan pada laktosa.(2, 3) STRUKTUR FISIK Dinding sel C. albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik.(4) Fungsi utama dinding sel tersebut adalah memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari lingkungannya.(4,6) C. albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm. Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30 % dari berat kering dinding sel, β-1,3-D-glukan dan β–1,6-D-glukan sekitar 47-60 %, khitin sekitar 0,6-9 %, protein 6-25 % dan lipid 1-7 %. Dalam bentuk ragi, kecambah dan miselium, komponenkomponen ini menunjukkan proporsi yang serupa tetapi bentuk miselium memiliki khitin tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan sel ragi.(4) Dinding sel C. albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda.(4) Segal dan Bavin (1994) memperlihatkan bahwa dinding sel C. albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda (Gambar 1). (4) Fibrillar Layer Mannoprotein β Glucan β Glucan-Chitin Mannoprotein Plasma membrane Gambar 1. Skema dinding sel C. albicans (Dikutip dari Pathogenic Yeasts and Yeast Infections, Library of Congress Cataloging in Publication Data, 1994, hal. 12)
Membran sel C. albicans seperti sel eukariotik lainnya terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktifitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase, ATPase dan protein yang mentransport fosfat. Terdapatnya membran sterol pada dinding sel memegang peranan penting sebagai target antimikotik dan kemungkinan merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dinding sel.(5,7) Mitokondria pada C. albicans merupakan pembangkit daya sel. Dengan menggunakan energi yang diperoleh dari penggabungan oksigen dengan molekulmolekul makanan, organel ini memproduksi ATP.(3,5)
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Seperti halnya pada eukariot lain, nukleus C. albicans merupakan organel paling menonjol dalam sel. Organ ini dipisahkan dari sitoplasma oleh membran yang terdiri dari 2 lapisan. Semua DNA kromosom disimpan dalam nukleus, terkemas dalam serat-serat kromatin. Isi nukleus berhubungan dengan sitosol melalui pori-pori nucleus.(5,7) Vakuola berperan dalam sistem pencernaan sel, sebagai tempat penyimpanan lipid dan granula polifosfat. Mikrotubul dan mikrofilamen berada dalam sitoplasma. Pada C. albicans mikrofilamen berperan penting dalam terbentuknya perpanjangan hifa.(5,7) STRUKTUR GENETIK C. albicans mempunyai genom diploid. Kandungan DNA yang berasal dari sel ragi pada fase stasioner ditemukan mencapai 3,55 µg/108 sel. Ukuran kromosom Candida albicans diperkirakan berkisar antara 0,95-5,7 Mbp.(4) Beberapa metode menggunakan Alternating Field Gel Electrophoresis telah digunakan untuk membedakan strain C. albicans. Perbedaan strain ini dapat dilihat pada pola pita yang dihasilkan dan metode yang digunakan. Strain yang sama memiliki pola pita kromosom yang sama berdasarkan jumlah dan ukurannya. Steven dkk (1990) mempelajari 17 strain isolat C. albicans dari kasus kandidosis. Dengan metode elektroforesis, 17 isolat C. albicans tersebut dikelompokkan menjadi 6 tipe. Adanya variasi dalam jumlah kromosom kemungkinan besar adalah hasil dari chromosome rearrangement yang dapat terjadi akibat delesi, adisi atau variasi dari pasangan yang homolog. Peristiwa ini merupakan hal yang sering terjadi dan merupakan bagian dari daur hidup normal berbagai macam organisme. Hal ini juga seringkali menjadi dasar perubahan sifat fisiologis, serologis maupun virulensi.(4) Pada C. albicans, frekuensi terjadinya variasi morfologi koloni dilaporkan sekitar 10-2 sampai 10-4 dalam koloni abnormal. Frekuensi meningkat oleh mutagenesis akibat penyinaran UV dosis rendah yang dapat membunuh populasi kurang dari 10%. Terjadinya mutasi dapat dikaitkan dengan perubahan fenotip, berupa perubahan morfologi koloni menjadi putih smooth, gelap smooth, berbentuk bintang, lingkaran, berkerut tidak beraturan, berbentuk seperti topi, berbulu, berbentuk seperti roda, berkerut dan bertekstur lunak.(4) PATOGENESIS Menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel pejamu menjadi syarat mutlak untuk berkembangnya infeksi. Secara umum diketahui bahwa interaksi antara mikroorganisme dan sel pejamu diperantarai oleh komponen spesifik dari dinding sel mikroorganisme, adhesin dan reseptor.(4,8) Manan dan manoprotein merupakan molekul-molekul C. albicans yang mempunyai aktifitas adhesif. Khitin, komponen kecil yang terdapat pada dinding sel C. albicans juga berperan dalam aktifitas adhesive.(4) Setelah terjadi proses penempelan, C. albicans berpenetrasi ke dalam sel epitel mukosa. Dalam hal ini enzim yang berperan adalah aminopeptidase dan asam fosfatase. Apa yang terjadi setelah proses penetrasi tergantung dari keadaan imun dari pejamu.(4,8) Pada umumnya C. albicans berada dalam tubuh manusia sebagai saproba dan infeksi baru terjadi bila terdapat faktor
predisposisi pada tubuh pejamu. Faktor-faktor yang dihubungkan dengan meningkatnya kasus kandidosis antara lain disebabkan oleh : 1. Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan umum yang buruk, misalnya: bayi baru lahir, orang tua renta, penderita penyakit menahun, orang-orang dengan gizi rendah 2. Penyakit tertentu, misalnya: diabetes mellitus 3. Kehamilan 4. Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi terus menerus, misalnya oleh air, keringat, urin atau air liur. 5. Penggunaan obat di antaranya: antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik.(3,4) Faktor predisposisi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan C. albicans serta memudahkan invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia karena adanya perubahan dalam sistem pertahanan tubuh. Blastospora berkembang menjadi hifa semu dan tekanan dari hifa semu tersebut merusak jaringan, sehingga invasi ke dalam jaringan dapat terjadi. Virulensi ditentukan oleh kemampuan jamur tersebut merusak jaringan serta invasi ke dalam jaringan.(2,4,8) Enzim-enzim yang berperan sebagai faktor virulensi adalah enzim-enzim hidrolitik seperti proteinase, lipase dan fosfolipase.(4,8) EPIDEMIOLOGI C. albicans dapat ditemukan di mana-mana sebagai mikroorganisme yang menetap di dalam saluran yang berhubungan dengan lingkungan luar manusia (rektum, rongga mulut dan vagina).(4,8) Prevalensi infeksi C. albicans pada manusia dihubungkan dengan kekebalan tubuh yang menurun, sehingga invasi dapat terjadi. Meningkatnya prevalensi infeksi C. albicans dihubungkan dengan kelompok penderita dengan gangguan sistem imunitas seperti pada penderita AIDS, penderita yang menjalani transplantasi organ dan kemoterapi antimaligna.(4,8) Selain itu makin meningkatnya tindakan invasif, seperti penggunaan kateter dan jarum infus sering dihubungkan dengan terjadinya invasi C. albicans ke dalam jaringan. Edward (1990) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dari 344.610 kasus infeksi nosokomial yang ditemukan, 27.200 kasus (7,9 %) disebabkan oleh jamur dan 21.488 kasus (79 %) disebabkan oleh spesies Candida. Peneliti lain (Odds dkk. 1990) mengemukakan bahwa dari 6.545 penderita AIDS, sekitar 44,8 % nya adalah penderita kandidosis.(4) Banyak studi epidemiologi melaporkan bahwa terjadinya kasus-kasus kandidosis tidak dipengaruhi oleh iklim dan geografis.(4) Hal itu menunjukkan bahwa C. albicans sebagai penyebab kandidosis dapat ditemukan di berbagai negara. PATOLOGI DAN MANIFESTASI KLINIK Pada manusia, C. albicans sering ditemukan di dalam mulut, feses, kulit dan di bawah kuku orang sehat.(4,8) C. albicans dapat membentuk blastospora dan hifa, baik dalam biakan maupun dalam tubuh. Bentuk jamur di dalam tubuh dianggap dapat dihubungkan dengan sifat jamur, yaitu sebagai saproba tanpa menyebabkan kelainan atau sebagai parasit patogen yang menyebabkan kelainan dalam jaringan.
Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa sifat patogenitas tidak berhubungan dengan ditemukannya C. albicans dalam bentuk blastospora atau hifa di dalam jaringan.(3,4) Terjadinya kedua bentuk tersebut dipengaruhi oleh tersedianya nutrisi, yang dapat ditunjukkan pada suatu percobaan di luar tubuh. Pada keadaan yang menghambat pembentukan tunas dengan bebas, tetapi yang masih memungkinkan jamur tumbuh, maka dibentuk hifa.(3) Rippon (1974) mengemukakan bahwa bentuk blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan. Sesudah terjadi lesi, dibentuk hifa yang melakukan invasi.(2) Dengan proses tersebut terjadilah reaksi radang. Pada kandidosis akut biasanya hanya terdapat blastospora, sedang pada yang menahun didapatkan miselium. Kandidosis di permukaan alat dalam biasanya hanya mengandung blastospora yang berjumlah besar, pada stadium lanjut tampak hifa. Hal ini dapat dipergunakan untuk menilai hasil pemeriksaan bahan klinik, misalnya dahak, urin untuk menunjukkan stadium penyakit.(3,8) Kelainan jaringan yang disebabkan oleh C. albicans dapat berupa peradangan, abses kecil atau granuloma. Pada kandidosis sistemik, alat dalam yang terbanyak terkena adalah ginjal, yang dapat hanya mengenai korteks atau korteks dan medula dengan terbentuknya abses kecil-kecil berwarna keputihan. Alat dalam lainnya yang juga dapat terkena adalah hati, paru-paru, limpa dan kelenjar gondok. Mata dan otak sangat jarang terinfeksi. Kandidosis jantung berupa proliferasi pada katup-katup atau granuloma pada dinding pembuluh darah koroner atau miokardium. Pada saluran pencernaan tampak nekrosis atau ulkus yang kadang-kadang sangat kecil sehingga sering tidak terlihat pada pemeriksaan.(3,4) Manifestasi klinik infeksi C. albicans bervariasi tergantung dari organ yang diinfeksinya.(8,9) Kandidosis kulit Jamur ini sering ditemukan di daerah lipatan, misalnya ketiak, di bawah payudara, lipat paha, lipat pantat dan sela jari kaki.(8,9) Kulit yang terinfeksi tampak kemerahan, agak basah, bersisik halus dan berbatas tegas.(9,10) Gejala utama adalah rasa gatal dan rasa nyeri bila terjadi maserasi atau infeksi sekunder oleh kuman.(3,9) Kandidosis kuku Kuku yang terinfeksi tampak tidak mengkilat, berwarna seperti susu, kehijauan atau kecoklatan. Kadang-kadang permukaan kuku menimbul dan tidak rata. Di bawah permukaan yang keras terdapat bahan rapuh yang mengandung jamur. Kelainan ini dapat mengenai satu/beberapa atau seluruh jari tangan dan kaki.(3,9) Kandidosis saluran pencernaan Stomatitis dapat terjadi bila khamir menginfeksi rongga mulut. Gambaran klinisnya khas berupa bercak-bercak putih kekuningan, yang menimbul pada dasar selaput lendir yang merah. Hampir seluruh selaput lendir mulut, termasuk lidah dapat terkena. Gejala yang ditimbulkannya adalah rasa nyeri, terutama bila tersentuh makanan.(3,8)
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 35
Kandidosis vagina Pada wanita, C. albicans sering menimbulkan vaginitis dengan gejala utama fluor albus yang sering disertai rasa gatal. Infeksi ini terjadi akibat tercemar setelah defekasi, tercemar dari kuku atau air yang digunakan untuk membersihkan diri; sebaliknya vaginitis Candida dapat menjadi sumber infeksi di kuku, kulit di sekitar vulva dan bagian lain.(11,12) Kandidosis paru C. albicans dapat ditemukan sebagai infeksi primer dan sekunder. Gejalanya menyerupai penyakit paru oleh sebab lain, yaitu suhu tubuh meningkat, nyeri dada, batuk, dahak kental yang dapat bercampur darah.(3,8) Kandidosis alat dalam lain dan sistemik Selain alat-alat tersebut di atas, kandidosis juga dapat menginfeksi endokardium, selaput otak dan mata serta dapat menimbulkan septikemi. Endokarditis oleh C. albicans mempunyai gejala yang sangat mirip dengan penyakit yang disebabkan oleh kuman, yaitu demam, bising jantung, payah jantung, anemi dan pembesaran limpa.(3,8) Meningitis oleh C. albicans dapat timbul oleh penjalaran jamur secara hematogen. Gejala utamanya rasa nyeri disertai kelainan saraf misalnya afasia atau hemiparesis.(3,8) Kandidosis mata dapat berupa ulkus kornea yang disertai hipopion, atau dapat juga berupa endoftalmitis.
Gejala dapat berupa skotoma, rasa sakit, pandangan silau (fotofobia).(3,8) Septikemia oleh C. albicans sangat jarang ; dapat terjadi sebagai penjalaran infeksi lokal, misalnya stomatitis.(3,8) KEPUSTAKAAN 1.
Ellis DH. Clinical mycology. The Human Opportunistic Mycoses. Gillingham Printer. Australia. 1994; 13-39. 2. Rippon JW. Medical Mycology. WB Saunders Co. Philadelphia. 1998; 532-75. 3. Suprihatin SD. Candida dan Kandidiasis pada Manusia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 1982 4. Segal, Baum. Pathogenic yeast and yeast infections. CRC Press Inc, Tokyo 1994. 5. Reiss E, Hearn VM, Poulain D dkk. Structure and function of the fungal cell wall. J. Med. Vet.Mycol. 1992; 30 (Suppl): 143-56. 6. Kreger van Rij NJW. The Yeast.A taxonomic study. Elsevier Science Publ., Amsterdam, 1984. 7. Roberts B, Bray J, Lewis J dkk. Biologi molekuler sel. 2nd ed. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 8. Richardson MD, Shankland ES. Epidemiology and Pathogenesis of Candidosis. Candida today 1991: 3-7. 9. Mulyati, Sjarifuddin PK. Sumber Infeksi Kandidiasis Vagina. Maj.Kedokt.Ind. 1995; 44 (4): 250-5 10. Kwon Chung KJ, Bennet JE. Medical Mycology. Library of Congress Catalogue in Publication Data. 1992. 11. Sjarifuddin PK, Kertanegara D, Susilo K. Keberadaan Candida sp di bawah kuku pada penderita vaginitis. Maj. Parasitol.Ind. 1996; 9 (2) : 7781. 12. Mulyati, Sjarifuddin PK. Sumber Infeksi Kandidiasis Vagina. Maj.Kedokt.Ind. 1995; 44 (4): 250-5
Good news comes always too late, bad news comes always too soon (Bodenstedt)
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sindrom Nefrotik pada Kehamilan Zulkhairi, Salli R Nasution Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Sumatera Utara ,Indonesia
PENDAHULUAN Kehamilan berpengaruh secara mekanis dan hormonal terhadap fungsi traktus urinarius yang secara embriologis berasal dari traktus genitalis. Deregulasi kerja fisiologis ginjal dapat menginduksi perubahan yang bisa membahayakan kehamilan serta meninggalkan penyakit yang menetap dan progresif bagi ibu hamil. Kehamilan bersamaan dengan perubahan anatomi, fungsi ginjal dan regulasi volume cairan tubuh(1). Perubahan fisiologis pada ginjal wanita hamil dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan fisiologis ginjal wanita hamil(2) Hemodinamik sistemik Ekspansi volume Penurunan resistensi pembuluh darah Penurunan tekanan darah Peningkatan tekanan darah
Fungsi ginjal Peningkatan aliran darah ginjal Peningkatan LFG Hipoproteinemia Alkalosis respiratorik kronik dan asidosis metabolik yang seimbang
Profil klinis penyakit parenkim ginjal selama kehamilan masih belum banyak dipahami. Belum banyak studi prospektif yang menyelidiki hubungan klinis dan histologisnya. Analisis retrospektif menunjukkan bahwa penyakit ginjal progresif mengurangi kesempatan menyokong kehamilan yang viabel. Pada kreatinin serum > 3 mg% dan urea nitrogen darah > 30 mg% jarang didapatkan kehamilan bisa normal. Ibu hamil dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan sampai sedang dilaporkan dapat melahirkan bayi yang viabel, tetapi ada juga yang melaporkan pasien sampai menjalani hemodialisis intermiten pada keadaan fungsi ginjal yang memburuk. Jika penyakit parenkim ginjal tidak berhubungan dengan hipertensi, kehamilan dapat berlanjut tanpa banyak komplikasi.(1) Sindrom nefrotik (SN) adalah kelainan kompleks yang ditandai oleh sejumlah gambaran kelainan ginjal dan non ginjal, yang paling menonjol adalah proteinuri > 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan badan dalam 24 jam ( pada praktek di klinis > 3,0-3,5 g/24 jam), hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.(3) SN dikategorikan dalam bentuk primer dan sekunder. Bentuk primer sekarang dikenal dengan istilah SN idiopatik yang berhubungan dengan kelainan primer parenkim ginjal dan sebabnya tidak diketahui.
Sedangkan bentuk sekunder disebabkan oleh penyakit tertentu seperti keganasan, toksin, gangguan sirkulasi mekanik, purpura anafilaktoid, lupus eritomatosus sistemik, diabetes melitus, sickle cell disease dan sifilis.(4,5) Berbagai penyebab SN dapat dilihat pada Tabel 2. SN pada kehamilan secara umum jarang terjadi.(7'8) Hal ini sebenarnya timbul karena adanya penyebab SN, kehamilan hanya koinsiden.(7) Sulit mencari kepustakaan yang melaporkan prevalensi atau insidensi SN pada kehamilan. Yao dkk mendapatkan 50 kasus SN pada kehamilan pada pengamatan 13 tahun (1979-1992) di bagian kebidanan rumah sakit umum Tianjin, Cina.(9) Apabila kehamilan disertai SN, maka pengobatan serta prognosis ibu dan anak tergantung pada faktor penyebabnya dan pada beratnya insufisiensi ginjal.(10) PATOFISIOLOGI Pada individu sehat, dinding kapiler glomerulus berfungsi sebagai sawar untuk menyingkirkan protein agar tidak memasuki ruangan urinarius melalui diskriminasi ukuran dan muatan listrik. Dengan adanya gangguan glomerulus, ukuran dan muatan sawar selektif rusak. Umumnya molekul dengan radius < 17 A° dapat melalui filter glomerulus, sedangkan yang radius molekulnya > 44 A° tidak. Albumin dengan radius molekul 36 A° mempunyai bersihan fraksional sekitar 10% laju filtrasi glomerulus (LFG). Dinding kapiler glomerulus mempunyai muatan negatif atau anionik pada permukaan endotelnya sampai seluruh membrana basalis glomerulus dan pada lapisan sel epitelnya, sehingga dinding kapiler dapat menolak muatan positif dari protein plasma. Jika gomerulus intak hanya albumin yang dapat lolos melalui filtrasi glomerulus. Protein diekskresikan < 150 mg / hari dalam urin.(11) Proteinuri pada SN terutama terdiri dari proteinuri glomerular. Sedangkan proteinuri tubulus tidak berperan penting, hanya turut memperberat derajat proteinuri.(12) Pada kehamilan terjadi peningkatan hemodinamik ginjal dan/atau peningkatan tekanan vena ginjal yang dapat menambah ekskresi protein melalui urin.(8) Telah diteliti bahwa 95% wanita hamil normal mengekskresikan protein > 200 mg/hari.(13) Disepakati abnormal pada kehamilan jika lebih dari 300-500 mg/hari.(14) Proteinuri persisten pada kehamilan
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 37
umumnya disebabkan preeklamsi, makin meningkat pada paruh kedua usia kehamilan dan umumnya terjadi setelah timbulnya hipertensi.(13) Tabel 2. Penyebab Sindrom Nefrotik(6) Penyakit glomerulus
Metabolik
Penyakit sistemik dan imunologis
Penyakit sirkulasi
Nefrotoksin
Obat-obat dan alergi
Penyakit infeksi
Sindroma nefrotik kongenital Nefritis hereditofamilial
Lesi minimal Membranous idiopatik Proliferatif Lobular Glomerulosklerosis diabetik difus dan nodular Amiloidosis Mieloma multipel Miksedema Lupus eritematosus sistemik Periarteritis Sindrom Goodpasture Dermatomiositis Central pontine myelinolysis Penyakit Takayasu Erythema multiforme Anemia sickle cell Sferositosis Stenosis arteri renalis Trombosis vena renalis Trombosis arteri pulmonal Perikarditis konstriktiva Insufisiensi katup trikuspid Feokromositoma Diuretik organik merkuri, Salep amoniak merkuri Merkuri non organik Bismut Emas Serbuk sari (pollen) Gigitan lebah Racun kayu, racun pohon menjalar, toksin rhus yang sudah dipurifikasi Trimetadion dan parametadion Anti serangga Gigitan ular Probenesid, Penisilamin Terapi alergen dan serum campuran; contoh kayu, cold pills, globulin dan vaksin polio Penyakit Sitomegalovirus Sifilis Malaria Tifus Jejunoileitis kronis Tuberkulosis Endokarditis bakterial subakut Herpes zoster Shunt nephritis (stafilokokus) Bakteremia campuran
Kehamilan Transplantasi Cyclic recurrent Intestinal lymphangiectasis
KEHAMILAN PADA PENDERITA SINDROM NEFROTIK Bagi wanita dengan penyakit ginjal yang mempertimbangkan hamil ada dua pertanyaan yang dibutuhkan untuk menolong pasien membuat keputusan yang tepat: Apa pengaruh penyakit ginjal pada kehamilan dan hasilnya terutama terhadap morbiditas dan mortalitas janin. Penyakit ginjal berhubungan dengan gagal plasenta, retardasi pertumbuhan
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
dalam rahim, partus prematurus, bayi kecil. Tetapi risiko ini tidak sama pada semua wanita hamil dengan penyakit ginjal. Apa efek terhadap kehamilan pada riwayat penyakit ginjal yang diderita sebelumnya.. Tidak hanya pengaruh yang segera timbul selama kehamilan, tetapi juga efeknya juga terhadap progresifitas penyakit ginjal tersebut.(15) Hal tersebut tidak terkecuali untuk penderita SN yang ingin hamil. SN adalah satu faktor risiko mayor untuk akibat yang jelek pada janin; harus dilakukan upaya menurunkan proteinuri dan perbaikan hipoalbuminemi terlebih dulu sebelum hamil.(15) SINDROM NEFROTIK AKIBAT KEHAMILAN Penyebab tersering proteinuri yang nefrotik (>3,5 mg/hari) pada kehamilan lanjut adalah preeklamsi(8,16) Preeklamsi banyak menimbulkan komplikasi ginjal serius pada kehamilan, secara histologis abnormalitasnya ditemukan di glomerulus,(1,7) berupa pembengkakan dan proliferasi sel-sel endotel kapiler glomerulus dengan penyempitan lumen kapiler, jarang terdapat kehilangan struktur pedikel yang bermakna.(1) Sangat sering proteinuri akibat preeklamsi nefrotik cukup kuat untuk menginduksi gambaran klinis SN.(1,7) Penyakit menjadi progresif dan cenderung mereda sebagian atau seluruhnya setelah partus.(7) Weisman dkk telah melaporkan sekelompok kehamilan nefrotik berat yang diikuti selama 4 tahun setelah partus dan mengamati bahwa beberapa wanita memiliki penyakit ginjal yang perubahan morfologinya ditutupi oleh perubahan preeklamsi pada spesimen biopsi pasca partus. Lindheimer dan Katz memeriksa 10 kehamilan nefrotik dengan endoteliosis glomerular 12-14 bulan pasca partus, 9 dari wanita ini memiliki fungsi ginjal normal, yang ke-10 menderita penyakit ginjal polikistik walaupun pada pielogram pasca partus 3 tahun lalu dalam batas normal. Oleh karena itu, preeklamsi masih merupakan penyebab terbanyak proteinuri pada kehamilan lanjut. Penyebab lain SN pada kehamilan termasuk glomerulonefritis membranous, proliferatif atau membranoproliferatif, lipoid nefrosis, lupus nefropati, sifilis sekunder, nefritis herediter, trombosis vena ginjal, nefropati diabetik dan amiloidosis.(1,8) Penekanan vena cava inferior akibat uterus gravida mungkin berperan sebagai penyebab transient nephrotic syndrome yang dapat menimbulkan trombosis vena ginjal. Pada keadaan ini tidak dijumpai penyebab primer maupun sekunder.(7) RECURRENT NEPHROTIC SYNDROME OF PREGNANCY Nama lain untuk istilah ini adalah cyclic nephrosis of pregnancy, yang menggambarkan kondisi bahwa gejala SN lebih jelas selama kehamilan, dan dapat menghilang setelah partus.(1,8,16) Kasus ini jarang ditemukan di klinik tetapi mempunyai prognosis yang baik.(4,12) Umumnya kasus ini terjadi pada pasien preeklamsi dengan latar belakang penyakit parenkim ginjal sebelumnya.(8) Kasus ini pertama dilaporkan Schreiner (1963) pada 1 kasus SN yang dihubungkan dengan pengulangan kehamilan.(1,7) Walaupun fungsi ginjal adekuat dan hipertensi
pada awalnya tidak dijumpai, pasien akhirnya meninggal karena gagal ginjal dengan gambaran histologi proliferatif campuran dan perubahan membranous di glomerulus. Schreiner menyebutkan bahwa kasus ini disebabkan respon hiperimun yang berhubungan dengan adanya produk kehamilan yang tidak diketahui.(1,7,8) DIAGNOSIS 1. Gambaran klinis Tidak ada penekanan khusus gambaran klinis SN yang terjadi pada wanita hamil. Secara umum pada SN terjadi edema akibat hipoalbuminemi, asites, efusi pleura, sesak nafas, kaki merasa berat dan dingin, tidak jarang diare, atrofi otot, serta hipertensi ringan dan sedang.(12) 2. Evaluasi laboratorium 2.1. Proteinuri Proteinuri biasanya dideteksi pada urinalisis rutin. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Bila asal proteinuri tidak jelas, dapat dilakukan elektroforesis protein urin. Bila albumin >70% maka sumbernya adalah glomerular. Pemeriksaan yang paling sering dan mudah adalah dengan cara dipstick yang bermanfaat untuk melihat ada tidaknya proteinuri terlebih pada nilai yang > +3 ( 3 g/dl) atau > +4 ( > 20 g/dl), tetapi pada nilai intermediate angka positif palsunya mencapai 50%. Protein urin 24 jam adalah baku emas untuk pengukuran nilai proteinuri, tetapi cara ini tidak praktis terutama pada keadaan preeklamsi yang memerlukan hasil segera. Yang paling baik adalah dengan menggunakan alat urinalisis otomatis.(13)
fibrinogen. Jika pengobatan adekuat semua fraksi tersebut akan kembali normal.(12) 3.
Biopsi ginjal Untuk mencari penyebab SN pada kehamilan dilakukan biopsi ginjal. Tindakan ini sering dilakukan pada SN yang tidak disebabkan oleh preeklamsi dan SN yang terjadi pada awal kehamilan. Biopsi dilakukan pada posisi telungkup pada usia kehamilan di atas 20 minggu, setelah masa itu lebih baik dalam posisi duduk. Kontraindikasi absolut dan relatif tidak berbeda seperti pada wanita yang tidak hamil.(13) Biopsi ginjal juga dibutuhkan untuk menentukan jenis terapi terutama peranan steroid.(8) Tabel 3. Manifestasi dan penatalaksanaan SN pada kehamilan. Manifestasi Proteinuri
Akibat pada kehamilan Peningkatan hemodinamik ginjal, juga peningkatan tekanan vena ginjal dapat meningkatkan ekskresi protein dan memperparah penyakit
Hipoalbuminemi
Kadar albumin serum biasanya turun 0,5-1 g/100 ml pada kehamilan normal. Penurunan albumin yang lebih besar akan meningkatkan kecenderungan retensi cairan
Edema
Biasanya meningkat selama Hindari diuretik yang dapat kehamilan meningkatkan oligemi intravaskular dan mempengaruhi perfusi uteroplasental
2.3. Faal ginjal Pada stadium awal faal ginjal masih normal, masih sanggup mengeksresikan urea, kreatinin dan hasil-hasil metabolisme protein lainnya. Bila SN telah berjalan lama dan menetap, baru terdapat gangguan faal ginjal, biasanya telah terdapat kerusakan progresif glomerulus.(12)
Komplikasi infeksi
Terjadi peningkatan insiden Pemeriksaan komplikasi infeksi asimtomatis
Episode trombotik
Kehamilan adalah keadaan hiperkoagulabilitas, yang dapat meningkatkan episode trombotik pada kehamilan
2.4. Hiperlipidemi Kenaikan lemak darah sudah lama diketahui pada pasien SN. Kenaikan kolesterol total serum dapat mencapai 400-600 mg% dan lemak total 2-3 g%. Pada umumnya terdapat hubungan terbalik antara kadar albumin serum dengan kadar kolesterol total serum yaitu penurunan kadar albumin serum disertai kenaikan kadar kolesterol total serum.(12)
Hiperlipidemi
Kolesterol dan asam lemak Jarang dibutuhkan terapi bebas umumnya meningkat pada kehamilan dan selama kehamilan kebanyakan obat penurun lemak belum diuji pada kehamilan
2.2. Sedimen urin Urin mengandung benda-benda lemak dan kolesterol ester, terlihat sebagai Maltese cross dengan sinar polarisasi. Hematuri mikroskopik disertai silinder eritrosit sering ditemukan pada semua bentuk glomerulonefritis yang menyebabkan SN.(12)
2.5. Elektroforesis serum protein Penurunan kadar albumin terutama menyebabkan hipoproteinemi. Globulin serum cenderung normal atau sedikit meninggi. Proteinuri non selektif dan gamma globulin dapat lolos melalui urin jika glomerulus telah rusak berat. Gamma globulin seringkali meninggi, juga beta globulin dan
Penatalaksanaan Diet tinggi protein (3 g/kg/kgbb.) Infus salt-poor albumin direkomendasikan untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal akibat oligemi yang nyata dan adanya hipotensi postural
bakteriuri
Tidak dianjurkan antikoagulan profilaktik, tetapi jika dibutuhkan, heparin adalah antikoagulan yang tidak melewati plasenta
PENATALAKSANAAN Prinsipnya terdiri dari terapi simtomatik dan spesiflk terhadap penyakit glomerulus primer serta pemilihan obat yang aman bagi ibu dan janinnya.(1) Tabel 3 menunjukkan manifestasi dan penatalaksanaan SN pada kehamilan. 1.
Tindakan Umum Penderita dengan edema anasarka berat harus rawat inap dan istirahat di tempat tidur untuk mengurangi proteinuri.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 39
Mobilisasi otot-otot penting untuk mencegah atrofi otot ekstremitas. Penderita edema ringan cukup rawat jalan dan mengurangi mobilisasi aktif untuk mencegah proteinuri ortostatik.(4)
infeksi pasien harus sering diperiksa untuk deteksi bakteriuri asimtomatik dan antibiotik harus diberikan dengan hati-hati pada bukti infeksi yang sudah ada.(I,10) 8.
2.
Diet kaya protein Diet ini untuk kompensasi kehilangan protein melalui urin. Efek kehilangan protein berlebih dapat menimbulkan retardasi pertumbuhan janin. Jika terjadi hipoproteinemi ibu harus mendapat diet tinggi protein (3g/kgbb.) dari jenis protein hewani yang mempunyai nilai biologis tinggi.(1,4,10) 3.
Infus salt-poor human albumin Pada keadaan tidak hamil indikasi pemberian infus saltpoor human albumin adalah pada pasien-pasien SN yang resisten terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spirinolakton).(4) Pada SN dengan kehamilan infus salt-poor human albumin diberikan jika oligemi bertanggung jawab terhadap perburukan fungsi ginjal yang progresif.(1,13) Namun peranannya disebutkan sedikit pada penatalaksanaan SN pada kehamilan.(13) 4.
Pembatasan garam dapur Bila sembab tidak berat pembatasan konsumsi garam dapur tidak perlu ketat. Penderita dilarang makan ikan asin, telur asin, kecap asin atau makanan kaleng. Untuk penderita edema anasarka dilakukan restriksi garam ketat 10 mEq/hari.(4) 5.
Diuretik Diuretik harus dihindari karena dapat meningkatkan oligemi intravaskuler dan mempengaruhi perfusi uteroplasenta,(1,16) selain itu penurunan tekanan darah selama kehamilan dapat memprovokasi kolaps sirkulasi atau episode tromboemboli. Pengecualian hal ini adalah pada bentuk nefrotik tertentu yang juga memunculkan hipertensi yang sensitif garam (terutama wanita dengan nefropati diabetik), pada kasus seperti itu restriksi garam yang lebih ketat, kombinasi dengan diuretik yang hati-hati dapat menghindari terminasi pada awal trimester III akibat tekanan darah tidak terkontrol.(16) Juga pada kasus-kasus edema nefrotik yang makin memburuk selama kehamilan dapat dipertimbangkan diuretik.(8) 6.
ACE-Inhibitor Walaupun mempunyai efek antiproteinuri dan antihipertensi, golongan obat ini dikontra indikasikan pada kehamilan karena efek yang tidak diinginkan pada janin berupa gagal ginjal dan kematian janin. (13,17) 7.
Antibiotik Diketahui setiap SN sangat peka terhadap infeksi sekunder, renal maupun ekstrarenal.(4) Sedang pada kehamilan sering dijumpai bakteriuri asimtomatik yang jika tidak diobati 25% akan berkembang menjadi infeksi akut simtomatis.(14) Sejumlah 18% kehamilan nefrotik menderita komplikasi infeksi dan sebagian besar merupakan infeksi saluran kemih.(8) Kedua keadaan tersebut akan menambah risiko infeksi sekunder. Oleh karena itu untuk menghindari komplikasi
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Antikoagulan Antikoagulan dipertimbangkan untuk mencegah penyulit tromboemboli yang mungkin terdapat pada SN.(4) Wanita hamil dengan SN berisiko tinggi tromboemboli vena dan perlu mendapat antikoagulan.(13) Untuk ini, heparin lebih baik dibanding warfarin.(1) Siberman dan Adam menganjurkan pemberian heparin dalam masa nifas pada wanita dengan SN.(10) Heparin tidak terfraksinasi dan heparin berat molekul rendah tidak melewati plasenta, sehingga aman digunakan.(18) Pemberian antikoagulan tidak perlu jika diuretik dihindari dan diet restriksi garam benar-benar diterapkan.(8) 9.
Anti agregasi trombosit Aspirin atau dipiridamol sudah lama dikenal untuk mencegah penyulit hiperkoagulasi dengan fenomena tromboemboli pada pasien SN. Efek farmakologiknya terutama untuk mencegah agregasi trombosit dan deposit fibrin atau trombus. Begitu juga halnya dengan indometasin yang selain memiliki efek anti agregasi trombosit juga efek sebagai anti proteinuri.(4) Penggunaan aspirin pada wanita hamil walaupun terbukti secara epidemiologis dan klinis aman namun disebutkan dapat menimbulkan partus lama dan risiko perdarahan pada neonatus dan ibunya. Indometasin tidak dianjurkan pada wanita hamil karena melewati barier plasenta serta toksisitasnya.(17,19) walaupun tidak terbukti teratogenik.(19) 10. Kortikosteroid Steroid dengan kerja (efek) cepat dan waktu paruh biologik pendek (<12 jam) misalnya kortison dan hidrokortison biasanya mempunyai efek farmakologik kurang cepat, sering menimbulkan retensi garam dan air. Steroid dengan waktu paruh biologik panjang, biasanya mempunyai efek farmakologik lebih poten (kuat), misalnya betametason dan deksametason. Steroid kerja medium dengan waktu paruh biologik antara 12-36 jam sangat ideal untuk pengobatan alternating (alternate-day therapy) yang mempunyai banyak keuntungan untuk jangka panjang, misalnya prednison, prednisolon, metilprednisolon dan triamnisolon. Golongan yang terakhir ini relatif tidak menyebabkan retensi natrium.(4) Kortikosterod dosis tinggi pada kehamilan berimplikasi pada naiknya angka kejadian bibir sumbing dan osteoporosis. Dosis < 15 mg prednisolon/hari tidak terbukti memiliki efek samping pada janin. Penyesuaian dosis kortikosteroid pada kehamilan tidak diperlukan.(15) Nefrosis lipoid dan nefropati lupus adalah tipe yang responsif terhadap steroid.(8) 11. Siklofosfamid Siklofosfamid merupakan salah satu alkylating agent dan golongan imunosupresif yang sangat poten. Dalam tubuh dimetabolisme oleh sel hati menjadi beberapa metabolit aktif dan dieliminasi melalui ginjal. Karena efek sampingnya yang sangat berbahaya maka perlu dipertimbangkan sebelum diputuskan akan digunakan pada SN. Indikasi siklofosfamid
adalah pada lesi minimal dengan: 1) tidak responsif terhadap kortikosteroid. 2) kambuh berulang (frequent relapse) dan tergantung kortikosteroid. 3) timbul efek samping kortikosteroid.(4) Siklofosfamid dapat menyebabkan infertilitas baik pada wanita maupun pria, terutama pada dosis > 200 mg/kgbb. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena teratogenik. Bahkan wanita yang mendapat terapi siklofosfamid dianjurkan untuk tidak hamil sampai dengan 1 tahun setelah terapi.(15) 12. Siklosforin Siklosforin adalah imunosupresif yang paling aman digunakan pada kehamilan. Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis pada keadaan hamil.(15) PROGNOSIS Prognosis dan keberhasilan kehamilan bergantung pada fungsi ginjal, proteinuri dan hipertensi.(8) Kebanyakan kehamilan berhasil dipertahankan sampai matur. Ada pernyataan bahwa hipoalbuminemi oligemi yang berat berhubungan dengan bayi kecil.(1,7,16) Janin dari ibu normotensi yang menderita proteinuri selama kehamilan mempunyai gangguan neurologis dan perkembangan mental.(1,8) Prognosis biasanya kurang baik jika SN disebabkan post streptococcal proliferative glomerulonephritis atau renal lupus erythematosus.(7) Prognosis janin pada preeklamsi dengan proteinuri berat lebih jelek daripada pada keadaan preeklamsi lain, tetapi prognosis ibu sama saja. Prognosis baik pada kebanyakan kehamilan nefrotik dengan fungsi ginjal yang masih dalam batas normal, tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa prognosis janin lebih buruk jika SN sudah mulai timbul pada awal kehamilan.(16)
KESIMPULAN Sindrom nefrotik dapat terjadi bersamaan dengan kehamilan atau kehamilan dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik. Prinsip penatalaksanaan secara umum tidak berbeda dengan keadaan tidak hamil, kecuali penggunaan beberapa obat-obatan yang perlu menjadi perhatian pada wanita hamil Prognosis dan keberhasilan kehamilan bergantung pada fungsi
ginjal, proteinuri dan hipertensi yang terjadi.
KEPUSTAKAAN 1.
Tripathi K, Prakash J. Kidney diseases in pregnancy. In : Textbook of Nephrology, 1st ed, Jaypee 1993. p.347-82. 2. Gallery EDM. Renal physiology in normal pregnancy. In: Johnson RJ, Feehaely J (eds). Comprehensive clinical nephrology, 1st ed, London : Mosby, 2000. p.46. 3. Brady HR, Brenner BM. Pathogenetic mechanism of glomerular injury. In: Fauci, Braunwald, Isselbacher et al (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine, 14th ed, New York : McGraw Hill, 1998.p. 1540-4. 4. Sukandar E, Sulaeman R. Sindrom nefrotik. Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, dkk (eds). Ilmu penyakit dalam, jilid II, Jakarta: BP FK UI, 1990. hal. 282-305 5. Travis L. Nephrotic syndrome. eMedicine. June 11, 2002. 6. Interrelationship between the different types of the nephrotic syndrome. Available from: http://nephrotic-syndrome.org/disease/zdic2. 7. Black D. The Nephrotic syndrome. In: Renal disease, 3rd ed, Oxford: Blackwell Scient. Publ. 1972. p.331-66. 8. Lindheimer MD, Katz AI. Kidney function and disease in pregnancy. Philadelphia : Lea & Febiger, 1977. p.160-4. 9. Yao T, Yao H, Wang H. Diagnosis and treatment of nephrotic syndrome during pregnancy. Chin Med J (Eng) 1996 Jun; 109 (6): 471-3.(Abstrak) 10. Hudono ST,Yunizaf. Penyakit ginjal dan saluran kemih (traktus urinarius). Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T (eds). Ilmu Kebidanan, Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia, 1991, hal. 514 11. Tisher CC, Wilcox CS. Buku saku nefrologi, Edisi ke-3 (terj.), Jakarta: EGC, 1995. hal.37-43. 12. Sukandar E. Nefrologi klinik, Ed.II, Bandung: Penerbit ITB, 1997. hal. l64-97. 13. Brown MA, Bowyer L. Renal complication in normal pregnancy. In : Johnson RJ, Feehaely J (eds). Comprehensive Clinical Nephrology, 1st ed, London : Mosby, 2000. p.47. 1-14. 14. Cunningham FG, Grant NF, Leveno KJ et al (eds). Renal and urinary tract disorders. In: Williams Obstetrics, 21st ed, New York : McGraw Hill, 2001. p. 1253-62. 15. Packham DK, Fairly KF, Smith PK. Pregnancy with preexisting renal disease. In : Johnson RJ, Feehaely J (eds). Comprehensive Clinical Nephrology, 1st ed, London : Mosby, 2000. p.48.1-12. 16. August P, Katz AI, Lindheimer MD. The Patient with kidney disease and hypertension in pregnancy. In: Schrier RW (ed). Manual of Nephrology, 5th ed, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2000. p.219-20. 17. Wilmana F. Analgesik-Antipiretik, Analgesik anti inflamasi nonsteroid dan obat pirai. Dalam : Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti. Farmakologi dan Terapi, ed. 4, Jakarta: Gaya Baru, 1995. hal. 219. 18. Turpie AGG, Hin BSP, Lip GYH. ABC of Anti thrombotic therapy. Venous thromboembolism : treatment strategies. BMJ 2002 ; 325: 948-50. 19. Cocobo SC, Evangelista LF, Kin PT.IIMS 92/93, 3rded, Singapore: MIMS Publication, 1992. p.206, 649.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 41
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sindrom Antifosfolipid dan Trombosis William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta, Indonesia
PENDAHULUAN Antibodi antifosfolipid adalah keluarga otoantibodi yang mempunyai jangkauan kekhususan dan afiniti yang luas yang meliputi perpaduan berbagai fosfolipid, fosfolipid terikat protein, atau keduanya. Terminologi sindrom antifosfolipid pertama kali ditujukan pada hubungan klinis antara antibodi antifosfolipid dan sindrom hiperkoagulabiliti yang meliputi trombosis arteri, vena, trombositopeni dan komplikasi obstetrik.(1,2) Meskipun antibodi-antibodi belum secara jelas merupakan penyebab trombosis dan keguguran, mereka merupakan petanda laboratoris yang penting.(3) Kejadian-kejadian trombotik dilaporkan terjadi pada 30 % pasien dengan antibodi antifosfolipid dengan keseluruhan kejadian 2,5 % pasien pertahun. Trombosis vena dalam pada tungkai dan emboli paru tercatat merupakan dua pertiga kejadian trombotik, dan trombosis arteri otak merupakan komplikasi arteri yang umum dan terbanyak. Komplikasi obstetrik meliputi keguguran spontan berulang, kematian janin, dan pertumbuhan janin terhambat.(2) SEJARAH Antibodi antifosfolipid pertama adalah sebuah komplemen terikat antibodi yang bereaksi dengan ekstrak jantung sapi yang dideteksi pada pasien-pasien sifilis pada tahun 1906. Antigen yang berkaitan kemudian diidentifikasikan sebagai kardiolipin, sebuah fosfolipid mitokondria. Pengamatan ini menjadi dasar uji the Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) untuk sifilis yang digunakan sampai saat ini.(1) Hughes (1975) menemukan beberapa gambaran serologi mielopati virus pada wanita muda Jamaika dengan insidensi serologi positif palsu yang tinggi untuk sifilis, dan adanya antibodi antinuklear yang mempunyai kemiripan dengan sindrom neurologi dari sklerosis lupus.(4) Pada permulaan tahun 1990an telah ditemukan bahwa kedua kelompok antibodi antikardiolipin (lupus eritematosus sistemik dan trombosis) membutuhkan ß2-glikoprotein I untuk mengikat kardiolipin. Kebutuhan ini merupakan gambaran antibodi antikardiolipin pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) atau sindrom antifosfolipid yang bukan dari sifilis dan penyakit-penyakit infeksi yang lain.(1)
GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis nyata dari sindrom antifosfolipid dan trombosis beranekaragam mulai dari subakut (migrain berulang, gangguan penglihatan, pelo dengan riwayat khorea, trombosis vena dalam, dan keguguran berulang) sampai ke arah yang serius (kegagalan katup jantung yang cepat, trombositopeni, stroke mayor, dan trombosis meluas).(4) Sindrom antifosfolipid sendiri dapat dibagi dalam beberapa kategori. Sindrom antifosfolipid primer terjadi pada pasien-pasien tanpa bukti klinis adanya penyakit otoimun yang lain, sedangkan sindrom antifosfolipid sekunder terjadi berkaitan dengan penyakit otoimun atau yang lain (Panel 1). Panel 1: Hubungan klinis dengan antibodi-antibodi antifosfolipid • Sindrom antifosfolipid primer Dengan manifestasi penyakit tromboembolik vena, penyakit tromboembolik arteri terutama stroke, endokarditis steril dengan emboli, kegagalan kehamilan berulang. • Sindrom antifosfolipid sekunder dengan kelainan rheumatik dan jaringan ikat Trombosis, keguguran berulang, atau keduanya terjadi berkaitan dengan antibodi-antibodi antifosfolipid dalam LES, AR, sklerosis sistemik, arteritis temporal, sindroma Sjogren, artropati psoriatik, sindrom Behcet, dan lain-lain. • Beberapa hubungan yang lain Infeksi-infeksi akut (sembuh sendiri) dan kronik seperti Virus (HIV-1, varicella, hepatitis C) Bakterial (sifilis) Parasit (malaria) Penyakit-penyakit limfoproliferatif Limfoma malignum Paraproteinemia Paparan obat Fenotiazin Kinidin Hidralazin Prokainamid Fenitoin Aneka ragam yang lain Trombositopeni otoimun Anemia hemolitik otoimun Penyakit sel bulan sabit (sickle-cell) Penyalahgunaan obat intravena Livedo retikularis Sindroma Guillain-Barre • Tidakadanya penyakit dasar Dikutip dari (3)
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
LES dilaporkan merupakan penyakit yang terbanyak mendasari sindrom antifosfolipid sekunder. Kelainan lain adalah sklerosis sistemik, artritis rheumatoid (AR), atau sindrom Behcet. Pada banyak kasus sindrom Sneddon yang meliputi trias klinis stroke, livedo retikularis, dan hipertensi sering tak terdiagnosis adanya sindrom antifosfolipid.(1,3) DETEKSI KLINIS ANTIBODI ANTI-FOSFOLIPID Subkelompok antibodi-antibodi antifosfolipid yang paling umum dideteksi adalah antibodi antikoagulan lupus (AL), antikardiolipin (AK), dan ß2-glikoprotein I (Tabel 1). Secara umum antibodi-antibodi AL lebih spesifik untuk sindrom antifosfolipid, sedangkan AK lebih sensitif.(1) Terminologi antifosfolipid menunjukkan kelompok heterogen imunoglobulin (IgG, IgM, dan jarang IgA) yang terdeteksi dengan dua macam uji yaitu (1). Imunoesei fase solid, secara khusus ELISA, dengan fosfolipid yang digunakan sebagai antigen pelapis atau (2). uji pembekuan yang tergantung oleh kemampuan beberapa antifosfolipid untuk mengganggu reaksi pembekuan invitro, sehingga memanjangkan masa pembekuan. Beberapa antifosfolipid juga menghasilkan reaksi positif palsu dengan uji baku nontreponemal untuk sifilis. Antifosfolipid yang ditentukan dengan uji ELISA konvensional dengan kardiolipin fosfolipid dikenal sebagai AK, sedangkan yang dikenal dengan uji pembekuan dilabel AL.(5) AL adalah sebuah imunoglobulin (Ig) yang bereaksi sebagai penghambat koagulasi yang tidak mengenal faktor koagulasi khusus. AL memperlambat laju generasi trombin, dan pembentukan bekuan in vitro melalui peranannya di dalam interaksi yang memerlukan fosfolipid.(4) Di dalam pemeriksaan koagulasi, AL diidentifikasikan sebagai pemanjangan waktu-waktu pembekuan.(1,4) Diagnosis AL ditetapkan berdasarkan kriteria rekomendasi yaitu : (a). Pemanjangan paling sedikit satu uji pembekuan yang tergantung fosfolipid, (b). Kelainan uji yang menetap (rasio pasien : normal > 1,2), (c). modifikasi masa pembekuan pada perubahan kadar fosfolipid (sebagai contoh perbaikan pada peningkatan kadar fosfolipid dan atau pemanjangan pengenceran fosfolipid (Gambar 1).(1,6) Spesifisitas antibodi AK untuk sindrom antifosfolipid meningkat dengan titer dan lebih tinggi untuk IgG daripada isotop IgM.1 Pada tahun 1990 telah dilaporkan bahwa AK yang dideteksi dengan ELISA tidak berhubungan langsung dengan kardiolipin semata, karena IgG yang telah dimurnikan dari pasien-pasien dengan AK positif tidak berikatan dengan kardiolipin tanpa adanya protein plasma dengan afiniti untuk permukaan anion fosfolipid.(2,4) Beberapa target antigenik dari antibodi-antibodi ini meliputi ß2-glikoprotein I, protrombin, kininogen berat molekul besar dan kecil, aneksin-V, protein C teraktifasi, dan protein S.(2) ß2-glikoprotein I yang juga disebut sebagai apolipoprotein H dikenal sebagai antikoagulan alamiah dan dibutuhkan untuk mengikat otoimun AK dalam uji ELISA dan untuk mengekspresikan sekelompok AL dalam aktivitas antikoagulan invitro.(6) Kebanyakan ß2-glikoprotein I yang tergantung pada antibodi-antibodi AK mengenal ß2glikoprotein I sama baiknya mengikat kardiolipin atau anion fosfolipid lainnya. Hal ini disebabkan karena ß2-glikoprotein I
berinteraksi secara kuat dengan anion fosfolipid tetapi lemah dengan fosfolipid yang tidak bermuatan.(1) ß2-glikoprotein I juga berikatan mempunyai kemampuan antikoagulan yang lemah kebanyakan melalui penghambatan fase kontak pembekuan dan aktivitas protrombinase platelet.(3)
Gambar 1: Deteksi antikoagulan lupus dengan esei koagulasi invitro Aneka uji koagulasi digunakan untuk mendeteksi aktifiti antikoagulan lupus tertanda dengan huruf miring, dan gambar menunjukan diagram skematik yang disederhanakan dari jalur koagulasi yang dinilai dengan uji-uji ini. Kaskade koagulasi sebagai hasil konversi enzimatik dari setiap faktor kepada bentuk aktifasinya (kotak oranye), atau bentuk enzimatik (kotak biru), dimana kemudian dalam kombinasi dengan kofaktor yang teraktifasi, mengkatalis reaksi selanjutnya. Jalur koagulasi intrinsik dimulai dengan aktifasi kontak pada gelas, silika, atau kaolin (sebagai activated partial thromboplastin time [APTT], colloidal-silica clotting time [CSCT], dan kaolin clotting time [KCT] assay), sedangkan jalur koagulasi ekstrinsik dimulai dengan pembentukan sebuah kompleks antara faktor jaringan dan faktor VIIa (seperti dalam the dilute prothrombin time [dPT] assay). Kedua jalur intrinsik dan ekstrinsik mengkonversi faktor X menjadi faktor X teraktifasi (faktor Xa). Akhirnya kedua jalur intrinsik dan ekstrinsik tercakup dalam jalur umum terakhir, aktifasi protrombin menjadi trombin diikuti oleh konversi fibrinogen menjadi fibrin.Russell’s viper venom secara langsung mengaktifasi faktor X. Taipan, Textarin, dan Ecarin snake venom secara langsung mengekstraksi protrombin teraktifasi tetapi mempunyai kebutuhan kofaktor yang berbeda.Taipan venom activation dari protrombin membutuhkan fosfolipid dan kalsium tetapi tidak faktor Va. Aktifasi textarin dari protrombin membutuhkan fosfolipid, kalsium, dan faktor Va, sedangkan aktifasi ecarin dari protrombin tidak tergantung kofaktor dan tidak membutuhkan fosfolipid, kalsium, atau faktor Va. Aktifasi protrombin menjadi trombin seperti berberapa reaksi yang lain dalam kaskade koagulasi membutuhkan adanya fosfolipid dan kalsium. Reaksi-reaksi yang tergantung fosfolipid ini dipercaya merupakan target antibodi-antibodi antikoagulan lupus invitro. Meskipun kedua jalur ekstrinsik dan intrinsik tidak bermakna untuk pembekuan invitro, jalur ekstrinsik mempunyai peran yang dominan secara invivo. Dikutip dari (1)
Aneksin-V mempunyai peranan fisiologis menghambat reaksi pembekuan darah dengan melindungi anion fosfolipid
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 43
bertrombogenik tinggi dari kompleks enzim pembekuan. Kemampuan invitro antikoagulan yang kuat dari aneksin-V (protein antikoagulan plasenta-I, antikoagulan vaskuler-α) merupakan dasar afiniti yang tinggi terhadap anion fosfolipid dan kemampuan menyingkirkan faktor-faktor pembekuan dari permukaan fosfolipid. Aneksin-V secara normal ditemukan pada permukaan apikal sinsitiotrofoblas plasenta.(7) PATOGENESIS Beberapa hipotesis diajukan untuk menjelaskan mekanisme seluler dan molekuler bagaimana antibodi-antibodi fosfolipid mencetuskan trombosis (Tabel 2).(1) Hubungan paradoks antara keadaan protrombotik dengan adanya otoantibodi dengan efek antikoagulan invitro tidak secara penuh diketahui. Pada sindrom antifosfolipid, oklusi vaskuler lebih disebabkan oleh tromboemboli daripada vaskulitis.(4) Hipotesis pertama adalah pengikatan antibodi-antibodi antifosfolipid mencetuskan aktifasi sel-sel endotel yang dinilai dari peningkatan adesi molekul, sekresi sitokin, dan metabolisme prostasiklin. Hipotesis kedua memusatkan pada injuri yang diperantarai oksidan dari endotel vaskuler. LDL teroksidasi kontributor utama aterosklerosis, diambil makrofag, mengakibatkan aktifasi makrofag, selanjutnya merusak sel-sel endotel. Sedangkan hipotesis ke tiga mengemukakan bahwa antibodi-antibodi antifosfolipid mengubah fungsi proteinprotein terikat fosfolipid yang terlibat dalam pengaturan pembekuan.(1) Aktifasi platelet dapat juga memainkan peran dalam sindrom antifosfolipid, khususnya trombosis arteri. Bagaimana antibodi-antibodi antifosfolipid dapat mengaktifasi platelet masih belum jelas secara in vivo.(4) Trombosis pada sindrom antifosfolipid dimiripkan dengan yang terjadi pada trombositopeni terinduksi heparin (heparin induced thrombocytopenia). Kedua sindrom ini menyebabkan trombosis pada arteri dan vena multipel. Pada heparin induced thrombocytopenia tempat trombosis sering ditentukan oleh penyakit kardiovaskuler sebelumnya, sedangkan pada sindrom antifosfolipid terdapat laju rekurensi yang tinggi untuk kejadian trombotik serupa.(1) MANIFESTASI JANTUNG PADA SINDROM ANTIFOSFOLIPID Sedikit diketahui mengenai hubungan antara sindrom antifosfolipid dengan penyakit-penyakit jantung. Pasien-pasien dengan kelainan jantung tertentu yang meliputi penyakit katup jantung dan oklusi arteri koroner telah ditemukan mempunyai insidens peningkatan antibodi-antibodi ini. Meskipun demikian masih sedikit data prospektif mengenai peranan peningkatan antibodi-antibodi tersebut dalam perkembangan kelainan kardiovaskuler. Hanya terdapat beberapa laporan kasus, antara lain kardiomiopati dilatasi akibat oklusi arteriolar intramiokardial difus, dan trombus besar yang mobile di dalam ventrikel kiri.(8,9) Keterlibatan patologi jantung meliputi perikarditis dengan atau tanpa efusi, miokarditis atau kardiomiopati, kadangkadang dengan keterlibatan sistem konduksi, dan infark miokard karena arteritis koroner atau yang lebih sering karena
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
aterosklerosis. Hipertrofi ventrikel kiri dan dilatasi atrium kiri sering terjadi akibat hipertensi renal.(10) Manifestasi jantung yang pertama kali dilaporkan pada sindrom antifosfolipid adalah penyakit katup.(8) Pada studi ekokardiografi prospektif oleh Nihoyannopoulos dkk, kelainan katup lebih banyak ditemukan pada pasien-pasien dengan antibodi AK yang lebih tinggi (40% dibandingkan dengan 14%).(9) Endokarditis Libman-Sacks dikemukakan pertama kali pada tahun 1924 pada 4 pasien dengan lesi katup verukous steril atipikal dan endokardium mural yang dipercaya sebagai karakteristik LES. Vegetasi Libman-Sacks ditemukan pada 3565% studi otopsi awal pasien-pasien lupus yang klinisnya tenang atau hanya dengan kelainan hemodinamik minor. Hubungan antara endokarditis Libman-Sacks dengan sindrom antifosfolipid pertama kali diketahui pada tahun 1985 pada seorang wanita muda dengan LES dan AL. Pasien-pasien katup biasanya dengan presentasi klinis demam, bising jantung, vegetasi katup secara ekokardiografi, splinter hemorrhages, peningkatan antifosfolipid sedang sampai tinggi, biakan darah berulang yang negatif dan mungkin dengan petanda serologi aktifitas penyakit LES. Pengukuran C-reactive protein, level antibodi fosfolipid, dan hitung sel darah putih dapat membantu membedakannya dengan endokarditis infektif yang sebenarnya.(5) Kelainan jantung kedua dari antibodi-antibodi antifosfolipid adalah oklusi arteri koroner. Hamstein dkk mengukur level AK pada 62 pasien yang selamat dari infark miokard akut dan menemukan 21% dengan peningkatan antibodi-antibodi AK dan mempunyai insidens kejadian kardiovaskuler lain yang lebih tinggi pada 5 tahun selanjutnya. Kelainan jantung lain yang berhubungan dengan antibodiantibodi antifosfolipid adalah trombus di dalam ruang-ruang jantung. Leventhal dkk melaporkan sebuah trombus pada atrium kanan seorang laki-laki muda dengan trombosis vena dalam berulang dan trombositopeni, tanpa adanya kelainan jantung yang mendasarinya.(8) KOMPLIKASI OBSTETRIK Wanita dengan antibodi-antibodi antifosfolipid atau dengan AL mempunyai proporsi keguguran yang sangat tinggi terutama pada kehamilan 10 minggu atau lebih. Komplikasi kehamilan dapat berupa persalinan prematur akibat hipertensi dan insufisiensi uteroplasenta. Keluaran kehamilan yang tidak diharapkan dapat disebabkan oleh perfusi plasenta yang buruk yang disebabkan oleh trombosis lokal oleh aneksin-V yang diperantarai antibodi-antibodi antifosfolipid. Antibodi-antibodi antifosfolipid dapat merusak invasi trofoblas dan produksi hormon sehingga tidak hanya menyebabkan keguguran preembrionik dan embrionik tetapi juga keguguran fetal dan insufisiensi uteroplasenta.(1,11) Kemungkinan yang lain adalah kerusakan platelet dengan peningkatan sifat adesif, interferensi dengan aktifitas antitrombin III, dan penghambatan prekalikrein. Beberapa penemuan menunjukkan plasma atau fraksi plasma yang mengandung AL menghambat produksi prostasiklin oleh jaringan vaskuler, sedangkan prostasiklin merupakan vasodilator poten dan penghambat agregasi platelet yang
dihasilkan dari prekursor endogen atau dengan perantaraan prostaglandin.(11) SINDROM BENCANA ANTIFOSFOLIPID Sebagian kecil pasien dengan sindrom antifosfolipid mempunyai presentasi klinis akut dan meluas yang ditandai dengan oklusi vaskuler serentak dan multipel di seluruh tubuh dan sering berakhir dengan kematian. Sindrom ini disebut sebagai sindrom bencana antifosfolipid yang didefinisikan sebagai keterlibatan klinis tiga atau lebih organ yang berbeda selama periode berberapa hari atau minggu dengan bukti histopatologis adanya oklusi multipel pembuluh-pembuluh kecil atau besar. Ginjal merupakan organ yang paling sering (78%), disusul dengan paru (66%), sistem saraf pusat (56%), jantung (50%), dan kulit (50%). Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) yang jarang terjadi pada sindrom antifosfolipid primer ataupun sekunder, terjadi pada ± 25% pasien-pasien dengan sindrom bencana antifosfolipid. Manifestasi mikrovaskuler meliputi trombosis mikroangiopati ginjal, sindrom distres pernapasan akut, mikrotrombi dan mikroinfark serebral dan mikrotrombi miokard. Kebanyakan pasien dengan keterlibatan ginjal sering klinisnya berat dan sekitar 25% memerlukan dialisis. Laju kematian 50% selalu disebabkan oleh kegagalan multiorgan. Faktor presipitasi sindrom bencana antifosfolipid meliputi infeksi, prosedur bedah, penghentian terapi antikoagulan, dan penggunaan obatobatan seperti kontrasepsi oral.(1,4) PENGOBATAN Pengobatan ditujukan kepada empat hal utama yaitu profilaksis, pengobatan trombosis lanjut dari pembuluh besar, pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan manajemen kehamilan dalam hubungannya dengan antibodi-antibodi antifosfolipid.(1) Profilaksis Studi kasus kontrol dalam Physicians’ Health Study mengevaluasi aspirin 325 mg perhari sebagai agen profilaksis. Asprin tidak memberikan perlindungan terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru pada laki-laki dengan antibodi antikardiolipin.(12) Sebaliknya aspirin dapat melindungi trombosis pada wanita dengan riwayat keguguran sebelumnya.(13) Hidroksiklorokuin dapat melindungi trombosis pada pasien-pasien LES dan sindrom antifosfolipid sekunder.(14) Semua faktor predisposisi trombosis sudah tentu harus dieliminasi (Tabel 3).(1) Pengobatan setelah kejadian trombotik Peranan antikoagulasi dalam menurunkan berulangnya trombosis telah ditunjukkan dalam berbagai studi retrospektif.(1) Pada studi kecil dengan 19 pasien sindrom antifosfolipid, laju berulangnya dalam 8 tahun adalah 0% untuk pasien yang mendapat antikoagulan oral. Di antara pasien yang menghentikan terapi antikoagulan, laju berulang dalam 2 tahun adalah 50%, dan dalam 8 tahun adalah 78%.(15) Di antara 70 pasien sindrom antifosfolipid, terapi warfarin intensitas sedang (untuk mencapai rasio normalisasi internasional [INR] 2,0-2,9)
dan intensitas tinggi (INR 3,0 atau lebih) secara bermakna menurunkan laju berulangnya trombosis, sedangkan terapi intensitas rendah (INR ≤ 1,9) tidak memberikan perlindungan yang bermakna.(16) Pengobatan sindrom bencana antifosfolipid Rekomendasi pengobatan sindrom bencana antifosfolipid seluruhnya berdasarkan pada berbagai laporan. Pada sebuah seri 50 pasien, penyembuhan terjadi pada 14 dari 20 pasien (70%) yang diobati dengan kombinasi antikoagulan dan steroid ditambah baik dengan plasmaferesis atau imunoglobulin intravena. Dasar penggunaan plasmaferesis berasal dari efektifitasnya dalam pengobatan sindrom hemolitik uremik dan purpura trombotik trombositopeni. Agen fibrinolitik streptokinase dan urokinase telah digunakan untuk mengobati mikroangiopati trombotik akut dengan hasil yang bervariasi.(1) Manajemen kehamilan pada pasien dengan antibodiantibodi antifosfolipid Wanita dengan keguguran berulang preembrionik dan embrionik dapat diobati dengan 5.000 unit heparin dua kali sehari; beberapa ahli menganjurkan dosis lebih tinggi yang cukup untuk memberikan antikoagulasi penuh pada wanita dengan tromboemboli sebelumnya. Pengobatan optimal wanita dengan keguguran tanpa riwayat tromboemboli masih kontroversial karena risiko potensial tromboemboli maternal. Trombofilaksis umum (15.000 - 20.000 unit heparin perhari) atau yang diatur lebih lanjut digunakan oleh beberapa ahli. Beberapa ahli menyetujui heparin berat molekul rendah menggantikan heparin standar pada pengobatan wanita hamil dengan sindrom antifosfolipid antibodi.(1) Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam kehamilan berkaitan dengan morbiditas maternal dan masih diragukan manfaatnya dalam sindrom antifosfolipid.(3) Pengobatan sindrom antifosfolipid dengan trombositopeni Mekanisme yang mendasari antibodi-antibodi antifosfolipid dengan trombositopeni belum jelas diketahui. Kebanyakan pasien dengan purpura trombositopeni idiopatik mempunyai antibodi terhadap permukaan platelet glikoprotein IIb-IIIa atau Ib-IX. Penyingkiran platelet yang dilapisi antibodi sistem retikuloendotelial mungkin relevan pada penyakit ini.17 Mekanisme alternatif pada trombositopeni yang berhubungan dengan sindrom antibodi antifosfolipid dihasilkan dari pengikatan antigen platelet daripada glikoprotein IIb-IIIa atau Ib-IX. Aktifasi atau injuri platelet dapat mengakibatkan ekspresi residu fosfatidilserin pada membran. Residu-residu fosfolipid ini selanjutnya dapat dikenal dan terikat oleh antibodi antikardiolipin menghasilkan trombositopeni.(17) Pada beberapa pasien sindrom antifosfolipid dengan trombositopeni (platelet < 80.000/ul), terapi antikoagulasi menambah risiko perdarahan sehingga perlu dipantau. Jika perdarahan akibat trombositopeni imun terjadi pada pasien dengan antibodi-antibodi antifosfolipid tanpa riwayat trombosis, manajemen harus ditujukan pada purpura trombositopeni otoimun. Splenektomi merupakan tindakan yang tepat jika ada indikasi klinis.(3)
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 45
Danazol menyebabkan modifikasi membran eritrosit sehingga menjadi kurang peka terhadap lisis osmosis. Berdasarkan hipotesis ini maka dengan mekanisme yang serupa danazol dapat memodifikasi interaksi antara antibodi-antibodi antikardiolipin dengan antigennya pada membran platelet. Sebuah laporan kasus menunjukkan manfaat danazol 200 mg perhari yang dinaikkan menjadi 800 mg perhari dalam pengobatan trombositopeni yang berhubungan dengan sindroma antifosfolipid antibodi yang tidak dapat ditanggulangi dengan steroid dan splenektomi.(17)
7.
KEPUSTAKAAN
12.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Levine JS, Branch W, Raunch J. The antiphospholipid syndrome. N Engl J Med 2002; 346: 752-63. Galli M, Barbui T. Antiprothrombin antibodies: Detection and clinical significance in the antiphospholipid syndrome. Blood 1999; 93: 2149-57. Greaves M. Antiphospholipid antibodies and thrombosis. Lancet 1999; 353: 1348-53. Hughes GRV. The antiphospholipid syndrome: ten years on. Lancet 1993; 342: 341-4. Hojnik M, George J, Ziporen L, Schoenfeld Y. Heart valve involvement (Libman-Sacks endocarditis) in the antiphospholipid syndrome. Circulation 1996; 93:1579-87. Finazzi G, Brancaccio V, Moia M, Ciavarella N, Mazzucconi G, Schinco P, et al. Natural history and risk factors for thrombosis in 360 patients with antiphospholipid antibodies; a four-year prospective study from the Italian registry. Am J Med 1996; 100: 530-6.
8. 9. 10. 11.
13. 14. 15. 16. 17.
Rand J, Xiao-Xuan W, Andree HAM, Ross A, Rusinova E, Gascon-Lema MG, et al. Antiphospholipid antibodies accelerate plasma anticoagulation by inhibiting annexin-V binding to phospholipids: A “Lupus Procoagulant” phenomenon. Blood 1998; 92: 1652-60. Kaplan SD, Chartash EK, Pizzarello RA, Furie RA. Cardiac manifestations of the antiphospholipid syndrome.Am Heart J 1992; 124: 1331-8. Nihoyannopoulos P, Gomez PM, Joshi J, Loizou S, Walport MJ, Oakley CM. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. Association with raised anticardiolipin antibodies. Circulation 1990; 82: 369-75. O’Rouke RA. Antiphospholipid antibodies. A marker of lupus carditis? Circulation 1990; 82: 636-8. Branch DW, Scott JR, Kochenour NK, Hershgold E. Obstetric complications associated with the lupus anticoagulant. N Engl J Med 1985; 313: 1332-6. Ginsburg KS, Liang MH, Newcomer L. Anticardiolipin antibodies and the risk for ischemic stroke and venous thrombosis. Ann Intern Med 1992; 117: 997-1002. Erkan D, Merrill JT, Yazici Y, Sammaritano L, Buyon JP, Lockshin MD. High trombosis rate after fetal loss in the antiphospholipid syndrome: effective prophylaxis with aspirin. Arthritis Rheum 2001; 44: 1466-7. Petri M . Hydroxychloroquine use in the Baltimore Lupus Cohort: effects on lipids, glucose, and thrombosis. Lupus 1996; 5(Suppl 1):S16-22. Derksen RH, de Groot PG, Kater L, Nieuwenhuis HK. Patients with antiphospholipid antibodies and venous thrombosis should receive long term anticoagulant treatment. Ann Rheum Dis 1993; 52: 689-92. Khamashta MA, Cuadrado MJ, Mujic F, Taub NA, Hunt BJ, Hughes GRV. The management of thrombosis in the antiphospholipid syndrome. N Eng J Med 1995; 332: 993-7. Kavanaugh A. Danazol therapy in thrombocytopenia associated with the antiphospholipid antibody syndrome. Ann Intern Med 1994; 121: 767-8.
Tabel 1 . Klasifikasi dan deteksi antibodi-antibodi antifosfolipid Antibodi Antibodi antikoagulan lupus
Antibodi antikardiolipin
Antibodi anti-ß2-glikoprotein 1
Metode deteksi 1.
Pemanjangan koagulasi paling sedikit satu assay koagulasi tergantung fosfolipid invitro dengan penggunaan platelet poor plasma†. Assay ini dapat dibagi menurut bagian kaskade koagulasi yang dinilai sebagai berikut: Jalur koagulasi ekstrinsik (dilute prothrombin time). Jalur koagulasi intrinsik (activated partial thromboplastin time, dilute activated partial thromboplastin time, colloidal silica clotting time, & kaolin clotting time) Jalur koagulasi umum terakhir (dilute Russell’s viper-venom time, Taipan venom time, dan Textarin dan Ecarin times).$ 2. Kegagalan memperbaiki pemanjangan waktu koagulasi dengan mencampurkan plasma pasien dengan plasma normal. 3. Konfirmasi adanya antibodi antikoagulan lupus oleh pemendekan atau perbaikan pemanjangan waktu koagulasi sesudah penambahan kelebihan fosfolipid atau platelet yang sudah membeku dan kemudian dicairkan. 4. Menyingkirkan koagulopati lain dengan menggunakan assay faktor spesifik jika uji konfirmasi negatif atau jika penghambat faktor spesifik diduga. Solid phase immunoassay ( biasanya enzyme linked immunosorbent assay /ELISA ) dilakukan pada lempeng yang dilapisi kardiolipin, biasanya dengan adanya serum ß2-glikoprotein 1 bovin. Antibodi-antibodi antikardiolipin pada pasien dengan sindrom antifosfolipid tergantung ß2-glikoprotein 1; antibodi-antibodi pasien dengan penyakit infeksi tidak tergantung ß2-glikoprotein 1. Solid phase immunoassay (biasanya enzyme linked immunosorbent assay / ELISA) yang dilakukan pada lempeng dilapisi ß2-glikoprotein 1 manusia, daripada ß2-glikoprotein 1 bovin (seperti pada esei antibodi antikardiolipin).
† Penggunaan dua atau lebih assay yang sensitif untuk antikoagulan lupus direkomendasikan sebelum disingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus. Paling sedikit satu dari assay ini harus didasarkan pada konsentrasi fosfolipid rendah (dilute prothrombin time, dilute activated partial thromboplastin time, colloidal silica clotting time, kaolin clotting time, atau dilute Russell’s viper venom time). Kedua assay ini harus menilai bagian yang khusus dari kaskade koagulasi ( seperti activated partial thromboplastin time dan dilute Russell’s viper venom time). $ The Ecarin time assay membedakannya dari assay koagulasi lain yang tercakup dalam assay yang tidak tergantung fosfolipid. Harus digunakan dalam perpaduan dengan Textarin time yang tergantung fosfolipid sebagai uji konfirmasi untuk antibodi antikoagulan lupus. Adanya antibodi antikoagulan lupus, Textarin times memanjang, sedangkan Ecarin times tidak memanjang
Dikutip dari (1)
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Tabel 2 . Efek antibodi-antibodi antifosfolipid dalam pembekuan* Efek prokoagulan Penghambatan jalur aktifasi protein C
Efek antikoagulan Penghambatan aktifasi faktor IX
Pengaturan lebih jalur faktor jaringan
Penghambatan aktifasi faktor X
Penghambatan aktifiti antitrombin III
Penghambatan aktifasi protrombin menjadi trombin
Disrupsi cangkang aneksin-V pada membran Penghambatan aktifiti antikoagulan dari ß2-glikoprotein Penghambatan fibrinolisis Aktifasi sel endotel Peningkatan ekspresi adesi molekul oleh sel-sel endotel dan perlekatan netrofil dan lekosit pada sel-sel endotel Aktifasi dan degranulasi netrofil Potensiasi aktifasi platelet Peningkatan perlekatan ß2-glikoprotein 1 pada membran Peningkatan pengikatan protrombin pada membran *Dua faktor utama yang mungkin memodulasi keseimbangan antara efek prokoagulan dan antikoagulan dari antibodi-antibodi antifosfolipid adalah permukaan fosfolipid dimana reaksi berlangsung dan spesifisiti antigen terhadap antibodi. Dikutip dari (2)
Tabel 3. Kondisi penyakit dan faktor-faktor risiko yang membuat pasien menjadi lebih mudah mengalami tromboemboli Kelainan Defek faktor koagulasi
Defek lisis bekuan
Vena Resitensi terhadap protein C teraktifasi (faktor V Leiden) Defisiensi protein C Defisiensi antitrombin III Mutasi protrombin Defisiensi fibrinogen Defisiensi aktifator plasminogen jaringan
Defek metabolik Defek platelet
Stasis
Arteri
Disfibrinogenemia* Defisiensi penghambat aktifator plasminogen tipe 1* Homosisteinemia Trombositopeni terinduksi heparin dan trombosis Kelainan mieloproliferatif Hemoglobinuria nokturnal paroksismal Polisitemia vera (dengan trombositosis)
Imobilisasi Bedah Gagal Jantung Kongesti
Hiperviskositas
Defek dinding pembuluh Lain-lain
Vaskuler yang terlibat Vena dan arteri
Kanker (Sindrom Trousseau) Kontrasepsi oral Terapi estrogen Kehamilan Persalinan Sindrom nefrotik
Polisitemia vera Makroglobulinemia Waldenstrom’s Anemia bulan sabit Lekemia akut Trauma, vaskulitis Sindrom antifosfolipid Benda asing Penghambat siklooksigenase 2†
Aterosklerosis, turbulensi Hipertensi Diabetes Merokok Fibrilasi atrium Hiperlipidemia Inflamasi kronik LES‡
*Pada kelainan ini, keterlibatan vena jauh melebihi keterlibatan arteri †Penghambat khusus siklooksigenase 2 mengurangi produksi sistemik antitrombotik prostaglandin, prostasiklin. Sebuah seri yang baru menunjukkan adanya 4 pasien dengan sindrom antifosfolipid sekunder dengan trombosis akut yang berkembang bersamaan dengan penghambat siklooksigenase 2. ‡Efek protrombotik LES terpisah dari antibodi-antibodi antifosfolipid telah dikemukakan, tetapi belum ditetapkan. Dikutip dari (1)
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 47
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Studi Manfaat Daun Katuk (Sauropus androgynus) Sriana Azis, S. R. Muktiningsih Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi,Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
ABSTRAK Pada umumnya daun katuk digunakan sebagai sayuran. Di Indonesia daun katuk digunakan untuk melancarkan air susu ibu, obat borok, bisul, demam, dan darah kotor. Daun katuk diproduksi sebagai sediaan fitofarmaka yang berkhasiat untuk melancarkan ASI (air susu ibu). Sepuluh sediaan fitofarmaka daun katuk sebagai pelancar ASI telah beredar di Indonesia pada tahun 2000. Masalah: Ada laporan kerusakan paru dalam 7 bulan setelah konsumsi daun katuk mentah dengan dosis 150 g/hari dan setelah 22 bulan terjadi kerusakan paru yang parah serta permanen.Bahan dan cara: Menggunakan buku rujukan, hasil penelitian dari dalam dan luar negeri. Studi meliputi ekologi, ekonomi, khasiat, efeksamping, dan harapan masa depan.Data dianalisis secara deskriptif. Hasil: Tanaman katuk tumbuh dan menghasikan daun ranum yang beratnya meningkat bila ditanam bersamaan dengan tanaman pelindung ketela pohon atau jagung. Hasil setiap panen per 50–60 hari 3000-6000 kg/ha dengan harga Rp 500,-/kg. Kandungan zat: daun katuk kaya vitamin dan mineral. Khasiat: daun katuk sebagai pelancar air susu ibu dapat dibuktikan secara klinis dan preklinis. Efek samping: Jus daun katuk mentah dengan dosis 150 mg /hari sebagai obat obesitas setelah 2 minggu - 7 bulan menimbulkan gejala sukar tidur, makan tidak enak, sesak nafas dan batuk. Penggunaan lebih lama menimbulkan bronkiolitis konstriksi dan setelah 22 bulan terjadi bronkiolitis obliterasi permanen. Oleh karena itu penting diteliti lebih lanjut efek samping sediaan pelancar ASI daun katuk terhadap ibu dan bayinya.
PENDAHULUAN Daun katuk adalah daun dari tanaman Sauropus adrogynus(L)Merr, famili Euphorbiaceae. Nama daerah: Memata (Melayu), Simani (Minangkabau), Katuk (Sunda), Kebing dan Katukan (Jawa), Kerakur (Madura).(1) Terdapat di berbagai daerah di India, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia tumbuh di dataran dengan ketinggian 0-2100 m di atas permukaan laut. Tanaman ini berbentuk perdu. Tingginya mencapai 2-3 m. Cabang-cabang agak lunak dan terbagi Daun tersusun selang-seling pada satu tangkai, berbentuk lonjong sampai bundar dengan panjang 2,5 cm dan lebar 1,25-3 cm. Bunga tunggal atau berkelompok tiga. Buah bertangkai panjang 1,25 cm.(2) Tanaman katuk dapat diperbanyak dengan stek dari batang yang sudah berkayu, panjang lebih kurang 20 cm disemaikan terlebih dahulu. Setelah berakar sekitar 2 minggu dapat dipindahkan ke kebun. Jarak tanam panjang 30 cm dan lebar 30 cm. Setelah tinggi mencapai 50-60 cm dilakukan 48 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
pemangkasan agar selalu didapatkan daun muda dan segar. Di Kabupaten Bogor telah dibudidayakan untuk meningkatkan pendapatan penduduk.(2) Pada umumnya daun katuk digunakan sebagai sayuran. Di Indonesia daun katuk digunakan untuk melancarkan air susu ibu, obat borok, bisul, demam, dan darah kotor. Daun katuk sudah diproduksi sebagai sediaan fitofarmaka yang berkhasiat untuk melancarkan ASI. Sepuluh pelancar ASI yang mengandung daun katuk telah beredar di Indonesia pada tahun 2000. DATA Ekologi dan ekonomi Tanaman katuk dibudidayakan di tiga desa kecamatan Semplak kabupaten Bogor dengan ketinggian 180-220m dpl, tanah latosol, tipe curah hujan A (Schmidt &Ferguson,) dan jumlah petani sekitar 100 orang. Pemeliharaan intensif dapat meningkatkan umur produktif dari 5-7 tahun menjadi 11-12
tahun. Hasil panen pertama berkisar 3-4 ton/ ha, selanjutnya meningkat mencapai 21-40 ton tergantung kesuburan tanahnya.(3) Di desa Cilebut Barat, kecamatan Semplak, Kabupaten Bogor katuk ditanam secara tradisional, dipanen setelah berumur 2-2,5 bulan, pemangkasan selanjutnya dilakukan setiap 40-60 hari. Hasil panen berkisar antara 3-7 ton/ha, dengan harga Rp500,00/kg. Tanaman sela meliputi jagung, singkong, dan papaya. Ternyata tumpang sari dengan singkong hasilnya lebih baik dibandingkan monokultur.(4) Tingkat naungan 25% memberikan pengaruh yang tebaik terhadap jumlah tunas, bobot basah daun, bobot kering daun, bobot kering akar dan panjang akar.(5) Panjang setek 20 cm dan pupuk nitrogen 5 g/pohon berpengaruh terbaik terhadap bobot basah daun dan akar.(5) Kandungan zat Hasil analisis GCMS pada ekstrak heksana menunjukkan adanya beberapa senyawa alifatik . Pada ekstrak eter terdapat komponen utama yang meliputi : monometil suksinat, asam benzoat dan asam 2-fenilmalonat; serta komponen minor meliputi : terbutol, 2-propagiloksan, 4H-piran-4-on, 2-metoksi6-metil, 3-peten-2-on, 3-(2-furanil), dan asam palmitat. Pada ekstrak etil asetat terdapat komponen utama yang meliputi: sis2-metil-siklopentanol asetat. Kandungan daun katuk meliputi protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B, dan C. pirolidinon, dan metil piroglutamat serta p-dodesilfenol sebagai komponen minor.(6) Dalam 100 g daun katuk terkandung: energi 59 kal, protein 6,4 g, lemak 1,0 g, hidrat arang 9,9 g, serat 1,5 g, abu 1,7 g, kalsium 233 mg, fosfor 98 mg, besi 3,5 mg, karoten 10020 mcg (vitamin A), B, dan C 164 mg, serta air 81 g.(7) Tanaman katuk dapat meningkatkan produksi ASI diduga berdasarkan efek hormonal dari kandungan kimia sterol yang bersifat estrogenik.(8) Pada penelitian terdahulu daun katuk mengandung efedrin.(9) Efek farmakologis Daun katuk berkhasiat memperbanyak air susu, untuk demam, bisul, borok dan darah kotor(1,2). Tiga peneliti menyatakan infus daun katuk dapat meningkatkan produksi air susu pada mencit. Infus daun katuk dapat meningkatkan jumlah asini tiap lobulus kelenjar susu mencit. Satu peneliti menyatakan isolat fase eter dan ekstrak petroleum eter daun katuk tidak menyebabkan peningkatan sekresi air susu yang bermakna. Satu peneliti menyatakan bahwa dekok akar katuk mempunyai efek antipiretik terhadap burung merpati.(10) Infus akar katuk mempunyai efek diuretik dengan dosis 72 mg/100 g bb.(11) Konsumsi sayur katuk oleh ibu menyusui dapat memperlama waktu menyusui bayi perempuan secara nyata dan untuk bayi pria hanya meningkatkan frekuensi dan lama menyusui.(12) Proses perebusan daun katuk dapat menghilangkan sifat anti protozoa.(13) Pemberian infus daun katuk kadar 20 %, 40 %, dan 80 % pada mencit selama periode organogenesis tidak menyebabkan cacat bawaan (teratogenik) dan tidak menyebabkan resorbsi.(14) Jus daun katuk mentah digunakan sebagai pelangsing di Taiwan.(9,15)
Efek samping Di Taiwan 44 orang mengkonsumsi jus daun katuk mentah (150 g) selama 2 minggu - 7 bulan, terjadi efek samping dengan gejala sukar tidur, tidak enak makan dan sesak nafas. Gejala hilang setelah 40-44 hari menghentikan konsumsi jus daun katuk. Hasil biopsi dari 12 pasien menunjukkan bronkiolitis obliterasi.(9) Sejumlah 178 pasien mengkonsumsi jus daun katuk mentah dengan dosis 150 g / hari (60,7 %), digoreng (16,9 %), campuran (20.8 %), dan digodok (1,7 %), selama 7 bulan - 24 bulan. Terdapat efek samping setelah penggunaaan selama 7 bulan berupa gejala obstruksi bronkiolitis sedang sampai parah, sedangkan konsumsi selama 22 bulan atau lebih menyebabkan gejala bronkiolitis obliterasi yang permanen.(15) Di Amerika, sejak tahun 1995 daun katuk goreng, salad daun katuk, dan minuman banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai obat antiobesitas (pelangsing tubuh). Penelitian dilakukan terhadap 115 kasus bronkiolitis obliterasi (110 perempuan dan 5 pria), berumur antara 22-66 tahun yang sebelumnya mengkonsumsi daun katuk. Pada uji fungsi paru terlihat obstruksi sedang sampai parah. Pengobatan dengan campuran kortikosteroid, bronkodilatasi, eritromisin, dan zat imunosupresi hampir tidak berkhasiat. Setelah 2 tahun bronkiolitis obliterasi berkembang menjadi parah dan terjadi kematian pada 6 pasien (6,1 %).(16) Proses perebusan daun katuk dapat menghilangkan sifat anti protozoa(13). Jadi dapat disimpulkan pemanasan dapat mengurangi sampai meniadakan sifat racun daun katuk. Jenis sediaan daun katuk Dari 213 jenis jamu yang berasal dari 9 pabrik jamu, hanya ditemukan 6 jenis jamu (2,8 %) yang mengandung daun katuk. Dari 6 jenis tersebut, 4 jenis di antaranya mempunyai indikasi sebagai pelancar ASI.(13) Data tahun 2000 menunjukkan 10 jenis sediaan fitofarmaka daun katuk sebagai pelancar ASI telah beredar di Indonesia KESIMPULAN Pemanfaatan daun katuk sebagai jamu atau sediaan fitofarmaka adalah sebagai pelancar ASI. Efek samping utama daun katuk adalah konstriksi bronkiolitis yang permanen. Penelitian efek samping pelancar ASI terhadap ibu dan anak belum penah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini perlu dilakukan, dan jika telah terbukti keamanannya maka sediaan fitofarmaka daun katuk mempunyai peluang untuk dianjurkan agar digunakan. KEPUSTAKAAN 1. 2.
3.
Departemen Kesehatan RI. Vademekum Bahan Obat Alam, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, 1989. hal. 53 –4.. Departemen Kesehatan RI. Inventaris Tanaman Obat Indonesia, jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 1991. hal. 516 – 17. Sudiarto dkk. Studi aspek tehnis budidaya Katuk di lahan petani Kecamatan Semplak Bogor. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3): 8-9.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 49
4. 5.
6.
7.
8. 9.
Puspitaningsih DM dkk. Usaha Tani Katuk di Desa Cilebut Barat Kabupaten Bogor. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3( 3): 9 – 10. Joko Pitono dkk. Tanggap Tanaman Katuk pada Berbagai Dosis Pupuk NPK dan Tingkat Naungan. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997; 3(3): 13 –4. Yunawati M. dkk.. Pengaruh Panjang Setek dan Dosis Pupuk Nitrogen terhadap Pertumbuhan Tanaman Katuk. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997; 3(3):15 – 6. Anoria Agustal dkk. Analisis Kimia Ekstrak Daun Katuk ( Sauropus androgynus (L) Merr.) dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997; 3(3): 31-2. Departemen Kesehatan RI. Daftar Komposisi Bahan Makanan, Pusat Pe nelitian Gizi, Bogor, 1992:hal. 100. Amarila Malik. Tinjauan Fitokimia, Indikasi Penggunaan dan Bioaktivitas Daun Katuk dan Buah Trengguli. Warta Tumbuhan Obat Indomesia 1997; 3( 3): 39-40.
10. Sa’roni dkk. Tinjauan Penelitian Katuk yang telah Dilakukan di Indonesia. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997; 3(3): 44-5. 11. Yun Astuti N. dkk.. Efek Diuretik Infus Akar Katuk terhadap Tikus Putih, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3): 42 -3. 12. Elmy Yasril. Penelitian Pengaruh Daun Katuk terhadap Frekuensi dan Lama Menyusui Bayi, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3): 41-2. 13. Sutedja L. dkk. Sifat Anti Protozoa Daun Katuk, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997; 3(3): 47 – 49. 14. Lucia E. Wuryaningsih dkk. Uji Teratogenik Infusa Daun Katuk pada Mencit Hamil, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3): 50-51. 15. Nurendah PS. dkk. Penggunaan Katuk dalam Jamu Berbungkus, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997, 3(3): 45-6. 16. Lung Transplantation in Bronchiolitis Obliterans Associated with Vegetable Consumption (Research Letters). Lancet Website. 1998.
KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE BULAN MEI – AGUSTUS 2006 Bulan
Tanggal
Kegiatan
20 – 21
The 1st National Congress of Indonesian Medical Society for Oriental Medicine & Expo (KONAS I Perhimpunan Kedokteran Timur Indonesia) - PDPKT
20 – 23
The 6th Asian & Oceanian Epilepsy Congress
16 – 18
The 1st Anti-aging International Symposium & Exposition Tokyo ( AISET 2006 ) On Anti-aging Medicine
28 – 01/07
Pertemuan Ilmiah Khusus XI - 2006 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
01 – 04
19th Meeting of the European Association for Cancer Research (EACR)
Mei
Juni
Juli
08 – 12 15
Kongres Nasional XIII Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Seminar & Workshop PASTI (Perkumpulan Awet Sehat Indonesia) : Body On Fire ‘Silent Inflammation’
28 – 30
Liver Update 2006
01 – 05
12th Asia-Pacific League of Associations for Rheumatology: Congress of Rheumatology
10 – 13
Collegium Internationale Geronto Pharmacologicum Congress 2006 : From Traditional Through Bio-Molecular To NanoTechnology Medication
22 - 26
8th Asian Congress of Urology of The Urological Association of Asia
26 – 29
The 14th Congress of Asia-Pacific Association of Critical Care Medicine (APACCM 2006)
Agustus
Tempat dan Informasi Acara Borobudur Hotel, Jakarta Tlp. : 021-30041026 ; 4532202 Fax. : 021-30041027 E-mail :
[email protected] Kuala Lumpur, Malaysia Tlp. : +353 1 4097796, Fax. : +353 1 4291290 Le Meridien Grand Pacific Tokyo Hotel Tokyo, Japan , Tlp. : +81-3-3350-1806 Fax. : +81-3-3350-1906 , E-mail :
[email protected] http://www.imagine.jp/aiset/english Hotel Planet Holiday, Batam Tlp. : 0778-325 121 ext. 304, 324 Fax. : 0778-327 629 E-mail :
[email protected] Novotel Budapest Congress Centre, Hungary Tlp. : +32 (0)2 775 02 01 Fax. : +32 (0) 775 02 00 E-mail :
[email protected] http://www.fecs.be ; http://www.bcc.hu Palembang, Sumatera Selatan Tlp./Fax. : 0711-378011 ; 318244 Hotel Borobudur, Jakarta Tlp. : 021-729 0623 Fax. : 021-7289 5871 Hotel Borobudur, Jakarta Tlp. : 021-30041026 , Fax. : 021-30041027 E-mail :
[email protected] Kuala Lumpur, Malaysia Tlp. : 603-4252 9100, Fax. : 603-4252 9800 http://www.aplar2006.com Balai Sidang / Jakarta Convention Center Tlp. : +62-21-55960180 Fax. : +62-21-55960179 E-mail:
[email protected] /
[email protected] http://www.cigp.org BICC The Westin Resort, Nusa Dua, Bali Tlp. : 62-21-4532202 ; 30041026 Fax. : 62-21-4535833 ; 30041027 E-mail :
[email protected] http://www.acu2006.com Beijing, China, Fax. : +86 10 65124875 E-mail :
[email protected]
Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dinamika Pelacuran di Wilayah Jakarta dan Surabaya dan Faktor Sosio Demografi yang Melatarbelakanginya Kasnodihardjo, Rachmalina S Prasojo, Helper SP Manalu Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jakarta
PENDAHULUAN Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dampaknya mulai terasa sejak awal tahun 1998; selain langsung pada kehidupan ekonomi bangsa, juga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya kesempatan kerja. Dampak lanjutan adalah kerawanan yang menyangkut berbagai hal, salah satu di antaranya adalah bidang ekonomi dan sosial. Krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah penjaja seks komersial(PSK). Karena sifat pekerjaan dan perilaku mereka, para PSK berpotensi tertular dan menularkan penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV-AIDS (Human Immunodeficiency Virus - Acquired Immune Deficiency Syndrome). Pekerja seks yang beroperasi di Jakarta datang dari berbagai daerah. Suatu survai menunjukkan bahwa mereka datang dari Jawa Timur 4%, dari Jambi 2%, dari Sumatera Barat 6%, dari Jawa Tengah 17%, dari Jawa Barat 18% dan D.K.I sendiri 50% (Suara Pembaruan, Maret 1999). Menghapuskan sama sekali kegiatan para PSK seperti misalnya rencana penutupan lokalisasi atau operasi penertiban tampaknya tidak mungkin. Justru ini akan menimbulkan dampak lain dan tidak menyelesaikan masalah. Barangkali yang paling mungkin adalah tindakan agar dampak negatif yang ditimbulkannya tidak meluas ke masyarakat, misalnya dampak kesehatan yaitu munculnya PMS termasuk HIV-AIDS dicegah melalui penggunaan kondom. Untuk itu perlu dipahami latar belakang dan motivasi mereka menjadi PSK; apakah oleh faktor ekonomis akibat krisis, faktor psikologis, biologis, bahkan mungkin politis. Demikian pula motivasi dan alasan mereka menggunakan dan tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya. Tulisan ini merupakan hasil penelitian tahun 2001.
METODOLOGI Desain studi Penelitian bersifat studi eksploratif dengan metoda pengumpulan data kualitatif terutama dengan menggunakan pemahaman langsung dan tidak langsung. Sumber data yaitu orang-orang yang diminta memberikan informasi, disebut informan. Informan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang apa yang ia ketahui dan juga sedapat mungkin tentang apa yang ia alami. Maka penelitian lebih banyak tergantung pada bahasa informan (Yudoyono B, 1992). Selain informasi diri, informan juga diharapkan dapat memberikan keterangan lain. Sasaran Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Sasaran utama penelitian ini adalah wanita yang berprofesi sebagai penjaja seks (PS) atau Pekerja Seks Komersial (PSK), baik yang terorganisasi maupun yang tidak, yaitu mereka yang berpraktek liar di pinggir jalan, pinggir jalan (rel) kereta api, kafe, mal, panti pijat atau warung remang-remang. Sasaran penelitian lain adalah mucikari (germo) atau orang-orang yang diasumsikan mengetahui praktek keseharian wanita penjaja seks. Penentuan informan (responden) dilakukan melalui pendekatan lokasi yang diduga sebagai sentinel dan dipilih secara purposif. Pemilihan sasaran dilakukan secara insidental. Semua PSK pada saat pelaksanaan penelitian mendapatkan kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel ditentukan secara kuantum yaitu 20 orang PSK di beberapa jalan di Kota Madya Surabaya dan 20 orang PS di beberapa jalan di DKI Jakarta yang bersedia menjadi informan (responden). Pengumpulan data lebih ditekankan melalui wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu berupa dialog secara individu maupun kelompok menggunakan pertanyaan-
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 51
pertanyaan bebas agar informan mengutarakan pandangan, pengetahuan, perasaan serta sikap dan perilaku berupa pengalaman pribadi yang berkaitan dengan profesi sebagai PSK. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk membangun pemahaman bersama tentang tujuan penelitian dan materi penelitian(3). Dalam wawancara mendalam, peneliti (pewawancara) dilengkapi formulir berisi pertanyaanpertanyaan sebagai pedoman wawancara. Selain wawancara mendalam, data dikumpulkan menggunakan diskusi kelompok terarah (DKT), terutama data tambahan yang tidak terekam melalui wawancara mendalam. Peserta DKT terdiri dari para PSK terpilih yang pernah diwawancarai secara mendalam ditambah PSK lain yang belum pernah diwawancarai secara mendalam yang berpraktek di lokasi yang sama. Diskusi terarah yang dapat diselenggarakan untuk lokasi penelitian di Surabaya berjumlah 4 kelompok dan untuk lokasi penelitian di DKI Jakarta 5 kelompok. Masing-masing kelompok diskusi beranggotakan 6 PSK. Selain itu metoda pengamatan digunakan untuk melengkapi data terutama yang tidak dapat terkumpul melalui wawancara mendalam meliputi data fisik dan perilaku keseharian PSK terutama saat menjalankan profesinya. Dalam pengamatan, peneliti berupaya melibatkan diri dalam kehidupan obyek yang diteliti yaitu PSK. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik demografi, motivasi dan lama menjadi PSK, perilaku yang berkaitan dengan risiko tertular PMS termasuk HIV-AIDS yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku penggunaan kondom terakhir kali, frekuensi hubungan seksual dan faktor latar belakang penggunaan kondom, latar belakang sosial dan latar belakang sarana. Data diperoleh langsung dari informan yang terdiri dari PSK, mucikari (germo) dan orang-orang kunci yang diasumsikan mengetahui kegiatan/praktek keseharian PSK Selain itu data sekunder juga diperoleh dari arsip atau dokumen instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan sumber lain. Dilakukan analisis deskriptif kualitatif dan sintesis atas data yang diperoleh dengan dua cara yaitu wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Dari berbagai gambaran obyektif yang diperoleh, diadakan interpretasi menggunakan beberapa teori perilaku PSK dan teori perubahan sosial (social change). HASIL DAN PEMBAHASAN Latar belakang karakteristik sosial demografi Latar belakang karakteristik sosial demografi meliputi daerah asal, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan serta alasan atau motivasi menjadi PSK dan pengetahuan tentang PMS. Para PSK yang ditemui dan berhasil diwawancarai baik di lokasi penelitian di DKI Jakarta maupun Surabaya asalnya sangat heterogen, umumnya berasal dari Jawa Tengah. Sesuai dengan yang diharapkan, PSK yang berhasil diwawancarai untuk daerah penelitian di DKI berjumlah 20 orang, dan di lokasi penelitian di Surabaya 20 orang. Daerah asal 20 PSK yang ditemui dan diwawancarai di beberapa jalan di Kota Madya Surabaya sebagian besar berasal dari Jawa Timur seperti Jombang, Banyuwangi dan Sidoarjo dan sebagian kecil dari Jawa Tengah seperti Cilacap dan Pekalongan. Sedangkan
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
PSK yang berhasil diwawancarai di lokasi penelitian di DKI Jakarta, umumnya berasal dari Jawa Barat seperti dari Kabupaten Indramayu, Kuningan dan Karawang dan Purwakarta. Dilihat dari tingkat ekonomi orang tua, umumnya berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka umumnya mengaku bekerja sebagai pelayan toko atau buruh pabrik. Latar belakangnya beragam; 10% ibu rumah tangga, 40% buruh pabrik dan 30% penjaga toko, sisanya setelah tidak bersekolah langsung menjalani profesi sebagai PSK. Alasan mereka menjalani profesi sebagai PSK ada yang karena perceraian, disakiti suami atau desakan ekonomi. Dalam menjalani profesinya mereka berpindah-pindah lokasi. baik yang di wilayah Jakarta maupun yang di Surabaya dengan alasan mencari pengalaman dan agar dianggap “baru” Umur responden antara 17 tahun sampai 34 tahun, sebagian besar di bawah 30 tahun (Tabel 1). Umur sangat berpengaruh terhadap banyaknya pelanggan atau tingkat kelarisan di samping faktor lainnya seperti faktor fisik, penampilan, selera tamu dan lain-lain. Tabel 1. Proporsi Pekerja Seks Berdasarkan Kelompok Usia dan Daerah Penelitian Kelompok Umur (Tahun) 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 Jumlah
Daerah Penelitian DKI Jakarta Jumlah 4 8 6 2
20
% 20.0 40.0 30.0 10.0
100.0
Surabaya Jumlah 3 9 4 3 1 20
% 15.0 44,7 20.0 20.0 0,3 100.0
Jumla h 7 17 10 5 1 40
Tingkat Pendidikan PSK Kebanyakan responden hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Bahkan ada yang tidak tamat SD. Ada di antara mereka menamatkan SLTA atau SMEA. Pendidikan mempengaruhi cara penampilan dan bicara yang terlihat pada saat transaksi dan atau saat penyambutan calon pelanggan atau pasangan. Pekerja seks termuda yang berhasil diwawancarai di daerah penelitian di DKI Jakarta berumur 16 tahun. Dia berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di daerah asalnya Tasikmalaya Jawa Barat Wajahnya tidak tergolong cantik. Mulai menjalani profesi sebagai pekerja seks komersial sejak tahun 1997. Setiap melakukan transaksi dia menawarkan harga (memasang tarif) Rp. 50.000. Biasa mangkal di Kebayoran Baru tepatnya di kawasan Taman Blok M mulai pukul 19.00 WIB. Dia terlanjur datang ke ibu kota untuk mencari pekerjaan. Mau kembali ke orang tua, bagi dia bukan solusi, karena orang tua tergolong tidak mampu. Uang yang didapat dari menjalani profesi sebagai PS sebagian dikirim untuk orang tuanya. Dia tidak pernah menyesali apa yang telah menimpa dirinya meskipun masih berharap untuk kembali ke jalan yang benar. Lain halnya PSK yang biasa mangkal di kawasan Melawai. Di kawasan tersebut para PSK memasang tarif sekitar Rp 400.000 setiap transaksi. Salah seorang PSK yang berhasil diwawancarai berusia sekitar 21
tahun. Ia lulusan SLTP dan tinggal di daerah Sawangan Bogor. Untuk mendapatkan calon pelanggan (pasangan seksnya) biasanya dibantu oleh para pedagang asongan atau pengamen dengan upah Rp 10.000 - 15.000. Para PS di kawasan Melawai dikoordinir oleh germo. Salah seorang PSK yang berpraktek di daerah penelitian di Surabaya yang berhasil ditemui dan diwawancarai biasa mangkal di kawasan Margorejo mengaku lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Kedua orang tuanya sering bertengkar. Pertama kali berhubungan seks dengan seorang pengusaha di Surabaya. PSK lain lulusan SLTP asli Surabaya berusia 21 tahun di lokasi yang sama yaitu di kawasan Margorejo. Ia terpaksa mulai menjalani profesi sebagai PSK karena benturan ekonomi sejak tahun 1998. Kedua orang tuanya meninggal. Dia tinggal bersama neneknya. PSK lain lulusan SMU, biasa di jalan Ketintang, Surabaya. Masalah utamanya ialah masalah ekonomi. Setelah lulus SMU tahun 1998 ia tidak meneruskan kuliah. Alasan menjadi PSK tidak terungkap. PSK tertua yang berhasil diwawancarai berusia sekitar 35 tahun di Jakarta Dia adalah ibu rumah tangga berputra 4 orang, mulai menjalankan profesi sebagai PSK sejak tahun 1997 di seputar Bioskop Pasar Minggu, Jakarta Selatan Status Perkawinan PSK Sebagian besar bertatus belum menikah (31 orang 77.5%). Sementara yang berstatus menikah dan masih bersuami 5 orang (12.5%) dan berstatus janda 3 orang (7.5%). Sebagian besar beragama Islam; 3 orang mengaku beragama Kristen Alasan Menjadi PSK Pekerjaan mereka sebelum menjadi PSK sangat beragam antara lain sebagai ibu rumah tangga, pelayan di hotel, pesuruh di kelurahan, bekerja di diskotek, pelayan toko, sebagai petani/pemelihara ternak dan ada yang belum pernah bekerja karena baru menamatkan sekolah.Faktor ekonomi merupakan alasan klasik (95%). Pada umumnya mereka berasal dari keluarga kurang mampu atau miskin. Alasan lain kejiwaan atau frustrasi. Faktor pendorong untuk bekerja sebagai PSK sangat bervariasi antara lain terkena PHK, diajak teman, paling mudah mendapatkan uang, sebagai janda ditinggal suami, tidak dapat memenuhi kebutuhan anak-anak dan kehidupan sehari-hari, frustrasi karena pernah digauli oleh laki-laki, dibohongi untuk dikawin/ditinggal pacar, membantu beban orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, sulit mencari pekerjaan lain, ingin kecukupan supaya tidak ketinggalan dengan temanteman sebayanya, bertengkar dengan orang tua karena dijodohkan. Penghasilan PSK Tingkat ekonomi rata-rata meningkat sesudah menjadi PSK Mereka dapat membiayai kehidupan keluarga termasuk menyekolahkan anak. Sebagian dari mereka dapat menabung untuk rencana setelah mengakhiri profesi PSK. Sebagian besar responden baru sekitar 1 tahun menjalani profesinya. Penghasilan mereka tidak tetap. Tarif umum rata-rata Rp.
50.000,- hingga Rp 100.000. Mereka bisa melayani 2 hingga 3 orang tamu atau pelanggan dalam semalam. Penghasilannya sebesar Rp. 200.000 sampai Rp 1.500.000 tiap bulan, sebagian dikirim ke orang tua dan sebagian lagi untuk kebutuhan hidup di Jakarta. Tetapi banyak juga yang tidak tertabung, karena sangat konsumtif dan perlu mempercantik diri misalnya untuk membeli pakaian dan lain-lain. Sikap dan Perilaku Penggunaan Kondom Berbagai faktor yang mendorong pemakaian kondom berkaitan dengan pengetahuan mereka yaitu kuatir terkena PMS dan tertular penyakit HIV-AIDS, kuatir hamil. Pengaruh Lingkungan Dari informasi yang diperoleh, nampaknya faktor yang mempengaruhi mereka terjun ke dunia malam adalah lingkungan teman, keluarga dan masyarakat umum. Mereka menjadi PSK karena diajak teman, dimarahi orang tua/keadaan ekonomi keluarga serta suaminya sendiri yang membiarkan isterinya melakukan pekerjaan sebagai PSK. Dapat pula karena pengaruh pergaulan dan lingkungan sosial. Ada yang karena ditipu pacar atau korban perkosaan. Walaupun tidak dapat dibenarkan, keadaan ekonomi sangat mendukung seorang wanita untuk terjun ke dunia pelacuran. Peran Media Komunikasi. Sebagian besar PSK menyatakan informasi tentang penyakit diperoleh melalui televisi dan membaca Mereka mengenal penyakit HIV-AIDS akibat hubungan seks bergantiganti dan penyakit ini tidak atau belum ada obatnya. Selain itu sebagian dari mereka juga pernah membaca bahwa untuk menghindari penularan penyakit kelamin adalah memakai kondom. Penyuluhan melalui komunikasi tatap muka tidak mereka peroleh. Hal ini mungkin karena kelompok mereka tidak diketahui sebagai PSK. Faktor Keterberdayaan Dalam Tatanan Sosial. Mereka umumnya mengakui bahwa keberadaan mereka sebagai PSK tidak dikehendaki oleh tatanan baik keluarga maupun masyarakat. Mungkin sebagian dari mereka merasa berdosa menjalani profesi sebagai PSK. Bila ditanya mereka mengatakan yang tidak sebenarnya, misalnya bekerja di restoran atau di kelab malam (bar). Harapan PSK Sarana yang diperlukan setiap PSK adalah kemudahan untuk mendapatkan obat dan peralatan kontrasepsi berupa kondom yang diperlukan terutama untuk mencegah penyakit akibat hubungan seks atau PMS. Para PSK mengharapkan dapat memperoleh kondom secara mudah dan murah, jika perlu gratis, dapat ikut program KB (keluarga berencana) secara murah terutama melalui suntikan. Selain itu mereka juga mengharapkan kemudahan untuk pemeriksaan kesehatan setiap saat. Mereka juga mengharapkan bantuan dana (modal) saat berhenti dari profesinya. Informasi ini diperoleh dari hampir semua PSK yang sudah janda dan mereka yang sudah mendekati usia 30 tahun. PSK yang relatif masih muda lebih
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 53
menghendaki pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendidikannya. Di samping itu mereka juga mengharapkan mendapatkan tambahan ketrampilan di tempat penampungan. Bahkan ada yang bercita-cita menjadi pedagang setelah mempunyai modal kerja. Pekerja seks pada umumnya ingin kembali ke jalan yang benar, setidaknya ingin kembali menjadi wanita yang baik. Mereka umumnya menginginkan pekerjaan dan membentuk keluarga yang sejahtera. Menurut pengakuan mereka hanya kesempatan yang belum muncul. Mereka pada dasarnya mempunyai naluri kewanitaan yang baik dan ingin menjalani hidup seperti wanita atau ibu-ibu rumah tangga secara normal di masyarakat lingkungannya. Penelitian Endang Sedyaningsih (1999.) menyatakan pada dasarnya dikotomi antara perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik tampaknya masih melekat dalam pandangan masyarakat dan lebih lagi dikuatkan oleh berbagai kebijakan, adat serta aturan yang ada. Pandangan tersebut sering memojokkan perempuan; kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada perempuan di tengah langkanya lapangan pekerjaan serta rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan menjadi penyebab utama munculnya pekerja seks, di tambah terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dengan perkataan lain munculnya PSK merupakan bentuk kekalahan perempuan dalam persaingan di lapangan pekejaan yang lebih dikuasai laki-laki. Dalam kondisi demikian, perempuan selalu tersisihkan dengan gaji lebih sedikit dan mudah terancam PHK Di sisi lain tumbuh pusat-pusat hiburan dan selalu ada saja PSK yang muncul.Pada dasarnya kehadiran PSK adalah sebagai korban pembangunan dan korban pandangan masyarakat, baik sebagai akibat kekerasan yang dialaminya seperti perkosaan atau penganiayaan. Semuanya itu berakar pada kuatnya konsep patriarki sebagai bagian budaya dalam masyarakat. Konsep patriarki menganggap laki-laki mempunyai hak poligami. Inilah yang menumbuhkan kontradiksi manakala dihadapkan pada masalah PSK
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.
Endang R Sedyaningsih, Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak, Penerbit Suara Pembaharuan, 1999. Hudayana,B. Pengumpulan Dan Analisis Data Dalam Penelitain Etnografi, Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1992. Koentjaraningrat. Metoda-Metoda Penelitian Masyarakat, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1977. Suara Pembaharuan, Maret 1999
It is the passions that do and that undo everything (Fontenelle)
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
ANALISIS
Perkembangan Terbaru Pengobatan Flu Burung Tjandra Yoga Aditama Departeman Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI / RS Persahabatan Jakarta, Indonesia
Data menunjukkan bahwa baik bagi dunia maupun bagi kita di Indonesia, Flu Burung merupakan masalah kesehatan penting yang perlu dapat perhatian seksama, apalagi dengan adanya ancaman pandemi. Kendati pandemi sampai Februari 2006 belum terjadi, tetapi jumlah pasien memang terus meningkat dari waktu ke waktu. Di tahun 2004 lalu ada 46 pasien Flu burung di dunia, atau sekitar 4 pasien baru setiap bulannya. Angka ini melonjak menjadi rata-rata 8 pasien baru / bulan di tahun 2005 dengan total 95 kasus. Sementara itu, sampai 25 Februari 2006, sudah ada 28 pasien Flu Burung di dunia(1). Untuk Indonesia, awalnya jarak antara kasus pertama dan ke dua adalah 2 bulan lamanya. Di tahun 2006, dalam kurang dari 2 bulan sudah ada 11 kasus baru Flu Burung. Data juga menunjukkan bahwa dengan segala modalitas terapi yang ada sekitar 50% pasien Flu burung akan meninggal dunia. Data Indonesia menunjukkan 20 dari 28 kasus meninggal dunia, artinya case fatality rate 71,43%. Salah satu faktor penting penanganan Flu Burung adalah pengobatan. Berikut ini akan disampaikan perkembangan pengobatan Flu Burung dewasa ini. MASALAH OSELTAMIVIR Seperti diketahui, dalam hal obat saat ini kita bergantung pada golongan oseltamivir atau yang dikenal dengan nama Tamiflu®. Dosis yang dianjurkan WHO adalah 2 X 75 mg perhari untuk terapi dan 1X 75 mg per hari untuk profilaksis. Untuk mereka yang berusia di bawah 13 tahun, dosis disesuaikan dengan berat badan.(2-4) Pada dasarnya ada dua jenis obat untuk mengatasi virus influenza, yaitu golongan neuraminidase inhibitors seperti osemtamivir dan zanamivir, serta golongan M2 inhibitors yaitu amantadin dan rimantadin. Hanya saja, data dari beberapa negara menunjukkan resistensi terhadap M2 inhibitor, kendati data Indonesia tidak demikian halnya; sehingga akhirnya secara internasional WHO menganjurkan penggunaan oseltamivir untuk menangani Flu Burung akibat H5N1.(2)
Perlu disadari bahwa obat ini punya banyak kelemahan, walau harus diakui bahwa saat ini oseltamivir lah satu-satunya obat antivirus yang diharapkan untuk mengatasi pandemi, sebelum ditemukan obat baru yang lebih ampuh. Sedikitnya ada 8 (delapan) masalah dalam pengobatan Flu Burung dengan Oseltamivir (Tamiflu®).(5) Pertama, ketersediannya di dunia masih terbatas, dan demikian juga di Indonesia. Kini tampaknya ada upaya penyediannya secara maksimal, yang semoga dapat segera terrealisir. Ke dua, obat ini baru punya efek maksimal bila diberikan dalam 48 jam pertama sakit, sementara pasien biasanya masuk rumah sakit sudah terlambat. Karena itu pemberian Oseltamivir di pelayanan primer di puskesmas mungkin merupakan keputusan yang baik, hanya harus diingat adanya kemungkinan over-use dan resistesi. Ke tiga, tidak semua pasien Flu Burung yang mendapat obat ini walau dalam 48 jam pertama akan sembuh; dan cukup banyak pula pasien Flu Burung yang dapat sembuh tanpa obat ini. Data dari 37 kasus di Vietnam dan Thailand bahkan menunjukkan bahwa pada mereka yang diberi Oseltamivir angka survival nya adalah 24%, sementara yang tidak diberi Oseltamivir angka survival nya bahkan bisa 25%.(3) Tentu data ini masih bisa dikritisi, baik karena sedikitnya jumlah kasus dan juga tidak ada informasi apakah Oseltamivir diberikan dalam 48 jam setelah gejala timbul, seperti yang dianjurkan. Ke empat, meskipun obat ini bekerja baik, tampaknya perlu digabung dengan obat-obat lain dan ke lima ada pendapat ahli yang memperkirakan bahwa dosis yang kini dipakai adalah kurang dan perlu ditingkatkan.(3) Ke enam adalah lamanya pengobatan, apakah cuikup 5 hari atau barangkali harus lebih panjang.(3) Ke tujuh adalah adanya laporan efek samping obat ini, khususnya di Jepang di mana obat ini telah dikonsumsi oleh 24,5 juta orang, 11,6 juta di antaranya anak-anak. Dari sejumlah itu dilaporkan 32 kasus dengan gangguan neuropsikiatrik seperti halusainasi, confusion, suicide, seizure. Selain itu juga ada laporan terjadinya insomnia, vertigo, diare, dizziness dan nyeri kepala. Tidak diketahui etiologi dan patofisiologi efek samping ini.(6) Sementara itu, ke delapan dari oseltamivir (Tamiflu®) adalah mulai
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 55
ditemukannya virus Flu Burung yang resisten terhadap obat ini, antara lain dilaporkan dari Vietnam.(4) OBAT BARU Karena berbagai alasan di atas maka para ahli mulai memikirkan mencari obat baru untuk menangani Flu Burung dan atau meneliti untuk memberi Oseltamivir dalam dosis yang lebih besar dan atau waktu yang lebih lama. Selain itu, para ahli juga mencoba efektifitas obat-obat lain. National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat sejak tahun 2005 meneliti kemungkinan penggunaan obat Pegylated Interferon Gamma. Obat lain yang juga kini sedang diteliti meliputi obat anti tumor necrosis factor, obat golongan statin dan ACE inhibitor. Beberapa obat lain yang dalam penelitian antara lain (6) : – Neuraminidase (NA) inhibitors - Peramivir (oral/iv), A-315675 (oral) - Zanamivir (iv) – Long-acting NA inhibitors (LANI) - R-118958 (topical), Flunet® (topical) – Conjugated sialidase - Fludase™ (topical) – HA inhibitors- cyanovirin-N – Polymerase inhibitors - siRNA; ribavirin (aerosol/iv/po) – Protease inhibitors - Aprotinin Para ahli juga sedang meneliti kemungkinan memberikan gabungan / kombinasi dari beberapa obat yang telah dibahas di atas, termasuk juga dengan Oseltamivir. Di pihak lain, juga telah dicoba untuk menggabungkan obat antivirus dengan obatobat yang dapat mempengaruhi imunologi (daya tahan) seseorang dan berfungsi sebagai cytokine dysregulation karena diduga pada Flu Burung terjadi cytokine storm atau badai sitokin yang dapat merusak tubuh secara parah. PENCEGAHAN Selain pengobatan maka unsur pencegahan tentu juga jadi perhatian amat penting. Para ahli sedang mencoba membuat vaksin Flu Burung. Memang sampai awal 2006 ini belum berhasil, tetapi setidaknya telah ada beberapa kandidat yang diteliti, baik dalam bentuk. inactivated (whole and split virion), virosomal atau live-attenuated. Kandidat vaksin ini dicoba diberikan secara im, intradermal, intranasal. Sebagai ajuvan untuk bentuk inactivated digunakan bahan alum dan MF59. Sekarang ini substrat yang dipakai untuk pertumbuhan kandidat vaksin adalah telur, Vero cells, dan primary monkey cells. Sementara menunggu adanya vaksin maka sekarang ini untuk pencegahan kita masih bergantung pada oseltamivir. Mereka yang kontak dengan unggas yang sakit Flu Burung, atau juga dengan pasien Flu Burung, diberi oseltamivir 1 X 75 mg selama 7 hari. Yang jadi masalah adalah tentu petugas kesehatan yang menangani pasien yang terus bergantian masuk RS. Tentu tidak mungkin dokter atau perawat hanya makan obat pencegahan 5 hari padahal terus menangani pasien, apalagi kalau pandemi benar datang kelak dan pasiennya terus
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
berdatangan. Untuk mereka maka obat pencegahan ini dapat diminum terus menerus sampai 6 minggu. Bagaimana kalau sudah lebih dari 6 minggu masih saja terus datang pasien yang harus diobati? Untuk menjawabnya kita masih perlu penelitian lebih lanjut.(6) Obat lain yang juga diteliti untuk pencegahan adalah Zanamivir dalam bentuk inhalasi. Selain obat-obatan, kini dikenal konsep penting mass geographical prophylaxis atau pencegahan massal atau disebut juga ring prophylaxis. Konsep ini dijalankan dengan memberi profilaksis oseltamivir pada seluruh penduduk satu desa di mana ada kasus pasien Flu Burung. Thailand tampaknya sudah mulai mecoba konsep ini. Hanya saja memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam konsep ini.(5,6) Pertama, konsep ini baru "model", belum jelas apakah ”layak laksana” dan benar-benar bermanfaat. Ke dua, hanya dapat dilaksanakan di daerah rural / pedesaan, bukan perkotaan. Ke tiga, obat pencegahan harus diberikan pada setidaknya 80-90% penduduk desa tersebut. Ke empat, yang cukup sulit pelaksanaannya, seluruh penduduk yang telah mendapat obat pencegahan tidak boleh keluar dari daerah tersebut, sekolah ,kantor dan tempat umum harus ditutup, pokoknya mobilisasi amat dibatasi.. Ke lima, konsep ini baru akan berjalan baik jika virusnya bersifat low transmittable. Ke enam, khususnya pada masa pandemi, konsep ini harus dilakukan bila jumlah pasien masih kurang dari 20 orang dalam 1-3 minggu pertama sakit. Jika pasiennya sudah terlalu banyak maka sudah terlambat dan tidak bisa dicegah lagi. Bagaimanapun juga, teknik ini merupakan salah satu cara yang mungkin dapat dikaji di Indonesia. PANDEMI Sejalan dengan mulai munculnya kasus dan kematian akibat Flu Burung maka banyak dibicarakan tentang kemungkinan terjadinya Pandemi Influenza. Direktur Jenderal WHO mengatakan bahwa diskusi tentang Pandemi Influenza bukan lagi dalam konteks apakah akan terjadi atau tidak tetapi sudah dalam kapan akan terjadi, artinya WHO mengatakan bahwa pandemi memang akan kita hadapi. Dunia sudah beberapa kali mengalami pandemi influenza di masa lalu. Pandemi Spanish flu yang terjadi tahun 1918 1919 disebabkan oleh virus influenza A (H1N1). Ketika itu timbul jenis virus influensa baru yang menyebar ke seluruh dunia dalam 4 sampai 6 bulan. Diperkirakan sampai sepertiga penduduk dunia (sekitar 500 juta orang) tertular influenza ketika itu dan sekitar 50 juta orang meninggal, bahkan ada yang menduga sampai 100 juta orang meninggal. Sekitar 50% penderita masih berusia muda dan sebelumnya sehat-sehat saja. Ketika itu pasien bahkan meninggal beberapa hari setelah terinfeksi.(7) Gelombang Pandemi flu ke dua, Asian flu terjadi tahun 1957-1958, disebabkan oleh virus influenza A (H2N2)] dan mengakibatkan sekitar 70.000 kematian di Amerika Serikat. Flu Asia ini pertama diidentifikasi di Cina akhir Februari 1957 kemudian menyebar ke Amerika pada Juni 1957. Sementara itu di tahun 1968-1969 terjadilah Hong Kong flu yang disebabkan oleh virus influenza A (H3N2) yang mengakibatkan sekitar 34.000 kematian di Amerika Serikat dan 1 jutaan di seluruh
dunia.(8) Kini, H5N1 dipercaya sebagai salah satu kandidat utama penyebab pandemi. Bila dilakukan analisis situasi tentang pandemi Flu Burung, maka kini setidaknya ada enam hal yang patut jadi perhatian.(5,8,9) Pertama, semua pihak harus menyadari bahwa memang ada risiko besar akan terjadi pandemi influenza. Hal ke dua adalah kenyataan bahwa ancaman pandemi ini ternyata menetap sejalan dengan penyebaran penyakit pada unggas di dunia. Ke tiga, kita tidak dapat secara pasti memprediksi pola mutasi pada virus influenza H5N1, dan juga jenis virus influenza lainnya. Apalagi infeksi tidak hanya terjadi di unggas, tetapi mungkin juga terjadi di binatang lain seperti babi, kucing, macan, ikan dan juga manusia. Kenyataan ke empat adalah sulitnya membangun early warning system. Banyak faktor yang berperan, antara lain begitu banyaknya orang yang memelihara unggas dan tidak mungkinnya dibunuh semua ayam guna menghindari penyebaran. Pada manusia, diagnosis dini juga sulit dilakukan dan diagnosis pastipun butuh alat laboratorium canggih (kultur virus, PCR, serologi ketat dll). Hal ke lima yang dihadapi adalah soal pencegahan, karena vaksin ampuh belum tersedia. Hal ke enam, jika pandemi betulbetul terjadi, maka dunia akan dihadapkan dengan keterbatasan kemampuan pelayanan kesehatan untuk menangani tambahan jutaan kasus pasien. Dalam keadaan ”normal” seperti sekarang saja masih sering didengar berbagai keluhan tentang pelayanan kesehatan. Jika ada pandemi maka tentu kalangan kesehatan di dunia akan dapat tantangan kerja amat berat. Untuk bersiap dan mencegah terjadinya pandemi, ada beberapa langkah strategik yang perlu dilakukan.(5,8,9) Yang pertama, dan sangat penting, adalah harus terbina kerjasama antara kalangan kedokteran dan peternakan/kedokteran hewan . Langkah ke dua adalah harus dibinanya komunikasi yang intens ke masyarakat. Untuk perkotaan hal ini perlu untuk menghindari kepanikan publik. Sementara itu, di daerah rural hal ini perlu terutama untuk menjangkau peternak skala menengah dan kecil yang jutaan orang jumlahnya. Hal ke tiga adalah meningkatkan ilmu virologi sehingga mampu mendeteksi perkembangan virus di masyarakat dan di lingkungan secara lebih mendalam. Langkah ke empat adalah upaya meningkatkan kemampuan mendeteksi dan mengobati kasus pada manusia.
Hal ke lima yang penting adalah prioritas politik untuk penyediaan obat dan alat kesehatan untuk pencegahan dan penanganan kasus. Flu Burung adalah masalah kesehatan yang penting. Hanya dengan kerjasama semua pihaklah - pemerintah, profesional kesehatan, profesional peternakan dan masyarakat luas - kita dapat mengatasinya. Kepemimpinan dan koordinasi amat diperlukan, demikian juga kesadaran masyarakat berdasarkan pengetahuan yang benar.
KEPUSTAKAAN 1.
2.
3.
4. 5. 6. 7. 8.
9.
WHO. Cumulative number of confirmed human cases, 20 February 2006. (Accessed February 25, 2006, http ://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/country/cases_table_200 6_02_20/en/index.html) WHO. Avian Influenza Frequently Asked Question,revised 5 December 2005 (Accessed February 25, 2006, http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/avian_faqs/en/index.html #drugs2) The Writing Committee of the World Health Organization (WHO) Consultation on Human Influenza A/H5. Current Concepts Avian Influenza A (H5N1) Infection in Humans. N Engl J Med 2005;353:137485. de Jong et al. Oseltamivir resistance during treatment of Influenza A (H5N1) Infection. . N Engl J Med 2005;353: 2667-72 Tjandra Yoga Aditama. Flu Burung pada manusia. Jakarta : UI Press, 2005, hal 23-38 Hayden GF. Human H5N1 Infection . Disajikan pada Pertemuan Flu Burung, Jakarta 29 November, 2005 Taubenberger JK, Morens DM. 1918 Influenza: the Mother of All Pandemics. Emerg Inf Dis 2006;12(1): 246-9 Communicable Disease Surveillance and Response Global Influenza Programme WHO. Responding to the avian influenza pandemic threat . Recommended strategic actions. Geneve : WHO 2005 WHO. Ten things you need to know about pandemic influenza. (Accessed February 25, 2006, http://www.who.int/csr/disease/influenza/pandemic10things/en/index.htm l
Setiap pasien dengan gejala ILI (Influenza Like Illness) seperti : gejala demam (suhu > 38°C), sakit tenggorokan, beringus, batuk, nyeri otot, sakit kepala, dan lemas dan mempunyai riwayat dalam satu minggu terakhir: a. kontak unggas sakit / mati mendadak atau b. kontak unggas (sehat atau sakit) atau c. mengalami leukopeni atau perburukan radiologik mendadak Harap segera dirujuk ke rumah sakit rujukan Flu Burung terdekat
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 57
OPINI
Latihan Beban Meningkatkan Kualitas Hidup Menghadapi Penuaan Phaidon Lumban Toruan Perkumpulan Awet Sehat Indonesia ( PASTI)
Key words : muscle, weight training, anabolic hormon Selama beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan minat terhadap pengetahuan akan penuaan serta strateginya menghadapi problem akibat proses penuaan, salah satunya adalah penyakit degeneratif. Menurut WHO, 90% penyakit penyebab kematian saat ini adalah penyakit degeneratif, sisanya 10% disebabkan oleh infeksi, trauma, dan penyebab lain. Umumnya penyakit degeneratif ini disebabkan oleh gaya hidup yakni diet yang tidak sehat dan kurangnya gerak. Dikombinasi dengan terjadinya penurunan hormon seperti growth hormone, testosterone, DHEA mulai pada usia 30 an, kelebihan asupan kalori dan kurangnya pengeluaran kalori lewat aktifitas, maka problem kegemukan menjadi amat nyata. Salah satu teori dalam proses penuaan atau aging process adalah teori perubahan hormonal yang dikenal dengan teori neuroendokrin. Teori ini dimajukan oleh Vladimir Dilman yang berfokus pada wear and tear theory sistem neuro endokrin, suatu jaringan biokimiawi kompleks yang mengatur hormon tubuh dan elemen penting lainnya. Pada saat muda, hormon di tubuh kita bekerjasama mengatur fungsi organ-organ tubuh termasuk respon terhadap panas, dingin, dan aktifitas seksual.. Organ yang berbeda, mengeluarkan hormon yang berbeda, yang semuanya berada di bawah komando kelenjar hipotalamus. Kelenjar sebesar kacang ini terdapat di otak dan bertanggung jawab terhadap produksi dan interaksi hormonhormon tubuh. Karena fungsinya yang mengkoordinasikan semua hormon tubuh maka kelenjar ini disebut juga thermostat tubuh. Berikut adalah fakta-fakta sehubungan dengan teori hormonal dalam proses penuaan. Levels Of Hormones
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Akibat penurunan growth hormone terjadi penurunan hormon pada usia 30 an dan penurunan massa otot yang dikenal dengan sarcopenia. Karena otot adalah ibarat mesin tubuh, kehilangan massa otot ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap kemampuan tubuh kita dan kapasitas fungsinya. Jika kita tidak secara sadar melakukan olahraga latihan beban untuk menjaga massa otot, maka kita akan kehilangan kira-kira 2 sampai 3 kg. jaringan otot setiap dekade.(4) Intinya, seperti mobil yang tadinya berkapasitas 3000 cc menjadi 2400 cc lalu turun menjadi 1800 cc, dan bahkan bisa menjadi seperti bajaj dengan kapasitas 500 cc. Karena kapasitas mesin berhubungan erat dengan penggunaan energi, maka dengan mudah kita mengerti mengapa berkurangnya massa otot mengakibatkan penurunan metabolic rate. Kehilangan massa otot ini berperan terhadap penurunan metabolic rate sebanyak 2 sampai 5 persen per dekade.(5) Hasil yang jelas dari makin berkurangnya massa otot dan penurunan metabolisme adalah penambahan berat badan secara gradual, kira-kira 5 kilogram perdekade. Dengan sederhana kita pahami bahwa kalori yang sebelumnya digunakan untuk aktivitas jaringan otot kemudian disimpan ke dalam sel lemak yang mengakibatkan terjadinya obesitas. Latihan beban merupakan solusi dan masih dapat memberi respon walau pada usia tua. Menurut penelitian W Campbell di Tufts University, pria dan dewasa tua yang melakukan latihan beban 30 menit tiga kali seminggu selama 12 minggu, dapat menambah berat badan sekitar 1,2 kg dan mengurangi massa lemak 1,8 kg, sementara pada saat yang sama menambah jumlah kalori sebanyak 370 kalori. Sayang sekali, diet tanpa olahraga malah menjadi counter productive. Pertama, sekitar 25% berat badan yang hilang adalah jaringan otot.(1) Hal ini kemudian mengurangi resting metabolism. Ke dua, sekitar 95% dari semua dieter ini akan kembali naik berat badan dalam waktu kira-kira 1 tahun.(2) Dan karena penambahan berat badan ini kebanyakan berupa lemak, maka komposisi tubuh mereka menjadi lebih parah setelah setiap kali diet. Kita sering tidak menyadari penyebab dan solusi dari penambahan berat badan ini. Kita tidak menyadari bahwa kehilangan massa otot mengakibatkan penambahan massa lemak. Bahkan kita sangat tidak menyadari bahwa kehilangan massa otot sangat berhubungan dengan osteoporosis
dan berbagai macam penyakit degeneratif lain. Untungnya, adalah mungkin untuk mengembalikan dan mempertahankan otot yang berkurang akibat gaya hidup dan proses penuaan. Misal seorang perempuan pada usia 20 tahun memiliki tinggi 160 cm, berat badan 45 kg, pada usia 30 tahun memiliki berat badan 50 kg setelah memiliki anak satu, dan persentase lemak tubuh adalah 20%. Maka: Berat badan Berat lemak Berat otot dan tulang
30 tahun 50 kg 10 kg 40 kg
40 tahun 55 kg 18 kg 37 kg
50 tahun 60 kg 25 kg 35 kg
Logika sederhana dari kondisinya pada usia 50 tahun adalah kegemukan dengan konsekuensi : mudah lelah, tidak fit dan tidak energik; malas beraktivitas. beban sendi bertambah, mudah nyeri lutut dan pergelangan kaki; gairah berkurang tubuh menjadi tidak indah DAMPAK KEGEMUKAN Berikut adalah resume beberapa hal yang terjadi akibat kegemukan. Kita bisa membayangkan dampak selanjutnya akibat proses fisiologis tersebut 1. peningkatan LDL yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah 2. sensitifitas insulin berkurang menyebabkan risiko diabetes 3. menyebabkan tubuh memproduksi lebih banyak estrogen, karena sel lemak tubuh memproduksi hormon estrogen. Salah satu cara efektif untuk menurunkan lemak tubuh adalah dengan melakukan aktifitas fitness. Tambahkan latihan beban dalam aktifitas olah raga yang mungkin selama ini hanya diisi oleh aktifitas aerobik seperti berjalan kaki, sepeda, berenang, dan lain sebagainya. Pada dasarnya aktifitas fitness terdiri atas komponen berikut 1. Olahraga : latihan beban, aerobik, peregangan 2. Diet : nutrisi, suplementasi 3. Istirahat : aktif, pasif MENGENALI SEGMEN Manusia walaupun memiliki kesamaan fisiologis, akan tetapi tetap memiliki perbedaan. Dari faktor demografis, seperti usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, terlihat bahwa manusia terdiri atas banyak segmen kelompok yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam cara penyampaian manfaat sesuatu sesuai dengan segmen yang dihadapi. Ketika “menjual” sesuatu yang baik, tidak hanya diperlukan produk yang berkualitas baik, akan tetapi juga perlu bungkusnya sesuai dengan segmen yang dituju. Konsepnya adalah latihan beban. Manfaat utama dari latihan beban adalah penambahan massa otot. Manfaat dari penambahan massa otot secara sederhana adalah sesuai dengan fungsinya yakni memperbaiki postur, menambah pergerakan, dan pembakaran kalori.
Misalnya, ketika berbicara latihan beban ke pada remaja berusia 20 tahunan, maka kita katakan bahwa latihan beban merupakan latihan yang membantu kita memiliki tubuh yang “gede dan macho” sehingga nanti banyak dilirik. Bila kita berbicara pada eksekutif berusia 30 tahunan, maka kita bisa mengatakan bahwa manfaat latihan beban adalah membuat kita memiliki “seks yang luar biasa” atau bisa membantu enjoy night life. Bila berbicara aktifitas latihan beban untuk mereka yang berusia di atas 40 tahun, maka ada perbedaan dalam cara mengemas kegiatannya. Secara umum seseorang yang berusia 40 tahun ke atas memiliki perbedaan besar dalam tanggung jawab dalam kehidupan, memiliki orang tua yang sakit-sakitan, anak yang sedang tumbuh menjadi puber dan perlu pengawasan serta bekerja di perusahaan atau sebagai profesional yang mulai menanjak karirnya, sehingga manfaat yang kita tawarkan adalah berupa “stamina” untuk mengatasi banyak problem kehidupan. Pada usia 50 an saat anak sudah mulai beranjak dewasa, maka yang terjadi adalah empty nest, rumah mulai kosong, aktifitas pekerjaan sudah tidak terlalu menyita waktu lagi, akan tetapi kehidupan sosial semakin tinggi, menyebabkan tubuh mulai gemuk dan penyakitan; rasa takut akan terjadinya heart attack atau stroke mungkin menyebabkan kita bisa menawarkan manfaat latihan beban untuk membantu menjaga kesehatan. Demikian juga pada usia 60 an, kita bisa memberitahukan bahwa manfaat latihan beban adalah untuk membantu mengatasi limitasi aktifitas. Mereka yang berusia di atas 60 tahun akan merasakan siksaan sangat berat apabila tidak dapat beraktifitas “biasabiasa saja” misalnya bermain dengan cucu. Hal ini mungkin terjadi akibat kegemukan, osteoporosis, pasca serangan jantung dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa latihan beban sebagai bagian dari aktifitas olahraga merupakan bagian dari gaya hidup sehat, dan merupakan investasi jangka panjang, Karena itu diperlukan komitmen yang kuat dari diri sendiri untuk mau hidup sehat, dan harus dimulai dari dalam diri sendiri; tidak dapat dipaksakan. Saran saya adalah sediakan waktu minimal 15 menit setiap hari untuk menjaga kebugaran.
KEPUSTAKAAN 1.
2. 3.
4. 5.
Ballor DL, Poehlman ET. Exercise training enhances fat free mass preservation during diet-induced weight loss: A meta analytic finding. Internat. J. Obesity, 18:35-40 Brehm B, Keller B. Diet and exercise: factors that influence weight and fat loss. IDEA Today 1990; 8:33-46 Campbell W, Crim M, Young V, Evans W. Increased energy requirements and changes in body composition with resistance training in older adults. Am.J.Clin.Nutr.1994; 60:167-175 Forbes GB. The Adult decline in lean body mass. Human Biology 1976; 48 : 161-73 Keyes A, Taylor HL, Grande F. Basal Metabolism and Age of Adult Man. Metabolism 1973; 22:579-87
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 59
Produk Baru Neural Tube Defects – Fact and Prevention Defek tuba neuralis atau neural tube defects merupakan cacat lahir yang sangat serius. Kelainan ini mengenai sumsum tulang (spina bifida) dan otak (anensefalus).(1,2) Spina bifida terjadi jika kolum spinal janin tidak menutup untuk melindungi batang spinal. Penutupan ini seharusnya terjadi pada beberapa minggu pertama kehamilan. Spina bifida menyebabkan berbagai masalah yang berkaitan dengan gangguan neurologis. Anensefalus merupakan suatu kondisi otak bayi tidak berkembang dengan semestinya dan biasanya menyebabkan bayi lahir mati atau meninggal segera setelah lahir.(3)
Gambar 1. Anensephalus
Gambar 2. Anensephalus
Di Amerika, defek tuba neuralis terjadi pada 3000 kehamilan setiap tahunnya dan insidensinya menurun sekitar 50% pada kurun waktu 1970 sampai 1989 (1.3 per 1000 menjadi 0.6 per 1000 kelahiran hidup). Bayi-bayi yang dilahirkan dengan spina bifida dapat tumbuh menjadi dewasa, namun, pada beberapa kasus, sering disertai dengan kelainan-kelainan seperti paralisis, inkontinensia urin dan alvi dalam derajat yang bervariasi.(2,4)
Asam folat adalah vitamin B yang tersedia pada bahan makanan sehari-hari seperti sayur-sayuran hijau, kacang buncis, padi, hati, ragi, dan pada beberapa buah-buahan seperti jeruk. Meskipun seseorang yang mengkosumsi sayur mayur dan daging segar akan mencerna sebanyak 2 mg setiap harinya, ternyata tidak semua wanita hamil memperoleh asupan asam folat yang adekuat dari diet sehari-hari ini. Pada orang dewasa normal, asupan harian yang direkomendasikan yaitu sebesar 400 mcg; wanita hamil, menyusui, serta pasien-pasien dengan laju pergantian sel yang tinggi seperti pada pasien anemia hemolitik membutuhkan asam folat sebesar 500-600 mcg atau lebih setiap harinya. Namun, untuk mencegah cacat lahir berupa defek tuba neuralis, US Public Health Service (1992) dan Institute of Medicine (1998) merekomendasikan agar semua wanita usia reproduksi terutama yang akan hamil diharuskan mengkonsumsi 400 mcg asam folat setiap harinya.(1,2,5,6) Asam folat dalam bentuk suplemen dan bahan makanan alami ternyata berbeda dalam hal penyerapan dan ketersediaan di dalam tubuh. Penelitian selama 12 minggu oleh Nulty et al. menunjukkan bahwa suplementasi asam folat sebesar 400 mcg/hari (group 1) dan asupan bahan makanan dengan fortifikasi asam folat yang mengandung asam folat 400 mcg/hari (group 2) terbukti efektif untuk meningkatkan status folat pada seorang wanita secara bermakna (**). Sementara konsumsi folat yang berasal dari bahan makanan alami yang mengandung asam folat 400 mcg/hari (group 3), diet biasa (group 4), dan kelompok tanpa intervensi (group 5) menunjukkan peningkatan folat pada sel darah merah yang tidak bermakna.(7) Kalbe Farma sebagai salah satu perusahaan farmasi yang terus mengembangkan produk-produk Obstetri dan Ginekologi, merencanakan akan memasarkan suplemen asam folat dan vitamin B6 dengan nama VOMILAT®. Selain kandungan asam folat 40 mcg, VOMILAT® juga mengandung vitamin B6 (30 mg) yang dapat digunakan sebagai terapi mual dan muntah pada kehamilan. Dosis anjuran pemberian VOMILAT® yaitu 1-2 tablet setiap hari.
KEPUSTAKAAN 1.
2.
3.
4. 5. Gambar 2. Respon Sel Darah Merah Terhadap Asupan Folat
Upaya pencegahan dan mengurangi risiko terjadinya defek tuba neuralis dapat dilakukan dengan mengkonsumsi vitamin yang dikenal sebagai asam folat. Konsumsi asam folat pada periode peri konsepsi dapat mengurangi kejadian defek tuba neuralis sebesar 50-70%.
60 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
6.
7.
Carter H, Lindsey LL, Petrini JR, et.al. Use of Vitamins Containing Folic Acid Among Women of Childbearing Age. MMWR CDC 2004;53(36):847-850. http://www.cdc.gov Houk VN, Oakley GP, Erickson GP, et al. Recommendations for the Use of Folic Acid to Reduce the Number of Cases of Spina Bifida and Other Neural Tube Defects. MMWR CDC 1992;41(RR-14):001. http://www.cdc.gov Anonim. CERHR : Folic Acid. http://cerhr.niehs.nih.gov/genpub/topics/folic_acid-ccae.html. Diakses tanggal 25 Oktober 2005 Jallo G, Becske T, Rust RS, et al. Neural Tube Defects. http://www.emedicine.com Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Prenatal Care. In. Williams Obstetrics 21st ed. New York : Mc Graw Hill, 1997. Hal 221-245. Hilman RS. Hematopoietic Agents – Growth Factors, Mineral, and Vitamins. In. Goodman & Gilman’s Pharmacological Basis of Therapeutics. Eds. Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG. New York : Mc Graw Hill, 2001. Page 1487-1517 Nulty HM, Cuskelly GJ, Ward M. Response of Red Blood Cell Folate to intervention : implications for folate rekommendations for the prevention of neural tube defects. Am J Clin Nutr 2000 ; 71 (Suppl) : 1308S – 11S.
Kegiatan Ilmiah DETAK, Deteksi Awal Kanker diresmikan Menkes RI, Jakarta 24 Januari 2006 Menurut data pemeriksaan histopatologik di Indonesia tahun 1999, lima besar kanker yang diderita penduduk Indonesia, berturut-turut adalah: Kanker Leher Rahim, Kanker Payudara, Kanker Kelenjar Getah Bening, Kanker Kulit dan Kanker Rektum. Karena kepedulian itulah, maka Kalbe Farma bekerjasama dengan Yayasan Kanker Indonesia dan Rumah Sakit Kanker Dharmais mencetuskan program DETAK. Aktifitas DETAK mulai dijalankan setelah diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. dr Siti Fadilah Supari, SpJP(K), di Gedung Dharma Wanita Pusat Kuningan Jakarta, 24 Januari 2006. Acara dilanjutkan dengan Seminar Awam dan Konferensi Pers serta pembagian buku "Kanker, Antioksidan dan Terapi Komplementer" dan brosur-brosur. Selain itu diselenggarakan juga Lomba Penulisan Kanker berhadiah jutaan rupiah. Website: http://www.detak.org. ISBPPSM, Jakarta 24 - 26 Januari 2006 Kemajuan bidang Kesehatan Jiwa di Indonesia saat ini, sungguh memprihatinkan. Salah satu indikator, misalnya, bisa dilihat pada perhatian pemerintah yang memprioritaskan bidang ini pada nomor 14 dari 15 bidang kesehatan yang ada. Demikian dilansir Mantan Direktur Kesehatan Jiwa Depkes RI, Prof(em.). R Kusumanto Setyonegoro, MD, PhD, saat memberikan ceramahnya pada acara ISBPPSM (Indonesian Society for Biological Psychiatry, Psychopharmacology & Sleep Medicine) yang berlangsung di Hotel Twin Plaza Jakarta, 24 hingga 26 Januari 2006. Dalam kesempatan ini pula, diperkenalkan obat original terbaru untuk penderita Schizophrenia dari Kalbe Farma, LODOPIN® (Zotepine). Seminar Revolution on Anti Aging Medicine, seri III, Jakarta 26 November 2005 Cosmeceuticals, menurut Vice Chairman dan Founder PASTI (Perkumpulan Awet Sehat Indonesia, Indonesian Anti Aging Society) Edwin Djuanda, adalah perpaduan ilmu Kosmetik dan Pharmaceuticals. Untuk pelbagai kondisi kulit, Cosmeceuticals banyak sekali peranannya dalam meneliti dan mengembangkan hal-hal seperti: antioxidant, bleaching, cell renewal (retinoic acid, etc) dan pelbagai jenis pelindung, seperti: sunblock, moisturizers, dan lain-lain. Demikian dipaparkan ahli kulit Indonesia, dr Edwin Djuanda, di hadapan sekitar 200 peserta Series Seminar Revolution on Anti Aging Medicine. Seminar ini terbuka bagi siapa saja (dokter maupun non dokter) yang tertarik mempelajari lebih jauh mengenai Anti Aging Medicine. Website : http://www.pasti.or.id. The 7th International Meeting on Respiratory Care Indonesia (RESPINA 2005), Jakarta, 2-4 Desember 2005 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah salah satu kasus yang banyak dijumpai dalam praktek dokter sehari-sari, sehingga tidak salah bila pertemuan tahunan ke 7 RESPINA kali ini memfokuskan pada tema ARDS. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 750 tamu, dari kalangan dokter spesialis, dokter umum dan mahasiswa. Total sesi yang disampaikan berjumlah 20 topik, diawali pada hari pertama dengan kegiatan workshop. The 2nd National Congress Indonesian Osteoporosis Association, Surabaya 2-4 December 2005 Acara The 2nd National Congress Indonesian Osteoporosis Association diselenggarakan atas kerjasama Perhimpunan Osteoporosis Indonesia dan International Osteoporosis Foundation Desember 2005. Dalam kongres ini, dibahas masalah seputar kesehatan tulang terutama di Indonesia. Acara yang bertema Strong Bones For The Healthy Body ini dibuka oleh Gubernur Jawa Timur Imam Hutomo dan dihadiri juga oleh wakil dari International Osteoporosis Federation (IOF) – USA, serta di-
hadiri oleh sekitar 350 peserta simposium. A4M Pre-Conference Workshop, Las Vegas 9 Desember 2005 Kekurangan Growth Hormone (GH) pada proses penuaan belum membuat seseorang mencari bantuan tenaga medis, sampai ia bisa membandingkan hal itu dengan orang yang kadar GH-nya tetap normal. Demikian dikatakan dr Thierry Hertoghe pada Pre-Konferensi American Academy of Anti-Aging Medicine di Las Vegas. Di hadapan sekitar 2.000 peserta yang meluber, workshop khusus membahas Endokrinologi dengan tema: A Practical Application of Treating Adult Hormone Deficiency using Bio-Identical Hormone Replacement Therapy (HRT), dikemukakan pendapat terbaru tentang hasil penelitian terakhir mengenai GH, Testosteron, Cortisol, dan lain-lain. Kongres Internasional XIII Anti Aging Medicine, Las Vegas 2005 Para dokter datang dan berkumpul pada kongres ini, pertama-tama tidak untuk pasien-pasiennya, melainkan untuk dirinya sendiri. Demikian pengakuan dr Robert Goldman, chairman A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine), dalam sambutannya di acara Kongres Internasional XIII Anti Aging Medicine Las Vegas, 9 Desember 2005. Kongres yang berakhir tanggal 12 Desember ini didahului Workshop Pre-Kongres 1 hari dan bersamaan dengan beberapa workshop seperti dari International Hormone Society, Mesotherapy, dan Sports Medicine. Total peserta yang mendaftar mengikuti acara ini sekitar 4.000 dokter dan tenaga kesehatan dari seluruh dunia. Seminar Nasional: Perspektif global antisipasi pandemi flu burung, Jakarta, 9 Desember 2005 Kewaspadaan yang tinggi dan kesiagaan terhadap penyakit flu burung yang saat ini sedang melanda khususnya di tanah air kita, harus ditingkatkan oleh para dokter dan tenaga medis, dikatakan oleh Dr. Santoso Soeroso, SpA(K), MARS dalam Seminar Nasional tentang Flu Burung, yang dihadiri oleh sekitar 1100 peserta, termasuk 30 duta besar atau perwakilan dari negara sahabat yang ada di Jakarta. Seminar ini dibuka resmi oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, SpJP(K). Pelantikan PB IDKI 2005 - 2008, Jakarta 24 Desember 2005 Ke depan, pelayanan kedokteran Indonesia akan berbasis Dokter Keluarga. Demikian penuturan Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia, saat melantik Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia (IDKI) atau The Indonesian Medical Association for Occupational Health (IMAOH) masa bakti 2005-2008, Sabtu 24 Desember 2005. Menjabat sebagai Ketua Umum adalah dr Soemardoko Tjokrowidigdo, SpM, SpKP menggantikan dr Sudjoko Kuswadji MScOM PKK SpOk. Simposium Nasional PERMI JAYA, Jakarta 4-5 Februari 2006 Sebagai wujud kepedulian terhadap wanita menopause dan dalam rangka memperingati Hari Menopause sedunia yang jatuh pada tanggal 18 Oktober, Perkumpulan Menopause Indonesia Cabang Jakarta (PERMI JAYA) menyelenggarakan simposium nasional menopause. Penyelenggaraan Simposium Nasional (SIMNAS) ke-III ini, menghadirkan pembicara-pembicara handal dalam bidang menopause, untuk mempresentasikan masalah peventif terhadap komplikasi menopause yang luas seperti masalah kardiovaskuler, muskuloskeletal, kulit, mata, pendengaran, osteoporosis, seks, psikologi dan terapi sulih hormon (TSH). Simposium ini dihadiri oleh sekitar 400 peserta dari kalangan dokter. Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas, bisa diakses pada http://www.kalbefarma.com/seminar.
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
61
apsul Uji Laboratorium yang Dianjurkan untuk Kasus Baru HIV Positif Test Complete blood count Electrolytes, blood urea nitrogen, creatinine, fasting blood sugar
Bilirubin, alkaline phosphatase, aspartate aminotransferase, alanine aminotransferase Creatine kinase Amylase, lipase Fasting lipid profile Serologic tests for syphilis (e.g., plasma reagin test) Serologic tests for hepatitis A, B, and C viruses
Toxoplasmosis titer
CMV titer
Cervical Papanicolaou smear Anal screening for HPV Tuberculin skin test Electrocardiography Chest radiography
Comment Anemia may contraindicate use of zidovudine Abnormal renal function may contraindicate use of tenofovir or indicate need for adjustment of renally excreted nucleoside or nucleotide analogues; baseline presence of diabetes may contraindicate use of protease inhibitors, which can cause insulin resistance Indinavir and atazanavir can elevate indirect bilirubin levels. Abnormal liver-enzyme levels may indicate need for further workup, may influence choice of antiretroviral agents, which carry risk of hepatotoxicity, or both Elevated value may reflect, most commonly, exercise or underlying HIV myopathy; a baseline value is helpful, to monitor zidovudine therapy, which may cause drug-induced myopathy Baseline values may be helpful for making decisions regarding use of drugs (e.g., didanosine) that carry risk of pancreatitis. Abnormal baseline values may indicate need for dietary therapy, drug therapy, or both, or possible avoidance of therapy with certain protease inhibitors Evidence of past or recent exposure requires treatment unless there is documentation of adequate course of treatment. If negative, counseling to prevent acquisition of all three viruses and vaccination for hepatitis A and B viruses are indicated. If active infection with hepatitis B or C virus, or both, is present, decision should be made about specific treatment and its relation to antiretroviral therapy If negative, counseling to prevent acquisition of Toxoplasma gondii (including avoidance of undercooked meat and of cat feces) is indicated. If positive, and CD4 cell count is <100 per mm3, primary prophylaxis is indicated. (patients with very advanced HIV infection may lose antibody to T. gondii.) If negative, counseling is indicated to prevent acquisition of virus through intimate contact or blood transfusion. If blood products are needed, screening should be considered, to prevent CMV acquisition. Whether there is a routine need for this test is debatable, given the decreased incidence of CMV-associated disease with the use of potent antiretroviral therapy. Important, given the prevalence of HPV infection and increased risk of cervical neoplasia. No consensus recommendation exists, but consideration of Papanicolaou smear, HPV DNA test, or both, is reasonable, given associated risk of anal carcinoma. If positive (induration ≥5 mm) and active tuberculosis is ruled out, isoniazid therapy for nine months should be considered. Baseline tracing may be important, given potential for increased cardiovascular risk associated with antiretroviral therapy (especially some protease inhibitors). Atazanavir can prolong PR interval. Important to consider obtaining a baseline film, owing to numerous HIV-related complications that can manifest as pulmonary disease.
*Because of potential past exposure to pathogens that may reactivate with immunosuppression, additional baseline laboratory screening tests to consider in persons with newly diagnosed HIV infection may include titers for Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis and Blastomyces dermatitidis. If these tests are negative, counseling (e.g., regarding travel and recreation) to avoid acquisition should be considered. If positive, the awareness that risk increases as immunosuppression worsens may help in the management of HIV infection. In the United States, histoplasmosis is endemic in the Mississippi River Valley, Puerto Rico, and foci in other parts of the country; coccidioidomycosis is endemic in central California and the Southwest; and blastomycosis is endemic in the Southeast. Blastomycosis is relatively rare in patients with AIDS, so the role of testing for this infection is particularly uncertain. Stool examination for Strongyloides stercoralis also should be considered in patients with a history of travel to or residence in tropical or semitropical areas. If positive, treatment is indicated to avoid the potential for future development of hyperinfection syndrome with advanced immunosuppression. However, routine testing cannot be recommended on the basis of available data. CMV denotes cytomegalovirus, and HPV human papillomavirus. Data are from the Department of Health and Human Services and Aberg et al. N Engl J Med 2005; 353:16 www.nejm.org.
62 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
ABSTRAK ASAM VALPROAT UNTUK INFEKSI HIV Asam valproat diketahui juga mempunyai aktivitas inhibisi enzim histone deacetylase 1 (HDAC 1) – enzim yang menekan ekspresi gen virus. Efek inhibisi enzim ini akan mengeluarkan virus dari sel T sehingga dengan demikian lebih rentan terhadap efek terapi antiretrovirus. Teori ini dicoba dibuktikan melalui pemberian 500-750 mg. asam valproat/hari selama 3 bulan pada 4 pasien HIV positif yang sedang menjalani HAART. Di akhir terapi, ternyata infeksi HIV dalam sel CD4+ turun bermakna pada 3 pasien; rata-rata 75% (68% >84%). Data ini memberikan harapan akan manfaat tambahan obat dengan mekanisme yang berbeda sebagai ajuvan terapi infeksi HIV. Lancet 2005;366:549-55 brw
PENGOBATAN UNTUK HIV POSITIF Mengingat ketaatan berobat juga tergantung dari kesederhanaan protokol dan toleransi obat, beberapa kombinasi obat diteliti manfaatnya atas kasuskasus HIV positif. Sejumlah 517 pasien HIV positif baru yang belum pernah diobati, diberi regimen tenovofir disoproxil fumarate (DF) + emtricitabine + efavirenz 1 kali/hari (kelompok 1) atau/ dibandingkan dengan zidovudinelamivudine 2 kali/hari + efavirenz 1 kali/hari (kelompok 2). Setelah 48 minggu, kelompok 1 lebih banyak yang mencapai target < 400 copies HIV RNA/ml. dibandingkan di kelompok 2 (84% vs. 73%; 95%CI for diff. 2-17%, p=0.002), dan pada kenaikan jumlah CD4 (190 sel/mm3 vs. 158 sel/mm3; 95%CI for diff. 9 - 55; p=0.002). Efek samping yang mengharuskan penghentian terapi lebih banyak
dijumpai di kelompok 2 (9% vs. 4%, p=0.02) Kombinasi tenovofir DF + emtricitabine + efavirenz lebih unggul dibandingkan dengan kombinasi zidovudine + lamivudine + evafirenz. N.Engl.J.Med 2006;354:251-60 brw
PENYAKIT SETELAH PERJALANAN WISATA Perjalanan wisata, terutama ke negara-negara berkembang berisiko terkena penyakit-penyakit tertentu. Data dari 17353 pelancong (travellers) yang sakit sepulangnya dari perjalanan menunjukkan bahwa gejala demam sistemik tanpa penyebab jelas lebih sering dijumpai di kalangan yang pulang dari Afrika Subsahara dan Asia Tenggara, diare akut di kalangan yang pulang dari Asia Selatan - Tengah, masalah kulit di kalangan yang pulang dari Karibia atau Amerika Tengah /Selatan. Malaria merupakan penyebab demam tersering, kecuali pada yang pulang dari daerah Karibia atau Amerika Tengah/Selatan – di daerah tersebut penyebab terseringnya dengue. Mereka yang pulang dari Afrika Subsahara terutama mengidap infeksi riketsia, tick-borne spotted fever. Pelancong dari semua daerah, kecuali Asia Tenggara menderita diare akibat parasit lebih sering daripada diare bakterial. N.Engl.J.Med.2006;354:119-30 brw
BENAZEPRIL DAN FUNGSI GINJAL Setelah masa run-in selama 8 minggu, 104 pasien dengan kadar kreatinin serum 1.5 – 3.0 mg/dl mendapat 20 mg. benazepril/hari (grup 1), sedangkan 224 pasien lainnya dengan kadar kreatinin serum 3.1-5.0 mg/dl (grup 2) secara acak menerima
20 mg. benazepril/hari atau plasebo. Mereka di follow-up sampai 3,4 tahun. Sejumlah 22/102 (22%) pasien grup 1 menyelesaikan studi, dibandingkan dengan 44/108 (48%) di grup 2 yang mendapat benazepril dan 65/107 (60%) di grup 2 yang mendapat plasebo. Dibandingkan plasebo, benazepril dikaitkan dengan reduksi 43% risiko naiknya kadar kreatinin serum dua kali lipat, penyakit ginjal tahap akhir atau kematian di grup 2. Terapi benazepril juga dikaitkan dengan 55% reduksi proteinuri dan 23% reduksi penurunan fungsi ginjal. Efek samping di semua kelompok tidak berbeda bermakna. N.Engl.J.Med. 2006;354:131-40 brw
TERAPI KARSINOMA OVARIUM Sejumlah 429 pasien karsinoma ovarium stage III atau karsinoma peritoneal primer yang massa residualnya ≤ 1 cm. mendapat 135 paclitaxel/m2 permukaan tubuh selama 24 jam diikuti dengan cisplatin iv. 75 mg/m2 pada hari ke dua (grup iv) atau 100 mg. cisplatin intraperitoneal + 60 mg paclitaxel/m2 intraperitoneal pada hari ke 8 (grup ip). Terapi diberikan 6 kali dengan selang waktu 3 minggu. Di akhir terapi 415 pasien dapat dievaluasi. Nyeri tk.3 dan 4, rasa lelah dan efek toksik metabolik, gastrointestinal, hematologik, neurologik lebih banyak dijumpai di kelompok ip. (p ≤ 0.001). Hanya 42% di kalangan ip yang menyelesaikan terapi. Rata-rata (median) progressionfree survival di kalangan iv 49.7 bulan dan di kalangan ip 65.6 bulan (p=0.03 logrank test) Mutu kehidupan lebih jelek di kalangan ip sebelum siklus 4 dan 3-6 minggu setelah terapi, tetapi tidak lagi setelah 1 tahun. N.Engl.J.Med 2006; 354:34-43 brw
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 63
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1.
Yang tidak dapat mendiagnosis infeksi TORCH: a) Kultur darah ibu b) Pemeriksaan cairan amnion c) PCR d) Biopsi plasenta e) Pemeriksaan serologi darah ibu
2. Cara yang paling lazim digunakan untuk diagnosis infeksi TORCH: a) Kultur darah ibu b) Pemeriksaan cairan amnion c) PCR d) Biopsi plasenta e) Pemeriksaan serologi darah ibu 3.
IgM positif menunjukkan : a) Infeksi aktif b) Infeksi subklinis c) Infeksi kronis d) Kekebalan terhadap infeksi e) Pernah terinfeksi
4.
IgG positif menunjukkan : a) Infeksi aktif b) Infeksi subklinis c) Infeksi kronis d) Kekebalan terhadap infeksi e) Pernah terinfeksi
5.
Infeksi rubella pada ibu paling berbahaya jika terjadi pada kehamilan : a) Trimester pertama b) Trimester ke dua c) Trimester ke tiga d) Saat persalinan e) Semua sama tingkat bahayanya
6.
German measles disebabkan oleh infeksi virus: a) Variola b) Varicella c) Rubella d) Herpes simpleks e) Sitomegalovirus
7.
Kalsifikasi intrakranial merupakan tanda infeksi : a) Herpes simpleks b) AIDS c) Rubella d) Toksoplasmosis e) Sitomegalovirus
8.
Komplikasi utama ketuban pecah dini : a) Sepsis b) Infeksi neonatus c) Partus lama d) Partus prematur e) Abortus
9.
Pada penelitian Raka Budiyasa, kuman utama pada apusan vagina kasus KPD : a) Pseudomonas b) E. coli c) Streptokokus d) Stafilokokus e) Klebsiella
10. Risiko infeksi neonatus meningkat bermakna jika ketuban pecah lebih dari : a) 8 jam b) 10 jam c) 12 jam d) 18 jam e) 24 jam
JAWABAN RPPIK : 1.A
64 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
2.E
3.A
4.C
5.A
6.C
7.E
8.B
9.B
10.D