1993
82. Infeksi Nosonomial (I) Januari 1993
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary
Karya Sriwidodo
5. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Dr Cipto Mangunkusumo dengan Sumber Daya Minimal – Robert Utji 8. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Persahabatan, Jakarta – H Thamrin Hasbullah 13. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUD Dr Soetomo, Surabaya – Djoko Roeshadi, Alit Winarti 16. Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga, Jakarta – Hartati Kurniadi 18. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSU Bekasi –Dean Wahyudi Satyaputra 21. Sterilitas Udara Ruang Operasi dan Peralatan Bedah serta Higiene Petugas Beberapa Rumah Sakit di Jakarta – Pudjarwoto Triatmodjo 25. Peranan Laboratorium dalam Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Nosokomial – Dalima Ari Wahono Astrawinata 28. Kebiasaan Cuci Tangan Petugas Rumah Sakit dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial–DAnwar Musadad, Agustirta Lubis, Kasnodihardjo 32. Air sebagai Sumber Kontaminasi – Usman Suwandi 36. Infeksi pada Transplantasi Ginjal dan Pencegahannya – R.P. Sidabutar, Suhardjono 39. Dampak Proses Chlorinasi Air pada Kesehatan – Inswiasri, Agustina Lubis 42. Manifestasi Mata Penyakit Sistemik – Hilman Taim 45. Bank Mata – Sidarta Ilyas 49. Evaluasi Pemakaian Kelabu Dipoles Permethrin untuk Penanggulangan Malaria dengan Vektor An. sundaicus di Lampung – Santiyo Kirnowardoyo, Panut, Hasan Basri, Adi Waluyo 53. Sensitivitas Plasmodium fal,ciparum terhadap Beberapa Obat Anti Malaria di Desa Pekandangan, Jawa Tengah – Emiliana.T., Sekar Tuti, M Renny, PR Arbani, Harijani AM 57. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran Tahun 1992 61. Humor Kedokteran 62. Abstrak 64 RPPIK
Mungkinkah seseorang yang dirawat di rumahsakit menjadi bertambah penyakitnya? Suatu pertanyaan yang kedengarannya aneh; tetapi bila direnungkan lebih dalam, hal tersebut tidaklah mustahil – bukankah rumahsakit merupakan tempat berkumpulnya berbagai jenis penyakit, baik yang menular maupun yang tidak? Tentu saja kemungkinan di atas merupakan hal yang sedapat mungkin dihindari, karena bukan saja akan menambah biaya perawatan, tetapi lebih-lebih akan memperberat penderitaan pasien yang bersangkutan. Jadi usaha yang dilakukan tidak cukup dengan usaha pengobatan saja, tetapi meliputi juga tindakan pencegahan terjadinya infeksi yang terjadi di rumahsakit yaitu infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan masalah, terutama di rumahsakitrumahsakit besar yang merawat pasien dengan berbagai jenis penyakit, baik yang menular maupun yang tidak. Masalah ini harus selalu dipantau dan dicegah sedapat mungkin, antara lain dengan menerapkan tindakan asepsis, mengurangi tindakan invasif dan – yang tidak kurang pentingnya – membiasakan para petugas berperilaku higienis. Masalah ini merupakan pokok bahasan edisi ini, meliputi pengalaman di berbagai rumahsakit, pemeriksaan laboratorium yang relevan dan kemungkinan sumber infeksi; semoga bahasan ini berguna bagi para sejawat agar tidak menjadikan pasiennya bertambah sakit. Redaksi Untuk memperluas jangkauan, maka sejak tahun 1993 ini, Cermin Dunia Kedokteran tidak lagi hanya dibagikan oleh PT Kalbe Farma, tetapi juga oleh PT Dankos Laboratories, PT Bintang Toedjoe, PT Hexpharm Jaya dan PT Pfrimmer Infusol Indonesia. Hal ini terlaksana berkat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan farmasi tersebut di aks; untuk itu Redaksi mengucapkan terima kasih, semoga dengan cara ini Cermin Dunia Kedokteran dapat semakin luas dibaca dan dimanfaatkan.
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
1992
International Standard Serial Number: 0125 – 913X REDAKSI KEHORMATAN KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
– Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo
– Drg. I. Sadrach
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta
– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
REDAKSI KEHORMATAN – DR. B. Setiawan – Drs. Oka Wangsaputra – DR. Ranti Atmodjo
– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto – DR. Susy Tejayadi
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
3
English Summary SURGICAL ROOMS AND SURGICAL INSTRUMENTS STERILITY AND PERSONNELS HYGIENE IN SEVERAL HOSPITALS IN JAKARTA
PRACTICE OF HAND-WASHING AMONG HOSPITAL PERSONNEL D. Anwar Musadad, Agustina Lubis, Kasnodihardjo
Pudjarwoto Triatmodjo
Research Centre on Health Ecology, Health Research and Development Board, Department of Health, Indonesia, Jakarta
Health Research and Development Center,- Department of Health, Indonesia, Jakarta
In order to determine the spread of infections in hospitals, isolation of microorganisms were carried out in various nursing rooms and surgical rooms, including the surgical instruments. In addition, a hand-swab test of nursing personnel was conducted. It was found that in the surgical operating rooms in several hospitals,the bacterial count was more than 15CPLI/15',which was higher than the required limit. Staphylococcus was the most frequent contaminant. In addition, the bacterial count in several nursing rooms varies between 10-300 CPU/15'. The hand swab test showed that 34.4% of the nursing personnel contaminated by nosocomialcausing microorganisms, such as E. coil, Staphylococcus, Pseduomonas, Proteus, Streptococcus and molds such as Aspergillus sp. Furthermore, several surgical instruments were found to be contaminated by bacteria. Cemin Dunia Kedokt.1993 ;82: 21-4 st/olh
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
A study on hand washing practice among hospital personnel has been done at 7 hospitals in Jakarta. There were 415 respondents which consist of 293 paramedics and 122 medical doctors. This study found that 95.2% of paramedics and 41.8% of medical doctors said that they always wash their hands before and after handling the patients. But according to our observation, most of them do not wash their hands. The result of laboratory examination showed that 97.1% of paramedic hand-swab contains microorganisms ranging from 19 x 102 to 15 x 106. It means that the handwashing practice among hospital personnel has not been adequate. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 82: 28-31 Dam
Artikel Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dengan Sumber Daya Minimal Robert Utji Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
PENDAHULUAN Infeksi Nosokomial (INOK) merupakan masalah yang besar di setiap Rumah Sakit. Apalagi di Rumah Sakit yang jumlah penderita yang dirawatnya banyak dengan tenaga perawatnya masih terbatas. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan prinsipprinsip higiene kurang mendapatkan perhatian. Di Amerika Serikat dilaporkan INOK mencapai 5% per tahun bahkan mungkin lebih lagi, dengan angka mortalitas 1%0); bagaimana di RS Dr. Cipto Mangunkusumo? Sebagai ilustra'si di RSCM telah dilakukan surveilans terbatas selama 6 bulan (1990) dengan hasil sebagai berikut : insiden berkisar antara 0 – 14,4% dan angka yang tertinggi INOKnya di Bagian Parasitologi dengan Sepsis(2). Rumah sakit dan profesi kesehatan mempunyai tanggung jawab moral untuk to do the patient no harm. Ini dapat terlaksana dengan memberikan pelayanan kepada setiap penderita dengan standar profesi tertinggi. Standar profesi ini adalah dalam program yang disusun dan dilaksanakan oleh PPIN seperti surveilans, pendidikan nosokomial kepada tenaga kesehatan, pelacakan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan sebagainya. Idealnya semua program yang disusun dijalankan secara utuh, tetapi menuntut dana yang besar; bagaimana dengan sumber daya minimal? Dalam uraian berikut ini kita akan perhatikan masingmasing komponen program PPIN. ORGAMSASI PPIN Organisasi PPIN adalah bersifat lintas sektoral dan terintegrasi di antara banyak disiplin pelayanan seperti dokter ahli penyakit infeksi, administrasi Rumah Sakit, Perawat Pengendali Infeksi (Infection Control Nurse), ahli mikrobiologi, ahli bedah, Farmasi Rumah Sakit, Unit Sterilisasi Sentral, Bagian Rumah
Tangga Rumah Sakit dan sebagainya. Tujuan PPIN yang paling utama adalah mencegah terjadinya infeksi pada penderita di Rumah Sakit dan juga tenaga kesehatan(3). Ketua PPIN adalah seorang Klinikus ahli penyakit infeksi yang juga memperdalam pengetahuan epidemiologi dan mikrobiologi. Ketua PPIN harus diberi wewenang untuk mengambil keputusan penting yang berhubungan dengan INOK. Jabatan Ketua tidak boleh terlampau singkat mengingat program-program PPIN tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Di dalam organisasi diperlukan juga seorang yang secara khusus menangani soal dana untuk program serta kelancaran pelaksanaannya. Tugas PPIN adalah melaksanakan surveilans, menentukan kebijakan-kebijakan dan cara-cara pencegahan infeksi. Surveilans Surveilans adalah pengamatan yang seksama pada waktu tenentu terhadap penderita yang dirawat di rumah sakit, tenaga kesehatan atau lingkungan rumah sakit untuk memperoleh data untuk ditabulasi dan dianalisa. Surveilans akan memberikan gambaran tentang INOK atau suatu KLB. Di RSCM surveilans terhadap penderita yang dirawat sudah berjalan rutin secara Minis untuk memantau risiko infeksi penderita operasi, infus, kateter. Surveilans mikrobiologi belum rutin dilakukan terhadap penderita kecuali penderita luka bakar, dan lingkungan seperti di IGD, ruang rawat TST, dan ICU. Surveilans mikrobiologi penting untuk mengetahui sumber penyebab INOK sehingga langkah-langkah pengendalian dan pencegahan.
Dibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian Infeksi Nasokomial di Rumah Saki: dengan Sumber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
5
Buku Panduan Segala keputusan PPIN sebaiknya dituangkan di dalam sebuah buku panduan untuk setiap unit di Rumah Sakit. Buku ini harus menjadi pedoman untuk diketahui dan dilaksanakan oleh para tenaga kesehatan. Isi buku ini memberikan petunjuk-petunjuk praktis seperti petunjuk tentang cara cuci tangan yang baik; cuci tangan biasa untuk merawat penderita tanpa tindakan invasif hanya perlu air mengalir dan sabun; untuk tindakan invasif seperti pemasangan infus, kateter dan sebagainya, cuci tangan dengan air mengalir, sabun dan desinfekt.an. Apakah cuci tangan untuk tindakan operatif harus pakai sikat, sabun air mengalir, desinfektan alkohol dan waktu cuci tangan yang lebih lama.
Gambar 2.
Prioritas PPIN harus melaksanakan banyak program; supaya efisien dan efektif harus ditentukan prioritas. Berikut ini sebuah contoh prioritas untuk langkah awal, lanjut sebuah rumah sakit dan prioritas untuk macam-macam rumah sakit (Gambar 1 dan 2)(1). Gambar 1.
Example of time spent in infection control activities in programs 1–2 years old, by size and type of institution. After a program has been well established, less time is needed for surveillance and reporting activities. Additionally, once infection control manuals (hospitalwide and departmental sections) have been completed, only annual review is necessary, so that administrative time can be decreased. More time is then allocated to teaching, consulting, or special studies.
Gambar 3.
Examples of time spent in setting up infection control programs, by size and type of institution. In setting up a program, much time is needed for surveillance and reporting infections to establish baseline infection rates. Smaller institutions will generally require less time to do total hospital data collection than will larger facilities because of the increased complexity of care. Little time is spent in teaching and consulting, partly because personnel do not know of the availability of the ICP. Administrative activities consume a great amount of time because of the need to develop infection control manuals, in both hospitalwide manual and the infection control sections of departmental manuals.
EPIDEMIOLOGI Untuk pelaksanaan pengendalian dan pencegahan perlu diketahui epidemiologi INOK. Kita akan melihat 3 faktor yang bersama-sama menentukan terjadinya INOK (Gambar 3).
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
For an infection to occur, all three parts of the infection chain must be present, and all criteria must be met.
Di dalam menentukan skala prioritas untuk melakukan pengendalian, kita harus dapat tentukan faktor yang paling utama. Sumber Sumber infeksi dapat berupa kuman, virus, protozoa dan parasit yang terdapat di alam. Bahkan manusia sehat juga penuh
dengan kuman yang dianggap normal. Untuk penderita yang imunokompromi, kuman normal pun dapat menjadi patogen karena daya tahan tubuh yang berkurang. Lingkungan kita terkenal dengan sumber kuman patogen yang paling besar. Bila PPIN akan mengawasi semua sumber kuman dengan jalan memantau secara rutin, biayanya akan sangat besar dan tidak praktis. Penderita Penderita selalu menjadi sasaran benih penyakit karena biasanya keadaan tubuh yang lemah. Langkah pertolongan yang diberikan rumah sakit dalam perawatan penderita serba sulit karena perawatan yang berlebihan akan meninggikan risiko infeksi dan perawatan yang kurang akan melemahkan daya tahan penderita. Dalam pengendalian INOK, penderita harus menjadi obyek yang paling utama : to do the patient no harm. Kita harus cepat dapat menanggulangi atau mencegah infeksi dari luar maupun dari dalam. Keadaan yang paling optimal adalah kalau penderita dirawat secara khusus seperti di isolasi atau dilayani khusus oleh perawat tertentu.
dikurangi 50%t`l. Peralatan yang kurang steril, air yang terkontaminasi kuman, cairan desinfektan yang mengandung kuman, sering meningkatkan risiko INOK. KESIMPULAN Sekarang pertanyaan yang penting yang perlu dijawab : Bagaimanakah Rumah Sakit dapat melakukan pengendalian INOK dengan sumber daya yang minimal ? 1. Tujuan pengendalian harus diprioritaskan kepada penderita terlebih dahulu dan tidak pada tenaga kesehatan. 2. Untuk memutuskan mata rantai infeksi, prioritas utama adalah pada tenaga perawat dengan jalan mengubah perilaku menjadi lebih aseptik dan menjalankan peraturan-peraturan dalam buku panduan secara konsekuen. 3. Surveilan penderita harus dibarengi dengan surveilan bakteriologik supaya dapat ditemukan sumber infeksinya.
KEPUSTAKAAN
Cara Penularan Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan sebagai penyebab yang paling utama INOK. Penularan melalui tangan perawat dapat secara langsung karena tangan yang kurang bersih atau secara tidak langsung melalui peralatan yang invasif. Dengan tindakan mencuci tangan secara benar saja, INOK dapat
1. 2. 3. 4.
Castle M, Ajemian E. Hospital Infection Control. Principle and Practice. 2nd ed. New York: Wiley Medical, 1987. hal 1-4. Made Nursari. Laporan Surveilans Nosokomial. RSCM, 1990. La Force FM. The Hospital Infection Control Committee. A personal view. Hosp. Pract. 1977; 12(1): 135. Steere AC, Mallison GF. Hand washing practices for the prevention of nosocomial infections. Ann. Intern. Med. 1971; 83: 683.
KALENDER PERISTIWA May 3 – 6, 1993 – DERMATO-THERAPEUTIC UPDATE '93 – INTERNATIONAL SYMPOSIUM Nusa Indah Convention Centre Bali, INDONESIA. Secr.: Dept. of Dermatovenereology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. PO Box 4200/JATJG Jakarta 13041 INDONESIA
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
7
Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Persahabatan, Jakarta H. Thamrin Hasbullah UPF Ilmu Bedah, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN Masalah Infeksi Nosokomial pada tahun terakhir ini telah menjadi topik pembicaraan di banyak negara. Telah diketahui bahwa pengelolaan infeksi nosokomial menimbulkan biaya tinggi, baik yang ditanggung pihak penderita maupun pihak Rumah Sakit; bahkan di Amerika, infeksi nosokomial termasuk dalam 10 besar penyebab kematian. Di negara maju, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin operasi suatu rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi nosokomial; pihak asuransipun tidak mau membayar biaya lebih yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial sehingga pihak penderita sangat dirugikan. Dari literatur dapat dilihat betapa seriusnya masalah ini di Amerika : Angka kejadian infeksi nosokomial rata-rata 6%; rata-rata tambahan hari rawat adalah 4 hari, dengan tambahan biaya $ 1.800 per kejadian infeksi. Angka kematian infeksi nosokomial mencapai 60.000 pertahun dengan pengeluaran biaya pelayanan tambahan $ 4 Miliard pertahun (Medical Care Journal, Juli 1988; 26: 7). Di Indonesia, pengalaman di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa dengan mengendalikan infeksi nosokomial pada Infeksi Luka Operasi (ILO) dapat dihemat biaya : 1986 : Hari Rawat = 552 hari, biaya Rp. 136.000.000,– 1987 : Han Rawat = 416 hari, biaya Rp. 2.000.000,– PERMASALAHAN – Rumah sakit merupakan tempat mondok segala macam jenis penyakit. – Rumah sakit merupakan gudang kuman-kuman patogen. – Kuman yang biasa mondok di rumah sakit umumnya kebal terhadap antibiotika, bahkan terhadap banyak antibiotika. Dibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Saki[ dengan Somber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta.
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Di rumah sakit banyak dilakukan tindakan yang mengandung risiko terjadinya infeksi nosokomial, seperti : operasi, tindakan invasif, berupa kateterisasi IV, kateterisasi saluran kemih, atau endoskopi; dan pemeriksaan bahan-bahan infeksius. Justru dalam situasi lingkungan seperti inilah orang sakit yang rata-rata daya tahan tubuhnya menurun harus dirawat agar ia sembuh dari penyakitnya. INFEKSI NOSOKOMIAL Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita selama/oleh karena dia dirawat di rumah sakit. Suatu infeksi pada penderita barn bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu : 1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. 2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut. 3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurangkurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan. 4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya. 5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Ada dua faktor yang memegang peranan penting : * Faktor Endogen : Faktor yang ada di dalam penderita sendiri seperti umur, sex, dan penyakit penyerta.
*
Faktor Eksogen : Faktor di luar penderita, seperti lama penderita dirawat di rumah sakit, kelompok yang merawat penderita, lingkungan, peralatan, dan teknik medis yang dilakukan. Bagan 1. Sumber Infeksi d Rumah Sakit
tik dan aseptik, dan ketrampilan dalam menerapkan teknik perawatan. Peralatan Sangat perlu diketahui mengenai cara penggunaan, cara membersihkan dan mensterilkan, dan cara menyimpan dan mempertahankan kesterilannya. Lingkungan Perlu diperhatikan: Kebersihan lingkungan, air yang dipakai, dan udara supaya tetap bersih, mengalir dan dengan kelembaban tertentu. Dalam hal tertentu udara perlu disaring (filtrasi). Bahan yang harus dibuang (disposal) diusahakan tidak menjadi sumber infeksi, misalnya dengan memakai kantong plastik yang dapat segera ditutup, tempat-tempat sampah yang tertutup, dan kadang-kadang perlu fumigasi atau pemusnahan bahan. Dalam pengendaliannya perlu diingat bahwa pencegahan lebih baik daripada pengobatan, lebih mudah, lebih murah dan tidak berbahaya baik bagi penderita maupun lingkungannya. Caranya adalah dengan memutus mata rantai terjadinya infeksi nosokomial : – Meningkatkan pengetahuan personil rumah sakit tentang infeksi nosokomial. – Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang risiko infeksi nosokomial bagi pasien yang dirawatnya. – Melakukan semua standar prosedur kerja dengan benar dan sempurna (SOP : perawatan, tindakan dan penggunaan/pemilihan alat-alat dan lain-lain). Bagan 3.
BREAKING THE CHAIN OF INFECTION
Penderita Penting diketahui antara lain : keadaan umum, penyakit penyerta seperti DM, obesitas atau penyakit khronis lainnya, dan keadaan kulit penderita, apakah normal atau ada luka. Kulit normal sudah mengandung banyak kuman yang bisa menjadi penyebab infeksi; ada kuman komensal, yakni kuman yang "normal" berada dalam pori kulit. Jumlahnya dapat dikurangi dengan cara perawatan kulit pra bedah dan pemakaian desinfektan. Sedangkan kuman pendatang yang berasal dari lingkungan terletak di permukaan kulit; ini dapat dihilangkan dengan cara perawatan kulit pra bedah dan pemakaian desinfektan. Staf rumah sakit Dokter dan personil paramedis merupakan sumber infeksi yang penting dalam terjadinya infeksi nosokomial; perlu diperhatikan kesehatan dan kebersihannya, pengetahuan tentang sep-
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
9
– Identifikasi penyebab infeksi nosokomial. – Pemberian pengobatan yang tepat dan rasional. – Mengikutsertakan penderita dan keluarga dengan memberikan pengetahuan praktis tentang infeksi nosokomial serta penyakit yang sedang diderita penderita, melalui PKMRS. – Memberi petunjuk praktis pada pengunjung tentang hal-hal yang perlu dijaga/dilakukan/dihindarkan pada waktu berkunjung melalui papan pengumuman, kertas petunjuk di pintu, dan petugas informasi di ruangan. Langkah-langkah pokok yang perlu dilaksanakan oleh rumah sakit : 1) Menetapkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan bahwa pengendalian infeksi nosokomial masuk dalam program prioritas di rumah sakit, dengan demikian dapat dipastikan adanya dukungan sumber daya. 2) Menetapkan struktur organisasi (Bagan 4).
Penyimpulan data. Pelaporan/umpan balik. Dilaksanakan dengan terarah, tepat, tertib dan berkesinambungan. Pada kejadian Luar Biasa perlu ditetapkan : − Tata cara untuk melakukan identifikasi masalah. − Penetapan penyebab. − Cara pemecahan masalah. 5) Pendidikan personil. Peranan pendidikan personil sangat penting, karena pencegahan infeksi nosokomial hanya dapat berhasil bila ada perubahan perilaku personil; hal ini memerlukan motivasi dan pengetahuan yang bisa diperbailci melalui pendidikan. – –
Bagan 5. Mekanlsme dasar yang dlperlukan 1.
Mekanisme dam pencegahan dan surveilans.
Bagan 4. Bagian Dasar Struktur Organisasi
Panitia Medik Pengendalian Infeksi (Dalin) mempunyai tugas pokok menyusun kebijaksanaan dasar, tim Dalin mempunyai tugas pokok menyusun prosedur, pendidikan, pemantauan, sedang UPF bertugas melaksanakan prosedur. 3) Penyusunan rencana kerja, prosedur kerja. Perlu ditetapkan prioritas masalah infeksi nosokomial yang akan ditanggulangi dari masalah yang ada, misalnya : – Infeksi Luka Operasi, – Sepsis, – Infeksi Saluran Kemih, – Pneumonia, – dan lain-lain. Prosedur kerja yang perlu ditetapkan adalah : – Cara pencegahan infeksi nosokomial. – Cara pemantauan infeksi nosokomial (surveilans). 4) Pencatatan, pelaporan dan tindakan koreksi. – Pengumpulan data. – Penyusunan data. – Analisis data.
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Contoh : pada KLB : − Digunakan analisis sebab akibat. − Ditambah analisis penderita. − Baru ditetapkan hipotesis penyebab. − Baru dilakukan intervensi. − Dipantau hasilnya. KESIMPULAN – Infeksi nosokomial dapat dikendalikan dan angka kejadiannya dapat diturunkan dengan sepertiganya. – Dengan biaya pengendalian yang murah dapat dihemat hari
rawat dan biaya pelayanannya. – Dengan pengendalian infeksi nosokomial dapat dijaga dan ditingkatkan mutu pelayanan rumah sakit. – Pengendalian infeksi nosokomial tidak terlalu sukar, asal setiap petugas rumah sakit dapat memahami dan menyadari peranannya masing-masing dan pengendaliannya dilakukan dengan terencana, terkoordinir serta terkendali. RUMAH SAKIT PERSAHABATAN Rumah Sakit Persahabatan merupakan rumah sakit tipe/ klas B, yang berfungsi sebagai top referral hospital untuk penyakit thorax non kardial, dan juga merupakan pusat pendidikan dokter ahli terutama Ahli Penyakit Paru serta tempat pendidikan paramedis; untuk itu diadakan kerja sama dengan FKUI/RSCM. Di sini banyak dilakukan tindakan dengan risiko infeksi bagi penderita seperti operasi, tindakan invasif, kateterisasi intra vena, kateterisasi saluran kemih, endoskopi, dan lain-lain. Sarana yang menunjang 1) Struktur Organisasi Rumah Sakit Persahabatan sudah lengkap (Struktural dan Fungsional). 2) Rumah Sakit Persahabatan telah melaksanakan program menjaga mute yang meliputi bidang administrasi dan bidang pelayanan, baik untuk rawat jalan maiupun untuk rawat nginap. 3) Telah dibentuk beberapa Komite Pendamping Pimpinan untuk urusan khusus yakni : – Dewan Medik. – Komite Medical Record. – Komite Farmasi. 4) Pada bulan September 1989 telah dibentuk Komite Pengendalian dan Penanggulangan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Persahabatan. Kendala yang dihadapi 1) Komite Nosokomial beranggotakan 16 orang, yang telah mengikuti penataran tentang infeksi nosokomial hanya 4 (empat) orang. 2) Tidak ada dana sama sekali. Cara kerja 1) Membuat program jangka pendek, yakni menyebarluaskan pengetahuan tentang infeksi nosokomial melalui : – Membagi dan menyebarkan pengetahuan tentang infeksi nosokomial kepada seluruh anggota Komite. – Mengisi acara Siang Klinik Dokter. – Mengisi acara Siang Klinik Paramedis. 2) Membuat program jangka panjang yakni : – Mengadakan penataran untuk paramedis semua UPF secara bertahap. – Mengirim tenaga PRU UPF ke Seminar dan Penataran Nosokomial. – Menyusun Buku Panduan. – Mengadakan surveilans (terbatas). – Mencari angka dasar infeksi nosokomial. – Membuat peta mikroba kuman-kuman rumah sakit, beserta resistensi testnya.
Pelaksanaan Penataran diadakan bekerja sama dengan Bidang Diklat Rumah Sakit Persahabatan dan Bidang Perawatan Rumah Sakit Persahabatan, karena instansi ini sudah mempunyai anggaran. Penataran dilaksanakan secara bertahap dengan pesertanya ialah para PRU seluruh UPF beserta wakilnya, dan para PRR seluruh UPF beserta wakilnya. Materi Penataran meliputi : – Pengenalan tentang infeksiNosokomial secara menyeluruh. – Standar prosedur kerja perasat/tindakan seperti : ∗ Persiapan operasi. ∗ Tindakan perasat invasif intra vena. ∗ Tindakan perasat invasif kateterisasi kandung kemih. ∗ Perawatan luka operasi. ∗ Pengambilan sampel infeksius dan cara pengirimannya. ∗ Sanitasi. ∗ Pengambilan dan penyajian makanan. – Uji coba surveilans tindakan invasif intra vena dan infeksi luka operasi.
Tabel 1.
Hasil Evaluasi Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Persahabatan (Mel 1991)
A. Invasif Intra Vena : I. Unit-unit/Ruang Rawat Biasa (Penilaian kasus yang masuk dalam 2 minggu). Penyakit dalam
Anak
Paru
Kardiologi
Jumlah Kasus
26
68
61
2
Terinfeksi
–
–
7
–
%
–
–
11%
–
II. Ruang Rawat ICCU : dari 12 kasus (total), 3 kasus (terkena infeksi (25%).
B. ILO (Infeksi Luka Operasi) pada operasi bersih/bersih terkontaminasi (12 Mel 1991 sd.10 Juni 1991)
Ruang
Operasi Bersih
Operasi Bersih Terkontaminasi
Jumlah
Jumlah Terinfeksi Jumlah Terinfeksi Bedah Kelas
26
–
2
–
28
Kebidanan Kelas
8
–
–
–
8
Cempaka A
13
–
1
–
14
Cempaka B
39
–
1
1
40
Jumlah
86
–
4
1
90
Dari 90 kasus, yang terinfeksi 1 = 1,1%.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 11
C. Angka kejadian lnfeksi menurut lokasl ruang rawat dengan tindakan Invasif intra vena (September 1988 ad. Oktober 1988) No. 1 2 3 4 5
Ruangan Anak Atas Melati Atas Melati Bawah Mawar Atas Penyakit Dalam Mawar Kardiologi
Infus
Plebitis
Lampiran 1. Tabel 1. Prevalensi Infeksl Nosokomial menurut Ruang Rawat dengan tindakan Invaslf tertentu (September/Oktober 1988)
n
%
No.
35 21 46 9
1 6 5 5
2,8 % 28,5 % 10,8 % 55,5 %
9
7
77,7 %
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sumber : Buku Simposiwn Keperawatan Oktober 1988, ha155.
HASIL 1. Anggota-anggota Komite Nosokomial sudah punya pengetahuan dasar yang lumayan. 2. Tiap-tiap UPF sudah mempunyai tenaga inti sebagai pelaksana pemantauan infeksi nosokomial. 3. Pengendalian dan penanggulangan infeksi nosokomial sudah masuk dalam program menjaga mutu Rumah Sakit Persahabatan. 4. Ala rasa kebanggaan pada UPF yang angka infeksi nosokomialnya cukup rendah, hal ini merangsang minat UPF lainnya. KEPUSTAKAAN 1. Materi Penataran dan Latihan Pengendalian Infeksi Nosokomial Tingkat Nasional 5 Desember s/d 17 Desember 1988 di Surabaya oleh Dep.Kes RI dan RSUD Dr. Soetomo. 2. Palma MB. Infection Control : a policy and procedure manual. W.B Saunders Co. 1989. 3. Lowbury EIL, Ayliffe GAJ. (eds.) Control of hospital infection. A practical Handbook, 1975. 4. Buku Simposium Keperawatan, Oktober 1988. Rumah Saki' Persahabatan. hal. 55. 5. Thamrin Hasbullah. PengenaanPengendalianInfeksiNosokomial.Dibacakan pada Sidang Klinik Dokter Rumah Sakit Persahabatan, 1989.
Ruangan
Jumlah Prevalenai LN KRSP (%)
Kebidanan Klas II Kebidanan Umum Bedah G.T Bedah Cempaka A Bedah Cempaka B Anak Atas Anak Bawah Melati Atas Melati Bawah Mawar APD Mawar Kardiologi
10 27 18 42 25 35 75 24 48 14 10
– – – – – 1 – 6 5 5 7
– – – – – 2,85 – 25 10,4 35,7 70
Jumlah
328
24
7,32
Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Dengan antibiotik Tanpa antibiotik
Keterangan : Pengamatan selama tiga minggu. Tabel 2.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Proporsi Infeksi Nosokomial menurut Lokasi Infeksi dan Ruang Rawat dēngan tindakan Invasif tertentu (September/Oktober 1988) Ruangan
Keluar RS
Kebidanan Klas Kebidanan Umum Bedah GT Bedah Cempaka A Bedah Cempaka B Anak Atas~ Anak Bawah Melati Atas Melati Bawah Mawar APD Mawar Kardiologi
Keterangan : TD TAK ISK Fl ILO
Kateterisasi
10 27 18 42 25 35 75 24 48 14 10
Infus
Operasi
n
ISK
n
Fl
n
ILO
3 7 TD TD TD – – 3 2 5 1
– –
7 18 TD TD TD 35 75 21 46 9 9
– –
– 2 18 42 25 TAK TAK TAK TAK TAK TAK
1 – – –
= tidak diamati = tidak ada kasus operasi = infeksi saluran kemih = Flebitis = infekri luka operasi
Life is half spent before we know what it is
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Keterangan
– – – –
1 – 6 5 5 7
Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Djoko Roeshadi, Alit Wlnarti Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia
Prevention of nosocomial infection is primarily a matter of monitoring and improving human practice, not killing germs more completely or buying better equipment and supplies. (Haley)
PENDAHULUAN Infeksi nosokomial sangat merugikan baik penderita maupun rumah sakit. Secara definisi, infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat karena penderita dirawat atau pernah dirawat di rumah sakit. Dari data yang didapat dari surveilan WHO nyatalah bahwa angka kejadiannya cukup tinggi : 5% tahun atau 9 juta orang dari 190 juta yang dirawat; angka kematiannya cukup tinggi : 1 juta/ tahun; dan juga merupakan pemborosan yang besar. Program pengendalian infeksi nosokomial di RSUD Dr. Soetomo dimulai Januari 1986; surveilan dilakukan baik oleh dokter untuk luka operasi bersih, maupun oleh perawat untuk semua jenis infeksi nosokomial. KRONOLOGI Program ini dimulai tahun 1985; selama ± 1 tahun oleh anggota panitia hanya dilakukan penelaahan kepustakaan dengan tujuan untuk memperoleh kesatuan pendapat tentang infeksi nosokomial. Pada periode ini telah berhasil disusun standar, baik standar pelaksanaan perasat perawatan, standar diagnosis, standar surveilan maupun standar organisasi. Standar ini dapat terlaksana pembuatannya setelah melalui miniseminar yang dihadiri oleh semua wakil-wakil UPF sehingga dicapai kesepakatan. Pada tahun itu juga telah dilakukan surveilan untuk memperoleh angka dasar kejadian infeksi luka operasi bersih di lingkup UPF Bedah dan UPF Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Pada tahun-tahun berikutnya telah dilakukan continuous surveillance
yang dilaksanakan baik oleh peserta PPDS I maupun perawat khusus dari 5 UPF besar ditambah dengan UPF Saraf yang telah dilatih secara khusus. Untuk pelaksanaan program, dibentuk juga organisasi Dalin (Gambar 1). Gambar 1. Bentuk Organisasi Panitla Pengendalian Infeksi Nosokomial RSUD Dr. Soetomo.
MATERI DAN CARA Surveilan infeksi lukā operasi dilakukan UPF Bedah yang dilaksanakan tileh semua peserta PPDS I; jenis surveilan adalah continuous observation terhadap semua kasus bedah. Surveilan untuk keseluruhan jenis infeksi nosokomial dilakukan oleh pe-
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 13
rawat di lima UPF tersebut di atas dan UPF Saraf. Untuk pengumpulan data, dibuat lembar pengumpul data yang berbeda antara LDP surveilan dokter (yang bersifat lapangan sempit tapi mendalam) dengan LDP perawat (yang bersifat luas tapi dangkal). Perawat yang melakukan surveilan adalah perawat khusus setiap ruangan yang dilcoordinir oleh perawat dari bidang perawatan yang menjadi anggota panitiapengendalian infeksi rumah sakit. Semua hasil surveilan ini diserahkan kepada dan diolah oleh Panitia Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo sebelum dilaporkan ke pimpinan rumah sakit. Maksud dilakukannya dua surveilan sekaligus adalah untuk mengembangkan sistim kontrol dalam program ini. Hasil-hasil surveilan ini dikembalikan sebagai feed back bagi UPF/Seksi-seksi dalam UPF dengan tujuan agar mereka dapat menyadari penampilan (performance) mereka dalam pelayanan sehingga mereka dapat memperbaiki did; dengan demikian diharapkan bahwa semua pihak alum berpartisipasi Waif dengan motivasi yang benar untuk mendukung pelaksanaan program.
Tabel 2.
Survelian Infeksi Luka Operasi oleh Perawat Januari 1989–Juni 1991 (6 UPF – 21 Ruangan)
Tabel 3.
Survelian Perawat Januari 1989 – Juni 1991/I.V (6 UPF – 21 Ruangan)
Tabel 4.
Survetlan Infeksi Saluran Kenih oleb Perawat Janwri 1989 – Juni 1991(6 UPF–21 Ruangan)
HASIL Mulai dan 1985 s/d Desember 1991 telah diperoleh hasil seperti tercantum di bawah ini (Tabel 1,2,3,4): Tabel 1.
Hasil surveilan Infeksi Luka Operasi bersih di UPF Bedah tahun 1985 s/d Desember 1989 oleh peserta PPDS I
PEMBICARAAN Dari motto yang ditulis oleh Haley tampak jelas bahwa kesadaran petugas untuk melaksanakan standar perasat perawat adalah merupakan kunci pokok keberhasilan dari program pengendalian infeksi nosokomial. Dari hasil yang kita peroleh, hipotesa ini terbukti kebenarannya. Dalam surveilan infeksi luka operasi bersih yang dilaksanakan oleh dokter dengan angka dasar infection rate 3,75% pada tahun 1985, pada tahun 1986 didapatkan outbreak dengan dugaan penyebabnya (risk factor) adalah penjadwalan, pemberinfection rate 5,85%. Dalam keadaan ini dilakukan analisis tu-
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
lang ikan seperti yang tercantum dalam gambar 2; didapatkan dugaan penyebab (risk factor) adalah penjadwalan, pembersihan alat dan ruangan, kerja CSSD dan persiapan kulit penderita.
Gambar 2. Mekanlsine pemecahan masalah
Setelah dilakukan perlakuan terhadap faktor tersebut, maka didapatkan angka infection rate yang menurun dengan tajam seperti tampak pada Gambar 1, sehingga pada tahun 1989 didapatkan infection rate untuk infeksi luka operasi hasil) adalah 0,83% tanpa pembelian antibiotika berlebihan; bahkan mulai tahun 1987 - 1991 ada policy penyempumaan penggunaan antibiotika dengan menekankan profilaksis primer sehingga dengan demikiatl justru mulai tahun 1987 pemakaian antibiotika cenderung menurun dengan drastis. Dari risk factor tersebut di atas jelas bahwa faktor kesadaran petugas claim melaksanakan standard operating procedure adalah sangat penting. Hal yang sama dapat dilihat pada hasil-hasil surveilan yang dilakukan oleh perawat; sehingga proses ini jelas akan berhasil apabila organisasi yang sudah dibentuk secara konsisten melaksanakan intervensi agar proses perubahan perilaku petugas dapat terjadi tents menerus menuju standar yang berlaku. Untuk memantau kesempurnaan pelaksana program maka dipakai sistim kendali seperti bagan di bawah ini.
Perbedaan yang ada, disebabkan oleh karena : 1) Pengamatan perawat hanya dilakukan selama penderita dirawat di rumah sakit, sedangkan pengamatan dokter dilakukan sampai penderita pulang. 2) Populasi yang diamati oleh perawat tidak hanya di bagian Bedah saja, sedangkan populasi pengamatan yang dilakukan oleh dokter terbatas pada UPF Bedah. Dari hasil pengamatan perawat terlihat penurunan angka kejadian phlebitis dari 68,05% menjadi 7,23% di UPF Saraf; penurunan ini pada hakekatnya dapat terjadi karena setiap pentgas pelaksana pelayanan melaksanakan standar perasat pemasangan i.v. kateter sebailc-baiknya. Di dalam program ini juga dicoba untuk menganalisa manfaat program ini bagi penghematan dana; akibat infeksi nosokomial, waktu perawatan bagi penderita infeksi nosokomial bertambah (8 hari), ongkos harian bat7c untuk pembelian antibiotdca maupun pemeriksaan laboratorium dan perawatan jugs menittgkat; maka dengan gads kendali infection rate 3,74% dapat dihemat dana sekitar 90 juta rupiah (tahun 1986). Apabila garis kendali diambil 1,5%, maka penghematan yang didapat adalah 180 juta rupiah total. Dari kenyataan-kenyataan di atas jelaslah bahwa pelaksanaan program pengendalian infeksi nosokomial merupakan program untuk mengendalikan mutu pelayanan rumah sakit yang perlu dilaksanakan oleh setiap rumah sakit dalam ruang lingkup masing-masing. RINGKASAN Telah dilaporkan perjalanan program pengendalian infeksi nosokomial di RSUD Dr. Soetomo mulai tahun 1986 - 1991 dimana didapatkan kenyataan bahwa : 1. Faktor dominan keberhasilan program adalah motivasi petugas untuk melaksanakan standar perasat keperawatan. 2. Program ini mampu mengendalikan pemborosan keuangan. KEPUSTAKAAN 1.
2. 3.
Dari hasil surveilan perawat mengenai infeksi luka operasi nyata tidak ada perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan hasil yang dilakukan oleh dokter.
4. 5. 6.
Djoko Roeshadi. Lipman Hasil Pengamatan Angka Kejadian Infeksi Luke Operasi untuk Kasus-kauu Bedah Terencana di Laboratorium-UPF. Dmu Bedah FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Simposium Nasimal Infeksi Nosokomial, Surabaya, Juni 1988. Haley RW. Managing Hospital Infection Control for Cost Effectiveness. AHA,1986. Pengendalian Infeksi NosokomiaL Simposium-Lokakarya National, Moh. Malin Abdullah dick. (Ed.), Surabaya, 9 -11 Juni 1988. Snook ID. Hospitals: what they are and how they work. USA: Aspen Pub1, 1981. Wilson L Quality Assurance and Review, Seminar. Australia, August 1982. Wirawan S. Jaminan mum di Rumah Sakit, Bul PERSI 1984; 2: 7.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 15
Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga, Jakarta Hartati Kurniadi RS Mitra Keluarga, Jakarta
PENDAHULUAN Rumah Sakit Mitra Keluarga adalah rumah sakit swasta yang dibangun dan diasuh oleh Yayasan Mitra Keluarga. Rumah Sakit ini diresmikan oleh Gubemur DKI, Bapak Wiyogo Atmodarminto pada tangga125 Maret 1989. Pada saat diresmikan, rumah sakit ini terdiri dari 5 lantai dengan kapasitas 100 tempat tidur, kemudian pada bulan April 1991 menjadi 6 lantai dengan kapasitas 152 tempat tidur, lalu bulan November 1991 menjadi 7 lantai dengan kapasitas 212 tempat tidur dan sejak bulan Februari 1992 menjadi 8 lantai dengan kapasitas 254 tempat tidur. Karena keterbatasan ruangan, maka Rumah Sakit Mitra Keluarga hanya membedakan ruangan-ruangan atas ruangan anak dan dewasa serta ruangan infeksi dan non infeksi; tidak ada ruangan khusus penyakit dalam, penyakit syaraf, penyakit bedah dan sebagainya. Makalah ini tidak akan membahas infeksi nosokomial dari segi ilmiahnya, tetapi lebih merupakan suatu laporan tentang pengalaman kegiatan awal Tim Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Mitra Keluarga. UPAYA PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL Untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik terhadap pasien, maka sejak tahun 1990, salah satu cara pencegahan infeksi nosokomial yang dilakukan adalah, mengikutsertakan perawat-perawatdan beberapadokterdalam Simposium Pengendalian Infeksi Nosokomial. Ketnudian para peserta simposium tersebut mencoba mempraktekkannya di RSMK, meskipun pada waktu itu dari pengamatan jarang sekali terdapat kasus infeksi nosokomial. Melihat perkembangan jumlah pasien serta kapasitas tempat tidur di RSMK, dan untuk tetap menjaga mutu pelayanan rumah sakit maka pada bulan November 1991 dipikirkan perlunya membentuk suatu organisasi khusus untuk pencegahan infeksi Dibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian lnfeksi Nosokomial di Rwnah Saki, dengan Sumber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta.
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
nosokomial. Oleh sebab itu sejak bulan Desember 1991, mulai dipikirkan bentuk organisasi yang kira-kira cocok untuk RSMK. Maka pada bulan Januari 1992, diresmikanlah organisasi tersebut dengan susunan sebagai berikut : Ketua Tim : Dr. Jan Tambajong. Ketua Pelaksana Harian : Dr. Hartati Kurniadi. Pelaksana Harlan : Para Koordinator Lantai. Pelaksana Ruangan : Perawat-perawat di Ruangan. Meskipun organisasi ini baru diresmilcan pada bulan Januari 1992, tetapi sejak bulan Desember 1991, tim ini sudah mulai berjalan meskipun dengan sepia keterbatasannya. Pencegahan infeksi nosokomial di RSMK terutama ditujukan untuk kepentingan operasional yang berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan (quality assurance) yang kini masih terbatas pada aspek surveilans. Tujuan surveilans tersebut adalah untuk memantau sejauh mana keadaan aseptik/steril di bagian-bagian tertentu dari RSMK telah tercapai agar dapat diambil langkahlangkah perbaikan manajemennya. Upaya pencegahan infeksi nosokomial di RSMK secara umum meliputi : 1. Mengingat kembali tentangkemungkinan terjadinya infeksi nosokomial akibat tingkah laku personil rumah sakit (medik dan paramedik). Perawat dan dokter yang telah mengikuti Simposium Pengendalian Infeksi Nosokomial secara bergantian memberikan ilmu yang mereka peroleh lalu dilanjutkan dengan diskusi. 2. Keharusan untuk mentaati prosedur pelayanan yang telah ditetapkan. Pemantauan pelaksanaan prosedur pelayanan. 3. Peningkatan kemampuan opersonil. Pendidikan dan pelatihan dalam bidang infeksi nosokomial. 4. Pemantauan terjadinya infeksi nosokomial. Dilakukan pengamatan tentang kemungkinan terjadinya
infeksi nosokomial di Iantai-lantai perawatan dan ICU. Yang dicatat sebagai infeksi nosokomial adalah semua kasus infeksi yang terjadi sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit atau pada waktu masuk tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. Meskipun kultur tidak mendukung ke arah infeksi nosokomial, tetap dicatat sebagai infeksi nosokomial. 5. Penelitian terhadap infeksi nosokomial. Ella terdapat kecurigaan adanya infeksi nosokomial, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium yang dianggap perlu. Selain itu secara teratur diadakan uji sterilitas ruangan dan peralatan di RSMK.
ORGAMSASI PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL
MASALAH DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA 1. Organisasi ini masih sangat muda sehingga masih harus belajar banyak pada ahlinya. Dipikirkan kemungkinan untuk belajar dan langsung melihat cara pemantauan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. 2. Pengetahuan petugas rumah sakit mengenai infeksi nosokomial masih belum mantap. Akan diusahakan lagi pendekatan secara berkelompok atau secara individu. 3. Masih ada petugas yang belum mengikuti semua prosedur pelayanan yang telah ditetapkan. Koordinator lantai akan tetap memantau secara random dan sekaligus mengingatkan kembali prosedur yang seharusnya dilaksanakan.
PELAKSANA RUANGAN Para Perawat di Lantai Perawatan dan ICU
PEMBICARAAN Sampai saat ini, tim pencegahan infeksi nosokomial RSMK masih harus belajar banyak agar dapat menyqjikan laporan dan data yang setepat mungkin. Untuk itu sebagai langkah berikutnya adalah membetulkan laporan yang saat ini dibuat. Dari formulir pencatatan kasus infeksi nosokomial, yang akan dicatat setiap hari adalah pasien barunya saja; kemudian bila ada yang menunjukkan infeksi nosokomial, maka nama pasien tersebut dicatat di kolom yang tersedia sesuai dengan perlakuannya (kateterisasi/infus dan sebagainya). Selama bulan Desember 1991, dari 223 operasi (seluruh operasi) terdapat satu kasus infeksi nosokomial (0,45%). Dari hasil uji sterilitas, selalu ada perbaikan tetapi belum 100% memuaskan; untuk iw tindakan desinfeksi perlu lebih diperhatikan. Melihat hasil infeksi nosokomial yang cukup rendah, apakah dokter-dokter RSMK sudah berani untuk percaya sepenuhnya akan tindakan asepsis dan antisepsis yang dilakukan di RSMK? Selain mungkin ada baiknya untuk mulai dipikirkan juga pemberian obat standar.
STRUKTUR ORGANISASI
DIREKTUR Dr. Jan Tambajong KETUA PELAKSANA HARIAN Dr. Hartati Kurniadi PELAKSANA HARIAN Koordinator Lantai Perawatan dan ICU
TUGAS : DIREKTUR : 1. Bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan upaya pencegahan infeksi nosokomial. 2. Menentukan kebijaksanaan. 3. Mengadakan evaluasi kebijaksanaan. KETUA PELAKSANA HARIAN : 1. Melaksanakan kebijaksanaan berdasarkan prosedur kerja. 2. Koordinasi dengan para koordinator lantai perawatan dan ICU. 3. Memberikan saran kepada Direktur untuk pengembangan prosedur kerja dan perbaikan yang dianggap perlu. 4. Menganalisa data. 5. Mengadakan pertemuan rutin minimal sebulan sekali. 6. Memberikan laporan bulanan kepada Direktur mengenai hasil pencegahan infeksi nosokomial. PELAKSANA HARIAN (Koordinator Lantai/OK/ICU) : 1. Mengawasi pelaksanaan prosedur kerja di ruangan masingmasing. 2. Memberi koreksi bila petugas di ruangan tindakannya tidak sesuai dengan prosedur kerja. 3. Mengumpulkan data dari ruangan. 4. Setiap minggu memberikan laporan kepada Ketua Pelaksana Harian. PELAKSANA, RUANGAN : 1. Melaksanakan prosedur kerja dengan sebaik-baiknya. 2. Bertanggung jawab kepada Koordinator Lantai.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 17
Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSU Bekasi Dean Wahjudy Satyaputra Panitia Pemantauan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Umum Kabupaten DT. II Bekasi, Jawa Barat
PENDAHULUAN Tujuan umum Rumah Sakit Tipe C adalah peningkatan dan pemantapan pelaksanaan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan serta pemulihan pasien. Khususnya bagi pasien yang memerrukan rujukan di daerah. Mengingat tujuan di atas, sangat disayangkan bila justru pasien atau pengunjung yang datang ke Rumah Sakit menjadi sakit karena mendapatkan infeksi yaitu Infeksi Nosokomial. Nosokomial berasal dari kata Nosos = penyakit dan Komeo = merawat; Nosokomion berarti tempat untuk merawat/ rumah sakit. Jadi Infeksi Nosokomial dapat diartikan infeksi yang berasal atau terjadi di Rumah Sakit. Infeksi Nosokomial dapat membebani kita semua, termama pasien dapat menyebabkan bertambah tingginya biaya perawatan karena waktu rawat nginap dan pengobatannya yang memanjang. Selain itu Infeksi Nosokomial juga dapat menyebabkan kematian. Bila menyimak gambaran kejadian Infeksi Nosokomial, di Indonesia angkanya masih beragam dan masih sulit untuk mendapatkan angka yang pasti. Di RSU Bekasi sendiri, berdasarkan surveilans IN Luka Operasi (ILO) selama 3 bulan tahun 1991 didapatkan angka yang cukup tinggi, sehingga harus mulai dilakukan "pengendalian" dengan seksama. "Panitia Pengendalian IN" di RSU Bekasi dibentuk pada tahun 1990. Tugasnya mengendalikan masalah-masalah yang berkaitan dengan infeksi nosokomial. Dalam usia yang relatif muda (2 tahun), belum banyak yang dilakukan mengingat keterbatasan-keterbatasan yang dijumpai; tetapi usaha pengendalian tetap berjalan secara bertahap dengan menyesuaikan langkahnya sesuai situasi dan kondisi yang ada. Diharapkan apa yang telah dilakukan panitia bisa menjadi basis dalam usaha
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
pengendalian infeksi nosokomial di RSU Bekasi di masa-masa mendatang. MENGENAI RUMAH SAKIT UMUM (TIPE C) KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BEKASI Sejarah Awal dari RS Bekasi bermula pada tahun 1939. Pada saat itu masih berupa poliklinik saja dengan sarana yang sangat minim yaitu berupa kamar periksa, kamar suntik dan 1 kamar balut. Setelah kemerdekaan RI, poliklinik Bekasi mengalami perubahan menjadi RS Pembantu dengan adanya penambahan ruapg perawatan pasien. Pada tahun 1956, sejalan dengan perubahan status Bekasi dari Kewedanaan menjadi Kabupaten, Rumah Sakit Pembantu diubah menjadi Rumah Sakit Umum. Walaupun begitu ketenagaan dokter masih bersifat part timer yang datang 2 x dalam seminggu. Pada tahun 1979, dengan SK. Men.Kes. RI No. 151/ Men.Kes/SK/II/79 RSU Bekasi ditetapkan sebagai RS tipe C, yang melaksanakan 4 bidang spesialis dasar. Kondisi saat ini Saat ini RS Bekasi yang terletak di jantung kota Kabupaten Bekasi dan berjarak ± 15 menit perjalanan ke arah timur dū Ibukota Jakarta, mempunyai luas bangunan keseluruhan ± 6270 m2 dari 10.000 m2 lahan yang ada. Pelayanan yang dilakukan meliputi : – Pelayanan gawat darurat 24 jam; – Poliklinik spesialis (9 bidang spesialis); – Pelayanan penunjang berupa Radiologi, Laboratorium dan lainlain; – Pelayanan rawat nginap berkapasitas 171 tempat tidur. Ketenagaan yang ada sampai akhir tahun 1991 seluruhnya 308 orang, bila dikelompokkan berdacarkan jenis keahlian terdiri dari 17 dokter ahli, 17 dokter umum, 4 dokter gigi dan lain
sebagainya. Jumlah tenaga yang telah mendapat Pelatihan Pengendalian Infeksi Nosokomial berjumlah 2 orang dokter dan 2 orang paramedis. Berdasarkan data yang diambil dari laporan RSU Bekasi tahun 1991 kami mencatat : – Jumlah kunjungan pasien rawat jalan sebanyak 96.549 orang. – Rata-rata BOR sebesar 70,67%, rata-rata LOS = 3,96 hari. – Lima penyakit utama yang ditemukan di rawat jalan adalah : 1. TBC, 2. Common cold, 3. Tonsilitis, 4. Diare dan gastroenteritis, 5. Penyakit mata dan adnexanya. Yang ditemukan di rawat nginap : 1. Demam tifoid/sebab lain, 2. Diare dan gastroenteritis, 3. Penyakit saluran nafas, 4. Trauma kepala, 5. Penyakit saluran cema lainnya. Kenyataan bahwa penyakit infeksi masih tinggi kejadiannya di Rumah Sakit Bekasi. PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL RUMAH SAKIT UMUM BEKASI Infeksi Nosokomial sebetulnya bukan hal baru; sudah sejak lama disadari oleh pewgas-petugas di lingkungan RS kami, tetapi usaha yang dilakukan kurang terarah sehingga hasilnya kurang memadai. Pala bulan Oktober 1990, melalui SK Direktur No. 848/ 2378/Kepeg dibentuklah Panitia Pengendali Infeksi Nosokomial di RSU Kabupaten DT. II Bekasi, sebagai tindak lanjut pelatihan PIN yang diselenggarakan di Bandung. Panitia itu selanjutnya bertanggung jawab atas segala aspek yang mempengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial termasuk usaha memperkecil angka kejadian dan mencegah Infeksi Nosokomial di Rumah sakit. Mengingat ruang lingkup kerja yang sangat luas, Panitia yang dibentuk perlu terdiri dad semua unsur-unsur yang ada di lingkungan Rumah sakit, baik UPF, Instalasi maupun unsur-unsur lainnya. Kami juga melibatkan kepala ruangan sebagai anggota panitia karena disadari akan pentingnya peranan perawat dalam usaha Pengendalian Infeksi Nosokomial. Struktur kepanitiaan PIN seperti di atas dibuat dengan mengadaptasi bentuk yang ada di RSHS, dengan mempertimbangkan kondisi yang ada. Sejak ditetapkan, panitia telah melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan perencanaan yang dibuat, kegiatan tersebut adalah : • Mempublikasikan Infeksi Nosokomial pada rapat koordinasi di lingkungan RSU Bekasi. • Setiap bulan Direktur RS mengadakan rapat dengan semua kepala UPF, Instalasi dan pejabat struktural lainnya. Pada kesempatan ini, ketua PPIN mengemukakan informasi mengenai PIN. • PHIN sendiri secara berkala mengadakan pertemuan untuk membahas masalah-masalah IN. • Mempublikasikan IN pada kesempatan pelatihan proses keperawatan bagi kalangan paramedis. Perlu diketahui di RSU Bekasi sampai saat ini telah dilakukan 5 gelombang pelatihan proses keperawatan, yang maksudnya untuk meningkatkan keterampilan tenaga perawat RS. Di antara 50 jam materi yang diberikan 10% adalah tentang
STRUKTUR PIN DI RSU BEKASI
Keterangan : PPIN : Panitia Pemantau IN. – tugasnya membuat kebijaksanaan upaya PIN. – anggotanya adalah waki! dari Unit-unit/unsur yang terkait. PHIN : Panitia Harian IN. – diharapkan sebagai motor dari kegiatan PIN. – diketuai oleh tenaga medis yang telah mendapatkan pelatihan PIN. – anggota lain adalah dari unsur keperawatan, sebab mereka yang lebik erat kaitannya dengan perawatan. TPIN : Tim Pengendali IN. – dipimpin oleh kepala perawatan dibantu kepala-kepala ruangan, hal ini memudahkan dalam pelaksanaan Surveilans.
Infeksi Nosokomial yang diberikan oleh dokter ataupun perawat dari PHIN. • Bekerjasama dengan PKMRS dalam acara penyuluhan kepada pengunjung/penunggu pasien tentang masalah-masalah yang bersangkutan dengan terjadinya Infeksi Nosokomial. Penyuluhan sekali seminggu dengan mated yang bervariasi. Bagi pengunjung RS juga penyuluhan dilakukan melalui papan informasi yang disediakan di ruangan tunggu poliklinik. • Mempersiapkan pedoman prosedur-prosedur tetap. • Melengkapi kebijaksanaan-kebijaksanaan umum Rumah sakit, saat ini sedang dipersiapkan : − kebijaksanaan penggunaan antiseptik dan desinfektan, − kebijaksanaan isolasi ruang perawatan, − kebijaksanaan kamar operasi. • Memberikan usulan/kebijaksanaan atas hasil pemeriksaan sampling lingkungan RS yang dilakukan setiap tahun. • Melakukan Surveilans IN. Luka Operasi (lampiran). EVALUASI Selama pelaksanaan kegiatan Pengendalian IN, panitia masih menjumpai kendala-kendala, misalnya saja : • Informasi IN; di kalangan panitia sendiri masih belum
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 19
seragam, agak sulit mengharapkan input/ide dari Unit/Instalasi yang bersangkutan guna melaksanakan kegiatan PIN. • Masih diperlukan usaha memotivasi tenaga kesehatan dalam pengendalian IN. • Panitia adalah tenaga-tenaga fungsional yang mempunyai kesibukan sehingga kendala waktu sulit ditanggulangi; ada pemikiran untuk mempersiapkan tenaga yang khusus berkonsentrasi pada pengendalian IN (ICN) yang dikaitkan dengan kedudukan struktural di keperawatan, dengan demikian petugas tersebut bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada masalah IN. Dipandang dari garis operasional juga bisa lebih terkendali. • Sistim informasi RS yang berjalan perlu ditingkatkan. Untuk membuat suatu kebijaksanaan dalam Pengendalian IN perlu dukungan data yang akurat dari berbagai unsur di RS; sebagaimana diketahui permasalahan PIN begitu lugs dan kompleks. • Selama ini Pengendalian IN di RS Bekasi dititik beratkan
pada kegiatan yang tidak memerlukan banyak dana. Ada beberapa kondisi prasarana dan sarana yang kurang memadai; padahal untuk memperbaiki/penyediaannya cukup mahal. Dengan dukungan pimpinan dan staf RS diharapkan pertimbangan PIN dapat dimasukkan ke dalam perencanaan RS secara keseluruhan. PENUTUP Dari kenyataan yang ada, harus disadari bahwa Pengendalian IN harus mulai dilaksanakan secara profesional. Keterlibatan semua unsur sangat diperlukan, karena penyelenggaraan Pengendalian IN harus dilaksanakan secara integratif dan lintas program. Di RSU Bekasi dengan segala kondisi yang ada, perhatian pada Infeksi Nosokomial semakin besar. Kendala yang ada dicoba tanggulangi dengan memperhatikan segi-segi lainnya.
Sterilitas Udara Ruang Operasi dan Peralatan Bedah serta Higiene Petugas Beberapa Rumah Sakit di Jakarta Pudjarwoto Trlatmodjo Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber penularan kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit, telah dilakukan pemeriksaan mikrobiologis terhadap udara ruang operasi dan bebērapa jenis ruang perawatan, serta peralatan bedah. Di swiping im diperiksa pula hygiene petugas melalui pemeriksaan terhadap tangan (hand swab) perawat. Dari hasil pemeriksaan tampak bahwa angka kuman pada beberapa ruang bedah mencapai lebih dari 5 CPU/15' sehingga melebihi ambang batas yang ditetapkan. Staphylococcus merupakan bakteri penyebab infeksi nosokomial yang paling banyak mencemari udara ruang operasi. Angka kuman pada beberapa ruang perawatan berkisar antara 10-300 CPU/15'. Sebesar 34,4% tangan petugas rumah sakit (perawat) diketahui terkontaminasi oleh beberapa jenis mikroba penyebab infeksi nosokomial seperti E. coli, Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Streptococcus dan spesies jamur Aspergillus sp. Beberapa jenis perlengkapan bedah d>7cetahui tidak steril dan ditemukan mengandung bakteri.
PENDAHULUAN Walaupun pemeliharaan kesehatan saat ini telah menjadi lebih baik antara lain karena telah digunakannya cara-cara baru dan modem untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengobatan penyakit, namun insiden infeksi nosokomial masih harus mendapat perhatian lebih banyak. Beberapa negara melaporkan bahwa rata-rata 5-10% penderita yang dirawat di rumah sakit akan mendapat infeksi yang ditularkan oleh seseorang atau dari suatu alat selama ia dirawat. Pasien bedah merupakan pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi nosokomial, lebih-lebih apabila dirawat di rumah sakit dengan tingkat hygiene lingkungan rumah sakit yang masih belum sesuai dengan yang dipersyaratkan. Angka infeksi nosokomial untuk luka bedah di Indonesia dilaporkan sebesar 2,3-18,3%(1). Public Health Laboratory Service (1960) menulis, 5-19% pen-
derita yang dioperasi mengalami luka postoperasi dengan frekuensi infeksi luka yang berbeda tergantung dari jenis operasi yang dilakukan. Dalam upaya menanggulangi kejadian infeksi nosokomial, tinjauan epidemiologi terhadap masalah pencemaran dan infeksi nosokomial perlu dilakukan karena pada dasarnya kejadian infeksi nosokomial melibatkan unsur manusia, lingkungan dan mikroba yang satu sama lain sating terkait. Dalam hubungan ini kegiatan survai epidemiologi yang diarahkan untuk survai .infeksi nosokomial dapat meliputi: pengenalan konsep survai epidemiologi di rumah sakit untuk pencegahan dan penanggulangan infeksi nosokomial, pengembangan teknologi pengamatan infeksi nosokomial, pengumpulan data rutin untuk memperoleh gambaran tentang berbagai aspek epidemiologi infeksi nosokomial, penelitian KLB (Kejadian Luar Biasa) infeksi
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 21
nosokomial yang terjadi di beberapa rumah sakit serta melaksanakan berbagai survai dan studi dalam rangka pengumpulan data dasar infeksi nosokomial(2). Beberapa cara transmisi penyebab infeksi nosokomial adalah dengan cara air-borne yaitu melalui udara, inhalasi, dan lain-lain. Di samping itu transmisi kuman dapat berlangsung dengan cara contact spread yaitu mclalui tangan petugas, alatalat, serta dapat pula terjadi dengan cara wound precaution yaitu melalui perawatan postoperasi, alat-alat untuk tindakan invasif, dan lain-lain(3). Untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber-sumber penularan dan kemungkinan rute penyebaran kuman penyebab infeksi nosokomial sebagai salah satu upaya pengumpulan data dalam pemecahan masalah infeksi nosokomial, dalam makalah ini disajikan data hasil studi mengenai pencemaran mikroba pada beberapa peralatan bedah, udara ruang operasi dan usap tangan petugas (hand swab) yang berasal dari 6 rumah sakit di Jakarta yaitu RS. I, RS. II, RS. III, RS. IV, RS. V dan RS. VI untuk mendeteksi sampai seberapa besar pencemaran yang terjadi oleh mikroba penyebab infeksi nosokomial. BAHAN DAN CARA 1. Kriteria bahan penelitian Obyek penelitian adalah udara ruang operasi, alat-alat dan perlengkapan bedah dan personil rumah sakit (perawat) yang sering mengadakan kontak langsung dengan pasien. Pemeriksaan milcrobiologis dilakukan terhadap beberapa jenis sampel berikut ini : – Alat-alat untuk keperluan operasi pasien seperti gunting, kain kasa, sarung tangan, baju operasi, handuk dan lain-lain yang berada dalam keadaan siap pakai. – Udara ruang bedah/ruang operasi, serta beberapa ruang perawatan seperti ruang kebidanan, ruang penyakit dalam, ruang anak-anak, ruang bayi. – Usap tangan (hand swab) personil rumah sakit yang sedang dinas di bangsal-bangsal perawatan. 2. Cara pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Sampel alatalat dan perlengkapan bedah diambil dengan cara swab, yaitu dengan lidi kapas steril yang terlebih dahulu dibasahi dengan PBS (Phosphate Buffer Saline) kemudian diusapkan pada alatalat yang diperiksa. Kemudian lidi kapas segera dimasukkan ke dalam media PBS yang telah disiapkan dalam tabung reaksi (tube). Cara yang sama juga dilakukan untuk pengambilan sampel dari hand swab. Pengambilan sampel udara dilakukan dengan media Agar Darah dalam petridisk yang dibuka selama 15 menit dalam ruang yang diperiksa. Transportasi sampel ke laboratorium dengan menempatkan sampel dalam boks berisi es. 3. Identifikasi mikrobiologi Dilakukan dengan menggunakan metode yang telah dibakukan oleh WHO (1987)(4) dan Manual for Clinical Microbiology(5). Dalam identifikasi ini pertama dilakukan kultur terhadap
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
masing-masing sampel dengan media spesifik. Dari tahap kultur kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis melalui pewarnaan gram dan uji biokimia serta uji serologi untuk identifikasi jenis-jenis mikroba tertentu. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini telah dapat diperiksa sejumlah 105 spesimen yang terdiri dari sampel ruang bedah dan ruang perawatan 30 spesimen, hand swab dari perawat 64 spesimen dan usap alat dan perlengkapan bedah 11 spesimen. Angka pencemaran ruang bedah dari 6 ruang bedah yang berasal dari 6 numah sakit adalah berkisar antara 3–8 CPU/15'. Ambang batas pencemaran mikroba yang diperkenankan untuk ruang bedah adalah 5 CPU/15'. Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas maka dapatlah dikemukakan bahwa 4 ruang bedah dari 4 rumah sakit masih belum memenuhi standar mikrobiologi yang ditetapkan. Ke empat ruang bedah tersebut adalah ruang bedah RS. III dengan angka kuman sebesar 5 CPU/15', ruang bedah RS. IV dengan angka kuman 7 CPU/15', ruang bedah RS. V dengan angka kuman 8 CPU/15' dan ruang bedah RS. VI dengan angka kuman 7 CPU/15' (tabel 1). Ruang bedah RS. I dan RS. II mempunyai angka kuman sama yaitu 3 CPU/15'. Nilai pencemaran dari dua kamar bedah tersebut belum tentu memenuhi standar karena waktu penangkapan kuman hanya berlangsung 15 menit sedangkan persyaratan yang ditetapkan 30 menit. Beberapa jenis kuman yang terdeteksi mencemari ruang bedah adalah Staphylococcus sp dan kuman gram negatip yang dalam pemeriksaan ini belum jelas nama genusnya. Mikroba lain yang ditemukan adalah jenis jamur Aspergillus sp. Di sini Staphylococcus ditemukan pada sebagian besar ruang bedah (4 ruang bedah). Dua ruang bedah yang tidak tercemar Staphylococcus adalah ruang bedah dari RS. III dan RS. VI, tetapi nilai pencemarannya di atas ambang batas yang dipersyaratkan (tabel 1). Tabel 1.
Besarnya pencemaran mikroba pada ruang bedah dan bebe rapa ruang perawatan dari 6 rumah sakit di Jakarta berda sarkan jumiah mikroba yang tertangkap dengan media Agar Darah selama 15 menit (N = 30)
Ruang Bedah Kebidanan Penyakit dalam Perawatan bayi Perawatan anak Total Keterangan : N RS.I s/d RS. VI CPU
Angka kuman (dalam CPU/15 menit) RS. I 3 18 53
RS. II 3 25 19
30
10
36
21
32
96
10-96
34
28
89
34
80
74
28-89
138
85
187
111
455
257
3-300
= = =
RS. III RS. IV 5 7 33 12 24 37
Jumlah ruang diperiksa Kode rumah sakit yang diteliti Colony Plate Unit
RS. V 8 35 300
Range RS. VI 7 3-8 32 12-35 48 19-300
Dari 5 jenis ruang perawatan yang diperiksa yaitu ruang kebidanan, ruang penyakit dalam, ruang perawatan bayi dan ruang perawatan anak tampak adanya variasi nilai pencemaran mikroba. Angka pencemaran terendah diketahui terdapat pada ruang kebidanan dengan nilai pencemaran sebesar 12–35 CPU/ 15', sedangkan angka pencemaran tertinggi terdapat pada ruang penyakit dalam dengan nilai pencemaran sebesar 19–300 CPU/15'. Dilihat dari jenisnya Staphylococcus merupakan mikroba yang paling dominan mencemari berbagai ruang perawatan tersebut. Beberapa jenis mikroba lain yang ditemukan antara lain adalah Streptococcus dan bakteri gram negatip yang dalam pemeriksaan ini belum jelas nama genusnya, serta beberapa jenis jamur yaitu Aspergillus sp dan Mucor sp. Dilihat dari jumlah mikroba pencemar per rumah sakit tampak pula bahwa angka pencemaran terkecil terdapat pada RS. II, sedangkan angka pencemaran terbesar dijumpai pada RS. V. Petugas rumah sakit seperti dokter, bidan, perawat dan lainlain dapat merupakan sumber atau media transmisi/penularan kuman-kuman patogen, karena di samping dapat berperan sebagai carrier dari bakteri tertentu, dapat pula membawa kuman karena kontak dengan para pasien yang telah terinfeksi sebelumnya; atau tangan petugas terkontaminasi oleh kuman yang mengandung CFA (Colonizing Factor Antigen) dan bila kuman ini menginfeksi seseorang dapat menjadi patogen di dalam tubuh. Dari hasil pemeriksaan mikrobiologis terhadap tangan petugas rumah sakit tampak bahwa sebesar 34,4% tangan petugas (perawat) membawa bakteri penyebab infeksi nosokomial (tabel 2). Beberapa jenis kuman yang terdeteksi mengkontaminasi tangan petugas antara lain adalah E. coli, Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Streptococcus dan Jamur. Di sini ditemukan pula adanya kontaminasi ganda pada 3 orang petugas, yaitu satu petugas terkontaminasi oleh Staphylococcus + Proteus dan dua orang petugas oleh Staphylococcus + Jamur Aspergillus sp. Staphylococcus merupakan bakteri yang paling banyak mencemari tangan petugas yakni sebesar 18,7% (12 dari 64). Kemudian berturut-turut Pseudomonas 6,2%, Proteus 4,6%; E. coli dan Streptococcus serta Jamur Aspergillus masing-masing sebesar 3,1% (gambar 1). Pola infeksi nosokomial dapat berubah dari waktu ke waktu dan perubahan tersebut terjadinya bersamaan dengan pemakaian serta makin meluasnya penggunaan antibiotik(6). Sebelum tahun 1950-an yakni pada waktu antibiotik Penicillin barn dipakai, infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh Pneumococcus dan Streptococcus. Kemudian sejak tahun 1950-an yakni setelah meluasnya pemakaian antibiotik Penicillin, dilaporkan penyebab utama infeksi nosokomial adalah bakteri gram positip Staphylococcus yang kebal (resisten) terhadap Penicillin dan sampai kini diperkirakan masih merupakan penyebab infeksi nosokomial walaupun telah banyak bermunculan jenis antibiotik baru. Hal ini terbukti dengan tingginya angka pencemar-
Tabel 2.
Distribusi kuman penyebab infeksi nosokomial yang terdeteksi pada usap tangan (hand swab) petugas rumah sakit (perawat) yang bertugas di beberapa rumah sakit di Jakarta (N = 64)
Kode Rumah Sakit
Jumlah petugas diperiksa
Jumlah petugas tercemar
RS. I
11
3
RS. II
10
3
RS. III
14
5
RS. IV
10
3
RS. V
9
4
RS. VI
10
4
Jumlah %
64 100
22 34,4
Keterangan : N RS. I s/d RS. VI
= =
Mikro organisms Staphylococcus (2) Pseudomonas (1) Staphylococcus + Proteus (1) Proteus (2) Staphylococcus (1) Staphylococcus (2) Staphylococcus + Jamur (2) Pseudomonas (1) Staphylococcus (1) Pseudomonas (1) E. coli (1) Streptpcoccus (2) Proteus (1) Staphylococcus (1) Staphylococcus (2) Pseudomonas (1) E. coil (1)
Total petugas diperiksa Kode umiak sakit yang diteliti
Gambar 1. Jenis bakterl penyebab infeksi nosokomial dan besarnya pen cemaran (dalam %) pada usap tangan (hand swab) petugas rumah sakit (perawat) dl beberapa rumah sakit di Jakarta (N = 64)
Keterangan : A = Streptococcus B = Proteus C = Pseudomonas D = Staphylococcus E = E. coli
= 3,1% = 4,6% = 6,2% = 18,7% = 3,1%
N = Jumlah sampel diperiksa = 64
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 23
an oleh Staphylococcus di lingkungan rumah sakit. Angka kejadian infeksi nosokomial yang disebabkan oleh Staphylococcus memerlukan penelitian yang lebih mendalam di lingkungan perawatan. Alat-alat dan perlengkapan operasi bedah dapat menjadi alat transmisi kuman-kuman penyebab infeksi nosokomial; dan angka infeksi nosokomial untuk luka bedah di Indonesia dilaporkan cukup tinggi (2,3–18,3%). Tabel 3 memberikan informasi tentang kondisi sterilitas alat-alat dan perlengkapan operasi bedah yang ada di beberapa rumah sakit di Jakarta. Di sini terlihat bahwa masih terdapat alat-alat dan perlengkapan bedah yang slap pakai tetapi dalam keadaan tidak steril; dari 11 jenis perlengkapan bedah yang diperiksa terdapat 4 jenis yang terdeteksi tidak steril: Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah proses sterilisasi yang tidak sempurna atau penanganan yang kurang hygienis. Apabila keadaan tidak steril ini akibat dari cara sterilisasi yang tidak sempllma, kiranya beberapa hal penting yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan sterilitas yang optimal adalah tercapainya holding time (waktu sterilisasi) dan meratanya temperatur ke setiap bagian yang disterilisasi. Tabel 3.
Kondisi aterilitas beberapa Jenis peralatan operasi bedah dari beberapa rumah sakit dl Jakarta
Nama/Asal bahan Instrumen/Ruang OK darurat V Kain kasa/Ruang OK Pam Kain kasa/Ruang instalasi bedah Handuk/Instalasi bedah Sarung tangan/ Instalasi bedah Baju operasi/ Instalasi bedah !Cain kasa/ Kebidanan Alat operasi/ OK mata Instmnen/ Instalasi bedah Kain kasa/ Bedah umum Mat operast/ OK Bedah sesar
operasional yang rendah. Temperatur dan holding time yang perlu dipērhatikan dalam sterilisasi dengan autoclave adalah 132°C selama 2 menit, 121°C – 12 menit dan 116°C – 30 menit. Dengan memperhatikan temperatur dan holding time secara tepat seperti tersebut di atas maka diharapkan diperoleh kondisi sterilitas yang optimal pada alat-alat yang disterilkan. Apakah tingginya angka infeksi nosokomial pada pasien luka bedah ini adalah akibat'dari perlengkapan dan alat operasi bedah yang kondisi sterilitasnya kurang memadai? Hal ini perlu diteliti dari berbagai aspek secara lebih mendalam. KESIMPULAN DAN SARAN – Bakteri gram positip Staphylococcus merupakan salah satu mikroba penyebab infeksi nosokomial yang dominan sebagai pencemar pada anggota tubuh/tangan petugas rumah sakit/perawat, udara di berbagai ruang perawatan seperti ruang perawatan bayi, kebidanan, anak, penyakit dalam dan lain-lain. Bahkan udara pada beberapa ruang operasi/ruang bedah dan beberapa peralatan bedah menunjukkan indikasi tidak steril dan tercemar Staphylococcus. – Beberapa jenis mikroba lain yang terdeteksi mencemari udara dan peralatan medis serta petugas antara lain adalah E. coli, Pseudomonas, Streptococcus, Proteus dan Jamur. – Proteksi terhadap para pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian infeksi nosokomial perlu dilakukan secara lebih saksama. Di samping itu peningkatan hygiene di rumah sakit dengan cara meningkatkan tindakan sterilisasi, desinfeksi dan antisepsis perlu dilakukan secara lebih saksama, tidak terkecuali peningkatan cara cuci tangan para petugas/ perawat.
Jumlah Kuman/swnb
Mikro organisme
0
–
Stern
0
–
Steril
0
–
Steril
2x104
Bakteri gram (+) kokus –
Tidak steril
Bakteri gram (–) batang –
Tidak steril
1.
Stern
2.
Tidak steril
0
Bakteri gram (+) kokus Bakteri gram (+) kokus –
0
–
0 3x104 0 35x104 2x104
Pertimbangan
3.
Tidak steril Steril
4.
Steril
5.
Salah satu cara sterilisasi yang digunakan di rumah sakit adalah dengan autoclave (panas uap). Cara ini paling umum digunakan karena dapat diandalkart, mudah pelaksanaannya dan dapat diterapkan pada hampir 80% kebutuhan bahan yang ada serta biaya
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
KEPUSTAKAAN
Steril
6. 7.
Effendy A, Ibrahim R, Mubarak Z Insiden infeksi nosokomial di RSU DR. Z. Abidin Banda Aceh (Penelitian Pendahuluan). MKT 1988; 3(1): 13–5. Surachmad S, Sutoto, Josodipuro K. Kumpulan Makalah Penataran Isolasi Penderita Penyakit Menular (Infeksi Nosokomial dan Pencegahannya). Dep Kes RI, Jakarta 1984. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan Pemukiman. Pentaloka Survailans Epidemiologi bagi Para Kepala Dinas Kesehatan Dati II. Dep Kes RI, Jakarta 1990. WHO, CDD Program for Central Diarrhoeal Diseases. Manual for Laborstot), Investigation of Acute Enteric Infection, 1987. Lennette EH, Ballows A, Flimsier JW, Shadomy HJ (eds). Manual for Clinical Microbiology. American Society for Microbiology Association PubL Washington, 1985. Usman Chatib Warsa. Aspek Mtkrobiologi Infeksi Nosokomial. Maj Informasi Kesehatan No. 19, Januari 1987. Dibawakan Pada Seminar Penyakit Menular di Jakarta, 4 Febtuart 1986. Janes, Sototo, Punjabi NH. Infeksi Nosokomial Saluran Cema (INSC) pada Penderita Anak di Rumah Sakit Khusus Penyakit Menular, Jakarta. Medika (Sept.) 1985; 11(a): 851–8.
Peranan Laboratorium dalam Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Nosokomial Dalima ArI Wahono Astrawlnata Panitia Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo/ UPF Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Pengendalian infeksi nosokomial (IN) merupakan tanggung jawab suatu panitia/tim pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi di Rumah Sakit (RS). Salah satu aspek penting dalam penanggulangan IN adalah surveillans, di mana laboratorium turut berperan serta(1,2). PERAN UNIT LABORATORIUM Laboratorium Rumah Sakit, khususnya laboratorium mikrobiologi mempunyai peranan yang cukup penting dalam membantu program surveillans, dan pencegahan serta penanggulangan infeksi nosokomial. Peran tersebut mencakup beberapa hal, antara lain(2,3) : • Kerja sama dalam suatu tim/panitia penanggulangan infeksi RS • Identifikasi secara tepat mikroorganisme penyebab IN • Pelaporan berkala data pola kuman RS dan pola antibiogram • Pelacakan secara tepat penyebab infeksi tertentu RS • Melakukan pemeriksaan mikrobiologik bilamana diperlukan terhadap petugas atau lingkungan Rumah Sakit Dalam hal penanggulangan infeksi nosokomial, peran laboratorium yang cukup penting dapat berjalan dengan baik bilamana beberapa anggota tim penanggulangan infeksi nosokomial berasal dari unit laboratorium. Anggota tim tersebut harus yang betul-betul mengetahui kemampuan pemeriksaan mikrobiologik di laboratorium rumah sakitnya sehingga dapat menjalankan tugas sesuai kemampuan dan sarana yang tersedia. Komunikasi yang lancar dan hubungan yang baik antara bidang perawatan (Dokter/Perawat), Tim Pelaksana Harian Penanggulangan IN dan petugas laboratorium merupakan modal utama berjalannya suatu program penanggulangan infeksi nosokomial; terlebih lagi bilamana program tersebut didukung sepenuhnya oleh kebijakan rumah sakit(1,3,4).
PERANAN ANGGOTA PANITIA Anggota panitia yang berasal dari unit laboratorium (Dokter Spesialis Patologi Klinik, Ahli Mikrobiologi/Biologi, Analis Laboratorium Kesehatan) harus dapat menyumbangkan pikiran dan pendapatnya dalam menyusun program penanggulangan IN, terutama yang menyangkut pemeriksaan laboratorium. Mereka harus dapat menekankan bilamana pemeriksaan perlu dilakukan dan apakepentingannya serta bilamana pemeriksaan tersebut tidak perlu dilakukan. Hal ini panting, terutama bila menyangkut soal pembiayaan yang harus dipikul oleh rumah sakit. Selain itu anggota tim dari unit laboratorium bersama-sama anggota tim yang lain secara berkelanjutan perlu memberi penataran dan penjelasan khususnya mengenai cara-cara pengambilan dan pengiriman bahan yang tepat, dan cara-cara pencegahan infeksi nosokomial kepada petugas RS yang lain. Sehingga secara seluruh program penanggulangan infeksi nosokomial melalui pengumpulan data maupun tindakan pencegahan dapat berjalan dengan baik(1,3,5). TUGAS LABORATORIUM RS Khususnya dari segi pemeriksaan, laboratorium RS dituntut untuk dapat mengidentifikasi mikroorganisme penyebab secara benar dalam waktu sesingkat mungkin. Hasil biakan yang dikeluarkan harus dapar dijamin telah melalui tahap prainstrumentasi, instrumentasi dan pasca instrumentasi yang benar. Pada tahap prainstrumentasi yang perlu diperhatikan adalah : – tindakan a/antisepsis yang benar – cara pengambilan bahan yang baik pemilihan bahan pemeriksaan yang sesuai – cara pengiriman yang tepat Dalam hal ini termasuk menyiapkan wadah penampung steril dan mengetahui cara penyimpanan yang benar sebelum dikirim.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 25
Pada tahap instrumentasi laboratorium RS dituntut memiliki kemampuan : – cara-cara pemeriksaan yang benar – sesuai dengan prosedur yang seharusnya – dijamin dengan pemantapan mutu secara berkala Sedangkan tahap pasca instrumentasi menuntut : – ketelitian pencatatan – kemampuan pengolahan dan penyimpanan data – kecepatan penyebaran informasi ke pihak-pihak yang memerlukan Anggota tim dari laboratorium harus mampu menilai hasil yang dikeluarkan oleh laboratoriumnya dari sudut pandang epidemiologi dan infeksi nosokomial. Hasil yang keluar harus mampu dipastikan betul-betul sebagai penyebab infeksi dan bukan suatu kontaminan atau suatu kolonisasi belaka; sehingga pada akhirnya ketajaman data surveilans dapat diperoleh dan dipakai sebagai dasar untuk penyusunan program selanjutnya(1,2,3).
EVALUASI DATA Anggota tim unit laboratorium juga dituntut untuk dapat mengevaluasi dan menganalisa kumpulan data laboratorium mikrobiologi sehingga pola mikroorganisme penyebab infeksi di RS tersebut dari waktu ke waktu dapat diketahui dan dipelajari. Selain itu pola resistensi terhadap antimikroba yang digunakan RS tersebut untuk masing-masing mikroorganisme perlu dilaporkan dari waktu ke waktu. Hal ini diperlukan untuk melihat efektivitas antimikroba yang dipakai dan menghentikan penggunaan antimikroba yang sudah tidak efektif lagi. Dalam hal ini tim penanggulangan IN akan terlibat kerjasama dengan panitia atau komisi antibiotika dan terapi RS. Berdasarkan data laboratorium dari tim IN maka komisi antibiotika akan dapat menentukan pemilihan jenis antimikroba yang masih boleh digunakan dan yang perlu ditarik, sehingga pada akhimya akan menyederhanakan jenis antimikroba yang dipakai, mencegah pemborosan dana dan menekan tingkat resistensi kuman(1,2,3).
SURVEILANS LABORATORIUM Surveilans laboratorium adalah pengumpulan data dari hasil laboratorium, khususnya laboratorium mikrobiologi terhadap biakan kuman dari bahan yang diperiksa. Surveilans dapat dilakukan secara aktif yaitu dengan memeriksa bahan yang telah ditetapkan oleh panitia pengendalian IN atau secara pasif dengan mengevaluasi hasil yang diperoleh dari pemeriksaan seharihari(1,6).
KEJADIAN LUAR BIASA Pada kejadian luar biasa (KLB) di mana terjadi peningkatan tiba-tiba angka kejadian infeksi nosokomial, maka pihak laboratorium RS harus siap dengan petugas dan tatacara penanggulangan KLB tersebut. Dalam hal ini terutama dituntut kecepatan dalam diagnosis penyebab kejadian dan pola penyebarannya. Pemeriksaan tidak saja perlu dilakukan terhadap pasien yang dicurigai terkena infeksi nosokomial, tetapi mungkin juga diperlukan pemeriksaan terhadap petugas dan lingkungan RS. Hal ini tentu harus diperlakukan secara khusus dan di luar kegiatan rutin yang memang sudah ada(2,3).
DATA LABORATORIUM Data laboratorium merupakan salah satu data penting dalam surveilans infeksi nosokomial. Gabungan antara data yang diperoleh dari laboratorium dengan hasil surveilans klinik mutlak dilakukan untuk mendapatkan gambaran angka kejadian IN yang tepat. Berdasarkan gambaran angka kejadian tersebut, dapat ditentukan tindakan pencegahan selanjutnya. Tindakan pencegahan harus dapat dilakukan secepatnya berdasarkan penyebab yang ada dan permasalahan yang ditimbulkan. Dalam hal mikroorganisme penyebab infeksi, maka diperlukan identifikasi dan pelaporan yang cepat dan tepat; hal ini penting karena bila masih diperlukan data tambahan, besar kemungkinan penderita yang bersangkutan masih dalam perawatan di rumah sakit(3,6). PELAPORAN DATA Pelaporan data yang periodik atau berkalapun harus segera dapat disebar luaskan; karena bila tidak, data itu tidak akan ada manfaatnya lagi. Pada keadaan tertentu, laboratorium dituntut untuk segera melaporkan bilamana ditemukan kuman-kuman patogen seperti : – N. meningitidis dalam cairan otak – M. tbc pada petugas RS – S. aureus dari neonatus – S. pyogenes pada apusan tenggorok Hasil tersebut dilaporkan sebelum hasil lengkapnya selesai. Di sini letak pentingnya sarana komunikasi antara laboratorium dengan ruang perawatan(2,3,6).
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
PEMERIKSAAN LINGKUNGAN RS Pemeriksaan rutin atau periodik terhadap petugas atau lingkungan RS tanpa indikasi, sama sekali tidak dibenarkan; selain membuang dana yang besar, pemborosan tenaga dan waktu, nilai informasi yang didapat juga tidak banyak manfaatnya. Pemeriksaan lingkungan atau petugas rumah sakit akan bermanfaat bila memang dibutuhkan, misalnya pada saat terjadi kejadian luar biasa di ruang operasi, atau peningkatan infeksi nosokomial di suatu ruang perawatan. Beberapa hal yang perlu diperiksa bila terjadi KLB di ruang operasi antara lain : – permukaan meja operasi – peralatan-peralatan lain dalam ruang operasi – lantai – udara – air Sebaliknya, beberapa hal yang perlu dilakukan secara terus menerus adalah memeriksa sterilitas alat-alat perlengkapan operasi yang disterilkan di pusat sterilisasi rumah sakit atau pemeriksaan berkala formula makanan bayi. Selain itu alat-alat yang tidak dapat disterilkan dengan autoklaf tetapi menggunakan larutan desinfektan, dari waktu ke waktu perlu diperiksa sterilitasnya. Hal ini berlaku untuk peralatan anestesi, alat-alat endoskopi atau tuba endotrakeal(2,3).
Di bawah ini beberapa pemeriksaan yang mungkin diperlukan untuk suatu surveilans mikrobiologik infeksi nosokomial : – Ujung kateter intravena pada phlebitis (infeksi luka infus/ ILI)(7). – Ujung kateter urin atau win yang diaspirasi langsung dari ujung proksimal kateter urin pada infeksi saluran kemih (ISK)(8). – Pus dari bagian dalam infeksi luka operasi (ILO)(9). – Bahan darah pasien sepsis, khususnya neonatus(7). – Apusan rektal pasien enteritis, terutama neonatus(10).
KESIMPULAN Dan bahasan di atas jelas suatu program penanggulangan infeksi nosokomial RS merupakan suatu program terpadu yang melibatkan semua unsur di rumah sakit tersebut. Program dapat berjalan dengan baik apabila koordinasi antar semua unsur yang terlibat baik, adanya kerjasama antar masing-masing unsur serta kesadaran untuk berperan aktif, dan yang tidak kurang pentingnya adalah dukungan penuh dari pimpinan RS. Dalam hal ini peran laboratorium RS, khususnya laboratorium mikrobiologi merupakan salah Satu mata rantai yang penting.
KEPUSTAKAAN 1.
Astrawinata DAW. Peranan Laboratorium dalam Penanggulangan Infeksi Nosokomial. Penataran/Pelatihan Pengendalian Infeksi Nosokomial RSCM, Jakarta, 1989. 2. Ryan KJ. Nos000mial Infections and Infection Control. In: Sherris, JC. (ed.) Medical Microbiology : an introduction to infectious diseases. New York: Elsevier, 1984: 655-63. 3. McGowan, JE Jr. Role of the Microbiology Laboratory in Prevention and Control of Nosocomial Infections. In: Lennette EH et al (ads). Manual of Clinical Microbiology. 4th ed. Washington DC: ASM Pub1.,1985:110-22. 4. de Leon SP. Organizing for Infection Control. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 56-60. 5. Wenzel RP. The Infection Control Committee. In: WenzelRP(ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 109-15. 6. Thompson RL. Surveillance and Reporting of Nosocomial Infections. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 70-82. 7. Hammy BH. Nosocomial Bloodstream and Intravascular Device-Related Infections. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 283-319. 8. Garibaldi RA. Hospital Acquired Urinary Tract Infections : Epidemiology and Prevention. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 335-43. 9. Mayhall CG. Surgical Infections Including Bums. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 344-84. 10. Hughes JM, Jarvis WR. Nosocomial Gastrointestinal Infections. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 405-39.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 27
Kebiasaan Cuci Tangan Petugas Rumah Sakit dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial D. Anwar Musadad, Agustin Lubls, Kasnodlhardjo Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Tangan tidak pernah bebas dari berbagai macam kuman. Kuman-kuman tersebut bisa berasal dari benda atau alat yang terkontaminasi, atau tinggal secara menetap pada tangan(1). Dengan demikian kebiasaan cuci tangan sebelum melakukan sesuatu pekerjaan menjadi penting artinya dalam upaya pencegahan infeksi. Di Rumah Sakit (RS) kebiasaan cuci tangan petugas merupakan perilaku yang mendasar sekali dalam upaya mencegah cross infection (infeksi silang), mengingat RS sebagai tempat berkumpulnya segala macam penyakit, baik menular maupun tidak menular. Demikian pula RS selalu dihuni, dikunjungi dan digunakan oleh berbagai macam pejamu yang rentan sehingga mudah terjadi infeksi nosokomial. Dari berbagai tulisan diketahui bahwa kejadian infeksi silang di RS kebanyakan terjadi melalui tangan petugas RS yang tercemar kuman karena kontak dengan pasien/penderita, karier, bahan/alat atau dengan lingkungan yang tercemar(2,3,4,5). Bahkan tangan petugas RS tidak saja merupakan alat pasif dalam penyebaran bakteri gram negatif, tetapi dapat juga merupakan reservoar organisme nosokomial(4). Mengingat pentingnya cuci tangan dalam pencegahan infeksi nosokomial, maka dilakukan studi tentang kebiasaan cuci tangan petugas RS. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di seluruh Rumah Sakit Umum (RSU) Pemerintah yang ada di DKI Jakarta. Sebagai responden penelitian adalah tenaga paramedik perawatan (PP) dan tenaga medik (dokter). Jumlah responden keseluruhan 415 orang, terdiri dari 293 orang PP dan 122 orang dokter yang diambil secara systematic random sampling dari daftar petugas yang ada di masing-masing RS.
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan, pengamatan perilaku dan pemeriksaan laboratorium dari spesimen usap tangan petugas. Data perilaku cuci tangan yang dikumpulkan meliputi praktek cuci tangan, cara cuci tangan, waktu cuci tangan dan penggunaan desinfektan dalam melakukan cud tangan. Sampel usap tangan diambil dari 5 orang PP di setiap RS. Pengambilan dilakukan dengan menggunakan kapas steril yang sudah dicelupkan ke dalam akuades steril. Kapas tersebut diusapkan secara silang di telapak tangan kemudian dimasukkan ke media phosphate buffer saline dalam botol untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diperiksa jumlah kumannya. HASIL Hasil wawancara menunjukkan sebagian besar (95,2%) petugas paramedis perawatan (PP) mengaku selalu melakukan cuci tangan sebelum makan atau memegang makanan. Dari sejumlah itu 84,6% mengaku mencuci tangan hingga ke lengan dan sisanya mencuci hanya jari dan telapak tangan saja. Sebagian besar (87,0%) sewaktu mencuci tangan selalu menggunakan sabun. Sebagian besar (93,5%) juga mengaku selalu mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air besar. Dalam penanganan pasien, sebagian besar PP (85,0%) mengaku selalu mencuci tangan sebelum menangani pasien dan 96,9% mencuci tangan sesudah menangani pasien. Dalam mencuci tangan, sebagian besar (81,8%) mengaku menggunakan desinfektan, 17,4% menggunakan sabun dan 1,0% hanya dengan air saja. Cara mencuci yang dilakukan, 15,4% mencuci jari dan telapak tangan dan 84,6% mencuci tangan sampai ke lengan. Di antara mereka yang kadang-kadang atau sama sekali tidak mencuci tangan, 28,6% mengatakan tidak praktis, 28,6% merasa tangannya tidak kotor dan 42,8% tergantung pada penyakit pasien. Sementara itu di kalangan dokter temyata hanya 41,8%
yang mengakui selalu mencuci tangan pada saat sebelum menangani pasien dan 69,9% mencuci tangan pada saat sesudah menangani pasien. Dan mereka yang mengaku selalu mencuci tangan baik sebelum maupun sesudah menangani pasien 58,2% mengaku mencuci jari dan telapak tangan saja. Para dokter tersebut dalam mencuci tangan 28,7% menggunakan sabun, 62,3% menggunakan desinfektan dan sisanya hanya dengan air. Di antara mereka yang kadang-kadang atau sama sekali tidak mencuci tangan 31,3% memberikan alasan fasilitasnya tidak tersedia, 15,6% memberi alasan airnya tidak mengalir, 25,0% karena lupa dan 28,1 % tergantung pada keadaan. Baik PP maupun dokter ternyata sebagian besar tidak melakukan cuci tangan sebelum menangani pasien. Biasanya mereka mencuci tangan hanya pada saat setelah penanganan pasien secara keseluruhan selesai. Tabel 1.
Selalu n
1. Sebelum makan – PP – Dokter 2. Setelah buang air besar – PP – Dater 3. Sebelum menangani pasien – PP – Dokter 4. Setelah menangani pasien – PP – Ddcter Tabel 2.
%
279 95,2 – –
Jenis Tenaga 1. PP 2. Dokter Tabel 4.
Kadang– kadang
Tak Pernah
Jumlah n
n
%
n
%
14 –
4,8 –
0 –
0,0 –
%
2 –
0,7 –
249 85,0 51 41,8
33 58
11,3 47,5
11 13
3,5 293 100,0 10,7 122 100,0
284 96,9 79 69,9
5 33
1,7 29,2
4 1
1,4 0,9
293 100,0 113 100,0
1. PP 2. Dokter
Jari dan Telapak Tangan
Sampal Lengan
Jumlah
n
%
n
%
n
%
45 71
15,4 58,2
248 51
84,6 41,8
293 122
100,0 100,0
Dalam perawatan kuku jari tangan sebagian besar petugas mengaku selalu melakukan pemotongan kuku secara rutin sekali dalam satu minggu (Tabel 3). Hasil pengamatan menunjukkan 85% PP keadaan kuku dan tangannya relatif bersih. Hasil pemeriksaan sampel usap tangan terhadap 35 orang PP menunjukkan 97,1% sampel kandungan kumannya antara 19 x l02 dan 15 x 106 kuman (Tabel 4). PEMBAHASAN Sebagian besar petugas RS yang diteliti baik PP maupun dokter mengaku selalu melakukan cuci tangan baik sebelum maupun sesudah menangani pasien; namun dalam kenyataannya tidak demikian. Hasil pengamatan perilaku menunjukkan bahwa
n
%
n
%
n
%
n
%
94 33
32,0 27,1
110 66
37,5 54,1
89 23
30,4 18,9
293 122
100,0 100,0
Pemeriksaan populasi kuman pada usap tangan petugas para medis perawatan di 7 RS dl DKI Jakarta Angka kuman 65 x 102 29x 103 17 x 103 355 x 102 182x 103 31 x 103 61x103 11 x 104 1155 x 103 54x103 425 x 102 48 x 103 46x 103 209 x 103 355 x 102 18 x 103 22x104 285x 103 135 x 102 15 x 106 137 x 104 105 x 102 53x104 41 x 103 0 142 x 103 19 x 102 115 x 102 28 x 103 6x 103 81 x 103 3x103 66 x 103 178 x 103 62x103
03
05
06
Cara Mencuci Tangan Petugas RS
Jenis Tenaga
Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
293 100,0 – –
5,8 –
Tak Tentu
No. Urut
04 17 –
1 kali/mg
01
293 100,0 – –
274 93,5 – –
2-3 kali/mg
Kode RS
02
Kebiasaan Mencuci Tangan Petugas RS
Saat Mencuci Tangan
Tabel 3. Kebiasaan Memotong Kuku Petugas RS
07
sebagian besarpetugas tersebut tidak melaksanakan cuci tangan. Ini terlihat pada waktu petugas akan memeriksa pasien, baik saat pertama kali atau pergantian dari pasien satu ke pasien lainnya. Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai melakukan pemeriksaan pasien keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan mereka hanya berdacarkan pengetahuan mereka saja. Tindakan mereka dalam menangani pasien tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Sedangkan bila melihat waktu melakukan cuci tangan menunjukkan tujuan mencuci tangan petugas lebih diperuntukkan bagi dirin.ya daripada kepentingan pasien. Sebagian petugas dalam melakukan cuci tangan tampak hanya jari-jari tangan yang dicelupkan ke dalam waskom berisi desinfektan. Sepintas lalu tindakan demikian kelihatan asal-
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 29
asalan. Malahan sebagian dari mereka tidak melakukan cuci tangan sama sekali karena beberapa alasan antara lain fasilitas cuci tangan tidak tersedia, airnya tidak mengalir, lupa, menganggap tidak praktis dan merasa tangannya tidak kotor. Hal ini menunjukkan masih rendahnya disiplin dan kesadaran petugas akan pentingnya cuci Langan dalamm pencegahan infeksi atau penularan penyakit, di samping karena jumlah sarana cuci tangan yang terbatas. Hasil pengamatan di 7 RS temyata hanya 4 RS (57,1%) yang jumlah sarana cuci tangannya memadai dan hanya 42,9% yang keadaannya baik. Begitu juga adanya kandungan kuman yang relatif tinggi pada sebagian besar hasil usap tangan petugas menunjukkan rendahnya frekuensi cuci tangan dan cara cuci tangan yang belum benar, walaupun secara fisik tampak bersih. Tampaknya kebiasaan cuci tangan di kalangan petugas RS belum dilakukan sepenuhnya. Boleh jadi hal ini disebabkan budaya maupun alasan-alasan tertentu sehingga para petugas RS tidak melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Hasil penelitian R.K. Albert and Condie F. (1981) pada petugas medik suatu intensive care unit di Seattle, Amerika menunjukkan bahwa hanya 41% kontak dengan pasien yang diikuti dengan mencuci tangan. Kalangan dokter lebih sedikit (28%) dibandingkan dengan perawat (41%). Begitu juga hasil penelitian L.J. Taylor (1978) tentang teknik mencuci tangan tenaga perawat di Inggris menunjukkan 89% cara mencuci tangannya belum baik(6). Pada dasamya tindakan mencuci tangan tergantung pada tipe, intensitas dan lamanya kontak dengan pasien. Umumnya kontak yang sangat singkat seperti berjabat tangan dengan pasienpasien tidak memerlukan cuci tangan. Sebaliknya kontak yang lama dan intens memerlukan cuci tangan(3). Tetapi buruknya kondisi lingkungan di RS menjadikan cuci tangan tetap diperlukan setiap akan melakukan suatu tindakan, khususnya tindakan-tindakan invasif atau pembedahan serta di ruanganruangan tertentu. Dan berbagai penelitian diketahui bahwa keadaan sanitasi RS masih belum memadai dan ditemukan berbagai kuman penyebab infeksi nosokomial pada ruanganruangan dan berbagai peralatan di RS(1.7.8.9.10). Untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, maka seluruh petugas RS pada waktu tiba di RS, sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan perlengkapannya, setelah dari kamar mandi/WC, sebelum dan sesudah makan, jika tangan tampak kotor dan sebelum pulang ke rumah diharuskan melakukan cuci tangan(1,2,3,4,5,11,12). Pencucian tangan rutin selama kegiatan perawatan pasien dianjurkan menggunakan air bersih yang mengalir dengan menggunakan sabun(1,3). Sedangkan untuk tindakan-tindakan lain khususnya tindakan insersi diperlukan antiseptik(3). Penggunaan air dan sabun serta antiseptik dapat menghilangkan kuman-kuman dan kotoran. Penelitian Casewell & Philips (1977) menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan air (tanpa sabun) dapat menghilangkan kurang dari 98% Klebsiella, sedangkan dengan menggunakan sabun dapat menghilangkan lebih dari 98% Klebsiella. Penelitian EJ.L. Lowbury et al menunjukkan bahwa mencuci tangan
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
menggunakan sabun dapat mengurangi jumlah Staphylococcus aureus rata-rata 99,7% dan Pseudomonas aeruginosa 99,8%0). Sedangkan hasil penelitian K. Sprunt et al (1973), pencucian tangan dengan menggunakan sabun dapat menghilangkan 67 – 100% coliform (median 96%)(1,3).. Hasil pengamatan terhadap jenis fasilitas cuci tangan: seluruh RS menggunakan waskom (wash-basin) dan hanya 3 RS (42,9%) yang menggunakan wastafel. Penggunaan waskom pada prakteknya dipakai seharian penuh tanpa diganti larutan desinfektannya sehingga memungkinkan waskom tersebut menjadi sumber kontaminasi. Sebaliknya wastafel yang ada menggunakan putaran kran air biasa dan sebagian tidak dilengkapi sabun. Keadaan demikian memungkinkan terjadinya kontaminasi dan hasil pencucian kurang bersih. Sardjito dkk yang melakukan penelitian mengenai populasi kuman pada berbagai peralatan, udara, bahan makanan dan petugas di beberapa RS di Jakarta menemukan Klebsiella pneumoniae dan kuman aerob berspora pada larutan desinfektan dan Proteus vulgaris, coliform dan kuman aerob berspora pada putaran kran air(8). Ditemukannya kuman-kuman pada waskom larutan desinfektan mungkin karena jarangnya larutan desinfektan atau air tersebut diganti sehingga petugas yang mencuci tangan bukannya menjadi bersih tetapi justru terkontaminasi kuman dari petugas yang mencuci tangan terlebih dahulu. Sedangkan sering ditemukannya kuman pada putaran kran air disebabkan adanya reinfeksi karena tangan yang sudah bersih digunakan untuk menutup kran air yang sudah terkontaminasi tangan kotor pada saat membuka kran(1). Untuk itu dalam melakukan cuci tangan dianjurkan menggunakan air yang mengalir dengan putaran kran yang dioperasikan dengan kaki(1) atau siku. Penggunaan waskom sebagai sarana cuci tangan dapat diterima asalkan frekuensi penggantian air dan desinfektan dalam waskom dilakukan sesering mungkin. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di atas maka diperoleh kesimpulan bahwa tindakan cuci tangan petugas RS masih rendah, khususnya pada waktu sebelum menangani pasien. Hal tersebut disebabkan oleh 1) kurang memadainya fasilitas cuci tangan, 2) kurang adanya kesadaran petugas akan pentingnya cuci tangan dalam pencegahan infeksi nosokomial dan 3) kurang adanya pengawasan. Untuk itu disarankan : 1. Peningkatan jumlah dan kualitas fasilitas cuci tangan, khususnya wastafel yang putaran krannya dioperasikan dengan kaki atau siku. 2. Diadakan peraturan dan tanda-tanda peringatan yang jelas di setiap ruangan tentang keharusan mencuci tangan. 3. Perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap kebiasaan cuci tangan petugas khususnya yang berhubungan langsung dengan pasien. 4. Peningkatan kesadaran petugas tentang pentingnya cuci tangan melalui penyelenggaraan penyegaran tentang pencegah-
an infeksi nosokomial. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Ekologi Kēsehatan yang telah memberikan kesempawn kepada penulis untuk melakukan penelitian. Begitu pula kepada seluruh Direktur dan staf RS yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.
6. 7. 8. 9.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.
Maurer IM. Hospital Hygiene, Third Ed, London: Edward Arnold Ltd, 1985. Freedman B. Sanitarian's Handbook, 4th Ed, New Orleans-Lousiana: Peerless Publ Co, 1977. US Department of Health And Human Services. Guidelines for the prevention and control of Nosocomial Infections, Georgia: Atlanta, 1981. Knittle MA, Eitzman DV, Baer H. Role of hand contamination of personnel in the epidemiology of gram-negative nosocomial infections, J Pediatr, 1975; 433. Dixon RE, Mallison GF. Nosocomial Infections. Dalam: Maxcy-Rosenau
10. 11. 12. 13.
Public Health and Preventive Medicine, Eleventh Ed, New York: Appleton-Century-Crofts, 1980. Feachem RG. Intervention for the control of Diarrhoeal Diseases among Young Children: Promotion of personal and domestic hygiene, Bull WHO, 1984; 62(3). Musadad DA, Lubis A, Kasnodihardjo, Sunanti Zalbawi, Djarismawati. Aspek sosiologis sanitasi Rumah Sakit di DKI Jakarta. Laporan Penelitian, Jakarta, 1989. Sardjito R, Rahim A, Elizabeth H. Pemantauan mikrobiologik lingkungan di dalam Rumah Sakit. Laporan Penelitian, Jakarta. Sardjito R, Rahim A, Suharto. Penelitian mengenai populasi kuman (mangan, udara, peralatan, bahan makanan/minuman dan petugas) di beberapa Rumah Sakit dan Laboratorium di Jakarta, Penelitian Terbaik FKUI 1984. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985. Gunawan N. Pelaksanaan Sanitasi Rumah Sakit di Jawa Tengah. Kumpulan Materi Seminar Sanitasi Rumah Sakit, Jakarta, 29 Pebruari – 1 Maret 1988. Panitia Penyusunan Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial. Petunjuk Teknis Pengendalian Infeksi Nosokomial Di RS DR Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1989. Departemen Kesehatan RI. Kumpulan Makalah Penataran Isolasi Penderita Penyakit Menular (Infeksi Nosokomial Dan Pencegahannya), Jilid II, Jakarta, 1984. Sprunt K, et al. Antibacterial Effectiveness of Routine Hand Washing, Pediatr 1973; 52.
Air sebagai Sumber Kontaminasi Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma, Jakarta
PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan utama makhluk hidup, tidak hanya bagi manusia, hewan dan tumbuhan tetapi juga mikroorganisme. Beberapa tipe mikroorganisme tertentu, dapat tumbuh dengan baik di dalam air, sehingga dapat mengganggu peruntukan air tersebut. Untuk sediaan farmasi terutama sediaan parenteral, air merupakan bagian yang sangat penting. Air ini digunakan untuk mencuci kontainer, peralatan, bahkan sering digunakan sebagai pembawa. Perusahaan farmasi memerlukan banyak air bersih, tentu lebih disukai air yang murni dan tidak mahal. Air yang baik untuk diminum biasanya mengandung berbagai kontaminan seperti elektrolit, substansi organik, mikroorganisme, partikel gas terlarut misalnya karbon dioksida, oksigen. Air minum sering mengandung klorin. Zat ini dapat dihilangkan dengan distilasi atau dengan berbagai proses purifikasi lainnya. Di USP, air yang digunakan sebagai vehicle sediaan injeksi harus memenuhi syarat waterier injection. Bahan ini merupakan air yang telah dimurnikan dengan distilasi atau reserve osmosis dan memenuhi syarat standar kemumian purified water. Standar kedua jenis air tersebut dapat dilihat pada tabel I. Air tersebut tidak hanya memenuhi syarat kemurniaan secara kimiawi saja, tetapi juga harus bebas dari substansi pirogenik yaitu penyebab terjadinya reaksi febril setelah injeksi sediaan steril. Zat ini dianggap berasal dari bakteri dan mempunyai sifat dapat lam t air, filtrable, termostabil, dan non volatile. Jumlah relatip kecil substansi ini sudah cukup menyebabkan efek samping yang serius dan reaksinya akan lebih serius pada injeksi intravena volume besar, karena dosisnya akan lebih besar dan langsung masuk ke pembuluh darah.
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Tabel 1.
USP XX Standards for Water Purity Numerical Interpretations of Standard. Components
pH Choride Sulfate Ammonia Calcium Heavy Metals Oxidizable Substance Total Solids Bacteriological Purity Pyrogens
Purified Water mg/1
Water for Injection mg/1
5.0 – 7.0 0.5 5.0 0.3 1.0 0.4 3.0 – 4.0 10.0 * –
5.0 – 7.0 0.5 5.0 0.3 1.0 0.4 3.0 – 4.0 10.0 ** ***
Note : * Complies with federal EPA regulations for drinking water. ** Depends on use. *** Absent by rabbit test, or below predetermined concentration, as measured by LAL test.
KONTAMINAN AIR Industri farmasi banyak membutuhkan air distilasi dan demineral. Untuk mendapatkan air tersebut diperlukan bahan baku air yang mempunyai kualitas baik, karena kualitas yang jelek dapat menimbulkan gangguan, baik dalam proses pembuatan air tersebut maupun air yang dihasilkan. Pada dasarnya ada 4 macam kontaminan yang ada dalam air. 1. Anorganik terlarut Garam anorganik di dalam air dapat terdisosiasi membentuk ion positip dan negatip, misalnya kalsium dan magnesium sebagai pembentuk kesadahan (hardness) air. Bila air diuapkan, ion-ion ini bersama dengan ion-ion seperti karbonat, dapat dien-
dapkan membentuk kerak (hard scale). Pembentukan kerak pada tabung evaporator dapat mengurangi transfer panas dan akhirnya akan mengurangi kapasitas. Untuk menghilangkan kerak ini diperlukan zat-zat kimia pembersih. 2.
Organik terlarut Substansi organik terlarut mencakup hasil samping berbagai pembusukan dan semakin meningkat dengan bt.rtambahnya produk-produk yang dihasilkan manusia seperti herbisida, pestisida, kloramin, trihalomethane dan detergen serta berbagai hasil bio-dekomposisi lainnya. Zat-zat organik terlarut ini dapat mengganggu evaporasi dan sangat berpengaruh pada resin penukar ion, karena dapat menyumbat atau melapisi tempat pertukaran, sehingga mengurangi keefektifan deionizer. Partikel tersuspensi Partikel terusupensi meliputi debu kerak, serabut, mineral dan organik tak larut. Partikel-partikel ini dapat dihilangkan dengan filtrasi dan dapat menyebabkan gangguan pada proses distilasi maupun demineralisasi.
Untuk mengetahui macam mikroorganisme yang terdapat dalam air dapat dilihat pada gambar 1. Untuk menjamin berfungsinya proses pemurnian air dengan baik, pre-treatment air baku sangat diperlukan, terutama untuk mengilangkan padatan tersuspensi dan untuk mengurangi kandungan substansi organik. Umumnya problem mengenai substansi ionogenik dapat ditangani dengan baik, namun substansi non-ionogenik seperti bakteri atau virus dapat menimbulkan masalah. PURIFIKASI AIR Di USP dinyatakan bahwa water for injection dapat dibuat dengan distilasi atau reverse osmosis dan harus memenuhi syarat kemumian pada purled water. Perbedaan keduanya terutama untuk water for injection harus memenuhi batas kandungan endotoksin bakteri.
3.
4.
Mikroorganisme Kontaminan mikroorganisme dalam air untuk keperluan farmasi mungkin dapat merupakan problem utama. Mikroorganisme tertentu dapat berkembang dengan baik di dalam air.
1. "Ion-exchange"/penukar ion. Penukar ion biasanya digunakan untuk pemurnian air yaitu untuk memperoleh air demineral dan softened water. Demi neralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan penukar kation dan anion. Setiap penukar ion dapat disusun pada kolom yang berlainan maupun pada kolom yang sama. Penukar ion pada umumnya menggunakan bentuk H* untuk penukar kation dan bentuk bentuk OH- untuk penukar anion. Ion H* akan menggantikan kation dalam air dan ion OH- akan menggantikan anion dalam air. Softener digunakan untuk menghilangkan ion kalsium dan magnesium, dan menggantinya dengan ion sodium. Proses ini banyak digunakan untuk mereduksi hardness air sebelum dipakai distilasi atau reverse osmosis. 2.
Distilasi Distilasi merupakan salah satu cara untuk memproduksi water for injection. Pada prinsipnya merupakan pemanasan air sampai mendidih dan uap aimya kemudian dilewatkan kondensor dengan temperatur rendah sehingga uap terkondensasi, lalu dikumpulkan dan disimpan. Kelemahannya beberapa kontaminan atau residu dapat terbawa kondensat. Untuk mengurangi residu atau kontaminan dan gangguan lain, diperlukan batas kandungan berbagai zat dalam air yang digunakan antara lain : 1. Magnesium,kalsium dan karbonat Pada saat evaporasi ion ini dapat mengendap bersama anion karbonat membentuk kerak hard scale. Pembentukan kerak pada tabung evaporator tentu dapat mengurangi transfer panas dan kapasitas. 2. Klorid,klorin bebas dan silika Klorid dan klorin bebas pada stainless steel dapat menyebabkan stress corrosion cracking, terutama pada daerah sambungan. Ini dapat terjadi pada konsentrasi relatip rendah. 3.
Fig. 1 Microorganisms occurring in water (mainly after Wailhausser 1978)
Reverse osmose (RO) Pemurnian air menggunakan membran reverse osmosis sering digunakan karena membran ini mampu memisahkan berbagai
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 33
ion, partikel, garam terlarut, substansi organik, subtansi koloid dan bakteri dari molekul air, sehingga diperoleh air berkualitas tingi. Osmosis merupakan proses dua larutan yang dipisahkan membran semi permeabel, di mans air akan bergerak melalui membran dari larutan konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi dalam usaha menyamakan konsentrasi di kedua sisi membran. Dengan menggunakan tekanan, proses osmosis akan berbalik, air melalui membran akan bergerak meninggalkan larutan pekat. Pada saat air merembes melalui membran, kotoran harus dibuang secara terus menerus untuk mencegah pengotoran membran. Membran yang digunakan untuk reverse osmosis biasanya merupakan polimer komplek. Polimer yang paling lazim digunakan yaitu Cellulose Acetate Triacetate (CA), polyamide (PA), Thin film composite (TEC) dan Sulfon composite. (tabel 2). konfigurasi membran RO yang paling lazim digunakan untuk pemumian air yaitu spiral wound dan hollow fibre. Perbedaan keduanya antara lain bahwa spiral wound dapat beroperasi pada tekanan lebih tinggi dan lebih mudah dibersihkan, sedangkan keuntungan hollow fibre yaitu jumlah area membran per unit volume lebih besar. Laju air yang dihasilkan tergantung pada sifat membran, kimiawi air yang digunakan dan kondisi operasi seperti temperatur dan tekanan. Pretreatment air baku sangat diperlukan untuk mengoptimasi sistem RO. Sistem RO mempunyai 2 macam bentuk yaitu : – One pass RO – Two pass RO (TPRO) Kemampuan sistem tersebut mengeliminasi berbagai substansi dapat dilihat pada tabel 3. Kedua sistem ini telah banyak digunakan untuk memperoleh purified water dan WFI; selain itu juga digunakan untuk menghasilkan airuntuk aplikasi medis seperti hemodialisis. Dalam usaha meningkatkan produktivitas sistem RO, Walter S. (1984) memberikan saran untuk memperhatikan hal-hal berikut: a. Mengeliminasi low flow areas Area tergenang dan aliran yang lambat dapat merupakan sumber kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan kesukaran Tabel 2.
Ro Membrane Environmental Characteristics. Cellulose Acetate 4-7
pH Temperature Rejection Oxidation Bacteria Fluxrate Tabel 3.
35°C Low-Medium Good Good Low-Medium
Polyamide 4-9 39°C Medium Poor Very Good Low
Amide Composite 3-10
Sulfane Composite 2-12
50°C High Poor Exeellent High
70C High Very Good Excellent Medium
Reverse Osmosis Rejection .
Dissolved Solids Organics (pytogens) Bacteria
One-Pass RO
Two-Pass RO
95% 99% 99%
99% 99,99% 99.99%
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
pembilasan zat-zat kimia pembersih: b. Sanitasi Sanitasi rutin dan pemeliharaan yang tepat akan menyebabkan kerja sistem dapat diandalkan dan kualitas air yang dihasilkan akan konsisten. Proses pembersihan dapat dilakukan sebagai preventif atau pencucian aktif. Zat-zat kimia yang biasa digunakan untuk sanitasi membran RO antara lain : – Klorin, digunakan untuk membran yang stabil dalam lingkungan oksigen seperti CA dan polisulfon. Konsentrasi 10 mg/1 selama 30 menit, sudah merupakan cara sanitasi yang baik. – Peracetic acid, efektif untuk membran RO oxidizablestable dengan konsentrasi 100 mg/I selama 30 menit. Keuntungan zat ini yaitu mudah dibilas. – Formalin, biasanya digunakan untuk membran RO yang peka terhadap oksidasi kimia yaitu PA dan TFCRO. Formalin efektif digunakan pada konsentrasi 1-2% selama 1– 2 jam. Kelemahan zat ini yaitu sering sukar dihilangkan dari sistem. c. Pengontrolan Mikroprosesor dapat digunakan untuk mengontrol sistem RO secara terus menerus dan konsisten serta dapat mencatat semua kondisi sistem operasi. 4.
Pengelolaan Air yang sudah diperoleh hendaknya ditangani dengan baik sesuai dengan peruntukannya. Kontaminasi perlu dicegah karena beberapa mikroba dapat hidup dengan baik dalam air tersebut. Kruger (1980) telah melakukan percobaan untuk mengetahui perilaku berbagai mikroba pada air distilasi ganda dan demineral. Pada gambar 2 dan 3 dapat dilihat bahwa fungi dan yeast dapat hidup pada air distilasi ganda, bahkan Achromobacter sp dan Flavobacter sp dapat meningkatkan populasinya setelah 72 jam inokulasi. Sedangkan E. coli dan Pseudomonas aeruginosa populasinya menurun mendekati nol setelah 72 jam inokulasi. Problem utama pada air distilasi ganda dalam kaitannya dengan kontaminasi mikroba adalah pirogenitas. Substansi pirogenik ini berhubungan sangat erat dengan kontaminasi mikroba, seperti pernah diamati oleh Kruger (1980). Pada saat air distilasi ganda diinokulasi 100 organisme per ml dan disimpan pada temperatur kamar, setelah 1– 2 hari ternyata dapat menimbulkan pirogenitas pada saat diuji dengan LAL. Perilaku berbagai mikroba pada air demineral juga diamati oleh Kruger (1980). Dan mikroba yang digunakan, ternyata semua dapat tumbuh dengan baik sampai 72 jam pengamatan (gb. 4). PENUTUP Kontaminan air dapat berupa partikel tersuspensi, substansi terlarut atau mikroorganisme. Untuk memperoleh air yang murni, dapat menggunakan berbagai macam cara purifikasi, tergantung pada kegunaan air tersebuL Karena setiap cara mempunyai kemampuan mengeliminasi kontaminan berbeda-beda. Sebagai gambaran kemampuan mengeliminasi berbagai kontaminan oleh berbagai proses purifikasi dapat dilihat pada tabel 4. Air hasil proses purifikasi harus ditangani dengan baik, untuk mencegah kontaminan terutama mikroba. Karena sedikit daja terjadi kontaminasi dapat menyebabkan risiko pirogenitas.
Table 4.
Water. purification process comparison
(1) Actived carbon will remove chlorine by absorption (2) Special grades of carbon are available which exhibit excellent trace organic removal capabilities (3) Will remove organics based on molecular weight cutoff of ultrafilter membrane (4) Certain UV oxidation systems have been specifically designed to exhibit excellent trace organic removal capabilities. These are not tobeconfused with UV sterilizers (5) UV systems, while not physically removing bacteria, may have bactericidal or bacteriostatic capabilities limited by intensity, contact time and flowrate KEPUSTAKAAN
Note : E – G – P –
Excellent - capable of complete or total removal Good - capable of removing large percentages Poor, little or no removal
1. Ultrafiltration or reverse osmosis for low bacteria count water for purified water. Hartech. 2. The United States Pharmacopea 21st. rev. Rockville USP Convention, Inc. 1984. 3. Groves MJ. Parenteral Products, London: William Heinemann Medical Books Ltd. 1973 : 48 - 166. 4. Kruger D. Water as Source of Microbial Contamination-a New Possible Method of Influence. Part I. Drug Made in German 1980; 23 (1) : 16 - 20. 5. Mahoney RF. Distillation Pretreatment Equipment Considerations, Pharmaceutical Engineering, 1984; March - April : 26 - 32. 6. Marquadi K. State of the An in Ultra - Pure Water Technology - New Trends, Drug Made in German, 1985; 28 (2) : 82 - 94. 7. Rossler R. Water and Air, two important Media in the Manufacture of Sterile Pharmaceuticals, with regard to the GMP, Drug Made in German, 1976 ; 19 (4) t 130 - 6. 8. Standnisky W. Reverse Osmosis, Technology and Systems for Water Purification, Pharmaceutical Engineering, 1984 : March - April : 34 - 6.
Men's natures are all -alike; it is their habit that carry them apart (Confucius)
Infeksi pada Transplantasi Ginjal dan Pencegahannya R.P. Sidabutar, Suhardjono Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Pada masa lalu, yaitu tahun 1960-an infeksi masih merupakan penyebab kematian yang utama pada transplantasi ginjal(1); lebih dari 50% penderita transplantasi meninggal karena infeksi, baik bakteri konvensional ataupun infeksi opurtunistik dan jamur. Dalam masa kurang dari 1 bulan pasca operasi, angka kematian akibat infeksi mencapai 25% dari seluruh kematian(1). Semakin lama mortalitas akibat infeksi dengan jelas menunjukkan penurunan(2); hal ini disebabkan oleh semakin majunya teknik pembedahan, pencegahan dan pengobatan infeksi serta imunosupresi. Walaupun sudah banyak kemajuan yang didapat pada masa ini, infeksi pada transplantasi ginjal masih menjadi masalah. Sering resipien pada suatu saat, dirawat kembali oleh karena infeksi yang dialaminya yang membahayakan jiwa dan ginjalnya. Transpiantasi ginjal hanya dapat berhasil baik apabila kita dapat memberikan dosis obat yang cukup mensupresi mekanisme rejeksi, akan tetapi tidak menurunkan kemampuan imunitas tubuh untuk mengatasi infeksi. INFEKSI PADA TRANSPLANTASI GINJAL Pada dasarnya ada 2 jenis infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi bakteri konvensional dan infeksi yang tidak konvensional. Infeksi pada 4 minggu pertama transplantasi umumnya adalah konvensional oleh karena tindakan operasi. Apabila terjadi infeksi tidak konvensional seperti infeksi virus yang jarang, jamur, protozoa atau tuberkulosis, kemungkinan memang penderita sudah mengidap penyakit tersebut sebelumnya. Pemberian dosis tinggi imunosupresi memungkinkan eksaserbasi dan diseminasi infeksi-infeksi ini. Kemungkinan Dipresentasikan pada : Simposium Infekri Nosokomiat pada Pasien Imunokompromi, Jakarta 8 Februari 1992.
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
yang lain adalah akibat infeksi nosokomial. Infeksi bakteri pada 1 bulan pertama biasanya terdapat pada saluran kencing, luka operasi, sistim pernapasan, dan akses vaskuler. Infeksi ini dapat berlanjut menjadi septikemia yang berakibat fatal. Infeksi bakteri yang tidak konvensional seperti listeria, mikobakteria, legionella dapat terjadi kemudian. Virus herpes simplex cukup sering terjadi dan awal, akan tetapi umumnya self limiting. CMV cukup sering didapat, dan menimbulkan banyak masalah, biasanya terdapat sesudah 1 bulan. Herpes zoster dapat terjadi setelah bulan-bulan awal transplantasi. Infeksi nocardia, jamur, protozoa, lebih jarang didapatkan. Infeksi jamur mencapai puncak tertinggi pada 2 - 3 bulan pasca transplantasi ketika dosis prednison masih sekitar 60 mg/hari .(Gambar 1). PREDISPOSISI INFEKSI Penderita transplantasi ginjal lebih mudah mendapat infeksi oleh karena beberapa faktor(3) : 1. Penderita sudah lama dalam keadaan uremia, anemia yang membuat sistim kekebalan rendah. 2. Faktor obat-obat imunosupresi, selain itu Alga prednison memperlambat penyembuhan luka. 3. Operasi yang meliputi vaskuler dan saluran kemih, kemungkinan kontaminasi. Selain dosis steroid yang tinggi, infeksi dimudahkan dengan adanya netropenia, hiperglikemia, fungsi ginjal yang kurang, hepatitis, splenoktomi. Infeksi pada luka dipengaruhi oleh adanya hematom, fistula urin, ada tidaknya diabetes dan asal ginjalnya(4). Jadi pengalaman dan kemahiran ahli bedah amat berperan terhadap timbulnya infeksi pada luka operasi.
Pasca Operasi Luka operasi tiap hari dibersihkan CVP line: hari ke-2 dicabut Kateter hari ke 3 - 5 dicabut Suction drain secepatya dicabut Antibiotika 3 - 5 hari Kultur darah, urin, drain, luka setiap hari selama 2 minggu. * Acydovir apabila ada indikasi (2 minggu atau lebih lama).
Evaluasi calon donor amat penting karena penularan penyakit melalui ginjal yang ditransplantasikan mungkin terjadi. Di Indonesia semua transplantasi dilakukan dengan donor hidup, sehingga lebih menguntungkan oleh karena kita mempunyai cukup waktu untuk memerilcsa donor dan memilih yang sehat. Pemeriksaan serologik HIV akhir-akhir ini mulai dilakukan.
Gambar 1. Waktu terjadlnya Infeksi pada penderita transplantasi ginjal.
PENCEGAHAN INFEKSI PADA TRANSPLANTASI GINJAL Untuk mencegah infeksi, dalam pemeriksaan awal telah dibuat suatu prosedur untuk mencari kemungkinan adanya infeksi. Hal ini meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium baik dari calon donor maupun resipiennya. Kemudian dilakukan usaha-usaha untuk menekan kemungkinan terjadinya infeksi dari luar maupun dari dalam tubuh penderita sendiri (Tabel 1). Tabel 1.
Protokol pencegahan Infeksl transplantasi ginjal
Pemerlksaan awal Calon Resipien Foto thorax: tbc, bronkiektasis. Pemeriksaan gigi, THT; fokus infeksi. Pemeriksaan ginekologik Urin; kultur dan pemeriksaan Antibidy Coated Bacteria Darah: Virus; CMV, HSV, Hepatitis B, C (WR, VDRL, HIV) Kultur kulit, hidung, tenggorokan * Infeksi yang aktif harus diobati terlebih dulu. Pemeriksaan Awal Calon Donor Foto thorax Pielografi Intra Vena Urin, kultur, Antibody Coated Bacteria Darah: CMV, HSV, Hepatitis B, C. (TPHA, VDRL, WR, HIV) Pra operasi Sterilisasi kamar perawatan resipien; fogging dengan Resiguard, UV 24 jam Penderita mandi dengan antiseptik Daerah operasi dikompres betadin Dekontaminasi usus; Neomisin/Polymixin Oral Tobramycin/Colistin Mycostatin/Amphotericine B Antibiotika profilaksis
PENCEGAHAN INFEKSI PADA SAAT OPERASI Angka infeksi amat menurun dengan membaiknya teknik pembedahan, antara lain dengan menghindari terjadinya hematom, kebocoran urin dan pengumpulan limfe. Untuk menghindari pengumpulan darah, limfe atau pembentukan ruang yang menyebabkan infeksi bakteri, dipakai suction drain, walaupun dikatakan bahwa pemasangan drain menambah kemungkinan terjadinya infeksi. Operasi ulangan oleh karena sesuatu hal seperti perdarahan, kebocoran urin, akan menambah kemungkinan infeksi. Tak semua senter memberikan antibiotika profilaksis, walaupun banyak yang menganjurkan hal Mi. Kami di sini memberikan cephalosporin generasi ke-3 atau ampisilin selama 5 hari. PENCEGAHAN INFEKSI SESUDAH TRANSPLANTASI Penderita transplantasi sebaiknya dirawat di ruang yang semi steril, dengan prosedur yang biasa dilakukan di ruang steril. Setiap yang masuk memakai baju khusus, mencuci tangan dengan antiseptik, memakai masker. Selama minggu pertama dan kedua dilakukan pemeriksaan laboratorium setiap hari; Hb, lekosit dan lain-lain kultur, darah, min, drain, luka operasi, dilakukan setiap hari. Setiap dilakukan pengangkatan kateter atau drain atau i.v. line, selalu dilakukan pemeriksaan kultur pada ujung atau puntung alat-alat tersebut. Setelah minggu ke-2 apabila tidak ada indikasi lain kultur dilakukan 1 kali seminggu sampai penderita pulang. Pada umumnya penderita dipulangkan pada minggu ke-3 atau ke-4 pasca operasi. Antibiotika diberi apabila ada demam, sesuai dengan hasil kultur terakhir dan organ yang terkena. PENGALAMAN DI JAKARTA Dalam 12 tahun terakhir, 27% kematian pada transplantasi ginjal di RSCM dan RS Cikini, disebabkan oleh infeksi (Gambar 2). Dengan prosedur yang kami lakukan sampai saat ini, infeksi pada saat perawatan jarang terjadi. Pada perawatan pasca transplantasi kemungkinan tersering adalah terjadinya infeksi pada luka operasi; biasanya disebabkan oleh Stafilokokus aureus/
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 37
Gambar 2. Penyebab kematian pada Transplantasi Ginjal dalam kurun waktu 12 tahun d Jakarta
dalam jangka lama sering meningkatkan terjadinya infeksi virus atau jamur. Saat ini untuk profilaksis kami hanya memakai ampisilin selama 5 hari. Banyak pusat transplantasi di Amerika memakai Trimetoksasol-SMZ sebelum dan sesudah operasi untuk jangka yang amat lama(6). Akan tetapi angka infeksi yang terjadi ternyata masih lebih besar apabila dibandingkan dengan yang terjadi di sini. Penderita yang mengalami infeksi Legionella paru dapat tertolong dengan pemberian Siprofloksasin, tetapi kemudian meninggal karena residif dengan infeksi yang amat luas dan distres pernapasan. Obat anti virus tidak diberikan secara rutin sebagai profilaksis. Apabila terdapat tanda yang jelas dari infeksi virus, kami memberi Acyclovir parenteral atau oral; semua kasus Herpes Zoster menunjukkan perbaikan dalam waktu singkat dengan obat ini. Untuk pencegahan infeksi, calon donor yang menunjukkan infeksi CMV, HSV, tidak dianjurkan mendonorkan ginjal kepada resipien dengan hasil tes serologi yang negatif. Pada tiga orang yang mengalami infeksi jumur sistemik kami berikan Ampoterisin B. Obat ini menyebabkan toksisitas dan akhirnya penderita talc tertolong. Walaupun saat ini sudah ada obat anti jamur yang lebih aman, kami selalu ekstra hati-hati terhadap kemungkinan infeksi jamur. PENUTUP Infeksi pada transplantasi ginjal amat menentukan survival penderita dan ginjal cangkoknya. Oleh karena itu tindak pencegahan dan pengobatannya perlu terus diperbaiki. Sampai saat ini angka kejadian infeksi yang didapat di Indonesia tak berbeda dengan di negara maju. Hal ini juga membuktikan bahwa tidak selalu hal-hal yang dilakukan di luar negeri harus selalu diterapkan di sini. Banyak biaya yang dapat dihemat oleh karenanya. KEPUSTAKAAN
Gambar 3. Keseringan Inreksi dari 100 Transplantasl Ginjal dl Jakarta (Sidabutar, Suhardjono dan Sumardjono 1990).
albus yang masih sensitif terhadap ampisilin. Kami mendapatkan seorang penderita dengan abses yang cukup besar di bekas luka operasi dengan febris yang tinggi, setelah hampir 2 bulan pasca bedah. Dengan insisi dan pemberian ampisilin penderita ini dapat sembuh. Dalam kepustakaan pernah dilaporkan tetjadinya infeksi pada daerah bekas luka operasi pada 2 penderita setelah transplantasi ginjal 4½ dan 17 tahun(5). Pada satu kasus terdapat sisa benang nilon dan pada kasus yang kedua tidak diketemukan. Untuk profilaksis di awal program transplantasi ginjal kami memakai cephalosporin generasi ke-3 selama 7 hari. Dengan dimulainya pemakaian cyclosporin, kami mencurigai adanya peningkatan nefrotoksitas akibat kombinasi obat-obat ini, sehingga antimikroba ini kami hindari. Dari kesan yang kami alami selama ini, pemakaian antimikroba yang mempunyai spektrum lebar
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
1. Hill RB, Dahrling BE, Starzl TE, Rifkind D. Death after transplantation. An analysis of sixty cases. Am J Med. 1967; 42: 327-33. 2. Hill MN, Grossman RA, Feldman HI, Hurwitz SH, Dafoe DC. Changes in casse, of death after renal transplantation, 1966 to 1987. Am J Kidney Dis. 1991; 17: 512-S. 3. Winearls CG, Lane DJ, Kurtz J. Infectious complications after renal transplantation. Dalam Morris PJ (Ed.). Kidney Transplantation. Principles and Practice. 2nd ed. London, Grune & Stratton, 1984. 4. Kyrriakides GK, Simmons RL, Najarian JS. Wound infections in renal transplant wounds. Padaogenetic and prognostic factor. Ann. Surg. 1975; 182: 770. 5. Francis DMA, d'Apice AJ, Clunie GJA. Wound infections presenting several years after successful renal transplantation. Transpl. Proc. 1988; 20: 128-30. 6. Migliori RJ, Simmons RL. Infection prophylaxis after organ transplantation. Transplantation Proc 1988; 20: 396-399. 7. Rubin RH. Infection in the renal transplan patient. Dalam: Rubin RH, Young LS (eds). Clinical Aproach to Infection in Compromised Host. New York: Plenum, 1981. p 553-605. 8. Sidabutar RP, Suhardjono, Sumardjono. Transplantasi ginjal, pengalaman dan beberapa aspek khusus di Indonesia. Proc. Simposium Beberapa Aspek Penatalaksanaan Penyakit Ginjal, Jakarta 1990: 111-125.
Dampak Proses Chlorinasi Air pada Kesehatan Inswlasri , Agustina Lubis Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Senyawa-senyawa trihalomethane (THM) tclah ditemukan dalam air bersih untuk rumah tangga, air tanah, air permukaan dan dalam air kolam renang atau pemandian. Kadar paling tinggi terdapat dalam kolam renang. Untuk menghindari atau mereduksi terbentuknya THM, harus dihilangkan zat-zat organik terlebih dahulu sebelum proses' chlorinasi atau mengganti jenis disinfektan dengan jenis lain yang tidak menyebabkan terbentuknya THM. Tetapi dalam keadaan darurat THM dapat dihilangkan dengan merebus air selama 3–5 menit. Untuk kolam renang dengan sistem tertutup, sirkulasi udara harus dibuat sebaik mungkin, sehingga THM yang terdapat dalam udara di was permukaan air kolam tidak akan mengambang di tempat tetapi dapat pindah/mengalir mengikuti sirkulasi udara.
PENDAHULUAN Air selalu berada dalam sildus hidrologik sehingga relatif jumlahnya tetap. Air hujan turun ke bumi, sebagian meresap ke tanah menjadi air tanah dan sebagian lagi tinggal/mengalir di pennukaan tanah seperti danau dan sungai yang disebut dengan air permukaan. Air permukaan ini divapkan oleh panas matahari naik ke atas menjadi awan yang akhirnya terkondensasi menjadi embun atau hujan. Air yang sehat bagi kehidupan manusia adalah air yang tidak terkontaminasi dan tidak dapat menimbulkan penyakit yang disebarkan melalui air, bebas dari unsur-unsur yang beracun, dan bebas dari sejumlah mineral dan zat organik yang berlebihan(1). Pencemaran di kota-kota besar yang berasal dari limbah rumah tangga dan industri dapat menurunkan kualitas air. Air merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan. Kualitas dan kuantitas air sangat bervariasi tergantung dari peruntukannya. Standar kualitas air untuk kebutuhan hidup manusia (disebut air bersih) lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kualitas air untuk keperluan yang lain.
Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan masalah lingkungan makin besar dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari sangat sulit ditemukan air dengan kualitas yang memenuhi syarat. Oleh karena itu diperlukan pengolahan air yang ada agar sesuai dengan kualitas yang diinginkan seperti untuk air minum, air kolam renang dan sebagainya. PENGOLAHAN AIR Proses pengolahan air ini sangat tergantung dari karakteristik aii baku dan kualitas air yang diinginkan. Proses pengolahan air sēcara garis besar terdiri dari proses biologik, mekanik dan kimiawi. Dalam suatu unit pengolahan air biasanya digunakan kombinasi antara proses-proses tersebut. Khusus untuk proses kimiawi di antaranya adalah proses netralisasi dengan asam atau basa, chlorinasi/ozonisasi, pertukaran ion dan sebagainya. Proses chlorinasi adalah pembubuhan chlor atau senyawa chlor ke dalam air dengan tujuan untuk membunuh kuman atau menghilangkan bau (untuk industri). Senyawa-senyawa chlor
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 39
yang banyak digunakan dalam proses chlorinasi pada umumnya adalah gas chlorin, senyawa hipochlorit, chlorine dioksida, bromine chlorida, dihydroisocyanurate dan chloramine. Proses chlorinasi ini banyak digunakan dalam mengolah limbah industri, air kolam. renang, air minum di negara-negara yang sedang berkembang karena biayanya relatif murah, mudah dan efektif sebagai disinfektan. Reaksi kimia yang terjadi pada saat chlorinasi dengan gas chlor atau dengan kaporit adalah sebagai berikut : C12 + 2H2O –––––––––> HOCl + H+ + Cl– Ca (OC1)2 + 2 H2O –––––––––> 2 HOCI + Ca++ + (OH)– HOCI inilah yang membunuh kuman (sebagai disinfektan)(2). TERBENTUKNYA SENYAWA TRIHALOMETHANE Senyawa halogen organik yang mudah menguap (volatile halogenated organics) yang biasa disingkat dengan VHO terjadi pada proses chlorinasi dalam air yang mengandung bahan-bahan organik dengan konsentrasi tinggi. Senyawa-senyawa VHO tersebut sebagian besar ditemukan dalam bentuk trihalomethane (THM).Senyawa THM ini antara lain adalah Chloroform (CHC13), Bromodichloromethane (CHC12Br), Dibromochloromethane (CHClBr2), dan Bromoform (CHBr3)(3). Jika dalam proses chlorinasi di dalam air mengandung Br maka terjadilah reaksi sebagai berikut : Br– + HOC1 ––––––––––> HOBr + Cl– Dengan demildan di dalam air tersebut terdapat senyawa HOBr dan HOCI yang akan bereaksi dengan zat-zat organik membentuk THM(2). Terbentuknya THM dalam air minum Suatu penelitian yang dilakukan oleh Aggazzotti G. menemukan adanya senyawa THM dalam air minum setelah proses chlorinasi baik dengan gas Chlorine, sodium hypochlorite (NaC1O) maupun dengan chlorine dioksida (C1O). Air yang sama tidak mengandung THM ketika dianalisa sebelum proses chlorinasi dan bahan organiknya telah dihilangkan. Kadar THM maksimum yang terdeteksi adalah 41,8 ug/1(4). THM dalam kolam renang dan pemandian air panas Penelitian yang sama jugamenunjukkanbahwadalam kolam renang yang telah didesinfeksi dengan NaC1O atau dengan dichloroisocyanurate juga terbentuk senyawa THM, dan kadarnya lebih tinggi daripada dalam air minum. Hal ini disebabkan karena dalam kolam renang kandungan bahan organiknya lebih besar (karena mendapat tambahan bahan organik dari orangorang yang memakai kolam renang tersebut misalnya dari keringat dan urine). Perlu diketahui pula bahwa THM dalam kolam renang ini dapat dibebaskan ke udara di atas permukaan air tersebut (THM mudah menguap). Kadang-kadang THM ini bisa mencapai konsentrasi yang tinggi, khususnya dalam kolam renang yang tertutup (indoor pool). Dalam penelitian ini kadar THM dalam udara di atas permukaan kolam renang maksimum mencapai 787 ug/m3(4). Senyawa THM inilah yang akan terhirup oleh orang-orang yang secara teratur berkunjung ke kolam renang tersebut. Kadar THM maksimum dalam kolam renang mencapai 177,4 ug/1(4).
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Penelitian pada tahun 1983 yang dilakukan oleh Chambon dkk menemukan kadar chloroform dalam kolam renang berkisar antara 83 – 665 ug/1o), sedangkan dalam penelitian Lahl dkk tahun 1981 ditemukan kadar chloroform dalam kolam renang berkisar antara 50 – 980 ug/P. Penelitian yang dilakukan oleh Frank M. Benoit tahun 1986 di tempat-tempat pemandian air panas untuk umum menyatakan bahwa kadar chloroform dan bromoform dalam air adalah 35 – 674 ug/1 dan 37 – 3600 ug/1. Sedangkan kadar chloroform dan bromoform dalam udara di atas air tersebut berkisar antara 4 – 750 ug/m3 dan 0 – 910 ug/m3(6). Pembentukan THM akan meningkat pada proses thlorinasi air yang mengandung zat-zat organik (berasal dari asam humus, urine, keringat) suhu dan pHnya agak tinggi(7). THM dalam air permukaan dan air tanah Penelitian yang mendeteksi adanya THM dalam air permukaan maupun air sumur dalam menunjukkan bahwa air permukaan mengandung THM maksimum 25,3 ug/l(8) dicapai pada musim pans (di sungai Tone Jepang) dan maksimum 263 ug/1 di Itali(4). THM ini muncul karena air limbah yang pada umumnya terchlorinasi dan yang secara luas digunakan dalam aktivitas industri. Selain itu hasil penelitian ini menyatakan bahwa beberapa air tanah mengandung bahan-bahan organik yang tinggi walaupun berasal dari lapisan-lapisan yang dalam. Kadar THM maksimum yang terdeteksi dalam air tanah adalah 20 ug/1(4).
BAHAYA THM Senyawa THM diduga potensial karsinogenik terhadap manusia, sebab sifat ini telah terbukti pada percobaan terhadap tikus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat tumor ginjal pada tikus jantan dan tumor tiroid pada tikus betina yang diberi ransum makanan yang mengandung chloroform. Pada tikus, lemak tubuh adalah tempat penyimpanan chloroform yang sangat penting, dan jumlah yang lebih kecil didapatkan dalam hati, paru, urat dan ginjal(3). Dalam tubuh manusia, lebih dari 50,6% THM yang masuk melalui mulut (7 mg/kg berat badan) diubah menjadi CO2; tetapi ini tergantung pada kepekaan individu masing-masing. Dengan dosis 500 mg yang dihirup oleh seseorang, 18 – 67% dikeluarkan lagi dalam bentuk yang tidak berubah dalam waktu 8 jam. Sebagian besar metabolisme dari chloroform dikeluarkan melalui paru-paru sebagai CO2 atau melalui ginjal sebagai chlorine anorganik. Chloroform adalah suatu depresan sistim saraf pusat yang juga berpengaruh pada hati dan ginjal. Akibat yang paling cepat adalah kehilangan kesadaran yang mungkin diikuti dengan koma dan kematian. Bahaya pada ginjal dicatat 24 – 48 jam setelah terpapar dan bahaya pada hati setelah 2 – 5 hari, sehingga gejala keracunan muncul beberapa hari setelah terpapar. Dosis yang mematikan kira-kira 44 g atau 630 mg/kg berat badan untuk orang yang berat badannya kira-kira 70 kg. Dosis mematikan yang paling rendah yang pemah dicatat adalah 210 mg/kg berat badan. Penelitian lain yang menggunakan analisa statistik (analisa regresi) hasilnya hampir sama dengan studi-studi sebelum-
nya yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara angka kematian kanker kandung kemih dan kadar chloroform dalam air minum. Kadar total THM 30 ug/1 dalam air minum telah direkomendasi dengan konsumsi rata-rata 2 liter/hari. Akibat lain bila dalam air buangan timbul senyawa-senyawa THM yaitu akan memberi akibat yang besar terhadap lingkungan sumber air penerima dan mengganggu kehidupan ikan. Oleh karena itu United States Environmental Protection Agency (USEPA) telah menetapkan kadar maksimum kontaminasi total THM yang diperbolehkan dalam air minum adalah 0,10 mg/1. Pada saat ini, ada indikasi kuat bahwa standar total THM tersebut akan ditetapkan lebih rendah lagi. Dan lebih dari itu, mungkin standar yang lebih khusus untuk masing-masing jenis THM perlu ditentukan. CARA MENGHILANGKAN THM Untuk mereduksi THM harus dihilangkan penyebabnya yaitu zat-zat organik sebelum proses chlorinasi atau mengganti jenis disinfektan yang tidak menyebabkan terbentuknya THM(9.10,11.12,13). Untuk menghilangkan penyebabnya ada beberapa alternatif yaitu : 1) Memindahkan proses chlorinasi pada bagian yang paling akhir dengan tujuan bahan-bahan organiknya sudah dihilangkan sebelum proses chlorinasi. 2) Jika proses chlorinasi dipakai setelah proses koagulasi dan pengendapan atau setelah proses softening dan pengendapan, proses-proses tersebut perlu diperbaiki untuk mengoptimasi penghilangan bahan-bahan organik. 3) Mengoptimasi proses-proses pendahuluan sebelum proses chlorinasi untuk menghilangkan bahan-bahan organik. 4) Penggunaan adsorben (karbon aktif) untuk menghilangkan bahan-bahan organik sebelum proses chiorinasi. 5) Memperbaiki kualitas air baku atau memilih sumber-sumberalternatif yang tidak mengandung bahan-bahan organik tinggi. 6) Menggunakan kombinasi cara-cara tersebut di atas. Untuk mengganti jenis disinfektan ada beberapa disinfektan alternatif yang menghasilkan THM kecil sekali atau bahkan tidak menghasilkan sama sekali antara lain yaitu : − chlorine yang bebas chlorine dioksida − chloramine − ozone Dalam keadaan danurat, untuk mengatasi masalah sumber air minum yang telah tercemar oleh THM maka air tersebut harus direbus dahulu sebelum dipakai sebagai air minum. THM akan hilang bila air tersebut direbus sampai mendidih selama 3 – 5 menit.
KESIMPULAN Senyawa organik yang mudah menguap terjadi pada proses chlorinasi dalam air yang banyak mengandung zat organik. Senyawa ini sebagian besar ditemukan dalam bentuk trihalomethane(THM).Pembentukan THM akan meningkat pada proses chlorinasi air yang mengandung zat-zat arganik (berasal dari asam humus, urine, keringat), suhu dan pH tinggi. Trihalomethane yang terdeteksi dalam air tanah, air permukaan,air minum,air kolam renang dan pemandian umum,dan dalam udara di atas kolam renang, kadar tertinggi terdapat dalam air kolam renang. Karena THM tenmasuk senyawa yang bersifat karsinogenik makahanlsdihilangkan. Untuk menghindari terbentuknya THM perlu dihilangkan zat-zat organik sebelum proses chlorinasi atau dipilih disinfektan lain yang tidak menyebabkan terbentuknya THM. Dalam keadaan darurat THM dalam air minum dapat dihilangkan dengan cara merebus air sampai mendidih selama 3 – 5 menit.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13.
Fair GM, Geyer OC. Water Supply and Waste Disposal; John Wiley and Sans 1967. p. 9. Lahl U et al. Distribution and balance of volatile halogenated hydrocarbons in the water and air of covered swimming pools using chlorine for water disinfection. Water Res 1981; 15: 803-14. World Health Organization. Guidelines for Drinking-water Quality; vol. 2; Health Criteria and Other Supporting Information, p. 240-245, Geneva 1984. Aggazzotti G, Predieri G. Survey of Volatile Halogenated Organics (VHO) in 1ta1y; Water Item 1986; 20 (8): 959-634. Chambon P et aL Survey of trihalomethane levels on Rhone-Alps water supplies; Water Res 1983; 17: 65-9. Benoit FM, Jackson R. Trihalomethane formation in whirlpool Spas; Water Res 1987; 21 (3): 353-7. El-Rehaili AM, Webber Jr. WJ. Correlation of humic substance trihalomethane formation potential and adsorption behavior to molecular weight distribution in raw and chemically treated waters; Water Res 1987; 21(5): 573-83. Uchiyama M. et aL Changes of trihalomethane formation potentials in the Tone River; Water Res 1986; 20 (8): 999-1003. Reinhhold GW. Environmental Engineering Series; USA 1978, p. 355-55. Sakoda A. et aL Trihalomethane adsorption on activated carbon fibers; Water Res 1991; 25 (2): 219-25. Any GL et aL The effects of ozanation and activated carbon adsorption on trihalomethane speciatian, Water Res 1991; 25(2): 191-202. Taylor IS. et aL Trihalomethane Precursor Removal by the Magnesium Carbonate Process; Research and Development of United States Environmental Protection Agency, 1984. Watanabe H. The prevention of formation and removal of chlorinated organics in wastewater, the sixth US Japan Conference an Sewage Treatment Technology; Japan, 1979.
Manifestasi Mata Penyakit Sistemik
Human Taint Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto Mangunkusumo , Jakarta
ABSTRAK Mata tidak luput dari pengaruh penyakit sistemik. Ada pengaruh yang langsung mengakibatkan kebutaan dan ada juga pengaruh yang tidak mengakibatkan kebutaan. Pemeriksaan fundus penderita hipertensi, arteriosklerosis dan eklamsi sangat membantu menentukan keparahan penyakit, terutāmma dalam diagnosis awal dan pengamatan hasil pengobatan. Penurunan daya tahan tubuh penderita AIDS mengundang penyakit oportunis pada mata dan menyebabkan penyakit infeksi sukar disembuhkan. Diabetes melitus tergolong penyakit yang membutakan. Kebutaan di hari tua yang mengancam penderita diabetes dapat dihindarkan dengan pemantauan retinopati secara ketat dan penanganan yang tepat waktunya.
PENDAHULUAN Mata sebagai salah satu organ tubuh tidak luput dari pengaruh penyakit sitemik yang dapat berupa kelainan patologianatomik ringan sampai ke tingkat lebih parah. Penyakit sistemik dapat pula berakibat kebutaan. Pengenalan manifestasi suatu penyakit mata sistemik pada maw, dapat meningkatkan ketelitian diagnosis; ketrampilan memeriksa setiap organ tubuh, tennasuk bagian luar mata dan bagian dalam mata dapat membantu penentuan tingkat keparahan penyakit dan menetapkan prognosis. Ketrampilan funduskopi dapat melihat perubahan patologik pembuluh darah halus yang mewakili seluruh tubuho>. Demikian juga kualitas aliran darah di daerah mikrosirkulasi.Penyakit yang jelas manifestasinya pada mata, antara lain adalah hipertensi, arteriosklerosis, sindrom hiperviskositas, anemia, AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), dan diabetes melitus. HIPERTENSI Retina dan pembuluh darahnya mudah dipengaruhi hi-
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
pertensi. Salah satu target organ hipertensi adalah mata(2). Hipertensi ringan dan moderat yang berlangsung lama pada penderita umur muda,dapat mempercepat timbulnya sklerosis pembuluh darah halus. Perubahan dinding pembuluh darah halus retina dapat menjadi contoh perubahan yang terjadi pada organ tubuh lainnya. Hipertensi berat dan hipertensi maligna akan menimbulkan kelainan retina yang disebut retinopati. Retinopati ditandai dengan terlihatnya sembab retina, perdarahan retina berbentuk nyala api dan eksudat berbentuk kapas (cotton wool exudate). Pada hipertensi maligna kecuali retinopati juga terdapat papil edema (sembab papil) dan kadang-kadang disertai sembab koroid. Pada eklamsi di mana hipertensi terjadi pada ibu hamil tiga bulan terakhir, sangat akut dan berat, perubahan retina sedikit berbeda dengan retinopati hipertensi biasa. Kelainan retina yang menyolok adalah reaksi terhadap kelainan koroid di bawahnya. Jaringan koroid mengalami sembab berat dan mengalami gangguan permeabilitas sehingga terjadi pelepasan cairan yang mendesak retina, retina mengalami ablasi(3). Keadaan ini dapat dipakai sebagai indikasi kuat untuk mengakhiri kehamilan (ter-
minasi). Ablasi pada eklamsi akan sembuh sendiri mengiringi meredanya eklamsi, setelah bayi dikeluarkan. Hipertensi pada penderita yang telah mengalami arteriosklerosis karena proses penuaan, tidak lagi banyak menimbulkan perubahan retina. Jaringan telah terlindung oleh sklerosis (defence by sclerosis)(4). Perubahan retina terjadi karena gangguan sirkulasi dan nutrisi, berupa sumbatan arteri atau vena, atau degenerasi makula. ARTERIOSKLEROSIS Setiap orang yang mencapai umur 45 tahun akan mengalami penebalan dinding arteri berupa penumpukan zat kolagen pada lapisan otot(4). Pembuluh darah akan berangsur menyempit, alurnya lebih kaku, dan warna dinding berubah dari transparan menjadi lebih jingga sampai putih (copper wire dan silver wire). Penglihatan mundur tiba-tiba pada seorang berumur lanjut banyak yang disebabkan oleh tersumbatnya aliran darah uteri atau vena dan perdarahan makula akibat arteriosklerosis. SINDROM HIPERVISKOSITAS Sindrom hiperviskositas terjadi karena aliran darah terhambat, akibat darah yang lebih kental. Kekentalan dapat terjadi karena volume dan jumlah sel bertambah atau plasma lebih kental. Keadaan ini terlihat pada polisitemia; lekemia dan disproteinemia(5). Mata terlihat merah dengan pembuluh darah konjungtiva bertambah. Fundus refleks berwarna merah tua dan fundus memperlihatkan pengisian pembuluh darah yang berlebihan sehingga lumen arteri dan vena melebar, dismal peningkatan perkelokan. Setelah viskositas darah dipulihkan, warna dan bentuk pembuluh darah kembali normal. PENYAKIT DARAH Lekemia yang berat tidak hanya menyebabkan hiperviskositas, tetapi dapat menimbulkan sumbatan vena, dan infiltrasi sel lekosit pada jaringan lunak sekitar bola mata serta pada jaringan di dalam bola mata. Kelopak mata membengkak, mata menonjol dan sukar digerakkan. Fundus memperlihatkan pelebaran vena dan perdarahan retina, eksudat bebagai bentuk yang tersebar terutama di polus posterior. Anemia kronik bermanifestasi pada mata berupa pucat pada konjungtiva dan fundus yang disertai perdarahan retina dan preretina. Anemia akut akibat kehilangan darah yang berat, di samping pucat juga dapat terjadi kerusakan akut pada koroid dan retina yang tidak reversibel(6). Penyakit sel sikel (sickle cell disease) sering disertai pembentukan jaringan proliferasi di retina yang suatu waktu dapat menimbulkan ablasi retina. AIDS (ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME) Dengan menurunnya daya tahan tubuh penderita AIDS, maka penyakit yang mengenai mata, yang selama ini penyembuhannya ditunjang daya tahan tubuh, menjadi sukar disembuhkan(7,8). Ulkus kornea mengalami perforasi. Infeksi toksoplasma
pada retina dan koroid meningkat dan herpes zoster ophthhalmicus lebih parah. Di samping manifestasi mata infeksi, juga terdapat manifestasi noninfeksi. Jaringan di sekitar mata dan konjungtiva bulbi dapat mengalami pertumbuhan sarkoma Kaposi dan limfoma Burkitt, yang berbentuk tonjolan kecil pada kelopak mata dan konjungtiva bulbi. Pertumbuhan tumor di samping dan di belakang bola mata menyebabkan bola mata menonjol dan tidak dapat digerakkan. Kelainan retina berupa bercak-bercak putih berbentuk kapas terlihat didaerah posterior fundus dan dapat dijumpai pada hāmpir 50% kasus AIDS. Sebelum terlihat perubahan patologik di atas, kadang-kadang sudah timbul gejala kelemahan mata. Penglihatan mundur, sukar membaca dan takut silau. Penderita sudah membutuhkan kaca mata baca biarpun umur masih muda. Dalam satu tahun membutuhkan pembaharuan kaca mata 3 sampai 4 kali. DIABETES MELITUS Sejak Banting, 1921 memperkenalkan insulin untuk menurunkan gula darah, maka pengobatan diabetes melitus lebih berhasil. Harapan hidup penderita diabetes lebih panjang. Banyak penderita diselamatkan dari komplikasi fatal. Sebaliknya, komplikasi pada mata yang berhubungan erat dengan lama mengidap diabetes, justru terjadi lebih banyak. Tidak sedildt penderita diabetes, biarpun kondisi tubuhnya terpelihara, tetap mengalami kebutaan. Penulis mendapatkan 1.1% penderita diabetes yang diperiksa di Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI/ RSCM, menderita buta totalo). Kebutaan terjadi karena kerusakan makula lutea, ablasi retina, dan perdarahan badan kaca, yang merupakan akibat retinopati yang bertambah parah. Kebutaan oleh diabetes tidak terjadi mendadak, tetapi melalui masa peningkatan keparahan retinopati dalam waktu yang cukup panjang, yang dapat diikuti dengan teliti sehingga tersedia cukup waktu untuk upaya pencegahan kebutaan. Keparahan retinopati dapat dibagi dalam beberapa tingkat untuk menentukan apakah kebutaan sudah mengancam atau belurn, sehingga tindakan dapat ditentukan pada waktu yang terbaik. Untuk itu penulis telah mengajukan klasifikasi tingkat keparahan (TK) retinopati sebagai berikutoo: • Retinopati diabetika tingkat keparahan (TK) I, ditandai oleh telah terdapatnya mikroaneurismadan beberapaperdarahan retina (kurang dari 5 bercak). • Tingkat keparahan II,pada funduskopi ditemukan mikroaneurisma disertai perdarahan retina lima atau lebih bercak. Apabila TK II disertai penebalan dan sembab daerah makula, tingkat keparahan tenmasuk IIa. Jika TK II disertai tanda-tanda bendungan vena, berupa pelebaran lumen dan pertambahan perkelokan disertai perdarahan retina yang terkonsentrasi di sepanjang vena tersebut, maka TK menjadi Ilb. • Lanjutan dari TK ini ialah IIIa yang ditandai oleh terlihatnya pembentukan pembuluh darah baru (neovascular) dilapisan retina (IRMA : Infra Retina Microvascular Anomaly). Tingkat keparahan terakhir dari retinopati diabetika ialah TK IIIb yang ditandai invasi pembuluh darah bersama jaringan ikat
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 43
(fibrosis) ke rongga badan kaca. Pada klasifikasi ini eksudat lemak tidak dimasukkan dalam tanda retinopati, karena ternyata penderita diabetes bangsa Indonesia tidak banyak yang gemuk, sehingga eksudat lemak tidak selalu terdapat dalam gambaran retinopatitttl. Tingkat selanjutnya dari kelainan mata penderita diabetes ialah ablasi retina dan perdarahan badan kaca. Ablasi retina terjadi karena renggutan jaringan ikat (TK IIIb) sehingga retina terlepas dari dinding bola mata. Perdarahan badan kaca terjadi akibat pembuluh darah baru yang menjulur ke rongga badan kaca pecah. Kedua keadaan ini adalah akibat dari retinopati diabetika TK IIIb. Secara sederhana retinopati diabetika dibagi dalam dua kelompok yaitu nonproliferasi (background retinopaty) yang mencakup TK I, TK II, a.b. dan IiIa, retinopati proliferasi (proliferative retinopaday) sama dengan IIIb. Peningkatan keparahan retinopati dapat dihambat dengan fotokoagulasi jaringan retina yang patologik memakāi cahaya Laser atau Xenon, atau secara langsung dengan kriokoagulasi (pendinginan) dan diatermi (listrik). Tindakan koagulasi yang terbaik ialah pada TK II a,b dan TK IIIa. Retinopati diabetika TK IIlb yang badan kacanya masih jernih masih dapat difotokoagulasi biarpun sudah agak terlambat. Pada keadaan badan kaca yang sudah keruh dilakukan kriokoagulasi atau diatermi. Untuk mendapatkan waktu tindakan terbaik dalam mencegah kebutaan, maka funduskopi secara teratur perlu dilakukan pada setiap penderita diabetes. Terhadap retinopati TK I funduskopi dilakukan 6 bulan sekali, dan terhadap retinopati TK II fun-
duskipi 3 bulan sekali. Untuk menilai fundus secara cermat, operasi katarak penderita diabetes kadang-kadang perlu dipercepat.
KEPUSTAKAAN 1.
Wise, Dollery, Henkind. Preface; The Retinal Circulator Medical Department New York : Harper dt Row Publishers, 1971. 2. Jose Ra usma, SidabutarRP. Penyulit Jangka Pan jang Hipertensi. Ce min Dunia Kedokt 1989; 57.3. 3. Mabie WC, Ober RR. Fluorescein Angiography in Toxemia of Pregnancy. Br J Ophthahnol 1980; 64 : 606. 4. Leishman R. The Eye in General Vascular Disease, Hypertension and Arteriosclerosis. Br J Ophthalmol 1957; 41 : 641. 5. Wise, Dollery, Henkind. The Retinal Circulation. Medical Department. New York : Harper & Row Publishers 1971; 292. 6. Konyo m IL, Kalima RE. Visual loss from choroidal ischetnia. Am I Ophthalmol 1986; 101 : 650-656. 7. Smolin G, FiedlanderM. AIDS and Ophthalmology.Intemational Ophthalmology Clinic, 1989; 29 : 2. 8. P Le Hoang et al. Ocular manifestations associated with AIDS. Proc XXV. International Congress of Ophthalmology. Roma : 1986; 911-923. 9. Hilmar Taim. Retinopati Diabetika. Trans VI th. Asia Pacific Acad of OphthalmoL Bali : 1976; 47. 10. Hilman Taim. Klasifikasi Retinopatia Diabetika. 'Congers Nasiosul PERDAMI ke-V. Jogja : 1984; 639. 11. HilmanTaim.FauyExudates padaRetinopatiDiabetika.Kmnpulanmakalah Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi bagi pars Peneliti Muds. Direktorat Pembina an Penelitian don Pelayanan Masyarakat DEPDIKBUD. Solo : 1982; Mid 4 : 759.
Measure thrice before you cut once
Bank Mata Sidarta Ilyas Bagian Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Keratoplasti tolah dilakukan sejak 2 abad yang lalu dan di Indonesia mulai 30 tahun yang lalu. Adalah sukar mendapatkan donor pada setiap permulaan usaha cangkok kornea. Pada permulaan sejarah keratoplasti di dunia donor didapatkan dari narapidana yang dihukum mati, kecelakaan lalu lintas ataupun perang dan dari penderita terlantar yang meninggal di rumah sakit. Pada tahun 1987 mulai terdapat kerja sama Indonesia dengan Bank Mata Sri Lanka dengan datangnya 4 mata pada tahun tersebut. Pada saat itu donor lokal belum sangat diharapkan karena calon donor banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak jelas dari lingkungannya. Termasuk hal yang merupakan hambatan dengan belum adanya peraturan mengenai jenazah terlantar untuk kepentingan donor mata. Jenazah terlantar yang meninggal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit hanya setelah 48 jam dapat dipergunakan untuk rumah sakit. Sangat sukar bagi seseorang dokter mata mendapatkan donor mata, dokter mata tidak ada hubungan langsung dengan donor. Maka diperlukan suatu badan yang dapat mengatur hubungan antara donor, resipien, dan dokter pembedah. Bank Mata adalah jembatan yang dapat menyelesaikan kebutuhan resipien terhadap donor mata. Bank Mata merupakan badan yang tidak mencari keuntungan dan berperan terutama untuk mendapatkan donor mata yang memberikannya kepada dokter-dokter yang memerlukannya untuk transplantasi. Bank Mata tidak akan berdiri bila masyarakat dan hukum sekitar belum memungkinkan untuk memberikan mata. Diperlukan kerja sama dengan orang awam untuk mendapatkan lebih banyak donor. Di Indonesia telah terdapat bentuk organisasi klub donor yang terdiri atas calon donor mata yang dapat membantu kegiatan Bank Mata.
TUJUAN Bank Mata bertujuan untuk mendapatkan donor mata, bila perlu mengawetkan, dan meneruskannya kepada ahli bedah maw. Bank Mata bertanggung jawab untuk membagikan mata secara cepat dan efisien, sehingga kekurangan donor tidak disertai dengan kegagalan menahan bahan yang tersedia. Bank Mata sebaiknya tanggap terhadap beberapa hal berikut. Bank Mata sebaiknya membahas asupan yang datang dari masyarakat terhadap kegiatannya. Perlu diadakan pertemuan pengurus untuk mendapatkan/membicarakan asupan ini. Asupan diperlukan untuk menambah kemungkinan donor memberikan matanya setelah meninggal. Bank Mata sebaiknya melakukan penelitian untuk mendapatkan hal-hal yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan penelitian akan didapatkan kemungkinan perubahan teknik pembedahan serta pelayanan yang sama dan berbobot pada setiap Bank Mata. Pada masyarakat belum ada kejelasan mengenai peraturan ataupun hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Hal yang sering dihadapi adalah masalah siapa yang dianggap sebagai ahli waris bila telah akan diambil mata donor, apakah sudah ada informed consent. Calon donor diminta mengisi formulir pernyataan yang disaksikan oleh 2 orang keluarga terdekat. Keluarga adalah orang yang nantinya dapat menentukan bila tiba saatnya pengangkatan mata untuk dapat terlaksana sesuai dengan wasiat yang telah dibuat. Beberapa etik Bank Mata 1. Bank Mata didirikan untuk perlunya mendapatkan donor mata. 2. Bank Mata bergabung dengan rumah sakit atau universitas
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 45
Hal ini sangat dikaitkan dengan : – kegiatan pelayanan kesehatan dan – pendidikan khususnya. 3. Tujuan Bank Mata untuk sarana jaringan pada kebutuhan.
–
Bank Mata akan berfungsi sebagai pengatur terhadap pelaksanaan kebutuhan donor mata. Mata diberikan menurut beberapa sistem, seperti : – diberikan terutama pada yang darurat – urutan permintaan – pertimbangan lainnya.
4. Uang tidak dikaitkan dengan hal-hal berikut : – resipien, resipien tidak membayar penggantian – donor, donor tidak meminta penggantian – pembedah tidak mendapatkan penggantian dengan halhal terkait donor – donor tidak dibayar – donor tidak membayar pada resipien – resipien tidak mendapat imbalan dari donor. Donor mata adalah seseorang yang memberikan jaringan matanya setelah meninggal untuk menolong seseorang buta akibat kelainan korneanya. Seseorang donor mata adalah seseorang yang secara ikhlas tanpa imbalan bersedia memberikan bantuan pada orang lain. 5. Tidak terdapat perbedaan suku, agama, kedudukan sosial, dan hal-hal nonmedis lainnya untuk kesempatan mendapatkan jaringan donor. 6. Diperhatikan aturan atau hukum yang berlaku untuk pengambilan jaringan di dalam negara. Demikian pula transportasi dan aturan pengawetan. 7. Keluarga sadar dan tabu apa yang dilakukan : – rahasia donor dipertahankan. – hanya Bank Mata mengetahui apa yang terjadi dengan mata donor dan resipien. 8. Nama resipien dan donor tidak disiarkan Bank Mata atau pembedah kecuali pada keadaan khusus. Hal ini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. 9. Donor yang didapatkan dari perorangan, badan sosial, dan yayasan. 10. Mata yang telah didonorkan oleh calon donor diambil, tanpa pertimbangan kesukaran-kesukaran untuk mengambil mata tersebut. 11. Tidak ada persaingan antara 2 Bank Mata. Di dalam Bank Mata tidak hanya diperlukan donor mata saja akan tetapi juga waktu,uang,pikiran,dan alat yang dipergunakan untuk : – mendapatkan donor mata (penerangan) – terlaksananya pembedahan donor, resipien dengan sempurna
resipien, dan tindakan medis yang dilakukan. Pada masyarakat perlu diberikan penerangan yang bcrkesinambungan. Selama ini dirasakan beberapa hambatan yang menonjol, seperti : • Keraguan apakah benar agama atau kepercayaan yang dianut mengizinkan mata diambil setclah meninggal. Walaupun seluruh pemuka agama mengizinkan pengambilan mata donor setelah meninggal untuk kepentingan orang buta. • Tahayul yang masih kuat di dalam masyarakat. • Pengaruh perubahan kosmetik (paras muka) akibat pengambilan jaringan mata sangat memberikan efck yang belum dapat dimengerti seluruhnya. Penerangan pada masyarakat tidak boleh berhenti dan diperlukan berkesinambungan dengan memakai seluruh sarana yang tersedia seperti radio, televisi, penyuluhan pada kelompok, seminar dan lokakarya. Masih dirasakan adanya pengaruh keluarga, lingkungan atas ketidak tahuannya di dalam lingkungan dan kehidupan sosial. TENAGA Dokter mata Dokter spesialis mata bertanggung jawab atas dapat dilakukannya pembedahan keratoplasti. Bank mata memerlukan seorang dokter mata yang akan bertanggung jawab untuk menilai mata donor, menangani mata donor, dan membagikannya kepada dokter yang memerlukannya. Ketua medis adalah seorang dokter mata yang mempunyai minat pada penyakit mata luar, bedah kornea, penelitian, dan staf pengajar. Dokter mata akan melakukan penyelidikan mengenai cara pengawetan, mendapatkan mata donor, transportasi, dan pengambilan mata donor. Semua dilakukan agar resipien mendapatkan donor yang baik dan hasil yang baik pada keratoplasti. Ketua medis teknis bertanggung jawab pada kelangsungan pekerjaan laboratorium mata, dan berjalannya pekerjaan teknisi. Teknisi Teknisi yang mencatat hal berikut dari donor : – Sebab kematian donor. – Riwayat kesehatan donor. – Membuat catatan medis donor. Teknisi Bank Mata mempunyai tugas : 1. Mengetahui teknik pengambilan mata. 2. Membuat riwayat penyakit donor yang akan menjamin dapat dipergunakannya mata donor. 3. Mempunyai kemampuan menilai mata donor. 4. Bertanggung jawab terhadap terlaksananya pembiakan mata donor dan sterilitas cairan pengawet. 5. Mempersiapkan alat enukleasi. 6. Menjaga sterilitas kotak dan alat pengawet dan enukleasi. 7. Menjaga sterilitas laboratorium. 8. Menjaga data donor, waktu pengawetan.
PENERANGAN
ASAL DONOR
Penerangan sangat memegang peranan untuk memperbaiki pandangan yang negatif terhadap usaha mendapatkan donor mata. Masyarakat memerlukan penerangan mengenai donor,
Donor didapat dari : – Donor terdaftar. – Jenazah di mana peraturan mengizinkan untuk pengambilan-
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
nya. – Jenazah dengan seizin keluarga untuk diambil matanya. Belum ada peraturan yang lebih memudahkan didapatkannya mata donor dari jenazah terlantar setelah 6 jam di rumah sakit atau kecelakaan lalu lintas. Sebab kematian. Tidak semua mata donor dapat digunakan. Banyak penyakit yang dapat ditularkan pada keratoplasti. Donor yang meninggal akibat penyakit virus tidak boleh dipergunakan. Mata dengan tumor tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai mata donor. Seseorang yang tidak diketahui sebab meninggalnya tidak dapat dipergunakan sebagai mata donor. Sebelum melakukan pengambilan mata donor diperlukan beberapa penilaian, seperti : Penyebab kematian. Dibedakan dalam 2 kategori : 1. Mengancam kesehatan resipien dan kontra indikasi dipergunakan karena terdapat kelainan endotel : − Rabies − Creutzfeld − Septikemia − Retinoblastoma − penyakit Hodgkin − leukemia − hepatitis 2. Donor yang tidak ideal (memerlukan perhatian khusus): − penderita dengan kelainan endotel − mutipel sklerosis − parkinson − leukemia − jaundice − diabetus melitus − sifilis − mata pasca bedah dengan kelainan mata. Umur donor. Mata donor yang terbaik adalah mata yang segar dan muda yang tersedia. Donor muda dipergunakan untuk keratoplasti mata anak dan dewasa, dan tindakan bedah gabung. Bagian yang terpenting adalah endotel yang akan berkurang dengan bertambahnya umur. Donor dengan usia 3 tahun : − sangat lentur dan sukar dimanipulasi saat pembedahan. − lebih cembung. Waktu enukleasi Segera setelah meninggal endotel hanya dapat hidup 6 jam pada suhu 37° Celcius. Setelah itu glukosa dalam mata sangat berkurang dan mulai terjadi kematian endotel. Bila suhu diturunkan maka daya hidup endotel bertambah. Diketahui bahwa pada setiap penurunan suhu 10 derajat kebutuhan metabolisme faktor turun setengahnya. CARA PENGAMBILAN MATA Mata akan diambil oleh tenaga medik yang bertugas untuk
pengambilan mata. Bank Mata akan mengambil mata donor tanpa memperhatikan sebab, waktu kematian dan umur donor. Mata yang tidak dapat dipergunakan akan dipakai untuk penelitian atau keratoplasti lamelar. Dikenal 2 cara pengambilan jaringan mata donor yaitu enukleasi dan komeoskleral. Prosedur Enukleasi. Mata yang akan diambil diperlakukan seperti tindakan melakukan pembedahan di kamar bedah. Pembedah akan memakai sarung tangan steril dengan memakai masker. Daerah pembedahan dibersihkan dengan betadin dan kain penutup berlubang. Kelopak mata dibuka dengan spekulum kelopak kawat. Seluruh tepi limbus dilepas dari konjungtiva yang menempel padanya. Dicari seluruh otot penggerak mata dengan pengkait otot dan digunting. Spekulum kelopak di lepas dan bola mata diprolapskan keluar. Saraf optik digaet dengan sendok saraf optik dan kemudian dimasukkan gunting di bawahnya yang akan menggunting saraf tersebut. Bola mata yang keluar kemudian dicuci dengan garam fisiologik dan larutan antibiotika. Mata dimasukkan ke dalam botol. Botol ini dimasukkan ke dalam kotak pengantar yang dapat ditutup sehingga suhu dapat bertahan 4 derajat Celsius. Di dalam pengawetan dengan ruang lembab ini mata dikirim ke Bank Mata. Pengangkatan dengan tepi korneoskleral. Cara ini lebih sukar dibanding dengan enukleasi karena dengan mudah dapat merusak endotel kornea yang sangat penting. Biasanya cara ini dilakukan di dalam laboratorium. Pada tindakannya diperlukan tingkat sterilitas yang tinggi karena mudah sekali terjadi kontaminasi. Untuk melakukan ini perlu didapatkan latihan pengangkatan yang benar. Spekulum kelopak dipasang dan konjungtiva dipisahkan dari limbus. Dibuat insisi sklera yang hanya mencapai suprakoroid 2.5 mm darilimbus. Potongan sklera dilanjutkan dengan gunting. Tepi sklera dipegang dan kemudian seluruh bagian iris dan badan siliar yang masih menempel pada sklera dilepas dengan spatula. Kornea dengan tepi sklera ini disimpan di dalam pengawet yang khusus untuk ini. Penilaian mata di Bank Mata Pemeriksaan umum. Dengan melakukan pemeriksaan mata didapatkan kesan umum mata yang akan dipergunakan. Sebaiknya diperhatikan usia mata yang diperiksa. Pemeriksaan ini mengenai kejernihan, defek epitel, benda asing, kontaminasi, dan warna sklera. Pemeriksaan lampu celah. Mata dapat diperiksa dengan lampu celah kecuali dengan pakimeter. Kerusakan kecil endotel akan dapat terlihat segera setelah meninggal, kerusakan akan bertambah dengan berjalannya waktu. Membran Descemet adalah bagian yang panting karena kerusakannya diakibatkan adanya kerusakan endotel. Makin tua donor makin mudah terbentuknya lipatan Descemet. Pemeriksaan bakteriologik. Biakan diambil dari limbus dengan kapas. Bagian sisa korneo skleral juga dapat dipergunakan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 47
PENGAWETAN Berbagai cara preservasi yang dilakukan untuk mata atau kornea donor seperti : – gliserin anhidrat – ruang lembab – media kultur – McKaufmann medium – pengawetan krio. Gliserin anhidrat Pengawetan ini dilakukan untuk donor pada keratoplasti lameler. Kornea disimpan dalam gliserin 95%. Ruang lembab Pengawetan di dalam ruang lembab merupakan prosedur pengawetan standar. Cara ini adalah cara yang murah, mudah dan banyak dipergunakan. Botol yang berisi bola mata ditutup tidak terlalu rapat. Disimpan .pada suhu 4 derajat Celcius, seperti biasanya menyimpan darah donor. Botol dimasukkan ke dalam kotak busa yang berisi es di dalam plastik. Dengan cara ini mata dapat disimpan untuk selama 24 – 48 jam. Bila waktu antara meninggal dengan saat pengangkatan bola mata diperpendek, maka mata akan dapat dipergunakan lebih lama. Dengan pengawetan ruang lembab biasanya pembedahan dilakukan secepat mungkin. Keadaan ini akan mengakibatkan : – Bekerja sukar dengan jadwal sehingga keadaan seperti darurat. – Tidak dapat dilakukan pemeriksaan bakteriologik sebelum pencangkokan.
Media kultur 37°C. Kornea pada kultur media dapat disimpan untuk selama 30 hari. Kerugian dengan cara ini ialah bertambahnya ketebalan kornea. Dengan cara ini pengawetan dapat selama 18 bulan. McCarey Kaufman Medium. Mata dikirim dengan potongan kornea skleral dan tidak bola mata lengkap. Donor disimpan di dalam kultur jaringan dengan suhu 4 derajat Celcius. Cara pengawetan ini baik pada waktu pendek atau 5 hari. Mudah terjadi kontaminasi jamur dan bakteri bila dikerjakan tidak baik. Pengiriman mata donor. Mata donor dikirim Bank Mata hanya pada dokter mata yang mampu mengerjakan pencangkokan selaput bening. Semua mata yang diterima Bank Mata dicatat dan diteruskan untuk pengawetan atau dipergunakan langsung. Pada pengiriman mata ditulis semua data donor.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.
King JH Jr. Eye Bank Progress, Am J Ophthalmol, 1962; 54: 5. McCarey BE dick. McCarey–Kaufman Corneal Eye Bank Te4bnique, North Florida Lions Eye Bank for Restoring Sight, Inc., Booklets. Pels E, Schuchard. Organ-Culture preservation of Human Cornea, Documents Ophthalmologica 1933; 56: 147-153. Cassey TA, Major DJ. Corneal Grafting–principle and practice, WB Saunders CO, 1984; 73–86.
Man proposes, Cod disposes
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Evaluasi Pemakaian Kelambu Dipoles Permethrin untuk Penanggulangan Malaria dengan Vektor An. sundaicus di Lampung Santiyo Kirnowardoyo*, Panut**, Hasan Basri** dan Adi Waluyo** *Medical Entomologist, Peneliti Bidang Entomologi Kesehatan pada Pusat Penelitian Ekologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta **Asisten Entomologist Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Lampung
ABSTRAK Telah dilakukan uji pemakaian kelambu yang dipoles dengan permethrin untuk penanggulangan malaria di Desa Tarahan, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, dengan vektor Anopheles sundaicus. Uji coba dilakukan mulai September 1986 hingga Nopember 1988. Hasil evaluasi menerangkan bahwa kepadatan vektor (An. sundaicus) dan jumlah penderita malaria antara sebelum dan sesudah penduduk menggunakan kelambu yang dipoles permethrin tidak berbeda nyata. Tetapi dari uji hayati langsung ternyata bahwa kelambu yang dipoles permethrin mempunyai daya bunuh cukup baik terhadap nyamuk, dengan umur efektif paling tidak selama enam bulan. Enam bulan setelah pemolesan, kelambu katun memberikan kematian 75,5%, sedang kelambu nilon 51,7%. PENDAHULUAN Dalam progam pemberantasan malaria, selain penemuan dan pengobatan penderita, dilakukan pula upaya pemberantasan vektor untuk memutus penularan dengan kegiatan pokok berupa penyemprotan rumah dengan insektisida, khususnya DDT. Penyemprotan rumah untuk penanggulangan malaria yang telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, telah menghadapi hambatan yang cukup berarti. Hambatan yang dihadapi bukan hanya hambatan teknis seperti kekebalan vektor terhadap DDT, tetapi juga hambatan non teknis, misalnya kurangnya biaya, sehingga cakupan penyemprotan sangat terbatas, yang dapat menurunkan manfaat penyemprotan. Karena keterbatasan dana, maka pemerintah, dalam hal ini program pemberantasan malaria, mulai mengembangkan metoda pemberantasan vektor yang lebih efisien. Sesuai dengan anjuran WHO maka di Indonesia mulai dilakukan uji coba pemakaian kelambu yang dipoles dengan insektisida piretroid sintetis (permethrin). Di Cina pemakaian kelambu yang dipoles dengan permethrin efektif untuk pengendalian C. quinquefasciatus, C. tritaeniorhynchus dan A. sinensis. Di daerah yang penduduknya menggunakan kelambu yang
dipoles dengan permethrin terjadi penurunan densitas dan kontak antara ketiga jenis nyamuk tersebut dengan orang secara bermaknal. Di Sabah (Malaysia Timur), dengan penangkapan nyamuk di daerah yang penduduknya memakai kelambu yang dipoles permethrin, kepadatan nyamuk dapat ditekan dengan bermakna paling tidak selama 217 hari2. Di Indonesia, uji coba pemakaian kelambu yang dipoles permethrin dilakukan di Lampung dengan sponsor WHO. Vektor yang menjadi sasaran adalah Anopheles sundaicus Rodenwaldt. Uji coba dilakukan selama dua tahun; tahun pertama digunakan untuk mengumpulkan data dasar atau data sebelum masyarakat memakai kelambu, selanjutnya tahun ke dua untuk pengumpulan data setelah penduduk memakai kelambu. Meskipun kadang-kadang ada hambatan dalam kegiatan pengumpulan data, tetapi secara keseluruhan, uji coba dapat dikatakan berjalan dengan lancar. DAERAH UJI COBA Uji coba pemakaian kelambu yang dipoles permethrin dilakukan di Desa Tarahan, Kecamatan Ketibung, Kabupaten Lampung Selatan. Tarahan terletak di daerah pantai pada ujung selatan Propinsi Lampung, seperti tertera pada peta di bawah ini :
dengan air. Perbandingan banyaknya permethrin dan air yang diperlukan adalah sebagai berikut3 : Kelambu Bahan katun Bahannilon
Desa Tarahan terdiri dari beberapa kampūng, di antaranya Kp. Sebalang dan Kp. Sukamaju, tempat uji coba dilakukan. Pemilihan Desa Tarahan sebagai lokasi uji coba berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1) Hasil survai malariometrik menerangkan bahwa kasus malaria di lokasi tersebut cukup tinggi, dengan slide positivity rate sebesar kira-kira 25%. 2) Terdapat tempat perindukar Anopheles sundaicus dengan tipe permanen yang memadai, 3ehingga An. sundaicus ditemukan sepanjang tahun. 3) Sejak tahun 1984 tidak dilakukan penyemprotan dan upaya pengendalian cara lainnya. Keadaan sosial ekonomi penduduk rendah, sehingga sebagian besar rumah penduduk tidak memenuhi syarat kesehatan. Karena rumah mereka sempit, maka penduduk mempunyai kebiasaan tinggal di luar rumah hingga larut malam, bahkan tidak sedikit yang terpaksa tidur di luar. BAHAN DAN CARA KERJA Seluruhnya ada 200 kelambu yang dipoles permethrin 25EC. Sebagian besar (120 buah) kelambu dari bahan katun, sedang sisanya (80 buah) dari nilon berwarna biru. Luas kelambu rata-rata 17 m2 (lebar = 1,75 m, panjang = 2 m dan tinggi = 2 m). Dosis pemolesan yang dikehendaki 0,5 gr/m2. Untuk pemolesan, bahan permethrin yang tersedia diencerkan
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Permethrin 1000/250 x 17 x 0,5 = 34 ml 1000/250 x 17 x 0,5 = 34m1
Air 17 x 45 ml = 765 ml 17 x 15 ml = 255 ml
Selanjutnya disiapkan kantong plastik, ke dalam kantong tersebut kita masukkan satu kelambu. Kemudian cairan mengandung bahan permethrin seperti tercantum di atas dituangkan ke dalam kantong yang ada kēlambunya. Kantong diremas-remas, hingga cairan teresap oleh kelambu dengan merata. Setelah semua cairan teresap, kelambu dikeluarkan dan dibiarkan hingga kering tanpa dijemur di sinar matahari. Kemudian setelah kering, kelambu dimasukkan lagi ke dalam kantong dan selanjutnya dibagikan kepada penduduk. Jumlah kelambu untuk tiap rumah disesuaikan dengan jumlah penduduk. Sejumlah 200 kelambu yang telah dipoles permethrin dibagikan kepada 492 penduduk Kp. Sebalang. Penduduk Kp. Sukamaju tidak mendapat pembagian kelambu, karena Kp. Sukamaju digunakan sebagai pembanding. Pembagian kelambu kepada penduduk dilakukan dalam awal bulan Oktober 1987. Karena nyamuk yang kontak kelambu diharapkan mati terbunuh oleh residu permethrin di kelambu, maka efikasinya dapat dilihat dari densitas atau kepadatan nyamuk yang menjadi sasaran. Kepadatan nyamuk yang diukur adalah. : 1) Kepadatan nyamuk menggigit orang (human bitar) 2) Kepadatan nyamuk di dalam rumah pada malam hari 3) Kepadatan nyamuk di dalam rumah pada pagi hari. Penangkapan nyamuk dengan umpan orang (human bait) dilakukan oleh empat orang, mulai pukul 18.00 hingga 24.00 dengan tiap jam aktif menangkap selama 40 menit; mereka menggulung kaki cēlananya. hingga di atas lutut, karena di samping sebagai penangkap, mereka juga sebagai umpan untuk digigit nyamuk. Jadi hanya nyamuk yang menggigit dirinyalah yang boleh ditangkap. Penangkapan nyamuk di dalam rumah pada malam hari dilakukan oleh empat orang yang sama, tiap jam mereka menangkap selama 10 menit, setelah mereka menangkap dengan umpan orang. Penangkapan nyamuk di dalam rumah pagi tiari juga dilakukan oleh empat orang.Tiap penangkap bekerja di enam rumah, sedangkan di tiap rumah, mereka menangkap selama 15 menit. Untuk menangkap nyamuk, digunakan alat yang disebut aspirator, yaitu alat untuk menyedot nyamuk yang terdiri atas : Tabung galas dengan diameter 15. mm, ujungnya disambung dengan pipa karet/plastik sepanjang 80 – 100 cm. Pada ujung pipa karat diberi kepingan plastik untuk menyedot. Agar nyamuk tidak tersedot.. masuk ke dalam mulut, di antara tabung galas dengan pipa karat diberi sekat dari kasa plastik atau kasa kawat halus4 . Uji hayati langaung untuk menilai daya bunuh residu permethrin yang ada di kelambu dilakukan menurut instruksi WHO4 . Uji hayati dilakukan tiap tiga bulan sekali, dan selama
uji coba dilakukan uji hayati sebanyak dua kali. Bahan atau nyamuk yang digunakan untuk uji adalah Aedes aegypti yang dibiakkan di insektarium Badan Litbang Kesehatan. Survai malariometrik dilakukan tiap enam bulan sekali, oleh tenaga Puskesmas dan Sub Puskesmas, yang dibantu oleh tenaga tim entomologi. Pemeriksaan darah dilakukan oleh tenaga Puskesmas, tetapi di crosscheck oleh tenaga laboratorium Subdit P2 Malaria. Kebenaran Slide Positivity Rate ditentukan setelah dilakukan crosscheck.
Keterangan:
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran kepadatan nyamuk. Hasil survai entomologi yang menerangkan jumlah nyamuk ditangkap dengan umpan orang di War rumah (OUTM), penangkapan di dalam rumah malam (INN) dan penangkapan di dalam rumah pagi (INM) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.
Hasil Penangkapan Anopheles sundaicus untuk Evaluasi Pemakaian Kelambu yang Dipoles Permethrin di Propinsi Lampung.
Bulan
September 1986 Oktober 1986 Nopember 1986 Desember 1986 Januari 1987 Pebruari 1987 Juni 1987 Iuli 1987 Aaustus 1987 Oktober.1987 Nopember 1987 Dēsember 1987 Januari 1988 Pebruari 1988 Maret 1988 Apri11988 Mei1988 Juni 1988 Juli 1988
Sebalang (menggunakan kelambu)
Sukamaju (tak menggunakan kelambu)
OUTM
OUTM
44 10 29 8 6 6 14 11 7 20 26 6 5 0 1 20 2 9 1 4 0 6 43 53 75 37 43 23 15 34 0 22 2 10 12 6 2 0 0
INN 49 13 36 7 1 0 6 0 6 13 25 2 2 0 2 29 3 2 0 0 1 0 1S 27 54 26 35 19 12 19 0 7 3 17 5 4 1 0 0
INM 27 6 21 2 0 0 0 0 0 4 3 0 0 – – – – 2 0 5 5 3 14 16 17 0 1 0 8 11 0 0 0 0 0 0 0 1 0
5 2 3 7 9 20 7 7 5 10 2 2 2 1 4 10 32 66 11 62 2 62 120 33 84 37 28 3 10 0 0 7 0 2 4 0 2 2 0
INN
INM
6 0 6 0 1 1 2 3 0 11 4 0 0 0 1 0 5 1 0 1 0 1 3 0 4 2 0 0 0 0 0 0 0 1 2 1 0 0 0
2 2 1 0 0 11 1 0 0 2 0 2 1 – – – – 0 0 8 0 3 11 9 9 11 0 0 0 2 1 2 0 0 2 0 1 0 0
OUTM
–
INN
–
INM
–
–
–
dilakukan oleh empat orang penangkap dari pukul 18.00 – 24.00, tiap jam aktif menangkap selama 40 menit. dilakukan oleh empat orang penangkap dari pukul 18.00 – 24.00, tiap jam aktif menangkap selama 10 menit. dilakukan oleh empat orang penangkap, tiap orang menangkap pada 6 rumah, masing-masing rumah dilakukan penangkapan selama 15 menit. kegiatan penangkapan tidak dilakukan.
Evaluasi daya bunuh residu permethrin pada kelambu. Evaluasi dilakukan dengan uji hayati langsung (bioassay test). Metoda yang digunakan adlaah metoda standar WHO. Nyamuk dikontakkan ke kēlambu selama 60 menit. Pembacaan hasil dilakuakn setelah nyamuk dipelihara selama 24 jam. Kematian sebenarnya pada uji bulan April 1988 dikoreksi dengan rumus Abbott, karena kematian pembanding lebih besar dari 5%, yaitu 8,8%. Hasil uji hayati langsung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Hayati Langsung Kelambu yang Dipoles Permethrin Dosis 0,5 gr/m2. Kelambu dipoles permethrin Katun
Bulan
Januari 1988
Jumlah Apri11988 Jumlah
Pembanding
Nilon % Jml Kern.
Jml
Mad
114 150 150 414
101 143 144 388
88,6 95,3 96 93,7
200 200 400
166 145 311
81,4 69,8 75,5
Mad
% Kern.
Jml
Mati
% Kern.
115 150 150 415
72 130 •112 314
62,6 86,7 74,7 75,7
60 60 60 180
3 2 3 8
5 3,3 5 4,4
200 200 400
112 112 224
51,7 51,7 51,7
80 80 160
7 7 14
8,8 8,8 8,8
Evaluasi berdasarkan banyaknya penderita malaria. Perbandingan jumlah kasus antara sebelum dan sesudah penduduk menggunakan kelambu, dilihat perbedaannya dari hasil survai malariometrik. (Tabel 3). Tabel 3. Hasil Survai Malariometrik setelah Dilakukan Crosscheck untuk Evaluasi Pemakaian Kelambu yang Dipoles dengan Permethrin. Bulan Nopember 1986 lull 1987
April 1988 Nopember 1988
Jml. sediaan Ratio aediaan Jml. Positif darah didarah poaitif periksa Sebalang 152 67 44,1 Sukamaju 137 30 21,9 Sebalang 100 14 14 Sukamaju 237 27 11,4 Pembagian kelambu awal Oktober 1987 Sebalang 212 49 23,1 Sukamaju 169 64 37,9 Sebalang 248 41 1~6,5 Sukamaju 283 58 20,5 Dukuh
Pf %
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 51
43,3 83,3 50 55,6 51 60,9 48,7 50
Pada Tabel 1 terlihat bahwa kepadatan An. sundaicus antara sebelum penggunaan kelambu (September 1986 – Agustus 1987) dengan setelah pembagian kelambu (Oktober 1987 – Juli 1988) tidak berbeda nyata. Pada label 1 terlihat bahwa pada musimnya, kepadatan An. sundaicus tetap tinggi meskipun penduduk sudah mendapat pembagian kelambu (Nopember 1987 – Mei 1988). Hal ini menerangkan bahwa meskipun penduduk telah memakai kelambu, penularan malaria masih berlangsung. Hal ini ditunjang oleh data pada label 3. Dari hasil survai malariometrik pada Tabel 3 terlihat bahwa rasio sediaan darah positif (slide positivity rate) antara sebelum dan sesudah pembagian kelambu tidak berbeda nyata. Tetapi, apabila kita perhatikan Tabel 2, hasil uji hayati memberikan keterangan yang berbeda. Pada Tabel 2 terlihat bahwa residu permethrin pada kelambu sangat efektif membunuh nyamuk. Tiga bulan setelah kelambu dipoles, daya bunuhnya masih cukup baik, yaitu kelambu dari bahan katun memberikan kematian 93,7% sedang bahan nilon 75,7%. Enam bulan setelah pemolesan, kelambu katun memberikan kematian 75,5% sedang yang dari nilon 51,7%. Data ini ditunjang oleh data pada Tabe1 4. Tabel 4. Hasil Survai Malariometrik Khusus Anak-anak di bawah Umur Lima Tabun untuk Evaluasi Pemakaian Kelambu Dipoles Permethrin. Sebalang (memakai kelambu)
Nopember 1986
KESIMPULAN
Sukamaju (pembanding)
0–11 bl
12–23 bl
2–4 th
0–11 bl
12–23 bI
2–4 th
SPR
SPR
SPR
SPR
SPR
SPR
16,6
56,5
61,1
14,3
33,3
34,4
Pembagian kelambu Awal Oktober 1987 April 1988 Nopember 1988
16,6
16,6
35
80
37,5
48,4
0
16,6
23,1
9,1
25
34,3
Keterangan: – SPR = Slide Positivity Rate.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa SPR khusus anak-anak di bawah lima tahun setelah pembagian kelambu menurun dengan nyata. Sebelum pembagian kelambu SPR nya antara 16,6% – 61,1%, sedang setelah pembagian kelambu hanya antara 0% – 35%. Hal ini menerangkan bahwa bagi anakanak,. karena lebih mendapat perhatian dari orang tua mereka, maka pembagian kelambu bermanfaat untuk perlindungan terhadap penularan malaria. Ketidak cocokan antara Tabel 2 dengan Tabel 1 & 3 dapat dijelaskan sebagai berikut 1. Densitas An. sundaicus sebelum dan sesudah pembagian kelambu tidak ada perbedaan bermakna karena nyamuk yang masuk ke dalam rumah untuk mencari darah relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan populasi keseluruhan. Dari jumlah yang kecil itu tidak seluruhnya kontak dengan kelambu, sehingga jumlah nyamuk yang mat akan lebih kecil lagi dan
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
tidak terlihat bila dibandingkan dengan populasi keseluruhan. Apalagi bila diingat bahwa kita tidak melakukan upaya tindakan anti jentik, sehingga tiap hari masih timbul nyamuk baru dari tempat perindukan. 2. Tidak adanya perbedaan nyata antara SPR sebelum dan sesudah pembagian kelambu (tabel 3), karena kejadian penularan malaria di daerah penelitian berlangsung di luar rumah (outdoor transmission). Hal ini terjadi karena penduduk mempunyai kebiasaan berada di luar rumah hingga larut malam; kecuali itu karena rumah mereka pada umumnya sempit, ditambah dengan udara yang panas, menyebabkan banyak anggauta keluarga yang tidur di luar. An. sundaicus tergolong nyamuk eksofilik dan eksofagik; maka nyamuk tersebut tidak perlu masuk ke dalam rumah, karena di luar rumah telah tersedia sumber darah yang diperlukan. Jadi jelas bahwa kejadian penularan di luar rumah itulah yang merupakan kendala utama yang menyebabkan ketidak berhasilan pemakaian kelambu untuk penanggulangan malaria. Mengingat daya bunuh kelambu yang dipoles dengan permethrin nyatanya cukup baik, maka apabila kelambu tersebut dipakai dengan sempurna dan penularan tidak berlangsung di luar atau di daerah dengan vektor endofagik, maka pemakaian kelambu akan efektif untuk penanggulangan malaria seperti yang terjadi di Sabah (Malaysia Timur) dan Cina.
Pemakaian kelambu yang dipoles permethrin dengan dosis 0,5 gr/m2 untuk penanggulangan malaria dengan vektor An. sundaicus di Lampung, dilihat dari densitas nyamuk dan SPR semua umur ternyata tidak efektif, meskipun kelambu yang dipoles permethrin mempunyai daya bunuh cukup baik terhadap nyamuk dengan umur efektif paling tidak enam bulan setelah pemolesan. Tetapi untuk anak-anak di bawah lima tahun pembagian kelambu dapat melindungi mereka dari penularan malaria. Kesimpulan lain yang dapat diambil dari hasil uji coba ialah, bahwa kelambu yang dibuat dari bahan katun lebih baik dari pada yang dibuat dari nilon. Kelambu dari bahan katun yang dipoles permethrin mempunyai umur efektif lebih lama daripada kelambu nilon. Enam bulan setelah dipoles, daya bunuh kelambu katun masih 75,5% sedang yang dari nilon tinggal 51,7%. Kecuali umur efektifnya lebih panjang, proses pemolesan kelambu katun lebih mudah. Kelambu katun lebih mudah menyerap larutan permethrin dari pada kelambu nilon. REKOMENDASI Kelambu yang dipoles permethrin akan memberikan efek positif untuk penanggulangan malaria, bila digunakan di daerah dengan vektor endofagik atau di daerah di mana penduduknya mulai masuk tidur tidak terlalu malam. Kelambu yang dipoles permethrin dapat disarankan untuk perlindungan dari penularan malaria bagi tentara yang sedang tugas operasional. Dapat pula disarankan digunakan oleh para penebang kayu di hutan dan siapa saja yang berkaitan dengan tugasnya mempunyai risiko besar untuk digigit nyamuk.
KEPUSTAKAAN 1. 2.
3. 4.
Xu Jinjiang, Zao Meiluan, Luo Xinfu, Geng Rongen, Pan Shina(ang, Liu Skuyou. Evaluation of Permethrin impregnated mosquito-nets against mosquito inChina.WHO/VBC/88.892, 1988. Jeffrey LK Hii et al. The influence of permethrin-impregnated bed-nets and mass drug administration on the incidence of Plasmudium falciparum malaria in children in Sabah, Malaysia. Medical and Veterinary Entomology 1987; 1 : 397–407. Schreck CE, Self LS. Treating mosquito-nets for better protection from bites and mosquito-borne disease. WHO/VBC/85.914. 1985. Anonymous. Manual on Practical Entomology in Malaria. Part II, WHO Geneva, 1975.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada para pamong Desa Tarahan, atas kerja samanya, sehingga uji coba ini dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih juga diucapkan kepada Ka. Puskesmas Ketibung, Ka. Puskesmas Panjang dan staf yang terkait, atas segala bantuannya sehingga uji coba dapat berlangsung dengan baik. Juga kepada Ka. Kanwil Departemen Kesehatan dan Ka. Dinas Kesehatan Dati I Prop. I.ampung serta para staf, atas izin dan partisipasi serta bantuan yang diberikan, sehingga uji coba dapat berhasil dengan baik. Akhirnya tidak lupa, terima kasih juga diucapkan kepada WHO yang telah membiayai uji coba ini sehingga selesai.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 53
Sensitivitas Plasmodium falciparum terhadap Beberapa Obat Anti Malaria di desa Pekandangan, Jawa Tengah Emiliana T*, Sekar Tuti*, M Renny*, PR Arbani**, dan Harijani AM* * *Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta **Sub Direktorat Malaria, Direktorat Jenderal PPM & PLP, Jakarta
ABSTRAK Sensitivitas P. falciparum terhadap obat antimalaria mempengaruhi keberhasilan program pemberantasan malaria. Untuk itu dilakukan tes sensitivitas P. falciparum terhadap klorokuin secara in vivo; terhadap klorokuin, kina, sulfadoxin-pirimetamin, dan meflokuin secara in vitro; di desa Pekandangan, pada bulan November 1989, karena sampai saat ini kasus malaria di Pekandangan masih cukup banyak. Sensitivitas in vivo dilakukan dengan tes 7 hari yang disederhanakan, sensitivitas in vitro dengan tes mikro, dan menurut standar teknik dari WHO. Ternyata Parasite Rate : 5,4%, dan seluruhnya adalah P. falciparum Dari penderita tersangka malaria secara klinis dengan demam, hanya 53,5% positif malaria; dengan splenomegali, 90% positif malaria; dengan panas dan splenomegali, hanya 57,1% positif malaria. Karakteristik klinis dari 20 penderita malaria adalah 45% dengan splenomegali, 40% dengan demam, dan 20% dengan demam dan splenomegali. P. falciparum di Pekandangan ternyata telah resisten secara in vivo terhad`ap klorokuin dengan derajat R. II dan R. III, sedangkan secara in vitro masih sensitif. Resistensi secara in vitro juga ditemukan terhadap sulfadoxin-pirimetamin, sedangkan terhadap kina dan meflokuin masih sensitif. Dengan demikian desa Pekandangan merupakan daerah malaria P. falciparum dominan, resisten multidrugs yaitu terhadap klorokuin secara in vivo dan sulfadoxinpirimetamin secara in vitro; splenomegali dapat merupakan petunjuk penderita dengan kemungkinan besar sedang menderita malaria. PENDAHULUAN Plasmodium falciparum merupakan salah satu dari 4 jenis Plasmodium manusia yang telah banyak menimbulkan kematian. Sampai saat ini hanya P. falciparum yang dilaporkan tidak sensitif atau telah resisten dengan beberapa obat antimalaria. Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan malaria, sensitivitas P. falciparum terhadap obat-obat antimalaria sangat penting untuk diketahui. Sensitivitas ini sangat bervariasi dari suatu daerah ke daerah yang lain. Penilaian sensitivitas ini dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro yang Dibacakan di Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, Surabaya, 23–25 Juni 1990.
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
telah disederhanakan tehnik pelaksanaannya1. Jawa Tengah mula-mula dilaporkan resisten terhadap klorokuin pada tahun 1981 secara in vivo dan in vitro2–4 . Resistensi terhadap sulfadoxin-pirimetamin secara in vivo juga telah ditemukan5. Bahkan terhadap obat antimalaria lain yaitu meflokuin yang belum beredar dan belum dipakai secara resmi di Indonesia, ternyata juga telah resisten secara in vitro di Jateng6. Oleh sebab itu perlu diketahui status sensitivitas obat-obat antimalaria saat ini di Jateng. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Jateng dengan Slide Positivity Rate 20,7%' dan sampai saat ini masih tetap
tinggi kasus malarianya, serta merupakan salah satu daerah yang masih sensitif klorokuin3. Desa yang dilaporkan cukup banyak kasus melarianya antara lain Pekandangan, desa yang dikelilingi oleh hutan salak dan sawah. Untuk itu penelitian ini dilakukan di Pekandangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status sensitivitas P. falciparum terhadap klorokuin secara in vivo; dan terhadap klorokuin, sulfadoxin-pirimetamin, kina dan meflokuin secara in vitra.. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan pada bulan November 1989 di desa Pekandangan, kecamatan Banjarmangu, kabupaten Banjarnegara, Jateng. Sampel Untuk mendapatkan kasus yang memenuhi persyaratan tes sensitivitas yang sesuai dengan kriteria WHO8 dilakukan pemeriksaan klinis dan parasitologis darah tetes tebal dengan pewarnaan Giemsa dari penduduk yang menderita demam maupun tidak. Adapun persyaratan untuk tes sensitivitas in vivo adalah : 1) hanya terinfeksi oleh P. falciparum. 2) kepadatan parasit aseksual antara 1.000–10.000 per mm3 darah. 3) tidak minum obat antimalaria selama 14 hari yang lalu terhadap golongan 4-aminokuinolin, kina dan tetrasiklin, 4 minggu untuk sulfadoxin-pirimetamin; dan 6 minggu untuk meflokuin. 4) tes urin Dill Glazko untuk obat golongan 4-aminokuinolin dan Lignin untuk sulfonamid, harus negatif. Persyaratan untuk tes in vitro adalah sama dengan tes sensitivitas in vivo kecuali kepadatan parasit aseksual yaitu antara 1.000–80.000 per min' darah. Tes sensitivitas in vivo Kasus-kasus yang akan di tes sensitivitas in vivo, diobati dengan klorokuin dosis total 25 mg/kgbb, selama 3 hari: hari I dan II 10 mg/kgbb/hari, dan hari ke III 5 mg/kgbb/hari. secara oral, dosis tunggal. Setiap kasus diikuti selama 7 hari dan diperiksa ulang parasitologis darah tetes tebal dengan pewarnaan Giemsa, pada saat pengobatan akan dimulai: DO, hari ke III : D2, dan hari ke VIII : D71. Penelitian sensitivitas berdasarkan kriteria WHO hanya dapat menilai R. III, R. II, R. I dini, sedangkan S dan R. I kasep tak dapat dibedakan. Tes sensitivitas in vitro Penderita-penderita yang diambil darahnya untuk tes sensitivitas in vitro diobati radikal dengan klorokuin dan primakuin dengan dosis sesuai petunjuk Depkes9. Tes sensitivitas in vitro dilakukan dengan tes mikro sesuai petunjuk WHO10, dan memakai kit WHO. Adapun batas konsentrasi obat antimalaria dinyatakan resisten adalah : 1. klorokuin : ≥ 8 pmol. 2. meflokuin : ≥ 64 pmol. 3. kina : ≥ 256 pmol. 4. sulfadoxin-pirimetamin : ≥ 1.000 pmol –> 12,5 pmol. HASIL Dari 1.000 penduduk yang tercatat, 139 diperiksa limpanya, 12 orang membesar antara H1–113, sehingga Spleen Rate
(2-9 tahun) adalah 18,5% .dan Average Enlarged Spleen 1,75 (tabel 1). Tabel 1.
Hasil pemeriksaan limps menurut golongan umur dari pen duduk desa Pekandangan, Jawa Tengah, 1989. Pembesaran limpa ( Hackett )
Gol umur
Jumlah diperisa
0
1
2
3
4
5
Jumlah
SR (% )
0–11 bl 12–23 b1 2–4 th 5–9 th 10–14 th > 15 th
6 1 12 15 4 101
4 0 9 13 4 97
2 0 1 1 0 1
0 0 1 1 0 3
0 1 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
2 1 3 2 0 4
33,3 100 25 13,3 0 4
Total 139 127 5 5 Keterangan: SR (Spleen Rate) 2 – 9 tahun : 18,5%. Average Enlarged Spleen = 1,75.
2
0
0
12
8,6
Pada pemeriksaan parasitologis darah terhadap 368 penduduk, ditemukan 20 kasus malaria. Parasite Rate 5,4%, dan semuanya adalah P. falciparum; Slide Falciparum Rate 5,4% (tabel 2). Tabel 2.
Hasil pemeriksaan parasitologis darah menurut golongan umur dari penduduk desa Pekandangan, Jawa Tengah, 1989. Species
Gol umur
Jumlah diperiksa
Jumlah positif
PR (%)
Pf
Pv
Pm
Pmix
0–11 bl 12–23 bl 2– 4 th 5– 9 th 10–14 th > 15 th
6 1 15 94 48 204
0 1 2 4 1 12
0 100 13,3 4,3 2,1 5,9
0 1 2 4 1 12
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
Total
368
20
5,4
20
0
0
0
Keterangan: PR : Parasite Rate. Pf : P. falciparum. Pv : P. vivax Pm : P. malariae Pmix : Pf + Pv atau Pf + pm atau Pv + Pm
Pada pemeriksaan klinis dan parasitologis darah, dari 15 penderita demam hanya 8 (53,3%) yang positif malaria; dari 12 penderita dengan splenomegali (termasuk 2 bayi) hanya 9 (90%) yang positif malaria; dari 7 penderita dengan demam dan splenomegali hanya 4 (57,1%) yang positif malaria (tabel 3). Karakteristik klinis dari 20 penderita malaria adalah 40% dengan demam, 45% dengan splenomegali, 20% dengan demam dan splenomegali (tabe1 3) Hasil tes sensitivitas in vivo P. falciparum terhadap klorokuin menunjukkan bahwa tak ada kasus yang sensitif (S) dan R. I, 4 kasus R. II, 1 kasus R. III, dan 2 kasus gagal karena muntah-muntah (tabel 4). Hasil tes sensitivitas in vitro P. falciparum terhadap klorokuin, kina, dan meflokuin, semuanya menunjukkan hasil sensitif. Terhadap sulfadoxin-pirimetamin, 2 dad 6 spesimen
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 55
menunjukkan hasil resisten (tabel 5). Tabel 3.
Karakteristik klinis penderita tersangka dan penderita malaria P. falciparum Pekandangan, Jawa Tengah, 1989.
Karakteristik ldinis
Jumlah tersangka malaria
Demam Splenomegali Demam+splenomegali
15 12 * 7
Jumlah positif malaria (%)
% kuakteristik dari 20 penderita
8 (53,3%) 9 (90 %) 4 (57,1%)
40 % 45 % 20 %
Keterangan: * termasuk bayi 2 orang dan tidak menderita malaria. Tabe1 4. Hasil tea sensitivitas P. falciparum seam in vivo terhadap klorokuin di Pekandangan, Jawa Tengah, 1989. Hasil Sensitif (S) atau RI kasep Resisten I (R I) dini Resisten II (R II) Resisten III (R III) Gage Total
Jumlah 0 0 4 1 2 7
Keterangan
muntah-muntah
Tabe1 5. Hasil tes sensitivitas P. fakiparum secara in vitro terhadap beberapa obat antimalaria di Pekandangan, Jawa Tengah, 1989. Innis obat Klorokuin Sulfadoxin-pirimetamin Kina Meflokuin
Jumlah yang diperikaa 5 6 3 2
Sensitif
Resisten
5 4 3 2
0 2 0 0
PEMBAHASAN Walaupun Spleen Rate (2–9 tahun) adalah 18,5%, Pekandangan tak dapat disebut sebagai daerah mesoendemis, karena jumlah anak 0–9 tahun yang diperiksa terlalu sedikit yaitu hanya 34 orang. Berdasarkan perkiraan PR Banjarnegara adalah 20,7%7, seharusnya jumlah anak 0–9 tahun yang diperiksa minimal adalah 168 orang11. Ditemukannya P. falciparum yang dominan (100%) di Pekandangan, menunjukkan indikasi bahwa di daerah itu sedang terjadi transmisil' . Hal ini juga diperkuat dengan adanya kasus malaria pada anak-anak balita. Jadi walaupun PR yang didapat hanya 5,4%g, suatu saat dapat terjadi ledakan• sehingga perlu segera diambil tindakan pengobatan sedini mungkin, pencegahan dan pemberantasan, serta pengamatan penyakit malaria yang lebih ketat. Ternyata hanya 53,3% penderita demam yang menderita malaria; yang lain ternyata menderita penyakit infeksi lain, antara lain ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) yang banyak ditemui pada pemeriksaan klinis. Sebenarnya hanya 1 dari 12 penderita splenomegali yang tidak menderita malaria, karena 2 bayi yang splenomegali dengan HI dianggap normalll . Dengan demikian splenomegali di Pekandangan dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa penderita sedang menderita penyakit malaria.
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Banjarnegara sebenarnya masih merupakan daerah sensitif terhadap klorokuin secara in vivo3. Ternyata dari hasil penelitian ini telah resisten R. II dan R. III terhadap klorokuin secara in vivo, sedangkan secara in vitro masih sensitif. Ini bararti Pekandangan telah menjadi daerah P. fakzparum resisten klorokuin, walaupun secara in vitro masih sensitif. Perbedaan ini mungkin disebabkan adanya pengaruh faktor penyerapan dan metabolisme obat dalam tubuh penderita tersebut. Secara in vitro ternyata P. falciparum juga tersisten terhadap sulfadoxin-pirimetamin. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan Harijani AMS. Resistensi terhadap obat antimalaria ini mungkin juga disebabkan karena seringnya pemakaian preparat sulfa sebagai obat antibiotika di daerah tersebut. Dalam penelitian ini secara in vitro P. falciparum masih sensitif terhadap kina dan meflokuin, sedangkan pada tahun 1983, Hoffman dkk telah menemukan P. falciparum resisten meflokuin di Jateng. KESIMPULAN DAN SARAN Pekandangan merupakan daerah malaria P. falciparum dominan, resisten multidrugs yaitu terhadap kjorokuin secara in vivo dan sulfadoxin-pirimetamin secara in vitro; splenomegali dapat sebagai petunjuk bahwa penderita kemungkinan besar sedang menderita malaria. Oleh sebab itu perlu segera diambil tindakan-tindakan pengobatan sedini mungkin, pencegahan dan pemberantasan, serta pengamatan penyakit malaria yang lebih ketat. Di samping itu perlu disiapkan obat alternatif untuk malaria P. falciparum resisten multidrugs. Penelitian ini perlu diulang dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga keadaan malaria di Pekandangan dapat diketahui secara jelas.
Untuk segala surat-menyurat, pergunakan Alamat lengkap Anda dengan mencantumkan Kode Pos ke alamat kami : CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105, JAKARTA 10002
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
WHO Drug resistant malaria. Report of an Intercountry meeting. New Delhi, 29 September – 3 October 1988. SEA/MAL/165, 22 February 1989. Simanjuntak C, Arbani PR, Kumara Rai N. P. falciparum resisten terhadap klorokuin di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bull Health Stud Indon 1981, IX (2) : 1–6. Kumara Rai N, Arbani PR. Penyebaran dan penanggulangan P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin di Indonesia. Pertemuan Tehnis Malaria, Jakarta 12 April 1982. Sub Direktorat P2 Malaria. Laporan tes resistensi P. falciparum terhadap klorokuin, 1987. Harijani AM. Penelitian resistensi P. falciparum terhadap Fansidar di Indonesia. Laporan akhir penelitian tahun 1983–1985. Hoffman SL dkk. In vitro studies of the sensitivity of Plasmodium falciparum to mefloquine in Indonesia. Panel diskusi Seminar Parasitologi Nasional dan Kongres ke 2 P4I. Bandung, Agustus 1983. Dinas Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Tengah, Direktorat Daerah Pencegahan Pemberantasan Penyakit Malaria. Pemberantasan Penyakit Malaria Propinsi Jawa Tengah. Laporan tahunan 1977. Payne D. Practical aspects of the in vivo testing for sensitivity of human Plasmodium spp to antimalarials. WHO/MAL/82. 988. 1982.
9.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Pengobatan 3, 1984. 10. Rooney W. Review of the systems for determining drug sensitivity in Plasmodium falciparum. Inter-country meeting on drug resistant malaria, SEARO, 29 September – 3 Ocotber 1988. 11. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Survai malariometrik 6, 1983. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada : 1. Dr. Suriadi Gunawan, DPH, Kepala Puslit Penyakit Menular yang telah memberi saran-saran dan petunjuk, serta mengijinkan makalah ini diterbitkan. 2. Dr. P.R. Arbani, MPH, Kasubdit P2 Malaria, PPM & PLP, yang telah memberi kesempatan mengikuti "Latihan tes sensitivitas obat-obat antimalaria"; dan meneliti di Pekandangan, serta mengijinkan hasilnya untuk diterbitkan. 3. Kadinkes Kabupaten Banjarnegara dan stafnya, serta seluruh temanteman yang banyak membantu dalam penelitian ini
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 57
Indeks Karangan dalam Cermin Dunia Kedokteran Tahun 1992 CDK 74. KULIT I English Summary Arini Rinaldi, Retno Widowati S.,H.Mochtar Hamzah: Urtikaria Kontak S. Buditjahjono, Hartadi, Oedayati DB, M. Affandi, Sugastiasri S.: Terfenadin untuk Pengobatan Urtikaria Krorik Imtikhananik: Dermatitis Exfoliativa M Goedadi H., G. Arna Apkara, Hari Sukanto, Saut Sahat Pollan: A Retrospective Study of Drug Eruption at the Department of Dennato-venereology, Dr. Soetano General Hospital, Surabaya, Indonesia Shannaz Nadia Idris, Erdina HDP, A. Kosasih: Bromhidrosis Sri Linuwih SMR., Erdina HDP.: Hiperhidrosis S. Fasihah R., IGAK Rats, Sri Adi Sularsito: Hirsutisme dan Hipertrikosis Emiliana Tjitra, Marvel Reny, Rita Marleta Dewi: Karakteristik Penderita Fluor Albus di Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta Djunaedi Hidajat, IGAK Rata,Unandar Budimulja: Mastositosis Lydia Pratanu: Geretika Medik-Diagnosis Prenatal serta Aplikasi Klinik Yovita Lisawati: Pembuatan Antibodi HCG dari Kelinci dan Evaluasi untuk Uji Kehamilan A. Halim Mubin, Pain S.: Malaria Tropika dengan Beberapa Komplikasi Tjandra Yoga Aditama: Tuberculosis Situation - Delay in Case Finding Harijani AM, Purnosno: Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka, Flores - Malaria pada Anak SD Keputusan Presiden RI No. 37 tahun 1991 tentang Pengangkatan Dokter Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti Abstrak H. pylori Scrip 1991; 1626: 23 Penggunaan kombinasi tetap captopril + HCT O.D vs. bid pada hipertensi esensial Br. J. Clin. Pharmacol. 1991; 32: 115-9 Kontraseptif bans Scrip 1991; 1625: 23 Mengatasi asites pada sirosis hepatis N. Engl. J. Med. 1991; 321: 829-35 Meramalkan risiko kardiovaskular N. Engl. J. Med.1991; 325: 849-53 Penggunaan tranboprofilaksis BMJ 1991; 303: 549-50 Akibat tenggelam BMJ 1991; 302: 932-3 Hipertensi sistolik dan stroke JAMA 1991; 265: 3255-64 Cedera dalam Perawatan Internat. PharnacertAbstracts 1991; 28(1): 112 Nyeri postpartum BMJ 1990; 301: 9-12 CDK 75. AIDS English Summary Suriadi Gunawan: Perkembangan Masalah AIDS Imran Lubin: Epidemiologi AIDS Imran Lubin: Petneriksaan Laboratorium untuk HIV Muljati Prijanto: Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diag-
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
4 5–9 10 –15 16 –18
19 – 21 22 – 24 25 – 27 28 – 31 32 – 36 37 – 39 40 – 43 44 – 47 48 – 51 52 – 54 55 – 57 58 – 61 62
62 62 62 62–63 63 63 63 63 63
4 5–9 10–12 13 –16
nosis Human Immunodeficiency Virws (HIV) Harry Isbagio: Artritis yang Berhubungan dengan Penyakit Defisiensi Imun Jusuf Barakbab, Mob. I. Was: AIDS - Hubungannya dengan Penyakit Menular Seksual Lainnya Moh. Randy Bandy: Masalah Penyimpangan Perilaku Seksual Pemuda Remaja di Kota-kola Besar di Jawa., Sarlito Wirawan Sarwono: Aspek Psiklogik AIDS Imran Lubis: Reaksi Psikologik akibat HIV Positif pada Homaseks Asimptomatih di Australia Rachmat Juwono: Petunjuk Pencegahan Penularan HIV untuk Petugas Kesehatan Imran Lubis: Program AIDS di Australia - suatu studi komparatif Rachmat Juwono: Tanya Jawab mengenai AIDS Sudibyo Supardi, Sarjaini Jamal, Anwar Musadad: Obit yang Disalahgunakan oleh Pasien Ketergantungan Obat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Inabah Instruksi Mental Kesehatan RI no. 72/Menkea/Insl17/1988 tentang Kewajiban Melapor Penderita dengan Gejila AIDS Keputusan Direktur Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan Pemukiman no. 286-I/PD.03.04 tentang Petunjuk Pelaksanaam Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS Abstrak Pentamidin untuk infeksi PCP N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1079-83 Transmisi HIV-1 N. Engl. J. Med.1991; 325:1593-8 Zidovudin untuk anak N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1018-25 Obat esensial Lancet 1991; 338: 7435 Diagnosis sindrom septik Lancet 1991; 328: 732 Terapi antimiktobial pada tahun 2000 Market Letter, July 8, 1991 Diabetes pada kehamilan N.Engl.J.Med.1991;325:911-6
17 – 19 20 – 22 23 – 25 26 – 31 32 – 36 37 – 39 40 – 42 43 – 45 46 – 48 49 – 51 52 – 58
59 – 61 62 62 62 62 62–63 63 63
CDK. 76. KULIT II English Summary Adiana Murniati, Untung SP, Mochtar Hamzah: Kelainan Lempeng Kuku Grace Widodo, Erdina HDP., A. Kosasfh:, Kelainan Dasar dan Lipat Kuku RS Siregar, Tantawi Djauhari: Deruatofitosis di LP Palembang, LP Lahat dan LP Muara Enim Subakir: Pengaruh Suhu Pengeraman pada Biakan Malassezia furfur Emillana Tjitra, Marvel Reny, Rita Marfeta Dewi: Pengobatan Fluor Albus di Puskesmas Cempaka Putih Barat Evita HF Effendi: Dermatitis Herpetiformis S Fasihah R, Titi Lestari S, Mochtar Hamzah: Displasia Ektodermal Evita HF Effendi: Terapi Plasmaferesis dalam Dennatologi Tjandra Yoga Aditama: Health Situation in Indonesia, Singapore, Brunai Darussalam, Philippines and Japan Rozaimah Zain Harold: Pemantauan Efek Samping Obat Pudjarwoto T, Cyrus H. Simanjuntak, Nur Indah P.: Daya Antimikroba Obat Tradisional Diare terhadap Beberapa Jenis Bakteri
4 5–9 10 – 15 16 – 18 19 – 21 22 – 25 26 – 29 30 – 33 34 – 37 38 – 40 41 – 44
Patogen Sekar Tuti: Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Beberapa Obat Anti Malaria di Indonesia Misnadiarly: Basil Tahan Asam dan Limfadenitis Tuberkulosis Usman Suwandi: Mekanisme Kerja Antibiotik Abstrak Alkohol dalam ASI N. Engl. J. Med. 1991; 325: 981-5 Kortikosteroid untuk nyeri pinggang bawah N. Engl. J. Med. 1991; 325: 1001-7 Aritmi ventrikel N. Engl. J. Med. 1991; 324: 781-8 Obat penyekat beta untuk varises esofagus N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1532-8 Deksametason untuk Meningitis N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1525-31 Kaptopril untuk nefropati diabetik Scrip 1991; 1637: 25 Mikwrin Lancet 1991; 338: 752 Infeksi saluran kemih JAMA 1990; 264: 703-6 Melatonin Scrip 1991; 1637: 11 Rx. benzodiazepin Scrip 1991; 1644: 26 Sistim pelepasan obat baru Scrip 1991; 1644: 24
45 – 48 49 – 52 53 – 55 56 – 59 62 62 62 62 62–63 63 63 63 63 63 63
CDK. 77. TUMOR OTAK English Summary A. Chalim Muntasir: Pengenalan Gejala Minis Tumor Otak Suwondo: Gejala Psikiatrik Tumor Otak Tri Astuti Wonoyudo: Peranan CT Scan pada Diagnosis Tumor Otak Arman Adel Abdullah: Diagnosis Tumor Otak dengan MRI FX Eddy Gunawan Yusup: Histopatologi Tumor Otak R. Susworo: Peranan Radioterapi pada Neoplasma Susunan Saraf Pusat Djoko Riadi: Terapi Pernbedahan Tumor Otak Ali Shahab: Biopsi Stereotaksi Tumor Otak Martina V. Tobing: The Role of Occupational Therapy in Patient with Brain Tumor PT Simatupang: Rehabilitasi Pasien dengan Tumor Otak MN Janie: Pengelolaan Nyeri pada Kanker Stadium Lanjut Budi Riyanto W.: Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala Sudibyo Supardi,Rini Sasanti Handayani, Max Joseph Herman: Lingkungan Sosial Pasien Ketergantungan Obat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Inabah Abstrak Pengaruh antagonis H2 terhadap kadar alcohol senun JAMA 1991; 267: 83-6 Risiko perokok pasif JAMA 1991; 267: 94-9 Silent ischemia pada pria diabetik dengan neuropati otonom Br. Heart J.1991; 66: 313-5 Korelasi kadar kolesterol serum dengan prevalensi penyakit jantung koroner BMJ 1991; 303: 276-82 Ibuprofen sebagai anti piretik Arch. Dis. Child. 1991; 66: 1037-42 Biaya advertensi obat di Indonesia Scrip 1992; 1685:5 Prevalensi migren di AS JAMA 1992; 267: 64-9 Asiklovir untuk chickenpox Scrip 1991; 1671: 24 Dosis aspirin Scrip 1991; 1671: 27 Bakteruria asimtomatik Arch. Intern. Med. 1990; 150:1389-96
4 5–7 8 –11 12 –18 19 – 20 21– 25 26 – 29 30 – 32 33 – 36 37 – 38 39 – 43 44 – 51 52 – 55 56–60 62 62 62 62–63 63 63 63 63 63 63
CDK 78. PENYAKIT SENDI English Summary Harry Isbagio: Pendekatan Diagnostik Penyakit Reumatik Caedlia R. Padang, AR Nasution, Harry Isbagio: Kriteria Diagnostik Penyakit Reumatik Harry Isbagio: Prinsip Dasar Penatalaksanaan Gangguan Reumatik HM Adnan: Peranan Analisis Cairan Sendi dalam Diagnosis Penyakit Sendi Harry Isbagio: Strategi Pengobatan Medikamentosa Penyakit Reumatik
4 5–9 10 – 14 15 – 17 18 – 24 25 – 31
Harry Isbagio: Peranan Obat Antiinflamasi Non Steroid terhadap Nyeri dan Inflamasi pada Penyakit Reumatik AR Nasution: Efek Samping Obat Antiinflamasi Non Steroid Djunaedi Hidajat, Farida Zubier, Adhi Djuanda: Sindrom Dermatitis-Artritis Gonoreal Diseminata Effendy Salim, JMCh Pelupessy: Perkembangan Penyakit Jantung Koroner pada Anak Ratna Dewi S., Iwan N. Boestan: Aspek Psikologi Pasca Serangan Jantung Hadi Hartono, Iwan N. Boestan: Manula dan Olahraga ditinjau dari Sistim Kardiovaskular Abraham Simatupang: Proses Kepuasan Terapi dan Masalah dalam Pemakaian Obat Abstrak Antimalaria Lancet 1992; 339: 317–21 Pirimetamin untuk ensefalitis toksoplasma Lancet 1992; 339: 333–4 Risiko ultrasonografi pada wanita hamil Lancet 1992; 339: 385–9 Manfaat ASI Lancet 1992; 339: 261–4 Indometasin untuk batu empedu Lancet 1992; 339: 268–71 Efek teratogenik litium karbonat Lancet 1992; 339: 530–3 Efek samping pimozide Scrip 1991; 1679/80: 26 Antihemofili Scrip 1991; 1679/80: 25 Faktor risiko gout JAMA 1991; 266: 3004–7 Risiko diuretik pada diabetes mellitus Arch. Intern. Med. 1991; 151: 1350–6 NSAID topikal Scrip 1991; 1679/80:24
CDK 79. MASALAH SALURAN CERNA English Summary Amirmuslim Malik: Mekanisme Proteksi Saluran Cerna Julius: Patogenesis Tukak Peptik Dwi Djuwantoro: Diagnosis dan Pengobatan Tukak Peptik Sujono Hadi: Hasil Pengobatan Gastritis dengan Traksat empat kali sehari Dibandingkan dengan Traksat dua kali dua sehari Sayan Wongso, Asman Manaf, Julius: Proteksi Mukosa Lambung terhadap Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid Nasrul Zubir, Julius: Gambaran Endoskopi Saluran Cema Bagian Atas di Bagian Penyakit Dalam RSU dr. M. Jamil, Padang Arini Setiawati: Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Sitoproteksi Misbah Jalins: Pemberian Dini Makanan Lewat Pipe pada Pasien Postoperasi Bedah Digestif Djoko Juwono: Menuju Bebas Polio tahun 2000 di Indonesia Harijani AM, Sahat Ompusunggu, Suyitno, Mursiatno: Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka, Flores - 2. Penelitian Entomologi 1 Emiliana Tjitra, Syahrial Harun, Rita M. Dewi, Suwarni, Marvel Reny, Harijani A. Marwoto: Test IFA pada Penelitian Malaria di Kepulauan Seribu Rochestri Sofyan: Produksi Antibodi K1on Tunggal dan Aplikasinya dalam Bidang Kedokteran Nuklir Dharma K. Widya: Penggunaan Laser dalam Akupunktur Abstrak Kanker payudara rekuren N. Engl. J. Med. 1992; 326: 781–5 Manfaat tambahan tamoxifen N. Engl. J. Med. 1992; 326: 852–6 Efek teratogenik zidovudin N. Engl. J. Med. 1992; 326: 857–62 Terapi bedah kanker payudara N. Engl. J. Med. 1992; 326:1102–7 Terazosin untuk hipertrofi Prostat Scrip 1992; 1689:23 Aspirin untuk karsinoma kolon Scrip 1991; 1677:25
32 – 35 36 – 39 40 – 42 43 – 46 47 – 51 52 – 56 57 – 60 62 62 62 62 62 62 – 63 63 63 63 63 63
4 5–8 9 – 13 14 – 17 18 – 21 22 – 25 26 – 28 29 – 35 36 – 40 41 – 46 47 – 49 50 – 52 53 – 56 57 – 59 62 62 62 62 62 63
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 59
Stroke pada usia muda J Neurol. Neurosurg. Psyckiatr.1991; 54: 264–7 Ceftriaxone untuk Endokarditis JAMA 1992; 267: 264–7 Merokok dan plasenta Previa Am. J. Obstet. Gynecol. 1991; 165: 28–32 Penggunaan fenobarbital Pediatr. Neurol. 1991; 7(4): 243–8
63 63 63 63
CDK 80. EDISI KHUSUS - LIMA WINDU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Deteksi Dini Kanker dan Penatalaksanaannya Masa Kini Humala Hutagalung: Beberapa Aspek Bedah Onkologi 5–6 Gani W Tanabunan: Penerapan Biopsi Aspirasi Janun Halus dalam Deteksi Dini Kanker 7–9 Gani W Tambunan, Joko S Lukito, Soekimin: Strategi Deteksi Kanker Payudara Stadium Awal 10 – 13 M Fauzie Sahli: Karsinoma Serviks Uteri - Deteksi Dini dan Penanggulangannya 14 – 16 Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman Amar Singh : Permasalahan Visum et Repertum 17 – 21 Amri Amir: Hukum Kesehatan : The New Frontier 22 – 24 P Emma Sitompul: Pengambilan clan Pengawetan Barang Bukti Pemeriksaan secara Laboratoris Kriminalistis 25 – 27 Gawat Darurat Bedah S Soewandi: Akut Abdomen pada alat Pencernaan Orang Dewasa 28 – 30 Buchari Kasim: Trauma Wajah, Luka Bakar, dan Luka Avulsi 31 – 34 Harry Soedjatmiko: Trauma Toraks 35 – 38 Update I (Pediatri) Syahril Pasaribu: Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue 39 – 43 Atan Baas Sinuhaji, AH Sutanto: Mekanisme Diare Infeksius Akut 44 – 46 H Ridwan Muchtar Daulay: Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pemafasan Akut (ISPA) 47 – 52 Penyakit Hati dan Tukak Lambung EN Kosasih, I Sukiman: Vaksinasi terhadap Hepatitis B 53 – 56 Infeksi, Perdarahan dan Hipertensi pada Obstetri Ginekologi Rusli P Barus: Infeksi dalam Kehamilan dan Persalinan 57 – 59 John Slamet Khoman: Perdarahan Hamil Tua dan Perdarahan Postpartum 60 – 63 Daulat Sibuea: Penanganan Kasus Perdarahan Hamil Muda 64 – 66 Hasdiana Hann: Hipeitensi dalam Kehamilan/Preeklamsi dan Eklamsi (Gestosis) 67 – 71 Penyakit Kardiovaskular dan Penanganannya HA Adin St Bagindo: Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia 72 – 75 T Renardi Haroen, Gontar A Siregar: Pola Payah Jantung di 76 – 78 Rumah Sakit Dr Pimgadi Medan Gawat Darurat Penyakit Syaraf LBM Sitorus: Status Epileptikus 79 – 81 Syawalludin Nasution, Adril A Hakim: Penatalaksanaan Memar Otak (Contusio Cerebri) 82 – 83 A Sjukri Batubara: Koma 84 – 87 Darulkutni Nasution: Stroke Hemoragik : Perdarahan Intraserebral 88 – 89 Gawat Darurat Penyakit Paru H Luhur Soeroso, H Sugito, RS Parhusip, Sumarl, Usman: Hemoptisis Masif 90 – 94 Sugito, LS Santoso, RS Parhusip, Zainuddin Amir, Rusyda N: Efusi Pleurasif 95 – 97 Sugito, HMM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip: Benda Asing di Saluran Nafas 98–100 Update II (Diagnostik) Endang Haryanti Gani: Penatalaksanaan Malaria Herat Masa Kini 101–104 Sahat Sianipar: Perkembangan TeknologiRadiologi dalam Diagnosis Berbagai Penyakit 105–108 Rusli Pelly: Asma Noktumal 109–111 Pangaribuan Siregar: Metabolit Oksigen Radikal Bebas dan Ke-
60 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
rusakan Jaringan Update III (Penyakit Kulit dan Kelamin) Mansur A Nasution, Kamallah Muis, Juwono, Tapi S Niari: Diagnosis dan Penatalaksanaan Dematofitosis Namyo O Hutapea, Mansur A Nasution, Rosiana R Ramsi: Manifestasi Klinis Infeksi HIV Mansur A Nasution, Zulilham: Penatalaksanaan Gejala Duh Tubuh Uretra Diana Nasutlon: Alergi dan Iritasi Kulit pada Keadaan Sehari-hari Kursus dan Demonstrasi RJP Oloan SM Siahaan: Resusitasi Jantung, Pam dan Otak Makalah Lain Joko S Lukito, H Soekimin, Delyuzar, T Kemala Intan: Pengiriman dan Pengelolaan Jaringan untuk Diagnostik Histopatologik Maria Irene Toting: Toxoplasmosis dan Infertilitas Luhur Soeroso, Gani W Tambunan: Berbagai Aspek Deteksi Dini Karsinoma Paru Makmur Husaini: Laboratorium Diagnostik Malaria Masa Kini Simposlum Satelit : Coronary Heart Disease Update T Bahry Anwar, Sutomo Kalman: Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner Sutomo Kasiman, T Bahry Anwar, T Renardi Haroen: Penggunaan Ca Antagonists dalam Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner Simposium Satelit : Pola Makan untuk Mencegah Kegemukan Pangaribuan Siregar: Interkonversi Zat-zat Kimia dalam Tubuh Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih Hesty RPO Sitompul: Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap Raja Malem Kaban: Pemantauan Aspek Non Medik Pelayanan Kontrasepsi Mantap Maciste Lumbanraja: Pencegahan lnfeksi pada Metode Kontrtsepsi Efektif Terpilih (MKET)
112–115 116–118 119–123 124–125 126–127 128–137 138–140 141–146 147–149 150–151
152–156 157–160 161–164 165–170 171–173 174–180
CDK 81. EDISI KHUSUS ULANG TAHUN KE-25 UPF/LAB. ILMU KESEHATAN ANAK RS. SUMBER WARAS - FK. UNIVERSITAS TARUMANAGARA DAN LUSTRUM VI UNIVERSIHal TAS TARUMANAGARA Pengantar Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Sambutan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universita Tarumanagara Sambutan Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras FK Universitas Tarumanagara Demam Berdarah Dengue Duane J. Gubler : Dengue Hemorrhagic Fever - A Global Public Health problem Thomas Suroso: Kebijakan Nasional pada Demam Berdarah Dengue Tatang Kustiman Samsi : Pengamatan klinis Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras (1968 - 1991) Sumengen Sutomo: Pemberantasan penyakit Demam Berdarah melalui pengawasan kualitas lingkungan Duane J. Gubler : Recent developments in Research on Dengue Hemorrhagic Fever Sutaryo : Patogenesis dan patofisiologi Demam Berdarah Dengue Sugianto Djoharman : Demam Berdarah Dengue berat dengan konfirmasi virologik Tatang Kustiman Samsi : Problematik diagnosis Demam Berdarah Dengue Sugianto Djoharman : Manifestasi klinis langka Demam Berdarah Dengue Melani Witarsa Setiawan : Peranan ultrasonografi dalam penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Sri Rezeki Harun : Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
7–8 9 10
11–13 14–18 19–25 26–33 34 35–39 40–43 44–49 50–52 53–56 57–61
Azhall MS.: Demam Berdarah Dengue: Pengalrnan di Bagian IlmuKesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung Aaggoro D.B. Sachro : Danam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS DR. Katyadi, Semarang Ratna Tan : Dengue virus surveillance at Sumbar Waras Hospital September 1987 through August 1992 Peter Donald O'Hanley : Potential pathogenic roles of acute inflammatory cytokines and HLA status in DHF Gerald B. Jennings : Study of human peripheral blood leukocytes from Dengue immune persons; relationship between FC receptor expression and virus growth Penyakit Tropis Mei-Hwei Chang : Hepatitis in children in Asia Adnan S. Wiharta : Hepatitis pada bayi Mei-Hwei Chang : The protective efficacy of Recombinant Hepatitis B vaccine in infants of HBeAg positive HbsAg carrier mothers in Taiwan Komalarini : Diare di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras Anni C. Sie: Rotavirus in pediatric patients at Sumber Waras Hospital Mei-Hwei Chang : Hepatocellular Carcinoma in children S. Setajo Noegroho : Histoplasmosis di Rumah Sakit Sumber Waras Emiliana Tjitra : Pengobatan Malaria yang Resister terhadap Klorokuin Ultrasonografi Melani W. Setiawan, I. Susanto, Purnadi K, JJ Setiawan, H. Wulur : Pengalaman Ultrasonografi Abdomen di RS Sumber Waras Willem Baerts : Echo Encephalography of newborn infants
62–65 66–69 70 71 72
73–74 75–78 79 80–82 83 84–85 86–89 90–95 96–98 99–103
Mei-Hwei Chang : USG examination of the hepatohiliaty Indra Wiradharma : Indikasi USG ginekologi pada anak Haryanto Sidharta : Ultrasonografi intervensi tumor perut Endoskopi Mei-Hwei Chang : Helicobacter pylori & duodenal ulcer in children Laurentius A. Lesman : Endoscopic Retrograde Chlolangio Pencreatography (ERCP) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Biller Hadjat S. Digdowirogo: Endoskopi pada pendarahan gastrointestinal Simposium Satelit: Hematuri pada Anak Setiadharma Selopranoto: Hematuri pada anak:Pendekatan diagnosa Linda Supardi : Hematuri pada anak: Aspek radiologi Melani Witarsa Setiawan : Hematuri pada anak: Aspek sonografi Zainal Abidin : Hematuri pada anak: Aspek urologi Simposium Satelit: Psikologi Anak Singgih D. Gunarsa : Pendekatan psikologis terhadap anak yang dirawat dan sikap orang tua Simposium Satelit: Batuk Kronik pada Anak Herman Sidharta : Batuk kronik pada anak Oeml Alifa Tadjoeddin : Batuk kronik pada anak ditinjau dari bidang THT E.M. Dadi Suyoko : Konsep baru penatalaksanaan Asma Bronkial pada anak
104–106 106–109 110–111 112 113–114 115–120 121–125 126–128 129–131 132–134 135–136 137–140 141–143 144–148
Simposium Satelit: Nyeri Perut Berulang dan Menahun pada anak Hansa Wulur : Nyeri perut berulang dan menahun pada anak 149–154 Singgih D. Gunarsa : Faktor psikogenik pada gangguan organik 155–156 nyeri perot berulang dan menahun pada anak
ANDA MEMBUTUHKAN CERMIN DUNIA KEDOKTERAN EDISI LAMA ? Di dalam persediaan kami masih terdapat Cermin Dunia Kedokteran Edisi lama, sebagai berikut : CDK No. 17 - Penyakit Saraf (Sambungan) CDK No. 33 - Masalah Anestesi CDK No. 43 - Bedah Mikro CDK No. 49 - Seminar Penyakit Tak Menular I CDK No. 52 - Tumor Kepala dan Leher CDK No. 53 - Insomnia CDK No. 55 - Malaria II CDK No. 65 - Imunisasi I CDK No. 66 - Imunisasi II CDK No. 67 - Kardiovaskular CDK No. 69 - Puhnonologi CDK No. 70 - Kesehatan dan lingkungan CDK No. 71 - Khusus - Simposium Upaya Peningkatan Pelayanan Rumah Sakit CDK No. 73 - Gizi CDK No. 74 - Kulit (I) CDK No. 76 - Kulit (II) CDK No. 77 - Tumor Otak CDK No. 78 - Penyakit Sandi CDK No. 79 - Masalah Saluran Cams
70 eks 40 eks 40 eks 50 eks 25 eks 20 eks 25 eks 120 eks 140 eks 180 eks 90 eks 120 eks 400 eks 50 eks 70 eks 320 eks 520 eks 580 eks 380 eks
Sekiranya sejawat masih memerlukan edisi tersebut dapat memberitahukan kepada kami melalui surat, kami akan mengirimkannya secara cuma-cuma selama persediaan masih ada. Redaksi
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 61
HUMOR ILMU KEDOKTERAN TIADA KABAR Seorang dokter menyapa seorang ibu yang sedang berbelanja di pasar swalayan. Soalnya, seminggu yang lalu si ibu mengobatkan anak balitanya pada dokter tersebut. "Apa kabar mengenai putranya, Bu? Apa dia sudah sembuh sekarang?" "Tidak ada kabarnya lagi tentang anak saya, Dok! Yang ada sekarang cuma kuburnya!" Dr. Ketut Ngurah Lab. Parasitologi FK Unud, Denpasar PENCEGAH ABORTUS Seorang ibu hamil muda dengan pendarahan datang berobat. Dokter : (Pada waktu akan dilakukan pemeriksaan fisik) Lho, apa ini bu? (sebuah paku dengan panjang 12 cm terletak vertikal di umbilicus). Penderita : (Dengan malu mengambil paku tersebut) Katanya untuk mencegah keguguran. Dokter : Ibu ini bagaimana? Bukan kegugurannya nanti yang menjadi masalah, tetapi karena perut ibu tertusuk paku ini. Penderita : Susah dokter, kalau kemauan orangtua tidak dituruti. Dokter : Yang dituruti toh yang masuk akal lho bu! Emiliana Tjitra Jakarta
62 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
PAKAI KALENDER Dalam program KB banyak metode kontrasepsi yang diperkenalkan kepada masyarakat. Dan yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Untuk yang sederhana dapat dilakukan oleh akseptor sendiri, yang tentu berkonsultasi dulu dengan dokter atau bidan. Sedangkan yang rumit, lebih banyak peranan tenaga kesehatan. Salah satu cara sederhana adalah penggunaan kalender, yang temyata di lapangan juga tak jarang mengalami distorsi informasi. Seperti yang diungkapkan pada dialog di bawah ini. Ali : "Aidi (seorang petugas kesehatan di puskesmas), istri saya kok masih hamil, pada hal sudah ikut KB." Aidi : "Au………., istri kamu pakai KB apa ?" Ali : "Pakai kalender." Aidi : "Tahu nggak, cara pakainya ?" Ali : "Tahu !" Aidi : "Caranya bagaimana ?" Ali : "Setiap kami kumpul, kalendemya saya alaskan di tempat tidur," ungkapnya dengan polos. Refinaldi Sambaliung, Berau SIAPA YANG LEBIH MODERN???? Tiga usahawan, masing-masing dari Inggris, Amerika Serikat dan Rusia berkumpul sewaktu rehat kopi (coffee break) sebuah konperensi internasional tentang peternakan. Sambil menikmati kopinya sarjana Inggris bercerita: "Di Inggris pembunuhan sapi di tempat pemotongan hewan berlangsung sangat modern, yaitu tidak dipotong lagi dengan pisau, akan tetapi binatang tadi dibunuh dengan kejutan listrik." Sarjana dari Amerika Serikat langsung berreaksi: "Wah, cara itu sudah ketinggalan jaman. Di negeri saya tidak dipakai kejutan listrik lagi, tapi sapi-sapi dibunuh dengan tembakan laser!" Kedua sarjana dari Inggris dan Amerika Serikat lantas berpaling kepada rekannya dari Rusia dan dengan nada agak mengejek menanyakan bagaimana caranya membunuh sapi di Rusia. Sarjana dari Rusia merasakan bahwa kedua rekannya dariBarat tadi hendak mengejek keadaan di negerinya. Sambil meningkatkan nada suaranya ia berkata: "Di Rusia caracara yang kalian pakai sudah lama ditinggalkan. Di Rusia sapi-sapi dibunuh dengan meledakkannya dengan bom!" "Dengan bom?????," Kedua sarjana dan negara makmur tadi balas menanya. "Ya, dengan bom. Lihat saja; di toko-toko penjual daging di Rusia yang tinggal hanya tulang-tulang sapi saja!" OLH Jakarta
ABSTRAK ABBOTT MENARIK OMMFLOX (TEMAFLOXACIN) DARI PASAR Abbott Laboratories secara sukarela menarik dari pasaran produk baru anti bakteri berspektrum luas Omniflox® (Temafloxacin) menyusul dilaporkannya efek samping yang serius yang ditimbulkan oleh obat ini. Lima puluh reaksi berat, termasuk 3 meninggal dunia dilaporkan berkaitan erat dengan penggunaan temafloxacin. Efek samping yang muncul berupa hipoglikemia berat pada pasien manula dengan penurunan fungsi ginjal, uremia hemolitik, gangguan ginjal yang memerlukan dialisis dan reaksi alergi yang menyebabkan gangguan pemapasan. Penarikan temafloxacin ini merupakan langkah lanjutan setelah penyelidikan yang dilakukan oleh FDA yang menyimpulkan bahwa resiko efek samping yang serius terbukti disebabkan oleh temafloxacin dan lebih berat dibandingkan antibakteri kuinolon lainnya. Temafloxacin baru saja dipasarkan di AS selama 3 bulan dan juga sudah beredar di UK, Italia, Jerman, Irlandia, Swedia dan Argentina. Efek samping yang berat ini muncul setelah.ditulisnya sekitar 300.000 resep temafloxacin, tetapi efek ini tidak muncul pada periode uji coba pemasaran yang dilakukan Abbott. Inpharma, 13 Juni 1992, p 27 VSO
TERAPI SINDROM GUILLAINBARRE Sindrom Guillain-Barre merupakan polineuropati yang diduga berkaitan dengan reaksi imunologik; suatu percobaan telah dilakukan untuk membandingkanefektivitasplasma-exchange dengan pemberian imunoglobulin pada 150 pasien yang menderita sindrom Guillain-Barre kurang dari dua minggu
dan tidak bisa berjalan sendiri. Secara acak mereka menerima lima kali plasmaexchange (masing-masing 200–250 ml./ kgbb.) atau lima dosis imunoglobulin (0,4 g./kgbb./hari). Ternyata perbaikan kekuatan ditemukan pada 34% pasien yang menerima plasma-exchange dan pada 53% pasien yang menerima imunoglobulin iv (p = 0,024, 95% CI: 3–34%). Perbaikan tersebut dirasakan setelah 41 hari pada kelompok plasma-exchange dan setelah 27 hari pada kelompok imunoglobulin (p = 0,05); dan kelompok imunoglobulin menderita lebih sedikit komplikasi dan lebih sedikit memerlukan pernapasan buatan. Pada sindrom Guillain-Barre akut, penggunaan imunoglobulin intravena sedikitnya sama efektifnya dengan plasma-exchange. N. Engl. J. Med. 1992; 326: 1123–9 Hk
PEMILIHAN OBAT Departemen Kesehatan Belgia telah mengeluarkan informasi yang bertujuan agar para dokter memperoleh pedoman pemilihan obat yang sejenis. Pengobatan hipertensi dengan penyekat beta yang dapat diberikan sekali sehari merupakan pengobatan yang dianjurkan; dan saat ini telah beredar banyak preparat yang memenuhi syarat dengan harga yang berbeda-beda. Sedangkan untuk pengobatan ulkus, dari segi biaya antagonis H2 merupakan pengobatan yang dianjurkan untuk ulkus gaster, sedangkan omeprazol untuk ulkus duodeni bila pengobatan dilakukan selama 4 minggu; sedangkan bila lebih dari 4 minggu, biayanya akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan antagonis H2. Scrip 1992; 1693: 5 Brw
VITAMIN B6 UNTUK EMESIS GRAVIDARUM Vitamin B6 telah diteliti efektivitasnya terhadap mual dan muntah selama kehamilan; 31 wanita hamil mendapat 3 dd 25 mg. vitamin B6 selama 3 hari dan 28 wanita hamil lainnya mendapat plasebo dengan cara yang sama. Rasa mual dinilai menurut skala 1 – 10 dan ada tidaknya muntah dicatat. Sebelum terapi, tidak ada perbedaan bermakna dalam hal rasa mual; sedangkan setelah terapi, terdapat pengurangan derajat mual yang bermakna pada wanita yang mendapat vitamin B6 (ratarata 4,3 ± 2,1) dibandingkan dengan yang menerima plasebo (rata-rata 1,8 ± 2,2) (p < 0,01). Di antara 31 wanita di kelompok terapi, muntah didcrita oleh 15 wanita sebelum terapi, dan turun menjadi hanya 8 wanita setelah terapi. Sedangkan di kelompok plasebo, muntah diderita oleh 10 wanita sebelum terapi dan menjadi 15 wanita setelah terapi. Ternyata vitamin B6 dapat mengurangi beratnya rasa mual dan juga kejadian muntah secara bermakna di kalangan wanita hamil. Obslet. Gyneco1.1991; 78: 33–6 Hk
CEDERA KEPALA DI KALANGAN OLAHRAGAWAN Colorado Medical Society telah mengeluarkan pedoman untuk menangani kasus-kasus cedera kepala di saat olahraga: Grade 1 : confusion (bingung) tanpa amnesia, tidak ada hilang kesadaran. • Berhenti bertanding. • Periksa segera dan setiap 5 menit kemudian untuk mengetahui gejala amnesia dan gejala pascatrauma lain. • Boleh kembali bertanding bila tidak ada gejala timbul sclama sedikitnya 20
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 63
ABSTRAK menit. Grade 2 : confusion dengan amnesia, tidak ada hilang kesadaran. • Berhenti bertanding. • Periksa gejala/tanda kelainan intrakranial; pemeriksaan diulang keesokan harinya. • Dapat kembali bertanding setelah 1 minggu tanpa gejala. Grade 3 : hilang kesadaran • Bawa segera ke rumahsakit, lakukan pemeriksaan neurologik lengkap. • Rawat bila terdapat kelainan neurologik; bila tidak ada, dipulangkan dengan pengawasan keluarga. • Dapat kembali bertanding setelah 2 minggu tanpa gejala. Hilang kesadaran yang berlanjut, perubahan status mental, perburukan gejala pascatrauma atau adanya kelainan pada pemeriksaan neurologik memerlukan penilaian/konsultasi dengan ahli saraf atau perawatan.
MANFAAT TAMBAHAN ACE-INHIBITOR Dalam pertemuan International Society of Hypertension yang diadakan di Madrid, Spanyol beberapa waktu yang lalu, Dr. Bjorn Dahlof dari Swedia melaporkan meta-analisis dari 109 penelitian mengenai antihipertensi yang melibatkan 2357 pasien. Dari analisis tersebut, temyata ACEinhibitor mempunyai efek mengurangi hipertrofi ventrikel kiri yang terbaik dibandingkan dengan golongan antihipertensi lain, yaitu sebesar 2,3 g/mmHg, dibandingkan dengan penurunan sebesar 0,9 g/mmHg pada penggunaan betablockers, 1,4 g/mmHg pada penggunaan antagonis kalsium dan sebesar 1,1 g/ mmHg pada penggunaan diuretik. Pengurangan hipertrofi ventrikel kiri merupakan manfaat tambahan karena mengurangi risiko kardiovaskular. Scrip 1992; 1729: 27 Brw
JAMA 1991; 266(20): 2869 Hk
PEMILIHAN ANTIHIPERTENSI Para peneliti di UKMedicalResearch Council telah mengeluarkan rekomendasi penggunaan antihipertensi di kalangan usia Ian jut, sebagai berikut :
BIOAVAILABILITAS TERFENADIN TIDAK DIPENGARUHI OLEH MAKANAN Suatu studi cross-over pada 24 sukarelawan pria sehat menunjukkan
Penyekat Penyerta Tidak ada Penyakit jantung Angina Asthma/COPD Gangguan vaskular perifer Gout Diabetes melitus
bahwa walaupun kadar puncak rata-rata (C max) meningkat (tidak bermakna) dan waktu mencapai kadar puncak rata-rata (t max) diperlambat secara bermakna, tetapi jumlah obat yang diabsorpsi dari terfenadine 120 mg relatif tidak dipengaruhi dengan adanya makanan kaya lemak dibandingkan keadaan puasa. Perbedaan farmakokinetik di atas secara klinik tidak bermakna. Di Indonesia terfenadine tersedia dengan merek dagang Nadane®. Inpharma, 13 Juni 1992, p 24 vso
KONSUMSI OBAT MANULA DI ITALIA Empat puluh persen penduduk Italia yang berumur di atas 70 tahun mengkonsumsi 4–6 macam obat sehari dan 12% mengkonsumsi lebih dari 9 obat. Pola penulisan resep polifarmasi serta perubahan-perubahan farmakokinetik dart farmakodinamik menyebabkan tingginya frekuensi efek samping (6–14%) yang dilaporkan pada kelompok manula ini. Obat-obat yang paling banyak diresepkan adalah antiangina dan kardiotonik (15,8%), diuretik (8,6%) dan obatobat bronkopulmoner (4,5%). Scrip 1992; 1721: 4 vso
Diuretik Penyekat beta Penyekat kalsium Penyekat ACE ++ ++ + ++ + – –
+ – ++ – – + –
+ – ++ + ++ + +
+ ++ + + – + ++
Keterangan : ++ : pilihan pertama + : alternatif – : umumnya kontraindikasi Scrip 1992; 1694:25 Brw
64 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Yang tidak termasuk dalam kegiatan Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial : a) Surveilans b) Pengobatan c) Pelaporan d) Pemantauan e) Semua termasuk 2. Faktor-faktor betikut ini dapat mempermudah terjadinya infeksi nosokomial, kecuali : a) Penyakit dasar b) Status gizi pasien c) Pendidikan pasien d) Tindakan medik e) Pengobatan pasien 3. Diagnosis infeksi nosokomial ditegakkan bila terdapat tanda di bawah ini, kecuali : a) Belum ada tanda infeksi pada saat awal perawatan b) Tanda infeksi muncul setelah 3 x 24 jam setelah dirawat c) Infeksi tersebut bukan bagian dari penyakit awal d) Dapat berupa infeksi saluran kemih e) Tanpa kecuali 4. Sumber infeksi nosokomial adalah berikut ini, kecuali : a) Pasien sendiri b) Pasien lain c) Makanan/minuman pasien d) Dokter/paramedik e) Tanpa kecuali 5. Cara pencegahan infeksi nosokomial yang terpenting : a) Penggunaan alat steril b) Perilaku petugas medik/paramedik c) Penggunaan antibiotik pencegahan d) Sterilitas ruangan e) Isolasi pasien
6. Ambang batas pencemaran ruang bedah : a) 0 CPU/l5' b) 5 CPU/10' c) 10 CPU/10' d) 5 CPU/15' e) 10 CPU/15' 7. Kuman utama pada infeksi nosokomial : a) E. coli b) Stafilokokus c) Streptokokus d) Proteus e) Pseudomonas 8. Bahan yang biasanya tidak diperlukan pada surveilans mikrobiologik infeksi nosokomial : a) Pus luka operasi b) Usapan ujung kateter intravena c) Usapan ujung kateter urin d) Urin e) Feses 9. Kuman patogen yang penting di kalangan petugas kesehatan dalam kaitannya dengan kemungkinan infeksi nosokomial : a) Stafilokokus aureus b) Streptokokus hemolitikus c) M. tuberkulosis d) Proteus e) Pseudomonas 10. Kebiasaan cuci tangan yang kurang baik ialah : a) Mencuci tangan sebelum tindakan b) Mencuci tangan setelah tindakan c) Menggunakan air waskom d) Menggunakan antiseptik e) Menggunakan sabun biasa
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 65