International Standard Serial Number: 0125 – 913X
No.66 Imunisasi (II) Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Abstract Artikel : 5. Imunisasi Poli dan Permasalahannya – Eko Rahardjo 10. Pengamatan Potensi Vaksin Polio yang Dipakai dalam Pengembangan Program Imunisasi di Indonesia – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono, Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi 15. Sifat Kinetik Virus Polio di Indonesia, Pemeriksaan Rct-40 Marker Virus Polio Tipe 1 – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono 18. Pengembangan Program Imunisasi di Jawa Timur – M. Faried K, Hanny Roespandi, Sri Prihartini 22. Pengawasan Kualitas dan Pengembangan Vaksin Virus – Muljati Prijanto 26. Typhoid Vaccines – Nathaniel F. Pierce 28. Gambaran Zat Anti IgG AntiFHA dan Anti Pt pada Bayi setelah Imunisasi dan pada Anak-anak Penderita Pertusis – Muljati Prijanto, Rini Pangastuti, Siti Mariani S 31. Teknologi Vaksin Vaccinia Rekombinan – Usman Suwandi 34. Efektivitas Imunisasi untuk Menurunkan Angka Kematian dan Penyakit PD3I di Indonesia – Kusnindar Atmosukarto 38. Masalah Gangguan Asam Basa dan Beberapa Pandangan di Bidang Neurologi – A.A.Bgs.Ngr.Nuartha 46. Kanker Kulit di Limabelas Pusat Patologi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit di Indonesia Tahun 1983 – Reflinas Rosfein 50. Uveitis Toxoplasmika - Suhardjo 53. Frekuensi Mikobakteria Atipik pada Penderita Tuberkulosis Paru di Sumatera Barat – Misnadiarly, Cyrus H. Simanjuntak 55. Informasi Obat : Intal – Arini Setiawati 57. Humor Ilmu Kedokteran 58. Abstrak - abstrak. 60. RPPIK.
Edisi Cermin Dunia Kedokteran untuk tahun 1991 dibuka dengan lanjutan pembahasan mengenai Imunisasi sebagai salah satu upaya mencapai Health for All by the year 2000 seperti yang telah dicanangkan oleh WHO beberapa waktu yang lalu. Beberapa pembahasan mengenai imunisasi polio diikuti dengan beberapa artikel yang meneliti efektivitas imunisasi di lapangan, dilihat dari perubahan angka kejadian penyakit-penyakit yang dapat dilindungi oleh imunisasi; selain itu teknologi pengembangan vaksin baaru juga tidak ketinggalan untuk dibahas. Artikel tambahan yang juga penting ialah pembahasan mengenai masalah gangguan asam-basa;sesuatu yang kelihatannya rumit dan kadang-kadang kurang dipahami oleh para klinisi. Selamat Tahun Baru 1991, semoga tahun ini membawa keberhasilan bagi para sejawat sekalian. Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991
International Standard Serial Number: 0125 – 913X PENANGGUNG JAWAB/ PIMPINAN UMUM Dr Oen L.H PEMIMPIN REDAKSI Dr Budi Riyanto W
REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
PEMIMPIN USAHA Dr Hari Tanudjaja
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar
PELAKSANA Sriwidodo ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta
PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo
– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– Prof.Dr.Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
REDAKSI KEHORMATAN – DR. B. Setiawan
– DR. Arini Setiawati
– Drs. Oka Wangsaputra
– Drs. Victor Siringoringo
– DR. Ranti Atmodjo
– DR. Susy Tejayadi
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.
English Abstract ASSESSMENT ON POTENCY OF SABIN TYPE ORAL-POLIO-VACCINE USED IN AN EXPANDED PROGRAMON IMMUNIZATION IN INDONESIA Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono, Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi. Research Centre of Communicable Disease, Health Research and Development Board, DepartmentofHealth, Republic of Indonesia, Jakarta. An assessment bn the potency of Sabin type oral-polio-vaccine used in an Expanded Program, on Immunization was carried out in order to detect possible titre reduction. Samples of vaccines were obtained from Puskesmas, districts, regions, provinces and from the central storage. From 1983 - 1986, measurements were performed on samples randomly taken from 14 provinces, 17 regions, 32 Puskesmas/districts and from the central storage at the Department of Health in Jakarta.Samples were assessed according to the macro method using primary monkey-kidney-cells culture by counting the TCID50. The results showed that in 1983, the titre of 4,3% of the polio vaccines In districts storages and 4,6% of the polio vaccine in the central storage were below the standard limit, while in 1986, the titre of all polio vaccines obtained from different sources were well above the standard limit Cermin Dunia Kedokt. 1991;66:10-4 brw/olh
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991
TYPHOID VACCINES Nathaniel F. Pierce Research Coordinator, Diarrhea/ Diseases Control Program, World Health Organization, Geneve. Typhoid fever remains a problem in most developing countries. Among different approaches, immunization is one of the efforts in controlling the disease. Three approaches to immunization against typhoid fever were studied: (1) classical typhoid vaccine obtained from killed whole cell, used parenterally; (2) oral vaccine based on attenuated live S. typhi; (3) parenteral vaccine composed of purified Vi capsular polysaccharide. Each of the vaccines was proven to be effective; however, each has its limitations. Cermin Dun/a Kedokt. 1991; 66:26-7 brw/olh
IgG ANTI FHA AND ANTI PT PROFILES IN IMMUNIZED BABIES AND IN POST-PERTUSSIS CHILDREN Muljati Prijanto, Rini Pangastuti, Siti Mariani S. Research Centre on Communicable Diseases, Health Research and DevelopmentBoard, Department of Health, Republic of Indonesia, Jakarta. A preliminary study was carried out to compare titres of IgG anti FHA, IgG anti PT and agluttinin in healthy babies who had received full DPI immunization and in children after pertussis infection. The groups consisted of 10 healthy 2-3 months old babies and 19 children after pertussis infection. IgG anti FHA and IgG anti PT were measured using the ELISA method and anti agglutinin was determined by the microagglutination method. This study showed that the titre of IgG anti FHA were higher in the post-pertussis group. The titre of IgG anti PT increased after each immunization; the percentages of babies with positive IgG anti PT were respectively 40%, 50% and 100% after the first, second and third DPT immunization, while only 50% of the pertussis infected children had the antibody. Further investigations are still in progress in order to obtain a more complete picture on the immunity against pertussis. Cermin Dunia Kedokt. 1991; 66:28-30 brw/olh
Imunisasi Polio dan Permasalahannya Eko Rahardjo Pusat PenelitianPenyakitMenular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
PENDAHULUAN Sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan imunisasi polio ke dalam Pengembangan Program Imunisasi (PPI) a t e lebih dikenal sebagai EPI (Expanded Programme on Immunization), dari tahun ke tahun kasus poliomielitis di seluruh dunia berkurang. Laporan dari WHO menyebutkan bahwa tahun 1981-1983, di 123 negara dari 6 wilayah WHO, kasus poliomielitis berkurang dari 33.919 kasus (1981) menjadi 25.464 kasus (1983)'. Pada ulang tahunnya yang ke 35 (1983), WHO mencanangkan suatu motto yaitu "sehat bagi semuanya pada tahun 2000" (health for all by the year 2000), hal ini tentu berarti pula hilangnya poliomielitis; menghilangkan poliomielitis pada tahun 2000 telah disebutkan di dalam dekiarasi Talloires2. Program imunisasi polio di Indonesia dimulai sejak tahun 1980. Walaupun cakupan imunisasi polio tahun 1981—1983 masih rendah, yaitu 0,8% imunisasi lengkap (dosis 3 kali) padsa tahun 1981 dan 6% pada tahun 1983, namun menurut laporan WHO, kasus poliomielitis menurun dad 941 (1981) menjadi 57 (1983)'. Penghapusan poliomielitis di Indonesia pada akhir abad ke 20 tergantung pada peningkatan cakupan imunisasi polio, peningkatan perbaikan sanitasi lingkungan dan peningkatan gizi keluarga. Hal-hal tersebut bisa terlaksana bila didukung antara lain oleh kenaikan pendapatan perkapita, perbaikan serta perluasan pelayanan kesehatan. Dukungan instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Organisasi-organisasi kemasyarakatan dan tokoh-tokoh masyarakat sangatlah diperlukan. Namun yang paling penting adalah kesadaran dan peran serta masyarakat.
1986 jumlah anak yang mendapatkan vaksinasi polio dosis 1 kali 3.312.000 atau 64% dari seluruh anak usia vaksinasi, sedangkan yang mendapat 2 dan 3 kali dosis masing-masing 2.723.000 serta 2.303.000 atau 52% dan 46%3. Target cakupan imunisasi polio sampai akhir PELITA IV adalah 65% dari seluruh anak usia vaksinasi. Gambar 1 memperlihatkan cakupan imunisasi polio dari tahun 1980 sampai tahun 1986. Kenaikan cakupan dari tahun 1981 sampai tahun 1986 secara keseluruhan untuk dosis 1 kali adalah 63,1% dengan rincian kenaikan 1,1% (1981), 6% (1982), 8%(1983), 2% (1984), 27% (1985) dan 19% (1986). Kenaikan cakupan imunisasi dosis 2 kali selama 6 tahun mencapai 51,4%. Persentase kenaikan untuk tahun 1981 adalah 0,4%, 4% tahun 1982, 4% tahun 1983, 7% tahun 1984, 17% tahun 1985 dan 19% tahun 1986. Kenaikan cakupan imunisasi lengkap selama 6 tahun ada 45,8% dengan rincian tiap tahun 0,6% (1981), 2,2%-(1982), 3% (1983), 4% (1984), 14% (1985) dan 22% (1986). Gambar 1. Cakupan imunisasi polio tahun 1980-1986.
CAKUPAN IMUNISASI POLIO Pada awal program imunisasi polio (1980), cakupannya masjh sedemikian rendah yaitu sekitar 47.000 anak (0,9%) untuk dosis 1 kali, 32.000 (0,6%) untuk dosis 2 kali dan 11.000 anak (0,2%) untuk dosis 3 kali3. Sampai akhir tahun
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 5
Keberhasilan peningkatan cakupan imunisasi adalah cermin dari hasil kerjasama vertikal dan intersektoral yang baik. Jajaran Departemen Kesehatan dari tingkat pusat sampai kabupaten-kabupaten di seluruh Indonesia, didukung oleh 5.553 puskesmas dan sekitar 200.000 posyandu, bekerja sama dengan jajaran Departemen Dalam Negeri dari tingkat pusat sampai tingkat pemerintahan desa. Cakupan imunisasi polio lengkap tertinggi dicapai oleh Propinsi Bengkulu yaitu 70% dan kenaikan cakupan imunisasi polio lengkap Propinsi Jambi naik 52% (6% pada tahun 1985 menjadi 5'8% pada tahun 1986)3 Peranan Departemen Penerangan dan media massa juga sangat membantu peningkatan cakupan imunisasi. Beberapa surat kabar dan majalah menyediakan rubrik khusus kesehatan yang kadang-kadang memuat artikel tentang imunisasi. Selain itu organisasi kemasyarakatan PKK tidak diragukan lagi peranannya dalam mendukung program imunisasi. Penghargaan UNICEF kepada team penggerak PKK dikenal sebagai Maurice Pate 88 baru-baru Mi., merupakan pengakuan internasional atas peranan PKK dalam mendorong peningkatan kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia. Tanpa mengurangi penghargaan atas usaha instansi-instansi, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan tokoh-tokoh informal dalam meningkatkan cakupan imunisasi, sebetulnya cakupan imunisasi lengkap 46% (polio) masih di bawah cakupan rata-rata di seluruh dunia yaitu 55%4 namun pencapaian Indonesia ini masih di atas rata-rata pencapaian regional Asia Tenggara (pernbagian wilayah menurut WHO) yang hanya meliputi 41%. Di antara 3 negara anggota ASEAN yang berpenduduk banyak (Indonesia, Filipina, Thailand), ternyata Indonesia sampai akhir tahun 1986 paling rendah persentase cakupan imunisasinya, sedangkan Filipina dan Thailand pada tahun yang sama sudah mencapai 55% dan 69%4'5. Walaupun begitu jumlah anak-anak Indonesia yang divaksinasi masih lebih banyak daripada jumlah anak gabungan ke 5 negara anggota ASEAN lainnya yang divaksinasi. Pada Gambar 2 diperlihatkan perbandingan persentase cakupan vaksinasi polio lengkap antara Indonesia dan Thailand selama 7 tahun (1980—1986). Di sin terlihat vaksinasi polio lengkap di Indonesia pada tahun 1980 masih amat rendah (0,2%) sedangkan di Thailand pada waktu bersamaan sudah mencapai sekitar 18%. Pada tahun 1986, anak-anak yang divaksinasi sudah 46% dari seluruh anak usia vaksinasi (naik 45,8%) dan di Thailand juga naik menjadi 69% lebih (naik 41%). Rupanya tidak hanya Indonesia saja yang ay if menaikkan cakupan imunisasi namun juga Thailand terbukti selama 7 tahun program imunisasi kenaikan cakupan imunisasi Indonesia dan Thailand hampir sebanding. Cakupan imunisasi rendah sekali pada awal program imunisasi polio, karena menurut Departemen Kesehatan, pada tahun 1980 belum satupun puskesmas di Indonesia yang melaksanakan imunisasi antigen viral, pada tahun 1981 baru sekitar 3% serta pada tahun .1983 hanya 8% puskesmas yang rnampu rnelaksanakan vaksinasi antigen viral. Pada akhir 1986 sudah 96% dad 5.553 puskesmas melakukan vaksinasi antigen viral dan diharapkan pada akhir tahun 1988 sudah semua puskesmas3 .
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991
Gambar 2. Perbandingan hasil cakupan .imunisasi polio lengkap antara Thailand dan Indonesia tahun 1 9 8 0 - 1 9 8 6 .
PENGARUH IMUNISASI TERHADAP KASUS POLIOMIELITIS Kasus poliomielitis di Indonesia menurut WHO, tahun 1981 sampai tahun 1983 bertuput-turut dijumpai 941 (1981), 218 (1982) dan 57 kasus (1983)1. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan, kasus poliomielitis dari tahun 1981 sampai tahun 1986 adalah sebanyak 160 (1981), 88 (1982), 102 (1983), 86 (1984), 76 (1985) dan 32 (1986)3. Perbedaan data yang disajikan oleh WHO dan Departemen Kesehatan ini menunjukkan belum sempurnanya sistim pelaporan rumah sakit sentinel3 , namun baik dari laporan WHO maupun Departemen Kesehatan kasus poliomielitis menunjukkan kecenderungan menurun. Terlihat ada perbandingan terbalik antara cakupan vaksinasi polio dengan kasus poliomielitis; makin tinggi cakupan vaksinasi polio makin sedikit kasus poliomielitis. Pengamatan dari 2 negara (Columbia dan Mexico) juga menunjuklan hal yang sama5. Di negara-negara yang termasuk dalam regional Eropa cakupan imunisasi polio lengkap sudah mencapai rata-rata 90%, dari 831 juta. lebih penduduk4 (tahun 1983), kasus poliomielitis tahun 1981 hanya 376, tahun 1982, 366 kasus dan tahun.1983 dijumpai 217 kasus, dari 217 kasus itu 165 di antaranya ditemukan di Turki dan 25 ditemukan di Spanyol, sedang di negara Eropa lainnya hanya sekitar 0—8 kasusl. Cakupan imunisasi polio di Turki tahun 1986 baru 45%4. Walaupun cakupan imunisasi lengkap di Indonesia pada tahun 1983 baru 6%, namun angka kesakitan sudah di bawah 60 orang. Di Filipina dan Thailand walaupun angka cakupan imunisasi lengkap pada tahun 1986 sudah melampaui Indonesia, namun angka kesakitan di Filipina' dan Thailand tahun 1983 lebih tinggi, masing-masing 349 dan 143 kasus, padahal cakupan di Thailand pada tahun yang sama sudah lebih dari. 40%1,3,4 Jumlah penderita poliomielitis di Indonesia yang dilaporkan adalah yang berasal dari rumah sakit sentinel. Jumlah kasus poliomielitis di masyarakat sendiri jauh lebih banyak; menurut perkiraan Departemen Kesehatan, pada tahun 1983 jumlah kasus poliomielitis ada 8.600, angka kematian sekitar 860 (l0%) 3 . Perkiraan kasus poliomielitis
tahun 1985—1986 dan 1986—1987 bila tanpa intervensi imunisasi ada 9.000 dan 9.5003 . Pada Tabel 1 tertera perkiraan poliomielitis bila tanpa imunisasi dan bila diimunisasi untuk tahun 1985—1986 dan tahun 1986—1987. Perkiraan masih banyaknya angka kesakitan dan kematian, mungkin karena cakupan imunisasi polio masih rendah (46%). Tabel 1. Perkiraan jumlah angka kesakitan dan kematian poliomielitis yang dapat dicegah dengan imunisasi 3 . Tahun
Keadaan bila tanpa imunisasi
Intervensi Program Imunisasi Berhasil dicegah Masih terjadi
Sakit Mati
Sakit Mati
Sakit Mati
1985— 1986
9000 900
2700 300
6300 600
1986— 1987
9500 950
4300 400
5200 550
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kota Raya Bombay (1982—1987), menunjukkan bahwa dengan cakupan rata-rata sekitar 40% selama 6 tahun, angka kesakitan poliomielitis juga tidak berkurang banyak, rata-rata sekitar 1.000/tahun6. WABAH POLIOMIELITIS SETELAH PPI Laporan terakhir epidemi poliomielitis sebelum Pengembangan Program Imunisasi (PPI) polio, terjadi di Bali Selatan pada tahun 1977'. Cakupan imunisasi polio yang rendah (0,2%) pada awal program imunisasi polio, menyebabkan terjadinya wabaOtliberbagai tempat di Indonesia. Tahun 1981 terjadi wabah di Trenggalek dan Jombang di Jawa Timur dan di Buleleng, Bali. Tingkat serangan (Attack Rate = AR) di Trenggalek, 9/100.000 penduduk dan di Buleleng, 7/100.000 penduduk°, rata-rata tingkat serangan secara nasional adalah 5,6/100.000 penduduk3. Wabah dengan tingkat serangan yang amat tinggi, terjadi di lokasi pemukiman transmigrasi dan sekitarnya di Kecamatan Nimbora, Kabupaten Jayapura, Irian Jaya. Tingkat serangan yang terjadi adalah 1,86/100 penduduk7. Daerah ini kemudian divaksinasi masal sehingga meluasnya wabah bisa dicegah9. Antibodi yang terbentuk pada anak-anak vaksines di daerah wabah ini cukup untuk menangkal infeksi virus berikutnya, namun imunitas terhadap ke 3 tipe virus polio tidak sama9. Hal ini dapat dimaklumi, karena kemanjuran (efficacy) vaksin polio dosis lengkap di Indonesia diperkirakan sekitar 80%3. Kemanjuran vaksin polio dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu : 1) Faktor adanya interferensi sesama anggota enterovirus di alam, dan 2) Faktor sifat fisik vaksin yang termolabil'°. Kejadian epidemi poliomielitis di daerah yang sudah divaksinasi dilaporkan juga di Marathwada, Negara Bagian Maharastra, India tahun 1986; jumlah penderita 1.089 anak, tingkat serangan 11,3/100.000, tingkat kematian, (Mortality Rate = MR) 8,7%11 ..Suatu hal yang sangat memprihatinkan adalah bahwa 44,7% dari seluruh penderita telah mendapat vaksinasi polio lengkap atau sebagian. Di Indonesia cakupan imunisasi polio lengkap 45%, kemanjuran vaksin diperkirakan 80%4,6. Di Indonesia, wabah yang agak besar terjadi di Pemukiman Transmigrasi, Kecamatan Tinanggea, Kendari, Sulawesi Tenggara, di tahun 1985—1986. Cakupan imunisasi
46% di Indonesia •dan 45% di India tahun 1986, ternyata belum menjamin berkurangnya kasus poliomielitis. Peningkatan cakupan imunisasi memang harus digalakkan, supaya pads -akhir tahur>f 1990 cakupan imunisasi polio bisa 80%, seperti yang telah ditargetkan. FAKTOR PENGHAMBAT TIMBULNYA IMUNITAS Sebagaimana telah dinyatakan, kemanjuran vaksin polio sangat dipengaruhi dua faktor utama, yaitu faktor adanya interferensi sesama anggota enterovirus dan faktor sifat fisik vaksin yang termolabil10 Faktor interferensi sesama anggota enterovirus Penelitian-penelitian di negara maju sudah membuktikan adanya interferensi- antara sesama anggota grup enterovirus12,13. Anggota grup enterovirus ialah virus polio, virus coxsackie, virus ECHO dan enterovirus baru14. Tidak hanya enterovirus yang saling mengadakan interferensi, namun sesama virus polio galur vaksin juga ada interferensi. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di Purwakarta, Jawa Barat, menunjukkan bahwa pembentukan antibodi terhadap polio secara alami pada anak-anak usia baduta dihambat oleh enterovirus lainnya15. Hambatan pembentukan antibodi pada vaksines bisa juga terjadi. Di Bombay, India, walaupun cakupan imunisasi polio lengkap sudah 45% (1987) namun tingkat serangan poliomielitis masih tinggi, sekitar 10/100.000 penduduk6. WHO menunjuk kegagalan hasil imunisasi ini karena buruknya sanitasi dan rendahnya sosioekonomi masyarakat.6 Sanitasi yang buruk menyebabkan enterovirus tersebar luas di masyarakat dan pada gilirannya menghambat pembentukan antibodi terhadap polio pada vaksines. Faktor sifat fisik vaksin yang termolabil Vaksin polio oral adalah vaksin yang berasal dari virus yang masih hidup tetapi dilemahkan; perlakuan dengan kenaikan suhu sedikit saja akan bisa mematikan virus polio. Bila tiap mililiter vaksin mengandung kurang dari 105 (100.000) virus, seperti apa yang ditentukan WHO, vaksin tidak poten lagi dan bila diberikan kepada vaksines, tidak akan timbul imunitas. Penelitian oleh Joko Yuwono dick. menunjukkan bahwa pada suhu 25°C (sama dengan suhu kamar ber AC), dalam waktu kurang dari 4 hari, vaksin sudah tidak poten lagi. Pada 10°C, vaksin hanya poten sampai hari ke 2010. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara potensi vaksin dengan perlakuan suhu. Di sini terlihat bila vaksin disimpan dalam lemari pendingin (5°C), bukan pada ruang pembuatan es, potensi vaksin akan hilang setelah 1 bulan penyimpanan. Berdasarkan peninjauan di 4apangan, La Force meragukan sistim rantai dingin (cold chain) di Indonesia7. Sering terputusnya aliran listrik,'mahalnya harga minyak di daerah terpencil, kelalaian petugas menjaga lampu minyak pada lemari pendingin non listrik, merupakan kendala-kendala kemantapan rantai dingin. HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI Bila pada tahun 2000 nanti poliomielitis paralitika, meningitis dan ensefalitis yang disebabkan oleh virus polio bisa dibasmi, apakah kedudukannya tidak digantikan oleh anggota enterovirus lainnya, karena enterovirus lain juga berpotensi sebagai penyebab paralisis, meningitis maupun ensefalitis. Tabel 2 memperlihatkan anggota-anggota enterovirus yang
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 7
Gambar 3. Kurva rata-rata titer vaksin polio pada berbagai tingkat suhu dan lama waktu penyimpanan 7
6
KESIMPULAN
4
3
virusn,16 Survai poliomielitis di Kota Raya Bombay tahun 1985, menemukan bahwa penderita paralisis yang disebabkan oleh enterovirus non polio pads anak-anak yang diimunisasi, lebih tinggi daripada anak-anak penderita paralisis non polio yang tidak diimunisasit'. Berdasarkan laporan dari Hongaria dan India tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa enterovirus non polio berpotensi sebagai penyebab meningitis, ensefalitis dan paralisis. Enterovirus non polio lebih banyak menyebabkan kelumpuhan pada anak yang diimunisasi daripada oleh virus polio. Di Indonesia laporan enterovirus sebagai penyebab paralisis sampai saat ini belum pernah dicatat.
25 °C
0
4
Hari
12
Sumber : 10. 16
20
24
28
30
berpotensi sebagai,penyebab penyakit saraf. Kelumpuhan (paralisis bisa disebabkan oleh 7 tipe virus coxsackie grup A, semua virus coxsackie grup B, 13 tipe virus ECHO dan 2 tipe enterovirus baru (enterovirus tipe 70, 71). Ensefalitis bisa juga disebabkan oleh virus, coxsackie grup A dan grup B, masing-masing 5 tipe, virus ECHO sebanyak 12 tipe dan enterovirus 71 tipe. Di negara-negara Eropa, pencapaian cakupan imunisasi polio lengkap sudah mencapai rata-rata 90%4, di Uni Soviet yang penduduknya 270 juga lebih (1983), pada taltun 1981 hanya dijumpai 3 kasus poliomielitisl. Di Hongaria pada tahun yang sama hanya dijumpai 1 kasus sajal. Walaupun demikian di Hongaria pada tahun 1978 terjadi wabah meningitis dan ensefalitis yang kadang-kadang fatal. Jumlah penderita mencapai 1000 anak dan penyebabnya diidentifisir sebagai enterovirus non polio14. Tabel 2. Penyakit syaraf yang berhubungan dengan virus coxsackie, virus ECHO dan enterovirus 6 9 - 7 1 . Penyakit atau Gejala Klinis
Tipe virus
Meningitis (radang selaput otak) Paralisis (kelumpuhan)
virus coxsackie A l - 1 1 , 14, 16, 17, 18, 22 virus coxsackie B 1 - 6 virus ECHO 1-7, 9, 11-23, 25, 27, 30, 31, 33
Ensefalitis (radang otak)
virus coxsackie A2, 5 - 7 , 9 virus coxsackie B 1 - 3 , 5 , 6 / virus ECHO 2-4, 6, 7, 9, 11, 14, 17-19, 25 enterovirus 71
Ataksia (gangguan keseimbangan gerak)
virus coxsackie A4, 7, 9 virus ECHO 9
virus coxsackie A4, 6, 7, 9, 11, 14, 21 virus coxsackie B 1 - 6 virus ECHO 1-4, 6, 7, 9,11,14, 16, 19, 30 enterovirus 70, 71
Sumber : 11.
Di negara bagian Maharastra, India., dad 342 penderita yang. diperiksa ternyata 34 (10%) disebabkan oleh entero-
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991
Cakupan imunisasi polio lengkap sekitar 45% dari anak-anak usia vaksinasi, ternyata belum menjamin ketiadaan wabah maupun kasus-kasus poliomielitis, namun hanya mengurangi jumlah kasus poliomielitis saja. Bila cakupan imunisasi lengkap ditingkatkan sampai paling sedikit 90%, diharapkan kasus poliomielitis berkurang drastis sebagaimana di negara-negara maju. Peningkatan cakupan imunisasi seyogyanya diimbangi dengan perbaikan sanitasi lingkungan, perbaikan gizi keluarga, perbaikan tingkat sosioekonomi masyarakat. Rantai dingin dari pusat sampai tingkat puskesmas perlu ditingkatkan lagi. Hal yang perlu diperhatikan adalah kesinambungan aliran listrik, suhu penyimpanan dan ketelitian petugas penjaga lemari pendingin. Perlu dipikirkan penyediaan generator cadangan dan penyediaan bahan bakar cadangan yang cukup. Perkembangan hubungan antara keberadaan enterovirus dengan peningkatan kasus-kasus penyakit saraf perlu diamati. Pada gilirannya perlu dievaluasi apakah enterovirus sudah merupakan masalah kesehatan atau belum. KEPUSTAKAAN 1. WHO. Expanded Programme on Immunization. Poliomyelitis in 1983. Wkly Epidemiol Rec 1985; 60 (23) : 1 7 3 - 7 . 2. WHO. Global eradication of poliomyelitis by the year 2000. Wkly Epidemiol Rec 1988; 63 (22) : 1 6 1 - 2 . 3. Pemantauan program imunisasi tahun 1986/1987 (cakupan dan mutu pelayanan serta harapan) Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan RI., Jakarta, 1987. 4. WHO. Expanded Programme on.Immunization. Global status report. Wkly Epidemiol Rec 1987; 62 ( 3 3 ) : 2 4 1 - 3 . 5. WHO. Poliomyelitis in 1985. Part II and Control of diarrhoeal diseaes and Expanded Programme on Immunization. Wkly Epidemiol Rec 1987; 62 (38) : 2 8 1 - 5 . 6. WHO. Expanded Programme on Immunization. Poliomyelitis surveillance and vaccine efficacy. Wkly Epidemiol Rec 1988; 63 (33) : 2 4 9 - 5 1 . 7. La Force FMc. Polio in Indonesia. Report of USAID Consultant. 1981. 8. Titi Indijati S. The situation analysis of poliomyelitis in Indonesia, 1 9 7 1 - 1 9 8 2 . Directorate of Epidemiology and Immunization, Directorate General of Communicable Disease Control and Environmental Health, Ministry of Health, Republic of Indonesia, 1984; pp. 1 3 - 3 5 . 9. Eko R, Gendro W, Mulyono A, Suharyono W. Survai ulang wabah poliomielitis di lokasi transmigrasi Kecamatan Nimboro, Kabupaten Jayapura, Irian Jaya (1985). Makalah dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Penyakit Menular, Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan LitBang Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I.,
Jakarta, 21—24 Maret 1988. 10. Joko Y. Suharyono W, Suhana N. Pengaruh temperatur dan waktu penyimpanan terhadap potensi vaksin polio oral trivalen (Sabine type). Bul Penelit Kesehat. 1985; 13 (2) : 56—60. 11. Mandke VB, Dave Kh, Dama Bm, Bansal MP, Patankar. Poliomyelitis in Marathwada, Maharastra State, India. Vir Inf Exc Newslett. 1986; 3 (3) : 54. 12. Amos AM, Sabin AS. Characteristics of poliomyelitis and other enteric viruses recovered in tissue culture from healthy American children. Proc Soc Exp Biol Med. 1959; 87 : 655. 13. Hale JH, Doraisingham M, Kunagaratnam K, Leong KW, Monteiro ES. Large scale use of Sabin type 2 attenuated polio virus vaccine in Singapore during type 1 poliomyelitis epidemic. BMJ. 1959;
1 : 1541. 14. Melnick JL. Enteroviruses. in : Evans AS (ad) : Viral infections of humans. Epidemiology and control. 2nd edition. New York, London. Plenum Medical Book Company, 1984 : p. 187, 223. 15. Gendro W, Suharyono W. Preliminary study of enteroviruses infections among children in Purwakarta, West Java, Indonesia. Bul Penelit Kesehat 1981; 2 : 14—17. 16. Bansal MP, Muzumdar RD, Borkas MS, Ambulgekar R, Mandke VB. An outbreak of paralytic poliomyelitis in and around Aurangabad, Maharastra, India. Vir Īnf Eitc Newslett 1986; 3 (3) : 54-55. 17. Mandke VB, Salgaonkar SD, Pavar RM, Dave KH. Surveilance of poliomyelitis in Bombay, 1985. Vir Inf Exc Newslett. 1987; 1 (4) : 18-19.
Kalender Kegiatan Ilmiah 10-15 Februari 1991 — 13th Asian and Oceanic Congress of Obstetrics and Gynecology Central Plaza Hotel, Bangkok, Thailand. Secr.: Prof. Kamheang Chaturachinda Dept of Obstetrics and Gynekology Ramathibodi Hospital Bangkok 10400, THAILAND 20-23 Februari 1991— 2nd Congress Asia Pacific Assn of Soc of Pathologists Manila, PHILIPPINES Secr.: Philippines Soc of Pathologists, Inc. 114 Malakas Street, Diliman Quezon City 1103, PHILIPPINES 10-13 Maret 1991
11 Maret 1991
15-17 Maret 1991
— 8th Congress of Asian Surgical Assn. Fukuoka, JAPAN Secr.: Dr. F Nakayama Dept of Surgery 1, Faculty of Medicine, Kyushu University Fukuoka 812, JAPAN — Simposium Pengobatan Pencegahan Asma Masa Kini Bagi Masyarakat U m u m , RRI studio Bandung, Bandung, INDONESIA Secr.: Lab. UPF llmu Penyakit Daiam FK Unpad/RS Hasan Sadikin Perkumpulan Asma Bandung Bandung, INDONESIA — 3rd Asian-Pacific Symposium on Cardiac Rehabilitation Hyatt Regency, SINGAPORE Secr.: Felicia Teng Academyof Medicine, Singapore College of Medicine Building 16 College Road, # 01-01 SINGAPORE 0316
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 9
Pengamatan Potensi Vaksin Polio yang Dipakai dalam Pengembangan Program Imunisasi di Indonesia Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono, Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
ABSTRAK Pengamatan potensi vaksin polio oral trivalen (tipe Sabin) yang dipakai dalam program PPI di Indonesia telah dilakukan untuk mengetahui besarnya penurunan titer vaksin di tingkat Puskesmas, kecamatan, kabupaten, propinsi dan di tempat penyimpanan vaksin Dit. Jen. P2M PLP, Jakarta. Selama periode tahun 1983 sampai tahun 1986 telah diperiksa titer virus vaksin polio yang dikumpulkan secara acak sederhana dari 14 propinsi, 17 kabupaten, 32 Puskesmas/kecamatan dan di pusat penyimpanan vaksin di Jakarta. Pemeriksaan titer virus vaksin dilakukan dengan metoda uji makro pada biakan jaringan ginjal kera primer (PMK sel) dengan menghitung TCID50 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada tahun 1983 telah ditemukan 4,3% dan 4,6% vaksin polio yang tidak memenuhi syarat, dalam tahun 1984 telah ditemukan 4,3% vaksin polio dari tingkat propinsi yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan selama tahun 1986 tidak ditemukan lagi adanya vaksin polio yang tidak memenuhi syarat baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi maupun pada pusat penyimpanan vaksin. PENDAHULUAN Sampai saat ini telah dapat dibuktikan bahwa imunisasi tealh dapat menurunkan angka kematian bayi di negara kita menjadi 80 tiap 1000 kelahiran hidup, yang dalam Pelita V nanti diharapkan menjadi 40 tiap 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian program PPI (Pengembangan Program Imunisasi) akan merupakan program yang mendapat prioritas utama "dalam program pemerintah di bidang kesehatan sampai paling tidak pada Pelita ke V1 . Untuk menunjang keberhasilan program PPI tersebut sangat penting untuk melakukan evaluasi atau pengamatan terhadap program yang bersangkutan; pengamatan potensi vaksin polio merupakan salah satu faktor penunjang program PPI tersebut, dan hasilnya akan menjadi masukan yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan program; terlebih lagi vaksin virus diketahui bersifat thermosensitif, sehingga kerusakan vaksin akibat perubahan temperatur sangat mungkin terjadi, mengingat negara kita merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah tropik. Penelitian yang dilakukan oleh Setiady dkk., (1981) menunjukkan bahwa kondisi fasilitas alat pendingin untuk Dibacakan dalam Seminar Penyakit Menular. Puslit Penyakit Menular
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Badan Litbang Kesehatan Jakarta, Maret 1988.
tempat penyimpanan vaksin di tingkat kecamatan belum menunjang keberhasilan program PPI2. Akan tetapi pemantauan potensi vaksin pertusis yang dilakukan oleh Ditjen P2M PLP ternyata memberikan indikasi bahwa semenjak tahun 1983 sampai tahun 1986 potensi vaksin pertusis yang berasal dari berbagai daerah propinsi 80%.- 90% mutunya cukup baik dan mantapl. Keadaan ini secara garis besar dan tidak langsung merupakan suatu indikasi bahwa fasilitas sistem pendingin untuk tempat penyimpanan vaksin dari tingkat Puskesmas sampat ke tingkat propinsi akan mampu menunjang keberhasilan program PPI, apabila kondisi seperti ini dapat terus dipertahankan. Pengamatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran potensi vaksin polio oral yang dipergunakan dalam program PPI sebagai masukan bagi pelaksana program agar dapat melākukan perbaikan-perbaikan sepeflunya demi keberhasilan program PPI, khususnya terhadap imunisasi polio. BAHAN DAN CARA KERJA Sampel yang diperiksa adalah vaksin polio oral trivalen (mengandung virus polio tipe 1, tipe 2 dan tipe 3). Dalam
pengamatan ini didapati adanya dua jenis vaksin yang ternyata mengandung strain virus yang serupa (strain Sabin). Jenis vaksin pertama dikemas oleh Perum Bio Farma, Bandung, yang vaksin aslinya didatangkan dari luar negeri, sedangkan jenis vaksin kedua adalah vaksin polio oral yang dibuat oleh Smith Kline & French, ., Belgia; vaksin ini adalah sumbangan dari Unicef. Pengamatan dilakukan dari tahun 1983 sampai tahun 1986. Total sebanyak 248 sampel vaksin telah diperiksa selama pengamatan tersebut. Masing-masing sebanyak 102 dari tingkat puskesmas, 45 sampel dari kabupaten, 44 sampel dari tingkat propinsi, sedangkan 57 sampel lainnya berasal dari pusat penyimpanan vaksin DitJen P2M PLP di Jakarta. Pengambilan sampel di tempat penyimpanan vaksin dilakukan secara acak sederhana, sebanyak 3 sampel dikumpulkan di setiap lokasi dan dibawa dalam thermos berisi es (4° — 10°C) dengan pesawat udara ke Puslit Penyakit Menular di Jakarta. Di laboratorium vaksin segera disimpan pada suhu -20°C sampai diperiksa potensinya. Pemeriksaan potensi vaksin dilakukan dengan mengencerkan vaksin secara serial dari konsentrasi 10-t sampai dengan 10-7 dalam pelarut yang berupa medium Eagle's MEM yang dilengkapi dengan 2% serum anak sapi, 0,15% NaHCO3, 1-glutamin 0,3%, antibiotik 100 ug/ml. Pengukuran titer virus dilakukan dengan menghitnng TCID50 secara uji makro dengan menggunakan sel (kultur jaringan) ginjal kera primer (sel PMK). Pengamatan dilakukan selama 5 hari setelah inokulasi, pengeraman dilakukan pada suhu 37°C. Penghitungan titer virus dilakukan dengan metoda Karber3.
Tabel 1.
HASIL Selama tahun 1983, 6 propinsi yang diamati terdiri dari 11 kabupaten dan 23 kecamatan/puskesmas; telah diperiksa 69 sampal vaksin dari tingkat kecamatan, 15 sampel dari kabupaten, 18 sampel dari propinsi dan sebanyak 43 sampel dad pusat penyimpanan vaksin di P2M PLP, semuanya berjumlah 145 sampel. Dari 145 sampel tersebut masing-masing terdiri dari 4 nomor batch dari propinsi, 4 nomor batch yang sama berasal dari kabupaten, sebanyak 9 nomor batch lain berasal dari kecamatan dan 12 nomor batch berasal dari tempat penyimpanan vaksin di pusat. Hasil pemeriksaan titer virus menunjukkan adanya 3 nomor batch vaksin yang memiliki titer rendah yang berasal dari puskesmas, yaitu batch nomor 283A2; 382A dan 482A2. Demikian pula 2 nomor batch vaksin yang berasal dari pusat penyimpanan vaksin juga telah mengalami penurunan titer virusnya, yaitu batch nomor 283A2 dan 383A1. Dalam pengamatan tahun ini dapat disimpulkan bahwa terdapat kerusakan vaksin sebesar 4,3% di tingkat~kecamatan/puskesmas, sedangkan pada pusat penyimpanan vaksin terjadi kerusakan sebesar 4,6%; secara keseluruhan pada tahun 1983 ditemukan kerusakan sebesar 3,4% dari vaksin yang telah diperiksa. Selama tahun 1984, telah diterima 74 sampel vaksin yang berasal dari 7 propinsi masing-masing terdiri dari 4 kabupaten dan 3 kecamatan. Jumlah sampel sebesar 23 sampel dari propinsi, 26 sampel berasal dari kabupaten dan 15 sampel berasal dari kecamatan, sedangkan sisanya 15 sampel berasal dari pusat penyimpanan vaksin. Pemeriksaan titer virus vaksin renunjukkan adanya vaksin yang memiliki titer di bawah
Jumlah
Jumlah sampel vaksin polio oral yang diamati dan persentase kerusakannya berdasarkan tingkatan daerah asalanya dalam tahun 1983.
Propinsi (n) Kabupaten Kalimantan Timur Bali 1
NTB 2 Jawa Barat Sumatera Selatan 5 Bengkulu 5
Klungkung Gianyar
1 1
Lombok Barat 2
Palembang Bengkulu Pontianak Pekalongan Kudus Sragen Kebumen Klaten
18
Kerusakan
(n) Kecamatan
1 2 3 1 1 1 1 1
(n)
Pusat
(n)
Lempake
1
P2M PLP
43
Badung Denpasar Sukawati Denpasar Barat Benda Singapadu
1 1 1 1 1 1
Psi Kaliki
2
Bon Baru Ratu Agung
2 3
Wiradesa Kr Malang Klaten Binangun Nusa Wungu Mersi Sidoarjo Jabon Candi Gresik Kebo Mas Driyorejo Kayumanis
1 1 1 1 1 1 5 5 5 5 5 5 3
15 0 (0,0%)
69
0 (0,0%)
43
3 (4,3%)
2 (4,6%)
Tabel 1a. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase kerusakannya berdasarkan tingkatan daerah asanya tahun 1984. Propinsi DKI Jaya Kal. Tim Kai. Bar Jawa Barat Yogya Irian Jaya Lampung Jumlah Kerusakan
(n) Kabupaten 5 1 1 3 5 5 3
Jakarta Utara Banjarmasin Pontianak Bekasi
23 1 (4,3%)
(n)
Kecamatan
(n)
Pusat
(n)
5
Tg. Priok Koja Penjaringan
5 5 5
P2M PLP
10
10 4 2
26 0 (0,0%)
15 0 (0,0%)
10 0 (0,0%)
105,0/dosis yaitu nomor batch 184A2 yang berasal dari propinsi Lampung. Dalam periode ini dapat dikemukakan bahwa terdapat kerusakan vaksin yang berasal dari propinsi sebesar 4,3%. Dalam tahun 1986, telah dapat dikumpulkan 29 sampel vaksin yang berasal dad 1 daerah propinsi, 2 kabupaten dan 6 daerah kecamatan, yang masing-masing terdiri dari 1 nomor
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 11
I
Tabel lb. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase kerusakannya berdasarkan tingkatan daerah asalnya tahun
1986.
Propinsi (n) Yogyakarta
Jumlah Kerusakan
Kabupaten
(n)
Kecamatan
(n)
Medan
3
Ular Karang Sentosa Baru Pasar Merah Batu Enam Prapat Simalungun
3 3 3 3 3 3
Bekasi
1
Pusat
3
(n)
Gambar 1. Perbandingan kurva persentase kumulatif potensi vaksin polio oral; persentase kumulatif perbaikan faktor penunjang operasional dan persentase kumulatif cakupan imunisasi polio (3 dosis) dalam program PPI di Indonesia sejak tahun 1983-1986.
P2M PLP 4
3 0 (0,0%)
4
18
0 (0,0%)
0 (0,0%)
4 0 (0,0%)
Tabel 2. Jumlah vaksin, nomor batch dan keadaan vaksin berdasarkan tingkatan daerah asalnya, dalam tahun 1983-1986. Propinsi
Pusat
Total
11 4 15 100%
6 4 18 95,7%
1 12 43 95,4%
41 29 145 97,8%
3 1 15 100%
4 4 26 100%
7 6 23 95,7%
1 2 10 100%
15 13 74 98,9%
6 2 18 100%
2 2 4 100%
1 1 5 100%
1 3 4 100%
10 8 31 100%
Kecamatan
Kabupaten
1983: Lokasi Nomor batch Jumlah vaksin Mutu vaksin
23 9 69 100%
1984: Lokasi Nomor batch Jumlah vaksin Mutu vaksin 1986: Lokasi Nomor batch Jumlah vaksin Mutu vaksin
batch, 2 nomor batch masing-masing berasal dari kabupaten dan kecamatan serta 3 nomor batch lain berasal dari pusat penyimpanan vaksin. Hasil pemeriksaan titer virus menunjukkan tidak satupun nomor batch vaksin yang diperiksa menunjukkan titer virus yang tidak memenuhi syarat, bahkan ternyata memiliki titer virus yang cukup tinggi, rata-rata mencapai 107,0 /ml. Dapat ditambahkan pula bahwa dalam pengamatan ini temyata ditemukan adanya dua jenis vaksin polio yang berasal dart pabrik yang berbeda, tapi keduanya mengandung strain virus yang serupa (strain Sabin). Kedua jenis vaksin tersebut adalah produksi Perum Bio Farma di Bandung dan produksi Smith Kline & French di Belgia, yang ternvata keduanya mengandung titer virus polio tipe 1 sebesar 106,0/ml; Polio tipe 2 sebesar 105,0/ml dan Polio tipe 3 sebesar l05,0/ml. PEMBAHASAN Imunisasi polio di negara berkembang yang terletak di kawasan tropik benua Asia, Amerika Latin dan Afrika mengalami hambatan antara lain adanya interferensi sesama enterovirus di alam, sehingga imunisasi polio perlu diberikan tiga
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
kali dosis dengan jarak waktu pemberian antara 6 — 8 minggu. Untuk melakukan imunisasi secara demikian di negara-negara tersebut diperlukan suatu sistem rantai dingin (cold chain) untuk mempertahankan vaksin agar dapat berfungsi dengan baik3. Kondisi sistem pendingin ini perlu dipantau melalui pemeriksaan potensi vaksin polio secara berkesinambungan. Demikian pula halnya di Indonesia, pemantauan potensi vaksin polio yang dipakai dalam program PPI mutlak merupakan penunjang bagi berhasilnya program PPIdi Indonesia. Berdasarkan laporan yang diperoleh dari Dit Jen P2M PLP mengenai Pemantauan Program Imunisasi dapat diketahui bahwa cakupan imunisasi polio (3 dosis) dari tahun 1983 sampai tahun 1986 ternyata telah dapat ditingkatkan terus dari sekitar 8% menjadi 45%, sedangkan dalam tahun 1988 ditargetkan akan mencapai 65%. Untuk mencapai target tersebut sudah barang tentu diperlukan suatu akselerasi melalui .perbaikan berbagai faktor penunjangnya, Faktor penunjang tersebut antara lain adalah : penyediaan vaksin, fasilitas sistem pendingin dari tingkat propinsi sampai ke tingkat kecamatan; tidak dapat diabaikan pula adanya tenaga juru imunisasi yang terampil. Untuk mencapai target cakupan sebesar 65% dalam akhir Pelita IV ini, maka telah dilakukan peningkatan dana terutama untuk kebutuhan faktor penunjang operasional, menjadi dua kali lipat4, ditambah lagi dengan adanya sumbangan vaksin yang berasal dari swasta, misalnya Rotary Club dan Unicef; dengan tersedianya dana yang cukup, maka pencapaian target cakupan sebesar 65% pada akhir Pelita IV sangat mungkin dapat dicapai.
Gambar 2. Titer rata-rata vaksin polio oral berdasarkan nomor batch vaksin yang diperiksa dalam tahun 1 9 8 3 - 1 9 8 6 .
Gambar 3. Titer rata-rata vaksin polio oral berdasarkan tingkat daerah asalnya, dalam tahun 1983-1986.
Dalam pengamatan ini dapat dikemukakan walaupun baru 14 propinsi yang telah diamati, namun telah mencakup 50% jumlah propinsi yang ada. Hasilnya ternyata dapat menunjukkan adanya perkembangan yang cukup berarti dalam tahun-tahun yang diamati; misalnya dalam tahun 1983 telah ditemukan kerusakan vaksin polio sebesar 4,3% pada tingkat
Puskesmas.Demikian pula terdapat kerusakan sebesar 4,6% pada tempat penyimpanan vaksin di Ditjen P2M PLP dalam tahun yang sama. Hal ini jelas merupakan bukti masih adanya ruang dingin yang belum berfungsi dan kemungkinan adanya petugas yang kurang cermat dalam melaksanakan tugasnya. Dalam periode tahun 1984 ternyata masih ditemukan pula adanya kerusakan vaksin polio sebesar 4,3% pada tingkat propinsi, yaitu di propinsi Lampung. Selanjutnya sejak tahun 1986 sudah tidak ditemukan lagi adanya kerusakan vaksin baik di tingkat propinsi ataupun tingkat kecamantan. Yang
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 13
meyakinkan adalah didapatinya titer virus vaksin yang cukup mantap dan dapat dipertahankan, yaitu rata-rata sebesar 107,0 /ml. Berpedoman pada hasil. pengamatan ini maka dapat diharapkan bahwa cakupan imunisasi polio sebesar 65% pada akhir Pelita IV dapat dieapai dengan catatan imunisasi dilakukan dengan menggunakan vaksin yang memiliki potensi yang dapat dipertanggungjawabkan apabila sistem rantai dingin seperti ini dapat ditingkatkan atau paling tidak.dapat terus dipertahankan. KESIMPULAN Dari pengamatan ini kiranya dapat dikemukakan bahwa dengan perbaikan sarana penunjang operasional maka potensi vaksin polio yang dipakai dalam program PPI di Indonesia dapat tetap dijaga dan dipertahankan mutunya, sehingga target cakupan imunisasi yang telah ditentukan sebesar 65% pada akhir Pelita ke IV akan tercapai dengan menggunakan vaksin polio yang dapat dipertanggungjawabkan potensinya.
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
KEPUSTAKAAN 1. Pemantauan Program Imunisasi Tabun 1986/1987 (Cakupan imunisasi dan mutu pelayanan serta harapan). Dit Jen P2M PLP. Dep. Kes. RI. Jakarta. 2. Setiady IF, Gunowiseso, Noto Abiprodjo, Tarantola D. Program Imunisasi di Indonesia, Masalah dan Prospek Pengembangannya. DirJen P3M DepKes RI. 1981. p. 14 — 6. 3. Sabin AB. Poliomyelitis in the Tropics; increasing incidences and prospect for control. Trop. Geogr. Med. 1963; 15 : 38. 4. Gunawan S. Kebijaksanaan dan Hambatan dalam Pelaksanaan Pengembangan Program Imunisasi. Dalam: Laporan Simposium Memasyarakatkan Imunisasi dalam Rangka Penurunan Mortalitas Bayi dan Anak. Eds : A Djohari dkk. Jakarta, FKMUI, 1985; p. 35—53. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr. Gunowiseso, Kepala Subdit Imunisasi Dit Jen P2M PLP yang telah memberikan bantuan dalam penyediaan vaksin polio untuk penelitian. Demikian pula kepada Dr. Iskak Koiman yang- telah memberikan ijin pelaksanaan penelitian ini. Juga kepada perorangan ataupun instansi lain yang belum disebutkan di sini, atas segala bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini terlaksana, penulis mengucapkan terimakasih.
Sifat Kinetik Virus Polio di Indonesia, Pemeriksaan fact-40 Marker Virus Polio Tipe 1 Djoko Yuwono dan Gendrowahyuhono Pusat Penelitian Pen yakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.L, Jakarta
ABSTRAK Untuk mengetahui sifat keganasan beberapa galur virus polio yang telah diisolasi dari beberapa daerah, telah dilakukan pengujian rct-40 marker dengan cara menghitung (infektivitas) virus polio tipe 1 pada perlakuan temperatur 40°C dalam biakan sel ginjal kera primer dengan cara makro. Sejumlah 27 hasil isolasi virus dari masyarakat sehat dan 8 isolasi dari kasus tersangka poliomielitis telah diidentifikasi dengan uji netralisasi terhadap pool antiserum enterovirus. Pengujian rct-40 marker terhadap virus polio tipe 1 hasil isolasi di masyarakat dan dari kasus polio ternyata menemukan 3 (tiga) galur ganas virus polio tipe 1, sedangkan pemeriksaan rct-40 marker pada vaksin polio menunjukkan basil rct-40 negatif untuk semua nomor batch vaksin yang diuji. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara galur ganas dan jinak virus polio tipe 1 baik yang ada di masyarakat ataupun yang berasal dari kasus poliomielitis.
PENDAHULUAN Pengetahuan tentang sifat kinetik virus menjadi sangat penting kejak para ahli mulai menggunakan virus hidup untuk pembuatan vaksin. Dengan mempelajari sifat kinetiknya, akan diketahui sifat biologi dan fisik dari suatu tipe virus baik persamaan ataupun perbedaannya; selain itu dapat pula diketahui tipe virus secara intra tipik yang merupakan penyebab pada saat epidemik ataupun non epidemik1,2 ; demikian pula tipe virus yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan yang tidak3,4. Dengan pemeriksaan rct-40 marker dapat diketahui sifat keganasan virus polio secara in vitro, sehingga dapat diketahui apakah suatu galur ganas atau jinak. Penelitian ini merupakan suatu penelitian pendahuluan untuk mencari hubungan antara sifat kinetik virus polio tipe 1 yang berhasil diisolasi dari orang sehat dan dari kasus-kasus tersangka poliomielitis. Dari hasil penelitian didapat indikasi bahwa virus polio tipe 1 merupakan virus yang dominan di masyarakat dan diketahui paling virulen yang dapat menyebabkan kelumpuhan, oleh karena itu pemeriksaan dititik beratkan pada pemeriksaan rct-40 marker terhadap virus polio tipe 1. Dibacakan pada Kongres Nasional Biologi Ke VI Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, Otkober 1987.
BAHAN DAN CARA KERJA Sampel Sampel dikumpulkan dari masyarakat daerah perkotaan dengan sanitasi baik dan daerah perkotaan dengan lingkungan buruk. Sedangkan kasus-kasus tersangka poliomielitis berasal dari beberapa daerah yang dikirim ke PuslitPenyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan Jakarta. Spesimen berupa tinja atau usapan rektal, dibawa dalam medium Hank's BSS, dengan pelengkap antibiotik (penisilin-streptomisin) 500 ug/ml. Dibawa dalam thermos yang diisi dengan CO2 kering. Isolasi dan identifikasi virus Isolasi virus dilakukan dengan menggunakan biakan sel ginjal kera primer (Maccaca Sp.), secarā macro assay. Inokulum 0,2 ml/tabung, inkubasi pada suhu 37°C dengan kemiringan tabung 5 - 8 ° . Inkubasi selama 7 hari, observasi terbentuknya efek sitopatik. Subkultur ulangan dilakukan bagi yang positif untuk mempertinggi kadar virus. Isolasi disimpan pada suhu minus 20°C sampai dilakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan dengan uji netralisasi dengan anti polio pool serum dengan mencampurkan 100 TCID50 virus
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 15
dari 20 unit antiserum dengan volume sama. Campuran virusserum diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam untuk memberikan reaksi serum-virus secara optimal. Inokulasi pada tabung berisi biakan sel ginjal kera, inokulum 0,1 ml tiap tabung, dua tabung untuk setiap campuran serum-virus. Pengamatan terbentuknya efek sitopatik sel ginjal kera dilakukan sampai hari ke 7. Tidak terbentuknya efek sitopatik pada biakan sel menunjukkan adanya virus yang dimaksud. Pemeriksaan rat-40 marker Pengujian rct-40 marker dilakukan dengan menghitung infektivitas virus polio (TCIL 0) pada biakan sel ginjal kera dengan perlakuan temperatur 37°C dan 40°C pada inkubator dan penangas air (waterbath), perubahan temperatur ± 1°C. Inokulum 0,1 ml tiap tabung, pengamatan efek sitopatik dilakukan sampai hari ke 7. Penghitungan TCID50 dilakukan dengan cara Karber5 dan penilaian rct-40 marker dilakukan berdasarkan ketentuan Benyesh-Melnick4. HASIL Selama ini telah dapat dikumpulkan 12 basil isolasi virus polio balk dari survai di masyarakat ataupun di rumah sakit, yaitu dari kasus-kasus tersangka poliomielitis. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa dari 27 basil isolasi virus di masyarakat ternyata hanya 1 virus polio tipe 1 dan 5 virus polio tipe 3 yang diisolasi dari daerah perkotaan dengan lingkungan balk dan lingkungan buruk. Dari kasus tersangka poliomielitis yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit di beberapa daerah ternyata dapat diidentifikasi 3 virus polio tipe 1 dari Jakarta, 1 virus polio tipe 1 dari Manado dan masing-masing 1 virus polio tipe 2 dan virus polio tipe 3 dari Kalimantan Tengah ( T a b e l 1 dan Ta b e l 2). Hasil pemeriksaan rct-40 marker ternyata dari tiga strain virus yang diperiksa hasilnya rct-40 positif (tabel 3). Untuk melengkapi penelitian ini telah dilakukan pengujian rct-40 marker pada 8 nomor batch vaksin polio yang dipakai untuk imunisasi polio di Indonesia dan hasilnya ternyata semuanya rct-40 negatif (tabel 4). Tabel 1. Hasil identifikasi isolasi virus entero pada masyarakat di daerah perkotaan dengan sanitasi buruk (Tanjung Priok) dan sanitasi bask (Kebayoran Baru).
Jenis virus entero Polio tipe 1 tipe2 tipe 3 Coxsaclae
ECHO 3 4 5 7 9 11 27 Jumlah *
B1 B2 B3 B4 B5 B6
Tg. Priok 0 0 3 1 1 1 0
Kebayoran Baru 1 0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 2 8 0 0 1
0 0 0 3 0 0 0
17
5
Keterangan: * : 5 hasil isolasi tidak diketahui jenisnya.
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Tabel 2. Hasil isolasi virus pada kasus-kasus tersangka poliomielitis yang dapat diperiksa di Puslit Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan. No. strain
Asal spesimen
Jenis virus
111/82 275/82 284/82 235/82 137/82 004/82 0014/82
DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta DI Yogyakarta Manado Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah
Polio tipe 1 Polio tipe 1 Polio tipe 1 Polio tipe 1 Polio tipe 1 Polio tipe 2 Polio tipe 3
Tabel 3. Hasil pemeriksaan rct-40 marker. terhadap isolasi virus dari masyarakat dan kasus-kasus poliomielitis. No. strain 235/81 65/81 185/81 262/81 200/81 111/82 284/82 235/82 137/82 014/82 Mahoney
Asal Tg. Priok Tg. Priok Tg. Priok Kebayoran Kebayoran DKI Jakarta DKI Jakarta DI Yogyakarta Manado Kal Teng Tokyo, NIH.
Tipe virus 37°C
40°C rct-40
Polio 3 Polio 3 Polio 3 Polio 1 Polio 3 Polio 1 Polio 1 Polio 1 Polio 1 Polio 3 Polio 1
ND ND ND 5,0 ND 5,0 ND ND 5,25 ND 4,5
6,8 * 6,0 6,5 6,8 6,3 7,0 6,8 7,0 7,0 6,8 6,0
+ + + +
Keterangan: ND : Tidak diperiksa * : Titer virus : 106,8. Tabel 4. Hasil pengujian rct-40 marker vaksin polio yang dipakai dalam imunisasi polio di Indonesia. No. batch 183 B1 281 Al 382 A 283 Al 282 Al 283 A2 383 Al 383 B Mahoney (1) MEF (2) Saukett (3)
Titer awal
37°C
40°C
7,0* 6,8 6,0 6,75 7,0 7,0 7,0 7,0 6,0 6,8 6,5
6,75 6,75 6,5 6,5 6,5 6,3 6,0 6,8 6,0 6,5 6,5
1 1 1 1 1 1 1 1 4,3 4,8 4,8
rct-40 + + +
Keterangan: Titer virus : 107,0 .
PEMBAHASAN Penelitian di Uganda dapat menunjukkan adanya enam varian antigen yang -berbeda, masing-masing antigen tersebut ternyata merupakan antigen yang dominan pada suatu periode tertentu2. Akan tetapi lebih lanjut tidak dapat ditunjukkan adanya hubungan antara strain yang dominan di saat wabah dan non wabah, tambahan pula jugs tidak dapat dibuktikan adanya hubungan antara strain yang diisolasi dari kasus poliomielitis dengan ada tidaknya kelumpuhan2. Hasil pengujian ini ternyata dapat menunjukkan adanya strain ganas (rct-40 positif) secara in-vitro pada masyarakat, selain itu dua basil isolasi virus berasal dari kasus polio ternyata keduanya rct-40 positif pula. Masalahnya sekarang apakah terdapat hubungan intratipik antara antigen tersebut. Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dilakukan pengujian
Gambar 1. Penyebaran virus entero pada masyarakat di daerah Kebayoran dan Tanjung Priok, pada tahun 1981.
Gambar 2. Penurunan titer virus polio tipe 1 pada temperatur 37 oC dan 40o C dibandingkan terhadap strain ganas Mahoney (virus polio tipe 1).
intratipik serodiferensi'asi (Mc Bride test). Pada penelitian ini juga belum dapat ditunjukkan adanya strain vaksin (attenuated strain) pada masyarakat, akan tetapi mengingat imunisasi polio telah dilakukan sejak lama, maka sudah pasti strain vaksin banyak terdapat di masyarakat. Lebih lanjut hasil pengujian rct-40 marker pada kasus polio terryata menunjukkan adanya infeksi strain ganas pada penderita. Pengujian rct-40 marker terhadap hasil isolasi virus dari kasus polio perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terj di infeksi virus oleh strain yang berasal dari vaksin polio. Apabila hal ini terjadi, maka akan sangat penting sekali artinya karena hasil pemeriksaan rct-40 marker terhadap vaksin polio yang dipakai untuk imunisasi polio ternyata semuanya negatif. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini hanyalah suatu penelitian pendahuluan; masih banyak hasil isolasi virus yang harus diuji sifat rct-40 merkernya, sehingga dapat diketahui distribusi virus polio, baik galur ganas ataupun galur jinak, baik yang berasal dari masyarakat ataupun yang berasal dari kasus polio, baik pada saat terjadi wabah ataupun saat non wabah. Yang dapat disimpulkan hanyalah. bahwa galur ganas virus polio tipe 1 terdapat di masyarakat maupun kasus-kasus poliomyelitis. Selain itu tampaknya terdapat kecenderungan bahwa virus polio tipe 1 merupakan tipe virus yang dominan di beberapa daerah. Demikian pula perbedaan intratipik masih harus diteliti untuk mengetahui hubungan antara galur yang dominan. KEPUSTAKAAN 1. Menube GMR. Outbreak of type 1 paralytic poliomyelitis in Kampala City and the surrounding Mango (East and West Buganda) district of Uganda during 1969. East Afr Med J 1972; 49 : 1012-9. 2. Balayan MS, Domok I, Fayinka OA, Soneji AD. Some characteristics of poliovirus strains isolated in Uganda between 1966 and 1971. Bull WHO 1976; 53 : 339-45. 3. Benyesh-Melnick M, Melnick X. The use of in vitro markers and neurovirulence test of genetic changes in attenuated poliovirus multiplying in the human alimentary tract. In: Poliovirus Live Vaccines, First International Conference on Live Poliovirus Vaccines, Washington DC. 1959. Pan American Sanitary Bureau, 1959. p. 179-202. (Scientific Publication No. 44). 4. McBride WD. Antigenic analysis of Polioviruses by kinetic studies of serum neutralization. Virology 1959; 7 : 45-58. 5. Grist NR, Ross CAC, Bell EJ, Stott EJ. Diagnostic Methods in Clinical Virology. Oxford : Blackwell Scientific Publication, 1966.
A book is a success when people who haven’t read it pretend they have.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 17
Pengembangan Program Imunisasi di Jawa Timur M. Faried K*, Hanny Roespandi**, Sri Prihartini*** *Staf Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya **Kasi Epidemiologi Kanwil Depkes Prop. Jatim. ***Kasi Imunisasi DinKesDa Prop. Dati I Jatim.
PENDAHULUAN Imunisasi terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) dapat menyelamatkan berjuta-juta anak dari kematian setiap tahunnya. Imunisasi TT pada ibu hamil juga mempunyai andil dalam penyelamatan bayi baru lahir. Pada saat ini kita telah sampai pada akhir Pelita V dan segera memasuki era tinggal landas. Pemerintah telah sepakat untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) pada akhir tahun 1990, yaitu pelayanan imunisasi dengan seluruh antigen (BCG—DPT—Polio dan Campak) di seluruh Puskesmas dengan cakupan minimum 90% pada kontak pertama (BCG dan DPT—1) dan minimum 80% untuk imunisasi lengkap (DPT 3, Polio 3 dan Campak). Cakupan ini harus dipertahankan setiap tahun agar sasaran strategis Pelita V tercapai. Pada akhir Pelita V, Departemen Kesehatan telah menuntukan sasaran strategis wilayah bebas Polio untuk Jawa — Bali dan Sumatra serta bebas Tetanus Neonatorum di Jawa dan Bali. Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa hal mengenai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) di Jawa Timur. PD3I di RSUD Dr Soetomo Surabaya1,2 Data Pencatatan—Pelaporan Seksi Penyakit Tropik dan Menular Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, dan Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr Soetomo (untuk kasus Polio) ditampilkan pada tabel 1. Pada tabel di atas terlihat bahwa jumlah penderita cenderung menurun sejak tahun 1982, sebaliknya angka kematian penderita tidak/belum menunjukkan perubahan nyata. Data tersebut di atas mengingatkan kita bahwa imunisasi terhadap penyakit difteri masih perlu ditingkatkan kacena agaknya lebih sulit menekan angka kematiannya. Data penyakit batuk rejan di RSUD Dr Soetomo tidak tercatat. Penderita- baru dirawat -di RS bilamana disertai penyulit berat seperti bronkhopnemoni. Diagnosis yang
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Tabel 1. Jumlah penderita difteri (1970—1989) Lab/UPF I. Kes. Anak, RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Tahun 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
Jumlah 234 394 372 400 466 495 405 505 568 689 500 411 570 482 359 290 223 203 171 125
Meninggal
CFR %
10 26 44 39 34 46 28 28 34 38 21 17 29 33 14 15 10 15 8 5
4.3 6.6 11.8 9.7 7.3 9.3 6.9 5.5 6.0 5.5 4.2 4.1 5.1 6.8 3.9 6.2 4.5 7.4 4.7 4.0
Keterangan: Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular
terekam tentunya adalah penyakit penyulitnya, sedang diagnosa pertussisnya tidak. Jumlah penderita Tetanus (anak dan neonatorum) juga. cenderung berkurang. Walaupun angka cakupan imunisasi TT2 kepada Ibu Hamil masih sekitar 44% dan Calon Pengantin Wanita 22% dalam tahun 1989/1990, kecenderungan penurunan jumlah penderita Tetanus Neonatorum tampak lebih mengesankan daripada Tetanus Anak. Penurunan jumlah penderita Tetanus menunjukkan kecenderungan yang mirip dengan penderita Difteri.
Tabel 2. Jumlah penderita Tetanus, 1970 - 1989, Lab/UPF I. Kes.. Anak. Dr. Soetomo, Surabaya. Tahun 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
Jumlah
Meninggal
CFR %
Tahun
Jumlah
Meninggal
78 96 109 128 125 92 146 146 140 113 164 143 124 123 79 99 62 58 49 45
9 10 17 14 23 19 24 31 28 20 16 11 15 13 6 17 10 5 2
11.5 10.4 15.6 10.9 18.4 20.6 16.4 21.2 20.2 17.7 9.7 7.7 12.1 10.6 7.6 17.2 16.1 8.6 4.4
1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
72 68 94 205 84 98 226 233 243 ' 258 394 326 322 233 272 146 299 163 114 126
9 13 23 53 20 19 41 35 47 45 33 43 20 32 32 15 15 11 2 6
Keterangan; Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular
1970 1971 1972 1973 ' 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
Jumlah 48 52 58 66 60 61 52 51 38 47 41 37 24 32 20 22 18 11 8 7
Meninggal 27 24 37 49 30 29 22 27 23 21 16 19 13 17 8 9 6 4 5 2
CFR % 12.5 19.1 24.5 25.8 23.8 19.4 18.1 15.0 19.3 17.4 8.4 13.2 6.2 13.7 12.9 10.3 5.0 6.7 1.7 4.8
Keterangan ; Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular.
Tabel 3. Jumlah penderita Tetanus Neonatorum, 1970 - 1989 Lab/UPF I. Kes. Anak, Dr Soetomo, Surabaya. Tahun
Tabel 4. Jumlah penderita Campak, 1970 – 1989, Lab/UPF I. Kes. Anak. Dr. Soetomo, Surabaya.
CFR % 56.2 46.1 63.8 74.2 50.0 47.5 42.3 52.9 60.5 44.7 39.0 51.3 54.2 53.1 40.0 40.9 33.3 36.4 62.5 28.7
Keterangan : Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular.
Program PPI baru mencakup imunisasi campak pada tahun 1982/1983. Data menunjukkan peningkatan cakupan dari tahun ke tahun, namun penurunan jumlah penderita tidak/ belum jelas terlihat dalam tabel di atas. Hasil pelaksanaan imunisasi mendapatkan angka 57% (1988/1989, Tabel 6), berarti PPI harus meningkatkan cakupan sebesar 23% lagi guna mencapai cakupan yang ditargetkan pada akhir tahun 1990. Upaya yang dilaksanakan memberikan harapan bahwa target tersebut dapat dicapai bila kita melihat hasil survai akupan tahun 1989 yang menunjukkan angka 82%. (Tabel 8).
Tabel 5. Jumlah penderita Polio, 1984 - 1989, RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Tahun
Surabaya
Luar Surabaya
1984 1985 1986 1987 1988 1989
29 37 36 34 19 24
55 41 65 44 27 39
Jumlah 84 78 101 78 46 63
Sumber : Laporan Unit Rehabilitasi Medik Tabel 6. Hasil Pelaksanaan Imunisasi Jawa Timur. 1985/1986 - 1988/1989. Jenis Vaksinasi BCG DPT 1 DPT3 Polio 3 Campak TT1 IH TT2 IH
Realisasi Kumulatif
Indonesia
85/86
86/87
87/88
88/89
88/89
63 63 40 40 40 31 21
61 61 46 47 43 33 24
65 65 53 54 48 33 25
70 71 65 66 57 34 29
81 82 71 73 64 45 37
Keterangan: Sumber : Berita Epidemiologi Jawa Timur, Mei 1989.
Umumnya penderita Polio lebih banyak datang dari luar Surabaya (60%). Jumlah penderita laki-laki lebih besar daripada perempuan (57.6 : 42.4). Penyakit Polio paling banyak menyerang anak anak kelompok usia 6 - 2 3 bulan, kemudian 2 - 6 tahun. Sebagian besar penderita datang berobat dalam stadium konvalesens (40.3%) dan stadium rehabilitasi (33.9%). Dan 387 penderita yang berobat ke Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr Soetomo, sekitar 5.9% pemah mendapat imunisasi
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 19
Polio. PPI di Jawa Timur3,4 Menurut catatan, program imunisasi di Jawa Timur telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19 untuk membasmi penyakit cacar. Kemudian, setelah penderita penyakit cacar terakhir di Jawa Timur ditemukan pada tahun 1969, dimulailah imunisasi gabungan Cacar—BCG pada tahun 1972 (vaksinasi cacar dihentikan pada pertengahan 1986). Tahun 1976/ 1977 PPI di Jawa Timur dimulai pada dua kecamatan yang selanjutnya dikembangkan secara bertahap, dan PPI pada saat itu memberikan imunisasi BCG—DPT—TT dan Cacar. Pada tahun 1981/1982 imunisasi Polio dimasukkan dalam PPI dan imunisasi Campak dimulai secara bertahap sejak tahun 1982/1983. Tahun 1983/1984 diberikan imunisasi DT di Sekolah Dasar menggantikan imunisasi ulangan BCG, sedangkan imunisasi TT di sekolah diberikan satu tahun kemudian. Imunisasi TT pada Wanita Usia Subur (WUS)—ibu non hamil mulai dilaksanakan pada tahun 1983/1984. Memasuki tahun 1987/1988 terdapat perubahan yaitu imunisasi TT pada WUS dibatasi hanya pada ibu hamil dan Calon Pengantin Wanita (CPW), sedangkan imunisasi TT pada anak sekolah dibatasi pada murid wanita saja. Pengembangan yang terjadi kemudian adalah "pelonggaran" indikasi kontra dan terakhir adalah upaya PPI Perkotaan. Realisasi cakupan imunisasi dari tahun ke tahun (1985/ 1986 — 1988/1989) ditampilkan secara singkat pada tabel 6. label 6 menyatakan adanya peningkatan cakupan dari tahun ke tahun. Akan tetapi hasil cakupan untuk semua jenis antigen dalam tahun 1988/1989 masih di bawah angka nasional, apalagi terhadap propinsi Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tabel 7. Hasil Pelaksanaan Imunisasi Jawa Timur. Jenis vaksin
Angka Drop-outs selama periode (dalam %) 84/85
DPT 1—3 Polio 1—3 DPT 1— Polio 3 TT 1 — TT 2
59 62 — 40
85/86
86/87
38 38 — 33
25 24 — 27
87/88 18 17 16 23
88/89 8 7 7 14
Keterangan: Sumber : Berita Epidemiologi Jawa Timur, Mei 1989
Dari tabel di atas-dapat dilihat bahwa peningkatan cakupan (kuantitas) dibarengi juga dengan pengurangan angka dropouts (kualitas). Evaluasi PPI di Jawa Timur5,6 Sampai saat ini telah dua kali dilakukan survai cakupan guna menentukan coverage rate. Survai pertama dilakukan dalam bulan Nopember 1986 dalam rangka midterm evaluation, dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari unsur WHO, Depkes, FK Unair, kelompok PICK dan wakil Bangdes. Survai kedua dilakukan dalam bulan September 1989 oleh Depkes derigan dana DIP Suplemen/OECF 1989/1990. Sasaran yang diperiksa adalah bayi/anak usia 12—23 bulan pada saat pelaksanaan survai dengan asumsi bahwa pada umur tersebut anak telah mendapatkan vaksinasi lengkap BCG, DPT,
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Polio dan Campak. Hasil kedua survai tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 8. Hasil survai cakupan imunisasi tahun 1986 dan 1989 di Jawa Timur l . Antigen
1986
1988/89 2 (dalam %)
1989
BAYI: DPT 1 2 3 Polio 1 2 3 Campak BCG Scar BCG
79 72 60 78 72 59 55 78 67
74 69 68 74 70 69 59 74 —
92 91 86 92 91 86 82 91 80
IBU: TT 1 TT 2/TT ulang
59 46
35 30
59 52
Keterangan: Sumber : 1. Berita Epidemiologi Jawa Timur 2. “Pemantauan Program Imunisasi Ditjen PPM & PLP Depkes RI.
tahun
1988/1989"
Attack Rate dan Vaccine Efficacy7 Tiap edisi Berita Epidemiologi Jawa Timur, hampir selalu memberitakan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Penyakitpenyakit penyebab KLB bermacam-macam, tetapi yang sering disebut adalah Diare—DBD—Carnpak—Difteri—Keracunan dan lain-lain. Peristiwa KLB terjadi menyebar pada Daerah Tingkat II Jawa Timur. Banyak hal dapat dipelajari dari peristiwa KLB, antara lain jumlah kecamatan terjangkit, macam penyakitpenyebab KLB, jumlah penderita—kematian—proporsi kelompok umur yang sakit dan lain-lain. Dalam makalah ini akan dibahas KLB Campak yang dilaporkan terjadi di desa Sekaran, kecamatan Jatirogo, kabupaten Tuban, tanggal 1 Januari — 23 Maret 1989. Dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah seluruh penduduk desa, didapatkan data sebagai berikut: Dari desa yang berpenduduk 2.806 jiwa, jumlah seluruh penderita dalam kurun waktu KLB adalah 458 dengan 10 kematian; (Attack Rate — 16.3% dan Case Fatality Rate — 2 . 2 % ) Case Fatality Rate rata-rata (nasional) untuk 1987 adalah 5.6% (Subdit Surveilens Ditjen PPM & PLP). KLB menyerang anak usia 0 — 14 tahun, tak ditemukan penderita usia > 15 tahun dan + 90% < 10 tahun. Proporsi terbesar pada kelompok usia 5 — 9 tahun (48.3%), kemudian kelompok usia Balita (0 - 4 tahun) 40% dengan AR masing-masing kelompok 713% dan 54.4%. Tidak terdapat kasus di desa tetangga. Di antara 183 penderita Balita hanya 5 penderita yang telah mendapat imunisasi Campak. Melalui tabel berikut ini dihitung vaccine efficacy campak. (Tabel 9) Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh angka Vaccine Efficacy (VEJ sebesar 83.9%; berarti cukup efektif atau dengan perkataan lain perlindungan yang diberikan/diakibatkan imunisasi cukup bermakna (nilai efektif 80 — 95%). Faktor-faktor yang mempengamhi timbulnya KLB tersebut antara lain adalah rendahnya cakupan imunisasi campak
Tabel 9. Distribusi penderita Campak (Balita) menurut status vaksinasi di Desa Sekaran, Maret 1989. Status imunisasi + — Jumlah
Sakit Tidak sakit Iumlah Campak 5 178
45 108
50 286
183
153
336
Attack Rate % 10.0 62.2 54.5
Keterangan: Sumber : Berita Epidemiologi Jatim, Juni 19 89 .
setempat (kecuali untuk tahun 1986/1987 sebesar 56.9%, rata-rata cakupan adalah < 7% per tahun). Letak desa berjarak 13.5 km dari Puskesmas dan melewati kawasan hutan, dan sejak tahun 1985 tidak penult ditemukan kasus campak. Walaupun tersedia Pos Kesehatan dan Posyandu, hari buka Pos Kesehatan setempat hanya 2 kali seminggu, sedangkan Posyandu sebulan sekali dan secara bergiliran didatangi tenaga Puskesmas sekali sebulan. Faktor-faktor tersebut ditunjang pula dengan faktor kurangnya pemanfaatan Pos Kesehatan atau Posyandu yang tersedia. PENUTUP Dengan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa Jawa Timur telah berupaya keras mengejar "persen tambahan" guna mencapai target UCI. Survai cakupan imunisasi 1989 membuktikan hasil upaya tersebut (label 8). Akan tetapi hasil tersebut perlu dibuktikan dengan analisa laporan Realisasi Pelaksanaan Imunisasi rutin. Faktor penyuluhan masih memprihatinkan dan terobosanterobosan sosial menjadi lebih penting. Dorongan utama adalah mobilisasi sosial yaitu keterlibatan semua untuk memberikan informasi dan mendukung para orangtua dalam memanfaatkan pelayanan-pelayanan imunisasi. Unicef, WHO dan Unesco telah menerbitkan buku Facts for Life 8 yang
berisi pesan-pesan pengetahuan perawatan anak bagi setiap keluarga. Pesan-pesan ini perlu disebarluaskan. Walaupun telah terdapat peningkatan status imunisasi Ibu Hamil (Bumil) yang mendapat TT2/TT ulangan dari 46% dalam tahun 1986 menjadi 52% dalam tahun 1989 (Tabel 8) hasil ini masih jauh dad target yang ditetapkan guna pemberantasan Tetanus Neonatorum. Survai cakupan tahun 1986 mendapatkan data bahwa tempat mendapatkan imunisasi terbesar adalah di Posyandu (60%), kemudian berturut-turut di Puskesmas (28%), Rumah Sakit (2%) dan Praktek Swasta (1%). Di samping mengupayakan peningkatan peran serta para Ahli Kebidanan, perlu diupayakan peningkatan pemanfaatan Posyandu khususnya pelayanan ANC (Ante Natal Care).
KEPUSTAKAAN 1. Pencatatan dan Pelaporan Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga — RSUD Dr Soetomo, Surabaya. 2. Pencatatan dan Pelaporan Unit Rehabilitasi Medik, RSUD Dr Soetomo, Surabaya. 3. Hendro Tjahjono Pengalaman Pelaksanaan Program Imunisasi di Jawa Timur. Simposium Imunisasi, Fakultas Kedokteran, Ikatan Dokter Anak Cabang Jawa Timur, DinKesDa Prop Dati I Jatim. Surabaya, Juni 1987. 4. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timtir. Edisi-edisi tahun 1986 — 1990. 5. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Edisi Pebruari, 1987. 6. Berita Epideriologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Edisi Pebruari, 1990. 7. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Edisi Juni, 1990. 8. UNICEF — WHO UNESCO. The Facts for Life. 1989.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 21
Pengawasan Kualitas dan Pengembangan Vaksin Virus Muljati Prijanto Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk mencegah dan memberantas penyakit menular adalah dengan meningkatkan kekebalan i$dividu terhadap penyakit menular dengan pemberian imunisasi. Seperti diketahui Program Pengembangan Imunisasi (PPI) merupakan program kesehatan yang penting berupa pemberian imunisasi terhadap enam penyakit yaitu difteri, pertusis, tetanus, tuberkulosis, polio dan Dampak. Sasaran program pada Pelita V adalah pencapaian cakupan imunisasi minimum 80% untuk semua antigen dan dapat dipertahankan secara terus menerus. Dampak penurunan angka kesakitan dan kematian, terutama untuk penyaicit polio memungkinkan untuk menentukan strategi wilayah bebas polio untuk Jawa, Bali dan Sumatra. Vaksin yang akan digunakan hams memenuhi persyaratan dan melalui pengawasan kualitas yang ditetapkan WHO. Persyaratan yang hams dipenuhi antara lain adalah : 1) Vaksin harus poten agar dapat menimbulkan kekebalan yang dapat melindungi terhadap penyakit yang bersangkutanan. 2) Vaksin hams aman digunakan, artinya tidak menimbulkan reaksi samping yang tidak diinginkan, yang akan dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap program. 3) Vaksin yang digunakan hams disimpan dalam suhu yang memenuhi syarat sampai saat digunakan, agar potensi vaksin dapat dipertahankan. Penyimpanan vaksin pada suhu dingin sejak diproduksi sampai saat digunakan dinamakan rantai dingin. Tulisan ini akan membahas pengawasan kualitas dan perkembangan vaksin virus secara umum dan vaksin virus yang digunākan dalam program imunisasi di Indonsia.
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
ANTIGEN PROTEKTIF DAN VAKSIN Seperti diketahui antigen adalah substansi dari bermacammacam bentuk kimia yang mampu merangsang sistem imun untuk menimbulkan. respon spesifik yang ditujukan terhadap substansi yang merangsangnya dan bukan terhadap substansi lain. Antigen memiliki imunogenisitas yaitu kemampuan untuk memberi rangsangan pada molekulnya yang disebut determinan antigenik. Antigen yang memiliki kemampuan mengadakan reaksi spesifik dengan zat anti disebut imunogen. Berbagai persyaratan antigen yang baik antara lain adalah : • Memiliki berat molekul yang besar. Makin besar berat molekulnya makin tinggi sifat keantigenannya. • Bersifat asing. Makin asing makin baik. • Sifat menginduksi zat anti. Makin larut makin cepat induksinya. Sel dari mikroorganisme patogen, balk bakteri ataupun virus mengandung bermacam-macam substansi antigenik yang dapat menginduksi terbentuknya zat anti. Namun tidak semua bagian dari mikroorganisme ada hubungannya dengan infeksi dan pencegahannya. Selalu hanya ada 1 atau 2 antigen yang dianggap relevan terhadap patogenisitas yang antagonis. dengan zat anti. Antigen yang berkelakuan seperti ini dalam infeksi disebut antigen protektif.l Secara umum antigen protektif adalah substansi antigen yang merupakan struktur permukaan dari mikroorganisme patogen dan menempati posisi yang membuat interaksi dengan sel hospes melalui kontak pertama dengannya. Konsep antigen protektif mempunyai implikasi penting dalam pengembangan dan produksi vaksin. Apakah dibuat dari toksin bakteri, sel bakteri atau sel virus, vaksin harus mengandung antigen protektif bia akan digunakan untuk mencegah infeksi dengan maksud mengontrol penyebaran wabah. Antigen protektif tidak hanya untuk imunisasi parenteral
yang menginduksi terbentuknya IgM dan IgG tetapi juga. dapat menimbulkan imunitas lokal dengan menginduksi antibodi sekretorik yang terdiri dari molekul dimer IgA. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON TERHADAP PEMBERIAN VAKSIN. Telah diketahui ada beberapa variabel yang mempengaruhi pembentukan zat anti setelah pemberian imunisasi, yaitu : • potensi vaksin yang diberikan • ādanya efektivitas ajuvan • jumlah dosis yang diberikan — tinggi pada inactivated vaccine • jadwal pemberian yang tepat, termasuk usia pada saat pemberian imunisasi • cara pemberian • jenis antigen — vaksin yang dilemahkan atau dimatikan VAKSIN VIRUS Vaksin virus dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : 1) Vaksin live attenuated. Vaksin jenis ini dibuat dari virus yang telah dilemahkan. Vaksin ini mempunyai kelbūlan karena menyerupai infeksi alami dalant hal pembentukan zat anti yang ditimbulkannya. Virus membelah dalam hospes dan merangsang pembentukan zat anti yang l e b l lama dan menginduksi zat anti pada jalan masuk infeksi. Ada dua macam cara pemberian imunisasi dengan vaksin ini yaitu melalu suntikan atau melalui jalan infeksinya misalnya dengan penyemprotan intranasal atau secara oral. Vaksin jenis ini memiliki beberapa kelemahan,3 yaitu : z Adanya risiko bahwa virus akan kembali menjadi lebih virulen selama pembelahan dalam tubuh manusia. Walaupun hal ini telah terbukti tidak menimbulkan masalah dalam pelaksanaan namun pemantauan tetap diperlukan. • Adanyakontaminan tidak dikenal yang secara laten menginfeksl sel yang digunakan dalam produksi yang mungkin masuk ke dalam vaksin. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan sel human diploid. • Masalah umur vaksin yang terbatas; dapat diatasi dengan penambahan stabilizer virus seperti IM MgC12 untuk vaksin polio. Walaupun secara teori dinyatakan bahwa tanggap kebal vaksin ini lemah atau dapat terjadi gangguan bila dua atau lebih antigen diberikan pada saat yang bersamaan, namun pada kenyataannya vaksin aman dan efektif. Contoh jenis vaksin ini adalah vaksin polio oral (OPV), campak, influensa, rabies, rubella. 2) Vaksin inactivated (killed). Vaksin ini dibuat dari seluruh partikel virus yang dimatikan. Sebagai contoh adalah vaksin polio (IPV). Vaksin ini diberikan melalui suntikan. Terdapat beberapa kelemahan dalam penggunaan vaksin ini ialah3 . • Dalam proses produksi diperlukan ketelitian yang tinggi untuk membuat vaksin yang bebas dari virus virulen yang
mungkin tertinggal dalam vaksin pada waktu mematikannya. • Imunitas yang ditimbulkannya singkat, sehingga perlu diberikan imunisasi ulangan (booster). Hal ini tidak hanya menambah beban operasional, namun dapat menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya efek dari protein asing yang ada dalam vaksin (hipersensitivitas). • Beberapa vaksin dapat menginduksi terbentuknya hipersensitivitas terhadap infeksi oleh virus liar. • Karena diberikan melalui suntikan maka tidak terbentuk kekebalan lokal. Cara penyimpanan vaksin virus pada umumnya pada suhu - 2 0 0 C, dan tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung. Vaksin dalam bentuk kering, bia telah diilarutkan harus segera digunakan, pelarut pada saat digunakan harus dalam keadaan dingin agar vaksin tidak rusak. PENGAWASAN KUALITAS VAKSIN VIRUS. Pengawasan kualitas vaksin dilakukan oleh pembuat vaksin selama proses produksi dan terhadap produk akhir, juga oleh lembaga yang berwenang di suatū negara (National Control Authority) terhadap produk akhir. Hasil uji kualitas dinyatakan pada sertifikat pemeriksaan yang dibuat oleh kedua lembaga tersebut di atas. Dalam hal ini akan dibahas pemeriksaan yang terpenting terhadap produk akhir, yaitu pemeriksaan potensi dan safety, namun tidak berarti bahwa pemeriksaan lain tidak dilakukan. Pemeriksaan potensi. Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur infektivitas virus dengan membandingkannya terhadap standar yang telah diketahui titer atau unitnya. Pemeriksaan potensi dibedakan antara vaksin yang dlemahkan atau vaksin virus hidup dengan vaksin inactivated. Pemeriksaan potensi dilakukan pada bulk dalam proses produksi dan pada produk akhir. A. Vaksin live attenuated' . Berdasarkan statistik dan karakteristiknya dibedkan dua tipe : 1) Quantal response assay Uji ini dapat dilakukan pada biakan jaringan, hewan percobaan (mencit), atau telur berembrio, dengan melihat tanda infeksi atau luka karakteristik yang ditimbulkan oleh virus yang diinokulasikan. Pada biakan jaringan digunakan indikator CPE. Dosis respon yang paling tepat adalah respon 50% yaitu dosis efektif 50% (ED 50). ED50 kemudian disebut dengan Tissue Culture Infected Dose 50% (TICD 50) atau Cell Culture Infective Dose 50% (CCID 50). Potensi dihitung dengan cara Spearman Karber, Reed Muench atau Probit Analisis. Sebagai contoh pemeriksaan yang menggunakan biakan jaringan adalah vaksin polio OPV dan vaksin campak. Vaksih yang diperiksa pada mencit ialah vaksin Yellow fever dan yang diperiksa pada telur berembrio adalah vaksin influenza. 2) Enumeration assay
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 23
Uji ini dapat dilakukan pada biakan jaringan (vaksin polio OPV, campak, yellow fever, rubella), pada kelinci (vaksin smallpox) dan pada telur berembrio (vaksin smallpox) Caranya dengan menginokulasikan sejumlah enceran virus pada biakan jaringan, hewan, atau telur berembrio yang kemudian akan membentuk fokus infeksi yang jumlahnya dapat dihitung. Potensi vaksin adalah titer suspensi virus dengan menghitung jumlah fokus atau plaque dari pengenceran tertentu. Satuan yang dipakai adalah FFU (Focus Forming Unit) atau PFU (Plaque Forming Unit). B. Vaksin virus "inactivated" ( "killed vaccines ")6 . Dasar pemeriksaannya adalah mengukur jumlah antigen imunogenik yang dikandungnya. Pemeriksaan ini dapat dibedakan dalam dua cara yaitu. : 1) Cara in vivo Tes dilakukan pada hewan. Sebagai contoh adalah vaksin rabies yang diperiksa dengan menggunakan mencit. Dasar pemeriksaan adalah dengan mengukur resistensi hewan yang telah diimunisasi terhadap infeksi virus atau menggunakan titer zat anti sebagai kriteria potensi. Caranya yaitu : mula-mula beberapa kelompok hewan diimunisasi dengan beberapa macam pengenceran vaksin, setelah jangka waktu tertentu diberi suntikan virus hidup dengan dosis tertentu (di challenge). Contoh lain adalah vaksin polio yang pemeriksaannya menggunakan mencit dengan mengukur respon zat anti rata-rata dari titer netralisasinya. 2) Cara in vitro. Cara ini digunakan untuk mengukur potensi vaksin dalam proses produksi. Sebagai contoh dengan cara gel difusi pada vaksin polio (IPV), cara fiksasi komplemen (IPV), ELISA (IPV, vaksin rabies), RIA (vaksin hepatitis B) dan dengan imuno elektroforesis pada vaksin influenza. Dasar pemeriksaan adalah reaksi antigen antibodi pada pengenceran 50%. Uji keamanan ("safety") Bila seluruh partikel virus digunakan, vaksin tersebut tidak saja mengandung antigen protein tetapi juga beberapa substansi lain yang toksik dan mungkin dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan bila masuk ke dalam tubuh manusia. Uji keamanan pada pembuatan vaksin virus sangat ketat dan dilakukan sejak tahap awal dari produksi, pemeriksaan keamanan pada proses produksi dilakukan terhadap bulk dan pada produk akhir. Pada beberapa vaksin dilakukan pula pemeriksaan neurovirulensi. Pemeriksaan ini diakukan dengan menggunakan mencit dan inarmut° untuk mengetahui ada tidaknya komponen toksik atau infected agent lain yang mungkin masih ada dalam vaksin. Caranya yaitu dengan menyuntikkan vaksin pada kelompok hewan mencit secara intraserebral atau marmut secara peritoneal. Hewan-hewan tersebut selanjutnya diamati selama 21 hari pada mencit, dan 42 hari pada marmut terhadap adanya kematian atau gejala tertentu. Bila ada hewan yang mati sebelum 24 jam atau sakit, maka harus dilakukan autopsi dan diuji terhadap adanya infeksi virus bai(C secara makroskopis maupun dan dengan melakukan subinokulasi pada sedikitnya 5 ekor hewan lain dan diamati
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
seperti pads uji sebelumnya. Produk memenuhi syarat bila sedikitnya 80% dari hewan yang diinokulasi tetap sehat dan tidak menunjukkan adanya infeksi selama pengamatan sedangkan pada marmut tidak terdapat infeksi dari Mycobacterium tuberculosis7 8 VAKSIN VIRUS YANG DIGUNAKAN DALAM PROGRAM IMUNISASI. Vaksin polio. Terdapat dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio vaccine (OPV). Penggunaan vaksin polio dalam program imunisasi harus mempertimbangkan epidemiologi dari polio yang berbeda di setiap negara. Misalnya negara-negara maju seperti Swedia, Belanda, Finlandia, menggunakan IPV, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia menggunakan OPV. 1) Vaksin polio "inactivated" (IPV). Vaksin IPV menggunakan strain Salk yang ditanam pada biakan ginjal kera. Imunisasi diberikan 4 kali antara umur 1-2 tahun dan ulangan diberikan pada umur 2—3 tahun. Vaksin yang dimatikan ini memacu pembentukan circulating neutralizing antibody yang dipercaya efektif dalam mencegah penyebaran virus polio dalam tubuh, jadi melindungi sistem saraf pusat dari serangan virus. Vaksin tidak boleh diberikan pada orang dengan penyakit immunodifisiensi dan orang yang sedang mendapat pengobatan immunosupresi. Walaupun seseorang telah diberi imunisasi yang membentuk zat anti humoral, namun virus liar masih mungkin dapat berkembang dalam tubuhnya. Saat ini masih dikembangkan vaksin dengan cara baru dengan tujuan menurunkan jumlah dosis yang diberikan. 2) Vaksin polio oral (OPV). Vaksin dibuat dari strain Sabin tipe 1,2 dan 3 yang ditanam pada biakan ginjal kera atau sel human diploid. Vaksin yang mengandung virus hidup yang dilemahkan sekarang ditumbuhkan pada sel human diploid. Vaksin dapat stabil dengan penambahan stabilisator 1 M MgC12, sehingga dapat disimpan untuk 1 tahun pada suhu 40 C atau selama 1 bulan pada suhu kamar tanpa kehilangan potensinya.4 Namun vaksin tanpa stabilisator harus disimpan pada suhu beku (—20° C), sampai saatnya digunakan. Vaksin polio dikatakan memenuhi persyaratan berpotensi baik bila setiap dosisnya mengandung virus polio tipe 1 sedikitnya 106 InfectiousUnit, tipe 2—10s IU dan tipe 3 mengandung 105'5 IU.° Walaupun virus polio tipe 2 dan 3 dapat mengalami mutasi selama multiplikasi pada anak yang divaksinasi, namun sangat jarang terjadi pada resipien atau orang kontak. Hal ini pernah dilaporkan di Jepang . Vaksinasi pada semua anggota keluarga dimaksudkan untuk menghilangkan kasus kontak. Pada pemberian vaksin ini terbentuk pula sekret IgA yang dapat memberikan perlindungan terhadap adanya reinfeksi. Beberapa faktor di daerah tropis yang dapat mempengaruhi hasil imunisasi adalah : z Pengaruh entero virus prevalen lain yang ada di dalam salur-
an pencernaan. • Kekurangan protein. • Adanya penghambat dalam saliva yang mungkin menghambat multiplikasi virus. Vaksin campak Dikenal adanya dua macam vaksin campak, yaitu : 1) Vaksin campak inaktif ("killed vaccine") Vaksin ini dibuat dari virus campak strain Edmonston B yang ditanam pada biakan jaringan vibroblas ayam.2 Vaksin jenis ini tidak disukai dan sekarang tidak diproduksi lagi (tahun 1961—1968) karena setelah imunisasi dasar maupun ulangan zat anti terhadap campak cepat sekali menurun, dan vaksin menimbulkan demam 101° F pada 83% dan menimbulkan bercak makula pada 38—50% anak yang diimunisasi (dikutip dari 2). 2. Vaksin campak "attenuated". Vaksin jenis ini dibuat dari virus strain Schwartz, Moraten yang sudah sangat dilemahkan (further attenuated). Vaksin inilah yang pada saat ini digunakan secara luas untuk menanggulangi penyakit campak. Vaksin campak memenuhi syarat untuk digunakan bila mengandung virus 102 TCID 50.7 Umur optimum untuk pemberian imunisasi campak berbeda antar negara. Di beberapa negara maju immunisasi diberikan pada usia 12 bulan atau lebih. Di negara berkembang beberapa studi menunjukkan bahwa umur optimum untuk pemberian imunisasi campak adalah kira-kira 9 bulan.9 Saat pemberian imunisasi hendaknya merupakan kompromi antara risiko terkena infeksi dan saat zat anti maternal menghilang.2 Di Indonsia digunakan vaksin yang dibuat dari virus strain Schwartz yang diberikan pada bayi usia 9—12 bulan. Vaksin ini cukup aman dan efektif. Imunisasi ulang tidak diperlukan bila vaksin diberikan pada saat yang tepat. Vaksin campak tergolong vaksin yang tidak stabil, bila terkena cahaya atau disimpan pada suhu yang tidak tepat akan cepat sekali rusak. Tetapi saat ini telah berhasil diproduksi vaksin campak yang lebih stabil. Virus vaksin campak sangat mudah diinaktivasi oleh alcohol, eter, detergen. Untuk itu harus diusahakan agar tidak kontak dengan bahan-bahan tersebut. 2 PROSPEK MASA MENDATANG. Beberapa pendekatan baru dalam pengembangan vaksin virus yang memberikan harapan adalah :4 5 1) Pemberian vaksin secara lokal. Pendekatan ini telah drlakukan dengan sukses dalam pengembangan vaksin rubella pada tahun 1960. Intranasal aerosol vaksin telah dikembangkan pula terutama untuk penyakit saluran pemafasan yang disebabkan oleh virus, dimaksudkan untuk merangsang terbentuknya zat anti lokal. 2) Vaksin attenuated baru. Vaksin virus. hidup varicella yang telah dikembangkan di Jepang sekarang sedang menjalani tes internasional. Vaksin lain yang sedang dikembangkan termasuk rotaviral
gastroenteritis, hepatitis A, dan vaksin DHF. 3) Purified vaccine. Pembuatnya dengan tujuan menghilangkan protein non viral sehingga dapat mengurangi kemungkinan reaksi samping yang berat. Vaksin jenis ini dapat diberikan dengan konsentrasi lebih tinggi dan meningkatkan jumlah antigen. 4) Vaksin "sub unit". Komponen sub viral diperoleh dengan memecah virion. Vaksin ini hanya mengandung protektif antigen raja, 5) Melemahkan virus dengan manipulasi genetis. Manipulasi genetis digunakan untuk menghasilkan rekombinan atau mutan, misalnya mutan yang sensitif terhadap temperatur seperti halnya virus hidup. Penggunaan virus vaccinia sebagai vektor untuk mengclone immunizing agent dari virus lain merupakan perkembangan yang penting. Kemungkinan memindahkan gen imunogen dari beberapa virus agar dapat dilakukan satu macam imunisasi yang dapat melindungi terhadap beberapa macam penyakit. Oral adenovirus dapat pula digunakan sebagai alternatif vektor. 6) Vaksin DNA rekombinan. Telah dikembangkan pembuatan vaksin hepatitis B dengan menggunakan ragi. Penggunaan continue cell line (CCL) untuk menghasilkan antigen dalam jumlah besar. 7) Vaksin sintetis. Polipeptid sebagai antigen aktif disintesis untuk hepatitis B, influensa, virus polio dan telah dapat menimbulkan neutrali- sing antibody pada hewan. Cara ini sedang diselidiki. Walaupun peptid sintetik merupakan antigen yang lemah, namun mencari ajuvan yang aman dan poten sedang dilakukan di beberapa laboratorium. Kemungkinan memproduksi antigen sintetik untuk imunisasi pada manusia masih diteliti.
KEPUSTAKAAN 1. Fukumi H. The vaccination. Theory and practice. International Med Foundation of Japan, Tokyo, Japan. 1975, p.3—I5, 91—111. 2. Mardiadipura I L D. Campak. Hal ihwal imunisasi dan aplikasinya. Nasution M S (ed.) Perum Bio Farms Bandung. 1987. bal. 145—153. 3. Melnick J L. Advantages and disadvantages of killed and live poliomyelitis vaccines. Bull WHO 1978; 56 (1) : 21—38. 4. Melnick J L. Virus vaccines : an overview. Dreesman G R, J G Bronson, R C Kennedy. eds. High-technology Route to Virus Vaccines. Am Soc for Microbiology, Washington DC. 1985; p.1—14. 5. Oya A. Present status and future prospects of vaccine development. Asian Med J 1989: 32 (5); 246—251. 6. Rijk Institut voor Volksgezondheid en Milieuhygiene. Vaccine control course. p. 61-67. 7. WHO manual of details of tests required on fmal vaccines used in the WHO Expanded Programme of Immunization. 1982; p. 112—120. 8. WHO ECBS. Draft requirements for poliomyelitis vaccine (oral). 1989. Req for Biol Subst No 7, revised 1989; p. 1—39. 9. WHO. Expanded Programme of Immunization. Measles Immunization. 1979. Wkly Epidem Rec; 54 : 337.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 25
Typhoid Vaccines Nathaniel F. Pierce Research Coordinator, Diarrhoeal Diseases Control Programme, World Health Organization, Geneva
INTRODUCTION Typhoid fever remains a problem in most developing countries. Although accurate data on its incidence are not generally available, it is known to occur predominantly among children and young adults, aged 3 - 20 years. Where careful surveillance has been performed, usually during vaccine trials, disease incidence has varied widely. For example, rates of 49, 100 - 250 and 1700 per 100,000 persons per year have been recorded among school-age children in Alexandria, Egypt; Santiago, Chile; and Plaju, Sumatra; respectively. In the latter site, approximately 20 percent of children will develop typhoid fever proven by blood culture during the 12-year period between 3 and 14 years of age. The predominance of typhoid fever among young children, with a steadily declining incidence as age increases, argues strongly that active immunity is naturally acquired in endemic areas. This provides support for efforts to develop safe and effective vaccines as one means of controlling typhoid fever, the others being the provision of safe water supply, safe sewage disposal and the interruption of transmission via contaminated food. Three approaches to immunization against typhoid fever have been studied : (1) classical killed whole cell parenteral; (2) olāl vaccine based on attenuated live S. typhi; and (3) parenteral vaccine composed of purified Vi capsular polysaccharide. Each vaccine has been shown to be effective. The relative advantages and limitations of these vaccines are summarized in Table 1. The vaccines are considered in greatertietail below. PARENTERAL WHOLE-CELL VACCINE This may be considered the "classical" typhoid' vaccine. It is composed of killed S. -typhi, the method of inactivation being either heat plus phenol or treatment with acetone; the
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Table 1. Typhoid Vaccines Type
Advantages
Limitations
1. Killed whole-cell - Inexpensive parenteral vaccine - Moderately effective (especially acetonekilled vaccine)
- Two doses required - Frequent side effects, sometimes severe
2. Live oral Ty21a vaccine
- Three or four doses required - Relatively costly - Least effective in young children, especially where incidence is very high - Cold chain required
- No side effects - Moderately effective
3. Purified M - Relatively inexpensive, antigen parenteral - Effective after a vaccine single dose - Few side effects, none severe - Cold chain not required
- Duration of efficacy and efficacy in very young children not yet determined
heat/phenol vaccine is most easily prepared and is most widely available. The efficacy of these vaccines has been compared during the 1960s in studies in Guyana, Poland, USSR and Yugoslavia. These revealed that the heat/phenol vaccine evoked 47 - 77 percent protection, and the acetone-killed vaccine 79 - 93 percent protection, for up to 7 years. These studies confirmed the efficacy of this type of vaccine, especially of the acetone-killed preparation (although in other studies it has yielded substantially less protection). Nevertheless, these vaccines are not widely used for public health purposes because : (1) the acetone-killed vaccine is not easily produced; and (2) both cause substantial side effects. In Tonga, for example, 13% of persons given the acetone-killed vaccine were unable to work for at least 1 day following immunization and some had to stay in bed due to fever, chills and malaise. The frequent, and sometimes severe side effects of
the parenteral whole cell vaccine are the major barrier to its being used more widely.
LIVE ORAL VACCINES The Tylla live oral typhoid vaccine consists of lyophilized bacteria (109 cfu per dose) that have been mutagenized with nitrosoguanidine. The vaccine strain is unable to multiply in human tissues due, in part, to the lack of the enzyme galactose-1 epimerase. As a result it colonizes the bowel only briefly and causes no side effects. Trials of this vaccine have been carried out in Alexandria, Egypt; Santiago, Chile; and Plaju, Sumatra. These have shown that vaccine efficacy depends upon the number of doses given and the formulation used. In Santiago, for example, 3 doses of lyophilized bacteria given in a plain gelatin capsule accompanied by 2 capsules containing sodium bicarbonate (to neutralize gastric acid) caused only 28 percent protection during a follow-up period of 33 months. Better results were obtained with bacteria given in enteric-coated capsules. that resisted opening in the stomach but dissolved in the duodenum. Table 2 shows that the degree of protection by Ty2la vaccine and its duration improved as the number of doses was increased, 3 doses causing an average of 69% protection for at feast 4. years. However, less encouraging results have been.obtained to date in Plaju, Sumatra (Table 3). In that study, which.is still underway, preliminary results show only 37% protection after 3 doses of vaccine in enteric capsules. Protection was somewhat higher (48%) using vaccine that was reconstituted in a citrate buffer solution before being swallowed. With both vaccines, however, protection was lowest in the 7 - 14 year, sChool age group. The poorer performance of encapsulated vaccine in Sumatra than Chile is unexplained, but may be related to the approximately 10-fold higher attack rate observed in Sumatra. These results suggest that the Ty2la vaccine, even in the more Table 2. Efficacy of Ty2la vaccine in enteric-coated capsules Santiago, Chile Number of doses 1 2 3
Observation period (months) 0 0 24 0
-
23 23 47 47
% Efficacy 22 59 11 69
Table 3. Efficacy of Ty2la Vaccine, Plgjn, Sumatra (15 months follow-up) Age in Years 3-6 7-14 15-44 3-44
% Protection Enteric capsule*
L i q u i d vaccine*
58 16 58 37
68 33 55 48
effective liquid formulation, may not be sufficiently protective under contidions of extremely high disease incidence to be a practical public health tool. The vaccine may be more useful where attack rates are lower. Other candidate live oral typhoid vaccines are being developed but have not yet been tested for efficacy. These are mutants, created by gene deletion, that are unable to synthesize essential aromatic amino acids. Aro-mutants have proven effective as vaccines for certain Salmonellae that cause disease in domestic animals, giving hope that they may also be safe and effective in humans. Whatever their efficacy, however, it seems likely that they would be relatively expensive (as is also Ty2la), require multiple doses and be dependent upon a cold chain. Some strains of this type may be available for efficacy-testing in the near future. VI POLYSACCHARIDE VACCINE The most recently developed typhoid vaccine consists of purified Vi capsular polysaccharide. A highly purified form of this material has been shown to cause seroconversion in 90% of western adults after a single parenteral injection and to produce very few side effects, mostly transient tenderness at the injection side; none was serious. Moreover, two studies have shown the vaccine to be effective in populations with a very high incidence of typhoid fever. A trial in South Africa among children aged 5 - 15 years revealed 64% protection against typhoid fever for at least 21 months following immunization; similar results were obtained in Nepal. This vaccine produces maximal immune responses after a single injection, is relatively inexpensive and is very stable. It is possible that conjugation of the polysaccharide to a protein "carrier" would improve its immunogenicity, especially when 2 doses are given, but this would also increase its cost. Efforts to develop a protein conjugated version of the Vi vaccine are underway. Research on the duration of protection evoked by the unconjugated vaccine is also continuing. CONCLUSION Further research is required to define a vaccine that is widely suitable for public health use in control of typhoid fever. The challenge appears to be greatest with regard to immunization of children aged 7 - 14 years in areas where the incidence of typhoid fever is very high. At present, the most promising approaches to immunization of such high-risk children appear to be : (1) parenteral Vi vaccine, possibly conjugated to a carrier protein; and (2) Aro-mutants of S. yphi for use as live oral vaccines. The parenteral killed typhoid vaccine (especially the acetone-killed vaccine) is useful for individuals such as travellers and the military, but is not likely to be widely accepted for public health use. The live oral vaccine Ty2la, appears to be useful in populations with a moderate incidence of typhoid fever, especially when multiple doses of the recently developed liquid formulation are used.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 27
Gambaran Zat Anti IgG Anti FHA dan Anti PT pada Bayi setelah Imunisasi dan pada Anak-anak Penderita Pertusis Muljati Prijanto, Rini Pangastuti, Siti Mariani S. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
ABSTRAK Bordetella pertussis memiliki 3 komponen aktif yang bersifat antigen protektif, ialah filamentous haemoglutinin (FHA), pertusis toksin (PT), dan aglutinogen. Tujuan penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui gambaran zat IgG anti-FHA, anti-PT serta aglutinin dalam proses pembentukan kekebalan pada bayi setelah mendapat imunisasi DPT 3 dosis dan pada anak-anak penderita pertusis. Kelompok studi terdiri dari anak-anak penderita pertusis dan bayi umur 2—3 bulan yang telah mendapat imunisasi DPT 3 kali masing-masing sebanyak 10 orang. Kadar zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT diukur dengan cara ELISA sedangkan titer zat anti aglutinin diukur dengan cara mikroaglutinasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zat anti IgG anti-FHA positif ditemukan pada seluruh penderita pertusis maupun bayi yang diimunisasi DPT, namun kadarnya lebih tinggi pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah pemberian imunisasi ke 2 dan. 3. Persentase bayi yang memiliki zat anti IgG anti-PT positif setelah imunisasi DPT 1,2 dan 3 masing-masing adalah 40%, 50% dan 100%, sedangkan pada penderita pertusis 50%. Peningkatan persentase bayi dengan titer protektif terjadi pula pada zat anti aglutinin. Penelitian ini masih akan dilanjutkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap dari imunitas terhadap pertusis. PENDAHULUAN Bordetella pertussis adalah kuman penyebab penyakit batuk rejan, yang merupakan penyakit toxin mediated yang dimulai oleh kuman B. pertussis yang berlokasi pada silia dari deretan sel epitel saluran pernafasan. Bakteri hanya melekat dan memperbanyak din pada silia dan tidak menyerang jaringan termasuk darah. Di situ bakteri melepaskan eksotoksin yang mengakibatkan hampir semua gejala penyakit dan menyebabkan kekebalan jangka panjang. Kuman ini tersusun dari bermacam-macam komponen yang memiliki aktivitas biologis, tetapi belum semua dapat dikarakterisasi dengan baik. Komponen yang paling aktif sebagai antigen protektif adalah filamentous haemaglutinin (FHA) dan toksin pertusis (PT) yang telah dibuktikan dengan studi proteksi pada hewan. Dan kedua komponen tersebut telah dibuat vaksin pertusis aseluler.2 Selain itu terdapat Heat Labile Agglutinogen,
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
terutama aglutinogen 2 dan 3.3 FHA adalah protein yang bertanggung jawab untuk perlekatan bakteri pada sel epitel trakhea.4 PT adalah protein eksotoksin yang mempunyai bermacammacam aktivitas, oleh karenanya disebut juga dengan berbagai nama yaitu : Lymphocytosis Promoting Factor (LPF), Histamin SensitizingFactor(HSF), Islet ActivatingProtein (IAP) atau Pertussigen. Selain itu PT mempunyai aktivitas haemaglutinasi, tetapi tidak sama dengan FHA dan mempunyai aktivitas sebagai ajuvan terutama meningkatkan produksi zat anti IgE.2 Aglutinogen berasal dari fimbria yang menonjol dari permukaan sel. Genus Bordetella dikenal mempunyai 12 _aglutinogen yang secara serotipe berbeda. Tipe 1—6 yang umum terdapat pada B. pertussis. Kekebalan terhadap penyakit batuk rejan yang diperoleh setelah pemberian imunisasi relatif pendek waktunya, namun lama kekebalan dapat diperpanjang dengan adanya booster
secara alami dalam populasi di mama B. pertussis prevalen. Sebaliknya imunitas yang diperoleh setelah sakit dapat bertahan lama. Antibodi anti-FHA memegang sebagian peran dalam perlindungan terhadap infeksi pertusis bila ada antibodi anti-PT. Antibodi anti-PT dan anti-FHA sangat penting sebagai anti perlekatan, sedangkan zat anti aglutinin diduga berperan mencegah penyebaran bakteri pada pennukaan trakhea pada tahap awal dari infeksi pertusis.4 Kadar zat antiaglutinin dalam sera telah lama digunakan sebagai indeks untuk statu,s kekebalan terhadap pertusis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran zat anti IgG, anti-FHA dan anti-PT serta aglutinin dalam proses pembentukan kekebalan pada bayi setelah pemberian imunisasi DPT 3 dosis dan pada anak-anak penderita pertusis. Penelitian ini merupakan pendahuluan yang masih akan dilanjutkan. BAHAN DAN CARA Kelompok studi terdiri dari bayi umur 2—3 bulan yang telah mendapat imunisasi DPT 3 kali sebanyak 10 orang dan anakanak umur 3—12 tahun yang tengah menderita pertusis sebanyak 10 orang dari daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) pertusis di Kabupaten Kerinci, Jambi. Kelompok bayi diambil darahnya 1 bulan setelah imunisasi DPT ke 1,2 dan 3, sedangkan anakanak penderita pertusis diambil darahnya pada saat lama sakit yang berbeda-beda. Pengambilan darah : Pads kelompok bayi darah diambil dari ujung jari tangan dengan menggunakan pipet kapiler sebanyak 0,1 ml, sedangkan pada kelompok penderita pertusis diambil dari vena sebanyak 0,5 ml. Selanjutnya sera dipisahkan dan disimpan pads suhu -200.0 sampai saat dilakukanitya pemeriksaan. Pemeriksaan zat anti : Pengukuran zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT dilakukan dengan cara ELISA, 5 sedangkan kadar zat anti aglutinin diukur dengan menggunakan cara mikroaglutinasi. 6 Antigen : Untuk pemeriksaan ELISA digunakan antigen yaitu FHA dan PT yang telah dimurnikan, yang mengandung 200 ug PN/ml. Antigen diterima dari The Research Foundation for Microbial Diseases, Osaka University, Kanonji, Jepang. Sedangkan untuk pemeriksaan mikroaglutinasi digunakan antigen yang dibuat dari B. pertussis strain 18-323. Referen sera : pada pemeriksaan ELISA digunakan referen NH-13 yang berasal dari The National Institute of Health, Tokyo, Jepang. Referen mengandung anti-FHA 260 EU/mil ampul dan anti-PT 170 EU/ml/ampuL Antisera untuk pemeriksaan mikroaglutinasi adalah anti Tohama Rabbit sera yang dibuat dari B. pertussis strain Tohama.
Tabel I. Persentase dan kadar rata-rata zat anti IgG anti-FHA, anti-PT dan zat anti aglutinin pada 2 kelompok studi. Kelompok
Jumlah n
IgG anti-FHA
IgG anti-PT
Aglutinin
+ (%)
GM (EU/ml)
+ (%)
GM (EU/ml)
Titer≥80
0 50 70 40
Bayi setelah DPT 1 DPT 2 DPT 3
10 10 10
100 100 100
3,75 3,79 5,05
40 50 100
1,4 2,57 3,35
Penderita
10
100
9,08
50
4,06
GM
1 : 10 1 : 67,27 1 :105,5 -
DPT 1, maupun pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah imunisasi DPT 2 dan 3, dengan kadar ratarata meningkat dari 3,75 EU/ml setelah imunisasi DPT 1 menjadi masing-masing 3,79 EU/ml dan 5,05 EU/ml setelah imunisasi DPT ke 2 dan 3. Kadar rata-rata zat anti terhadap FHA pada anak-anak penderita pertusis adalah 9,08 EU/ml. Persentase zat anti IgG anti-PT positif pada bayi setelah imunisasi DPT ke 1 adalah 40% meningkat menjadi 50% setelah imunisasi ke 2 dan selanjutnya menjadi 100% setelah pemberian imunisasi ke 3. Kadar rata-rata (GM) meningkat dari 1,4 EU/ml setelah imunisasi ke 1 (masing-masing) menjadi 2,57 EU/ml dan 3,35 EU/ml setelah imunisasi DPT ke 2 dan 3. Sedangkan pada kelompok anak-anak penderita pertusis hanya 50% saja yang memiliki kadar zat anti IgG anti-PT positif dengan kadar ratarata 4,06 EU/ml. Persentase kadar zat anti aglutinin protektif dengan titer 1 : 80 atau lebih masing-masing adalah 0%, 50% dan 70% setelah pemberian imunisasi DPT ke 1, 2 dan 3 dengan titer rata-rata sebesar 1 : 10, 1 : 67,27 dan 1 : 105,56. Sedangkan pada kelompok anak penderita pertusis persentasenya hanya 40%. Namun bila dihitung titer positif (1 : 10 atau lebih) persentasenya adalah 100%. Rēndahnya persentase ini karena lama sakit dari penderita berbeda-beda dan pada sebagian besar anak pembentukan zat anti baru tetjadi pada tahap awal. Penyebaran kadar zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT pada penderita pertusis dapat dilihat pada gambar 1. Gambar I. Kadar Zat Anti IgG pada Penderita Pertussis
HASIL Kadar rat anti IgG anti-FHA dan anti-PT dan kadar aglutinin yang terbentuk pada bayi setelah imunisasi DPT 1,2 dan 3 plaupun pada anak-anak penderita pertusis dapat dilihat pada tabel 1. Zit anti IgG anti-FHA telah terbentuk pada semua kelompok bayi yang mendapat imunisasi DPT 1, walaupun pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah imunisasi
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 29
PEMBAHASAN Zat anti IgG anti-FHA telah terbentuk pada semua kelompok baik bayi setelah imunisasi maupun anak-anak penderita pertusis. Pada penelitian Sato (1985)' dilaporkan bahwa titer zat anti IgG terhadap FHA lebih tinggi setelah mendapat imunisasi dengan vaksin DPT aseluler bila dibandingkan dengan titer yang didapat karena infeksi. Winsnes dkk (1985)7 menemukan bahwa titer rata-rata zat anti terhadap FHA IgM, IgG dan IgAmencapai puncak masing-masing antara minggu ke 2 dan 3, minggu ke 5 dan minggu ke 7. Zat anti FHA tidak selalu sama ditemukan pada penderita pertusis dalam fase konvalesen, menunjukkan bahwa zat anti tersebut kurang penting untuk penyembuhan dan perlindungan jangka panjang terhadap adanya infeksi ulang dari kuman pertusis (Nagel, 1985 dan Winsnes dkk, 1985),7 Granstorm (1982, dikutip dari 7) melaporkan bahwa penurunan yang cepat atau hilangnya zat anti FHA pada pengamatan berlanjut hasil pemeriksaan biakan kuman dari penderita pertusis, menunjukkan bahwa zat anti ini tidak penting untuk imunitas jangka panjang. Titer rata-rata zat anti terhadap FHA pada sera konvalesen kira-kira 10 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan sera orang-orang yang divaksinasi, terhadap semua zat anti IgM dan IgG. Menurut Winsnes zat anti ini mungkin memegang peran pada proteksi jangka pendek, dan dapat diharapkan tidak ada korelasi antara kadar zat anti FHA dengan lamanya gejala timbul pada waktu sakit (Viljanen 1985, dikutip dari 7). Zat anti IgG terhadap PTsetelah imunisasi 1 hanya ditemukan pada 50% dari bayi. Hal ini mungkin disebabkan karena imunisasi diberikan pada usia 2—3 bulan di mana bayi masih memiliki zat anti dari ibu. Pada penelitian ini kadar zat anti dari plasenta tidak diperiksa sehingga belum dapat dibuktikan. Menurut Winsnes7 pemberian imunisasi pada usia dini menyebabkan penekanan pada respon anti PT IgG karena adanya efek penghambat dari zat anti yang berasal dari ibunya. Aoyama8 membandingkan kadar zat anti terhadap PT dan FHA dari 13 orang anak penderita pertusis fase konvalesen yang berumur di bawah 2 tahun dengan kelompok bayi umur antara 3—23 bulan yang diimunisasi dengan vaksin DPT aseluler 2-3 dosis dengan interval 1 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar zat anti terhadap PT akibat pemberian imunisasi vaksin DPT aseluler sama atau lebih besar dibandingkan dengan kadarnya pada kelompok penderita pertusis, sedangkan kadar zat anti terhadap FHA berbeda nyata lebih tinggi pada kelompok yang diimunisasi dari pada kadar zat anti tersebut pada kelompok penderita pertusis. Menurut Kimura dan Granstōrm (dikutip dari 1) pembentukan zat anti terhadap PT dan FHA mencapai puncaknya antara 6-10 minggu setelah serangan pertusis. Dengan demikian hasil
penelitian Aoyama menunjukkan bahwa zat anti pada kelompok bayi 4 minggu setelah imunisasi dasar sebanding dengan pada penderita pertusis pada fase konvalesen. Disimpulkan bahwa pemberian imunisasi vaksin DPT aseluler memberikan respon imun yang lebih baik bila dibandingkan dengan zat.anti PT dan FHA yang terbentuk karena infeksi pertusis. mengingat dalam penelitian ini jumlah sampel pada kelompok bayi yang mendapat imunisasi DPT sangat kecil, maka hasilnya tidak dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Kadar zat anti terhadap FHA dan PT pada .kelompok anakanak penderita pertusis penyebarannya masing-masing antara 2—19, 98 EU/ml dan antara 0,96—6,26 EU/ml, sedangkan pada penelitian Aoyama penyebaran kadar zat anti yang sama dari penderita pada fase konvalesen adalah antara 0—10 EU/ml dan 2—50 EU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian penderita belum berada pada fase konvalesen. KESIMPULAN • Terbentuknya zat anti IgG terhadap FHA lebih awal dari zat anti IgG terhadap PT. • Proteksi jangka panjang dari zat anti IgG terhadap PT diperoleh secara baik setelah pemberian imunisasi DPT (vaksin seluler) 3 dosis. • Pada penderita pertusis zat anti IgG terhadap PT belum terbentuk pada semua anak, karena fase lama sakit yang berbeda. • Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang imunitas terhadap penyakit batuk rejan. KEPUSTAKAAN 1. Pitman M. The concept of pertusis as a toxin mediated diseases. Pediatr Infect Diseases 1984;,3 (5) : 467-86. 2. Oda M, Higurasi M. Development of acellular pertussis vaccine in Japan. Acta Pediatr Jap 1988; 30 : 136-42. 3. Robinson A, . Ashworth LAE Cellular and defined component vaccines against pertussis 1988. Pathogenesis and Immunity in Pertussis. Wardlaw AE, and Parton R (eds). New York : John Wiley & Sons Ltd, p. 399-413. 4. Tuomanen E. Adherence of Bordetella pertussis to human cilia. Implication for diseases prevention and therapy. Microbiology 1986. Loretta Leive at al. Amer Soc for Microbiol, New York. 1986; p. 59-64. 5. WHO. Proposed methods for the quality control of acellular pertussis vaccine. Second draft 1985; p. 15-18. 6. Manclark CR. Microaglutination procedure for Bordetel/a pertussis antibodies. 1980. 7. Winsnes R. Serological responses to pertusis. 1988. Idem 3 : 283-300. 8. Aoyama T, Hagiwara S, Murase Y, Kato T, Iwata T. Adverse reaction and antibody response to acellular pertussis vaccines J Pediatr 1986; 109 : 925-930. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Y. Sato yang telah memberikan antisera referen, sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
A psychiatrist gets paid for asking a man the question his wife asks for nothing. 30 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Teknologi Vaksin Vaccinia Rekombinan Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta
PENDAHULUAN Vaccine dan vaccination diambil dari kata Vaccinia, yaitu virus DNA yang termasuk grup Poxvirus sebagai penyebab cowpox. Virus Vaccinia ini populer karena dapat dibuat vaksin untuk imunisasi terhadap penyakit smallpox. Kemudian berkembang vaksin-vaksin lain yang mampu memberikan imunitas pain manusia dan hewan terhadap berbagai penyakit infeksi. Pembuatan vaksin biasanya memerlukan organisme hidup seperti toksin bakteri atau immune sera dalam jumlah besar. Pertumbuhan bakteri biasanya dilakukan pada media cair dalam bejaria fermentor. Media ditetapkan secara kimia dan kondisi pembiakan diatur dengan tepat, seperti temperatur, pH, oksigen dan sebagainya. Untuk pembuatan vaksin virus, pertumbuhan dapat dilakukan dalam host atau biakan sel hidup. Vaksin smallpox dapat dibiakkan pada dermis anak sapi domba, kerbau atau yang lain. Vaksin influenza dan yellow fever dapat dibiakkan pada fertile hen's eggs. Beberapa virus dapat ditumbuhkan pada biakan sel. Biasanya sel disiapkan dari monkey kidney, chick embryo atau human diploid cells. Inaktivasi atau detoksifikasi vaksin bakteri dapat dilakukan dengan pemanasan atau desinfektan, misalnya formalin untuk inaktivasi Bordetella pertusis sebagai whooping-cough vaccine, dapat juga untuk detoksifikasi toksin Corynebacterium diphtheriae dan Clostridium tetani sebagai vaksin diphtheria dan tetanus. Phenol juga digunakan inaktivasi Vibrio cholerae dan Salmonella typhi sebagai vaksin kholera dan tifoid. Cara pembuatan vaksin konvensionil ini kurang efektif baik untuk vaksin subunit, vaksin hidup yang dilemahkan atau vaksin yang dimatikan, sulit untuk membuat vaksin penyakit yang tidak dapat dibiakkan in vitro dan sulit membuat vaksin dalam jumlah besar. Kemudian para ahli mulai melihat teknologi rekayasa genetika yang telah berhasil memproduksi
protein asing dengan bakteri terutama Escherichia coli untuk diterapkan pada pembuatan vaksin dengan pemikiran bahwa fraksinasi bahan genetika organisme penyebab penyakit dan cloning gen tersebut ke dalam organisme lab (bakteri atau virus) memungkinkan untuk mempelajari komponenkomponen organisme secara terpisah. Dalam aplikasinya virus vaccinia menjadi salah satu vektor antigen asing dan sekarang menjadi vektor yang paling populer untuk pembuatan vaksin. Gen dari organisme penyebab penyakit seperti hepatitis B, herpes simplex, influenza dan malaria telah dapat di clone ke dalam vaccinia. Bila vaccinia rekombinan ini digunakan untuk vaksinasi kelinci, antibodi terhadap antigen asing tersebut berhasil diproduksi. REKAYASA GENETIKA VIRUS VACCINIA. Aplikasi virus hidup untuk imunisasi sudah berjalan bertahun-tahun.di berbagai negara.Vaksin bakteri dan virus hidup yang dilemahkan berhasil memacu cell-mediated and humored immune response pada host yang diinokulasi. Manfaat vaksin hidup telah banyak dibuktikan oleh beberapa vaksin yang sangat penting bagi manusia dan binatang seperti vaccinia virus, yellow fever virus, poliomyelitis virus, measles virus, rubella virus, Mycobacterium dan sebagainya. Namun cara pembuatan vaksin ini tidak dapat diterapkan untuk semua organisme patogenik. Para ahli terus mengembangkan caracara baru untuk mendapatkan vaksin baru. Keberhasilari penemuan gen encoding antigen virus asing seperti influenza, hepatitis B, dan keberhasilan memasukkan ke dalam rangkaian DNAvirus vaccinia serta kenyataan bahwa sifat antogenik tersebut dapat diekspresikan pada sel yang diinfeksi, telah memperbesar harapan membuat vaksin hidup dengan rekombinan DNA. Telah dilaporkan, binatang percobaan yang diinokulasi dengan vaksin virus vaccinia rekombi-
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 31
nan, kemudian dapat mengembangkan imunitas tidak hanya terhadap virus vaccinia tetapi juga organisme asal gen tersebut diambil. Hasil ini memberikan dorongan yang berharga, sehingga berhasil memperoleh antigen hemaglutinin atau nukleoprotein dari virus influenza dan dapat diekspresikan pada permukaan sel target melalui vektor vaccinia. Pada prinsipnya vektor vaccinia rekombinan dapat digunakan untuk imunisasi manusia terhadap berbagai antigen sumber penyakit. Virus vaccinia terpilih menjadi salah satu vektor penghasil vaksin rekombinan hidup karena dibandingkan dengan beberapa virus yang menginfeksi manusia, virus ini mempunyai karakteristik yang memungkinkan untuk manipulasi gennya dan mampu mengekspresikan berbagai antigen asing. Beberapa sifat virus vaccinia yang menguntungkan antara lain, vaccinia merupakan virus DNA, manipulasi genetika dapat dilakukan dengan relatif mudah, mempunyai genome yang mampu menerima berbagai DNA asing, mudah ditumbuhkan, mudah dimumikan dan mempunyai range host yang lebar bail pada manusia dan binatang. Untuk menghasilkan virus vaccinia rekombinan, pertamatama perlu mengisolasi dan mengidentifikasi gen pengkode antigen yang mempunyai respon imunologis terhadap patogen yang dikehendaki. Kemudian gen tersebut di clone pada rangkaian DNA vektor. Misalnya respon imunologis terhadap infēksi hepatitis B dapat ditimbulkan dari surface antigen (SAg). Rangkaian DNA (gen) virus hepatitis B pengkode SAg, diisolasi dan di clone pada vektor vaccinia. Virus vaccinia rekombinan ini kemudian dapat dibiakkan secara in vitro untuk pembuatan vaksin. Tentu saja vaksin ini sebelum digunakan harus diuji terlebih dahulu kemampuan antigeniknya pada binatang percobaan dan pengujian lainnya. Inokulasi vaccinia rekombinan ke dalam binatang percobaan akan memacu respon imunitas terhadap organisme sumber penyakit asal gen tersebut diambil. Pada prinsipnya rekombinasi gen asing ke dalam rangkaian DNA vaccinia meliputi beberapa tahap : 1) Cloning rangkaian DNA vaccinia yang tidak mengandung informasi penting untuk replikasi ke dalam plasmid bakteri. 2) Gen pengkode antigen asing misalnya HBSAg, dimasukkan ke dalam rangkaian DNA vaccinia dalam plasmid, sehingga DNA asing ini akan diapit DNA vaccinia. 3) Plasmid yang mengandung DNA asing dan vaccinia dimasukkan ke dalam sel yang telah diinfeksi dengan vaccinia dalarh bentuk Ca phosphate DNA Co-precipitate. 4) Rekombinasi antara vaccinia pengapit gen asing dan DNA homolog salami replikasi DNA virus menyebabkan masuknya DNA asing ke tempat spesifik. 5) Virus infeksi dilepaskan dari sel berupa campuran virus vaccinia yang tidak mengandung gen asing dan yang mengandung gen asing. 6) Virus 'vaccinia rekombinan diseleksi, dimurnikan dan ditumbuhkan untuk pembuatan vaksin secara in vitro. PENERAPAN VACCINIA REKOMBINAN. Vaksin vaccinia rekombinan dilaporkan sudah memasuki
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
berbagai stadium pengujian pada binatang percobaan dan dipelajari kelayakannya serta keamanannya. Untuk mempelajari kelayakan, keamanan, efikasi dan efektivitas vaksin ini, para ahli telah mencoba membuat vaccinia rekombinan dari berbagai antigen penyakit seperti, herpes simplex virus glycoprotein, influenza virus hemaglutinin, Hepatitis B virus surface antigen, rabies virus glycoprotein dan sebagainya. Inokulasi vaksin rekombinan ini telah berhasil memacu produksi antibodi yang bereaksi terhadap antigen dan mampu menetrallisir infektivitas virus. Vaccinia rekombinan pengekspresi Hemaglutinin virus influenza. Hemaglutinin virus influenza terletak pada permukaan partikel virus influenza dan pada permukaan membran sel yang terinfeksi. Hemaglutinin dianggap sebagai antigen influenza. Antibodi terhadap hemaglutinin dapat menetralisir infektivitas virus influenza dan adanya antibodi ini menghambat aglutinasi eritrosit oleh hemaglutinin influenza. Bagian RNA influenza pengkode hemaglutinin disiapkan sebagai cDNA dan dimasukkan ke dalam virus vaccinia. Rekombinan ini mampu mensintesis hemaglutinin influenza dengan sifat identik dengan hemaglutinin yang disintesis oleh virus influenza sendiri. Bila virus vaccinia rekombinan ini diinokulasikan ke binatang, akan memacu produksi antibodi yang bereaksi dengan hemaglutinin influenza asli, menetralkan infektivitas virus influenza dan menghambat aglutinasi eritrosit. Dan dilaporkan, binatang yang diimunisasi dengan vaccinia rekombinan ini memperlihatkan resistensi terhadap virus influenza hidup secara intranasal. Vaccinia rekombinan pengekspresi Hepatitis B Virus Surface Antigen. HBSAg dianggap sebagai antigen hepatitis B, dan ternyata HBSAg yang diperoleh dari plasma orang terinfeksi merupakan imunogen yang menimbulkan kekebalan. Vaccinia rekombinan pengekspresi HBSAg dilaporkan telah dapat dibuat. Sel-sel yang diinfeksi dengan virus rekombinan ini mensekresikan bahan HBSAg yang bereaksi dengan anti-HBSAg; hasil sintesis ini ternyata tak dapat dibedakan dengan HBSAg asli. Bila binatang diinokulasi dengan uaccinia rekombinan ini secara intravena atau intraderma, maka binatang tersebut memproduksi anti-HBSAg. Simpanse yang divaksinasi dengan virus ini memperlihatkan proteksi terhadap virus hepatitis B. Vaccinia rekombinan pengekspresi antigen malaria. Organisme penyebab malaria mempunyai tiga fase dalam siklus hidupnya dan vaccinia rekombinan telah berhasil dibuat. Binatang yang diinokulasi virus ini memproduksi antibodi yang sesuai. Karena perbedaan stadium dalam siklus hidup organisme ini, maka masing-masing mempunyai antigen spesifik. Kekebalan terhadap yang satu, tidak akan melindungi manusia terhadap dua stadia lainnya, sehingga vaksinasi optimal memerlukan beberapa antigen yang diperoleh dari setiap stadium. Dengan vaksin vaccinia, beberapa gen mungkin dapat dimasuk-
kan dan dapat diekspresikan pada vaksin vaccinia tunggal. Vaccinia rekombinan pengekspresi Rabies Virus Glycoprotein. cDNA glikoprotein telah dapat dimasukkan ke dalam rangkaian DNA vaccinia dan mampu mengekspresikan antigen virus rabies. Kelinci dan mencit yang diinokulasi vaksin ini mampu menginduksi keluarnya antibodi yang sesuai. Binatang lab yang divaksinasi dengan virus rekombinan ini memperlihatkan reaksi imunitas terhadap beberapa strain rabies intraserebral. Vaccinia rekombinan pengekspresi Lymphadenopathyassociated virus. LAV sebagai organisme penyebab AIDS merupakan retrovirus grup Lentivirus dan mempunyai antigen pada permukaannya, yaitu protein. Dilaporkan DNA pengkode env telah berhasil dimasukkan ke rangkaian DNA vaccinia dan protein env yang dihasilkan memperlihatkan reaksi terhadap sera penderita AIDS. PENUTUP. Proteksi melawan infeksi berbagai organisme patogenik ditentukan oleh sistem imunologis host. Respon kekebalan terdiri dari dua macam yaitu antibody response dan cellular immune response. Cellular immune response mempunyai peranan tidak kalah penting dibanding antibodi dalam memacu timbulnya kekebalan. Vaksin hidup merupakan cara yang paling efektif untuk merangsang kedua respon imunologis tersebut. Vaksin hidup yang dibuat secara konvensionil mempunyai beberapa keterbatasan, misalnya kesulitan produksi dalam jumlah besar. Walaupun beberapa vaksin bakteri tidak terlalu menimbulkan masalah, tetapi vaksin virus dalam pembiakkannya memerlukan kondisi sangat kompleks. Beberapa virus harus ditumbuhkan pada biakan sel, embrio telur yang dibuahi atau di dalam binatang. Kondisi ini jelas menjadi pembatas. Di samping itu cara konvensionil tidak memungkinkan membuat vaksin dari organisme yang tidak dapat dibiakkan secara in vitro.
Untuk mengatasi masalah tersebut, vaksin vaccinia rekom binan kelihatannya mampu menutupi kekurangan tersebut Virus vaccinia bila digunakan untuk imunisasi binatang mampu menghasilkan antigen asing pada host dengan cara mirip infeksi alarni, sehingga maupun merangsang kekebalan, baik antibody response mampu cellular immune response. Selain efikasinya menimbulkan respon kekebalan, keuntungan vaksin ini juga dalam stabilitas dan kemudahannya. Gen yang dimasukkan ke dalam rangkaian DNA virus vaccinia memungkinkan menghasilkan vaksin untuk penyakit yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit pada manusia dan binatang. Selain itu vaksin vaccinia dapat dibuat menjadi vaksin polivalen yang mengandung beberapa antigen patogenik yang berbeda. Sehingga mungkin dibuat satu vaksin yang dapat menghasilkan lebih dari satu antigen. KEPUSTAKAAN 1) Allison AC. Vaccine Technology : Developmental strategies. Biotechnology (Oct) 1987 : 1038 - 4 0 . 2) Brown F. Peptides as the next generation of Foot and Mouth Disease Vaccines. Biotechnology 1985; 3 : 4 4 5 - 8 . 3) Kieny MP. et al. Aids virus env protein expressed from a recombinant vaccinia virus. Biotechnology 1986; 4 : 7 9 0 - 4 . 4) Panicolli DL. Development of live recombinant vaccines using genetically engineered Vaccinia Virus. World Biotech Rep 1984; 2 : 357–66. 5) Paoletti E et al. A modern approach to live vaccines : Recombinant Poxviruses. Biotechnology : Potentials & Limitations. Springer Verlag, 1986 : p. 1 5 5 – 6 4 . 6) Ratafia M. Worldwide opportunities in genetically engineered vaccines, Biotechnol 1987; 5 : 1 1 5 4 – 8 . 7) Rowlands DJ. Vaccines – the synthetic antigen approach. Biotechnology : Potentials & Limitations. Springer Verlag, 1986 : p. 138–54. 8) Sheffield F. Manufacture of immunological products and their quality control. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell Scientific Publ 1977 : p. 232–52. 9) Sutton P. Application of biotechnology in healthcare – a review. Biotechnol. 85 : 373–9. 10) Woodrow GC. New generation vaccines. World Biotech Rep 1985; 3 : 167–78.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 33
Efektivitas Imunis.asi untuk Menurunkan Angka Kematian dan Penyakit PD3I di Indonesia Kusnindar Atmosukarto Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RJ., Jakarta
ABSTRAK Dari pengumpulan data sekunder dapat diketahui bahwa jutaan anak-anak di dunia meninggal dunia akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) setiap tahun. Program imunisasi di Indonsia, di samping upaya kesehatan lainnya, dapat menurunkan angka kematian bayi dari 107 permil menjadi 71 permil dalam kurun waktu 1980-1985. Angka kematian kasar (Crude /Death Rate) turun dari 12,1 menjadi 7,0 per seribu penduduk. Pengaruh cakupan imunisasi campak terhadaa penurunan angka kematian umur 1—14 tahun cukup berarti dengan koefisien kontingensi sebesar 0,4 pada taraf nyata 0,01. Upaya imunisasi masih merupakan upaya yang efektif untuk menurunkan angka kematian bayi dan angka kematian kasar, karena 28,5% penyebab kematian bayi di antaranya karena tetanus 19,7%, difteri dan campak 8,1%, batuk rejan 0,53% dan TB 0,4%. Keberhasilan program imunisasi diperkirakan dapat menurunkan angka kematian dari 7,0 menjadi 5,5 per 1000 penduduk. PENDAHULUAN Latar belakang Program imunisasi di Indonsia dimulai sejak tahun 1956 dengan melaksanakan vaksinasi cacar di Puiau Jawa, hingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Dengan keberhasilan tersebut maka sejak itu dilakukan pula vaksinasi Toxoid Tetanus untuk Ibu Hamil (1974). Vaksinasi DPT dimulai tahun 1976, vaksinasi BCG di tahun 1978. Pengembangan Program Imunisasi (PPI) secara resmi dimulai tahun 1977. Vaksinasi Polio dan Campak mulai dikembangkan pada tahun 1980, sehingga pada tahun 1982 program imunisasi telah mencakup 6 jenis antigen yaitu : BCG, DPT, Polio dan Campak. Target Pelita IV ialah cakupan 65% imunisasi lengkap atas semua bayi. Sasaran penting dalam Pelita V ialah : (1). tercapainya Universal Child Immunization (UCI) atau imunisasi untuk semua
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
anak, (2). Mepertahankan apa yang telah dicapai pada tahun 1990 dan meningkatkan cakupan DPT I 90% dan imunisasi lengkap 80% di masing-masing propinsi dan diharapkan sampai kecamatano) Tujuan pengkajian Pengkajian. dilakukan untuk mengetahui efektivitas program imunisasi terhadap penurunan prevalensi penyakit-penyakit yang bersangkutan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Pengumpulan data Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa hasilhasil penelitian mengenai penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi serta data cakupan imunisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan R.I.
Pemanfaatan basil pengkajian Hasil pengkajian dapat digunakan sebagai masukan untuk pertimbangan perbaikan dalam pelaksanaan progrām imunisasi dan memberikan gambaran efektivitas imunisasi untuk menurunkan angka kematian. GAMBARAN MASALAH PENYAKIT PD3I(4,5) Jutaan anak-anak meninggal dunia akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit tersebut ialah: Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Tuberkulosis. 1) Campak (Measles) Penyakit campak merupakan pembunuh No. 1 di antara 6 penyakit (PD3I) yang disebabkan oleh virus. Dipērkirakan di negara yang sedang berkembang terdapat 67 juta kasus tiap tahun dan 2 juta di antaranya meninggal. Dalam tahun 1983 dilaporkan kasus sebanyak 3,1 juta dari 148 negara. Campak menular melalui kontak perorangan dengan penderita. Penderita dapat menularkan penyakit sebelum dan sesudah timbulnya ruam (bercak-bercak merah pada kulit). Gejala awal penyakit berlangsung 3 – 7 hari berupa kulit berwarna merah dan terasa dingin, mata berair, hidung beringus, batuk, tak enak badan dan demarntinggi, diikutidengan gejala spesifik campak berupa vesikel putih keabu-abuan, dikelilingi warna merah (Kpplik spots). Komplikasi terjadi pada± 30% penderita meliputi infeksi telinga, pneumonia,, dime, dan ensefalitis. Diperkirakan hanya ± 41% anak balita di dunia yang mendapatkan imunisasi campak. 2) Difteri Difteri disebabkan oleh C. diphteriae, sering timbul di negara dengan keadaan kesehatan lingkungan tidak baik; jarang timbul di negara-negara industri. Dalam tahun 1983 dilaporkan 46.800 kasus di 160 negara,kira-kira 10% diantaranya meninggal dunia. Penderita dapat menulari orang lain melalui kontak perorangan.setelah sakit selama 4 minggu atau lebih. Gejala me-. liputi demam, tak enak badan dan sakit tenggorokan. Basil difteri di tenggorokan mengeluarkan toksin yang dapat berakibat fatal bagi jantung dan susunan saraf. Imunisasi lengkap DPT pada bayi di dunia, mencapai ± 47%. 3) Batuk rejan (Pertussis) Pertusis disebabkan oleh B. pertussis. Diperkirakan kasus pertusis sejumlah 51 juta dengan kematian lebih dari 600;000 orang; namun hanya 1,1 juta penderita dilaporkan dari 163 negara dalam tahun 1983. Hampir 80% anak-anak yang tidak diimunisasi menderita sakit pertusis sebelum umur 5 tahun. Kematian `karena pertusis, 50% terjadi pada bayi (umur < 1 tahun). Pertusis ditularkan melalui kontak dari orang ke orang, dan penderita dapat menularkan penyakit sejak timbulnya gejala awal."Masa inkubasi penyakit 6 – 12 hari. Gejala awal pertusis menyerupai influensa, yakni pilek, bersin-bersin, batuk dan demam (stadium catarrhalis) kemudian diikuti stadium spasmodik dan konvalesen.
4) Tetanus Tetanus neonatorum disebabkan oleh pemotongan tali pusat dengan alat yang tak steril, atau menutupinya dengan bahanbahan seperti abu, lumpur sehingga terinfeksi dengan bakteri tetanus. Kasus tetanus di dunia diperkirakan mengenai 800.000 bayi yang ban' lahir setiap tahun. Dalam tahun 1983 dilaporkan 10.000 tetanus neonatorum dari 74 negara. Hampir 100% bayi yang menderita tetanus neonatorum, meninggal dunia. Penyakit tetanus ditandai dengan kejang-kejang yang berkembang ke seluruh wbuh. Saat ini hanya ± 14% ibu hamil di dunia ini yang mendapatkan imunisasi TT dua dosis. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang telah mendapatkan vaksinasi tetanus toxoid (IT) pada waktu hamil, akan mendapatkan kekebalan selama 12 minggu dari sejak ia dilahirkan. 5) Poliomyelitis PenyakitPolio disebabkan oleh virus yang dibedakan menjadi 3 jenis, yakni virus 1, 2 dan 3. Diperkirakan 275.000 anak-anak di negaja-negara sedang berkembang menderita polio paralitik setiap tahun sebelum mencapai usia 3 tahun. Polio merupakan penyebab utama kelumpuhan di dunia. Pada tahun 1983 dilaporkan 36.400 kasus dari 170 negara. Polio dapat menular melalui kontak langsung atau makanan dan minuman yang terkontaminasifaeces. Penderita dapat menjadi carrier dan dapat menularkan ke orang lain 3 minggu sejak ia terinfeksi. Masa inkubasi polio paralitik berkisar antara 7 -14 hari. Gejala polio meliputi antara lain : demam, talc enak badan, sakit tenggorokan, mual-mual, diare, sakit kepala, leher kaku, sakit otot di anggota badan dan punggung dan paralisis. Satu dari 200 penderita akan mengalami paralisis. Imunisasi diberikan secara oral dengan vaksin polio OPV. Hanya + 48 % anak-anak di dunia mendapatkan imunisasi lengkap. 6) Tuberkulosis Hampir semua merupakan TB. paru, meskipun dapat menyerang organ tubuh lain (tulang dan sendi,ginjal). Tuberkulosis menyebabkan penderitaan + 10 juta korbannya setiap tahun, 2 juta di antaranya adalah anak-anak balita. Lebih dari 60.000 kasus menderita meningitis. Anak yang menderita TB meningitis meskipun diobati + 50% akan meninggal dan bila tak diobati 100% meninggal. Tanpa pengobatan, penderita TB paru akan menjadi sumber penularan seumur hidup. Gejala TB pant meliputi demam yang tak tinggi, batuk, darah dalam dahak, sakit dada, keringat waktu malam dan berat badan menurun. Satu dosis vaksin BCG dapat melindungi masa kanakkanak terhadap TB. Imunsasi BCG perlu diberikan kepada bayi setelah lahir. Kira-kira 46% anak-anak di dunia telah diimunisasi BCG. Di negara sedang berkembang cakupan imunisasi mencapai + 39% dan di Eropa ± 70%. HASIL Cakupan Imunisasi Polio Nasional 1980-1988, menunjukkan bahwa dimulai dari ± 2% pada tahun 1981, meningkat setiap
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 35
tahun hingga mencapai lebih dad 80% pada tahun 1988 untuk Polio 1 dan lebih dari 70% untuk Polio 2 dan 3. Cakupan Imunisasi Campak berturut-turut 2% pada tahun 1982, 6% (1983),11% (1984), 26% (1985), 45% (1986), 57% (1987), dan 64% pada tahun 1988. Cakupan TT 1 dan 2 pada ibu hamil pada tahun 1980 sebesar + 12% dan + 8% menjadi + 37% dan + 22% pada tahun 1985, dan mencapai + 42% untuk TI' 1 dan + 35% untuk TT 2 pada tahun 1988.(6) Untuk memberikan gambaran efektivitas cakupan immnisasi terhadap penurunan kejadian penyakit PD3I, dikemukakan kejadian penyakit Campak dan difteri di 7 propinsi menurut suatu hasil survai kesehatan rumah tangga tahun 1985 (Tabel.1) dan cakupan imunisasi campak dan DPT 3 di 7 propinsi tersebut dalam tahun yang sama (Tabel 2). Data mengenai proporsi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menurut golongan umur dalam tahun 1980 dan 1985, dikemukakan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.
antaranya kemungkinan besar disebabkan oleh meningitis tuberkulosis. Untuk memberikan gambaran hubungan antara cakupan imunisasi dengan angka kematian, disajikan tabel cakupan imunisasi campak di 7 propinsi dikaitkan dengan angka kematian menurut golongan umur di propinsi tersebut dalam tahun 1985/1986 (Tabel 6). Masih banyak variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi angka kematian antara lain status gizi, pola upaya pelayanan kesehatan penderita, social budaya, lingkungan dan lain-lain. Tabel 3. Proporsi beberapa jenis penyakit menurut golongan umur di Indonesia. Tahun 1985. Golongan Umur (%) Penyakit
Tabel 1. Kelompok diagnosis Penyakit Difteri dan Campak berdasarkan keluhan per 100.000 penduduk dl 7 Propinsi. Tahun 1986. Propinsi
Jumlah Penduduk disurvai
Penderita difterl dan Campak Jumlah orang
Bali Bengkulu DI Yogyakarta Sulut NTB KalBar Maluku
38.069 41.357 41.750 41.793 42.987 43.944 41.134
38 92 4 24 21 39 66
Per 100.000 penduduk 99,82 222,45 9,58 57,43 48,85 88,75 159,97
Keterangan : Sumber :S K R T 1986. Tabel 2. Cakupan Imunisasi DPI' dan Campak di 7 propinsi. Tahun1986.
Propinsi Bali Bengkulu D.I. Yogyakarta Sulawesi Utara NTB KalBar Maluku
Jumlah Penduduk disurvai 69.121 33.952 74.742 81.382 107.471 93.634 62.529
Cakupan imunisasi (96) DPT
Campak
58,5 46,4 48,1 36,8 11,4 11,7 7,8
51,2 50,1 47,6 33,8 33,1 6,5 4,9
Keterangan : Sumber : Ditjen P3M & PLP Dep. Kes. R.I. & SKRT 1985.
Proporsi kematian dari penyakit PD3I terhadap seluruh penyebab kematian dapat dilihat dalam Tabel 5, yakni 15,9% dalam tahun 1980 dan 22,1% dalam tahun 1985, sedangkan diagnosis penyakit penyebab kematian pada bayi disajikan dalam Tabel 6. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa pada tahun 1980, 21,8% kematian bayi disebabkan oleh Tetanus, Difteri dan Campak, Meningitis menyebabkan 7,5% kematian bayi, 5% di
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Jumlah
Tahun 1
1-4
5-14
15-54
> 54
6,8
13,8
5,1
0,0 0,0 86,2
1,2 0,0 93,7
100
Tuberkulosis Difteri, pertusis, Campak Polio* Tetanus Penyakit lain
0,1
0,6
1,3
4,1 0,0 95,8
2,4 0,0 97,0
2,1 0,0 96,6
0,1 0,0 93,1
Jumlah
100
100
100
100
-
100
Keterangan : • Tidak ada data. Sumber : Survai Kesehatan Rumah Tangga (L. Ratna Budiarso,1986) Survai di Propinsi : DJ. Yogyakarta, Bali, Sulu:, Bengkulu, Kalbar, Maluku dan NTB. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Cakupan program imunisasi telah mencapai rata-rata 59,3% di 7 propinsi, dan padawilayah yang sama di 7 propinsi tersebut dalam kurun waktu 5 tahun dari 1980-1985, IMR menurun dari 107 per seribu menjadi 71,6 per seribu. Dari tahun 1980 sampai tahun 1985, penderita tuberkulosis menunjukkan peningkatan yang lebih besar pada golongan umur yang lebh tinggi. Sebaliknya kasus penyakit Difteri, Batuk Rejan dan Campak cenderung menurun pada kelompok umur yang lebih tinggi, meningkit pada umur Balita; sehingga cakupan imunisasi pada kelompok ini perlu ditingkatkan. Proporsi penyakit PD3I ialah 6,45% dari seluruh penyakit pada tahun 1980 menjadi:6,32% dalam,tahun 1985. Sedangkan proporsi kem atian disebabkan oleh PD3I ialah 21,4% dari seluruh kematian bayi dalam tahun 1980, menjadi 28,5%'dalam tahun 1985. Kenaikan disebabkan oleh kematian bayi akibat Campak. Di Indonesia, PD3I masih menjadi masalah kesehatan. Penyakit PD3I menjadi penyebab kematian ± 23,12% dari seluruh kematian, diikuti oleh diare (12,84%), penyakit jantung dan pembuluh darah (9,75%). Oleh karena itu program imunisasi masih merupakan upaya yang paling.efektif untuk menurunkan angka kematian,baik Angka Kemtian Bayi (1MR) maupun Angka
Tabel 4. Proporsi penyakit PS3I menurut golongan umur di Indonesia. Tahun 1980 <1 th Penyakit
1-4 th
n
%
Campak Tb. paru
29 5
4,71 0,81
96 27
Tb. lain
2
0,33
4
-
-
Pertusis Difteri Tetanus
-
n
- 579 94,15
Jumlah
615 100
%
15-24 th
25-34 th
35-44 th
45-54 th
> 54 th
Jumlah
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
3,7 1,0 5 0,1
41 35
1,7 1,45
2 38
0,16 3,11
54
3,62
130
7,31
161
9,51
251
11,7
168 701
1,18 4,94
4
0,17
6
0,49
5
0,34
-
-
7
0,41
5
0,23
31
0,21
5
0,81
-
-
-
-
1
0,06
-
-
-
-
10
0,07
3
50,1 2 0,3
2
0,08
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5
0,04
-
2 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
24 30
94, 2327 61
1890 88,07 13278
93,55
3
-
Polio Lain
5-44 th
2563
100
-
95,79 1175 96,24 1433
2414 100
1221 100
96,04 1648
1492 100
92,63 1525 90,08
1779 100
1693 100
2146 100
14193 100
Keterangan : Sumber : Dr. Ratna L. Budiarso, MSc, Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Data Statistik.
akan dapat diturunkan dari 71 menjadi + 51 per seribu kelahiran, hidup.
Tabel 5. Proporsi kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi di Indonesia. Tahun 1980 & 1986.
KEPUSTAKAAN
Persentase dari seluruh kematian Tahun 1980 Tahun 1986
Penyakit Tuberkulosis Campak Tetanus Difteri Batuk rejan Polio Penyakit lain-lain Jumlah :
1.
8,4 0,3 6,5 0,7 84,1
8,6 6,7 6,0 0,4 0,4 77,9
2.
100,0
100,0
7.
Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Program Imunisasi. Jakarta, April 1989. L Ratna Budiarso dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Litban Kesehatan Departemen Kesehatan RL 1986. Ditjen PPM & PLP, Departemen KesehatAan RL Pemantauan Program Imunisasi tahun 1988/1989. WHO. Imunization, a chance for every child. Geneva: WHO 1987. Abdoerrac'hman dkk. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia. FKUI, 1968. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pemantauan Program Jmunisasi,1988/1989. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pelaksanaan Imunisasi. Modul lātihan petugas imunisasi modul 8. 1989. Ratna L. Budiarso. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1980. Data
3. 4. 5. 6.
Keterangan : Sumber : SKRT (L. Ratna B udiarso dkk,1986).
8.
Tabel 6. Kematian menurut golongan umur dan beberapa tingkat cakupan imunisasi campak di 7 Propinsi. Tabun 1985/1986. Cakupan Imunisasi
Ball 51%
Umur
n
96
Bengkulu
DIY
Sulut
NTB
KalBar
Maluku
50,1%
41,6%
33,8%
33,1%
6,5%
4,9%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
Jumlah
%
n
%
n
%
66,0
571
11,4 2,7
324
71,8 10,6
89
2,3
0,5
< 1 th 1 - 4 th
47 9
27,1 2,6
92 87
76,0 18,0
20 6
27,0 2,0
49 15
52,2 3,8
170 68
120,9 13,7
112 81
72,9 15,2
81 58
5 - 9 th
1
0,2
24
4,0
1
0,3
8
1,4
19
3,0
19
2,8
17
10 - 1 4 th 1
0,2
4
0,7
0
0,0
8
1,4
10
1,6
> 15 th
139
21,8
111
20,6
135
20,1
153
23,1
162
19,5
9 162
1,5 27,7
3 152
23,7
35 1036
0,9 22,3
Jumlah
165
4,0
197
5,1
233
5,6
337
8,2
383
8,7
311
7,2
429
10,0
2055
7,0
Keterangan : Sumber : SKRT 1986 (2) dan Ditjen PPM & PLP Dep. Kes. RI.
Kematian Kasar (CDR) karena 28,5% IMR disebabkan karena penyakit PD3I. Angka kematian kasar pada tahun 1985 ialah 7,0 per seribu penduduk(2), sedangkan angka kematian bayi (AKB)
Statistik DepartemenKesehatan RI. Badan LitbangKesehatan Puslit Ekologi Kesehatan, Jakarta, 1980. 9) Nasution MS. dkk. Vaccine Production and Immunization Progamme in South East Asia resent status and prospects. SEAMIC Workshop, Tokyo. 1986. 10) Sujana. Metoda Statistik. Bandung: Taraito 1982.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 37
Masalah Gangguan Asam Basel dan. Beberapa Pandangan di Bidang Neurologi
A.A. Bgs. Ngr. Nuartha Laboratorium/UPF Bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSU Wangaya, Denpasar, Bali
''A
little neglect may breed mischief' (Benjamin Franklin)
PENDAHULUAN Sel-sel tubuh dapat hidup sehat dan aman di lingkungan .yang mempunyai pH antara 7,35 dan 7,45. Bilamana terpaksa, sel-sel masih dapat hidup dalam lingkungan yang mempunyai pH 6,8 sampai 7,8. Oleh karena sempitnya batas-batas tersebut, maka usaha kompensasi dari tubuh sangat penting. Apabila tidak berhasil, akan terjadi dekompensasi dan harus dilakukan tindakan koreksi. pH darah dalam keadaan fisiologis terletak antara 7,35— 7,45 (rata-rata 7,4). pH darah vena dan arteri berbeda sekitar 0,021-4 . pH likuor serebrospinal terletak di antara 7,31—7,375. pH cairan ekstraseluler (CES): 7,4 + 0,05, dan pH cairan intraseluler (CIS): 6,8—7,0. Jadi pH darah dan likuor serebrospinal (LSS) mencerminkan suatu pH CES3,5,6 PANDANGAN UMUM Cairan disebut asam bila mampu melepaskan/menyumbangkan H+ (hydrogen-ion donor), sedangkan suatu cairan bersifat basa bila sanggup menerima H+ (hydrogen-ion acceptor)1,3,7. Keseimbangan asam-basa cairan tubuh (CES maupun CIS) ditentukan oleh konsentrasi H+1,8 AsamJ Basa + H+ I Keadaan asidosis terjadi apabila terdapat kelebihan asam atau kekurangan basa, sedangkan keadaan alkalosis (baseosis) terjadi apabila terdapat kekurangan asam atau kelebihan basa1,4,9 Yang penting dalam masalah keseimbangan asam-basa adalah mempertahankan konsentrasi H+ dalam CES. Konsentrasi H+ intrasel yang walaupun tidak identik dengan konsentrasi CES, sangat tergantung pada konsentrasi H`CES. Karena sel-sel sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan konsentrasi H+, maka mekanisme yang mengatur susunan CES sangat penting10 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi H+, antara lain7,10,11
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
a) Pengeluaran CO2 /H2 CO3 oleh paru-paru. CO2 yang dibentuk oleh metabolisme jaringan, sebagian besar mengalami hidrasi- menjadi H2CO3 ; pembebanan H+ total dari sumber ini lebih dari 12500 mEq/hari. Sebagian besar CO2 diekskresi melalui paru-paru, hanya sedikit H+ dari sumber yang diekskresi oleh ginjal. b) Pengeluaran asam/basa oleh ginjal dan usus. Misalnya: kehilangan asam karena muntah-muntah, kegagalan ginjal untuk mengekskresi beban asam yang normal dalam tubuh. Dari hasil metabolisme, sebanyak 30—50 mEq H+ harus dikeluarkan oleh ginjal setiap hari. c) Penambahan secara endogen yang tidak fisiologis. Misalnya pada ketosis diabetes (asam asetoasetat dan beta hidroksobutirat). d) Penambahan secara endogen dari hasil metabolisme yang fisiologis, misalnya: pembentukan asarn laktat sebagai hasil kerja otot pada latihan yang berat. e) Pembentukan asam dalam jumlah besar oleh sel-sel lambung (fisiologis). f) Pemberian asam/basa secara eksogen melalui makanan. Misalnya: makan garam yang mengandung asam, seperti NH4Cl dan CaC12 yang menambah HCI tubuh. Buah-buahan adalah sumber utama alkali sehari-hari. Mereka mengandung garam-garam Na+ dan K+ dari asam-asam organik lernah; anion-anion garam ini dimetabolisme menjadi CO2 dan meninggalkan NaHCO3 dan KHCO3 dalarn tubuh. Garam-garam pembentuk alkali ini kadang-kadang dimakan dalam jumlah besar. Kadar H+ dinyatakan dengan kesatuan pH (rumusnya: pH = —log kadar H+). Kadar H+ dalam cairan tubuh adalah 0,00004 mEq/L (10-7,4g/L). Sehingga pH nya menjadi. —log 10-7,4 = 7,4. Secara teknis, asidosis adalah bila pH arteri di bawah 7,4, dan alkalosis bila pHnya di atas 7,4; pH di bawah 7,25 atau di atas 7,55 hampir selalu memerlukan terapi3,10. Untuk mengaturnya, diperlukan suatu mekanisme buffer, pengeluaran CO2/H2CO3 melalui paru-paru, pengeluaran
urin yang bersifat asam atau basa1,6 Apabila terdapat ketidak seimbangan asam-basa, maka mekanisme tubuh untuk melakukan koreksi secara berturutturut adalah sebagai berikut : Mekanisme buffer. Terdiri dari : 1) buffer hemoglobin HHb H+ + Hb― 2) buffer protein Hprot H+ + Prot― H+ + HPO4― 3) buffer fosfat H2PO4 H+ + HCO3― 4) buffer bikarbonat H2CO3 Posisi H2 CO3 adalah unik, karena ia diubah menjadi H2O dan CO2, dan CO2 kemudian diekskresi melalui paru-paru. Konsentrasi bikarbonat terutama diatur oleh ginjal, dan PCO2 terutama diatur oleh paru-paru10. Untuk keperluan klinik, buffer bikarbonat adalah yang terpenting, karena dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium; selain itu buffer lain akan turut berubah sebanding dengan perubahan sistem buffer bikarbonat/asam karbonat3. Jadi pH terutama diatur oleh sistem buffer bikarbonat/ asam karbonat dan dapat ditentukan dari persamaan Henderson—Hasselbach1,3,10.
Perbandingan normal HCO3 —/H2 CO3 adalah 20/1 dan pK adalah 6,1. Karena H2 CO3 = 0,03 x PCO2 , maka pada PCO2 yang normal (40 mmHg) akan didapatkan kadar HCO3— yang normal adalah 24 mEq/L8,9,11,12
Melalui paru-paru. Kompensasi oleh sistem pernafasan adalah mengeluarkan atau menahan CO2. PCO2 dalam keadaan normal diatur dalam batas-batas tertentu oleh ventilasi paru-paru. Kadār H2 CO3 dalam plasma seimbang dengan CO2 yang terlarut, dan jumlah CO2 yang terlarut diatur oleh pernasan9. Apabila H+ ditambahkan ke dalam darah, maka HCO3— akan menurun karena lebih banyak H2CO3 yang dibentuk. Bila H2CO3 ekstra ini tidak diubah menjadi CO2 yang diekskresikan melalui paru-paru, konsentrasi H2CO3 akan meningkat, pH akan turun. H+ yang meningkat ini akan merangsang pernafasan. Akan tetapi penurunan PCO2 , sehingga sebagian H2CO3 tambahan dibuat dan pH tidak terlalu menurun9,10. Pada hiperventilasi, CO2 lebih banyak dikeluarkan, konsentrasi H + akan turun, dan terjadi alkalosis respiratorik.
Pada hipoventilasi, CO2 akan terkumpul, kadar H2CO3 naik, maka konsentrasi H+ akan meningkat, terjadi asidosis respiratorik l,6. Bila terdapat asidosis metabolik primer, PCO2 akan turun maka sekunder akan terjadi alkalosis respiratorik. Bila terdapat alkalosis metabolik primer, pCO2 akan naik, maka sekunder akan terjadi asidosis respiratorik1,3,4. Jenis .pernafasan yang terjadi ditentukan oleh reseptor perifer (sinus karotikus dan arkus aorta) serta pH plasma, dan pusat pernafasan serta pH likuor serebrospinal8 . Melalui ginjal. 5) Terdapat tiga reaksi penting pada cairan tubulus untuk membuang reaksi H+ dengan HCO3― membentuk CO2 dan H2O, dengan HPO4― membentuk H2PO4―, dan dengan NH3 membentuk NH4―. Konsentrasi bikarbonat plasma diatur oleh tubulus ginjal melalui tiga proses utama, yaitu : 1) Bikarbonat yang difiltrasi akan direabsorpsi sebagian besar pada tubulus proksimal, untuk mencegah kehilangan bikarbonat yang berlebihan dalam urin. 2) Ion hidrogen diekskresi sebagai asam yang dapat difiltrasi untuk membentuk kembali bikarbonat. 3) Ginjal juga mengekskresi ion hidrogen dalam bentuk ion ammonium oleh proses menghasilkan kembali bikarbonat yang mula-mula dipergunakan untuk pembentukan ion hidrogen. Pengurangan volume, peningkatan pCO2 dan hipokalemia semuanya akan meningkatkan reabsorpsi HCO3― tubulus3,10 Asidosis sering terjadi pada penyakit ginjal kronik akibat kegagalan mengekskresikan asam yang dihasilkan dari pencemaran dan metabolisme8,10. Meknisme melalui ginjal berlangsung agak lambat (tidak seperti pada paru-paru), efektif pada gangguan keseimbangan asam-basa kronik. Dengan membuang urin yang asam, maka basa akan ditahan, sehingga asidosis akan dikompensasi. Sebaliknya dengan membuag urin yang bersifat basa, alkalosis akan dicegah11. (Gambar 1.) KESEIMBANGAN ASAM—BASA SEREBRAL. Meskipun mencerminkan pH CES, pH likuor srebrosphinal dalam keadaan normal lebih rendah dari pH darah. pH likuor serebrospinal (LSS) yang diperoleh dari pungsi lumbal lebih rendah dari yang diperoleh melalui pungsi subroksipital/sisternal. Demikian juga pH LSS pada keadaan asidosis dan alkalis metabolik tidak sesuai dengan pH darah5 . Oleh karena CO2 dapat berdifusi secara bebas melalui sawar darah otak, maka keseimbangan asam-basa pada LSS dan ekstraseluler serebral hanya mengandalkan konsentrasi bikarbonat yang sulit melintasi sawar darah otak (blood-brain barrier). Satu-satunya sistem yang dapat bekerja di lingkungan susunan saraf pusat ialah buffer bikarbonat. Mekanisme transportasi bikarbonat di sini belum jelas. Tetapi telah diketahui, bahwa perubahan akut konsentrasi bikarbonat plasma tidak akan mempengaruhi konsentrasi bikarbonat LSS dalam waktu kurang dari 1 jam, sedangkan perubahan CO2 plasma hampir selalu mengganggu pCO2 LSS secara langsung10. Sehingga pH LSS akan dapat mengikuti pH darah pada keadaan asidosis atau alkalosis respiratorik, tetapi akan lambat mengikuti pH darah pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik5,10. Jadi untuk menilai keseimbang-
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 39
Gambar 1.
an asam-basa serebral. pemeriksaan pH LSS memegang peranan penting5. Di samping itu, proses biokimiawi serebral regional juga mempengaruhi lumen arteri serebral. Dalam lingkungan kadar CO2 yang tinggi seperti misalnya pada hipekapnia, terjadi vasodilatasi dan peningkatan cerebral blood flow (CBF) karena tahanan serebrovaskuler yang menurun. Vasodilatasi maksimal terjadi pada pCO2 (PaCO2) lebih dari 80 mmHg. Setiap mmHg peningkatan atau penurunan pCO2 akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan CBF sebanyak 4%. Sedangkan dalam lingkungan dengan kadar CO2 yang rendah seperti misalnya pada hipokapnia selama hiperventilasi, terjadi vasokonstriksi dan CBF akan menurun. Pada P a CO 2 20—25 mmHg, CBF akan turun sekitar 40%. Di samping pengaruh CO2, juga diketahui adanya pengaruh O2 terhadap CBF. Tekanan O2 yang rendah, seperti misalnya pada keadaan hipoksia atau anoksia akan menimbulkan vasodilatasi dan bertambahnya CBF. Vasodilatasi maksimal terjadi pada pO2 kurang dari 25 mmHg. Sedangkan tekanan O2 yang meningkat akan mengakibatkan vasokonstriksi dan berkurangnya CBF. Konsentrasi ion hidrogen juga mempunyai pengaruh terhadap CBF. Pada keadaan asidosis, akan terjadi vasodilatasi dan peningkatan CBF; sedangkan pada keadaan alkalosis, akan terjadi vasokonstriksi dan penurunan CBF. Asam laktat yang dihasilkan melalui metabolisme anaerob di daerah otak yang mengalami hipoksia berat akan mengakibatkan vasodilatasi, bahkan bila hebat dapat terjadi vasoparalisis5,13-15. ASIDOSIS DAN ALKALOSIS RESPIRATORIK. Asidosis karena ventilasi yang berkurang (hipoventilasi) dan sebagai akibatnya tekanan CO 2 darah naik dinamakan
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
asidosis respiratorik. Alkalosis karena hiperventilasi dan penurunan tekanan CO2 darah dinamakan alkalosis respiratorik. Oleh karena sistem respiratorik secara cepat dapat mengubah pH darah, maka sistem ini sering dikerahkan untuk membuat penyesuaian segera terhadap perubahan pH yang sering ditimbulkan oleh sebab-sebab metabolisme daripada sebabsebab respiratorik. Penyesuaian kembali pH oleh sistem respiratorik berlangsung cepat, tetapi tidak sempurna. Sebaliknya, mekanisme ginjal dapat menyesuaikan kembali pH secara sempurna, tetapi kerjanya lambat9. 1) Asidosis respiratorik. Disebabkan oleh peningkatan reaktif asam karbonat dibandingkan dengan bikarbonat. Keadaan ini dapat terjadi pada setiap penyakit yang mengganggu pernafasan, misalnya: bronkiolitis, pneumonia, emfisema, fibrosis pulmonum, kegagalan kongesti, edema pulmonum, COPD (penyakit paru obstruktif kronik), obstruksi saluran pernafasan, adult respiratory distress syndrome, gangguan neuromuskuler (mis. sindrom Guillain-Barre, tetanus, miastenia gravis, poliomielitis), atau depresi SSP/pusat pemafasan (mis. dosis obat yang berlebihan, lesi struktural). Respirator yang tidak berfungsi dengan baik dapat pula membantu menimbulkan asidosis respiratorik. Asidosis respiratorik itu akan mengakibatkan asidosis di LSS. Keadaan ini akan .merusak sawar darah otak dan mengakibatkan edema otak. 2) Alkalosis respiratorik. Terjadi bila terdapat penurunan I'raksi asam karbonat tanpa perubahan bikarbonat. Ini dapat timbul pada hiperventilasi, bisa terjadi dengari sendirinya maupun yang dipaksa. Sebagai contoh adalah: hiperventilasi histerik, ansietas,
penyakit SSP yang mempengaruhi sistem pernafasan (mis. ensefalitis), hipoksia, penyakit paru-paru restriktif, berada di tempat yang tinggi, keracunan salisilat, penyakit hati (koma hepatikum), atau pemakaian respirator yang tidak tepat. ASIDOSIS DAN ALKALOSIS METABOLIK. Gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan oleh perubahan kadar bikarbonat darah dapat dikatakan berasal dari metabolisme. Kekurangan bikarbonatt tanpa perubahan H2 CO3 akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan kelebihan bikarbonat tanpa perubahan H2CO3 akan menimbulkan alkalosis metabolik. Sebagai penyesuaian konsentrasi asam karbonat, dalam hal yang pertama adalah pembuangan lebih banyak CO2 (hiperventilasi) dan dalam hal yang ke dua adalah retensi CO2 (hipovenlilasi). Kadar CO2 plasma jelas lebih rendah dari normal pada asidosis metabolik dan lebih tinggi dari normal pada alkalosis metabolik9. 1) Asidosis metaboltic. Disebabkan oleh penurunan fraksi bikarbonat, tanpa perubahan maupun dengan perubahan , yang relatif kecil pada fraksi asam karbonat. Keadaan ini dapat terjadi pada., diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan ketosis, kelainan ginjal, keracunan garam-asam (acid salt), kehilangan cairan usus yang berlebihan (terutama pada usus halus bagian bawah dan kolon, seperti misalnya diare atau kolitis), alkoholisme, kelaparan, obat-obatan (asetazolamid, amfoterisin B, kolestiramin, salisilat, isoniazid, paraldehid), asidosis laktat. Penyebab asidosis laktat paling sering ialah hipoksia jaringan yang dapat terjadi pada syok (mis. syok kardiogenik atau syok septik) dan hipoksemia berat. Produksi laktat yang berlebihan juga terjadi pada diabetes melitus yang tidak terkendali, pemberian fenformin (terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal), minum alkohol berlebihan, gagal ginjal kronik, gagal hati berat, infeksi bakteri berat (sepsis), pankreatitis, toksemia gravidarum, dan leukemia. Dari hash laboratorium, terlihat pH darah arteri sering di bawah 7,0, anion gap lebih dari 16 mEq/L, bikarbonat plasma dan pCO2 sangat rendah, laktat darah sekitar 5—35 mmol/L, piruvat meningkat sampai 0,2—1,5 mmol/L, lactate-pyruvate ratio diantara 12 dan 200. 2) Alkalosis metabolik. Disebabkan oleh peningkatan fraksi bikarbonat, tanpa perubahan maupun dengan perubahan yang relatif kecil pada fraksi asam karbonat. Kelebihan alkali dapat menyebabkan alkalosis, misalnya makan alkali berlebihan pada penderita ulkus peptikum. Jenis alkalosis ini lebih sering terjadi sebagai akibat obstruksi usus tinggi (misalnya stenosis pilorus), muntah-muntah yang lama dengan pengeluaran isi lambung yang asam atau setelah pembuangan secara berlebihan cairan lambung yang mengandung asam hidroklorida (misalnya pada penyedotan cairan lambung). Biasanya penyebab alkalosis ini adalah kekurangan klorida yang disebabkan oleh kehilangan cairan lambung yang mengandung sedikit natrium tetapi banyak klorida (yaitu sebagai asam hidroklorida). Ion klorida yang hilang kemudian diganti dengan bikarbonat. Jenis alkalosis metabolik ini lebih tepat
disebut alkalosis hipokloremik. Defisiensi kalium juga sering dikaitkan dengan timbulnya alkalosis hipokloremik, karena tidak adanya H+ untuk ditukar dengan Na+ dari lumen tubuli ginjal. Pernafasan akan menjadi lambat, dangkal, dan urin mung kin menjadi alkali, tetapi biasanya karena disertai kekurangar Na' dan K' akan memberi reaksi asam walaupun bikarbonat darah meningkat. Alkalosis metabolik yang biasanya diketemukan dalam klinik hampir selalu disertai oleh defisiensi kalium. Penyebab alkalosis metabolik pada penderita dengan disfungsi otak, antara lain adalah hipovolemia, gangguan elektrolit tubuh, atau karena produksi bikarbonat yang berlebihan sebagai hasil metabolisme sitrat setelah pemberian transfusi darah masif17. Gambar 2.
GANGGUAN ASAM-BASA CAMPURAN. Petunjuk adanya gangguan asam-basa campuran adalah berdasarkan hasil pemeriksaan gas darah serial. Nilai PCO2 dan bikarbonat bergerak dalam arah berlawanan, PCO2 meningkat dan bikarbonat menurun, atau sebaliknya. Ini selalu menunjukkan adanya suatu gangguan campuran. Sebagai petunjuk akan adanya gangguan asam-basa campuran dapat juga digunakan nomogram di bawah ini. Bila data asam-basa terdapat di luar salah satu pita kemaknaan, penderita dianggap mempunyai gangguan asam-basa campuran16. 1) Asidosis metabolik dan asidosis respiratorik. Ini menunjukkan kegagalan kardiopulmoner yang berat, dan secara klasik dijumpai pada keadaan resusitasi kardiopulmoner. 2) Asidosis metabolikdan alkalosis respiratorik. Dijumpai pada keracunan salisilat berat, syok septik, atau sindrom hepatorenal. Karena kedua gangguan asam-basa cenderung menghambat satu sama lain, maka gangguan kon-
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 41
Tabel 1. pH Asidosis metabolik. - tak terkompensasi - kompensasi sebagian - kompensasi penuh Alkalosis metabolik. - tak terkompensasi - kompensasi sebagian - kompensasi penuh Asidosis respiratorik. - tak terkompensasi - kompensasi sebagian - kompensasi penuh Alkalosis respiratorik. - tak terkompensasi - kompensasi sebagian - kompensasi penuh
pCO2
HCO 3
—
BE
N ↓ ↓
↓ ↓ ↓
↓ ↓ ↓ ↓
N
↑
↑
↑
↑ ↑
↑ ↑
↓ ↓ N
↑ ↑ ↑
N ↑ ↑
N ↑ ↑
↑ ↑ N
↓ ↓ ↓
N ↓ ↓
N ↓ ↓
↓ ↓ N ↑ ↑ N
↑
Nomogram asam-basa. H+ darah arteri (mmol/L)
Nilai Normal : pH darah : 7,35-7,45 CO total : 24-29 mEq/L pCO2 : 35-45 mmHg Buffer base (BB): 45-50 mEq/L pO2 : 85-95 mmHg HCO3- : 21-25 mEq/L Natrium : 135-145 mEq/L BE: ―2,5―+2.5 mEq/L Kalium : 3,6-4,5 mEq/L Klorida : 98-109 mEq/L
sentrasi ion hidrogen biasanya ringan. 3) Alkalosis respiratorik dan alkalosis metabolik. Dijumpai pada penderita penyakit hati lanjut (yang dapat menyebabkan hiperventilasi) dan muntah-muntah atau diterapi secara agresip dengan diuretika. 4) Alkalosis metabolik, alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik. Yang disebut gangguan tripel ini sebenarnya cukup sering dijumpai pada pasien alkoholik yang telah muntah-muntah, mengalami ketoasidosis alkoholik, dan mengalami hiperventilasi karena penghentian pemberian alkohol dan/atau disertli adanya penyakit' hati berat. Superimposisi asidosis metabolik pada suatu alkalosis metabolik hanya dapat dikenali melalui pemakaian konsep anion yang berlebihan. Dianggap bahwa dengan adanya asidosis metabolik, anion gap akan meningkat, dan setiap mEq anion yang menumpuk akan menurunkan bikarbonat plasma 1 mEq/L. Oleh karena itu, anion yang berlebihan (yaitu anion gap yang terukur minus 12 mEq/L) bila ditambahkan pada bikarbonat serum yang. diukur harus memberikan nilai yang mendekati bikarbonat serum normal. Jika anion yang berlebihan ditambah dengan nilai bikarbonat serum yang diukur memberikan nilai bikarbonat serum yang tinggi abnormal, maka alkalosis metabolik harus telah mendahului permulaan asidoss metabolik. Analisis penderita alkoholik yang berhenti minum alkohol dan sebelumnya muntah-muntah, biasanya akan dapat mendeteksi adanya gangguan asam-basa tripel6,16 (Nomogram). PEMERIKSAAN LABORATORIUM. Dalam mekanisme kompensasi, ukuran lebih atau kurangnya asam/basa dalarn darah diukur oleh BE (base excess). Base excess ialah jumlah mEq asam kuat atau basa kuat yang dapat ditambahkan ke dalam satu liter darah untuk tercapainya nilai nol pada keadaan bikarbonat standar yang normal yaitu
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
22,9 mEq/L. Besarnya BE dapat diukur secara 'Astrup' atau secara tidak langsung dari nomogran Siggaard-Andersen. Harga normal BE : —2,5 s/d +2,5 mEq/L1,6,7,10 . Parameter-parameter laboratorium yang penting dalam penanganan gangguan asam-basa ialah 1) Penentuan elektrolit serum. Nilai bikarbonat serum yang abnormal sering menjadi petunjuk pertama bahwa ada suatu gangguan asam-basa. Di samping itu, nilai untuk natrium, klorida dan bikarbonat harus diketahui untuk menghitung anion gap, nilai yang sangat penting untuk menangani setiap gangguan asam-basa. Anion gap = (Na+) - (CI― + HC03― ) = 12 + 4 mEq/L Anion gap yang lebih besar dari 18 mEq/L biasanya selalu menunjukkan asidosis metabolik primer2,16. 2) Kalium serum. Secara klasik, nilai kalium serum meningkat pada keadaan asidosis metabolik meskipun tidak konsisten. Sebaliknya, apabila orang tersebut asidemik dan hipokalemik, hpokalemia yang dalam akan terjadi setalah terapi dengan alkali16. 3) Penentuan gas darah arteri. Dalam penentuan gas-gas darah, lebih disukai contoh yang diperoleh dari darah arteri (+ 2,5 ml), meskipun darah vena yang mengalir dengan bebas (tanpa pemasangan manset) dapat juga dipergunakan untuk penentuan pH. Alat suntik supaya dilumasi dengan sodium heparin 1% ± 0,15 - 0,20 ml yang bekerja sebagai antikoagulan dan untuk mencegah kebocoran udara 3,11,16 HC03― tidak dapat diukur; yang diukur biasanya adalah pH. pCO2 dapat diukur langsung dengan elektrode pCO2, secara tidak langsung dengan rnetode interpolasi (Astrup)
atau dibaca pada nomogram standar1,7.Karena pH meter lebih mudah didapat dari pada elektrode pC02, maka pH dan C02 total lah yang sering diukur. CO2 total adalah jumlah C02 yang dibebaskan dari plasma atau serum pada pemberian asam. Ia merupakan jumlah CO2 dalam darah yang terdapat dapat segala bentuk, yaitu HC03― , H2 C03 dan C02 yang larut dalam darah7. CO2 total = HCO3― + H2CO3 + CO2 (dalam larutan) H2CO3 + CO2 (dalam larutan) = α PCO2 = 0,0301 . PCO2 CO2 total = (HCO3―) + (0,0301.PCO2) HCO3― = CO2 total ― (0,0301.PCO2) α(=0,0301) ialah derajat disosiasi dari pada H2CO3. Dari sini kemudian dihitung PCO2 dengan menggunakan bentuk khusus dari persamaan Henderseon-Hasselbalch(HH)18:
Jadi : 19,95 . (0,0301 . PCO2) = (26)―(0,0301 . PCO2) 19,95 . (0,0301 . PCO2) + (0,0301 . PCO2) = 26 0,6306 . PCO2 = 26
H2CO3 = 0,0301 . 41,2 = 1,24 mEq/L HCO3—= 26 ―1,24 = 24,76 mEq/L Di samping itu, HCO3― dapat juga dicari pada nomogran Siggard-Andersen1,7,8. Dalam keadaan normal (pH 7,4 dan PCO2 40 mmHg), jumlah buffer base tergantung pada kadar Hb. Rumus untuk mendapatkan BB (buffer base) ialah : 41,6 + 0,42. kadar Hb (dalam gram/100 ml) BB = 41,6 + 0,42. 14 = 47,48 mEq/L Untuk praktisnya, gangguan keseimbangan asam-basa dapat ditentukan antara lain sebagai berikut a) Asidosis metabolik. pC0 2 harus turun 1 - 1,5 kali penurunan HCO3— b) Alkalosis metabolik. pC0 2 harus meningkat 0,5 - 1 kali peningkatan HCO3— . c) Asidosis respiratorik akut. HCO3— harus meningkat, namun tidak lebih dari 30 mEq/L. d) Asidosis respiratorik kronik. HCO3— harus meningkat sebanyak 4 mEq/L untuk setiap 10 mmHg peningkatan pC02. e) Alkalosis respiratorik akut. HCO3—harus turun sekitar 2,5 mEq/L untuk setiap 10 mmHg penurunan pC02, namun biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/L. f) Alkalosis respiratorik kronik.
HC03 harus turun paling sedikit sama banyak dengan yang akut, dan biasanya tidak lebih rendah dari 1.2 - 14 mEq/L. TERAPI. 1) Asidosis respiratorik. Tergantung kausa, terapi selalu ditujukan untuk memperbaiki ventilasi. Hal ini misalnya dapat terjadi akibat sumbatan jalan nafas, atelektasis, atau alveoli terisi cairan sehingga terjadi gangguan pertukaran gas O2 dan C0210,11 Pemakaian NaHC03 tidak efektif bilamana ventilasi terganggu, karena pembufferan yang efektif memerlukan pengeluaran CO216. Alkali jarang diberikan, kecuali jika ada asidosis metabolik yang berat. Pemakaian alkali justru dapat merugikan, karena pH yang rendah merupakan stimulus untuk terjadinya ventilasi pada hiperkapnia. kronik11. Bilamana pC0 2 lebih besar dari 60 mmHg, dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dengan edema otak, gangguan sensorium dan asidosis10,11. Pada pC02 65 mmHg atau lebih besar justru terjadi depresi terhadap pusat pernafasan. Asidosis cairan otak akan mengurangi perfusi pada daerah otak yang iskemik (cerebral steal)13,14 Kekurangan kalium dan klorida juga sering disebabkan karena alkalosis metabolik yang menumpangi asidosis respiratorik kronik, sehingga perlu dikoreksi dengan pemberian KC116 Penderita dengan pCO2 lebih dari 50 mmHg (kronis), mungkin akan menderita hipoventilasi berat, meningkatnya pCO2, narkosis CO2, dan kematian jika diberi O2 konsentrasi tinggi. Keadaan buruk ini terjadi bilamana respon sentrum meduler terhadap CO2 sudah begitu jelek, sehingga ventilasi hanya dapat terjadi sebagai respon terhadap stimulus hipoksia. Hilangnya stimulus hipoksia akibat pemberian O2 akan dapat menimbulkan apnea, karena itu O2 harus diberikan dalam konsentrasi paling rendah yang masih efektif10,11 Terapi oksigen diperlukan jika terjadi hipoksia yang mengancam kehidupan penderita. Biasanya terapi dimulai dengan pemberian 24% O2 (tergantung cara pemberiannya, dengan kanula atau kateter hidung akan dapat dicapai konsentrasi O2 antara 24 - 28% dengan kecepatan 1 - 2 liter/menit). Jika pO2 masih belum mencukupi dan narkosis CO 2 belum terjadi, konsentrasi O2 dapat dinaikkan sampai 28%. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan ulang gas darah, misalnya setelah 2 jam. Sedikit demi sedikit konsentrasi O2 dinaikkan sampai tercapai pO 2 yang mencukupi (dengan kanula, kecepatan 8 liter/menit akan memberi konsentrasi sekitar 40%; dengan topeng oksigen, akan memberi konsentrasi sebesar 50 - 60% pada kecepatan 6 liter/menit). Setiap penderita dengan gangguan respirasi dengan pC02 belum diketahui, hanya boleh diberi O2 dengan konsentrasi rendah (24%) sampai gas darah arteri dapat diukur 1 1 , 1 8 . Pemberian konsentrasi O2 inspirasi lebih dari 60% (FIO2 lebih dari 60%) jarang dilakukan, karena dapat terjadi toksisitas O2 (kerusakan parenkim paru-paru)10,11,16. Penghentian pemberian O2 akan dapat menyebabkan pO2 menurun dengan cepat, terutama pada penderita dengan kenaikan pCO2 yang agak tinggi2,11,16 Apabila terapi 02 konservatif tidak dapat mempertahankan kadar gas darah, perlu diberi ventilasi secara mekanis. Tujuan ventilasi mekanis adalah untuk memperbaiki oksigensi dan ventilasi alveoler. Tergantung keperluannya, ventilasi
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 43
ini dapat dijalankan secara manual atau dengan mesin. Pada penderita dalam keadaan apnea atau hampir apnea, ventilasi yang memadai harus segera dikerjakan dengan topeng dan kantong resusitasi yang dijalankan dengan tangan. Pemberian O2 kecepatan tinggi diberikan melalui kantong. Perfusi darah dinilai dan ditangani dengan tindakan yang sesuai (closed chest massage), cairan iv, dan lain-lain). Setelah mendapat ventilasi O2 yang cukup dan aliran darah telah diperbaiki, baru dipasang pipa endotrakeal yang disambung dengan ventilator. Umumnya intubasi endotrakeal tidak boleh lebih dari 48 - 72 jam. Jika nampaknya akan diperlukan intubasi untuk waktu lama, trakeotomia elektif harus diperjakan pada hari-hari pertama. Trakeotomia sebagai suatu prosedur darurat hanya dilakukan pada obstruksi akut saluran nafas bagian atas (misalnya akibat benda asing, trauma, atau peradangan hebat) dimaiia terjadi kegagalan untuk memasukkan pipa endotrakeal 11,16 . 2) Alkalosis respiratoric. Terapi ditujukan pada gangguan yang mendasari, biasanya alkalosis itu sondiri tidak memerlukan pengobatan. Tetani atau sinkope karena hiperventilasi akut dapat disembuhkan dengan bernafas dalam kantong plastik yang tujuannya untuk menaikkan pCO2 dalam udara pernafasan (rebreathing)4,14. Jika hiperventilasi . dengan mendadak diakhiri (seperti pada penyesuaian kembali alat respirator mekanik), dapat terjadi asidosis (kenalkan pCO2 yang disertai penurunan HCO 3 ― Meskipun ginjal yang normal akan segera memperbaiki komposisi buffer, namun pemberian alkali mungkin diperlukan untuk perbaikan yang lebih cepat. Bila timbul hiperventilasi yang terus menerus (misalnya pada penyakit SSP atau asidosis intraserebral paradoks), dianjurkan untuk memakai suatu alat pernafasan yang berisi CO2 dengan konsentrasi ± 5%. Pada asidosis intraserebral paradoks, pH perifer telah normal, sedangkan pH dalam jaringan otak lebih lambat berubahnya. Ini akan memacu terjadinya hiperventilasi dan menyebabkan penurunan pCO2 atau mempertahankannya pada tingkat sebelumnya yang rendah2,5,11,16. 3) Asidosis metabolic. HC03― yang diperlukan = 0,3 x BB (kg) x Base Excess mEq. Karena penilaian yang benar-bendr tepat terhadap kekurangan bikarbonat sukar ditentukan, maka Na-bikarbonat yang mula-mula diberikan hanya 50% dari kekurangan yang terhitung, sedangkan 50% sisanya diberikan kemudian bila masih diperlukan 2,11 . Misalnya larutan Na-bikarbonat yang dipergunakan adalah 7% (Meylon), maka jumlah pemberian adalah sebagai berikut :
(Untuk laruran Na-bikarbonat 8,4%, 1 ml = 1 mEq) Kerugian terapi alkali adalah dapat menimbulkan hiperosmolaritas atau rebound alkalosis terutama pada asidosis dengan anion kap yang besar2,16. Bila diperlukan bikarbonat dalam jumlah besar, dapat diberikan misalnya 3 ampul NaHC03 dalam 850 ml DSW dan diinfuskan secara cepat16. Setengah dari kekurangan yang terhitung dapat diganti dalam
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
3 – 4 jam jika tidak ada kegagalan jantung kongestif berat. Perbaikan asidosis tanpa perbaikan kekurangan kalium, akan dapat menimbulkan manifestasi hipokalemia yang fatal (karena masuknya kalium ke dalam sel): Walaupun demikian, penggantian kalium jangan dilakukan sebelum asidosis teratasi sebagian dan sebelum turunnya kadar- kalium serum dapat dibuktikan1l. Jika terjadi hipokalemia, diberikan KC1 20 - 40 mEq/L ke dalam cairan infus dengan kecepatan tidak lebih dari 10 mEq/jam. Jangan diberikan lebih dari 100 - 200 mEq/hari, meskipun untuk ini akan diperlukan waktu beberapa hari guna mengisi kekurangan tersebut. Jika hipokalemia sangat berat (kurang dari 2 mEq/L), kalium dapat diberikan dengan kecepatan hingga 40 mEq/jam dan dalam konsentrisi sampai 60 mEq/L. EKG harus terus dipantau. Setelah pemberian 50 - 100 mEq yang pertama, kadar KCl serum perlu diperiksa kembali. Dalam keaadaan kritis, sebaiknya KCl diberikan dalam larutan salin (jika tidak ada kontra-indikasi) daripada larutan dekstrosa-air, karena infus dengan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan kadar kalium dalam serum lebih menurun lagi11,16 Kalium yang diperlukan = 0,4 X BB (Kg) X (Kalium yang di inginkan - Kalium terukur) mEq. Hendaknya berhati-hati sekali bila penderita asidosis metabolik berat diberi pernafasan. buatan dengan respirator yang dapat menghalangi mekanisme kompensasi hiperventilasi, karena dapat terjadi asidosis berat yang bersifat fatal11. Pengobatan asidosis laktat umumnya tidak memuaskan, dan lebih dari 90% penderita meninggal. Tindakan-tindakan suportif harus segera dilaksanakan, hipoksia jaringan ditanggulangi, dan Na-bikarbonat diberikan secara perenteral dalam dosis besar. Dapat dicoba dengan dialisis (misalnya hemodialisis) untuk mengeluarkan laktat yang berlebihan2,11,16. 4) Alkalosis metabolic. Alkalosis metabolik dapat menyebabkan kadar bikarbonat dalam likuor serebrospinal meninggi yang menyebabkan depresi pernafasan sentral dan hipoksemia. Pemberian O 2 pada keadaan ini dapat menghentikan sama sekali rangsang nafas yang tergantung pada hipoksemia tadi10,17. Terapi ditujukan pada keadaan-keadaan yang mendasarinya. Jika terdapat hipovolemia, dapat diperbaiki misalnya dengan pemberian cairan salin isotonik. Kekurangan kalium diganti dengan KCI. Pemberian asam (misalnya NH4C1 atau HCl) secara oral atau• perenteral bare diberikan jika terjadi alkalosis yang sangat berat2,11,17. Asam,yang diperlukan = 0,3 X,BB (Kg) X BE mEq Pemberian asetazolamid pada keadaan ini tidak dianjurkan, karena dapat menimbulkan asidosis intrakranial17. Bila diperlukan, asetazolamid diberikan secara hati-hati (dalam dosis 250 - 500 mg tiap 6 jam) mentitrasi bikarbonat serum ke bawah16. RINGKASAN DAN KESIMPULAN. Telah dibahas beberapa masalah mengenai gangguan asambasa dan beberapa pandangan di bidang neurologi. Cairan disebut asam bila mampu melepaskan/menyumbangkan H', sedangkan cairan bersifat basa bila sanggup menerima H+. Keadaan asidosis terjadi apabila terdapat kelebihan asam
atau kekurangan basa, sedangkan keadaan alkaalosis terjadi apabila terdapat kekurangan asam atau kelebihan basa. Untuk mengatur keseimbangan asam-basa, diperlukan mekanisme buffer, pengeluaran CO2/H2CO3 melalui paruparu, dan pengeluaran urin yang bersifat asam atau basa. Oleh karena CO2 dapat berdifusi secara bebas pada sawar darah otak, maka keseimbangan asam-basa pada likuor serebrospinal dan ekstraseluler serebral hanya mengandalkan pada buffer bikarbonat. KEPUSTAKAAN 1. Astrup P, Andersen DS, Jorgensen K, et al. The acid-base metabolism, a new approach. Lancet 1960;1 :1035-9. 2. Collins RD. Illustrated Manual of Fluid and Electrolyte Disorders. 2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott, 1983 :41-59. 3. Jonosepoetro M. Acid-Base Balance. Beberapa Petunjuk Dasaar. Surabaya : Bagian Patologi Klinik FK Unair, 1974. 4. Kasim YA. Pengobatan air dan elektrolit. Diajukan pada Simpo- sium Terapi Cairan dan Elektrolit pada Penderita Gawat, Jakarta, 1981. 5. Fishman RA. Cerebrospinal fluid in Diseases of the Nervous System. Philadelphia : WB Saunders, 1980 :223-30. 6. Puruhito. Dasar-dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasuskasus Bedah. Surabaya : Unair, 1982 : 17-25. 7. Wirjoatmadja K. Beberapa masalah dasar dalam keseimbangan assam-basa. Diajukan pada Simposium Sekitar Masalah Perawatan
intensif, Denpasar, 1978. 8. Welt LG. Acidosis and alkalosis. Dalam : Wintrobe MM, Thorn GW, Adam RD, et al, eds Harrison’s Principle of Internal Medi- cine, 7th ed. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha, 1974 : 1356-66. 9. Harper HA. Review of Physiological Chemistry. 15th ed. Los Altos:Lange, 1975 : 220-8. 10. Ganong WF. Review of Medical Physiology. 11th ed. Los Altos: Lange, 1983 : 590-7. 11. Northrup R, Asdie AH, Santoso B. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta : Essentia Medica, 1979 : 31-49. 12. Welt LG. Agent affecting volume and composition of body fluids. Dalam: Goodman LS, Gilman A, eds. The Pharmacological Basis of Therapeutics.4th ed. London:Collier-Macmillan, 1970:788-94. 13. Campkin Tv, Turner JM. Neurosurgical Anaesthesia and Intensive Care. London : Butterworths, 1980 : 3-16. 14. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. 3rd ed. New York Macmillian, 1979 :543-5. 15. Reivich M. Physiology of the cerebral circulation. Dalam Goldensohn ES, Appel SH, eds. Scientific Approaches to Clinical Neurology. Volume 1.Philadelphia : lea & Febiger, 1977 : 728-48. 16. Naughton JL. Fluid and electrolyte disorders. Dalam: Watt HD, ed. Handbook of Medical Treatment. 7th ed. Greenbrae : Jones, 1983 :50-7. 17. Muhardi, Suntoro A, Majid A. Resusitasi otak : Dasar-dasar pengobatan intensif disfungsi otak berat dan akut. Diajukan pada Simposium Koma, Jakarta, 1983. 18. Clarkson AR. Management of disorders of acid-base balance, Medical Progress 1976;3 :73-9.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 45
Kanker Kulit di Limabelas Pusat Patologi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit di Indonesia Tahun 1983 Reflinar Rosfein Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
PENDAHULUAN Dengan meningkatnya harapan hidup (life expectancy) dan menurunnya kematian akibat penyakit menular, dapat diperkirakan bahwa penyakit kanker dan penyakit penyakit tidak menular lainnya akan meningkat. Dalam Survai Kesehatan Rumah Tangga yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, RI ditemukan bahwa 1,4% dari semua kematian pada tahun 1972 disebabkan kanker, angka tersebut meningkat menjadi 3,4% dan pada tahun 1986 menjadi 4,3%1. Masalah kanker dewasa ini makin menarik perhatian dengan bertambah banyaknya jumlah kasus yang dikenal akibat berbagai kemajuan yang dicapai di bidang ilmu dan teknologi, khususnya kedokteran; kemajuan dalam caracara diagnostik dan terapi telah menunjukkan bahwa penyakit kanker tidak selalu berakhir dengan kematian, di antaranya kanker kulit. Kanker kulit merupakan kanker yang mudah dideteksi, karena mudah diamati. Sedikit sekali dari kanker ini yang bermetastasis atau berakhir dengan kematian (Dunn et al. 1965). Di negeri Belanda angka mortalitas tumor kulit hanya mencapai 1% dari mortalitas kanker total2. Frekuensi relatif kanker kulit tinggi pada populasi-populasi di daerah subtropik yang berpigmen kulit sedikit (Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan) dan hampir semua tumor kulit lebih banyak ditemukan pada golongan kulit putih daripada kulit berwarna. Pada akhir abad XIX diajukan pendapat bahwa pajanan (exposure) yang sering dan berkepanjangan terhadap sinar matahari menyebabkan timbulnya kanker kulit terutama pada bagian tubuh yang tidak tertutup. Terlebih lagi hal tersebut akhir-akhir ini dikaitkan dengan makin menipisnya lapisan ozon akibat penggunaan zat khlorofluorokarbon sehingga intensitas sinar ultraviolet menjadi lebih tinggi. Di Indonesia tingginya frekuensi kanker kulit dinyatakan oleh Vos pada tahun 19323. Angka-angka mengenai kanker kulit di Indonesia yang dipublikasikan menunjukkan bahwa frekuensinya masih cukup menonjol. Di Bagian Patologi
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (1973— 1979), kanker kulit menduduki urutan pertama dari lima kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,2%) pada wanita4. Pada tahun (1977-1981) kanker kulit di Bagian Patologi, Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin menduduki urutan pertama (12,8%) dari lima kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,1%) dari lima kanker terbanyak pada wanitas. Pada umumnya kanker kulit dari tahun 1973 - 1981 menduduki-urutan pertama sampai ke lima di tiap-tiap Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia. Ini berlaku bagi pria maupun wanita. Dalam upaya mendapatkan data kanker yang lebih lengkap guna menyempurnakan pencatatan kanker telah dilakukan registrasi kanker pathology-based yang dikoordinir oleh Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Dalam makalah ini dilaporkan hasil registrasi khusus mengenai kanker kulit. Diharapkan bahwa data ini dapat memberikan gambaran mengenai besarnya masalah kanker kulit di Indonesia pada tahun 1983. BAHAN DAN CARA KERJA Untuk keperluan tersebut dibuat formulir yang disesuaikan dengan petunjuk dari WHO (IARC). Data diambil dari Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit. Data bagian tersebut dianggap dapat dipercaya diagnosisnya serta laboratoriumnya lebih terkoordinasi. Pelaksanaan registrasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Walaupun demikian sebenarnya data tersebut belum mencerminkan keseluruhan pola kanker dalam masyarakat. Incidence rate tidak dapat dihitung dari registrasi ini namun frekuensi relatif atau minimum incidence rate masih dapat diketahui. Data dari tahun 1983 yang dicatat dalam formulir yang
telah disediakan mencakup: nomor registrasi, jenis kelamin, umur, golongan etnik, lokasi kanker, diagnosis dan sifat penyebaran. Klasifikasi jenis jenis kanker berdasarkan lokasi disesuaikan dengan klasifikasi dari WHO, yaitu International Classification of Disease, 9th Revision, tetapi dengan kode terdiri dari 3 angka (3 digit) pertama saja. Nama lokasi disingkat. seperti yang digunakan dalam seri Cancer Incidence in Five Continents dan Cancer Occurrence in Developing Countries. HASIL Tabel 1. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 menurut ICD 173 revisi 9. No. Lab. P.A. F.K. Kota Jumlah Kanker Persentase Rumah Sakit Kanker Kulit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Unsrat Unhas Udayana Darma Usada Unair Unibraw Unpad RSPP RSGS Sebelas Maret Undip UGM USU Unsri Unand Jumlah
Manado Uj. Pandang Bali Solo Surabaya Malang Bandung Jakarta Jakarta Solo Semarang Yogyakarta Medan Palembang Padang
205 418 484 245 437 504 1392 110 355 364 234 660 190 382 370
28 53 42 17 33 43 106 6 27 21 18 69 8 16 39
13,7 12,7 8,7 6,9 7,5 8,5 7,6 5,4 7,6 5,8 7,7 10,4 4,2 4,2 10,5
6350
526
8,3
Pada tabel 1 terlihat bahwa frekuensi kanker kulit merupakan 8,3% dari seluruh jenis kanker pada pria dan wanita. Persentase tertiriggi terlihat di Laboratorium Patologi Anatomi Universitas Samratulangi Manado (13,7%), Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (12,7%), Universitas Andalas Padang (10;5%), Universitas Udayana, Bali (8,7%), Universitas Brawijaya Malang (8,5%). Persentase rendah di Pusat Patologi Anatomi' Universitas Sriwijaya Palembang dan Universitas Sumatera Utara Medan masing-masing (4,2%), Rumah Sakit Pertamina Pusat (5,4%) dan Laboratorium Patologi Anatomi Universitas Sebelas Maret (5,8%). Pada tabel 2 terlihat bahwa frekuensi relatif kanker kulit pada pria adalah 11,1% dari seluruh jenis kanker pada pria. Persentase tinggi terdapat pada laboratorium-laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (19,4%), Universitas Samratulangi Manado (16,4%), Universitas Gajah Mada Yogyakarta (12,8%), Universitas Brawijaya Malang (12,6%). Persentase rendah terdapat pada Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta (1,8%), Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang (3,8%) dan Universitas Sumatera Utara Medan (4,4%). Pada tabel 3 terlihat bahwa frekuensi relatif kanker kulit pada wanita adalah 6,7% dari seluruh jenis kanker pada wanita. Persentase tinggi terdapat pada Laboratorium-laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi Manado (12,1%), Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Rumah Sakit Pertamina Pusat masing-masing (9,2%), Uni-
versitas Hasanuddin Ujung Pandang (8,7%) dan Universitas Andalas Padang (8,5%). Persentase rendah terdapat pada Laboratorium-laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang (3,0%), Universitas Sumatera Utara Medan (4,0%), Rumah Sakit Darma Usaha Solo (4,9%) dan Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta (5,3%). Tabel 2. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 pada Pria menurut ICD 173 revisi 9. No. Lab. P.A. F.K. Kota Jumlah Kanker Persentase Rumah Sakit Kanker Kulit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Unsrat Unhas Udayana Darma Usada Unair Unibraw Unpad RSPP RSGS Sebelas Maret Undip UGM USU Unsri Unand Jumlah
Manado Uj. Pandang Bali Solo Surabaya Malang Bandung Jakarta Jakarta Solo Semarang Yogyakarta Medan Palembang Padang
73 155 225 81 151 166 479 56 149 116 63 235 90 234 236 2321
12 30 22 9 17 21 54 1 16 7 7 30 4 9 19 258
16,4 19,4 9,8 11,1 11,2 12,6 11,3 1,8 10,7 6,0 11,1 12,8 4,4 3,8 8,1 11,1
Tabel 3. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 pada Wanita menurut ICD 173 revisi 9. No. Lab. P.A. F.K. Kota Jumlah Kanker Persentase Rumah Sakit Kanker Kulit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Unsrat Unhas Udayana Darma Usada Unair Unibraw Unpad RSPP RSGS Sebelas Maret Undip UGM USU Unsri Unand Jumlah
Manado Uj. Pandang Bali Solo Surabaya Malang Bandung Jakarta Jakarta Solo Semarang Yogyakarta Medan Palembang Padang
132 263 259 164 286 338 913 54 206 248 171 425 100 234 236 4029
16 23 20 8 16 22 52 5 11 14 11 39 4 7 20 268
12,1 8,7 7,7 4,9 5,6 6,5 5,7 9,2 5,3 5,6 6,4 9,2 4,0 3,0 8,5 6,7
Pada tabel 4 terlihat bahwa kanker kulit pada pria banyak ditemukan pada usia antara 40 - 64 tahun. Pada tabel 5 terlihat bahwa kanker kulit pada wanita banyak ditemukan pada usia 40 - 64 tahun. Pada tabel 6 terlihat bahwa sex ratio antara pria dan wanita 1 : 0,96. PEMBAHASAN Penderita kanker kulit pada pria dan wanita adalah 8,3% dari seluruh penderita kanker jenis lain. Jika dilihat pada
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 47
Tabel 4. Frekuensi relatif kanker kulit (ICD 173) pada Pria di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 menurut Klasifikasi Usia 5 tahun. No. Lab. P.A. F.K./ 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Rumah Sakit Unsrat Unhas Udayana Darma Usaha Unair Unibraw Unpad RSPP RSGS Sebelas Maret Undip UGM USU Unsri Unand Jumlah
Kota Manado Uj. Pandang Bali Solo Surabaya Malang Bandung Jakarta Jakarta Solo Semarang Yogyakarta Medan Palembang Padang
T 0- 5- 1 0 - 1 5 - 2 0 - 2 5 - 30- 35 - 4 0 - 4 5 - 50- 55- 6 0 - 6 5 - 7 0 - 75 - 80- 8 5 - Jml 1 1
1 2
1
1
1 2
1
1 4
1
1
5 2
1
1
1 1
6
- 2
2
2 3 1
3 5 1
3 1 1 4
1 1
5 8 4 1 2 2 3 8
1 26
1 4 21
2 2 46
5 3
9 1 2 1 6 1 2 2 1 4 29
1
2 1 4
1 2 1 2 2 8
4
1 1 6
1 14
1 2 3 4 4 8 9
2 3 3
7
2 4
1
2
2
1 3 1 1 1 39
1
1
2
1 1 2
2 2
1
5 2 22
1 17
2
2
1
1
1
1 1
1
6
11
2
12 30 22 9 17 21 54 1 16 7 7 30 4 9 19 258
Tabel 5. Frekuensi relatif kanker kulit (ICD 173) pads Wanita di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 menurut Klasifikasi Usia 5 tahun. No. Lab. P.A. F.K./ Kota T 0- 5- 1 0 - 1 5 - 20- 25- 3 0 - 35- 4 0 - 4 5 - 5 0 - 5 5 - 6 0 - 6 5 - 7 0 - 75 - 80 - 85 - Jml Rumah Sakit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Unsrat Unhas Udahaya Darma Usada Unair Unibraw Unpad RSPP RSGS Sebelas Maret Undip UGM USU Unsri Unand Jumlah
Manado Uj. Pandang Bali Solo Surabaya Malang Bandung Jakarta Jakarta Solo Semarang Yogyakarta Medan Palembang Padang
1
1 1
2 1 1
2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Unsrat Unhas Udayapa Darma Usada Unair Unibraw Unpad RSPP RSGS Sebelas Maret Undip UGM USU Unsri Unand Jumlah
3
1 1 3 1
2
1
2
5
1
2
1 6
Tabel 6. Perbandingan Penderita kanker kulit menurut jenis Kelamin (pria/wanita) di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983. No. Lab. P.A. F.K./ 1 Rumah Sakit
Kota
Pria
Wanita
Manado Uj. Pandang Bali Solo Surabaya Malang Bandung Jakarta Jakarta Solo Semarang Yogyakarta Medan Palembang Padang
12 30 22 . 9 17 21 54 1 16 7 7 30 4 9 19 258
16 23 20 8 16 22 52 5 11 14 11 39 4 7 20 268
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
4 2
1 1
1
1 9
1 2
1 1
1 1
2 1
Sex Ratio 0,75 1,3 1,1 . 1,1 1,06 0,95 1,04 0,2 1,4 0,5 0,6 0,77 1,0 1,3 0,95 0,96
2
1
1 5
1
9
1 2 1 1 1 2 1
1 4 5 1 3 2 2 3
1 14
1 3 31
3 1 1 3 1 3 1
1 5 4 1 3 9 1 1 7
1 3 1 2 4 6 1 1
2 8 2 23
3 4 47
4 1
1 3 6 1 2 6 12 2 1 2 6
1 4 1
3 1
2 1
1
1 1 1 3 22
2 1 25
1 43
2 2 2 3 1 3
13
2 1 1 1
2
1
1 1
4
5
1 2
16 23 20 8 16 22 52 5 11 14 11 39 4 7 20 268
tiap-tiap laboratorium Patologi Anatomi dan Rumah Sakit, kanker kulit paling tinggi pada laboratorium Patologi Anatomi Universitas Samratulangi Manado (13,7%), urutan ke dua terbanyak pada Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (10,7%). Pada penelitian terdahulu kanker kulit pria banyak ditemukan di Manado, Ujung Pandang dan Universitas Andalas Padang (10,5%). Dilihat dari hasil penelitian ini tidak banyak terdapat perbedaan dengan hasil penelitian terdahulu (2.1). Dilihat dari penyebaran umur, kanker kulit pada pria maupun wanita banyak ditemukan pada usia antara 40 - 64 tahun, hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu (35 - 75 tahun). Jumlah terbanyak pada umur 50 - 64 tahun, juga tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu. Tingginya frekuensi relatif kanker kulit di Pusat Patologi Anatomi Unsrat Manado, Pusat Patologi Anatomi Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, dan Pusat Patologi Anatomi Universitas Andalas Padang, mungkin disebabkan karena daerah ini letaknya lebih dekat ke garis katulistiwa; kemungkinan ini masih perlu diteliti lebih lanjut, sejalan dengan
program nasional lima tahun penanggulangan kanker Dep. Kes. R.I., melalui antara lain penelitian epidemiologi deskriptif dan analitik. Kasus kanker kulit termasuk jenis kanker dengan frekuensi kejadian merata di hampir semua daerah, maka perlu diteliti lebih lanjut perihal faktor-faktor yang menyebabkan kanker kulit di Indonesia. Dan penemuan studi epidemiologi dan kepustakaan, faktorfaktor yang diduga berperan pada kanker kulit adalah : radiasi sinar ultra violet yang lama, gangguan penyembuhan DNA yang rusak karena sinar ultra ' violet, riwayat radiasi dengan sinar rontgen, kontak dengan bahan toksik di. tempat kerja, arsen (yang dahulu sering dipakai), orang-orang yang berkulit putih dan lain-lain. Penelitian-penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor etiologik ini. KEPUSTAKAAN 1. Ratna Budiarso dkk. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes. R.I.
Jakarta. 2. Van Dongen JA. Proses-proses ganas dan pra-gams di kulit (363 383). Onkologi. A. Zwaveling, RJ van Zonneveld, A. Schaberg. (Red). Jakarta : PN Balai Pustaka; 1985. 3. Sudarto Pringgoutomo. Beberapa aspek epidemiologik Tumor Ganas Kulit non melanoma di Laboratorium tahun 1989. 4. Lusida LF dkk, (1977); I Wayan Gin (1982). Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Unair (1973 - 1979). 5. Cahyono Kaelan dkk. Bagian Patologi FK Unhas (1977 - 1981). 6. Tambayong EH. Bagian Patologi FK Unsrat (1977 - 1981). 7. Tambunan, Gani B, Manurung. Bagian Patologi FK USU (1977 1981). 8. Scotto Josep H, Fraumeni JR. Cancer Epidemiology and Prevention, Shotteinfeld and Fraumeni. WB Saunders Company. 1982.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepadas Kepala Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular yang telah merintis penelitian kanker Pathology based dan para dokter ahli Patologi Anatomi yang telah membantu pengumpulan data yang sangat berharga, sehingga penelitian terlaksana. Juga kepada rekan-rekan yang telah membantu memberikan saransaran dan tanggapan, saya ucapkan banyak terima kasih.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 49
Uveitis Toxoplasmika Suhardjo Laboratorium Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada UPF Penyakit Mata RSVP Dr Sardjito, Yogyakarta
ABSTRACT Until recently the causes of uveitis is still difficult to determine. One of the cause of posterior uveitis is toxoplasmosis. Some of toxoplasmic posterior uveitis can extend to the anterior segment, resulting panuveitis or uveitis. The pathogenesis of uveitis is a phenomena of hypersensitivity against Toxoplasma gondii antigen and necrotic tissues reaction caused by destructive effect of this protozoa. Two cases of toxoplasmic uveitis extended from posterior uveitis was reported. Thefirst patient showedpseudocoloboma in the chorioretinal region. One of them was associated by vitreous opacity. The diagnosis of toxoplasmic uveitis, need serologic test as a diagnostic support. Corticosteroid and toxoplasmostatic drug therapy gave a good result although the visual prognosis in these cases were relatively poor. Key Words : toxoplasmic uveitis - hypersensitivity reaction - chorioretinal lesion vitreous opacity - visual prognosis.
PENGANTAR Uveitis toxoplasmika merupakan salah satu pengejawantahan infeksi Toxoplasma gondii pads mats. Kelainan ini ditandai dengan adanya radang granulomatosa, walaupun tidak selalu dijumpai adanya invasi protozoa di segmen depan mata.1 Uveitis pada umumnya merupakan persoalan yang kompleks, mengingat penyebabnya tidak selalu dapat ditemutunjukkan. Hal ini mengingat beberapa teknik pemeriksaan penunjang yang biasanya mampu diterapkan pads jaringan lain, tidak selalu dapat dikerjakan untuk diagnosis uveitis. Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat intrasel, mampu hidup di semua sel manusia kecuali eritrosit. Penelitian pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa toxoplasmosis sebenamya banyak terjadi, tetapi umumnya asimptomatik dan tidak diketahui.2 Selain menimbulkan uveitis, toxoplasmosis mampu mengakibatkan terjadinya periplebitis, trombosis vena sentralis, katarak kongenital, kebutaan cerebral tan paresis saraf III. 3 4 5 Henderly dkk. (1987) melaporkan bahwa penyebab utama uveitis posterior adalah toxoplasmosis, sedang penyebab utama uveitis anterior maupun panuveitis adalah tidak di-
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
ketahui.6 Bahkan sebelumnya, Baohua (1983) menyatakan bahwa lebih dari 75% kasus uveitis endogen tidak ditemukan penyebabnya. 7 Kasus-kasus yang acapkali ditemukan adalah retinokoroiditis toxoplasmika, sedangkan kasus uveitis toxoplasmika masih jarang dilaporkan. Barangkali hal ini berkaitan dengan jumlah kasus uveitis yang relatif jarang. Uveitis sendiri tidak termasuk 10 penyakit mata utama di Indonesia.8 Maksud dan tujuan penulisan ini adalah untuk. menyajikan dua kasus uveitis toxoplasmika dengan beberapa gejala klinis maupun laboratorik yang spesifik, yang memang relatif jarang dilaporkan. LAPORAN KASUS 1) Seorang wanita, umur 18 tahun, pekerjaan karyawati apotik, datang di poli mata RSVP Dr Sardjito pada tangga1 10-1-1986. Penderita dikirim dokter mata dengan diagnosis mata kiri siklitis, mengeluh mats kiri kabur, merah, sedikit berair, tidak mengeluh pusing. Penyakit ini dirasakan baru yang pertama kali. Hasil pemeriksaan mata didapatkan mata kanan normal,
visas 6/6 E. Visus mata kiri 1/60 tidak dapat dikoreksi, persepsi warna baik, uji Ishihara terdapat gangguan komparasi warna. Secara biomikroskopik didapatkan injeksi perikornea ringan, keratic precipitates besar-besar terutama di regio bawah, flare (+), pigmen iris sedikit di bilik depan mata, kekeruhan derajat 2 pada badan kaca terutama di depan makulopapiler. Pemeriksaan oftalmoskopik mendapatkan media agak keruh, papil batas tegas, pembuluh darah kesan normal, tampak gambaran pseudokoloboma sebesar 1½ diameter papil meluas dari makula ke arah nasal yang dibatasi oleh eksudat dan daerah retina yang sembab serta area hiperpigmentasi. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 12,6 g%, jumlah lekosit 8300/mmk, laju endap darah 25/50 mm, hemogram menunjukkan eosinofil 4%, limfosit 21%, segmen 75%, faktor reumatoid negatif. Hasil uji aglutinasi lateks untuk anitibodi toxoplasma (IgG) positif untuk titer 1/1024. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorik dibuat diagnosis uveitis toxoplasmika. Sangat mungkin proses tersebut berawal sebagai retinokoroiditis toxoplasmika. Dilakukan pengobatan dengan daraprim 3 x 1 tablet pada hari pertama, dilanjutkan dengan 1 x 1 pada hari kedua sampai 1 bulan, selain itu juga diberikan trisulfa 3 x 2 tablet, deksametason 2 x 1 mg diberikan selama 1 minggu. Asam folat diberikan 3 x I tablet selama pemberian toxoplasmostatika. Pengobatan lokal yang diberikan midriatika, dan kortikosteroid lokal. Hasil pemeriksaan setelah 1 bulan, visus mata kiri 2/60 tidak dapat dikoreksi, segmen depan mata tenang, kekeruhan pads badan kaca tidak dijumpai; tampak gambaran retina dengan pseudokoloboma yang dibatasi oleh area hiperpimentasi, kesan tidak dijumpai perluasan lesi. Terdapat defek sektoral hampir 1 kuadran pads pemeriksaan lapang pandang. 2) Seorang laki-laki umur 25 tahun, pekerjaan buruh tani, asal Bantul, nomor CM 069307, pada tanggal 18-11-1986 telah datang di poli mata RSUP Dr Sardjito dengan keluhan sejak 2 minggu mata kanan merah, berair dan sakit, disertai penglihatan sangat kabur. Sebelumnya, penderita telah berobat ke dokter mata dan mendapatkan antibiotik, kortikosteroid lokal maupun per oral namun dirasakan belum ada perbaikan. Hasil pemeriksaan mata didapatkan, visus mata kanan 1/300, proyeksi sinar dan persepsi warna baik. Secara biomikroskopik didapatkan palpebra spasme ringan, injeksi perisiliar, kornea dijumpai keratic precipitates besar-besar, tampak eksudat (hipopion) di bilik depan mata setinggi 1,5 mm, pigmen iris (+), flare (+ +), pupil bulat sentral dengan penampang 2,0 mm. Terdapat kekeruhan badan kaca derajat 4, fundus tidak dapat dinilai. Visus mata kiri 6/6 E, segmen depan dan belakang mata tidak ditemukan kelainan. Tekanan bola mata keduanya dalam batas normal. Penderita dianjurkan untuk rawat nginap. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 15,2 g%, jumlah lekosit 4900, hemogram eosinofil 2%, segmen 44%, limfosit 51%, dan monosit 1%; laju endap darah 5/12 mm (jam I/II). Titer IgG untuk toxoplasma positif untuk 1/1024. Pemeriksaan fisik lainnya meliputi limfonodi leher, jantung, paru dan hati tidak dijumpai kelainan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorik dibuat diagnosis uveitis toxoplasmika. Pengobatan yang diberikan sulfas atropin tetes mata 1%, kortikosteroid topikal maupun oral, Fansidar® 3 x I tablet hari pertama dan dilanjutkan 1 x 1
tablet sampai 1 bulan. Sulfadiazin 4 x 500 mg, asam folat 3 x 10 mg diberikan sampai 1 bulan. Setelah hipopion menghilang, penderita diperbolehkan rawat jalan. Hasil pemeriksaan setelah 1 bulan, visus mata kanan ½/60 tak dapat dikoreksi, segmen depan mats tenang, badan kaca masih keruh derajat antara 3 - 4, fundus membayang merah. Mata kiri tidak ditemukan kelainan. Karena masih ada kekeruhan badan kaca, maka dilakukan pemeriksaan titer IgG untuk toxoplasma ulang. Didapatkan hasil titer IgG positifuntuk 1/128. Diputuskan pemberian Fansidar® diperpanjang 1 bulan lagi. Hasil pemeriksaan 1 bulan kemudian, temyata tidak menjumpai perbaikan yang berarti. Pengobatan dengan toxoplasmostatika dihentikan, dan diberikan Catarlent® tetes mata. Penderita tidak pemah kontrol lagi di RSUP Dr Sardjito. Perlu pula dilaporkan di sini bahwa beberapa fenomena periterapi berupa efek samping obat tidak dijumpai. Hal ini memang perlu diperhatikan, mengingat sering pemberian obatobat derivat sulfonamida dalam jangka lama sering menimbulkan keluhan. PEMBAHASAN Diagnosis uveitis toxoplasmika pada kedua kasus tersebut ditegakkan atas dasar gambaran klinis dengan uveitis granulomatosa, yang diperkuat dengan pemeriksaan serologik untuk toxoplasmosis. Reaksi vaskuleryang ringan, keraticprecipitates besarbesar dan adanya kekeruhan badan kaca, merupakan gejala spesifik uveitis granulomatosa.9 Adanya retinokoroiditis yang meluas dari makula ke nasal merupakan petunjuk bahwa lesi tersebut disebabkan oleh toxoplasmosis. Daerah makula merupakan salah satu predileksi toxoplasmosis.10 Gambaran klinis yang mirip pada kasus 1 pernah dilaporkan oleh Chartey & Brockhurst (1980).11 Kekeruhan badan kaca derajat 4 yang disertai gambaran uveitis anterior granulomatosa pertanda bahwa kedua segmen uvea terkena proses radang. Schlaegel (1981) berpendapat bahwa, jika kedua segmen uvea(anterior & posterior) terkena radang maka kemungkinan pertama penyebabnya adalah toxoplasmosis.1 Hal ini diperkuat oleh tingginya titer antibodi serum untuk Toxoplasma gondii. Uveitis anterior biasa terjadi pads penderita dengan retinokoroiditis toxoplasmika, terutama pads kasus jenis kambuhan.12 Dalam hal ini, Toxoplasma gondii sendiri tidak pernah terlihat pada iris maupun badan siliar. Penyebab uveitis anterior tersebut adalah sebagai jawaban dari reaksi antigen yang berasal dari fokus infeksi toxoplasmosis.1 Lesi retinokoroid yang spesifik pada kasus kedua memang tidak mampu terdeteksi, karena fundus tidak tampak dengan pemeriksaan oftalmoskopik. Gangguan lapangan pandang terjadi pada kasus pertama, berupa skotoma hampir sentra) disertai dengan efek sektoral hampir 1 kuadran. Martin dkk. (1980) melaporkan adanya defek lapangan pandang pada 34 kasus toxoplasmosis dengan lesi peripapiler. Defek lapangan pandang tersebut berkaitan dengan terjadinya lesi atropi pada daerah peripapiler, atau terputusnya lapisan serabut saraf pada retina.3 Untuk membedakan apakah pads kasus pertama merupakan toxoplasmosis kongemital atau toxoplasmosis perolehan adalah tidak mudah. Penderita tersebut selalu menyangkal bahwa gangguan penglihatan telah terjadi sejak lama. Namun jika di
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 51
lihat bahwa lesi terletak di makula, maka kemungkinan besar hal itu merupakan predisposisi untuk teijadinya toxoplasmosis kongenital dibanding toxoplasmosis perolehan. Dalam hal ini Heiman (1970) membuat hipotesis bahwa makula merupakan end artery pada mudigah.10 Diagnostik serologik toxoplasmosis paling tepat adalah pemeriksaan imunologik yang mampu mendeteksi titer antibodi IgM dan IgG sekaligus. Dalam kasus ini hanya diperiksa titer antibodi IgG dengan cara latex agglutination test. Ternyata titernya cukup tinggi, sehingga pemeriksaan ulangan hanya dilakukan pada waktu pascapengobatan, untuk menilai hasil guna pengobatan. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit pada darah tepi, mendapat kesan adanya eosinofilia; barangkali hal ini ada kaitannya dengan infeksi Toxoplasma gondii, seperti halnya pada infeksi parasit lainnya. Kedua penderita yang dilaporkan ini mengaku merupakan serangan yang pertama, berdasarkan umur serangan pertama, Friedman & Knox (1969) melaporkan bahwa retinokoroiditis toxoplasmika terutama pada umur 10 - 20 tahun dan diikuti oleh dekade ketiga, dan dengan umur rerata 25,3 tahun.12 Dalam hal ini timbul dugaan apakah pada umur-umur tersebut terjadi suatu kerawanan dalam sistem kekebalan. Pengobatan untuk uveitis toxoplasmika pada prinsipnya adalah pemberian kortikosteroid dengan kombinasi anti toxoplasma. Frenkel (1971) menduga bahwa proses radang 90% disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat ruptur kista yang berisi takizoit; hanya 10% yang diakibatkan oleh proliferasi takizoit yang berakhir dengan nekrosis. Dengan demikian prioritas pertama untuk pengobatan adalah menekan reaksi hipersensitivitas. Namun juga hares diperhatikan terhadap efek samping, terutama dalam hal menjaga terjadinya gangguan imunitas.13 Schlaegel (1969) menyatakan bahwa kortikosteroid tak akan diberikan jika tanpa disertai antimikroba yang spesifk.1 Pengobatan uveitis toxoplasmika sebenarnya mirip dengan uveitis non spesifik, meliputi midriatika, steroid lokal guna mengurangi keratic precipitates, dan disertai pengobatan spesifik. Pemberian kortikosteroid juga diberikan secara sistemik. Brockhurst (1966) menganjurkan pemberian prednison dosis tinggi, misalnya 40 - 80 mg tiap hari;14 dalam hal ini perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan gangguan imunitas. Pengobatan spesifik dapat menggunakan pirimetamin, klindamisin, sulfonamid dan spiramisin. Obat-obat pirimetamin dan. sulfonamid mempunyai efek samping mengurangi ketersediaan hayati asam folinat, sehinga dapat mengakibatkan terjadinya trombositopeni maupun anemi megaloblastik. Jika dalam pemeriksaan angka trombosit sudah di bawah 100.000, perlu pengurangan dosis pirimetamin maupun sulfonamid. Selain keadaan klinis penderita yang perlu diikuti selama pengobatan, pemeriksaan serologik sebagai tolok ukur keberhasilan pengobatan juga mutlak hares dilakukan. Penurunan titer toxoplasmin menunjukkan prognosis yang menggembirakan. Penghentian pemberian toxoplasmostatika tidak perlu sampai titer IgG untuk toxoplasma menjadi negatif. Vaughan dan Asbury (1980) menganjurkan pemberian terapi spesifik sampai 4 minggu. 9 Jika terdapat kontra indikasi pemberian pirimetamin, . misalnya pada kehamilan, maka dapat diganti dengan spiramisin.
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
Kekambuhan dapat teijadi pada uveitis toxoplasmika, walaupun pengobatan secara spesifik telah dilakukan. Barangkali hal ini berkaitan dengan sifat obat spesifik, yang umumnya bersifat toxoplasmotika. Bila teijadi kekambuhan, maka perlu dilakukan fotokoagulasi.15 Kedua penderita ini rupanya memiliki reaksi yang baik terhadap pengobatan, terutama pads kasus pertama. Hasil pengobatan untuk kasus kedua belum sesuai yang diharapkan, walaupun reaksi radang pada segmen depan mata sudah menghilang. Beberapa penyulit uveitis toxoplasmika yang pernah dijumpai antara lain transient glaucoma, degenerasi makula kistik, iridosiklitis kronik, katarak, ablasi retina, dan keratopati pita. 12 Penyulit tersebut temyata juga dijumpai pada kasus 1, berupa degenerasi makula kistik. Penyulit pads kasus kedua berupa kekeruhan badan kaca. PENUTUP Setiap kasus uveitis anterior granulomatosa perlu diperiksa lebih seksama sebab kemungkinan besar pada segmen belakang mata juga terjadi proses radang. Guna mendapatkan diagnosis penyebab, pemeriksaan serologik untuk toxoplasmosis; terutama jika tidak dijumpai kelainan fundus yang spesifik untuk toxoplasmosis. Toxoplasmosis sering teljadi pads penderita dengan gangguan sistem kekebalan, dengan demikian jangan dilupakan untuk memeriksa fundus pads penderita AIDS. KEPUSTAKAAN 1.
Schlaegel TF. Toxoplasmosis dalam TD Duane, EA Jaeger (eds.) Clinical Ophthalmology Vol. 4 : Diseases of the Uvea, Cambrigde Harper & Row Publ. 1981; pp. 51 : 3-6. 2. Leong AS, Wang F, Thomas V, Ong TH. Acquired toxoplasmosis in Malaysia, South East Asian J Trop Med Pub Health 1976; 7 : 10-5 3. Martin WG., Brown GC., Perrish RIC, Kimbal R., Naidoff MA., Benson WE., Oculars toxoplasmosis and visual defects, Am J Ophthalmol 1980; 90 :25 -9 . 4. Mc Colm AA. The prevalence of Toxoplama gondii in meat animals and cats in Central Scotland, Ann Trop Med Parasitol, 1981; 75 : 157-62. 5. Wilson WB., Sharpe JA., Deck JHN., Cerebral blindness and oculomotor nerve palsies in toxoplasmosis, Am J Ophthalmol 1980; 89 : 714-8. 6. Henderly DE., Genstler AJ., Smith RE., Rao NA., Changing patterns of uveitis, Am J Ophthalmol 1987; 103 : 131-6. Baohua F. Endogenous uveitis of the klindamisin, Cantonese. Proc.sulfonamid, 9th Congress,of 7.7.dapat menggunakan pirimetamin, dan APAO, Hong Kong, 1983. 8. Hamurwono GB., Upaya kesehatan mate dan penurunan kebutaan di Indonesia. Dalam : Gunawan, Basarodin KM., M Ghozi dan Hartono (eds.) Kumpulan Makalah Kongres Nasional V Perdami, Yogyakarta, 1984; hal. 144-9. 9. Vaughan D., Asbury T. General Ophtahltnology, 9th. ed. Lange Med. Publ., Marusen Asia (Pte) Ltd., Singapore, 1980. 10. Heiman K The development of the blood vessels of the macular choroid, 8. efekKlin samping ketersediaan Monatsblmengurangi Augenheilkd, 1970; 157: 636-41 hayati asam folinat, sehing 11. Ghartey KN., Brockhurst RJ., Photocoagulation of active toxoplasmic retinochoroiditis, Am J Ophthalmol, 1980; 89: 858-64. 12. Friedman CT., Knox DL., Variations in recurrent active toxoplasmic retinochoroiditis, Arch Ophthalmol, 1980; 81:481-5. 13. Frenkel JK, Toxoplasmosis : Mechanisms of infection, laboratory diagnosis, and management, Curr Top Pathol, 1971; 54 : 28-75. 14. Brockhurst RJ., Toxoplasmosis : management. Dalam SJ Kiinura, WM Caygill : Retinal Diseases, Philadelphia, Lea & Febiger, 1966; pp: 289-91. 15. Spalter HF., Prophylactic photocoagulation of recurrent toxoplasmic retinochoroiditis, Arch Ophthalmol, 1966; 75 : 21-8. 16. Gordon DM., The treatment of toxoplasmic uveitis, Int Ophthalmol Clin, 1970; 10 : 639-44.
Frekuensi Miobakteria Atipik pada Penderita Tuberkulosis Paru di Sumatera Barat Misnadiarly dan Cyrus. H. Simanjuntak Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.
ABSTRAK Penelitian mikobakteria atipik dilakukan di Sumatra Barat dengan cara pemeriksaan dan penelitian sputum dari 162 orang penderita tersangka tbc. Sputum diperiksa secara mikroskopis (BTA) dan pembiakan memakai media Lowenstein - Jensen dan Kudoh serta identifikasi biokimia dari kuman yang tumbuh di Puslit Penyakit Menular Badan Litbangkes Jakarta. Ditemukan 13 mikobakteria atipik terdiri dari spesies M. simiae (3), M. kansasii (2), M. phlei (2), M. fortuitum (4) dan M. smegmatis (2),'di samping 8 M. tuberculosis. Dengan cukup tingginya (8,0%) frekuensi pada orang-orang sakit ini, mikobakteria atipik di lingkungan Sumbar cukup banyak dan perlu pemantauan atau penelitian atas kemungkinan adanya reservoir yang terkontariminasi misalnya kolam renang, berbagai satwa dan tumbuhan. PENDAHULUAN
mikobakteria atipik di Sumatera Barat.
Basil tahan asam di luar Mycobacterium tuberculosis yang disebut mikobakteria atipik, dulu dianggap memberi perlindungan terhadappenyakit tbc. Tetapi di India Selatan ternyata vaksinasi BCG mengalami kegagalan karena tidak memberi perlindungan seperti yang diharapkan. Diduga hal ini disebabkan tingginya frekuensi mikobakteria atipik di daerah tersebut.(1) Mikobakteria atipik biasa ditemukan di sekitar lingkungan, di air, tanah, makanan, tumbuhan dan satwa, pada orang-orang sehat, juga pada, orang yang sakit paru-paru termasuk penderitaa tbc.(2) Penularan terjadi melalui makanan minuman yang terkontaminasi, masuk melalui orofaring, inokulasi perkutan (kulit) dan mukosa.(3j Berdasarkan informasi di atas, tampaknya mikobakteria atipik masih merupakan masalah karena di satu pihak atipik perlu karena dapat memberi perlindungan terhadap penyakit tbc, sedangkan di lain pihak atipik menimbulkan penyakit dan perlu diberantas dengan antibiotika yang khusus karena lebih resisten terhadap obat-obatan dibandingkan dengan Mycobacterium tuberculosis.(5) Mikobakteria atipik ini ada yang patogen, saprofit bahkan apatogen pada manusia. (2) Tujuan makalah ini untuk memberikan informasi tentang
BAHAN DAN CARA KERJA Spesimen yang berupa dahak (sputum) penderita tersangka tuberkulosis dikumpullcan oleh petugas Puskesmas daerah Sumbar untuk dikirim ke laboratorium Pusat Penelitian Penyakit Menular Batlan Litbang Kesehatan RI. Jakarta. Sesampainya spesimen di tempat pemeriksaan, dilakukan pembuatan sediaan apus untuk BTA dan dilanjutkan dengan pemrosesan dahak untuk dibiak. Sputum diolah dengan menggunakan NaOH 4% dan Trisodium fosfat (TSP) 10%, dan untuk pembiakan digunakan media Kudoh dan Lowenstein Jensen (L-J) masing-masing diinkubasi pada suhu 30°C-37°C. Setiap biakan yang tumbuh dengan cara NaOH maupun cara TSP, dicatat warn, struktur koloni dan waktu mulai tumbuh; . kultur dianggap negatif bila tidak ada pertumbuhan setelah dibiak selama 56 hari. Kemudian dilakukan pewarnaan BTA terhadap koloni yang tumbuh dari masing-masing pembenihan. Untuk setiap yang positif, dilanjutkan dengan test biokimia (Reaksi Merah Netral, Katalase, Peroksidase, Urease,,' Nitrat, Hidrolisa Tween dan Niasin), dan pertumbuhan pada media tertentu (agar Mc Conkey, agar Nutrien) untuk menentukan. spesies mikobakteria yang tumbuh.
Dibacakan pada Seminar Ilmiah dan Kongres Biologi IX, Padang 10-12-1989
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 53
HASIL DAN DISKUSI Dari 162 sputum penderita tersangka the yang diterima, berhasil tumbuh 21 (12,9%) biakan (+) BTA yang terdiri dari 13 (8,0%) M. atipik dan 8 (4,9%) M. tuberculosis(Tabel. 1). Sedangkan persentase kuman atipik dan kuman the 21 biakan (+) BTA adalah 61,9% atipik dan 38,1% tbc (Tabel 2). Dari 13 yang atipik ini ditemukan 5 spesies yang terdiri dari 3 (23,01%) M.simiae, 2 (15,4%) M. kansasii, 2 (15,4%) M. phlei, 4 (30,7%) M. fortuitum dan 2 (15,4%) M. smegmatis. Tabel 1.Jumlab kuman atipik dan kuman tbc dari 21 sputum yang berhasil tumbuh dari spesimen penderita tersangka tbc yang dikumpulkan dari daerah Sumbar. Jumlah spesimen yang dikumpulkan/ diperiksa.
Jumlah yang tumbuh (biakan +BTA)
Jumlah atipik (+)
Jumlah tbc (+)
162
21(12,9%)
13(8,0%)
0(4,9%)
Tabe1 2. Jenis Mikobakterium yang depot diisolasi Jenis Mikobakterium
Jumlah 8(38,1%) 13(61,9%)
M. tuberkulosis M. atipik M simiae (I) M. kansasii (I) M. phlei (IV) M. fortuitum (IV) M. smegmatis(IV)
3(23.07%) 2(15,4%) 2(15,4%) 4(30.7%) 2(15,4%)
Keterangan : () - grup Runyon
Ditinjau dari grup Runyon maka mikobakteria atipik yang ditemukan termasuk grup I (fotokromogen) dan grup IV (rapid grower), sedangkan grup II (skotokromogen) dan grup III (nonfotokromogen) tidak ditemukan. Di antara ke empat golongan ini, grup I dan III yang paling sering menimbulkan penyakit pada paru-paru manusia(4). Grup II kadang-kadang juga dapat mengenai paru-paru, selain kelenjar limfe servikal serta kulit, sedangkan grup IV yang merupakan pencemar yang sangat umum pada air, kolam renang, ikan dan serangga yang umumnya menyerang kulit. Kemungkinan grup IV yang ditemukan merupakan hasil pencemaran dan makanan. Laporan Krisnomurti(3) menyatakan, limfadenitis tuberkulosa dapat disebabkan oleh makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan kuman ini, atau berasal dari organ atau jaringan lain dari penderita, misalnya dari paru-paru, tulang dsb; atau sebaliknya kuman dari limfadenitis menyebar atau pindah ke paru-paru, lalu keluar melalui dahak. M. kansasii, M. scrofulaceum, M. intraeellulare relatif sering menyebabkan infeksi limfadenitis servikal maupun infeksi paru kronik, tempat masuknya melalui mukosa, orofaring, inokulasi
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
perkutan (kulit). Berdasarkan hal di atas perlu kiranya pemantauan berkala dari kolam-kolam renang terhadap kuman-kuman tersebut. Hasil penelitian ini yang menemukan mikobakteria atipik 8,0% adalah cukup tinggi dari yang pernah ditemukan di Indonesia. Sujudi menemukan 3,7% di Jakarta(5), dan Simanjuntak CH, dkk. 6.,7% di Jakarta.(1) Penemuan di atas lebih rendahdaripada yang ditemukan Misnadiarly di Semarang-24% dan di Surabaya-11,5%. (6) Bila dibandingkan dengan atipik yang ditemukan luar negeri, hasil penelitian mikobakteria atipik di Sumbar ini terletak di antara Kanada (4,0%) dan Rumania (13,6%). Perbedaan-perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan geografi, dan juga cara indentifikasi karena spesies mikobakteria yang ditemukan tumbuh dipengaruhi oleh cara pembiakan kuman dan peralatan tempat kuman tersebut dibiak.(6) Bila ditinjau dari segi patogenitas atipik pads manusia, maka mikobakteria atipik yang ditemukan pads penelitian ini yaitu M. simiae, M kansasii, M. fortuitum, M. smegmatis, sebagian besar tergolong patogen, kecuali M. phlei yang bersifat saprofit. Mikobakteria atipik yang patogen terhadap manusia adalah M. kansasii, M. marinum, M. simiae, M. scrofulaceum dan M. szulgai, M. intracellulare, M. ulcerans, M. xenopi, M fortuitum dan M. chelonei. (2) Mengingat infeksi atipik ini tertular melalui kulit dan makanan minuman yang tercemar, maka kebersihan lingkungan perlu mendapatkan perhatian antara lain upaya seperti pemantauan secara berkala terhadap kemungkinan adanya kuman-kuman ini pada reservoir air minum sebelum didistribuskan ke rumahrumah pelanggan dan tempat-tempat pemotongan hewan. Dapat disimpulkan bahwa atypical mycobacteria, adalah hal yang juga perlu diperhatikan dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan, karena beberapa atipik menyebabkan kekebalan terhadap tbc dalam tingkat yang berbeda-beda (7) Karena frekuensi mikobakterium atipik di Sumbar cukup tinggi, kemungkinan efektivitas BCG agak kurang, maka dianjurkan penjagaan diri terhadap kemungkinan infeksi tbc lebih ditingkatkan di samping meningkatkan gizi, menghindari stres. KEPUSTAKAAN 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Simanjuntak CH, Misnadiarly, Hasibuan MA., Iskak Koiman, Erwin Peetosutan, Halim Danusantoso. Mycobacterium tuberculosis dan frekwensi mycobacterium atypical di Jakarta dan hubungannya dengan vaksinasi BCG. Kongres dan Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi dan Parasitologi Kedokteran Indonesia di Surabaya. 1983. hal. 141-52. Rosihan Anwar. Mikobakteria atipik yang patogen terhadap manusia, Maj. Kedokt. Indon. 1986. 36 (7) : 356-63. Krisnomurti S dkk. Isolasi kuman tuberkulosa pads kasus-kasus radang kelenjar, Simposium Tuberkulosa Masa Kini, 23 September 1978. Amirullah R. Mikobakteriasis Paru, Cermin Dunia Kedokteran 1982; 24 26-9. Sujudi dkk. Frekwensi mycobacterium atipik yang diasingkan dari berbagai jenis bahan pemeriksaan penderita tersangka tuberkulosis selama 6 tahun (1963-1968). Maj. Kedokt. Indon. 1969; 19: 311-5. Misnadiarly. Mikobakteria atipikal pads penderita the di Padang, Semarang dan Surabaya, Cermin Dunia Kedokteran 1987; 45 : 28-30. Ten Dam HG. dkk. Present knowledge of immunization against tuberculosis Bull. WHO 1976. 54.3 : 3516-60.
Informasi Obat
Intal® 1. APA ITU INTAL Intal® adalah obat asma yang mengandung kromolin atau (di)natrium kromoglikat. Intal®tersedia dalam bentuk inhaler aerosol untuk 112 inhalasi yang mengandung 5 mg kromolin/inhalasi. 2. APA INDIKASI INTAL Intal®diindikasikan sebagai obat tahap pertama dalam terapi maintenance asma ringan sampai sedang. Intal® dimaksudkan untuk terapi maintenance diberikan secara teratur, dan tidak untuk mengatasi serangan akut. Oleh karena itu, pads terapi dengan Intal®, B2 agonis inhalasi harus tetap diberikan sebagai persediaan untuk digunakan sewaktuwaktu ada serangan akut. 3. KAPAN INTAL MULAI DIGUNAKAN Intal®digunakan pads saat tempi maintenance mulai diperlukan, yaitu bila serangan asma telah menjadi cukup sering (telah meningkat menjadi sekali sebulan sampai sekali seminggu), sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya gejala tersebut; tidak hanya sekedar mengatasinya dengan B2 agonis inhalasi setiap muncul serangan. Oleh karena Intal® adalah obat yang luar biasa man, maka cocok sebagai obat tahap pertama untuk terapi maintenance asma. 4. PADA JENIS PENDERITA MANA INTAL DIGUNAKAN Anak-anak memberikan respons yang lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa, tetapi perbedaannya tidak bermakna. Demikian juga dewasa muda cenderung untuk memberikan respons yang lebih baik dibanding orang tua, karena pada usia yang lebih lanjut, lebih sering terdapat komponen obstruksi yang ireversibel (misalnya pads bronkitis kronik). Asma ekstrinsik memberikan respons yang lebih baik dibanding asma intrinsik, tetapi perbedaannya juga tidak bermakna.
5. BERAPA DOSIS INTAL YANG DIANJURKAN Dosis awal Intal®4 x 2 inhalasi sehari. Setelah 6 minggu atau lebih, yakni setelah diperoleh perbaikan klinik yang bermakna, mungkin dosis dapat dikurangi menjadi 3 x 2 inhalasi, kemudian 2 x 2 inhalasi, tergantung perbaikan yang dicapai. Perbaikan klinik biasanya disertai dengan berkurangnya penggunaan B2 agonis atau obat lainnya. 6. BERAPA LAMA INTAL MULAI BEKERJA Perbaikan klinik (berkurangnya gejala-gejala asma dan perbaikan fungsi paru) sudah mulai terlihat dalam 1 - 2 minggu pengobatan, tetapi perbaikan yang bermakna baru terjadi setelah 6 minggu pengobatan atau lebih. Oleh karena mula kerja yang lambat inilah, maka Intal®tidak dapat diberikan sendiri pada awal terapinya, tapi hares bersama bronkodilator. 7. DAPATKAH INTAL DITAMBAHKAN PADA REGIMEN TERAPI YANG SUDAH ADA Ya; Intal® dapat ditambahkan pads regimen terapi yang sudah ada, dan biasanya setelah waktu tertentu akan menghasilkan peningkatan efek terapi, sehingga penggunaan obatobat asma yang lain seperti teofilin, steroid yang lebih toksik dari Intal®lambat laun dapat dikurangi atau dihentikan. Intal® dapat mengurangi penggunaan steroid, tetapi efek ini lemah dan memerlukan waktu yang lama. Adanya interaksi antara Intal®dengan obat lain belum pernah dilaporkan. 8. BAGAIMANA CARA KERJA INTAL Intal®bekerja sebagai anti inflamasi yang spesifik pada jalan napas. Hendaknya diingat bahwa secara patologik, asmabronkial (eksttinsik/alergik maupun intrinsik/nonalergik) ditandai oleh inflamasi bronkus yang kronik. Oleh karena Intal®lebih efektif untuk mencegah terjadinya/memburuknya inflamasi daripada mengurangi inflamasi kronik yang sudah terjadi, maka pengobatan dengan Intal® sebaiknya dimulai pads tahap yang dini.
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 55
9. TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI DENGAN INTAL Intal®responder hanya 60 - 80% dengan rata-rata 70%. Ini berarti tidak semua penderita asma ringan sampai sedang (lihat indikasi Intal®) responsif pada pemberian Intal®, sedangkan untuk asma yang berat, Intal®kurang/tidak efektif. 10. FAKTOR YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MERAMALKAN RESPONS TERHADAP INTAL Tidak ada satupun faktor yang cukup baik untuk digunakan sebagai prediktor respons terhadap Intal®. Meskipun asma yang parah kurang responsif dibanding asma yang ringan sampai sedang, asma ekstrinsik sedikit lebih responsif dibanding asma intrinsik, anak sedikit lebih responsif daripada orang dewasa, dan dewasa muda sedikit lebih responsif daripada gang tua (lihat No. 4), akan tetapi untuk seseorang penderita tidak dapat dipastikan akan responsif atau tidak, sebelum obat ini dicobakan terlebih dahulu. Non-responder tidak memberikan respons sama sekali dalam 2 minggu pertama atau menunjukkan respons yang meragukan sampai 4 minggu pertama (anal dosisnya cukup). Dalam hal ini, kromolin dihentikan dan diganti dengan obat lain. Bila masih ragu mengenai dosisnya, tingkatkan dulu dosisnya dua kali lipat, dan lihat respons 2 minggu kemudian. 11. EFEK SAMPING YANG TELAH DILAPORKAN PADA PENGGUNAAN INTAL Penggunaan yang luas selama 20 tahun menunjukkan bahwa efek samping obat ini ringan dan selintas seperti mual, pusing, dermatitis (rash, urtikaria), dan miositis, yang kejadiannya sangat jarang dan semuanya membaik setelah kromolin dihentikan. Iritasi tenggorok atau batuk selintas dapat terjadi pada penggunaan sediaan bubuk dengan spinhaler, tapi tidak dengan sediaan-iarutan (aerosol) yang dijual di Indonesia. Meskipun sangat jarang, anafilaksis atau bronkospasme akut dapat juga terjadi sebagai reaksi sensitivitas terhadap kromolin. Bila ini terjadi, obat harus segera dihentikan. 12. KONTRAINDIKASI ATAU PERINGATAN KHUSUS UNTUK INTAL Kontraindikasi yang spesifik tidak ada.
Penggunaan kromolin pads wanita hamil tampaknya cukup aman karena tidak ada laporan mengenai efek samping pada ibu ataupun anaknya, sedangkan kejadian kelainan kongenital pada 296 wanita hanya 1.35%, lebih rendah dari kejadian yang spontan (2 - 3%). Akan tetapi, secara umum semua obat sedapat mungkin dihindarkan penggunaannya pada kehamilan, terutama selama periode organogenesis. 13. PERHATIAN KHUSUS PADA PENGGUNAAN INTAL Intal® hanya berguna bila dapat mencapai paru-paru dalam jumlah yang cukup. Ini berarti bahwa Intal® harus diberikan pada jalan napas yang terbuka. Bila terdapat penyempitan bronkus, bronkodilator harus diberikan selama 2 minggu pertama terapi dengan kromolin. Bila terdapat obstruksi berat yang tidak dapat diatasi dengan bronkodilator, perlu ditambahkan prednison jangka pendek sampai obstruksi dapat diatasi, sebelum terapi dengan kromolin dimulai. 14. APAKAH INTAL DAPAT MENCEGAH EIA (EXERCISE-INDUCED ASTHMA) Intal ®sangat efektif untuk mencegah bronkokonstriksi akut akibat exercise atau alergen yang sudah diketahui. Dalam hal ini efek Intal®maksimal bila diberikan 15 menit sebelum exercise atau 30.menit sebelum alergen spesifik tersebut. 15. KEUNTUNGANINTAL DIBANDINGKAN BRONKODILATOR (B2 AGONIS, TEOFILIN) UNTUK TERAPI MAINTENANCE ASMA Ada 2 keuntungan, yakni a) Dalam hal keamanan : Intal®luarbiasa aman, sehingga lebih aman dibanding bronkodilator, terutama teofilin. b) Dalam hal cara kerja : Intal®memperbaiki perjalanan penyakit, yakni dengan mencegah/mensupresi reaksi inflamasi di bronkus, yang merupakan kelainan yang mendasan penyakit asma,.sehingga dengan demikian mengurangi keparahan penyakit. Sedangkan bronkodilator hanya mensupresi gejala bronkokonstriksi tanpa mempengaruhi perjalanan penyakit, sehingga reaksi inflamasi di bronkus akan berlanjut terus, dan dengan demikian keparahan penyakit akan terus meningkat. ASI
A man will never change his mind if he has no mind to change
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
HUMOR ILMU KEDOKTERAN SALAM BUAT TANTE Ketika Didi sakit, dia diantarkan oleh Tantenya ke dokter. Setelah selesai diperiksa, Didi ditanyai oleh tantenya. Tante : Tadi pak Dokter bilang apa ? Didi : Salam buat Tante. Tante : . . . . . . ?! Harry Yogyakarta
POLIKLINIK A : “Bila satu ayah dua ibu, apa namanya ?” B : “Poligami” A : “Bila dua ayah tapi satu ibu, apa namnya ?” B : “Poliandri” A : “Bila banyak ayah dan banyak ibu?” B : “Poliklinik” Yuddy Bandung SATU SATU Waktu melihat temannya merokok sambil berlari, Achmat menanyakan mengapa berbuat demikian;maka jawab temannya:“Katanya orang merokok satu batang umurnya akan berkurang tiga menit, sedang berlari kan olah raga, membuat orang sehat berarti umur menjadi bertambah panjang......!” Juvelin Jakarta
BULU PANJANG Seorang pasien dengan bulu panjang di sekujur tubuhnya masuk ke ruang praktek dokter dan mengeluh : “Dokter, saya merasa seperti monyet saya”. Setelah memeriksa pasiennya, dokter menulis resep dan menyuruh pasien makan obat tiga kali sehari. “Bagaimana saya dapat mengetahui kalau obat ini bekerja efektif ?” tanya si pasien. “Saudara nanti akan merasa seperti orang” ,jawab dokter. R.Setiabudy Jakarta SOK AKURAT Seorang anak lulusan SMA yang bercita-cita menjadi mahasiswa kedokteran berobat pada sebuah poliklinik. Seperti biasanya petugas mencatat status pasien, untuk itu disuruhnya anak itu menimbang badan. Maka anak tersebut buka alas kaki, kemudian baju, kaos dalam, celana panjang, dan tinggal celana dalam. Dan lucunya semua baju yang dilepas masih dipegangnya. Petugas : Lho, kenapa mesti begini ? Pasien : Mengindari kesalahan, biar lebih akurat. Petugas : Lha itu ! (Petugas menunjuk tangan pasien).. Hasyimi Jakarta TUKANG TAMBAL BAN Saat-saat pengobatan di RS Jiwa. Dokter : “Paijo, apa cita-citamu?” Paijo : “Jadi presiden, Dok”. Dokter : “Masa ?” Paijo : “Jangan mengejek, Pak Dokter. Kakek saya yang namanya Bus menjadi presiden Amerika. Bulik saya Kori menjadi presiden Philipina !” Dokter : “Cukup. Bila menjadi presiden apa yang akan kau kerjakan ?” Paijo : “Menambal ban, Dok”. Yon Bandung CIRI Dua orang mahasiswa kedokteran berbincang-bincang mengenai ekonomi kesehatan. A. “Apa ciri-ciri negara yang tingkat pengelolaan kesehatan sudah maju?” B: “Kalau biaya kesehatan dapat ditekan dan angka kematian bayi rendah!” A: “Wah, itu sudah kuno!” B: “Lalu, yang modern bagaimana?” A: “Kalau negara itu sudah mengekspor dokter dan tinggal mengimpor vaksin saja !” Hardi C. Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 57
ABSTRAK ANTIDEPRESAN UNTUK BULIMIA Fluoxetin - suatu antidepresan telah disetujui penggunaannya untuk mengatasi bulimia nervosa; dalam studi yang menggunakan dosis 60-80 mg/hari, obat ini terbukti menghilangkan sama sekali gejala bulimia nervosa pada 7 orang, membawa perbaikan pada 2 orang dan satu orang lainnya mengalami kegagalan. Scrip 1990; 1541 : 24 Brw
VAKSIN BARU Perkembangan bioteknologi diharapkan dapat menghasilkan vaksinvaksin baru: Dalam 5 tahun: Vaksin bakteri H. influenzae B, Strep. pneumoniae, N. meningitidis, S. typhii, V cholerae. Vaksin virus Influenza A dan B, hepatitis A, Herpes simplex, Parainfluenza, rabies, respiratory syncitial virus dan rotavirus. Dalam 10 tahun: Vaksin bakteri E. coil, M. leprae, Streptokokus grup A dan B. Vaksin virus HIV, Japanese B encephalitis.
MENGANGGUR MENINGKATKAN MORTALITAS Penelitian prospektif atas mortalitas di Finlandia selma tahun 1981 - 1985 menunjukkan bahwa di kalangan pria 30-54 tahun, pengangguran dapat merupakan faktor independen yang meningkatkan angka mortalitas secara keseluruhan; mortalitas total di kalangan penganggur 1,93 kali lebih tinggi daripada di kalangan para pekerja. Peningkatan mortalitas tersebut terutama ditemukan akibat insiden atau kekerasan (2,51 kali lebih tinggi) dan oleh akibat kardiovaskuler (1,54 kali). Efek ini makin bermakna sesuai dengan makin lamanya masa menganggur. BMJ 1990; 301: 407-11 Hk
MANFAAT DIET PADA OBESITAS Tindakan menurunkan beratbadan melalui diet pada orang-orang kegemukan (obese) ternyata merangsang aktivitas lipoprotein lipase, sehingga dapat meningkatkan proses penimbunan lipid dalam tubuh dan makin menyulitkan usaha penurunan berat badan.
BMJ 1990; 301 :137 Hk
N Engl J Med 1990; 322: 1051- 9 Hk
Liputan Imunisasi Liputan imunisasi (dalam %)•pada anak usia < 1 tahun (Juli 1989) Negara BCG DPT 3 Polio 3 Campak Tetanus 2 (ibu hamil) India Cina Nigeria Bangladesh Brazil Ethiopia Meksiko Gambia
72 98 53 26 67 28 72 98
74 95 42 16 54 16 60 83
63 96 42 16 89 16 95 89
45 95 42 13 60 13 70 81
61 16 12 62 7 42 85 Lancet 1990;335 : 775 Brw
* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkap – dalam jumlah terbatas – dapat diminta melalui alamat redaksi.
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
PATOGENESIS PENYAKIT ALZHEIMER Suatu hipotesis baru mengenai terjadinya penyakit Alzheimer telah diajukan oleh para peneliti dari Athena Neurosciences dan Eli Lilly. Dalam artikelnya yang dimuat dalam Science edisi Juni 1990, mereka menyatakan telah menemukan amiloid-beta-peptid, suatu pecahan dari amyloid precursor protein (APP) yang banyak ditemukan di dalam jaringan otak. Pada keadaan normal, APP dimetabolisir oleh enzim APP secretase secara sempurna dalam rangkaian amiloid-peptida. Para peneliti tersebut menduga bahwa pemecahan APP yang tak sempurna ini dapat merupakan penyebab timbulnya penyakit Alzheimer. Scrip 1990; 1529: 27 brw
KAPTOPRIL UNTUK ATEROSKLEROSIS Dr. Gunnar Aberg - peneliti dari Bristol-Myers-Squibb - melaporkan bahwa kaptopril - suatu penyekat ACE - dapat memperlambat laju aterosklerosis. Pada penelitiannya atas kera yang diberi diet tinggi kolesterol, pemberian kaptopril 25-50 mg. dua kali sehari selama 6 bulan telah secara bermakna menghambat meluasnya lesi arterial; efek ini terutama terlihat pada pembuluh koroner. Selain itu pemberian kaptopril tidak mempengaruhi kadar serum kolesterol, HDL ataupun trigliserida. Efek antisklerosis ini mungkin akibat adanya efek anti proliferasi sel, inhibisi oksidasi LDL atau pemusnahan radikal bebas oleh gugus sulfhidril yang ada pada kaptopril. Scrip 1990; 1530: 25 brw
ABSTRAK MENINGGAL DI MANA ? Para penderita kanker terminal di Inggris telah diminta pendapatnya tentang keinginannya mengenai tempat perawatan dan kematian mereka. Dari 98 pasien, 70 meninggal selama penelitian dilakukan, dan 59 di antaranya menyatakan tempat kematian yang diinginkan. Ternyata 34 (58%) ingin meninggal di rumah, 12 (20%) di rumah sakit, 12 (20%) di panti dan 1 (2%) di tempat lain. Rumah sendiri merupakan tempat perawatan yang diinginkan oleh 17 (94%) pasien yang meninggal di rumah, sedangkan di antara 32 pasien yang meninggal di rumah sakit, 22 (69%) sebenarnya lebih suka meninggal di tempat lain. Seandainya keadaan memungkinkan, 67% (41) pasien lebih suka meninggal di rumah, 16% (10) pasien lebih suka meninggal di rumah sakit dan 15% (9) di panti perawatan. BMJ 1989;301 : 415-7 Hk
KALIUM UNTUK HIPERTENSI Para peneliti di India mencoba efek pemberian kalium dan magnesium pada penderita hipertensi ringan (diastolik≤110 mmHg). Tigapuluhtujuh pasien dewasa mendapatkan plasebo, atau 60 mmol kalium perhari, atau ditambah lagi dengan 20 mmol magnesium perhari. Temyata kalium menurunkan tekanan sistolik dan diastolik secara bermakna (p≤p,001) dan juga meriurunkan kolesterol darah (p≤0,005); meskipun demikian, penambahan magnesium ternyata tidak memperbaiki respons. BMJ 1990; 301: 521-3 Hk
VASOKONSTRIKSI PADA MIGREN Penelitian yang dilakukan atas 25 pasien unilateral menunjukkan bahwa
pada saat serangan, diameter lumen a. temporalis superfisialis lebih besar di sisi nyeri; sedangkan yang di sisi tidak nyeri serta a. radialis di kedua sisi justru mengecil diameternya, bila dibandingkan dengan pada saat di luar serangan. Ini menandakan bahwa vasokonstriksi umum yang terjadi tidak melibatkan a temporalis di sisi nyeri; hal ini diduga akibat adanya respons vasodilatasi lokal. Lancet 1990; 336 - 837-9 Brw
ASPIRIN UNTUK INFARK MIOKARD Aspirin 75 mg/hard dan/atau heparin iv selama 5 hard telah dibandingkan efektivitasnya pada 796 pasien dengan unstable angina dan non-Q-wave myocard infarction. Ternyata pemberian aspirin saja cukup untuk mengurangi risiko infark miokard dan kematian, sedangkan penambahan heparin terutama berguna path lima hari pertama. Meskipun demikian pemberian heparin saja ternyata tidak menurunkan angka kejadian infark miokard atau kematian di kemudian.hari. Para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa 75 mg. aspirin perhari menurunkan risiko infark miokard sebesar 50% pada tiga bulan setelah episode unstable angina pada pria, sedangkan penambahan heparin mungkin efektif terutama pada masa dini tanpa penambahan risiko perdarahan. Lancet 1990; 336 : 827-30 Brw
PENGARUH BETA KAROTEN TERHADAP KANKER Beta karoten telah dikaitkan dengan penurunan risiko kanker pada manusia; dan pads percobaan binatang telah menunjukkan aktivitas proteksi terhadap proses karsinogenesis.
Untuk melihat pengaruhnya atas manusia, 1805 pasien yang telah menderita kanker kulit non melanoma diberi 50 mg. beta karoten/hari atau plasebo selama 5 tahun. Kadar karoten plasma terbukti jauh lebih tinggi pada kelompok terapi (3021 nmol/1) dibandingkan dengan kelompok kontrol (345 nmol/1). Setelah 5 tahun, ternyata tidak didapatkan perbedaan dalam hal kejadian kanker kulit non-melanoma (relative rate 1.05, confidence interval 0.91-1.22). Selanjutnya diketahui bahwa angka kejadian kanker non-melanoma di antara kedua kelompok itu juga tidak berbeda bermakna. N Engl J Med 1990; 323:789-95 Hk
ISOTRETINOIN UNTUK TUMOR KEPALA DAN LEHER Para peneliti telah menyelidiki pengaruh isotretinoin terhadap tumor di kepala dan leher. Seratus tiga pasien yang telah bebas dari kanker sel skuamosa di daerah lacing, faring dan rongga mulut, diberi isotretinoin 50-100 mg/m2 permukaan tubuh/hari, atau plasebo selama 12 bulan. Pada akhir penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal rekurensi kanker primer; meskipun demikian, setelah 32 bulan terlihat bahwa kelompok isotretinoin menderita lebih sedikit tumor primer yang lain. Hanya 2 pasien (4%) pada kelompok isotretinoin menderita tumor primer yang kedua, dibandingkan dengan 12 (24%) di kalangan kelompok plasebo. Dan 14 kasus tersebut, 13 (92%) terjadi di daerah kepala, leher, esofagus dan paru. Efek samping selama penggunaan isotretinoin yang utama ialah kulit kering; efek samping lainnya yang tercatat ialah cheilitis, konjungtivitis dan hipertngliseridemi. NEngl JMed 1990; 323:795-801 Hk
Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 59
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Efektivitas imunisasi polio tidak dipengaruhi oleh : a) Jenis vaksin. b) Cara penyimpnana vaksin. c) Saniatsi lingkungan. d) Infeksi enterovirus lain. e) Semua salah. 2. Program Pengembangan Imunisasi tidak mencakup penyakit : a) Hepatitis. b) Campak. c) Tuberkulosis. d) Tetanus. e) Difteri. 3. Kelemahan killed vaccine tidak termasuk hal-hal di bawah ini : a) Risiko adanya virus virulen. b) Memerlukan booster. c) Diberikan per oral. d) Risiko hipersensitivitas. e) Semua termasuk. 4. Pembentukan zat anti setelah imunisasi tidak dipengaruhi oleh : a) Saat pemberian. b) Dosis. c) Cara pemberian. d) Jenis vaksin. e) Semua mempengaruhi. 5. Hal yang tidak termasuk persyaratan WHO mengenai vaksin yang baik : a) Poten. b) Aman. c) Tidak mengandung virus. d) Bersifat asing. e) Tidak menimbulkan reaksi samping. 6. Vaksinasi polio sebaiknya dilakukan sebagai berikut, kecuali : a) Diberikan sebelum usia 2 tahun. b) Dapat diberikan dalam dua dosis.
60 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991
c) Diberikan pada bulan September sampai Maret. d) Diberikan secara suntikan. e) Kualitas vaksin yang baik. 7. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi H+ ialah sebagai berikut, kecuali : a) Produksi asam lambung. b) Latihan otot yang berat. c) Muntah. d) Hiperventilasi. e) Tanpa kecuali. 8. Parameter penting dalam penanganan gangguan asam-baasa adalah sebagai berikut, kecuali : a) Nilai bikarbonat. b) Nilai kalium. c) Nilai natrium. d) Nilai Hb. e) pH darah. 9. Vaksin dapat berasala dari bahan di bawah ini, kecuali : a. Kuman yang dilemahkan. b. Kuman yang dimatikan. c. Eksotoksin kuman. d. Endotoksin kuman. e. Tanpa kecuali. 10. Hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan program imunisasi adalah sebagai berikut, kecuali : a. Luasnya daerah cakupan. b. Terbatasnya tenaga juru imunisasi. c. Masalah rantai dingin. d. Pemberian vaksin yang harus diulang. e. Tanpa kecuali