Case Report
G1P0A0 Hamil 42-43 Minggu dengan Preeklampsia Ringan Inpartu kala I Fase Laten Janin Tunggal Hidup dengan Suspek Cephalo-Pelvic Disproportion yang Diterminasi dengan Tindakan Sectio Caesaria dengan Komplikasi Post Partum Hemorrhagic Dini ec Atonia Uteri
Oleh Nico Aldrin Avesina Pendamping PIDI dr. Farhan Noor dr. Hilda Fitri Pembimbing dr. Bambang Kurniawan, Sp. OG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. A. DADI TJOKRODIPO KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE JUNI 2018 – JUNI 2019
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI........................................................................................................................i I.
PENDAHULUAN........................................................................................................1
II. LAPORAN KASUS.....................................................................................................2 III. ANALISIS KASUS....................................................................................................16 IV. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................26 IV.1. Hipertensi..........................................................................................................26 IV.1.1. Hipertensi dalam Kehamilan................................................................26 IV.2. Preeklamsia.......................................................................................................27 IV.2.1. Definisi.................................................................................................27 IV.2.2. Etiologi ................................................................................................27 IV.2.3. Klasifikasi............................................................................................28 IV.2.4. Gejala Klinis dan Diagnosis.................................................................28 IV.2.5. Tatalaksana...........................................................................................29 IV.2.6. Prognosis..............................................................................................33 IV.3. Partus Lama......................................................................................................34 IV.3.1. Definisi.................................................................................................34 IV.3.2. Klasifikasi............................................................................................34 IV.3.3. Etiologi.................................................................................................35 IV.3.4. Diagnosis..............................................................................................36 IV.3.5. Tatalaksana...........................................................................................36 IV.4. Post Partus Hemorrhagic...................................................................................37 IV.4.1. Definisi.................................................................................................37 IV.4.2. Klasifikasi............................................................................................38 IV.4.3. Etiologi.................................................................................................38 IV.4.4. Gejala Klinis........................................................................................40 IV.4.5. Tatalaksana...........................................................................................41 IV.4.6. Pencegahan...........................................................................................43 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN Preeklamsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Masalah pada preeklamsia tidak hanya terbatas pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan akibat disfungsi endotel diberbagai organ (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a). Preeklamsia adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada ibu dan perinatal yang diperkiraan menyebabkan 50.000-60.000 kematian terkait preeklamsia per tahun diseluruh dunia (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013). Insiden preeklamsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3% (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a). Perdarahan pasca-salin (PPS) adalah penyebab utama kematian dan kesakitan maternal di dunia dan dilaporkan terjadi pada 5-8% kehamilan. Hal ini diperkirakan 600.000-800.000 wanita meninggal pada persalinan dan 99% terjadi pada negara berkembang PPS secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea (FIGO, 2012; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b). Jenis perdarahan dibagi dalam perdarahan postpartum dini bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama dan perdarahan postpartum lambat bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan postpartum dini antara lain atonia uteri, laserasi jalan lahir, hematoma, sisa plasenta, ruptura uteri dan inversio uteri (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b). Maka dari itu pada laporan kasus akan dijelaskan kasus terkait penyakit preeklamsia dan perdarahan post partum terutama atonia uteri.
BAB II LAPORAN KASUS Tanggal Masuk RS
: 17 November 2018 Pukul 06.45
Anamnesis Diambil dari: Autoanamnesa, A. Anamnesa (Autoanamnesis) I.
Identifikasi Nama
: Ny. T
Umur
: 23 tahun (30 Juni 1995)
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Alamat
: Jln. T Ratai 69. Cempaka III LK II Kota Karang Raya.
II. Keluhan Utama Mules-mules sejak kemarin sore, belum keluar air-air dan belum keluar lendir darah. III. Riwayat Haid Menarche
: 13 tahun
Siklus haid
: 28 hari, teratur
Jumlahnya
: Jumlah darah normal, tidak nyeri
Lamanya
: 4-5 hari
HPHT
: 3 Februari 2018
IV. Riwayat Perkawinan Menikah 1 kali, Usia menikah 22 tahun. Lama perkawinan kurang lebih 11 bulan V.
Riwayat Kehamilan Sekarang Pasien datang dengan mengeluhkan mulas-mulas sejak kemarin sore. Sedang hamil anak pertama dengan hari pertama haid terakhir 3 februari 2018. Pasien tidak mengeluhkan adanya keluar air-air dan keluarnya lendir darah. Riwayat trauma (-), riwayat minum obat/jamu (-). Pasien cukup rutin memeriksaan kandungan selama kehamilan.
3
VI. Riwayat Kehamilan – Persalinan – Nifas Terdahulu Anak 1
:
hamil ini
VII. Riwayat Penyakit Terdahulu Pasien tidak menderita penyakit darah tinggi, penyakit jantung, penyakit ginjal, asma dan kencing manis. Riwayat keguguran (-) VIII. Riwayat Penyakit Keluarga Di dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit darah tinggi, penyakit jantung, penyakit ginjal, asma dan kencing manis. IX. Riwayat Operasi Pasien belum pernah operasi sebelumya X. Riwayat Kontrasepsi Pasien tidak mengunakan alam kontrasepsi sebelumnya XI. Riwayat Antenatal Care Trimester pertama 3x Trimester Kedua 1x Trimester ketiga 1x XII. Kebiasaan Hidup Merokok (-), Alkohol (-), minum obat-obatan dan jamu (-).
B. PEMERIKSAAN FISIK I.
Status Present Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 170/100 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
: 37,20 C
4
Tinggi Badan
: 141 cm
Berat Badan
: 50 cm
Lingkar Pinggang
: 83-84 cm
II.
Status Generalis Kepala
: Normoochepal, simetris, gigi lengkap, karies (-)
Mata
: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil isokor (3mm/3mm), Reflek cahaya (+/+).
Hidung
: Nafas cuping hidung (-), darah (-), secret (-).
Telinga
: Darah (-), secret (-).
Mulut
: Mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-).
Thorax
: jejas(-), mamae tegang dan membesar, hiperpigmentasi (+)
Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis tidak kuat angkat : Batas jantung kesan dalam batas normal : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising (-) Paru
Inspeksi
: Pada saat statis maupun dinamis, gerakan dada
simetris. Retraksi intercostal(-).
Palpasi
: Fremitus raba kanan-kiri simetris
Perkusi
: Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen Inspeksi
: Dinding perut cembung
Auskultasi
: Bising usus (+) sulit dinilai
Perkusi
: Tidak dilakukan
Palpasi
: pembesaran hepar/lien sulit dinilai Ekstremitas Oedem : (-/-) Akral : Hangat, petekie (+) pada kaki dan tangan
5
III.
Status Obstetri
Pemeriksaan Luar Inspeksi : Cembung, línea nigra (+), striae gravidarum (+) Palpasi : Leopold 1 : Tinggu fundus uteri berukuran 32 cm (2 jari dibawah processus xhypoideus). Leopold 2 : Pada bagian sinistra teraba bagian kesan kecil-kecil. Pada bagian sinistra teraba bagian kesan memanjang. Leopold 3 : Teraba bagian kesan keras, bundar dan melenting. Leopold 4 : Sudah masuk PAP Kesan pemerikaan leopold I-IV: Janin tunggal hidup, punggung kanan His : 2 kali tiap 25 menit lamanya 10 detik DJJ : 133 x/menit, reguler TBJ : 3255 gram Pemeriksaan Dalam VT
: Saat Di IGD Portio Pembukaan Pendataran Penurunan Konsistensi Posisi Ketuban
Inspekulo C.
: lunak : kurang lebih 3cm : <50% : 2/5-3/5 : Lunak : Sejajar jalan lahir : Menonjol, utuh
: Tidak Dilakukan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Darah Lengkap
Leukosit
: 15.700/uL
Eritrosit
: 4.120.000/uL
Hemoglobin
: 10,6 mg/dl
Hematokrit
: 34%
Trombosit
: 318.000
Diff Count : Basofil (0%), Eosinofil (0%), Neutrofil (71%), Limfosit (21%), Monosit (8%)
6
Pemeriksaan Urinalisis
Warna
: Kuning tua/keruh
pH
: 6.0
Berat Jenis
: 1,025
Nitrit
: negatif
Protein
: (+1)
Keton
: negatif
Reduksi
: negatif
Bilirubin
: negatif
Urobilinogen
: negatif
Leukosit
: (+2)
Eritrosit
: (+2)
Sedimen
: leukosit (10-15/LBP), Eritrosit (8-10/LBP), Epitel (5-
8/LBP), Kristal (-), Silinder (-) D.
DIAGNOSIS G1P0A0 hamil 42-43 minggu dengan dengan Preeklamsia ringan Inpartu Kala 1 fase laten Janin Tunggal Hidup + Susp. Suspek Cephalo-pelvic disproportion
E.
PENATALAKSANAAN Rencana ekspektatif Observasi TTV, DJJ, perdarahan dan persalinan Bed rest IVFD RL XX gtt / menit Nifedipine 3 x 10 mg PO
F.
PROGNOSIS Ibu Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad functionam
: Dubia ad bonam
Anak
7
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad functionam
: Dubia ad bonam
8
G.
FOLLOW UP HARI/ TANGGAL 17/11/2018 01:30 WIB
CATATAN S/ Keluhan Mulas-mulas (+). O/ Status present TD : 160/110 mmHg Nadi : 84 x/menit RR : 20x/menit T : 36.6 oC Mata : anemis (-/-) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : datar, Bising usus (+) Ekstremitas : Akral dingin (+/+), oedema (-) Status Obstetri VT: pembukaan 4-5 cm, potio tebal, Ketubah (+), penurunan 2/5 A/ G1P0A0 hamil 42-43 minggu dengan
INSTRUKSI P/ Observasi TTV, DJJ, persalinan - RL XX tpm - Bed Rest - Nifedipin 3x10mg PO - Puasa dengan persiapan operasi - Rencana section cesaria - Ceftriaxone 1 gr untuk preop -
dengan Preeklamsia ringan Inpartu Kala 1 fase laten Janin Tunggal Hidup + Susp. Suspek Cephalo-pelvic disproportion 18/11/2018 08.15
Pasien dilakukan tindakan Operasi Sectio Caesaria atas indikasi operasi cephalo-pelvic disproportion, dengan Jenis Anastesi Spinal (Regional Anestesi). Operasi dilakukan pukul 08.15-09.10. Bayi lahir laki-laki dengan berat badan 3200 gram dan panjang badan 52 cm.
18/11/2018 14:30 WIB
S/ Keluhan Mual (+), Perdarahan aktif (+) rembes, nyeri luka operasi. O/ Status present Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis TD : 130/70 mmHg Nadi : 88 x/menit RR : 20x/menit T : 36.5 oC Mata : anemis (-/-) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+) Ekstremitas : Akral dingin (+/+), oedema (-)
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp XX gtt/menit - Ceftriaxone 1 gr/12 jam IV - As.Traneksamat 500 mg / 8 jam IV - Pronalges supp 3x1 - Observasi tanda-tanda vital - Cek Hb Post Operasi - Inj. Ondansentron 1x8 mg (ekstra) -
9
A/ P1A0 Post SC atas indikasi Preeklamsia ringan + Cephalo-pelvic disproportion. 18/11/2018 19:30 WIB
18/11/2018 21:40 WIB
S/ Keluhan Pasien gelisah, mual (-), muntah pukul 18.00, peradarahan kurang lebih 150 cc dari vagina O/ Status present KU : Tampak sakit sedang Kesadaran : Somnolen TD : 85/56 mmHg Nadi : 66 x/menit monitor, nadi teraba lemah RR : 36x/menit, SpO2 50% dengan O2 T : 36,5 oC Urine sejak pagi post op : 450 cc Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+) Ekstremitas : Akral dingin (-/-), oedema (-) Leukosit : 20.700 uL Eritrosit : 4.820.000 uL Hemoglobin :12,7 gr/dl Hematokrit : 40 % Trombosit : 215.000 uL Diff. Count: Basofil 0%, Eosinofil 0%, Neutrofil 80%, Limfosit 13%, Monosit 7%. A/ P1A0 Post SC atas indikasi Preeklamsia ringan + Cephalo-pelvic disproportion + Syok Hipovolemik S/ Keluhan Penurunan kesadaran O/ Status present Keadaan Umum : tampak sakit berat Kesadaran : Somnolen TD : 110/60 mmHg Nadi : 131 x/menit RR : 36x/menit, SpO2 : 98% T : 36,6 oC Urine Output 500 cc Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+) Ekstremitas : Akral dingin (+/+), oedema (-) Leukosit : 38.800 /uL Eritrosit : 1.470.000 /uL
P/ Pasang Monitor O2 sungkup NRM 8-15 L/menit - RL 2 jalur dilajutkan HES 1000 mg - Observasi TTV dan urin output. - Terapi 2 jalur RL Periksa HB, persiapkan HCU, PRC 3 kolf, PRC 3 kolf trombosit, FFP 3 kolf (hasil konsul dr. Sp. An) - Rencana Operasi Cito (Konsul dr. Sp. OG) -
P/ Pasang Monitor O2 sungkup NRM 8-15 L/menit - RL 2 jalur dilajutkan HES 1000 mg - Observasi TTV dan urin output. - Terapi 2 jalur RL - Periksa HB, persiapkan HCU, PRC 3 kolf, PRC 3 kolf trombosit, FFP 3 kolf (hasil konsul dr. Sp. An) - Rencana Operasi Cito (Konsul dr. Sp. OG) -
10
18/11/2018
18/11/2018 23:00 WIB
19/11/2018 00.00
Hemoglobin : 3,9 gr/dl Hematokrit : 12 % Trombosit : 86.000 / uL Diff. Count: Basofil 0%, Eosinofil 0%, Neutrofil 69%, Limfosit 23%, Monosit 8%. MCV 84 fL MCH 27 pg/sel MCHC 32 g/dl GDS : 109 mg/dl SGOT : 62 U/L SGPT : 51 U/L Ureum 12 gr/dl Creatini : 0,7 gr/dl HbsAg : (-) A/ P1A0 Post SC atas indikasi Preeklamsia ringan + Cephalo-pelvic disproportion + Syok Hipovolemik Pasien dilakukan tindakan Operasi Laparatomi atas indikasi operasi P1A0 post SC 24 jam dengan anemia berat ec Atonia Uteri, dengan Jenis Anastesi Intubasi (General Anestesi). Operasi dilakukan pukul 22.09-23.00. Saat diperiksa dimeja operasi kontraksi pada uterus lembek dan kurang baik. S/ Keluhan O/ Status present Keadaan Umum : tampak sakit berat Kesadaran : Koma (E1V2M1) TD : 116/70 mmHg Nadi : 135 x/menit RR : 12x/menit SpO2 100% T : 36,3 oC Urine : 1500 cc Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+) Ekstremitas : Akral dingin (+/+), oedema (-) A/ Post Sc <24 jam anemia berat + atonia uteri S/Keluhan Pasien gelisah O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit berat Kesadaran : somnolen Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-).
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro - Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam - Inj. Kalnex 3x500 mg iv - Pronalges supp 3x1 - Rencana transfusi PRC - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam - Observasi TTV, perdarahan - Inj. Dexamethasone 1 amp - Inj. Furosemid 1 amp - Inj. Icunes vial (ekstra) - Transfusi PRC 3 kolf, Trombosit 3 kolf, FFP 3 kolf -
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam - Inj. Kalnex 3x500 mg iv - Pronalges supp 3x1 - Rencana transfusi PRC - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam - Observasi TTV, perdarahan -
11
Abdomen : Bising usus (+) Ekstremitas : Akral dingin (+/+), oedema (-) A/ Post Sc <24 jam anemia berat + atonia uteri
19/11/2018 02.00
S/Keluhan Pasien batuk, sadar
19/11/2018 07.00
O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit berat Kesadaran : compos mentis Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+) Ekstremitas : Akral dingin (+/+), oedema (-) A/ Post Sc <24 jam anemia berat + atonia uteri S/Keluhan Pasien sadar, keluhan (-)
19/11/2018 14.07
O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD: 158/114 HR: 110 RR: 18, SpO2 90% Urine 2300 cc/6 jam Perdarahan 60 cc Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+), nyeri tekan luka operasi Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedema (-) A/ Post Sc <24 jam anemia berat + atonia uteri S/Keluhan Lemas (+), nyeri perut (+). O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-).
-
Inj. Dexamethasone 1 amp - Inj. Furosemid 1 amp - Inj. Icunes dilanjutkan. - Transfusi PRC 3 kolf, Trombosit 3 kolf, FFP 3 kolf Terapi ditambahkan inj. Midazolam 5 mg iv (ekstra) P/ Terapi tambahan observasi TTV, pertahankan ETT, Icunes stop pada pukul 06.00.
P/ Terapi tambahan (advice dr. Budi, Sp.An): Periksa Darah Rutin Ekstubasi Lepas ventilator
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam - Inj. Kalnex 3x500 mg iv - Pronalges supp 3x1 - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam - Observasi TTV, perdarahan -
12
20/11/2018 07.00
21/11/2018 09.30
Abdomen : Bising usus (+), nyeri perut seluruhnya Ekstremitas : Akral dingin (+/+), oedema (-) Status obstetrik : TFU setinggi pusat, perdarahan pervaginam tidak aktif Leukosit : 39.900 /uL Eritrosit : 3.800.000 /uL Hemoglobin : 10,8 gr/dl Hematokrit : 23 % Trombosit : 70.000/uL Diff. Count: Basofil 0%, Eosinofil 0%, Neutrofil 84%, Limfosit 9%, Monosit 7%. MCV 86 fL MCH 28 pg/sel MCHC 23 g/dl A/ P1A0 post sc + post laparatomi ai atonia uteri. S/Keluhan Lemas (+), nyeri perut (+). O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 142/94 mmHg Suhu :36.3 C Nadi : 81x/menit Respirasi : 20 x/menit Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+), nyeri perut epigastrium dan luka operasi. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedema (-) Status obstetrik : TFU setinggi pusat, perdarahah pervaginam tidak aktif. A/ P1A0 post sc + post laparatomi ai atonia uteri. S/Keluhan Lemas (+), nyeri perut (+), perdarahan (-), mobilisasi (-) O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit ringan Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 140/90 mmHg Suhu :36.5 C Nadi : 84x/menit Respirasi : 20 x/menit Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-).
-
Inj. Dexamethasone 1 amp Inj. Furosemid 1 amp Transfusi PRC 3 kolf, Trombosit 3 kolf, FFP 3 kolf
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam - Inj. Kalnex 3x500 mg iv - Pronalges supp 3x1 - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam - Observasi TTV, perdarahan - Transfusi PRC 3 kolf, Trombosit 3 kolf, FFP 3 kolf - Konsul dr. Sp. An. Advice edukasi pasien untuk makan banyak, terapi lain lanjutkan sesuai dr. Sp. OG -
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam - Inj. Kalnex 3x500 mg iv - Pronalges supp 3x1 - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam - Observasi TTV, perdarahan - Periksa darah ulang -
13
22/11/2018 08.30
23/11/2018 08.30
Abdomen : Bising usus (+), nyeri perut epigastrium dan luka operasi. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedema (-) Status obstetrik : TFU 3 jari dibawah umbilikus, perdarahan pervaginam tidak ada. Leukosit : 35.100 /uL Eritrosit : 2.950.000 /uL Hemoglobin : 7,8 gr/dl Hematokrit : 25 % Trombosit : 115.000/uL Diff. Count: Basofil 0%, Eosinofil 0%, Neutrofil 70%, Limfosit 12%, Monosit 18%. A/ P1A0 post sc + post laparatomi ai atonia uteri. S/Keluhan Lemas (+), nyeri perut (+), perdarahan (-), mobilisasi (-) O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit ringan Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 150/100 mmHg Suhu :36.5 C Nadi : 84x/menit Respirasi : 20 x/menit Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+), nyeri perut epigastrium dan luka operasi. Luka post op terdapat darah (+) sedikit pada verban. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedema (-) Status obstetrik : TFU 3 jari dibawah umbilikus, perdarahan pervaginam tidak ada. Leukosit : 31.000 /uL Eritrosit : 3.910.000 /uL Hemoglobin : 8,4 gr/dl Hematokrit : 26 % Trombosit : 131.000/uL Diff. Count: Basofil 0%, Eosinofil 0%, Neutrofil 84%, Limfosit 10%, Monosit 6%. A/ P1A0 post sc + post laparatomi ai atonia uteri. S/Keluhan Lemas (+), nyeri perut (+), perdarahan (-), mual (-) O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit ringan Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 150/100 mmHg Suhu :36.6 C Nadi : 80x/menit
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam - Inj. Kalnex 3x500 mg iv - Pronalges supp 3x1 - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam - Observasi TTV, perdarahan -
P/ IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam - Inj. Kalnex 3x500 mg iv - Pronalges supp 3x1 - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam - Observasi TTV, perdarahan -
14
24/11/18 09.20
26/11/18 09.00
Respirasi : 20 x/menit Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+), nyeri epigastrium dan luka post operasi berkurang, luka post operasi baik. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedema (-) Status obstetrik : TFU sepusat, perdarahan pervaginam tidak ada. A/ P1A0 post sc + post laparatomi ai atonia uteri. S/Keluhan Lemas (+), nyeri perut (-), BAB (+), BAK (+) dbn O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit ringan Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 150/110 mmHg Suhu :36.6 C Nadi : 88x/menit Respirasi : 20 x/menit Mata : anemis (+/+) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/ +), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+), nyeri luka post operasi berkurang, luka post operasi baik. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedema (-) Status obstetrik : TFU satu jari dibawah pusat, perdarahan pervaginam tidak ada. Leukosit : 16.500 /uL Eritrosit : 2.670.000 /uL Hemoglobin : 6,7 gr/dl Hematokrit : 23 % Trombosit : 306.000/uL Diff. Count: Basofil 0%, Eosinofil 0%, Neutrofil 78%, Limfosit 17%, Monosit 5%. A/ P1A0 post sc + post laparatomi ai atonia uteri. S/Keluhan Lemas (+), nyeri perut (-), BAB (+), BAK (+) dbn O/ Status Present Keadaan umum : tampak sakit ringan Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 150/100 mmHg Suhu :36.6 C Nadi : 88x/menit Respirasi : 20 x/menit
-
-
IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam Inj. Kalnex 3x500 mg iv Pronalges supp 3x1 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam Observasi TTV, perdarahan Siobion 2x1 Transfusi PRC 2 kolf Cek DL post transfusi
IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro Inj. Ceftriakson 1gr/8 jam Inj. Kalnex 3x500 mg iv Pronalges supp 3x1 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam Observasi TTV, perdarahan Siobion 2x1 Transfusi PRC 2 kolf
15
Mata : anemis (-/-) ikterik (-/-) Paru-paru: simetris, retraksi (-), vesikular (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Bunyi jatung I-II murni regular, murmur (-). Abdomen : Bising usus (+), nyeri luka (+) berkurang, luka post operasi baik. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedema (-) Status obstetrik : TFU dua jari dibawah pusat, perdarahan pervaginam tidak ada. Leukosit : 16.600 /uL Eritrosit : 3.800.000 /uL Hemoglobin : 10,4 gr/dl Hematokrit : 34 % Trombosit : 424.000/uL Diff. Count: Basofil 0%, Eosinofil 0%, Neutrofil 77%, Limfosit 15%, Monosit 8%. A/ P1A0 post sc + post laparatomi ai atonia uteri.
-
Nifedipin 10 mg Boleh pulang
16
BAB III ANALISIS KASUS
Pada kasus ini wanita, dengan diagnosa G1P0A0 hamil 42-43 minggu Janin Tunggal Hidup Intrauterine Inpartu Kala 1 fase laten dengan Preeklamsia ringan + partus tak maju ec Susp. Cephalo-pelvic disproportion. Dalam kasus ini, diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang disesuaikan dengan literatur. Pada anamnesis didapatkan bahwa saat ini pasien sedang dalam kehamilan yang pertama, dan
sebelumnya pasien belum pernah mengalami kehamilan dan
keguguran→ G1P0A0. Berdasarkan pengukuran tinggi fundus uteri yaitu 32 cm (2 jari dibawah processus xhypoideus) diperkirakan usia kehamilan pasien adalah 32 atau 40 minggu. Berdasarkan HPHT 3 februari 2018 untuk menghitung perkiraan lahir didapatkan 10 November 2018 (40 minggu). Pada anamnesis pasien juga mengeluhkan mulas-mulas sejak kemarin sore, belum keluar air-air dan belum keluar lendir darah. Pada pemeriksaan obstetri, pada inspeksi didapatkan cembung, linea nigra (+). Pada leopold didapatkan tinggi fundus uteri 32 cm, punggung kanan, bagian bawah teraba kesan keras bundar dan melenting, dan sudah masuk pintu atas panggul.Pada pemeriksaan fisik Nilai his 2x dalam 25 menit durasi 10 detik, DJJ 133 x/menit. Pada pemeriksaan vaginal tourche didapatkan portion lunak, pembukaan 3 cm, pendataran <50%, ketuban utuh sehingga Janin Tunggal Hidup Inpartu Kala 1 Fase Laten. Pada anamnesis pasien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit darah tinggi, namun pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan tekanan darah tinggi yaitu 170/90 mmHg. Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap pasien juga didapatkan hasil leukosit 15.700/ul dan pada pemeriksaan urinalisis pasien didapatkan hasil protein (+1). Sehingga pasien juga didiagnosis preeklamsia ringan. Hal ini sesuai dengan literatur dimana diagnosis preeklamsia ditegakan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai adanya gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a). Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi
18
timbulnya preeklamsia antara lain Primiparitas, kehamilan preeklamsia sebelumnya, Riwayat trombofilia, Kehamilan ganda, Hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik, Fertilisasi in vitro, Riwayat keluarga preeklamsia, Diabetes melitus tipe I dan II, Obesitas, Systemic lupus erythematosus, Usia ibu lebih dari 40 tahun (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013). Kriteria diagnosis untuk preeklamsia adalah (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a)
Tekanan darah : sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada dua pemeriksaan dengan perbedaan 4 jam setelah 20 minggu kehamilan wanita dengan tekanan darah normal; sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥110
mmHg. Proteinuria : ≥ 300 mg per 24 jam urin tampung atau protein/kreatinin ≥ 0,3;
dispstick 1+ (dipakai jika metode kuantitatif tidak bisa digunakan. Jika tidak ada proteinuria, timbul hipertensi baru ketika 20 minggu kehamilan Trombositopenia : hitung trombosit <100.000/mikroliter Renal insufficiency : konsentrasi kreatinin serum > 1,1 mg/dl atau dua kali
kreatinin serum dalam ketidak adaanya penyakit ginjal lain Impaired liver function : peningkatan konsentrasi darah dari transaminase hati menjadi 2x konsentrasi normal dan atau adanya nyeri di daerah
epigastrik/regio kanan atas abdomen Edema pulmonal Gejala penglihatan dan serebral. Gangguan sirkulasi uteroplasenta : oligohidramnion, fetal growth restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity.
Pasien diberikan terapi IVFD RL 20 tpm makro, Nifedipine 3x10 mg PO, rencana ekspektatif, observasi TTV, DJJ, peradarahan dan persalinan. Hal ini sesuai dengan literatur dimana Tujuan utama perawatan preeklamsia ringan yaitu mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital dan melahirkan bayi yang sehat. Apabila ibu dalam rawat jalan dianjurkan untuk banyak istirahat tapi tidak harus mutlak selalu tirah baring (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a; Prawirohardjo, 2008). Sikap terhadap kehamilan terbagi menjadi :
Pada kehamilan preterm bila tekanan darah mencapai normotensif selama
perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm. Pada kehamilan aterm. Persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal
19
persalinan. Persalinan dilakukan secara spontan. Bila perlu memperpendek kala II Selama Followup dirawat ini tatalaksana ekspektatif tidak berhasil karena setelah diobservasi pasien tidak didapatkan pembukaan yang signifikan setelah kurang lebih 18 jam. Pada pemeriksaan dalam pembukaan pada pasien hanya bertambah 1-2cm menjadi 4-5 cm sehingga pasien direncanakan untuk dilakukan operasi sectio caesaria. Pada pemeriksaan fisik pasien juga didapatkan tinggi badan 141 cm, berat badan 50 kg, dan lingkar pinggang 83-84. Sehingga pasien juga didiagnosis partus tak maju ec Cephalo-Pelvic Disproportion. Hal ini sesuai dengan literature dimana Friedman membagi masalah aktif menjadi gangguan protraction (berkepanjangan/berlarut-larut) dan arrest (macet, tak maju). Penyebab partus lama dapat disebabkan oleh His tidak efisien (adekuat), Tali pusat pendek, Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor), Kesalahan petugas kesehatan memastikan bahwa pasien sudah masuk dalam persalinan (inpartu) atau belum (Prawirohardjo, 2008). Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists kriteria dari kemacetan persalinan kala satu harus memenuhi 2 kriteria yaitu:
Fase laten telah selesai, dengan serviks membuka 4cm atau lebih Sudah terjadi pola konstraksi uterus sebesar 200 satuan montevideo atau lebih dalam periode 10 menit selamaa 2 jam tanpa perubahan pada serviks.
Terdapat empat resiko terkait dengan cephalo-pelvic disproportion berupa perkiraan berat bayi >3000, BMI pre pregnancy >= 25 kg/m2, nullipara, dan inadekuat klinikal pelvimetri (Surapanthapisit & Thitadilok, 2006). Trial of labour adalah mencoba apakah dapat mencapai pembukaan cervix seperti yang diharapkan. Pada keadaan di mana kepala tidak bias mencapai dasar panggul (missal CPD, kesempitan panggul) biasanya mudah mencapai pembukaan cervix 5 cm, dan setelah itu pembukaan akan berjalan sangat lambat, atau bahkan berhenti sama sekali. Hal ini karena terjadinya pembukaan cervix sampai dengan 5 cm dipengaruhi tekanan dari penonjolan KK waktu his, dan lebih dari 5 cm dipengaruhi tekanan dari bagian bawah janin. Trial of labour dinilai berhasil bila dapat mencapai pembukaan lengkap sesuai dengan kurva Friedman. Trial of labour dinilai tak berhasil bila (Dasar-dasar Phantom, n.d.; Prawirohardjo, 2008):
20
Progressivitas pembukaan lambat (Estman: setelah evaluasi 6-8 jam; Benson :
evaluasi 4-6 jam Dalam 2 jam, dengan his adekuat tak ada kemajuan pembukaan (partus tak maju)
Test of Labour dinilai berdasarkan kemampuan penurunan kepala selama proses persalinan. Test of labour dikatakan berhasil bila sebelum dipimpin mengejan 1 jam, kepala sudah engaged (H III +). Bila setelah 1 jam dipimpin mengejan kepala tak dapat turun sampai H III+, test of labour dianggap gagal. Partus percobaan dihentikan bila (Dasar-dasar Phantom, n.d.):
Trial / test of labour gagal
Fetal distress
Rupture uteri imminens
Dalam keadaan demikian persalinan harus diakhiri perabdominam. Terapi yang diberikan RL 20 tpm makro, Nifedipine, Puasa dengan persiapan operasi dan ceftriakson 1 gr untuk preop.Selama observasi kemajuan persalinan. Hal ini sesuai dengan literatur menurut friedman dalam konteks implikasi, bahwa disproporsi sefalopelvik mengharuskan dilakukannya seksio sesarea. Indikasi operasi seksio sesarea adalah (Wiknjosatro, 2007) :
Indikasi Ibu : Panggul sempit absolut , tumor-tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi, stenosis serviks/vagina, plasenta previa, disproporsi
sefalopelvik, ruptur uteri membakat. Indikasi Janin : kelainan letak, gawat janin.
Kontra indikasi seksio sesarea : janin mati, syok, anemia berat sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (Wiknjosatro, 2007) Pasien setelah post op sectio caesaria diberikan terapi IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro, ceftriakson 1 gr/12 jam iv, Asam traneksamat 500 mg/8 jam, pronalges supp 3x1, observasi TTV, cek HB post operasi (Hb 12,7 gr/dl dan leukosit 20,700), dan inj. Ondansentron 1x8 mg ekstra. Selama diobservasi belum ada 24 jam post operasi, pada pukul 19.30 pasien gelisah, dan terdapat perdarahan yang keluar dari jalan lahir kurang lebih 150 cc. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, Tekanan darah 85/56 mmHg, nadi 66x/menit, RR 36x/menit. Pada pemeriksaan head to toe didapatkan mata anemis, dan urine output sejak post op 450 cc. Pasien terdiagnosis menjadi P1A0 Post SC atas
21
indikasi Preeklamsia ringan + Partus Tak maju Suspek Cephalo-pelvic disproportion + early post partum hemorrhagic + Syok Hipovolemik. Pasien diberikan terapi awal pemasangan monitor, O2 sungkup NRM 8-15 L/menit, RL 2 jalur dilanjutkan HES 1000 ml, observasi TTV, periksa HB, persiapan HCU, PRC 3 kolf, trombosit 3 kolf dan FFP 3 kolf, kemudian pasien direncanakan operasi cito laparatomi. Pada pukul 21.40 pasien mengalami masih pada keadaan somnolen, Tekanan darah 110/60 mmHg, RR 36x/menit, HR 131 x/menit, dan urine output 500cc. Hasil Laboratorium darah lengkap cito keluar didapatkan leukosit 38.800, Hemoglobin 3,9 gr/dl, Trombosit 86.000/uL, Hematokrit 12%. lalu pasien dilakukan operasi laparotomi yang dilakukan pada pukul 22.09-23.00, teknik operasi yang dilakukan B-lynch. Kemudian pasien setelah operasi diobservasi di ruang HCU, pasien mulai sadar saat di HCU setelah kurang lebih 3 jam post operasi. Hal ini sesuai dengan literatur dimana Post partus hemorrhagic (PPH) secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea (FIGO, 2012; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b). Post partum hemoragik terbagi menjadi
Post partus hemorrhagic primer terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan. Sekitar 70% dari PPH primer disebabkan olehkan atonia uteri. Atonia uteria adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi secara
adekuat setalah bayi lahir. Post partus hemorrhagic sekunder terjadi antara 24 jam setelah bayi lahir dan 6 minggu pasca persalinan. Penyebab PPS sekunder terbanyak adalah sisa produk konsepsi, infeksi atau keduanya (FIGO, 2012; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b; Prawirohardjo, 2008).
Penyebab PPS adalah 4 T (Anderson, Family, Residency, Pennsylvania, & Forbes, 2007; FIGO, 2012; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b; Prawirohardjo, 2008):
Tonus (70%): atonia uteri, distensi kandung kemih Trauma (20%): trauma dari vagina, uterus, dan serviks Tissue (10%): sisa plasenta atau klot Thrombin (1%): penyakit koagulopati
Atonia uteri dan kegagalan kontraksi serta retraksi dari otot miometrium dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan syok hipovolemik. Keadaan lemahnya
22
tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi setelah bayi dan plasenta lahir. Manifestasi Klinis Perdarahan Pasca Persalinan Kehilangan
Tekanan Darah
Darah 500-1000 ml
Tanda
dan
Derajat Syok
Gejala Normal
Palpitasi,
Terkompensasi
pusing, 1000-1500 ml
Menurun 1500-2000 ml 2000-3000 ml
takikardia Kelemahan,
Sedikit (80-
Ringan
berkeringat,
100 mmHg) Menurun (70-80
takikardia Gelisah, pucat,
mmHg)
oligouria
Sangat Menurun
Kolaps, anuria
Sedang Berat
(50-70 mmHg)
Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu (FIGO, 2012; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b)
Ask for HELP Assess (vital parameter, blood loss), and Resuscitate Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin,
Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM Massage the uterus Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual compression
(konservatif; non-pembedahan) Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan) Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan konservatif). B-lynch merupakan merupakan salah satu dari operasi konservatif yang digunakan pada atonia. Teknik jahitan meliputi sepasang jahitan penjepit secara vertikal mengitari uterus, esensialnya untuk menahan antrior dan posterior dinding. Jahitan penjepit ini bekerja dengan menekan pada perdarahan pada tempat plasental dan mengurangi dengan mengurangi darah
ke uterus (Somalwar et al., 2012) Systemic devaskularisasi pelvis – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal iliac
(pembedahan konservatif) Intervensi radiologi, jika perlu, embolisasi arteri uterus (pembedahan konservatif).
23
Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif). Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi.Jika perdarahan yang mengancam nyawa berlanjut bahkan setelah ligasi dilakukan, histerektomi subtotal/ supraservikal/ total subtotal sebaiknya dilakukan. Histerektomi menyebabkan hilangnya kesuburan pada usia yang masih relatif produktif sehingga dapat menimbulkan konsekuensi sosial dan psikologis.
Rahim Couvelaire disebabkan ketika perdarahan dari pembuluh darah plasenta merembes ke desidua basalis menyebabkan pemisahan plasenta, diikuti oleh infiltrasi di bagian lateral uterus. Kadang-kadang, infiltrasi mencapai peritoneal rongga (Rathi, Rathi, Purohit, & Pathak, 2014). Couvelaire uterus ”atau“ Utero apoplexy "adalah entitas patologis di mana darah retroplasenta dapat menembus melalui ketebalan dinding rahim ke dalam rongga peritoneal. miometrium menjadi lemah dan mungkin pecah karena peningkatan tekanan didalam yang terkait dengan kontraksi uterus. Penyebab couvelaire uterus masih idiopatik, namun dapat terkait dengan Abrupsi plasenta, Plasenta previa, Koagulopati, Preeklamsia, Ruptur uterus, embolism cairan amnion. Gejala dapat berupa nyeri sekunder terkait kontraksi uterus, tetanus uterus, atau nyeri uterus terlokalisasi. Uterut dapat berwarna kebiruan atau keunguan, penampilan berbintik-bintik karena ekstravasasi dari darah ke dalam otot uterus (Mahendra, Pukale, & Vijayalakshmi, 2015). Perawatan Post op pada pasien, awal pasien masuk HCU setelah kurang lebih 14 jam dan pasien stabil pasein dipindah rawat ke ruang VK selama 7 hari. Selama di HCU pasien diberikan terapi sebagai berikut IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro, Inj. Ceftriakson 1gr/8jam, Inj. Kalnex 3x500 mg iv, Pronalges supp 3x1, Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam, Inj. Dexamethasone 1 amp, Inj. Furosemid 1amp, Inf. Icunes, observasi TTV, dan Rencana transfusi PRC 3 kolf, trombosit 3 kolf, FFP 3 kolf. Perawatan diruang VK selama 7 hari terapi yang diberikan adalah dilakukan ekstubasi (saat pasien dipindahkan ke VK), IVFD RL + Oksitosin 1 amp 20 tpm makro, Inj. Ceftriakson 1gr/8jam, Inj. Kalnex 3x500 mg iv, Pronalges supp 3x1, Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam, Inj. Dexamethasone 1 amp, Inj. Furosemid 1amp, observasi TTV dan perdarahan, nifedipine 10 mg, siobion 2x1 dan Rencana transfusi PRC 3 kolf, trombosit 3 kolf, FFP 3 kolf. Selama kembali dirawat di ruang VK, pasien terdiagnosis post sc a/i preeklamsia dan cpd + anemia berat + post laparatomi a/i
24
atonia uteri. pasien diobservasi dan diterapi transfusi PRC untuk memperbaiki nilai HB, keluhan pada pasien dan Tekanan darah. Pada tanggal 26/11/2018 pasien boleh pulang karena pasien sudah tidak ada keluhan, tekanan darah 150/100 mmHg, ttv lain dalam batas normal, head to toe dalam batas normal, luka post operasi membaik, dan nilai hemoglobin saat dipulangkan 10,4 gr/dl sehingga terapi pengobatan menjadi rawat jalan. Hal ini sesuai dengan literatur dimana perawatan ibu pascapersalinan untuk meminimalkan infeksi nosokomial pada ibu pascapersalinan Jika persalinan dengan seksio sesarea, untuk mencegah masalah pernapasan dalam masa pascapersalinan, hati-hati menggunakan obat, segera mobilisasi dan tarik napas dalam sering-sering, dalam 12 jam perama ibu boleh berjalan. Jika persalinan dengan seksio sesarea dan memakai kateter menetap, untuk mencegah masalah urinisasi, periksa bahwa urin tetap mengalir dan penampungan terpasang baik, dan cabut kateter pada 6 - 8 jam. Prinsip perawatan pasca-operatif berupa (Prawirohardjo, 2008):
Perawatan awal: posisikan pasien untuk pemulihan, periksa tanda vital 15 menit selama jam pertama dan 30 menit jam berikutnya, periksa kontraksi uterus jangan sampai lembek, dan periksa kesadaran tiap 15 menit sampai
sadar. Analgesia
(tramadol/6jam atau parasetamol); atau injeksi (petidine 50-75 mg/6jam) Perawatan lanjutan : pemeriksaan tanda-tanda vital 4 jam, kontraksi uterus,
dan perdarahan Mobilisasi : gerak tangan dan kaki; kemudian duduk pada 8-12 jam; berjalan
pada 24 jam pasca bedah; mandi hari kedua. Perhatikan fungsi gastrointestinal. Perawatan luka, fungsi kandung kemih (perhatikan urin jernih dilepas 8 jam,
jika tidak dipertahankan sampai jernih). Antibiotika jika ada tanda infeksi atau pasien demam sampai bebas demam
selama 48 jam. Melepas jahitan 5 hari setelah hari pembedahan. Demam : yakinkan pasien tidak panas minimum 24 jam sebelum keluar dari
:
supositoria
(ketoprofen/12
jam
atau
tramadol);
oral
rumah sakit. Transfusi PRC diindikasikan untuk meningkatkan daya angkut oksigen pada pasien anemia dan hipotensi ortostatik sekunder karena kehilangan darah. Transfusi dengan
25
sel darah merah tetap dilakukan ketika tingkat Hb adalah 7 - 10 gr/dl, pada kondisi (Prawirohardjo, 2008):
terjadi perdarahan terus-menerus terdapat tanda-unda penumnan daya-angkut oksigen (paru-paru kronis atau
penyakit kardiovaskular) selama pembedahan, menurunnya eritropoiesis, atau ketika tranfusi autologs akan digunakan. Setiap unit sel darah merah yang ditransfusi akan meningkatkan Hemoglobin t 1 g/dl (dan meningkatkan Hematokrit 1 - 3 %) pada seorang perempuan dengan berat badan 70 kg.
Pengobatan pengganti yang spesifik harus dipertimbangkan sebelum melakukan transfusi, bila anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi, folat, atau vitamin B12 (Prawirohardjo, 2008). Transfusi trombosit diberikan untuk mengontrol atau mencegah perdarahan yang berhubungan dengan kekurangan jumlah atau fungsi trombosit (Prawirohardjo, 2008).
Transfusi trombosit yang bersifat profilaksis bisa diberikan untuk perempuan
dengan trombosit kurang dari 20 x 1,09/l (20.000/mm3). Transfusi juga diberikan untuk trombosit 10 x 10 9/l - 50 x 10 9/l (10.000 - 50.000 mmr) dengan kondisi tindakan bedah berencana, terjadi perdarahan aktif, atau
untuk mengantisipasi transfusi masif. Ketika jumiah trombosit lebih besar dari 50 x 10 9/l (50.000 mm3) dan tindakan bedah berencana, transfusi profilaksis menjadi tidak bermanfaat, kecuali jika ada perdarahan sistemik atau perdarahan karena gangguan pembekuan darah, sepsis, atau kelainan fungsi trombosit yang berhubungan dengan obat atau penyakit.
Satu unit trombosit pekat biasanya akan meningkatkan jumlah trombosit dari 5 x 10 9/l menjadi 10 x 10 9/l (5.000 - 10.000 mm3) pada perempuan yang memiliki berat badan 70 kg. Dengan demikian, dosis yang umum adalah satu unit per 10 kg berat badan. Plasma segar beku hanya dapat diberikan ketika pasien sudah menunjukkan kekurangan faktor pembekuan atau ketika suatu konsentrat faktor yang spesifik tidak tersedia. Plasma segar beku disiapkan dalam volume 200 - 250 ml; tiap-tiap unit berisi satu unit faktor pembekuan dan akan meningkatkan setiap faktor pembekuan sebanyak 2 - 3 % pada perempuan dengan berat badan 70 kg. Dosis awal yang umum adalah dua kantong plasma segar beku. Plasma beku digunakan pada kondisi (Prawirohardjo, 2008):
26
Plasma beku segar hanya digunakan untuk meningkatkan faktor-faktor pembekuan pada pasien-pasien yang menunjukkan kekurangan faktor II, V, VII, IX, X, atau XI atau kekurangan multifaktor pada penyakit hati atau
disseminated intravascukr coagulation. Plasma segar beku digunakan pada saat kehilangan darah masif ketika laboratorium untuk pemeriksaan koagulasi tidak tersedia.
Memulangkan pasien pada kondis (Prawirohardjo, 2008)i:
2 hari paska seksio sesarea berencana tanpa komplikasi Perawatan 3-4 hari cukup untuk pasien. Berikan instruksi mengenai perawatan
luka (mengganti kasa) dan keterangan tertulis mengenai teknik pembedahan Pasien kontrol setelah 7 hari pulang Pasien segera datang bila terdapat perdarahan, demam, dan nyeri perut berlebihan
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA 4.1 Hipertensi 4.1.1 Hipertensi dalam Kehamilan Hipertensi pada kehamilan merupakan peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan peningkatan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pemeriksaan ini harus dikonfirmasi ulang dalam beberapa jam (Departement of Health Western Australia, 2016). Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin (Prawirohardjo, 2008). Penyebab hipertensi dalam kehamilan masih belum jelas, dapat diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, faktor diet, ataupun genetik(Kementrian Kesehatan RI, 2014). Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi menjadi (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013; Kementrian Kesehatan RI, 2014; Prawirohardjo, 2008): Hipertensi Kronik adalah hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu mengandung, sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur 20 minggu
dan menetap sampai 12 minggu pascapersalinan. Hipertensi Kronik dengan Superimposed Preeklamsia adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi
kronik disertai proteinuria. Preeklamsia adalah hipertensi pada kehamilan yang spesifik dengan gangguan multisistem, yang timbul akibat kehamilan, terjadi setelah
20 minggu dapat disertai dengan proteinuria. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang
dan/atau koma Hipertensi Gestational
adalah
peningkatan
tekanan
darah
dikarakteristikan sering terjadi setelah 20 minggu kehamilan, dan dalam ketidakadaan proteinuria. Faktor risiko untuk terjadi hipertensi dalam kehamilan yang dapat berupa primigravida, primipaternitas, hiperplasentosis (mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar), umur yang ekstrim, riwayat penyakit keluarga pernah preeklamsia, penyekit ginjal dan obesitas (Prawirohardjo, 2008).
28
Menurut Guideline Development Group (GDG) Peningkatan tekanan darah pada hipertensi dalam kehamilan dapat terbagi menjadi (National Collaborating Centre, 2010; National Institute for Health and Care Excellence, 2018):
Hipertensi ringan : tekanan diastolik 90-99 mmHg dan sistolik 140-
149 mmHg Hipertensi sedang : tekanan diastolik 100-109 mmHg dan sistolik
150-159 mmHg Hipertensi berat : tekanan diastolik lebih dari 110 dan sistolik lebih dari 160 mmHg
4.2 Preeklamsia 4.2.1 Definisi Preeklampsia adalah kondisi spesifik pada kehamilan ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a). Preeklamsia adalah sindrom yang terutama mencakup perkembangan hipertensi onset-baru dalam trimester kedua kehamilan (Uzan, Carbonnel, Piconne, Asmar, & Ayoubi, 2011). Diagnosis preeklamsia ditegakan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai adanya gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a). 4.2.2
Etiologi Penyebab timbulnya preeklamsia pada ibu hamil belum diketahui secara pasti (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013; Prawirohardjo, 2008). Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi timbulnya preeklamsia antara lain (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013) Primiparitas Kehamilan preeklamsia sebelumnya Riwayat trombofilia Kehamilan ganda Hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik Fertilisasi in vitro Riwayat keluarga preeklamsia Diabetes melitus tipe I dan II Obesitas
29
4.2.3
Systemic lupus erythematosus Usia ibu lebih dari 40 tahun
Klasifikasi Klasifikasi dari preeklamsia dapat dibagi menjadi (Prawirohardjo, 2008) Preeklamsia ringan : suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme
pembuluh darah dan aktivasi endotel. Preeklamsia berat : preeklamsia dengan tekanan darah diastolik ≥ 160mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinunria lebih 5g/24 jam. Dapat dibagi dengan ada tidaknya impending eclampsia (disertai gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah): o Preeklamsia berat dengan impending eklamsia o Preeklamsia berat tanpa impending eklamsia
4.2.4
Gejala Klinis dan Diagnosis Gejala pada preeklamsia dapat berupa (National Institute for Health and Care Excellence, 2018): Nyeri kepala berat Masalah pada pandangan seperti buram atau silau Nyeri berat pada dada Muntah Bengkak pada wajah, tangan dan kaki Kriteria diagnosis untuk preeklamsia adalah (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a) Tekanan darah : sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada dua pemeriksaan dengan perbedaan 4 jam setelah 20 minggu kehamilan wanita dengan tekanan darah normal; sistolik ≥ 160
mmHg atau diastolik ≥110 mmHg. Proteinuria : ≥ 300 mg per 24 jam urin tampung atau protein/kreatinin ≥ 0,3; dispstick 1+ (dipakai jika metode kuantitatif tidak bisa digunakan. Jika tidak ada proteinuria, timbul hipertensi baru ketika 20 minggu kehamilan
30
Trombositopenia : hitung trombosit <100.000/mikroliter Renal insufficiency : konsentrasi kreatinin serum > 1,1 mg/dl atau
dua kali kreatinin serum dalam ketidak adaanya penyakit ginjal lain Impaired liver function : peningkatan konsentrasi darah dari transaminase hati menjadi 2x konsentrasi normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik/regio kanan atas abdomen Edema pulmonal Gejala penglihatan dan serebral. Gangguan sirkulasi uteroplasenta : oligohidramnion, fetal growth restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity.
4.2.5
Tatalaksana Tatalaksan pada preeklamsia ringan Tujuan utama perawatan preeklamsia ringan yaitu mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital dan melahirkan bayi yang sehat. Apabila ibu dalam rawat jalan dianjurkan untuk banyak istirahat tapi tidak harus mutlak selalu tirah baring (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a; Prawirohardjo, 2008). Pada umur kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring dengan posis miring menghilangkan
tekanan
rahim
pada
vena
kava
inferior
sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung, tidak perlu retriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia pranatal; tidak diberikan obat diuretik, antihipertensif, dan sedatif; pemeriksaan laboratorium Hemoglobin, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi ginjal. Pasien dilakukan rawat inap apabila tidak ada perbaikan dalam tekanan darah, proteinuria selama 2 minggu, dan adanya satu atau lebih gejala tanda preeklamsia berat. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, USG dan denyut jantung janin untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi bagian mata, jantung dan lainnya. Sikap terhadap kehamilan terbagi menjadi : Pada kehamilan preterm bila tekanan darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
31
Pada kehamilan aterm. Persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dilakukan secara spontan. Bila perlu memperpendek kala II
Gambar 1. Manajemen Preeklamsia tanpa Gejala Berat Tatalaksana pada preeklamsia berat Pengelolaan preeklampsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Melakukan monitoring selama di rumah sakit berupa tanda klinik seperti nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat berat badan. Perlu dilakukan pengukuran
proteinuria,
pengukuran
tekanan
darah,
pemeriksaaan
laboratorium, dan pemeriksaan USG (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016a; Prawirohardjo, 2008). Perawatan preeklamsia berat terbagi menjadi :
32
Sikap terhadap penyakitnya o Penderita preeklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Diberikan cairan yang sesuai dan dipasangkan foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat menghindari resiko aspirasi lambung yang asam. o
Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam Pemberian obat anti kejang yaitu MgSO4. Dengan cara : Loading dose : 4 gram MgSO4 IV (40% dalam 10 cc)
selama 15 menit Maintenance dose : infus 6 gram dalam larutan ringer / 6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram IM – dilanjutkan 4 gram
IM tiap 4-6 jam Syarat : harus tersedia antidotum (kalsium glukonas) = (10% dalam 10cc) diberikan IV 3 menit, refleks patela (+) kuat, frekuensi pernafasan >16x menit dan tak ada tanda
o o
distres pernafasan Dihentikan bila : ada tanda intoksikasi, dan setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir Diuretikum tidak diberikan, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung atau edema anasarka Pemberian antihipertensi dapat berupa Lini pertama : Nifedipin 10-20 mg per oral diulangi setelah
30 menit; maksimum 120 mg/24 jam Lini kedua : sodium nitroprusside 0,25 ug IV/kg/menit, ditingkatkan 0,25 ug IV/kg/5 menit; diazokside : 30-60 mg IV/5 menit atau infus 10 mg/menit.
Sikap terhadap kehamilan o Aktif: kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Dengan indikasi: Ibu: usia kehamilan ≥ 37 minggu, adanya tanda/gejala impending eklamsia, kegagalna terapi konservatif, diduga
terjadi solusio plasenta, dan timbul onset persalinan. Janin: adanya tanda fetal distress, adanya tanda intrauterine growth restriction, terjadinya oligohidramnion
33
o
Laboratorik: adanya tanda sindroma HELLP khususnya
trombosit menurun cepat. Konservatif: kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Bila kehamilan kurang dari 37 minggu tanpa ada tanda impending eklamsia.
Gambar 2. Manajemen Preeklamsia Berat 4.2.6
Prognosis Prognosis untuk preeklamsia bergantung kepada derajat gejala yang timbul. Wanita
dengan
riwayat
preeklampsia
memiliki
risiko
penyakit
kardiovaskular, 4x peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit jantung iskemik, stroke dan DVT di masa yang akan datang. Risiko kematian pada wanita dengan riwayat preeklampsia lebih tinggi, termasuk yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular.
34
4.3 Partus Lama 4.3.1 Definisi Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primigravida dan lebih dari 18 jam pada multigravida. partus lama ditandai dengan fase laten lebih dari 8 jam, persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih tanpa kelahiran bayi, dan dilatasi serviks di kanan garis waspada pada 4.3.2
partograf (Prawirohardjo, 2008). Klasifikasi Menurut Sarwono Prawirohardjo, partus lama diklasifikasikan menjadi (Prawirohardjo, 2008): 1. Kelainan Kala Satu b. Fase Laten Memanjang Friedman dan Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan apabila lama fase ini lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada ibu multipara. Fase-fase yang mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah anastesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk (misalnya tebal, tidak mengalami pendataran, atau tidak membuka), dan persalinan palsu. Kala I Fase Laten Memanjang adalah suatu keadaan pada kala I di mana pembukaan serviks sampai 3 cm dan berlangsung lebih dari 8 jam. c. Fase Aktif Memanjang Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists kriteria dari kemacetan persalinan kala satu harus memenuhi 2 kriteria yaitu: Fase laten telah selesai, dengan serviks membuka 4cm atau
lebih Sudah terjadi pola konstraksi uterus sebesar 200 satuan montevideo atau lebih dalam periode 10 menit selaa 2 jam
panta perubahan pada serviks. Friedman membagi masalah aktif menjadi gangguan protraction (berkepanjangan/berlarut-larut) dan arrest (macet, tak maju). Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists kriteria dari kemacetan: i. Protraction Protraksi didefinisikan sebagai kecepatan pembukaan atau penurunan yang lambat, yang untuk nulipara adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2 cm per jam atau penurunan kurang
35
dari 1 cm per jam. Untuk multipara, protraksi didefinisikan sebagai kecepatan pembukaan kurang dari 1,5 cm per jam atau ii.
penurunan kurang dari 2 cm per jam. Arrest Gangguan arrest dibagi lagi menjadi dua, yaitu: Kemacetan pembukaan (Arrest of dilatation) Kemacetan pembukaan (Arrest of dilatation) didefinisikan
sebagai tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam Kemacetan penurunan (Arrest of descent) Kemacetan penurunan (Arrest of descent) didefinisikan sebagai tidak adanya penurunan janin dalam 1 jam.
2. Kelainan Kala Dua Kala II yang memanjang ditandai dengan pembukaan serviks lengkap, ibu ingin mengedan, tetapi tidak ada kemajuan penurunan. 4.3.3
Etiologi Penyebab partus lama dapat disebabkan oleh (Prawirohardjo, 2008): a. His tidak efisien (adekuat) b. Tali pusat pendek c. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor) d. Kesalahan petugas kesehatan memastikan bahwa pasien sudah masuk dalam persalinan (inpartu) atau belum
4.3.4
Diagnosis Diagnosis fase laten yang memanjang dibuat secara retrospektif. Bila his berhenti disebut persalinan palsu atau belum in partu. Bilamana kontraksi makin teratur dan bukaan bertambah sampai 3 cm, pasien kita sebut masuk fase laten. Kekeliruan melakukan diagnosa persalinan palsu menjadi fase laten menyebabkan pemberian induksi yang tidak perlu yang biasanya sering gagal dan menyebabkan tindakan operasi sectio cesarea yang kurang perlu. Oleh sebab itu, petugas kesehatan harus paham perbedaan persalinan sesungguhnya dan persalinan palsu
4.3.5
Tatalaksana a. Penanganan Umum Nilai secara cepat keadaan umum wanita hamil tersebut temasuk tanda-tanda vital dan tingkat hidrasinya
36
Apakah ada masalah medik lain atau hal-hal yang mengancam jiwa? Apakah ia kesakitan? Gelisah? Jika ya pertimbangkan pemberian
analgetik. Tentukan apa pasien berada dalam persalinan?
Tentukan keadaan janin
Periksa denyut jantung janin selama atau segera sesudah his. Hitung frekuensinya sekurang-kurangnya sekali dalam 30 menit selama fase
aktif dan tiap 5 menit selama kala II. Jika terdapat gawat janin, lakukan sectio cesarea; kecuali jika syarat-
syaratnya dipenuhi, lakukan ekstraksi vakum atau forseps Jika ketuban sudah pecah, air ketuban kehijau-hijauan atau bercampur
darah pikirkan kemungkinan gawat janin Jika tidak ada ketuban yang mengalir setelah selaput ketuban pecah, pertimbangkan adanya indikasi penurunan jumlah air ketuban yang mungkin menyebabkan gawat janin. Perbaiki keadaan umum dengan: o Memberikan dukungan emosi.
Bila
keadaan
masih
memungkinkan anjurkan bebas bergerak, duduk dengan posisi yang berubah (sesuaikan dengan penanganan persalinan o
normal) Berikan cairan baik secara oral dan parenteral dan upayakan
buang air kecil (hanya perlu kateterisasi bila diperlukan) Bila penderita merasakan nyeri yang sangat berikan analgetik: tramadol atau pethidin 25 mg dinaikkan sampai maksimum 1 mg/kgBB atau
morfin 10 mg IM. Lakukan pemeriksaan vaginal untuk menentukan kala persalinan Lakukan penilaian frekuensi dan lamanya kontraksi berdasarkan partograf
b. Penanganan Khusus Apabila ibu berada dalam fase laten lebih dari 8 jam dan tak ada kemajuan, lakukan pemeriksaan dengan cara melakukan pemeriksaan serviks: Bila tidak ada perubahan penipisan dan pembukaan serviks serta tak didapatkan
tanda-tanda
gawat
Kemungkinan ibu belum in partu.
janin,
kaji
ulang
diagnosisnya.
37
Bila didapatkan perubahan dalam penipisan dan pembukaan serviks, lakukan drip oksitosin dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau NaCl) mulai dengan 8 tetes per menit, setiap 30 menit ditambah 4 tetes sampai his adekuat (maksimum 40 tetes/menit) atau diberikan preparat prostaglandin. Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam. Bila ibu tidak masuk fase aktif setelah dilakukan pemberian oksitosin, lakukan sectio cesarea.
4.4 Post Partus Hemorrhagic 4.4.1 Definisi Post partus hemorrhagic (PPH) secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea (FIGO, 2012; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b). Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG,1989) yaitu penurunan hematokrit peripartum lebih dari 10% atau perdarahan yang memerlukan transfusi darah. 4.4.2
Klasifikasi Post partus hemorrhagic primer terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan. Sekitar 70% dari PPH primer disebabkan olehkan atonia uteri. Atonia uteria adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi secara
adekuat setalah bayi lahir. Post partus hemorrhagic sekunder terjadi antara 24 jam setelah bayi lahir dan 6 minggu pasca persalinan. Penyebab PPS sekunder terbanyak adalah sisa produk konsepsi, infeksi atau keduanya (FIGO, 2012; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b; Prawirohardjo, 2008).
4.4.3
Etiologi Penyebab PPS adalah 4 T (Anderson et al., 2007; FIGO, 2012; Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b; Prawirohardjo, 2008): Tonus (70%): atonia uteri, distensi kandung kemih Trauma (20%): trauma dari vagina, uterus, dan serviks Tissue (10%): sisa plasenta atau klot Thrombin (1%): penyakit koagulopati 4.4.3.1 Tonus Atonia uteri dan kegagalan kontraksi serta retraksi dari otot miometrium dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan syok hipovolemik.
38
Keadaan lemahnya tonus/ konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi setelah bayi dan plasenta lahir. 4.4.3.2 Tissue Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setangah jam setelah bayi lahir disebut sebagai retensi plasenta. Plasenta yang sulit dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer. Plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium. Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, riwayat kuret berulang dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest plasenta dan dapat menimbulkan PPS primer atau (lebih sering) sekunder (Prawirohardjo, 2008). 4.4.3.3 Trauma Robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau ekstraksi vakum, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2008). Ruptur uterus spontan jarang terjadi, faktor risiko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya dan persalinan dengan induksi oksitosin. Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secaria sebelumnya. Tanda primer ruptur uteri sebelum persalinan yaitu fetal bradikardia (Prawirohardjo, 2008). Inversi terus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplitFaktor-faktor yang menyebabkan hal ini dapat berupa adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya di tarik keras dari bawah atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau
39
tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin). Inversi uteri ditandai dengan tanda-tanda (Prawirohardjo, 2008): Syok karena kesakitan Perdarahan banyak bergumpal Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat. 4.4.3.4 Trombin Kelainan koagulasi adalah penyebab yang jarang dari perdarahan post partum. Rata-rata penyakit koagulasi sudah teridentifikasi sebelum persalinan. Kelainan dapat berupa idiopatik trombositopenia purpura (ITP), trombotik trombositopenia purpura, penyakit von willebrand dan hemofillia. Pasien dapat juga menjadi HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme levels, and low platelet levels) syndrome or disseminated intravascular
coagulation.
Faktor
risiko
untuk
disseminated
intravascular coagulation adalah preeklampsia berat, embolism cairan amnion, sepsis, kerusakan plasenta. Kerusakan plasenta berhubungan dengan penggunaan kokain dan kelainan hipertensi. Perdarahan berlebih dapat menurunkan faktor koaguslasi dan menyebabkan kosumptif koagulasi sehingga terjadi perdarahan lebih lanjut. 4.4.4
Gejala Klinis Uterus tidak berkontraksi dan lembek, perdarahan segera setelah
anak lahir (Atonia uteri). Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir, uterus
berkontraksi dan keras, plasenta lengkap (Robekan jalan lahir). Plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, uterus
berkontraksi dan keras (Retensio plasenta) Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak
lengkap, perdarahan segera (Sisa plasenta) Sub-involusi uterus, nyeri tekan perut bawah dan pada uterus, perdarahan sekunder, lokhia mukopurulen dan berbau (Endometritis atau sisa fragmen plasenta)
Manifestasi Klinis Perdarahan Pasca Persalinan Kehilangan Darah Tekanan Darah Tanda dan Gejala 500-1000 ml Normal Palpitasi, pusing, 1000-1500 ml
Sedikit
Menurun
takikardia Kelemahan,
Derajat Syok Terkompensasi Ringan
40
(80-100 mmHg)
berkeringat,
1500-2000 ml
Menurun
takikardia Gelisah,
2000-3000 ml
mmHg) Sangat
(70-80 Menurun
pucat,
oligouria Kolaps, anuria
Sedang Berat
(50-70 mmHg)
4.4.5
Tatalaksana Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016b): Ask for HELP Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit. Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang penting untuk penentuan tahap tindakan berikutnya. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate Nilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus dimonitor. Pasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah, elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch (RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan darah, Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin, Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan etiologi PPH. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu kesiapan operasi/laparotomi. Massage the uterus
41
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin dengan kecepatan 125 cc/jam. Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi. Bila masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per rektal 800-1000ug. Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L). Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual compression (konservatif; non-pembedahan) Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa ke ruang operasi Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan) Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat membantu mengurangi perdarahan. Bila pemasangan tube tersebut mampu menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube, perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan bedah. Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS baloon dan tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk membaca tekanan intrauterin sehingga dapat
42
diupayakan
mencapai
tekanan
mendekati
tekanan
sistolik
untuk
menghentikan perdarahan. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan konservatif) Nilai ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya. Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. tindakan B-Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya menilai efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual uterus secara langsung di meja operasi. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal iliac (pembedahan konservatif) Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika. Teknik ligasi Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization (pembedahan konservatif) Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif) 4.4.6
Pencegahan Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Mencegah atau sekurangkurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Di rumah sakit, diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obatobatan penguat rahim.
DAFTAR PUSTAKA American College of Obstetricians and Gynecologists. (2013). Hypertension in Pregnancy. Washington: American College of Obstetricians and Gynecologists. Anderson, J. M., Family, F., Residency, M., Pennsylvania, W., & Forbes, H. (2007). Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. America Academy of Family Physician, 75(6), 875–882. Dasar-dasar Phantom. (n.d.). Departement of Health Western Australia. (2016). Hypertension in Pregnancy : Medical management. FIGO. (2012). Prevention and Treatment Postpartum Hemorrhage in Low Resource Setting. International Journal of Gynecology and Obstetric, 117, 108–118. Kementrian Kesehatan RI. (2014). InfoDATIN : Hipertensi. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Mahendra, G., Pukale, R. S., & Vijayalakshmi, S. (2015). Couvelaire uterus - A case report, 2(3), 3–6. National Collaborating Centre. (2010). Hypertension in Pregnancy The Management of Hypertensive Disorders during Pregnancy. London: National Institute for Health and Clinical Excellence. National Institute for Health and Care Excellence. (2018). Hypertension in Pregnancy : Diagnosis and Management. London: RCOG. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. (2016a). Diagnosis dan Tatalaksana PreEklamsia. Jakarta: Himpunan Kedokteran Feto Maternal. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. (2016b). Perdarahan Pasca-Salin. Jakarta: Himpunan Kedokteran Feto maternal. Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu Kebidanan (Keempat). Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Rathi, M., Rathi, S. K., Purohit, M., & Pathak, A. (2014). Couvelaire uterus, 1, 1–2. Somalwar, S. A., Joshi, S. A., Bhalerao, A. V, Kawthalkar, A. S., Jain, S., & Mahora, S. (2012). Total Uterine Necrosis : A Complication of B-Lynch Suture, 4(April), 61–63. Surapanthapisit, P., & Thitadilok, W. (2006). Risk Factors of Caesarean Section due to Cephalopelvic Disproportion, 89, 105–111. Uzan, J., Carbonnel, M., Piconne, O., Asmar, R., & Ayoubi, J. (2011). Pre-eclampsia: Pathophysiology, Diagnosis and Management. Dove Press, 467–474. Wiknjosatro, H. (2007). Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
44