Case Fix.doc

  • Uploaded by: Roma West
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Fix.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 6,986
  • Pages: 37
LAPORAN KASUS Laki-laki usia 23 tahun dengan HEPATITIS A DAN KOLELITIASIS

Pembimbing : dr. Ety Febrianti, Sp.PD FINASIM

disusun oleh : Romauli Hutabarat, S.Ked H1AP12018

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BENGKULU 2019

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa

: Romauli Hutabarat

NPM

: H1AP12018

Bagian

: Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam FKIK UNIB

Judul

: Laki-laki usia 23 tahun dengan HEPATITIS A DAN KOLELITIASIS

Pembimbing

: dr. Ety Febrianti, Sp.PD.,FINASIM

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD M. Yunus Bengkulu.

Bengkulu, 01 Februari 2019

dr. Ety Febrianti, Sp.PD.,FINASIM

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Laki-laki Usia 23 tahun dengan hepatitis A dan kolelitiasis”untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu. Terima kasih yang sebesarbesarnya penulis ucapkan kepada dr. Ety Febrianti, Sp.PD.,FINASIM,selaku konsulen yang telah membimbing dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bengkulu, 03 Februari 2019

Penulis

Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN................................................................................1 BAB II LAPORAN KASUS ….......................................................................2 BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................16 BAB IV PEMBAHASAN...............................................................................35 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................38

BAB I PENDAHULUAN Hepatitis A adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis A. Penyebaran virus ini terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh feses orang yang terinfeksi (WHO, 2012). Penyakit ini dapat menyebabkan gejala seperti mual, muntah, lemas, hilang napsu makan, kulit dan sklera mataberubah menjadi kuning, demam, dan gejala lainnya (Sjaifoellah Noer, 2007). Proses penyembuhan penyakit ini membutuhkan waktu sekitar beberapa minggu hingga beberapa bulan. Hal ini dapat menimbulkan dampak sosioekonomi dalam masyarakat (WHO, 2012). Secara global didapatkan sekitar 1,4 juta kasus baru infeksi virus hepatitis A pertahun (WHO, 2012). Hepatitis A merupakan yang umum terjadi di seluruh dunia dimana infeksi virus hepatitis A lebih sering mengenai anak-anak (CDC, 2011). Didaerah dengan 4 musim, infeksi virus hepatitis A terjadi secara epidemic musiman yang puncaknya terjadi pada akhir musim semi dan awal musim dingin. Didaerah tropis, puncak insidensi pernah dilaporkan cenderung terjadi selama musim hujan dan pola epidemik siklik berulang setiap 5-10 tahun sekali yang mirip dengan penyakit virus lainnya (Sjaifoellah Noer, 2007). Lebih dari 75% anak dari benua Asia, afrika, dan India telah memiliki antibody HAV pada usia 5 tahun (Andri Sanityoso, 2007). Pada tahun 1988, infeksi virus hepatitis A pernah menjadi wabah epidemis di Shanghai yang mengenai sekitar 300.000 orang (WHO, 2012). Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang di rawat yaitu berkisar 39,8-68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan dibawah standar. Sebagian besar infeksi HAV yang didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimptomatik atau sekurangnya anikterik (Andri Sanityoso, 2007). Kejadian batu empedu atau cholelithiasis di negara - negara industri antara 10 - 15 %. Sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien. (Lesmana, 2009). Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita. Faktor risiko batu empedu memang dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty (40 tahun), Fertile

(subur), dan Female (wanita). Wanita lebih berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus, baik wanita maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan, anak - anak pun bisa mengalaminya, terutama anak dengan penyakit kolesterol herediter. (Brunner and Suddart, 2001).

A. Identitas Pasien Nama

: Tn. Fernando

Umur

: 23 tahun

Status marital

: belum menikah

Pekerjaan

: buruh

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Bukit barisan

N0. MR

: 78-89-64

MRS

: 29 Desember 2019

B. Anamnesa 1. Keluhan Utama

: Demam tinggi tidak turun-turun sejak 2 hari SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 2 hari SMRS pasien mengalami demam tinggi. Demam terus menerus dan tidak turun-turun meskipun pasien telah mengkonsumsi obat penurun demam dari puskesmas. Pasien juga tampak kuning dibagian mata yang muncul sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak 2 hari SMRS, muntah setiap kali makan dan muntahan berisi makanan namun tidak ada darah. Terdapat BAB coklat kehitaman sejak 2 hari SMRS, konsistensi padat namun tidak sakit pada saat BAB. Dan terdapat BAK kuning pekat dan bau menyengat sejak 2 hari SMRS. Pasien juga merasa lemas, pusing, badan terasa pegal-pegal, mudah lelah dan tidak nafsu makan. Pasien merupakan perokok aktif dan sering minum-minum alcohol. 3.

Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengatakan tidak pernah sakit malaria sebelumnya Pasien mengatakan tidak pernah sakit kuning sebelumnya Paien belum pernah mengeluhkan hal yang serupa. 4. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Riwayat penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarga tidak ada. 5. Riwayat Penyakit Sosial Ditempat pasien tidak ada yang mengeluhkan hal serupa. Pasien tingga dengan orangtua, rumah pasien ada dipinggir jalan dengan sanitasi dan ventilasi yang cukup.

C. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

2. Kesadaran

: Compos Mentis

3. Tanda Vital

: TD = 120/80 mmHg

N = 75 x/menit

RR = 20 x/menit

T = 36,6 oC

TB = 171 cm

BB = 65 kg

4. Kepala dan Leher Rambut : warna hitam, lurus, tidak mudah dicabut Kepala : bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar, spider telangiektasi (-) muka sembab(-). Mata

: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (+), pupil isokhor, refleks cahaya (+/+)

Hidung : nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), sekret (-) Mulut : bentuk normal, gusi berdarah (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis angularis (-) Tenggorokan: Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1 Leher

: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, jugular venous pressure tidak meningkat (5-2) cmH2O, kaku kuduk tidak ada.

4. Kelenjar Getah Bening Kelenjar getah bening submandibula, leher, axilla, dan inguinal tidak ada pembesaran dan tidak nyeri pada penekanan. 6. Thorak Paru

: I = Gerakan nafas simetris P = Fremitus raba simetris kanan = kiri P = Sonor pada kedua lapangan paru A = Suara nafas vesikuler (+) N, Ronkhi (-), Wheezing (-)

Jantung : I = Iktus cordis tidak terlihat P = iktus cordis tidak teraba P = Batas Kanan ICS IV LPS Dextra Batas Kiri ICS V LMC Sinistra A = S1 dan S2 reguler, bising dan murmur tidak ada

9. Abdomen I = Perut cembung. P = Nyeri tekan (+) regio hipokondrium kanan dan epigastrium, defans muskuler (-), tidak teraba massa di epigastrium, Hepar membesar 2 jari di bawah arkus costae kosistensi :kenyal permukaan :rata pinggir :lancip. P = Timpani, shifting dullness tidak ada A = Bising usus (+) normal. 10. Ekstremitas Akral hangat, edema (-), eritem palmaris (-), kuku-kuku murche (-), koilonichia (-). C. Pemeriksaan Penunjang 29 Oktober 2012  Darah Rutin dan kimia darah: Leukosit : 8.200 Trombosit : 189.000 Hemoglobin : 47 % GDS : 75 mg/dl Ureum : 19 mg/dl Creatinin : 0,7 mg/dl SGPT : 2681 SGOT : 1452 HbsAg : non reaktif BT : 0,3 mg/dl  Radiologi USG :  Kesan : batu kandung empedu/ kolelitiasis

Resume Seorang laki-laki 23 tahun dengan keluhan demam tinggi terus menerus dan tidak turunturun meskipun telah minum obat penurun demam. Pasien juga tampak kuning dibagian mata yang muncul sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak 2 hari SMRS, muntah setiap kali makan dan muntahan berisi makanan namun tidak ada darah. Pasien mengatakan BABcoklat kehitaman sejak 2 hari SMRS, konsistensi padat namun tidak sakit pada saat BAB dan BAK kuning pekat dan bau menyengat sejak 2 hari SMRS.

Pasien juga merasa lemas, pusing, badan terasa pegal-pegal, mudah lelah dan tidak nafsu makan. Pasien juga mengetakan memiliki kebiasaan merokok aktif dan sering minum-minum alkohol. Pada pemeriksaan fisik didapakan sclera ikterik +/+, pada pemeriksaan mulut tampak bibir pucat dan kering. Pada pemeriksaan inspeksi, tampak kuning diseluruh tubuh, pada pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan hipokondrium dextra, epigastriu, umbilicus dan hepar teraba memebesar 2 jari dibawah peranjakan dari arcus costae. Riwayat alergi, DM, penyakit jantung disangkal. Pada pemeriksaan laboraturium didapatkan GDS 73 mg/dl, ureum 19 mg/dl, creatinin 0,7 mg/dl, Hb 13 gr/dL, hematokrit 47%, Leukosit 8200 sel/mm3, trombosit 189.000 sel/mm3, SGOT 1452, SGPT 2681. Hasil USG abdomen didapatkan adanya batu empedu/ kolelitiasis. 2.6. 1. 2. 3. 4.

Identifikasi Masalah Demam tinggi Kuning seluruh tubuh SGOT dan SGPT Meningkat Batu empedu

Diagnosis Hepatitis A Kolelitiasis Diagnosa Banding  Hepatitis (B,C)  kolesistitis D. Tatalaksana  Bed Rest  IVFD RL = XX tetes/menit Cairan dalam 1 hari : 1500 + (20x (55-20)) : 2200 ml  Paracetamol 3x500 mg  Ondansetron 3x1 mg  OMZ 1x1 vial (IV)  Curcuma 3x1 tab  Sucralfat 3x1 C E. Rencana pemeriksaan  IgM anti HAV dan anti HAV F. Prognosis

- Quo ad vitam - Quo ad functionam

: dubia ad bonam : dubia ad bonam

Follow Up Tanggal

29 Desember 2018

S:

Pusing (+), lemas(+), mual(+), muntah(+), demam (-), kuning (+), BAK (+), BAB (+).

O: Keadaan umum

Tampak sakit sedang.

Kesadaran

Compos mentis.

Tekanan darah

120/80 mmHg.

Nadi

82 x/menit regular

Pernapasan

20x/ menit.

Temperatur

37,0° C.

Keadaan spesifik Kepala

Conjungtiva palpebra pucat(-), sklera ikterik(-/-),

Thorax: Jantung

HR 78 x/ menit reguler. BJ I/II Normal regular

Paru

Vesikuler normal, ronkhi (-), whezzing (-),

Abdomen

Cembung (-), datra (+), distensi(-), nyeri tekan (+) epigastrium, Ballotement (-), hepar dan lien tidak teraba(-), bising usus (+) normal.

Ekstremitas A

Edema pretibia (-) Hepatitis A

P

dyspepsia Istirahat IVFD RL 2:1 xx gtt/menit OMZ 1x1 vial (iv) Ondansentron 3x1 sucralfat 3x1 C Omeprazole 2x1 PCT 3 x 500 mg

Tanggal

curcuma 3x1 tab 30 Desember 2018

S:

pusing (-), (+) mual(+), muntah(+), BAK (+), BAB (+)

O: Keadaan umum

Tampak sakit sedang.

Kesadaran

Compos mentis.

Tekanan darah

120/80 mmHg.

Nadi

75 x/menit regular

Pernapasan

18x/ menit.

Temperatur

36,5° C.

Keadaan spesifik Kepala

Conjungtiva palpebra pucat (-)/(-), sklera ikterik(-/-),

Thorax: Jantung

HR 75 x/ menit reguler. BJ I/II Normal regular

Paru

Vesikuler normal, ronkhi (-), whezzing (-),

Abdomen

Cembung (-), distensi(-), nyeri tekan (+) epigastrium, Ballotement (-), hepar dan lien tidak teraba(-), bsing usus (+) normal.

Ekstremitas A

Edema pretibial(-) Hepatitis A

P

Istirahat IVFD RL 2:1 xx gtt/menit OMZ 1x1 vial (iv) Domperidon 3x1 tab sucralfat 3x1 C curcuma 3x1 tab

Tanggal

proliver 3x1 tab 31 Januari 2018

S:

pusing (-). Lemas (-), mual (-), demam (-), Kuning (+) BAK kuning pekat (-), BAB (+) tidak ada keluhan

O: Keadaan umum

Tampak sakit sedang.

Kesadaran

Compos mentis.

Tekanan darah

120/80 mmHg.

Nadi

80 x/menit regular

Pernapasan

20x/ menit.

Temperatur

36,8° C.

Keadaan spesifik Kepala

Conjungtiva palpebra pucat (-)/(-), sklera ikterik(+/+),

Thorax: Jantung

HR 78 x/ menit reguler. BJ I/II Normal regular

Paru

Vesikuler normal, ronkhi basah halus (-), whezzing (-),

Abdomen

Cembung (-), distensi(-), nyeri tekan (+) epigastrium dan hipokondrium dextra, Ballotement (-), hepar dan lien tidak teraba(-), bising usus (+) normal.

Ekstremitas A

Edema pretibia (-) Hepatitis A

P

Kolelitiasis Istirahat IVFD RL 2:1 xx gtt/menit OMZ 1x1 vial (iv) Domperidon 3x1 tab sucralfat 3x1 C curcuma 3x1 tab

Tanggal

proliver 3x1 tab 02 Januari 2019

S:

pusing (-). Lemas (-), mual (-), demam (-), Kuning (+) BAK kuning pekat (-), BAB (+) tidak ada keluhan

O: Keadaan umum

Tampak sakit sedang.

Kesadaran

Compos mentis.

Tekanan darah

120/80 mmHg.

Nadi

75 x/menit regular

Pernapasan

18x/ menit.

Temperatur

37,0° C.

Keadaan spesifik Kepala Thorax:

Conjungtiva palpebra pucat (-)/(-), sklera ikterik(+/+),

Jantung

HR 78 x/ menit reguler. BJ I/II Normal regular

Paru

Vesikuler normal, ronkhi (-), whezzing (-),

Abdomen

Cembung (-), datra (+), distensi(-), nyeri tekan (+) epigastrium, Ballotement (-), hepar dan lien tidak

Ekstremitas

teraba(-), bising usus (+) normal.

A

Edema pretibia (-) Hepatitis A

P

Kholelitiasis Istirahat IVFD RL 2:1 xx gtt/menit OMZ 1x1 vial (iv) Domperidon 3x1 tab sucralfat 3x1 C curcuma 3x1 tab

Tanggal

proliver 3x1 tab 03 Januari 2019

S:

pusing (-). Lemas (-), mual (-), demam (-), Kuning (+) BAK kuning pekat (-), BAB (+) tidak ada keluhan

O: Keadaan umum

Tampak sakit sedang.

Kesadaran

Compos mentis.

Tekanan darah

130/70 mmHg.

Nadi

70 x/menit regular

Pernapasan

16x/ menit.

Temperatur

36, 6° C.

Keadaan spesifik Kepala

Conjungtiva palpebra pucat (-)/(-), sklera ikterik(+/+),

Thorax: Jantung

HR 78 x/ menit reguler. BJ I/II Normal regular

Paru

Vesikuler normal, ronkhi (-), whezzing (-),

Abdomen

Cembung (-), datra (+), distensi(-), nyeri tekan (+) epigastrium, Ballotement (-), hepar dan lien tidak

teraba(-), bising usus (+) normal. Ekstremitas

Edema pretibia (-)

A:

Hepatitis A

P:

Kolelitiasis Istirahat IVFD RL 2:1 xx gtt/menit OMZ 1x1 vial (iv) Domperidon 3x1 tab sucralfat 3x1 C curcuma 3x1 tab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HEPATITIS A a. Defenisi Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Dikatakan akut apabila inflamasi (radang) hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama kurang dari 6 bulan, dan kronis apabila hepatitis yang tetap bertahan selama lebih dari 6 bulan. Keadaan kronis pada anak-anak lebih sukar dirumuskan karena perjalanan penyakitnya lebih ringan daripada orang dewasa. 2,3 Hepatitis A adalah suatu penyakit yang di sebabkan oleh virus yang di sebarkan oleh kotoran atau tinja penderita, biasa nya melalui makanan (vecaloral) bukan melalui aktifitas seksual atau melalui darah.6 b. Epidemiologi HAV merupakan jenis infeksi hepatitis virus yang paling sering di Amerika Serikat. Pada tahun 1988, 50% dari kasus hepatitis yang dilaporkan adalah infeksi Virus hepatitis A (HAV). 5 Virus

hepatitis A menyebabkan kebanyakan kasus hepatitis pada anak dan dewasa muda.

Epidemiologi dan transmisi VHA mencakup beberapa faktor sebagai berikut : Karakteristik epidemiologi infeksi terbagi atas : 1. Variasi musim dan geografi Didaerah dengan 4 musim, infeksi VHA terjadi secara epidemik musimanyang puncaknya biasanya terjadi pada akhir musim semi dan awal musim dingin. Di daerah tropis, puncak insiden yang pernah dilaporkan cenderung untuk terjadi selama musim hujan dan pola epidemik siklik berulang setiap 5-10 tahun sekali. 2. Usia insiden Semua kelompok umur secara umum rawan terhadap infeksi VHA tetapi di banyak Negara EropaUtara dan Amerika Utara ternyata sebagian kasus terjadi pada orang dewasa. Disini,higienitas lingkungan juga sangat berpengarus terhadap terpaparnya seseorang dengan VHA, sehingga lebih dari 75 % anak dari berbagai Negara di benua Asia, Afrika, India, beberapa Negara mediterania dan Afrika Selatan menunjukan sudah memiliki antibody anti-HAV pada usia 5tahun.c. 3. Kelompok resiko tinggi Kelompok resiko tinggi disini mengarah kepada pekerja

kesehatan, pedagang makanan, pekerja sanitasi, penyalahgunaan obat, kelompok

homoseksual, mereka yang bepergian ke tempatdengan endemisitas rendah ke tinggi, tempat penitipan bayi, institusi kejiwaan dan beberaparumah tahanan.5 c. Etiologi Etiologi dari hepatitis A adalah virus hepatitis A, dengan ukuran 27 manometer dimana virus initer golong virus hepatitis terkecil dan masuk kedalam golongan pikornavirus. Dengan mikroskopelectron,terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan cirri khas dari antigen virus hepatitis A.Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung RNA ini disebut viral protein genomic (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan.Replikasi dalam tubuh dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang diekskresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan perebusan singkat.stabil pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asamempedu memungkinkanVHA melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu5. d. Patogenesis Antigen hepatitis A dapat ditemukan di dalam sitoplasma sel hati segera sebelum hepatitis akut timbul.Kemudian jumlah virus akan menurun setelah timbul manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV spesifik. Kerusakan sel-sel hati terutama karena viremia yang terjadi dlaama waktu yang sangat pendek dan terjadi pada masa inkubasi. Sedangkan antigen virus hepatitis A dapat ditemukan dalam tinja satu minggu setelah ikterus timbul. Kerusakan sel hati disebabkan oleh aktivitas sel T limfositsitolitik terhadat targetnya, yaitu antigen virus hepatitis A. pada keadaan ini ditemukan HLA-restrictedvirus specific cytotoxic CD8+T cell di dalam hati pada hepatitis virus A yang akut .Gambaran histologi dari sel parenkim hatiyaitu terdapatnya nekrosis sel hati berkelompok, dimulai dari senter lobules yang diikuti dengan inflitrasi sel limfosit, makrofag,sel plasma, eosinofil, dan neutrofil.Ikterus terjadi sebagai akibat hambatan aliran empedu karena kerusakan sel parenkim hati, terdapat peningkatan bilirubin direk dan indirek dalam serum. Ada 3 kelompok kerusakan yaitu di daerah portal,dalam lobules dan dalam sel hati sendiri. Daerah lobules yang mengalami nekrosis terutama yang terletak di daerah sentral. Kadangkadang hambatan aliran empedu ini mengakibatkan tinja berwarna pucat seperti dempul dan

terjadi peningkatan enzim alkali fosfatase, 5 nukleotidase dan gamma glutamiltransferase (GGT), kerusakan sel hati akann menyebabkan pelepasan enzim transaminaseke dalam darah. Peningkatan SGPT member petunjuk adanya kerusakan sel parenkim hati lebih spesifik dari peningkatan SGOT. LDH juga akan meningkat pada kerusakan sel hat PAT6 e. Patofisiologi Proses terjadinya inflamasi pada sel-sel hepar terjadi karena 2 proses, yaitu: 1Sistem imun yang bertanggung jawab terjadinya kerusakan sel hati -

Melibatkan respon CD8 dan CD4 sel T-

-

Produksi sitokin di hati dan sistemik

2.Efek sitopatik langsung dari virus. Penularan hepatitis A melalui enterik (fekal-oral). Secara umum hepatitis diakibatkan karena adanya reaksi imun dari tubuh terhadap virus yang dipacu oleh replikasi virus di hati. Replikasi virus hepatitis A termasuk ke dalam jalur lisis. Pertama-tama virus akan menempeldi reseptor permukaan sitoplasma, RNA virus masuk, pada saat yang sama kapsid yang tertinggal di luar sel akan hilang, di dalam sel RNA virus akan melakukan translasi, hasil dari translasi terbagi dua yaitu kapsid baru dan protein prekusor untuk replikasi DNA inang, DNA sel inang yang sudah dilekati oleh protein prekusor virus melakukan replikasi membentuk DNA sesuai dengan keinginan virus, DNA virus baru terbentuk, kapsid yang sudah terbentuk dirakit dengan DNA virus menjadi sebuah virion baru, virus baru yang sudah matang keluar dan mengakibatkan sel lisis oleh sel-sel fagosit.6 f. Masa inkubasi Masa inkubasi penyakit ini 2 – 6 minggu sejak pemaparan hingga munculnya ikterus pada penderita. Titer HAV tertinggi di dalam tinja adalah menjelang awitan terjadinya kenaikan bilirubin. Meskipun virus dapat dikenali di dalam tinja selama beberapa hari setelah awitan ikterus, selama masa ini belum digambarkan tentang sifat penularan penyakit. 2 g. Penularan Penyakit ini bersifat sangat menular. Penularan secara fecal oral dengan menelan makanan yang sudah terkontaminasi, kontak dengan penderita melalui kontaminasi feces pada makanan atau air minum, atau dengan memakan kerang yang mengandung virus yang tidak

dimasak dengan baik. 1,2,3,4 akut,hepatitis A umumnya asimtomatikatau bentuk yang ringan dan hanya sekitar 1 % yang timbul ikterus.Pada manifestasinya seringkali asimtomatik dan anikterik. Gejala dan perjalanan klinis hepatitis virus akut secara umum dapat dibedakan dalam 4 stadium : 1. Fase inkubasi Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Panjang fase ini tergantung pada dosis inokolum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosisinokolum, makin pendek fase inkubasi ini. Lamanya pada hepatitis A 2-4 minggu. 2. Fase prodromal (praikterik) Fase diantara keluarnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Ditandai dengan malaise umum, anoreksia , mialgia,atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas. Diaredan konstipasi dapat terjadi, demam derajat rendah, nyeri abdomen biasanya menetap dan ringan di kuadran kana atas atau epigastrium dan kadang diperberat dengan aktivitas. Fase ini dapat berlangsung 2-7 hari. 3. Fase ikkterus Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala.Pada banyak kasus, fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterik jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata. 4. Fase konvalesen (penyembuhan) Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain,

tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan.Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu dan 16 minggu untuk hepatitis B. pada 5-10 %kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya 1% yang menjadi fulminan6 h. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Gambaran klinis, sebelum timbulnya ikterus biasanya didahului oleh suatu masa prodormal yang berlangsung sekitar 2 minggu dengan malaise, anoreksia, dan sering gejala gastrointestinalis, disertai nyeri perut atas.

Pada tes serologis, IgM HAV berkembang sebelum mulainya ikterus dan sementara tes IgM anti-HAV meningkat pada infeksi akut atau fase ikterus. 6 Laboratorium Untuk menunjang diagnosis perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium yaitu dengan timbulnya gejala, maka anti-HAV akan menjadi positif. IgM anti-HAV adalah subklas antibody terhadap HAV.Respons ini sial terhadap infeksi HAV hampir seluruhnya adalah IgM. Antibody ini akan hilang dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti HAV adalah spesifik untuk diagnosis dan konfirmasi infeksi hepatitis A akut.Infeksi yang sudah lalu ataupun adanya imunitas ditandai dengan adanya anti-HAV total yang terdir atas IgG anti-HAV dan IgM anti-HAV. Antibody IgG akan naik dengan cepat setelah virus dieradikasi laluakan turun perlahan - lahan setelah beberapa bulan. Petanda anti-HAV berguna bagi penelitian epidemiologis dan status imunitas6. i.

Penatalaksanaan

Pada dasarnya penatalaksanaan infeksi virus hepatitis A dan hepatitis yang lainnya adalah terapi yangdiberikan bersifat suportif, tidak ada yang spesifik, yaitu : 1. Tirah baring, terutama pada fase awal penyakitnya dan dlama keadaan penderita merasa lemah 2. DietMakanan tinggi protein, tinggi karbohidrat dan rendah lemakuntuk pasien dengan anoreksia dan nausea 3. Pemberian obat-obatan simtomatik seperti : tablet antipiretik paracetamol untuk demam, sekitkepala, nyeri otot, nyeri sendi, pemberian anti mual muntah dapat membantu menhilangkankeluhan mual .4. Hindari alcohol dan pemakaian obat dibatasi 5. Obat-obatan yang dimetabolisir di hepar harus dihindari tetapi jika sangat diperlukan dapatdiberikan dengan penyesuaian dosis.6 j. Prognosis Prognosis penyakit ini baik dan sembuh sempurna. Angka kematian akibat hepatitis fulminan berkisarantara 0,1%-0,2%. Laporan lainnya menunjukan bahwa gagal hati fulminan, hanya terjadi pada 0,13%-0,35% kasus-kasus hospitalisasi.kematian dikaitkan dengan umur penderita atau bila ada penyakithepatitis kronik lainny, terutama hepatitis kronik C

k. Pencegahan

Pencegahan dengan imunoprofilaksis 1. Imunoprofilaksis sebelum paparana. a. Vaksin HAV yang dilemahkan 

Efektifitas tinggi (angka proteksi 94-100%)



Sangat imunogenik (hampir 100% pada subjek sehat)



Anbodi protektif terbentuk dalam 15 hari pada 85-90% subjek Aman, toleransi baik



Efektifitas proteksi selama 20-50 tahun



Efek samping : nyeri di tempat penyuntikan

b.Jadwal dan dosis vaksin HAV 

>19 tahun. 2 dosis of HAVRIX (1440 unit Elisa) dengan interval 6-12 bulan



Anak>2 tahun. 3 dosis HARVIX (360 unit Elisa),0, 1 dan 6-12 bulan atau 2 dosis (720unit Elisa),0, 6-12 bulan



Indikasi vaksinasi Pengunjung ke daerah resiko tinggi Homoseksual dan biseksual IVDU



Anak dan dewasa muda pada daerah yang pernah mengalami kejadian luar biasa



Anak di daerah dimana angka kejadian HAV lebih tinggi dari angka nasional



Pasien yang rentan dengan penyakit hati kronis



Pekerja laboratorium yang menangani HAV



Pramusaji Pekerja pada bagian pembuangan air.

2. Imunoprofilaksis pasca paparana. A. Keberhasilan vaksin HAV pada pasca paparan belum jelas b. Keberhasilan immunoglobulin sudah nyata tapi tidak sempurna c. Dosis dan jadwal pemberian immunoglobulin 

Dosis 0,02 ml/kg, suntikan pada daerah deltoid sesegera mungkin setelah terpapar



Toleransi baik, nyeri pada daerah suntikan



Indikasi : kontak erat dan kontak dalam rumah tangga dengan infeksi HAV akut6

2.2. CHOLELITHIASIS

1. Definisi Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolelitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. (Doherty, 2010).

Gambar 3. Batu dalam kandung empedu

2. Epidemiologi Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”4 F” : female (wanita), fertile (subur), khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), dan forty (empat puluh tahun). (Sjamsuhidayat, 2011). Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu. 2.

Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu. 4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. 5.

Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.

6.

Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

7.

Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, trauma, dan ileus paralitik.

8.

Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu. (Sjamsuhidayat, 2011).

3. Etiologi Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. (Price and Wilson, 2006). a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol, mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu. (Price and Wilson, 2006). Sedangkan perubahan komposisi lainnya yaitu yang menyebabkan batu pigmen adalah terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia. (Sjamsuhidayat, 2011). Selain itu terdapat juga batu campuran, batu ini merupakan campuran dari kolesterol dan kalsium bilirubinat. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90% pada penderita kolelitiasis. (Townsend, Beauchamp, 2004). b. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan stasis.

Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu. (Price and Wilson, 2006). c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding panyebab terbentuknya batu. (Price and Wilson, 2006).

4. Patofisiologi Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. (Townsend, Beauchamp, 2004). Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu. (Townsend, Beauchamp, 2004). Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik

empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus. (Townsend, Beauchamp, 2004).

5. Manifestasi Klinis 5.1 Asimtomatik Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik. (Silbernagl, Lang, 2000). 5.2 Simtomatik Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. (Sjamsuhidayat, 2011).

6. Diagnosis 6.1 Anamnesis Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,

kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. (Heuman, 2011). III.6.2 Pemeriksaan Fisik Batu kandung empedu Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. (Heuman, 2011). Batu saluran empedu Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. (Heuman, 2011). 6.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi yaitu apabila terdapatnya batu pada duktus

sistikus menyebabkan inflamasi dan fibrosis disekitar duktus koledokus sehingga menekan duktus koledokus akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum. (Beltran, 2012). Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. (Doherty, 2010). Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat Transaminase ) dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase ) merupakan enzym yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu. (Doherty, 2010). Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus meningkatkan sintesis enzym ini. Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin. Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral. (Doherty, 2010). Pemeriksaan radiologis o

Foto polos Abdomen Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica. (Heuman, 2011).

gambar 4. Foto rongent pada kolelitiasis. o

Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. (Heuman, 2011).

Gambar 5. Kolelitiasis pada USG

o

Kolesistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat

dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. (Heuman, 2011). o Kolangiografi transhepatik perkutan Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali". Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan kontraindikasi. (Heuman, 2011). o

Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic retrograde kolangiopankreatograft) Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang tertinggal). (Heuman, 2011).

o CT scan CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik). Bila hasil ultrasound masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan. (Heuman, 2011). 7

Penatalaksanaan Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu

tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya yang dipakai

ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu (asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi kandungan kolesterol. 8

Konservatif

Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah -

Pasien dengan batu empedu > 2cm Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi keganasan Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut. (Heuman,

-

2011). Disolusi batu empedu Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi. Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol. (Klingensmith, Chen, 2008). Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat. (Klingensmith, Chen, 2008).

Operatif

Open kolesistektomi Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma duktus empedu, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %. (Doherty, 2010). Kolesistektomi laparoskopik Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga. (Hunter, 2007). Beberapa pasien dapat mengalami gejala sindrom pasca kolesistektomi seperti dispepsia, diare yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi berlebihan dari garam empedu, nyeri bilier yang disebabkan oleh spasme sfingter oddi. (Engram, 2009).

9. Dietik Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil

kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh. Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan. (Lesmana, 2009). Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan sangat membantu. Syarat-syarat diet pada penyakit kandung empedu yaitu : - Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna. - Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori dikurangi. - Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak. - Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi. (Lesmana, 2009). 10. Prognosis Prognosis nya adalah tergantung dari besar atau kecilnya ukuran batu empedu, karena akan menentukan penatalaksanaannya, serta ada atau tidak dan berat atau ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian, dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan biasanya baik.

BAB IV PEMBAHASAN

Hepatitis A adalah suatu penyakit infeksi akut pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV) yang ditularkan paling sering melalui fecal-oral, makanan atau minuman terkontaminasi, dan lingkungan rumah yang kurang bersih. Pada pasien penderita hepatitis A perlu diperhatikan gangguan sistemik seperti demam dan kuning pada mata dan seluruh tubuh, gangguan pencernaan seperti mual muntah, kehilangan nafsu makan, lemas, nyeri ulu hati, dan gangguan pada saluran kemih seperti kencing berwarna cola. Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan dalam saluran empedu atau kandung empedu atau kedua-duanya.pada gangguan ada yang asimtomatik dan simtomatik. Pada penderita simtomatik terdapat gejala seperti nyeri pinggang yang menjalar kepunggung. Pasien merupakan seorang laki-laki 23 tahun tergolong usia muda didapatkan gangguan sistemik, organomegali, dan kelainan pada kandung empedu. Gejala sistemik yang didapatkan seperti demam tinggi dan kuning dibagian mata dan seluruh tubuh. Kelainan organomegali seperti terdapat hepatomegali. Berdasarkan pada keluhan pasien tersebut dilakukan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hepar, dan fungsi ginjal. Hasil didapatkan didapatkan GDS 73 mg/dl, ureum 19 mg/dl, creatinin 0,7 mg/dl, Hb 13 gr/dL, hematokrit 47%, Leukosit 8200 sel/mm3, trombosit 189.000 sel/mm3, SGOT 1452, SGPT 2681. Pada pemeriksaan fungsi hepar didapatkan hasil yang jauh meningkat dari normal. Kemudian pada pasien juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa USG abdomen. Pada hasil pemeriksaan USG didapatkan kesan Kolelitiasis/ batu kandung empedu. Berdasarkan hal tersebut makan pasien ini dicurigai Hepatitis A dan Kolelitiasis.

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari penulisan makalah laporan kasus ini antara lain : 1. Hepatitis A adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis A. Penyebaran

virus ini terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh feses orang yang terinfeksi. 2. Proses terjadinya inflamasi pada sel-sel hepar terjadi karena 2 proses, yaitu: Sistem imun yang

bertanggung jawab terjadinya kerusakan sel hati dan efek sitopatik langsung dari virus. 3. Penyakit ini bersifat sangat menular. Penularan secara fecal oral dengan menelan makanan yang sudah terkontaminasi, kontak dengan penderita melalui kontaminasi feces pada makanan atau air minum, atau dengan memakan kerang yang mengandung virus yang tidak dimasak dengan baik. 4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Gambaran klinis, sebelum timbulnya ikterus biasanya didahului oleh suatu masa prodormal yang berlangsung sekitar 2 minggu dengan malaise, anoreksia, dan sering gejala gastrointestinalis, disertai nyeri perut atas. 5. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko seperti jenis kelamin, usia,

makanan, aktivitas, berat badan berlebih dll. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sanityoso A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi4.

Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. 427-432 2.

Sulaiman A. Pendekatan Klinis Pada Pasien Ikterus. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid

1 Edisi4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. 420-423 3.

World Gastroenterologi Organization Practice Guidline Hepatitis B. Diakses 21

Desember 2011. Diunduh dari http:// www. World gastroenterology.org 4.

Kapita selekta Kedokteran. Jilid II. Penerbit Buku Kedokteran EGC.2005. 513-515

5.

Gani AR. Pengobatan Terkini Hepatitis Kronik B dan C. Diakses 21 Desember 2011.

Diunduh dari http:// www. Pdpersi.co.id 6.

Prof sudharto Mci interna Edisi3.Semarang : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Dipenogoro.2010. 121 -127 7. Beltran MA. Mirizzi Syndrome. World J Gastroenterol. 2012; 18: 4639-4648. 8.

Bloom

A.

Cholecystitis Treatment

&

Management.

2011.

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/171886-treatment#aw2aab6b6b1aa. 9. Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. Jakarta: EGC; 2001. 10.

Dandan

I.

Choledocholithiasis.

2007.

Available

at:

http://www.eglobalmed.com/opt/MedicalStudentdotcom/www.emedicine.com/med/topic350.htm 11. 11. Doherty, GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition. US : McGraw-Hill Companies; 2010. 12. Engram Barbara. Cholesistectomy. In: Medical Surgical Nursing Care Plans. Delmar: A Division of Wadsworth Inc; 2009.

Related Documents

Case
November 2019 51
Case
May 2020 48
Case
May 2020 37
Case
November 2019 57
Case
July 2020 25

More Documents from ""

Referat.doc
October 2019 10
Case Fix.doc
October 2019 21
May 2020 15
May 2020 13