Budaya Picu Kemiskinan Masyarakat Sumba Timur.docx

  • Uploaded by: elsi mindaha
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Budaya Picu Kemiskinan Masyarakat Sumba Timur.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,823
  • Pages: 11
Budaya Picu Kemiskinan Masyarakat Sumba Timur Sabtu, 08 Oktober 2011 Penyembelihan Hewan masyarakat adat Sumba Timur bukan hal yang baru lagi,Hewan yang di sembelih bukan saja puluhan bahkan mencapai ratusan. dalam hal acara kematian misalnya tuan rumah ( yang berkabung ) harus menyembelih babi (merupakan hewan adat ) untuk memberi makan tamu yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Untuk adat kematian bagi warga yang bekelas ninggrat atau Umbu (sebutan bagi para raja sumba) hewan yang di sembelih jumlahnya mencapai ratusan ekor,jika di uangkan jumlahnya mungkin bukan sedikit lagi,bukan hanya itu kedatangan para tamu adat dengan barang bawaanya membuat tuan rumah (yang berkabung) menjadi hutang.di sini sangat jelas kita lihat secara keras bahwa bukan saja ikut dalam acara berkabung tetapi juga turut memberatkan tuan rumah yang berkabung. Tak jarang tuan rumah memilih waktu penguburan hingga 3 sampai 8 bulan kedepan sambil mengumpulkan hewan adat yang akan di sembelih pada saat penguburan.beberapa hal di bawah ini akibat dari proses penguburan yang lama bagi masyarakat sumba timur 1. rumah tempat berkabung sering kali dijadikan tempat perjudian 2. hampir setiap hari hewan ( babi) di sembelih untuk makan para tamu 3. mayat yang di si dalam jangka waktu yang lama di simpan tidak baik bagi kesehatan Melihat dan mencermati tata laksana budaya istiadat sumba timur dewasa ini, maka tidak menutup kemungkinan seandainya penyerdehanaan tata cara adat itu dilakukan. hal seperti ini perlu dipertimbangkan mengingat aspek efisiensi dan efeksitas materi, dana dan waktu yang diperlukan untuk itu. Tidak dapat di pungkiri bagi sebagian orang,pelaksanaan adat istiadat khususnya adat istiadat Sumba timur tidak lebih merupakan sarana pemborosan materi, waktu dan tenaga.kemungkinan orang akan menilai bahwa upaya penyederhanaan adat itu adalah tindakan menimpang atau telah mencoba melakukan perlawanan terhadap warisan budaya leluhur. Adalah Bapak Marius Kuramoki, S.sos salah satu tokoh adat masyarakat sumba timur yang mencoba melemparkan dan menggagas penyederhanaan adat itu tampa merusak dan mengurangi nilai dari budaya yang sudah ada.menurutnya tradisi menyembelih hewan dalam jumlah yang besar harus dikurangi dan harus diatur oleh pemerintah dalam bentuk perda.namun, tampaknya gagasan itu belum membuahkan hasil kerena sosialisasi dan belum tanggapnya pemerintah sumba timur.( RAHI,) Diposting oleh ramboe aya indah di 02.29 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Beranda Langganan: Postingan (Atom)

Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas dua kabupaten, Sumba Barat dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengahtengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.

Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari. Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi serta religi suku sumba. Busana pria Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa mi cenderung lebih ditekankan pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada hirarki status sosial. Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak keseluruhannya sama. Menilik hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagianbagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam. Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau terkadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu. Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.

Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.

Busana Adat Wanita Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.

Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada. Iklan REPORT THIS AD

REPORT THIS AD

BERI PERINGKAT:

Rate This SHARE THIS:

aturday, June 20, 2015

PENGARUH ADAT PERKAWINAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SUMBA TIMUR

PENGARUH ADAT PERKAWINAN TERHADAP

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SUMBA TIMUR

OLEH:COPRIUS TARAWACU NIM :1113107

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI KRISTEN WIRA WACANA SUMBA

JL.R SUPRAPTO,WAINGAPU SUMBA TIMUR

BAB I

PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang merupakan jawaban atas tantangan hidup yang dihadapi suatu bangsa. Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya yang masing-masing mempunyai cirri tersendiri yang tak dapat dihilangkan dari keanekaragaman itu, terlihat bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang berbeda, tetapi sebagai bangsa yang berbhineka tunggal ika hendaklah kita menganggap perbedaan itu sebagai tolak ukur untuk saling mencegah membela persatuan dan kesatuan bangsa.

Kebudayaan daerah memang perlu untuk dipertahankan dan dilestarikan,namun disisi lain dengan semakin menipisnya sumber daya alam dan perubahan iklim yang terjadi mengakibatkan tingkat pendapatan masyarakat sumba timur semakin kecil pula,dengan demikian secara tidak langsung hal ini akan berakibat pada terhambatnya upaya untuk melestarikan budaya perkawinan di Sumba Timur.

Buday memang penting untuk dilestarikan,namun tidak harus membuat manusia itu sendiri jatuh dalam kemiskinan karena himpitan ekonomi. 1.2PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakng diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan karya tulis ini adalah: 

Tahap –tahap apa saja yang harus dilalui sebelum terjadi proses perkawinan adat Sumba?



Bagaimana cara – cara upacara perkawinan dalam suku Sumba Timur?



Apa fungsi dari belis yang menjadi sala satu syarat dari proses perkawinan adat Sumba?



Bagaimana dampak belis bagi kedua belah pihak?



Perlukah untuk menyederhanakan budaya belis di Sumba Timur?

1.3TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut: a) Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai adat perkwinan di Sumba Timur. b) Agar karya tulis ini bisa bermanfaat bagi orang lain yang ingin mengetahui adat perkawinan di Sumba Timur. c) Agar penulis benar-benar memahami manfaat dilestarikan adat perkawinan Sumba Timur. d) untuk memenuhi tugas dari dosen ISBD e) menunjukkan dampak belis terhadap kesejahteraan masyarakat Sumba Timur.

1.4.METODE PENULISAN

Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menggunakan dua metode yaitu: a) Metode wawancara yaitu mencari informasi secara langsung kepada nara sumber Bapak. Bula Anakonda (Tokoh Adat) yang mengetahui tentang tradisi perkawinan suku Sumba Timur. b) Metode Pustaka yaitu mengumpulkan informasi dan data-data dari beberapa buku atau literature lain yang masih berkaitan dengan pokok permasalahan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PERKAWINAN DALAM ADAT SUMBA Pola umum perkawinan suku Sumba adalah perkawina eksogami dimana seorang laki-laki atau wanita harus kawin di luar marganya (Kabihu), dan tidak boleh kawin dalam kabihunya sendiri. Jika perkawinan terjadi dalam kabihu itu sendiri maka dianggap suatu pelanggaran hukum yang akan membawa bencana bagi seluruh marga tersebut. Peristiwa yang demikian harus diserahkan kepada kabihu yang berwewenang sebagai “ Ina Tola Mata – Ama Wai Maringu” (Ibu daging mentah – Bapak air dingin), yang menanggung dosa dan member berkat. Suatu perkawinan dianggap telah selesai urusannya apabila kedua belah pihak “paumbana” ( yang beripar berbiras) sudah menemui tata cara perkawinan melalui tahap upacar adat. 2.2 TAHAP – TAHAP UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUMBA Dalam perkawinan adat sumba ada tahap – tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki –laki dan mempelai wanita sebelum menikah. Prosesi yang harus dilalui ole kedua calon mempelai antara lain sebagai berikut: o Pihak laki – laki mengajukan permohonan kepada keluarga wanita dengan membawa mamuli, lulu amahu dan kuda sebagai alat meminta gadisnya. o Pihak wanita mengajukan tawaran kepada pihak keluarga laki - laki dengan membawa sehelai kain ( kombu ). Hal tersebut bukti bahwa mereka mau memberikan anak gadisnya kepada pihak keluarga laki – laki . o Jika pihak keluarga wanita dan laki – laki menyetujui hal tersebut, maka kedua belah pihak akan

mendapatkan balasan atau imbalan” bagi pihak laki – laki diterima dengan kain dan babi oleh pihak wanita, sedangkan bagi pihak wanita diterima dengan kuda, mamuli dan lulu amah”. Selanjutnya akan dilaksanakan musyawarah antara kedua belah pihak ( pahamang ). o Penyelesaian adat kawin – mawin secara tuntas dan sederhan. Tuntas artinya mengadakan kegiatan adat secara besar – besaran sampai selesai”. Jadi pihak wanita mengajukan satu

persyaratan dengan kain dan babi yaitu menanyakan apakah dari hati nurani mau mengadakan hubungan kekeluargaan dengan kami?. dalam istilah sumbanya ( Koku Tumbu Tamang Neti Weli Ndalung ) dan meminta 5 ekor kuda, 2 ekor kerbau, 1 buah mamuli mas dan 1 utas kanatar. 2.3 CARA – CARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUMBA Adapun cara – cara adat perkawinan suku Sumba Timur yaitu; memperkenalkan diri ( Kandarakunu pinu), dalam hal ini tahap yang dilakukan pertama oleh keluarga laki – laki adalah menyuruh seorang juru bicara ( Wunang ) untuk bertemu dengan pihak keluarga wanita. dalam hal ini yang ditemui adalah paman sang gadis beserta seluruh keluarganya. Biasanya pembicaraan disampaikan dengan cara kekeluargaan dan bernada humor atau kalakar. Dalam pertemuan ini antara wunang dan keluarga sang gadis memperbincangkan anak gadis mereka yang akan di lamar oleh pihak keluarga laki – laki. Dalam perkenalan tersebut, juru bicara mengajukan pertanyaan “ Adakah dalam wilayah ini, kira – kira ada tebu ang bisa dipotong dan pisang yang bisa di tebang” dalam istilah adat Sumbanya “ Ningu Tibu Mawala Dangu Kalu Ma Ihi”. Juru bicara tadi melengkapi dengan membawa mamuli dan lulu amah sebagai lambing alat percakapan. Apabila wunang (juru bicara) tersebut dijamu oleh paman atau keluarga sang gadis, itulah yang berperan dalam forum keluarga wanita dan biasanya disiapkan hari dan bulan yang cocok antara kedua belah pihak untuk acara selanjutnya. 2.4 BENTUK BELIS

Belis terdiri dari barang – barang yang bersifat benda mati dan hidup yang digunakan sebagai sarana atau alat didalam adat perkawinan masyarakat suku Sumba Timur. Dalam melaksanakan adat perkawinan ini dikenal 2 bentuk belis yaitu: a) Belis benda hidup ( Banda Loru ) berupa: 

Kerbau ( Karambua )

 Kuda ( Njara ) b) Belis benda mati ( Banda Matu ) berupa:



Lulu Amahu ( Emas, perak dan perunggu )



Mamulu ( Emas , perak dan perunggu )

 

Kanatar ( Emas dan perak ) Kain ( Sarung Tenun )

 Anahida ( Muti Salak ) Fungsi Belis adat adalah sebagai berikut ; o Alat pengikat untuk mempererat hubungan antara kedua keluarga besar atau hubungan kawi – mawin khususnya kedua pengantin. o Alat pengikat martabat ( citra suatu perkawinan ) o Sebagai bukti resmiya suatu perkawinan, dimana kedua pengantin yang sah secara adat suku Sumba. 2.5.DAMPAK BELIS

Tak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya belis dalam budaya sumba juga dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan ke dua belah pihak yaitu: o Pasangan yang baru menikah Bagi pasangan yang baru menikah akan sulit untuk membangun rumah tangganya dengan baik,karena faktor ekonomi,dimana kaum pria telah melakukan pembayaran belis sehingga secara materi pastinya kaum pria akan kesulitan,sementara itu bagi kaum wanita tidak diperkenankan untuk menggunakan atau menjual hasil belis karena ia sudah tidak memiliki hak untuk itu setelah dibelis oleh kaum pria,selain itu juga akan berpotensi terjadinya ketidakharmonisan dalam keluarga karena masalah belis yang telah dilakukan,dengan anggapan bahwa kaum wanita seutuhnya adalah hak milik dari kaum laki,maka disitu cenderung lebih berpotensi terjadinya konflik. o Keluarga kaum pria Biasanya setelah terjadi adat belis,maka kaum pria akan membawa kaum wanita kerumah orangtuanya,hal ini akan menambah beban ekonomi bagi orang tua kaum pria.bila kita membayangkan sebuah keluarga yang semua anaknya adalah laki-laki,maka keluarga tersebut akan sangat sulit untuk mempertahankan budaya yang satu ini. o Keluarga kaum wanita Keluarga kaum wanita adalah yang paling diuntungkan secara materi,dimana keluarga kaum wanita sebagai penerima hasil belis dan pada umumnya berupa hewan hidup.apabila diuangkan akan mencapai puluhan juta rupiah. 2.6.MENYEDERHANAKAN BUDAYA Banyak kalangan yang berpendapat bahwa budaya harus tetap dilestarikan,namun tidak sedikit pula yang mendambakan agar budaya belis bisa disederhanakan.tentu setiap kalangan memiliki alasan tersendiri,namun menurut penulis budaya belis memang perlu disederhanakan karena berbagai pertimbangan berikut: o Tidak adanya keadilan yang tercipta o Rentan terhadap masalah perekonomian dan dapat berdampak bagi keluarga itu sendiri o Budaya hanya disederhanakan bukan dihapus Itulah hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menyederhanakan budaya.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menarik suatu kesimpulan sebagai berikut : o Dalam perkawinan adat sumba ada tahap –tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki – laki dan mempelai wanita sebelum menikah dan adat tersebut wajib untuk dilaksanakan dalam setiap adat perkawinan.

o Cara – cara adat perkwinan suku Sumab Timur yaitu; memperkenalkan diri ( Kandarakunu pindu ) yaitu pihak laki – laki menyuruh seorang jubir ( wunang ) untuk menghadap paman keluarga wanita. o Dalam melaksanakan adat perkawinan tersebut dikenal dua bentuk belis yaitu belis benda hidup ( Banda Loru ) dan belis benda mati ( Banda Matu ).

o Fungsi belis adalah sebagai alat pengikat untuk mempererat hubungan antara kedua keluarga besar atau kawin – mawin khususnya kedua pengantin dan tanda resminya ikatan perkawinan adat suku Sumba.

Secara ekonomi kaum pria cenderung dirugikan,dan begitupun sebaliknya bagi kaum wanita. Bagi kelurga yang memiliki anak perempuan lebih banyak maka cenderung akan lebih untung dibandingkan keluarga yang memiliki anak laki-laki. 3.2 SARAN Perlu kita ketahui bahwa adat perkawinan suku Sumba sangat mempberatkan pihak laki – laki yang kurang mampu. Penulis mengharapkan kebijaksanaan untuk dapat meringankan beban tersebut tanpa menhilangkan budaya / tradisi yang suda ada sejak jaman nenek oyang. Harapan penulis kepada generasi muda di Sumba Timur agar selalu menjaga dan ikut serta melestarikan tradisi dan budaya serta adat istiadat yang sudah ada di Sumba Timur.dan kepad pemerintah daerah agar membuat kebijakan yang dapat menciptakan keadilan sosial sesuai amanat pancasila tanpa harus menghapus budaya yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA

o Hidayat Z.R.1976. Masyarakat Dan Kebudayaan Suku – Suku Bangsa di Nusa Tenggara Timur. Tarsiti : Bandung o Kapita Oe, H. 1976 . Masyarakat Sumba Dan Adat – Istiadat. Bpk Gunung Mulia: Jakarta o PuraWoha, U. 1976. Sejarah Pemerintahan di Sumba. Bpk Gunung Mulia: Jakarta

By C TW pada 12:56:00 AM

Reaksi:

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest Post a Comment

Newer PostOlder PostHome Subscribe to: Post Comments (Atom)

Blog Archive  ► 2016 (7)  o o o   o

▼ 2015 (12) ► December (7) ► October (1) ▼ June (2) MAKALAH PRUDUKSI KACANG BAWANG PENGARUH ADAT PERKAWINAN TERHADAP KESEJAHTERAAN M... ► January (2)

 ► 2014 (1)

Pages      

Home tugas kuliah surat-surat tips & trik musik Cerita Inspirasi

Google+ Followers REMEMBER setelah membaca jangan lupa untuk dibagikan "dengan berbagi kita akan mendapatkan lebih banyak"

Label      

Cerita inspirasi contoh kuliah LUCU MUSIK Tugas Kuliah

     

Cerita inspirasi contoh kuliah LUCU MUSIK Tugas Kuliah

Kategori Label

Arsip 

November (1)

     

January (2) June (2) October (1) December (7) June (4) December (3) Travel theme. Powered by Blogger.

Related Documents


More Documents from "medelina bees"