Bismillah.docx

  • Uploaded by: Novia Faizatiwahida
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bismillah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,291
  • Pages: 15
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT “COMPARTEMENT SYNDROME”

Dosen Pembimbing : Nur Hidayati, S. Kep., Ns., M.Kep Disusun Oleh : Kelompok 6 / VI B Keperawatan 1) Ana Mafrudhotul Ningdima

(1602012177)

2) Eva Wati

(1602012188)

3) Via Agustin Pratama

(1602012229)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN 2019

A. Pengertian Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah cedera pembedahan, di mana peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh peradangan) di dalam rongga tertutup (kompartemen fasia) di dalam tubuh mengganggu suplay darah atau lebih dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan intra – abdomen. Tanpa pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otot kematian (Muttaqin, 2011). Sindrom kompartemen adalah peningkatan tekanan dari suatu edema progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku dan secara anatomis mengganggu sirkulasi otot – otot dan saraf – saraf intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan intrakompartemen. Kondisi tersebut terjadi karena peningkatan tekanan di dalam ruang anatomi yang sempit, yang secara akut mengganggu sirkulasi, kemudian dapat mengganggu fungsi jaringan di dalam ruang tersebut (Irawan, 2014).

B. Anatomi Secara anatomi, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang brisi otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot – otot yang masing – masing dibungkus oleh epimisium. Berdasarkan letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa jenis, antara lain (Syivianti, 2010) : 1) Anggota gerak atas a. Lengan atas : 1. Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar dan nervus median. 2. Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus interosseous posterior. b. Lengan bawah : a) Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar dan nervus median. b) Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus interosseous posterior. c) Mobile wad, berisi otot ekstensor carpi radialis longus, otot ekstensor carpi radialis brevis, otot brachioradialis.

c. Wrist joint 1. Kompartemen I, berisi otot abduktor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis brevis 2. Kompartemen II, berisi otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi radialis longus 3. Kompartemen III, berisi otot ekstensor pollicis longus 4. Kompartemen IV, berisi otot ekstensor digitorum communis, otot ekstensor indicis 5. Kompartemen V, berisi otot ekstensor digiti minimi 6. Kompartemen VI, berisi otot ekstensor carpi ulnaris

2) Anggota gerak bawah a. Tungkai atas : terdapat tiga kompartemen yaitu anterior, medial dan posterior b. Tungkai bawah (regio cruris) 1. Kompartemen anterior, berisi otot tibialis anterior dan ekstensor ibu jari kaki, nervus peroneal profunda 2. Kompartemen lateral, berisi otot peroneus longus dan brevis, nervus peroneal superfisial

3. Kompartemen posterior superfisial, berisi otot gastrocnemius dan soleus, nervus sural 4. Kompartemen posterior profunda, berisi otot tibialis posterior dan flexor ibu jari kaki, nervus tibia

Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal). D. Etiologi Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons (2011), terdapat berbagai penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen yaitu antara lain : a. Penurunan volume kompartemen Kondisi ini disebabkan oleh penutupan defek fascia dan traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas b. Peningkatan tekanan eksternal 1) Balutan yang terlalu ketat 2) Berbaring di atas lengan 3) Gips c. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen 1) Pendarahan atau trauma vaskuler 2) Peningkatan permeabilitas kapiler 3) Penggunaan otot yang berlebihan 4) Luka bakar 5) Operasi 6) Gigitan ular 7) Obstruksi vena

E. Patofisiologi Patofisiologi dari sindrom kompartemen terdiri dari dua kemungkinan mekanisme, yaitu berkurangnya ukuran kompartemen dan atau bertambahnya isi kompartemen tersebut. Kedua mekanisme tersebut sering terjadi bersamaan sehingga menyulitkan untuk mencari mekanisme awal atau etiologi yang sebenarnya. Edema jaringan parah atau hematom yang berkembang dapat menyebabkan bertambahnya isi kompartemen sehingga memberi kontribusi pada mekanisme sindrom kompartemen. Fasia tidak dapat bertambah volumenya sehingga jika terjadi pembengkakan pada sebuah kompartemen akan meningkatkan tekanan dalam kompartemen tersebut. Ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di kapiler, pembuluh kapiler akan kolaps. Hal ini

akan menghambat aliran darah ke otot dan sel saraf. Berkurangnya suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot akan mengalami iskemia dan mulai mati dalam waktu beberapa jam. Iskemia jaringan akan menyebabkan edema jaringan. Edema jaringan di dalam

kompartemen

menyebabkan

tekanan

intrakompartemen

meningat

yang

mengganggu aliran balik vena dan limfati pada darah yang cedera. Jika tekanan trus mengingkat maa prfusi arteri dapat terganggu shingga menyebabkan iskemia jaringan yang lebih parah. Tekanan jaringan rata – rata normal adalah mendekati 0 mmHg pada keadaan tanpa kontraksi otot. Jika tekanan menjadi lebih dari 30 mmHg, pembuluh darah kecil akan tertekan yang menyebabkan menurunnya aliran nutrisi. Selain dengan mengukur tekanan intrakompartemen, dapat pula menghitung selisih tekanan darah diastolik dengan tekanan intrakompartemen. Jika hasilnya kurang dari 30 mmHg maka dianggap gawat darurat karena daerah tersebut sudah terjadi sindrom kompartemen (Irawan, 2014). Sindrom kompartemen dapat berupa akut maupun ronis. Sindrom ompartemen aut adalah suatu kgawatdauratan medis. Tanpa penatalaksanaan, hal ini dapat berakhir dengan kelumpuhan, hilangnya organ distal, bahkan kematian. Sedangkan pada sindrom kompartemen kronik bukanlah kegawatdaruratan medis. Sindrom kompartemen akut memerlukan waktu beberapa jam untuk terjadi. Saraf perifer dapat bertahan dalam kompartemen hingga 4 jam setelah isemia tanpa terjadi kerusakan permanen, tetapi bia ismia pada saraf permanen. Otot dapat bertahan sampai 6 jam setlah iskemia terjadi, sebeelum tidak dapat regenerasi lagi. Slanjutnya, otot – otot yang nekrosis akan digantian oleh jaringan fibrosa padat yang secara bertahap terbentuk dan meneghasilkan kontraktur kompartemental atau kontraktur iskemia Volkmann. Jika tekanan tidak segera dihilangkan dengan cepat, ini dapat menyebabkan kecacatan permanen atau kematian (Irawan, 2014).

Trauma

Edema atau

Peningkatan

Penurunan

hematom lokal

tekanan

tekanan

intrakompartemen

arteriol

Peningkatan

Peningkatan

Penurunan

tekanan kapiler

tekanan vena

perbedaan tekanan transmural arteriol

Penurunan tekanan

Arteriol tertutup /

perfusi

buntu

Peningkatan permeabilitas

Gangguan aliran

kapiler

pembuluh darah

Peningkatan

Penurunan perfusi

eksudasi

jaringan

Iskemia dan kematian sel Nekrosis otot dan saraf

MK : Risiko disfungsi neurovaskuler perifer

MK : perfusi perifer tidak efektif

F. Klasifikasi Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons (2011) klasifikasi sindrom kompartemen dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut : 1. Acute Compartement Syndrome Kondisi yang tejadi secara mendadak, khususnya setelah mengalami cedera atau patah tulang. Ini merupakan kondisi medis darurat dan perlu ditangani segera untuk menghindari cedera otot permanen. 2. Chronic Compartement Syndrome Kondisi yang terjadi dikarenakan olahraga, terutama olahraga yang melibatkan gerakan berulang seperti bersepeda atau berlari, dan dapat mereda dalam beberapa saat setelah olahraga dihentikan.

G. Manifestasi Klinis Pada sindrom kompartemen didapatkan 6P yaitu pain, parestesia, palor (pucat), paralisis, pulselessness, dan puffiness. Akan tetapi, ada yang menyebutkan sebagai 7P untuk poiilotermia (dingin) ditambahkan. Di antara itu semua, hanya dua yang pertamalah yang reliable untuk tahap awal dari sindrom komparrtemen, yaitu pain dan parestesia (Rinehart, 2011). Pain (nyeri) sering dilaporkan dan hampir slau ada. Biasanya digambarkan sebagai nyeri berat, dalam, terus – menerus, dan tidak terlokalisir, serta kadang digambarkan lebih parah dari cedera yang ada. Nyeri ini diperparah dengan meregangkan otot di daam kompatemen dan dapat tidak hilang dengan analgesik bahkan mofin. Penggunaan analgesia kuat yang tidak beralasan dapat menyebabkan masing pada iskemia kompartemen. Parestesia pada saraf kulit dari kompartmen yang terpengaruh adalah tanda tipikal yang lain (Irawan, 2014). Paralisis organ distal (lengan atau tungkai bawah) merupakan penemuan yang lambat. Pulselessness merupakan hilangnya pulsasi jarang terjadi pada pasien, karena

tekanan pada sindrom kompatemen jarang melebihi tekanan arteri. Puffiness ditandai oleh kulit yang tegang, bengkak dan mengkilat. Poikilotermia (dingin) pada organ daerah distal dari sindrom kompartemen yang teraba dingin (Irawan, 2014).

H. Pemeriksaan Diagnostik Menurut Greenberg (2007), pemeriksaan diagnostik yang perlu dilakukan pada sindrom kompartemen adalah sebagai berikut : a. Laboratorium 1) Comprehensive Metabolic Panel (CMP) Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada semua proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan energi. 2) Complete Blood Cell count (CBC) Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit (White Blood Cell / WBC), trombosit (platelet), eritrosit (Red Blood Cell / RBC), indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), laju endap darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), hitung jenis leukosit (Diff Count), Platelet Distribution Width (PDW), Red Cell Distribution Width (RDW). 3) Cardiac marker test (tes penanda jantung) 4) Urinalisis and urine drug screen 5) Pengukuran level serum laktat 6) Arterial Blood Gas (ABG), cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa

7) Toksikologi urin, dapat membantu menentukan penyebab tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya b. Imaging 1) Rontgen : pada ekstremitas yang terkena 2) Doppler : membantu untuk mengevaluasi aliran arteri 3) SpO2 (Pulse Oxymeter) : alat yang digunakan untuk mengukur kadar oksigen maupun kepekatan oksigen dalam darah tanpa memasukkan alat apapun ke dalam tubuh (non- invasive) 4) MRI / CT – Scan : pemeriksaan yang memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh. MRI dapat memberikan gambaran stuktur tubuh yang tidak bisa didapatkan pada tes lain, seperti rontgen, USG, atau CT scan. 5) Stryker : Pengukuran tekanan intrakompartemen dapat menggunakan monitor Stryker yang dihubungkan dengan jarum 18G atau jarum spinal 18G untuk mengukur kompatemen yang dalam. Posisi kompartemen yang akan diukur harus sejajar dengan jantung dan jarum ditusukkan tegak lurus ke kompartemen yang akan dinilai. Nilai pada monitor ≥ 30 mmHg merupakan sindrom kompartemen sehingga memerlukan penanganan segera.

I. Penatalaksanaan Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah

dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal seperti penentuan waktu masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan kompartemen secara umum meliputi (Syilvianti, 2010) : a) Terapi non bedah Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosis kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi : 1. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperbrat iskemia 2. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harrus di buka dan pembalut kontriksi dilepas 3. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindrom kompartemen 4. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah 5. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, denagn memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas. 6. HBO (Hyperbaric Oxygen) Merupakan pilihan yang logis untuk kompartemen sindrom berkaitan dengan ischemia injury. HBO memiliki banyak manfaat antara lain dapat mengurangi pembengkakan melalui vasokonstriksi oleh oksigen dan mendukung penyembuhan jaringan. Mekanismenya ialah ketika tekanan perfusi rendah, oksigen dapat diterima sehingga dapat terjadi penyembuhan jaringan. b) Terapi bedah Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai >30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya <30 mmHg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam – jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal

membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal (Syilvianti, 2010).

J. Diagnosis Keperawatan 1) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan atau vena 2) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan obstruksi vaskuler

K. Rencana Keperawatan 1) Diagnosa 1 : Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan atau vena NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan perifer pasien dapat kembali normal dengan kriteria hasil : 1. Kekuatan denyut nadi 2. Edema perifer 3. Kelemahan otot 4. Parestesia 5. SpO2 dan aliran arteri NIC 1. Inspeks kulit untuk adanya luka pada arteri (arterial ulcers) atau kerusakan jaringan 2. Monitor adanya parestesia dengan tepat 3. Monitor SpO2 dan aliran arteri 4. Monitor jumlah cairan yang masuk dan yang keluar 5. Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada ekstremitas 6. Lepaskan bebat 7. Lakukan elevasi pada bagian yang mengalami kompartemen 8. Lakukan pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler atau penilaian yang komprehensif pada sirkulasi perifer (misalnya, memeriksa denyut nadi perifer, edema, waktu pengisian kapiler, warna, dan suhu) 9. Instruksikan pasien mengenai faktor-faktor yang mengganggu sirkulasi darah (misalnya, merokok, pakaian ketat, terlalu lama di dalam suhu dingin, dan menyilangkan kaki) 10. Kolaborasi dalam pemberian analgesik dan kortikosteroid 11. Kolaborasi dalam pemberian tindakan terapi bedah yaitu fasiotomi

2) Diagnosa 2 : Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan obstruksi vaskuler NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan sirkulasi pasien kembali normal dengan kriteria hasil : 1. Kekuatan denyut nadi 2. Tekanan vena sentral 3. Perbedaan anteriol venous oksigen 4. Tekanan perifer NIC 1. Monitor tingkat kesadaran 2. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan respirasi 3. Monitor parestesia : mati rasa dan kesemutan 4. Monitor tromboplebitis dan tromboemboli pada vena 5. Monitor respon terhadap obat 6. Instruksikan pasien dan keluarga untuk memeriksa adanya kerusakan kulit setiap harinya 7. Instruksikan pasien untuk selalu mengamati posisi tubuh jika propiosepsi terganggu 8. Diskusikan atau identifikasi penyebab sensasi abnormal atau perubahan sensasi yang terjadi

DAFTAR PUSTAKA Bulechek, G. M. (2016). Nursing Intervensions Classification (NIC) . Singapore : Elsevier . Greenberg, M. I. (2007 ). Text - Atlas Kedokteran Kedaruratan . Jakarta : Erlangga . Irawan, H. (2014, Maret ). Sindrom Kompartemen . hal. 250-255. Moorhead, S. (2016 ). Nursing Outcomes Classification (NOC) . Singapore : Elsevier . Muattaqin, A. (2011). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan . Jakarta: Salemba Medika . Orthopaedic, A. A. (2011). Compartement Syndrome . Dipetik Februari 28 , 2019 Paula, R. (2009). Compartment Syndrome in Emergency Medicine. Dipetik Februari 28, 2019 PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Nasional Indonesia. Rinehart, W. (2011). National Council Licensure Examination for Registerd Nurses. United States on America : Library of Congress Cataloging . Sylvianti. (2010 ). Sindrom Kompartemen . Dipetik Februari 28, 2019

More Documents from "Novia Faizatiwahida"