BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar, baik pengaruh fisik maupun kimia. Kulit merupakan sawar fisiologik yang penting karena ia mampu manahan penembusan bahan gas, cair maupun padat baik yang berasal dari lingkungan luar tubuh maupun dari komponen organisme. Meskipun kulit relatif permeable terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan-keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa obat atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik, baik yang bersifat setempat maupun sistemik (Yusriadi, 2014). Kulit memiliki fungsi sebagai ; perlindungan awal dari tubuh dengan lingkungan luar tubuh, melindungi jaringan yang lebih dalam dari kerusakan fisik, kimia, dan mencegah masuknya mikroorganisme, melindungi tubuh dari kehilangan cairan tubuh dengan mencegah, penguapan air yang berlebihan, bertindak sebagai pengatur panas, tempat penyimpanan pro vitamin d dan pembentukan vitamin D, merupakan salah satu organ ekskresi, yaitu melalui keringat, sebagai organ pengindra, sebagai tempat pembentukan kolagen. Kulit, organ terbesar dalam tubuh manusia, terdiri dari dua lapisan: epidermis dan dermis. Di bawah dermis terletak subkutan, yang sebagian besar terdiri dari sel lemak. Epidermis membentuk lapisan luar. Di dasar lapisan ini, sel-sel terus menerus terbagi, membentuk sel-sel baru. Dermis membentuk lapisan di bawah epidermis dan lebih tebal dari epidermis. Dermis terutama terdiri dari serat kolagen dan elastin. Hal ini juga berisi pembuluh darah, saraf, organ-organ sensorik, kelenjar sebaceous, kelenjar keringat, dan folikel rambut. Subkutan, lapisan ini terletak di bawah dermis dan terdiri dari sel-sel lemak (Shai, A., dkk., 2009). Pada molekul yang dapat diserap, derajat penembusan dapat diubah dengan menggunakan bahan pembawa yang sesuai, dengan komposisi yang dapat mendorong pelepasan zat aktif sedemikian agar dapat mencapai jaringan tempat ia menunjukkan aksi teraupetiknya (Yusriadi, 2014). Dalam makalah ini akan dibahas mengenai anatomi fisiologi kulit ; pembuluh darah yang melewati tiap lapisan kulit ; komponen dan karakteristik tiap lapisan kulit ; faktor yang mempengaruhi liberasi, disolusi, serta absorbsi obat ; evaluasi biofarmasetika sediaan ; dan kondisi yang memungkinkan dan tidak memungkinkan untuk digunakan sediaan topikal.
1.2
Tujuan 1. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi kulit 2. Mengetahui dan memahami pembuluh darah yang melewati tiap lapisan kulit 3. Mengetahui dan memahami komponen dan karakteristik tiap lapisan kulit 4. Mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi liberasi, disolusi, serta absorbsi obat 5. Mengetahui dan memahami evaluasi biofarmasetika sediaan 6. Mengetahui dan memahami kondisi yang memungkinkan dan tidak memungkinkan untuk digunakan sediaan topikal
B A B II PEMBAHASAN
2.1
Anatomi Dan Fisiologi Kulit Menurut Anonim, (2011), anatomi dan fisiologi kulit adalah sebagai berikut : 2.1.1 Struktur Kulit
1. Kulit ari (epidermis), sebagai lapisan yang paling luar, 2. Kulit jangat (dermis, korium atau kutis), dan 3. Jaringan penyambung di bawah kulit (tela subkutanea, hipodermis atau subkutis)
Sumber : Shai, A., dkk., 2009 2.1.2 Fisiologi Kulit Menurut Anonim, (2011), fisiologi kulit berdasarkan anatominya, terbagi atas 3 lapisan yaitu : a)
Kulit Ari (epidermis)
Epidermis melekat erat pada dermis karena secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan dan cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam epidermis. Lapisan tanduk (stratum corneum), Proses pembaruan lapisan tanduk, terus berlangsung sepanjang hidup, menjadikan kulit ari memiliki self repairing capacity atau kemampuan memperbaiki diri. Lapisan bening (stratum lucidum) Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih yang kecil kecil, tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati sinar (tembuscahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan bening. Lapisan berbutir (stratum granulosum) tersusun oleh sel-sel keratinosit berbentuk kumparan yang mengandung butirbutir dalam protoplasmanya, berbutir kasa dan berinti mengkerut. Lapisan ini paling jelas pada kulit telapak tangan dan kaki. Lapisan bertaju (stratum spinosum) Di antara sel-sel taju terdapat celah antar sel halus yang berguna untuk peredaran cairan jaringan ekstraseluler dan pengantaran butir-butir melanin. Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale) Di dalam lapisan ini sel-sel epidermis bertambah banyak melalui mitosis dan sel-sel tadi bergeser ke lapisan-lapisan lebih atas, akhirnya menjadi sel tanduk. Di dalam lapisan benih terdapat pula sel-sel bening (clear cells, melanoblas atau melanosit) pembuat pigmen melanin kulit. b) Kulit Jangat (dermis) Keberadaan ujung-ujung saraf perasa dalam kulit jangat, memungkinkan membedakan berbagai rangsangan dari luar. Masing-masing saraf perasa memiliki fungsi tertentu, seperti saraf dengan fungsi mendeteksi rasa sakit, sentuhan, tekanan, panas, dan dingin. Kelenjar keringat Kelenjar keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas, latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Kelenjar palit
pada kulit kepala, kelenjar palit menghasilkan minyak untuk melumasi rambut dan kulit Kepala. c)
Jaringan penyambung (jaringan ikat) bawah kulit (hipodermis) Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organorgan tubuh bagian dalam, membentuk kontur tubuh dan sebagai cadangan makanan.
2.2
Pembuluh Darah Yang Melewati Tiap Lapisan Kulit Menurut Elizabeth J., Corwin, (1975), pembuluh darah yang berada di tiap lapisan kulit : a) Epidermis Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah. b) Dermis Diseluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringat dan palit (sebasea). Pembuluh darah didermis menyuplai makanan dan oksigen dermis dan epidermis, dan membuang produk sisa. Pembuluh darah di dermis. Fungsi utama darah adalah untuk mengangkut nutrisi dan oksigen ke setiap organ dalam tubuh, termasuk kulit, dan untuk menghilangkan produk-produk limbah dan karbon dioksida yang dihasilkan dalam berbagai sel tubuh. Perhatikan bahwa tidak ada pembuluh darah di epidermis. epidermis menerima nutrisi dan oksigen langsung dari dermis, yang kaya dengan pembuluh darah (Avi Shai, 2009). Dalam dermis, pembuluh darah (kelanjutan dari pembuluh darah yang lebih besar lebih dalam tubuh) cabang yang kecil dan pembuluh darah yang lebih kecil yang menutupi seluruh area kulit. Pelebaran dan penyempitan (dilatasi dan penyempitan) pembuluh darah terjadi sebagai respon terhadap perubahan suhu, untuk membentuk suatu mekanisme penting untuk mengendalikan suhu tubuh. Dilatasi hasil pembuluh darah dalam kulit menjadi merah jambu, atau bahkan merah seperti merona atau ketika suhu naik (Avi Shai, 2009).
2.3
Komponen dan Karakteristik Tiap Lapisan Kulit Menurut Anonim, (2011), komponen dan karakteristik tiap lapisan kulit adalah sebagai berikut : a) Epidermis Epidermis melekat erat pada dermis karena secara fungsional epidermis memperoleh zatzat makanan dan cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam epidermis. Pada epidermis dibedakan atas lima lapisan kulit, yaitu : Lapisan tanduk (stratum corneum), Lapisan tanduk sebagian besar terdiri atas keratin yaitu sejenis protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia, dikenal dengan lapisan horny. Lapisan horny, terdiri dari milyaran sel pipih yang mudah terlepas dan digantikan sel baru setiap 4 minggu, karena usia setiap sel biasanya 28 hari. Pada saat terlepas, kondisi kulit terasa sedikit kasar. Proses pembaruan lapisan tanduk, terus berlangsung
sepanjang hidup, menjadikan kulit ari memiliki self
repairing capacity atau kemampuan memperbaiki diri. Dengan bertambahnya usia, proses keratinisasi berjalan lebih lambat. Ketika usia mencapai sekitar 60-tahunan, proses keratinisasi membutuhkan waktu sekitar 45-50 hari, akibatnya lapisan tanduk yang sudah menjadi kasar, lebih kering, lebih tebal, timbul bercak putih karena melanosit lambat bekerjanya dan penyebaran melanin tidak lagi merata serta tidak lagi cepat digantikan oleh lapisan tanduk baru. Daya elastisitas kulit pada lapisan ini sangat kecil, dan lapisan ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya penguapan air dari lapis-lapis kulit lebih dalam sehingga mampu memelihara tonus dan turgor kulit. Lapisan tanduk memiliki daya serap air yang cukup besar. Lapisan bening (stratum lucidum) Lapisan bening (stratum lucidum) disebut juga lapisan barrier, terletak tepat di bawah lapisan tanduk, dan dianggap sebagai penyambung lapisan tanduk dengan lapisan berbutir. Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih yang kecilkecil, tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati sinar (tembus cahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan bening. Lapisan berbutir (stratum granulosum) Lapisan berbutir (stratum granulosum) tersusun oleh sel-sel keratinosit berbentuk kumparan yang mengandung butir-butir dalam protoplasmanya, berbutir
kasa dan berinti mengkerut. Lapisan ini paling jelas pada kulit telapak tangan dan kaki. Lapisan bertaju (stratum spinosum) Lapisan bertaju (stratum spinosum) disebut juga lapisan malphigi terdiri atas sel-sel yang saling berhubungan dengan perantaraan jembatan-jembatan protoplasma berbentuk kubus. Jika sel-sel lapisan saling berlepasan, maka seakan-akan selnya bertaju. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Selsel pada lapisan taju normal, tersusun menjadi beberapa baris. Bentuk sel berkisar antara bulat ke bersudut banyak (polygonal), dan makin ke arah permukaan kulit makin besar ukurannya. Di antara sel-sel taju terdapat celah antar sel halus yang berguna untuk peredaran cairan jaringan ekstraseluler dan pengantaran butir-butir melanin. Sel-sel di bagian lapis taju yang lebih dalam, banyak yang berada dalam salah satu tahap mitosis. Kesatuan-kesatuan lapisan taju mempunyai susunan kimiawi yang khas; inti-inti sel dalam bagian basal lapis taju mengandung kolesterol, asam amino dan glutation. Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale) Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale) merupakan lapisan terbawah epidermis, dibentuk oleh satu baris sel torak (silinder) dengan kedudukan tegak lurus terhadap permukaan dermis. Alas sel-sel torak ini bergerigi dan bersatu dengan lamina basalis di bawahnya. Lamina basalis yaitu struktur halus yang membatasi epidermis dengan dermis. Pengaruh lamina basalis cukup besar terhadap pengaturan metabolisme demoepidermal dan fungsi-fungsi vital kulit. Di dalam lapisan ini sel-sel epidermis bertambah banyak melalui mitosis dan sel-sel tadi bergeser ke lapisan-lapisan lebih atas, akhirnya menjadi sel tanduk. Di dalam lapisan benih terdapat pula sel-sel bening (clear cells, melanoblas atau melanosit) pembuat pigmen melanin kulit. b) Kulit Jangat (dermis) Kulit jangat atau dermis menjadi tempat ujung saraf perasa, tempat keberadaan kandung rambut, kelenjar keringat, kelenjar-kelenjar palit atau kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh darah dan getah bening, dan otot penegak rambut (muskulus arektor pili). Sel-sel umbi rambut yang berada di dasar kandung rambut, terus-menerus membelah dalam membentuk batang rambut. Kelenjar palit yang menempel di saluran kandung rambut, menghasilkan minyak yang mencapai permukaan kulit melalui muara kandung rambut. Kulit jangat sering disebut kulit sebenarnya dan 95 % kulit jangat membentuk ketebalan kulit. Ketebalan rata-rata kulit jangat diperkirakan antara 1-2 mm
dan yang paling tipis terdapat di kelopak mata serta yang paling tebal terdapat di telapak tangan dan telapak kaki. Susunan dasar kulit jangat dibentuk oleh serat-serat, matriks interfibrilar yang menyerupai selai dan sel-sel. Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat elastis yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk semula dan serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat kolagen ini disebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya adalah membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan kelenturan kulit. Berkurangnya protein akan menyebabkan kulit menjadi kurang elastis dan mudah mengendur hingga timbul kerutan. Faktor lain yang menyebabkan kulit berkerut yaitu faktor usia atau kekurangan gizi. Dari fungsi ini tampak bahwa kolagen mempunyai peran penting bagi kesehatan dan kecantikan kulit. Perlu diperhatikan bahwa luka yang terjadi di kulit jangat dapat menimbulkan cacat permanen, hal ini disebabkan kulit jangat tidak memiliki kemampuan memperbaiki diri sendiri seperti yang dimiliki kulit ari. Di dalam lapisan kulit jangat terdapat dua macam kelenjar yaitu kelenjar keringat dan kelenjar palit. Kelenjar keringat Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar) dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan kulit, membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat di permukaan telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas, latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Kelenjar palit Folikel rambut mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan rambut. Kelenjar palit membentuk sebum atau urap kulit. Terkecuali pada telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar palit terdapat di semua bagian tubuh terutama pada bagian muka. Pada umumnya, satu batang rambut hanya mempunyai satu kelenjar palit atau kelenjar sebasea yang bermuara pada saluran folikel rambut. Pada kulit kepala, kelenjar palit menghasilkan minyak untuk melumasi rambut dan kulit kepala. Pada kebotakan orang dewasa, ditemukan bahwa kelenjar palit atau kelenjar sebasea membesar sedangkan folikel rambut mengecil. Pada kulit badan termasuk pada bagian wajah, jika produksi minyak dari kelenjar palit atau kelenjar sebasea berlebihan, maka kulit akan lebih berminyak sehingga memudahkan timbulnya jerawat. c) Jaringan penyambung (jaringan ikat) bawah kulit (hipodermis)
Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah dan limfe, saraf-saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit. Cabang-cabang dari pembuluhpembuluh dan saraf-saraf menuju lapisan kulit jangat. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organorgan tubuh bagian dalam, membentuk kontur tubuh dan sebagai cadangan makanan. Ketebalan dan kedalaman jaringan lemak bervariasi sepanjang kontur tubuh, paling tebal di daerah pantat dan paling tipis terdapat di kelopak mata. Jika usia menjadi tua, kinerja liposit dalam jaringan ikat bawah kulit juga menurun. Bagian tubuh yang sebelumnya berisi banyak lemak, akan berkurang lemaknya dan akibatnya kulit akan mengendur serta makin kehilangan kontur.
2.4
Faktor Yang Mempengaruhi Liberasi, Disolusi, Serta Absorbsi Obat Menurut M.T Simanjuntak (2006), berbagai faktor yang mempengaruhi proses LDA obat pada pemberian secara perkutan a) Penyerapan (Absorbsi) Sampai saat ini secara keseluruhan dari proses penyerapan secara perkutan obat, belum diketahui. Kajian yang telah dilakukan hanya terbatas pada faktor-faktor yang dapat mengubah ketersediaan hayati zat aktif yang terdapat dalam sediaan yang dioleskan pada kulit, seperti : Lokalisasi Sawar (Barrier) Kulit mengandung sejumlah tumpukan lapisan spesifik yang dapat mencegah masuknya bahan-bahan kimia dan hal ini terutama disebabkan oleh adanya lapisan tipis lipida pada permukaan, lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi. Pada daerah ini, ditemukan juga suatu celah yang berhubungan langsung dengan kulit bagian dalam yang dibentuk oleh kelenjar sebasea yang membatasi bagian luar dan cairan ekstraselular, yang juga merupakan sawar tapi kurang efektif, yang terdiri dari sebum dan deretan sel-sel germinatif. Peranan lapisan lipids yang tipis dan tidak beraturan pada permukaan kulit (0,4 - 4 μ m) terhadap proses penyerapan (absorpsi) dapat diabaikan. Peniadaan dari lapisan tersebut oleh eter, alkohol atau sabun-sabun tertentu tidak akan mengubah secara nyata permeabilitas kulit (Tregear, R, T. thn 1966), keadaan yang sama juga terjadi setelah pengolesan pada permukaan kulit yang mempunyai sebum setebal 30 μm (Eligman, A, M. thn 1963).
Lapisan lipida dapat ditembus senyawa-senyawa lipofilik dengan cara difusi dan adanya kolesterol menyebabkan senyawa yang larut dalam air dapat teremulsi. Sawar (barrier) kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum), namun demikian pada cuplikan lapisan tanduk (stratum corneum) terpisah, juga mempunyai permeabilitas yang sangat rendah dan kepekaan yang sama seperti kulit utuh (Sprott W, E,. thn 1965 dan Scheuplein R, J,. dkk, thn 1669). Lapisan tanduk berperan melindungi kulit (TregearR, T, thn 1966; Blank I. H, dkk, thn1969). Deretan sel-sel pada lapisan tanduk saling berikatandengan kohesi yang sangat kuat dan merupakan pelindung kulit yang paling efisien. Sesudahpenghilangan lapisan tanduk (stratum corneum), impermeabilitas kulit dipengaruhi oleh regenerasi sel; dalam 2 (dua) atau 3(tiga) hari meskipun ketebalan lapisan tanduk (stratum corneum) yang terbentuk masih sangat tipis, namun lapisan tersebut telah mempunyaikapasitas perlindungan yang mendekati sempurna (Matoltsy A, G, dkk, thn 1962; Monash S,dkk, thn 1963). Dengan demikian epidermis mempunyai 2 (dua) jenis pelindung, yang pertama adalah pelindung sawar spesifik yang terletak pada lapisan tanduk (stratum corneum) yang salah satu elemennya berasal dari kulit dan bersifat impermeabel, dan pelindung yang kedua terletak di sub-junction dan kurang efektif, dibentuk oleh epidermis hidup yang permeabilitasnya dapat disamakan dengan membran biologis lainnya. Pada sebagian besar kasus, proses pergantian kulit diatur oleh lapisan tanduk (stratum corneum) yang impermeabel dan akan membentuk suatu pelindung terbatas. Jalur Penembusan (Absorbsi) Penembusan = penetrasi = absorbsi perkutan, terdiri dari pemindahan obat dari permukaan kulit ke stratum corneum, dibawah pengaruh gradien konsentrasi, dan berikutnya difusi obat melalui stratum corneum yang terletak dibawah epidermis, melewati dermis dan masuk kedalam mikro sirkulasi. Jumlah total daya difusi (Rkulit) untuk penembusan melalui kulit dijelaskan oleh Chen sbb : R = Rsc + Re + Rpd Dimana : R = Daya difusi sc = stratum corneum E = epidermis
pd = lapisan papilla dari dermis Kulit, karena sifat impermeabilitasnya maka hanya dapat dilalui oleh sejumlah senyawa kimia dalam jumlah yang sedikit. Penembusan molekul dari luar ke bagian dalam kulit secara nyata dapat terjadi, baik secara difusi melalui lapisan tanduk (stratum corneum) maupun secaradifusi melalui kelenjar sudoripori atau organ pilosebasea. Penahanan Dalam Struktur Permukaan Kulit dan Penyerapan Perkutan Surfaktan amonik dan kationik juga tertahan di lapisan tanduk atau rambut (Scott G. V, dkk, thn 1669), adanya muatan ion mempakan penyebab terjadinya pembentukan ikatan ionik dengan protein dari keratin (Idson B, J, thn 1967). Intensitas penahanan akan berbanding lurus dengan ukuran dan muatan kation atau anion. Akibat pengikatan ini maka umumnya surfaktan dengan konsentrasi tinggi akan merusak struktur lapisan tanduk (Scheuplein R, J, dkk, thn 1970), menyebabkan peningkatan kehilangan air dan terjadi suatu iritasi yang bermakna. Pada konsentrasi surfaktan yang rendah terjadi keadaan sebaliknya, ikatan sediaan kosmetika tertentu dengan lipida akan mempermudah penyerapan sediaan ini pada lapisan tanduk dan dengan demikian meningkatkan kerja pelembutan kulit (Idson B, J, thn 1967). Penahanan senyawa pada lapisan tanduk akan mengurangi resiko keracunan karena akan mencegah terjadinya penyerapan sistemik. Lapisan tanduk (stratum corneum) bukan merupakan satu satunya penyebab terjadinva fenomena penahanan senyawa pada kulit; dalam hal tertentu dermis berperanan sebagai depo. b) Faktor fisiologik yang mempengaruhi penyerapan perkutan Keadaan dan Umur Kulit Kulit utuh merupakan suatu sawar (barrier) difusi yang efektif dan efektivitasnya berkurang bila terjadi perubahan dan kerusakan pada sel-sel lapisan tanduk.Pada keadaan patologis yang ditunjukkan oleh perubahan sifat lapisan tanduk (stratum corneum); dermatosis dengan eksim, psoriasis, dermatosis seborheik, maka permiabilitas kulit akan meningkat. Scott, thn 1959, telah membukfkan bahwa kadar hidrokortison yang melintasi kulit akan berkurang bila lapisan tanduk berjamur dan akan meningkat, pada kulit dengan eritematosis. Hal yang sama juga telah dibuktikan bila kulit terbakar atau luka.Bila stratum corneum rusak sebagai akibat pengikisan oleh plester , maka kecepatan difusi air, hidrokortison dan sejumlah senyawa lain akan meningkat secara nyata Aliran Darah
Perubahan debit darah ke dalam kulit secara nyata akan mengubah kecepatan penembusan molekul. Pada sebahagian besar obat obatan, lapisan tanduk merupakan faktor penentu pada proses penyerapan dan debit darah selalu cukup untuk menyebabkan senyawa menyetarakan diri dalam perjalanannya. Namun, bila kulit luka atau bila dipakai cara iontoforesis untuk zat aktif, maka jumlah zat aktif yang menembus akan lebih banyak dan peranan debit darah merupakan faktor yang menentukan. Demikian pula bila kapasitas penyerapan oleh darah sedikit atau hiperemi yang disebabkan pemakaian senyawa ester nikotinat, maka akan terjadi peningkatan penembusan. Akhimya, penyempitan pembuluih darah sebagai akibat pemakaian setempat dari kortikosteroida akan mengurangi kapasitas alir dari darah, menyebabkan pembentukan suatu timbunan (efek depo) pada lapisan kulit dan akan mengganggu penyerapan senyawa yang bersangkutan. Tempat pengolesan Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama, akan berbeda dan tergantung pada susunan anatomi dari tempat pengolesan: kulit dada, punggung, tangan atau lengan. Perbedaan ketebalan terutama disebabkan oleh ketebalan lapisan tanduk (stratum corneum) yang berbeda pada setiap bagian tubuh, tebalnya bervariasi antara 9 pm untuk kulit kantung zakar sampai 600 pin untuk kulit telapak tangan dan telapak kaki. Kelembaban dan Temperatur Pada keadaan normal, kandungan air dalam lapisan tanduk rendah, yaitu 515%, namun dapat ditingkatkan sampai 50% dengan cara pengolesan pada permukaan kulit suatu bahan pembawa yang dapat menyumbat: vaselin, minyak atau suatu pembalut impermeabel. Peranan kelembaban terhadap penyerapan perkutan telah dibuktikan oleh Scheuplein R, J, dkk, thn 1971; stratum corneum yang lembab mempunyai afinitas yang sama terhadap senyawasenyawa yang larut dalam air atau dalam lipida. Sifat ini disebabkan oleh struktur histologi sel tanduk dan oleh benang-benang keratin yang dapat mengembang dalam air dan pada media lipida amorf yang meresap di sekitarnya. Kelembaban dapat mengembangkan lapisan tanduk dengan cara pengurangan bobot jenisnya atau tahanan difusi. Air mula-mula meresap di antara janngan jaringan, kemudian menembus ke dalam benang keratin, membentuk suatu anyaman rangkap yang stabil pada daerah polar yang kaya air dan daerah non polar yang kaya lipida. Menurut Howard C., Ansel (2008), faktor-faktor yang berperan dalam absorbsi perkutan dari obat adalah sifat dari obat itu sendiri, sifat dari pembawa, kondisi dari kulit
dan adanya uap air. Walaupun sukar untuk diambil kesimpulan umum, yang dapat diberlakukan pada kemungkinan yang dihasilkan oleh kombinasi obat, pembawa dan kondsi kulit, tapi konsensus temuan hasil penelitian mungkin dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus bersatu pada permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup.
2.
Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat yang diabsorbsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu, bertambah sebanding dengan bertambahnya kkonsentrasi obat dalam suatu pembawa.
3.
Semakin banyak obat diserap dengan cara absorbsi perkutan apabila bahan obat dipakai pada permukaan yang lebih luas.
4.
Bahan obat harus mempunyai suatu daya tarik fisiologi yang lebih besar pada kulit dari pada terhadap pembawa, supaya obat dapat meninggalkan pembawamenuju kulit.
5.
Beberapa derajat kelarutan bahan obat baik dalam minyak dan air dipandang penting untuk efektivitas absorbsi perkutan. Pentingnya kelarutan obat dalam air ditunjukan oleh adanya konsentrasi pada daerah absorbsi dan koefisien partisi sangat mempengaruhi jumlah yang dipindahkan melalui tempat absorbsi. Zat terlarut bobot molekul yang dibbawah 800 sampai 100 dengan kelarutan yang sesuai dalam minyak mineral dan air (>1mg/mL) dapat meresapkedalam kulit.
6.
Absorbsi obat nampaknya ditingkatkan dari pembawa yang dapat
dengan mudah
menyebar dipermukaan kulit, sesudah dicampur dengan cairan berlemak dan membawa obat untuk berhubungan dengan jaringan sel untuk absorbsi. 7.
Pembawa yang meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya cenderung baik
bagi absorbsi pelarut obat. Pembawa yang bersifat lemak bekerja sebagai
penghalang uap air sehingga keringat tidak dapat menembus kulit dan tertahan pada kulit sehingga umunya menahasilkan hidrasi dari kulit dibawah pembawa. 8.
Hidrasi dari kulit umunya fakta yang paling penting dalam absorbsi perkutan. Hidrasi sratum corneum tampaknya meningkatkan derajat lintasan dari semua obat yang mempenetrasi kulit. Peningkatan absorbsi mungkin disebabkan melunaknya jaringan dan akibat pengaruh “bunga karang” dengan penambahan ukuran pori-pori yang memungkinkan arus bahan lebih besar, besar dan kecildapat melaluinya.
9.
Hidrasi kulit bukan saja dipengaruhi oleh jenis pembawa (misalnya bersifat lemak) tetapi juga oleh ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya ketika pemakaian obat. Pada umunya pemakaian pembungkusyang tidak menutup seperti pembawa yang bercampur dengan air, akan mempengaruhi efek pelembab dari kulit melaluipenghalang penguapan
keringat dan oleh karena itu mempengaruhi absorbsi. Penutup yang menutup lebih efektif daripada anyaman jarang dari pembungkus yang tidak menutup. 10. Pada umunyan penggosokan atau pengolesan waktu pemakaian pada kulit akan meningkatkan jumlah obat yang diabsorbsi dan semakin lama mengoleskan dengan digosok-gosok, semakin banyak piula obat yang diabsorbsi. 11. Absorbsi perkutan nampaknya apabila obat dipakai pada kulit dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal. Jadi, tempat pemakaian mungkin bersangkut paut dengan derajat absorbsi, dengan absorbsi dari kulit yang ada penebalannya atau tempat yang tebal seperti telapak tangan dan kaki secara komparatif lebih lambat. Pada umumnya, semakin lama waktu pemakaian obat menempel pada kulit, semakin banyak kemungkinan absorbsi. Bagaimanapun juga perubahan dahidrasi kulit sewaktu pemakaian atau penjenuhan kulit oleh obat, akan menghambat tambahan absorbsi. 2.5
Evaluasi Biofarmasetika Sediaan Menurut Swastika A. Et. Mufrod., (2013) evaluasi sediaan (baik salep, krim, gel) yang diberikan melalui kulit pada umumnya sebagai berikut : 1. Pemeriksaan organoleptis Pengamatan meliputi perubahan warna, bau (ketengikan), konsistensi, dan terjadinya pemisahan fase. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 5 minggu. 2. Pemeriksaan homogenitas Pengamatan dilakukan secara visual dengan mengoleskan krim pada lempeng kaca, kemudian dilihat warnanya seragam atau tidak. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 5 minggu. 3. Uji viskositas Viskositas krim ditetapkan dengan viscotester VT-04E (Rion CO, Ltd), rotor no 1. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 5 minggu. 4. Uji daya sebar Setengah gram krim diletakkan di pusat antara 2 lempeng gelas, dimana lempeng sebelah atas ditimbang terlebih dahulu kemudian diletakkan diatas krim dan biarkan selama 1 menit. Di atasnya diberi beban 150 g, dibiarkan 1 menit dan diukur diameter sebarnya. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 5 minggu. 5. Uji waktu lekat
Gelas objek ditandai 4 x 2,5 cm kemudian sebanyak 0,25 g krim diletakkan di titik tengah uasan tersebut dan ditutup dengan gelas objek lain. Beri beban 1 kg selama 5 menit. Kedua gelas objek yang telah saling melekat 1 sama lain dipasang pada alat uji yang diberi beban 80 gram. Setelah itu dicatat waktu yang diperlukan hingga dilakukan tiap minggu selama 5 minggu. 6. Uji rasio pemisahan krim Krim dimasukkan ke dalam tabung reaksi berskala tertentu. Masing-masing disimpan pada suhu kamar selama 5 minggu penyimpanan. Amati volume pemisahan tiap 3 hari sekali dan dihitung volume pemisahannya dengan menggunakan rumus persamaan berikut : Hu
F = 𝐻𝑜
Keterangan : F = rasio volume pemisahan; Hu =tinggi emulsi yang memisah; Ho = tinggi emulsi mula-mula Bila tidak terjadi pemisahan selama penyimpanan pada suhu kamar, dapat dilakukan uji pemisahan fase dipercepat dengan metode sentrifugasi. Sebanyak 2 gram lotion dimasukkan kedalam tabung sentrifuga, sentrifugasi 3750 rpm selama 5 jam dengan interval waktu pengamatan setiap 1 jam. Amati pemisahan fase minyak dan fase air yang terjadi dalam setiap interval waktu pengamatan (Lachman dkk., 1986). 7. Pemeriksaan pH Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas pH merk universal. Pengamatan dilakukan setelah pembuatan krim yaitu pada minggu ke-0 dan minggu ke-5. 8. Evaluasi Tipe Krim a. Metode Pengenceran Krim yang jadi dimasukkan ke dalam vial, kemudian diencerkan emulsi dapat diencerkan maka tipe emulsi adalah
dengan air. Jika
tipe m/a.
b. Metode Dispersi Zat Warna Emulsi yang dibuat dimasukkan ke dalam vial, kemudian ditetesi de-ngan beberapa tetes larutan biru me-tilen. Jika warna biru segera terdispersi ke seluruh emulsi maka tipe emulsinya adalah tipe m/a. Menurut M.T Simanjuntak (2006), evaluasi ketersediaan hayati obat yang diberikan melalui kulit : a) Studi difusi in vitro Berdasarkan dari penilaian biofarmasetik obat-obatan yang diberikan melalui kulit, maka sesudah dilakukan uji kekentalan bentuk sediaan, ketercampuran,
pengawetan, selanjutnya dilakukan uji pelepasan zat aktif in vitro, dengan maksud agar dapat ditentukan bahan pembawa yang paling sesuai digunakan untuk dapat melepaskan zat aktif di tempat pengolesan. Ada beberapa metoda, yang dapat dilakukan di antaranya adalah -
Difusi sederhana dalam air atau difusi dalam gel
-
Dialysis melalui membran kolodion atau selofan
b) Studi penyerapan (absorbsi) Penyerapan perkutan dapat diteliti berdasarkan dua aspek utama yaitu penyerapan sistemik dan lokalisasi senyawa dalam strukiur kulit. Dengan cara in vitro dan in vivo dapat dipastikan lintasan penembusan dan tetapan permeabilitas, serta membandingkan efektivitas dari berbagai bahan pembawa. Absorbsi perkutan telah lama diteliti baik secara in vivo dengan mempergunakan senyawa radioaktif atau dengan tehnik in vitro mempergunakan sayatan kulit manusia. c) Pembuktian Mekanisme Absorpsi Perkutan Dari Sifat Fisiko Kimia Tehnik Umum untuk karakterisasi Membran Seluruh membran mahluk hidup adalah bersifat heterogenous dan disusun dalam fase makroskopis yang berbeda, dan menentukan difusi pasif molekul melalui total barrier pada membran sangat diperlukan, dan hal ini tergantung pada pengaturan dan rangkaian dari fase yang dialami selama proses transpor. Hukum difusi yang sebenamya adalah bahwa molekul mengikuti lintasan yang bersifat diffusional resistance yang paling sedikit. Lintasan yang bersifat diffusional resistance yang paling sedikit ini ditentukan dari sifat fisiko kimia alamiah fase membran atau dengan densisitas, viskositas dun, dimana terdapat protein dun makro molekul yang lain, keberadaan ikatan silang dun susunan dari bahan polimer dalam masing masing fase, seluruh hal diatas memberikan pengaruh terhadap kecepatan pergerakan difusi. Lintasan yang bersifat sedikit resisten. juga dipengaruhi oleh afinitas relatip dari fase terhadap bahan yang terpermiasi (permeant), terakhir akan berperanan untuk distribusi internal dari permeant melalui pengaturan sifat fisiko kimia dari komponen membran, dun oleh volume relatip dari fase. Resistensi dari setiap fase yang terdapat dalam membran dapat dikarakterisasikan dalam istilah khusus yang berhubungan dengan difusi dalam fase, terhadap seluruh variabel lengkap secara umum. Secara keseluruhan, membran mungkin dianggap sebagai sejenis penghambat (resistor) rangkaian antara 2 (dua) fase. Masing masing fase membran menentukan aliran difusi melalui channel dalam elemen bahagian sebelah dalam (interior) membran, yang menghasilkan masing masing resistensinya dan pengaturannya.
2.6
Kondisi Yang Memungkinkan Dan Tidak Memungkinkan Untuk Digunakan Sediaan Topikal a)
Kondisi yang memungkinkan Digunakan pada kulit sebagai pelindung atau untuk obat. Memungkinkan untuk pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas Sebagai pelembut atau pelicin untuk kulit. Digunakan untuk menghilangkan iritasi atau hanya untuk pijit. Digunakan untuk melemaskan otot-otot yang kaku
b) Kondisi yang tidak memungkinkan Tidak digunakan untuk luka yang terbuka Tidak dapat digunakan pada kulit yang pecah atau lecet sebab mungkin menimbulkan iritasi yang berlebihan
B A B III KESIMPULAN
1. Anatomi dan fisiologi kulit adalah : a) Kulit ari (epidermis), sebagai lapisan yang paling luar, Epidermis melekat erat pada dermis karena secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan dan cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam epidermis b) Kulit jangat (dermis, korium atau kutis), Keberadaan ujung-ujung saraf perasa dalam kulit jangat, memungkinkan membedakan berbagai rangsangan dari luar. Masing-masing saraf perasa memiliki fungsi tertentu, seperti saraf dengan fungsi mendeteksi rasa sakit, sentuhan, tekanan, panas, dan dingin c) Jaringan penyambung di bawah kulit (tela subkutanea, hipodermis atau subkutis) Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organorgan tubuh bagian dalam, membentuk kontur tubuh dan sebagai cadangan makanan
2. Pembuluh darah di dermis. Fungsi utama darah adalah untuk mengangkut nutrisi dan oksigen ke setiap organ dalam
tubuh, termasuk kulit, dan untuk menghilangkan produk-produk
limbah dan karbon dioksida yang dihasilkan dalam berbagai sel tubuh. Perhatikan bahwa tidak ada pembuluh darah di epidermis. epidermis menerima nutrisi dan oksigen langsung dari dermis, yang kaya dengan pembuluh darah (Avi Shai, 2009). 3. Komponen dan karakteristik tiap lapisan kulit adalah sebagai berikut : a. Epidermis Pada epidermis dibedakan atas lima lapisan kulit, yaitu -
Lapisan tanduk (stratum corneum)
-
Lapisan bening (stratum lucidum)
-
Lapisan berbutir (stratum granulosum)
-
Lapisan bertaju (stratum spinosum)
-
Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale)
b. Kulit Jangat (dermis) Di dalam lapisan kulit jangat terdapat dua macam kelenjar yaitu kelenjar keringat dan kelenjar palit. c. Jaringan penyambung (jaringan ikat) bawah kulit (hipodermis)
Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah dan limfe, sarafsaraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit.
4. Faktor yang mempengaruhi proses LDA obat pada pemberian secara perkutan: a. Penyerapan absorbsi ; -
Lokalisasi Sawar (Barrier)
-
Jalur Penembusan (Absorbsi)
-
Penahanan Dalam Struktur Permukaan Kulit dan Penyerapan Perkutan
b. Faktor fisiologik yang mempengaruhi penyerapan perkutan -
Keadaan dan Umur Kulit
-
Aliran Darah
-
Tempat pengolesan
-
Kelembaban dan Temperatur
5. Evaluasi ketersediaan hayati obat yang diberikan melalui kulit : a. Studi difusi in vitro b. Studi penyerapan (absorbsi) c. Pembuktian Mekanisme Absorpsi Perkutan Dari Sifat Fisiko Kimia. 6. Kondisi Yang Memungkinkan Dan Tidak Memungkinkan Untuk Digunakan Sediaan Topikal a) Kondisi yang memungkinkan Digunakan pada kulit sebagai pelindung atau untuk obat. Memungkinkan untuk pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas Sebagai pelembut atau pelicin untuk kulit. Digunakan untuk menghilangkan iritasi atau hanya untuk pijit. Digunakan untuk melemaskan otot-otot yang kaku b) Kondisi yang tidak memungkinkan Tidak digunakan untuk luka yang terbuka Tidak dapat digunakan pada kulit yang pecah atau lecet sebab mungkin menimbulkan iritasi yang berlebihan
DAFTAR PUSKATA
Elizabeth J., Corwin, 1975, Handbook Of Phatophysiology, 3rd Ed, Lippincott Williams & Wilkins, USA. Howard C., Ansel 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI-Press, Jakarta. M.T Simanjuntak : Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit, 2005, [USU Repository©2006]. Shai, A., dkk., 2009, Handbook Of Skin Care, Second Edition, Replika Press Pvt Ltd, India. Swastika A. Et. Mufrod., 2013, Jurnal : Antioxidant Activity Of Cream Dosage Form Of Tomato Ekstrak (Solanum Lycopersicum L.), Universitas Gadjah Madah Muda, Yogyakarta Yusriadi, 2014, Materi Kuliah Biofarmasetika, Program Studi Farmasi FMIPA, Universitas Tadulako, Palu.