Betapa Ingin Saya Dicemburui Oleh Prie GS Sebagai suami, sangat ingin saya melihat istri cemburu. Tapi ternyata keinginan ini tidak mudah. Berbagai godaan telah saya coba, tapi hasilnya nihil belaka. Di tempat-tempat umum, saya secara terus terang sering menatap wanita-wanita yang lalu lalang. Jika ada yang cantik saya mengaguminya secara terbuka. Dan hebatnya, istri saya malah ikut berkomentar serupa. Tentu saya kecewa dan segera mengubah taktik. Dengan melihat wanita lain secara diam-diam, barangkali akan lebih membuat panas hatinya. Tapi hasilnya malah lebih gawat. Karena saya beraksi diam-diam, dia juga cuma diam, dan akhirnya memang tidak terjadi apa-apa. Bahkan untuk membaca tanda, apakah dia tahu apa yang saya lakukan pun sama sekali tak bisa. Sebagai lelaki, saya terancam rendah diri. Saya membayangkan dengan rasa iri, teman-teman lain, para suami yang sangat dicemaskan oleh istri-istri mereka. Apakah gerangan salah saya? Pekik saya dalam hati. Oo jangan-jangan karena istri saya pernah terprovokasi oleh gurauan teman karib saya, seorang yang sangat suka bercanda dan sudah sangat terbuka dengan keluarga kami. Di suatu kesempatan, kami, dua pasangan keluarga lengkap dengan anak-anak, berkencan untuk berlibur bersama. Di tengah keramaian, saya sempat tersesat dari rombongan dan istri saya bingung mencari-cari. Ketika ketemu, bukan rasa syukur yang ia gambarkan, tapi sikap geli. ''Kenapa?'' tanya saya penasaran. Ia menjawab, masih dengan tawa yang tertahan. Bahwa menurut sang karib tadi, istri saya tak perlu cemas pada saya, dan tak perlu khawatir saya akan digoda lain wanita, misalnya. ''Karena satu-satunya wanita yang menyukai dia cuma mbak saja,'' kata si karib yang jahat ini. Saya curiga istri sangat mempercayai hal ini. Buktinya, sejak itu ketenangannya makin menjadi-jadi. Apapun manuver yang saya siapkan untuk memanaskan hatinya, malah membuat saya kelelahan sendiri. Setelah benar-benar menyerah, saya jadi kalap. ''Kamu ini bisa cemburu apa tidak sih?'' bentak saya marah. Tapi jangankan kaget, istri saya malah tersenyum dan ganti bertanya. ''Apa kamu juga pernah cemburu kepadaku?'' Wah kaget juga mendapat serangan yang tak terduga ini. Tapi karena ini pertanyaan gampang, berondongan jawaban langsung saya lepaskan. ''Tentu saja tidak. Engkau istri yang baik. Setia. Terlalu baik, dan terlalu setia. Cemburu jelas tidak pernah terlintas di kepalaku,'' kata saya dengan keyakinan seorang suami yang sedang ada di puncak kesetiaannya. Tapi apa jawab istri? ''Jawabanku sama dengan jawabanmu!'' Jawaban ini membuat saya sulit menyembunyikan rasa marah dan putus asa. Jadi, kalau saya tidak pernah cemburu kepada dia, punya hak apa saya ini meminta dia mencemburui saya? Jika saya begitu percaya kepada dia, kenapa tidak boleh dia mempercaya saya sepenuhnya? Ooo, kunci dari masalah saya ini ternyata berasal dari sebuah jebakan mental berpikir yang sekarang sedang ramai disebut sebagai bias jender itu. Bahwa kebiasaan berpikir kita telah dibentuk oleh dua perspektif ekstrem: lelaki dan perempuan. Dan dengan segenap kepatuhan, otak saya telah tunduk oleh perangkap berpikir khas laki-laki yang telah diajarkan secara turun-temurun ini. Bahwa lelakilah yang layak dicemburui karena selalu lelaki yang rawan godaan. Pikiran laki-laki ini pula yang membuat saya jadi lupa mencemburui istri, karena di mata saya ia sudah pasti setia.
Padahal siapa menjamin bahwa istri saya pasti setia dan saya pasti tergoda? Sama sekali tidak ada. Bagaimana jika terbalik bahwa sayalah yang setia dan istri sayalah yang tergoda. Maka hari-hari ini, saya sedang belatih membayangkan seandainya istri saya jatuh cinta dengan lain lelaki. Ketika bayangan ini membesar, saya lalu jadi gelisah. Rasa cemburu saya bangkit dengan sendirinya dan baru saya menyadari: setelah saya pikir-pikir, istri saya itu toh memang terlalu cantik untuk ukuran saya. Jadi sebetulnya dia yang lebih rawan tergoda. Dan ketika saya cemburu, dia tampak bahagia. Sialan!