BERI SI MISKIN PANCING BUKAN MEMBERI IKAN oleh : Syamsi Sarman, S.Pd Dir.Eksekutif BAZ Tarakan Salah satu penyebab langgengnya kemiskinan di sekitar kita adalah karena salah urus zakat, infaq dan sedekah. Hal ini terlihat pada fenomena kian bertambahnya angka kemiskinan, tidak merasa malu menyandang predikat miskin, dan adanya pihak-pihak yang memperdagangkan kemiskinan sebagai komoditi bisnis dan bahan kampanye politik. Belakangan ini timbul polemik tentang fatwa MUI di daerah yang mengharamkan mengemis atau meminta-minta. Sementara itu, program penanggulangan kemiskinan Pemerintah jalan terus dengan berbagai subsidi di sektor pendidikan, kesehatan, bantuan usaha mikro, bantuan sosial dan biaya langsung tunai atau BLT. Padahal kalau kita simak dengan kasat mata saja yang antri BLT itu jauh lebih memadai kondisinya ketimbang yang mengemis di jalan-jalan itu. Pantaslah kalau kemudian berbagai pihak menilai hal ini sebagai kenyataan salah urus dan salah konsep dalam mengatasi kemiskinan. Kalau dikaitkan dengan identitas yang disandang orang-orang miskin itu adalah dari kalangan muslim, bukankah justru akan semakin menyudutkan peran ajaran agama Islam dalam mengentaskan kemiskinan. Padahal stateman dan konsep Islam dalam menanggulangi kemiskinan sangat jelas dan tersebar pada banyak ayat dalam Al Qur’an. Mesin pengolahnya adalah amilin yang mendapatkan bahan baku dari zakat, infaq dan sedakah (zis) para muzakki. Jika Al Qur’an surah At Taubah ayat 60 menyebutkan adanya kelompok amilin (pengurus zakat) itu artinya bahwa zakat harus dikelola secara serius dan profesional. Ada manajemen tertentu yang dijalankan amilin dalam memberdayakan zakat sehingga bisa berdaya guna dan berfungsi guna sebesar-besarnya bagi proyek pengentasan kemiskinan. Amilin berfungsi sebagai pelayan jasa yang menjembatani amal zakat para muzakki kepada para mustahiq dengan cara-cara yang efektif dan efisien dalam mengentaskan kemiskinan. Dengan demikian akan ada program-program yang terstruktur dan berkesinambungan, baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam menjalankan misi kemanusiaan mengangkat derajat manusia dari lembah kemiskinan. Akan berbeda jauh hasilnya jika zakat tidak dikelola memalui amilin. Yakni jika setiap muzakki menyalurkan sendiri-sendiri zakatnya kepada mustahiq menurut cara yang dikhendakinya. Terlebih dengan konsepsi penyaluran yang tradisional dan instan. Fakir miskin dimanjakan dengan pola bantuan tunai, sumbangan langsung sebagai ungkapan emosi sesaat. Padahal kita sadar, berapapun besarnya nilai bantuan dan sumbangan itu akan ludes hanya dalam tempo yang singkat. Dan sama sekali tidak akan berpengaruh pada status kemiskinannya. Hanya obat pereda rasa sakit sesaat. Tidak akan membuat si miskin mendapatkan lapangan kerja, tidak akan membuat si miskin bisa makan dalam waktu yang agak lama, menyekolahkan anaknya atau membawa anggota keluarganya berobat ke rumah sakit. Bahkan tidak bisa menyelesaikan utangnya yang sudah terlanjur menumpuk , untuk biaya sewa gubuk, atau biaya berobat ketika mendapat musibah, dll. Sayangnya, si orang kaya tadi merasa telah menunaikan kewajiban zakatnya kepada ratusan orang miskin pada saat buka puasa bersama dan membagikan santunan baju muslim, sarung dan 5 kg beras.
Andai terbuka mata hati dan pikiran kita untuk berbuat yang lebih realisitis dan inovatif. Menyingkirkan ego kebanggaan pribadi dan kelompok. Ratusan juta bahkan milyaran zakat itu ”dibelikan pancing” alias dibuatkan program pemberdayaan kaum dhuafa agar mereka bisa berusaha mengeluarkan dirinya dari kungkungan kesulitan ekonominya. Mereka diberi kesempatan mendapatkan peluang usaha, mendapatkan bekal keterampilan kerja, dipercaya mengelola modal usaha, dll. Dengan itu mereka mendapat penghasilan guna menghidupi keluarga, untuk makan, biaya sekolah dan kebutuhan berobat, memperbaiki gizi, dst.nya. Niscaya mereka tidak akan menyandang status permanen sebagai miskin tetap dan tetap miskin. Secara nyata akan ada gerak perubahan nasib yang terukur dari waktu ke waktu. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik kemiskinan yang ada di masyarakat kita, bukanlah fakir miskin permanen seperti orang cacat, orang sakit dan manula. Tetapi merupakan fakir miskin yang masih produktif dengan keterbatasan akses sosial. Sehingga dibutuhkan konsep pengentasan kemiskinan yang bisa menumbuhkembangkan produktifitas yang dimilikinya atau dengan bahasa kiasan, ”BERI SI MISKIN PANCING, BUKAN MEMBERI IKAN.”