Bantuan Hukum Advokat Fix

  • Uploaded by: Ikda Rj
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bantuan Hukum Advokat Fix as PDF for free.

More details

  • Words: 3,100
  • Pages: 15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberian bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin merupakan upaya implementasi dari negara hukum yang mengakui, menjamin, dan melindungi Hak Asasi Manusia. Bantuan hukum juga diberikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akses terhadap keadilan dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dalam pelaksanaan bantuan hukum, advokat sebagai orang yang memberi bantuan hukum tentu memiliki kewajiban dan peran yang sangat besar dalam hal ini. Subjek hukum dari suatu peristiwa tindak pidana berhak untuk memperoleh bantuan hukum. Profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile), karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial ekonomi, kaya miskin, keyakinan politik, gender, dan idiologi. Profesi advokat merupakan profesi yang terhormat karena adanya profesionalisme di dalamnya. Di samping itu, profesi advokat bukan semata-mata hanya mencari nafkah, namun di dalamnya terdapat adanya idealisme (seperti nilai keadilan dan kebenaran) dan moralitas yang sangat dijunjung tinggi

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah advokat? 2. Apa saja syarat menjadi advokat? 3. Apa saja hak dan kewajiban advokat? 4. Apa saja organisasi advokat di Indonesia?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui sejarah advokat 2. Untuk mengetahui syarat menjadi advokat

1

3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban advokat 4. Untuk mengetahui organisasi advokat

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Advokat Istilah advokat sudah ada sejak zaman Romawi. Dimana jabatan atau profesinya disebut dengan nama Officium Nobile (profesi yang mulia). Para advokat pada saat itu mengabdikan kepada masyarakat dan tidak hanya untuk dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk turut menegakkan hak asasi manusia, dan mereka menolong orang-orang yang

terjebak dengan hukum dan

melanggar aturan tanpa mengharap menerima

imbalan atau honorarium.

Orientasi mereka banyak mengenai bantuan hukum terhadap orang miskin. Pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum oleh Patronus hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendapat pengaruh dalam masyarakat.1 Kala di Indonesia dikenal dengan pemberian bantuan hukum secara cumacuma khususnya kepada masyarakat miskin dan buta hukum. Pada zaman ini pemberian bantuan hukum dari penguasa hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendatangkan pengaruh dalam masyarakat. Pertengahan zaman Romawi bantuan hukum mendapat motivasi baru sebagai akibat pengaruh agama Kristen.2 Dengan adanya advokat Gereja (kerkelijke advocaten) yaitu advokat yang tugasnya memberikan segala macam keberatan-keberatan dan atau nasehat-nasehat dalam suatu acara pernyataan suci bagi seorang yang telah meninggal.3 Momen ini memberikan motivasi kepada keinginan orang untuk berlomba-lomba memberikan sesuatu dalam bentuk membantu si miskin, dengan itu pula tumbuh nilai-nilai kemuliaan (nobility) dan kesatrian (chivalry) yang sangat diagungkan orang.4

1

Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), 1989, Hlm 12. Ibid hlm 12. 3 Ibid hlm 2. 4 Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, (Jakarta: Sinar Grafika), 2010, hlm 12. 2

3

Indonesia memiliki sejarah tentang advokat yang terbagi atas 3 (tiga) zaman, yaitu: 1. Zaman Hindia Belanda Pada zaman ini para pihak yang berperkara diwajibkan untuk mewakili kepada seorang prosureur yaitu seorang ahli hukum yang untuk itu mendapat perizinan dari pemerintah. Kewajiban ini tertuang dalam pasal 106 (1) Reglement of de Burgenlijke Rechtsvordering (B.Rv) bagi penggugat sedangkan untuk tergugat dalam pasal 109 (B.Rv).5 Zaman ini pula dikenal dengan adanya 2 (dua) sistem peradilan, yaitu: a. Hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa yang dipersamakan (Residentie gerecht, Raad van Justitie, dan Hoge Rechtshof). b. Hierarki peradilan untuk orang-orang pribumi atau masyarakat Indonesia asli yang dipersamakan (District Gerecht Regent Cheps Gerecht, dan Lanraad). Dalam prakteknya orang-orang Belanda lebih diutamakan dari pada orang-orang Indonesia. Advokat terbatas dalam memberikan

bantuan

hukum jika mereka bersedia, bersedia membela orang-orang yang dituduh diantara hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup.6 Keberadaan advokat ini sangat membatu dalam proses beracara di Pengadilan kepada klienya, karena pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sangat sulit untuk menjadi seorang advokat, diantaranya harus Doctor atau Mester Inde Rechten, dan sudah magang selama 3 (tiga) tahun, itu pun juga harus lulusan dari Universitas Negeri Belanda atau RHS di Jakarta, diangkat oleh Gubernur Jendral dan lulus ujian mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, dan Hukum Tata Negara.7 Advokat pada zaman Hindia Belanda ini sangat mahal sehingga hanya orang-orang yang memiliki status tinggi saja yang dapat mewakilkan perkaranya di Pengadilan, karena kebanyakan orang pribumi sangat miskin 5 A. Sukris Sarmadi, Litigasi dan non Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini, (Bandung:Mandar Maju), 2009, hlm 12. 6 Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, (Jakarta: Sinar Grafika), 2010, hlm 14. 7 A. Sukris Sarmadi, Hlm. 14.

4

karena selain merampas kekayaan di Indonsia mereka juga memaksa orang Indonesia untuk bekerja membangun infrastruktur bangunan maupun jalan agar mempermudah transportasi mereka, padahal untuk beracara di Pengadilan harus benar-benar orang yang tau tatacara serta memahami mengenai hukum, atau setidaknya ada nasehat-nasehat yang diberikan kepada orang yang terjebak dengan hukum karena melanggar peraturan yang ada. Dalam beracara masalah pidana jika terdakwa buta akan hukum dan tidak ada advokat yang membantunya untuk memberikan pertolongan maupun nasehat-nasehat yang baik tentang hukum, karena perkataan yang keluar dari terdakwa dapat menjadi bumerang bagi dirinya dan memperberat hukumannya, begitu halnya dengan beracara masalah perdata, seorang hakim sangat memerlukan penjelasan-penjelasan yang berguna dan berfaedah dalam hukum, agar suatu putusan yang dilakukan oleh hakim benar-benar tepat.8 Perlu adanya pengacara untuk menjelaskan semua itu, keberadaanya untuk meghindarkan segala hal yang tidak berfaedah dan tidak berguna, karena dalam beracara di Pegadilan butuh waktu, tenaga dan pikiran untuk dapat sampai pada putusan hakim. Legalisasi tentang advokat-prosureur ini dalam zaman Pemerintahan Hindia Belanda atau Rechterlijke Organisation (RO) yakni: S.1847 – 23 jo S.1848-57, dalam hal ini pada BAB VI tentang, Advokat dan Pengacara, diantaranya pasal 185. Para advokat sekaligus menjadi pengacara, sifat dan pemberi jasa dalam pekerjaan yang bersangkutan dengan jasa, ditetapkan dengan peraturan mengenai hukum acara perdata dan hukum acara pidana (R.v. 23, 28 dst.,S.v 101, 120, 180).21 “Menurut Adnan Buyung Nasution, bahwa advokat pertama bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Martokoesoemo yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada tahun 1923”.9

8

A. Sukris Sarmadi, Litigasi dan non Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini, (Bandung:Mandar Maju), 2009, hlm. 14. 9 Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, (Jakarta: Sinar Grafika), 2010, hlm 14.

5

2. Zaman Balatentara Jepang Zaman ini sangat berbeda dengan zaman Hindia Belanda, itu terlihat dengan adanya pemberian hak sama kepada pribumi maupun orangorang Belanda di muka Pengadilan dimana sebelumnya adanya perbedaan perlakuan di Pengadilan antara golongan Eropa dan golongan pribumi asli Indonesia, karena terjadi pelegalan dengan munculnya Undang-undang No.1 Tanggal 7 Maret 1942, untuk Jawa Madura yang dilakukan Balatentara Jepang yang bernama Dai Nippon. Selain hal tersebut di atas tepatnya pada bulan April 1942 terjadi sebuah pengaturan yang dilakukan oleh Balatentara Jepang yaitu mengenai susunan dan kekuasaan pengadilan. Adapun pengaturan tersebut mengenai Pengadilan tingkat satu atau pengadilan Negeri yang disebut Tihoo Hooin dan untuk perkara tingkat kedua disebut Koo Too Hooin. Mengenai asas kebebasan beracara bagi orang yang berperkara di Pengadilan tidak boleh sendiri dan jika yang bersangkutan sedang sakit dapat diwakili orang tua atau walinya.10 Inti dari asas tersebut yaitu tidak harus menggunakan jasa bantuan hukum dalam beracara di pengadilan dan dapat pula diwakilkan, jika terdakwa benar-benar sakit atau tidak bisa beracara di Pengadilan keberadaan ini berlanjut hingga tahun 1946, sehingga kekuasaan Jepang telah merata di Indonesia. 3. Zaman Republik Indonesia atau Zaman Kemerdekaan Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi pengacara Indonesia sebagaimana ditemukan pada masa penjajahan Belanda terus berlanjut akibat pilihan konstitusinya, yaitu pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : “Segala Badan Negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”11 Secara

10

Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, (Jakarta: Sinar Grafika), 2010, hlm 19. Nur Laila Musfa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy), 2004, Hlm 182. 11

6

otomatis produk hukum yang diberlakukan tetap masih berlaku selama produk

hukum

tersebut

belum

ada

yang

baru

atau

yang

menggantikannya. Sejarah panjang pengacara setelah Indonesia merdeka, pada masa demokrasi terpimpin, masa orde lama, orde baru sampai sekarang eksistensi pengacara dalam sistem hukum di Indonesia jelas dipengaruhi oleh idiologi kolonial yang memperkecil ruang gerak bagi perkembangan pengacara Indonesia. Kemudian secara nyata diakhir perkembangannya peran eksternal pengacara lebih banyak digantikan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum serta organisasiorganisasi non pemerintah yang bergerak dibidang hukum.12

B. Syarat Advokat Jauh sebelum berlakunya Undang-undang N0.18 Tahun 2003 tentang Advokat, sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengisyaratkan bahwa profesi advokat, penasehat hukum, pengacara, dan konsultan hukum atau istilah alin kuasa hukum, telah diatur secara khusus dan tegas dalam peraturan-peraturan yang setingkat dengan Undang-undang Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa “seorang penasehat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan Undang-undang untuk memberikan bantuna hukum”.13 Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat secara jelas mengemukakan syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai advokat. Hal itu dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) yang memberikan persyaratan umum bahwa “yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus advokat yang dilaksanakan organisasi”. Selanjutnya persyaratan umum yang diuraikan pasal 2 ayat (1) tersebut dijabarkan secara lebih rinci dalam pasal 3 ayat (1) Nur Laila Musfa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy), 2004, hlm 190. 13 Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Jakarta: Gema Press), cet III, 2003, hlm 40. 12

7

yang menyatakan bahwa “untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Warga negara Republik Indonesia; 2. Bertempat tinggal di Indonesia; 3. Tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri atau pejabat negara; 4. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; 5. Berijasah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1); 6. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat; 7. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat; 8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 9. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.14

C. Hak dan Kewajiban Advokat 1. Hak advokat a. Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam siding pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. b. Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. c. Advokat tidak dapat di tuntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam siding pengadilan.

14

Republik Indonesia, Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disertai dengan Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (Surabaya: CV. Karina Anfaka Perdana), cet I, 2003, hlm 56.

8

d. Dalam

menjalankan

profesinya,

advokat

berhak

memperoleh

informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.15

2. Kewajiban Advokat a. Advokat dapat menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan,ras, atau latar belakang sosial, dan budaya (pasal 18 ayat 1), b. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kaecuali ditentukan lain oleh undang-undang (pasal 19 ayat 1), c. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan mertabat profesinya (pasal 20 ayat 1), d. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokad atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya (pasal 20 ayat 2), e. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melakukan tugas profesi advokad selama memangku jabatan tersebut (pasal 20 ayat 3), f. Advokat wajib meberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (pasal 22 ayat 1), g. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokad dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokad (pasal 26 ayat 2). 16

15

Abdullah Tri Wahyudi, Advokat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003,

2010. 16

Supriadi, Etika & tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008, hlm 77.

9

D. Organisasi Advokat Bentuk dan paradigma organisasi advokat di Indonesia terus berubah, seiring dengan perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Secara historis perubahan itu dapat dikategorikan ke dalam 3 masa, yaitu : 1. Masa Hindia Belanda Pada masa pemerintahan kolonial Belanda kita belum mengenal bentuk organisasi advokat yang permanen seperti sekarang ini, meskipun dalam masa ini kita sudah mencatat adanya dua jenis peradilan yang dibentuk dan beroperasi di Indonesia, ialah: Raad van justitie dan Iandraad yang dibentuk berdasarkan staatsblaad 1847 no. 23 tentang Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Bleid der justitie in Indonesia (RO). Dimana dalam masa itu sudah ada profesi advokat, kendati dalam Iingkup dan komunitas yang sangat terbatas, yakni di kalangan orang-orang Belanda dan Asing Iainnya. Salah satu organisasi advokat yang ada pada kurun waktu itu adalah “Balie van Advocaten” yang didirikan oleh Mr. Sastro Mudjono, Mr. Iskak dan Mr. Soenarjo. 2. Masa Orde Baru Untuk pertama kali dan dianggap sebagai cikal bakal organisasi advokat di Indonesia baru muncul pada tahun 1963 atau delapan belas tahun setelah kemerdekaan

bangsa Indonesia

diproklamirkan.

Diawali

dengan

terbentuknya Persatuan Advokat Indonesia (PAl) pada tanggal 14 Maret 1963. Adapun Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) didirikan pada tanggal 30 Agustus 1964 di Solo. Dimana kemudian oleh pejabat Presiden, Bapak Jenderal Soeharto secara resmi PERADIN dakui sebagai satusatunya organisasi advokat Indonesia pada tahun 1966. Pernyataan Soeharto tentang satu-satu organisasi advokat dapat dianggap sebagai suatu pernyataan politik dalam rangka untuk Iebih memudahkan kontrol terhadap para advokat kala itu. Akan tetapi kontrol yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto itu hanyalah kamuflase, karena pada saat yang sama pemerintah juga mulai mendorong Iahirnya organisasiorganisasi advokat yang baru dalam rangka untuk memperlemah

10

PERADIN. Organisasi-organisasi tersebut antara lain: Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bina Bantuan Hukum (BBH), Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum (Pusbadi) dan lain-lain. Sejarah kembali berulang, atas prakarsa Ali Said, selaku Menteri Kehakiman saat itu berhasil dibentuk organisasi advokat Indonesia baru yang bernama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada tanggal 10 Oktober 1985. Dan organisasi baru ini juga dimaksudkan sebagai organisasi advokat satu-satunya bagi profesi advokat. Akan tetapi keinginan kekuasaan tersebut mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan, khususnya dari kalangan pengacara praktek yang tidak dapat diakomodir didalam organisasi IKADIN. Disisi lain dengan adanya perbedaan status antara advokat dan pengacara praktek, adanya perbedaan pandang dalam sistim transformasi kepemimpinan dan mekanisme dalam organisasi, campur tangan dan itervensi penguasa sampai dengan keinginan advokat untuk membuat adanya spesialisasi atau kekhususan dalam prakteknya pada aspek-aspek hukum tertentu, menjadi faktor akselerasi dan stimulasi Iahirnya organisasiorganisasi advokat yang baru, yang secara berturut-turut adalah: Ikatan Penasehat Hukum Indonesia berdiri pada tanggal 9 Mei 1987, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), berdiri 27 JuIi 1990, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) berdiri 28 Juni 1998, Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) berdiri 4 April 1989, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). 3. Masa Reformasi a. Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) Komite ini dibentuk untuk pertama kali tanggal 11 Februari 2002 oleh tujuh organisasi advokat, yaitu: 1) Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) 2) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) 3) Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) 4) Serikat Pengacara Indonesia (SPI)

11

5) Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) 6) Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) 7) Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)17

Dengan terbentuknya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), maka Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) yang ada sebelumnya telah meleburkan diri ke dalam KKAI, sehingga FKAI tidak ada lagi dan KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi advokat Indonesia. Paling tdak ada 2 (dua) tugas penting yang harus dilakukan oleh KKAI pada waktu itu, ialah ; a)

Mengambil alih pelaksanaan ujian advokat dari Mahkamah Agung; dan

b) Memperjuangkan Iahirnya undang-undanga advokat.

Setelah kedua tugas berat itu dapat dilaksanakan dengan baik, maka KKAI yang pertama ini dinyatakan dibubarkan dengan membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang baru, dimana KKAI yang baru ini terdiri dari 8 (delapan) organisasi advokat, yaitu: 1) Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) 2) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) 3) Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) 4) Serikat Pengacara Indonesia (SPI) 5) Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) 6) Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) 7) Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) 8) Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI)

17

www.advokad.web.id diakses pada tanggal 8 maret 2019 pukul 19.28.

12

Adapun

tugas-tugasnya

adalah

melaksanakan

kewenangan

organisasi advokat sebagaimana dimaksud oleh pasal 32, ayat (3) Undang-undang no. 18 tahun 2003, antara lain: melakukan verifikasi advokat Indonesia pasal 29 ayat (2), dalam halmana hasil verifikasi tersebut harus dibuat dalam bentuk salinan buku daftar anggota advokat. Buku daftar anggota advokat tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Tugas-tugas verifikaasi tersebut telah dimulai sejak Desember 2003.

b. Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Organisasi advokat ini untuk pertama kali didekiarasikan pada tanggal 21 Desember 2004 dan perkenalan (launching) PERADI & pengurusnya dilaksanakan pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta. Pada saat launching tanggal 7 April 2005 tersebut juga PERADI telah menyerahkan buku daftar anggota advokat Indonesia yang telah diverifikasi kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman dan HAM sebagai perwujudan pasal 29 ayat (2), (3) Undang-undang No. 18 tahun 2003. Berdasarkan Keputusan Perhimpunan Advokat Indonesia No. KEP. 03/PERADI/2005 telah membentuk dan mensahkan berdirinya Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI) sebagai pelaksana pendidikan khusus Profesi Advokat dan Pendidikan Lanjutan, continuing legal educatioan (CLE).18

18

https://m.hukumonline.com di akses pada tanggal 8 Maret 2019 pukul 19.28.

13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Indonesia memiliki sejarah tentang advokat yang terbagi atas 3 (tiga) zaman, yaitu: zaman Hindia Belanda, Zaman Balatentara Jepang, dan Zaman Kemerdekaan. 2. Syarat mmenjadi advokat telah di atur dalam Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat secara jelas mengemukakan syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai advokat. Hal itu dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) yang memberikan persyaratan umum bahwa “yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus advokat yang dilaksanakan organisasi”. 3. Hak dan kewajiban advokat di atur di dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003. 4. Bentuk dan paradigma organisasi advokat di Indonesia terus berubah, seiring dengan perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Secara historis perubahan itu dapat dikategorikan ke dalam 3 masa, yaitu : Masa Hindia Belanda, Masa Orde Baru, dan Masa Reformasi.

14

Daftar Pustaka Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, (Jakarta: Sinar Grafika), 2010. Musfa’ah, Nur Laila, dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy), 2004. Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (Jakarta: Gema Press), cet III, 2003. Republik Indonesia, Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disertai dengan Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (Surabaya: CV. Karina Anfaka Perdana), cet I, 2003. Sarmadi, A. Sukris, Litigasi dan non Litigasi Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini, (Bandung:Mandar Maju), 2009. Supriadi, Etika & tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008. Wahyudi, Abdullah Tri, Advokat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, 2010. Wlas, Lasdin, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), 1989. www.advokad.web.id diakses pada tanggal 8 maret 2019 pukul 19.28. https://m.hukumonline.com di akses pada tanggal 8 Maret 2019 pukul 19.28.

15

Related Documents


More Documents from "dwi"