Penerbit: Bank Indonesia Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta Indonesia
Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan∆.
KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk : Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.
Informasi dan Order : KSK ini terbit pada bulan Maret 2009 dan didasarkan pada data dan informasi per Desember 2008, kecuali dinyatakan lain. Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada : Bank Indonesia Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8075 Fax : (+62-21) 351 8629 Email :
[email protected]
Kajian Stabilitas Keuangan I - Maret 2007 2009 ) ( No. 12,
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar
vi
Gambaran Umum
3
Boks 2.3. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) 48 Boks 2.4. Structured Products dan Offshore Products : Dampaknya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil Kondisi Makroekonomi Kondisi Sektor Riil
9 9 12
Boks 1.1. Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia 2008
Stabilitas Sistem Keuangan
15
Mitigasi Risiko Perkembangan Sistem Pembayaran
17
Boks 1.3. Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit Korporasi pada 3 Sektor
Boks 2.5. Dampak Utang Luar Negeri terhadap
52
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan
Boks 1.2. Risiko Kredit Sektor Korporasi:
Credit Default Swaps (CDS)
50
Pengembangan Biro Informasi Kredit Jaring Pengaman Sistem Keuangan
18
55 55 59 63
Boks 3.1. Stabilitas Sistem Keuangan dan PERPPU tentang Perubahan Undang Undang Bank
Bab 2 Sektor Keuangan Struktur Sistem Keuangan Indonesia Indeks Stabilitas Keuangan Perbankan Pendanaan dan Risiko Likuiditas Perkembangan dan Risiko Kredit Risiko Pasar Profitabilitas dan Permodalan Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal Perusahaan Pembiayaan Pasar Modal
21 21 22 22 22 25 31 33 36 36 39 46
terhadap Sistem Keuangan
66
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
69 69 70 72
Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah Prospek Sistem Keuangan Indonesia Artikel Artikel 1 Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal
75
Artikel 2 Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate
Boks 2.2. Pengambilalihan Bank Century, Penutupan
Debt
Bank Indover dan Stabilitas Sistem Keuangan
65
Boks 3.2. Best Practices Analisis Dampak Sistemik
Indonesia
Boks 2.1. Kronologis Gejolak Sektor Keuangan 2008 dan Respon Kebijakan
Indonesia
85
47
iii
Daftar Tabel dan Grafik
Tabel 1.1
Indikator Ekonomi Dunia
2.1
Laba/Rugi Perbankan
2.2
Perkembangan Pembiayaan Perusahaan
Grafik 10 34
Pembiayaan
37
2.3
Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan
37
2.4
Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan
2.5
Pertumbuhan Indeks Bursa Regional
2.6
Pertumbuhan Indeks Sektoral
3.1
Perkembangan Data SID 2006-2008
3.2
Kerangka Kerja Jaring Pengaman Sistem Keuangan
1.1
Business Confidence Indicators
9
1.2
Indeks Harga Beberapa Komoditas
10
1.3
Pertumbuhan PDB Negara Industri
10
1.4
Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market
11
1.5
Indeks Harga Saham Global
11
39
1.6
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah IDR/USD
11
41
1.7
Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnam
12
41
1.8
Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura 12
1.9
Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non
60
Financial Go Public 1.10
64
Financial Go Public 1.11
4.1
Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi
69
4.2
Persepsi Risiko Indonesia
70
13
Perkembangan DER dan TL/TA Perusahaan Non 13
Probability of Default (PD) Perusahaan Non Financial Go Public
13
1.12
Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN 14
1.13
Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga
14
2.1
Komposisi Aset Lembaga Keuangan
21
2.2
Indeks Stabilitas Keuangan
Tabel Boks : 1.3.1 Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 Sektor
18
2.1.1 Kronologis Gejolak Sektor Keuangan Indonesia 2008 2.1.2 Respon Kebijakan
DN Januari s.d Desember 2008
iv
23
2.3
Perkembangan DPK
46
2.4
Perkembangan DPK Valas
23
2.5
Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar Rupiah
23
2.6
Ekses Likuiditas Bank
23
2.7
Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari)
24
49
2.8
Pertumbuhan Kredit (yoy)
25
52
2.9
Perkembangan Kredit 2007-2008
25
2.10
Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd)
26
2.11
Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd)
26
2.12
Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi
26
2.13
Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya
27
2.14
Perkembangan Kredit Properti
27
2.15
Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal
27
2.16
Pangsa Kredit Penggunaan
27
48
2.3.2 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Valas 2.5.1 Utang Luar Negeri Swasta Jatuh Tempo 2009
22
46
2.3.1 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Rupiah Januari s.d Desember 2008
(Financial Stability Index)
2.17
Perkembangan Kredit MKM
28
2.18
Non Performing Loans
28
2.19
Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun)
28
2.20
Rasio NPL Gross Kelompok Bank
29
2.21
Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi
29
2.56
Volatilitas (30 hari) beberapa Indeks Bursa Asia
2.22
Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan
29
2.57
Nilai Transaksi Saham Investor Domestik dan
2.23
Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi
29
2.24
Rasio NPL Gross Kredit Properti (%)
30
2.25
Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%)
2.26
Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%)
2.27
2.54
Penyerapan SUN Lembaga Keuangan Domestik dan Asing
2.55
40
Perkembangan IHSG & Indeks Global dan Regional (Diindekskan dengan Indeks 31 Desember 2005) 41 41
Asing
42
2.58
Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi
42
30
2.59
Perkembangan Harga Saham Beberapa Bank
42
30
2.60
P/E Ratio Saham Bank
42
Rasio NPL Gross Kredit MKM (%)
31
2.61
Perkembangan Harga Beberapa Seri FR
43
2.28
Suku Bunga Rp & Nilai Tukar
32
2.62
Yield SUN 1 s.d. 30 tahun
43
2.29
Profil Maturitas Rupiah
32
2.63
SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor
43
2.30
Profil Maturitas Valas
32
2.64
Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi
43
2.31
Posisi Devisa Netto
32
2.65
Nilai Aktiva Bersih Reksadana
44
2.32
Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan
33
2.66
Reksadana : Redemption-Subscription-NAB
44
2.33
Perkembangan SUN (Rp T)
33
2.67
Reksadana : NAB-Unit Penyertaan
44
2.34
Profitabilitas Bank-mtm 2008
34
2.68
Kinerja Penghimpunan Dana Reksadana
44
2.35
Pendapatan Bunga Bank
34
2.36
Perkembangan Rasio ROA per Kelompok Bank
34
3.1
Perkembangan Transaksi BI-RTGS
55
2.37
Perkembangan Rasio BOPO per Kelompok Bank 35
3.2
Perkembangan Transaksi SKN-BI
56
2.38
Modal, ATMR, dan CAR
3.3
Perkembangan Transaksi APMK
56
2.39
Integrated Stress Test terhadap CAR 15
3.4
Perkembangan Transaksi E-Money
56
36
3.5
Peran Biro Informasi Kredit
59
3.6
Kebijakan Strategis BIK
60
4.1
Profil Risiko Perbankan dan Arah ke Depan
71
Bank Besar
35
2.40
Interbank Stress Test
36
2.41
Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan
37
2.42
Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan
37
2.43
Komposisi Nominal Pembiayaan PP (Nov'08)
37
2.44
NPL Pembiayaan
38
Grafik Boks :
2.45
Perkembangan Nominal NPL
38
1.1.1
2.46
Arus Kas PP Swasta Nasional
38
2.47
Arus Kas PP Patungan
38
2.48
Exposure Perbankan
39
2.49
Perkembangan Penurunan NPL PP Subsidiary Bank
Komposisi Hutang Rumah Tangga (dalam % terhadap Total Hutang)
16
1.1.2
Tujuan Pinjaman Rumah Tangga
16
1.2.1
Perkembangan Harga CDS Indonesia
17
1.2.2
Perkembangan Spread CDS Indonesia
17
39
2.50
Perkembangan Kenaikan NPL PP subsidiary Bank 39
2.51
Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham
40
2.52
Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham
40
2.53
Kepemilikan SUN dan SBI Investor Asing
40
v
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami menyambut baik penerbitan Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No.12 Maret 2009 ini. Edisi ini kami pandang sangat penting karena akhir-akhir ini banyak sekali perkembangan yang terjadi yang perlu dikaji dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum ketahanan sektor keuangan Indonesia selama semester II tahun 2008 relatif cukup terjaga meskipun tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan meningkat tajam karena imbas krisis global. Salah satu indikator peningkatan tekanan tersebut adalah Financial Stability Index (FSI) yang melampaui batas maksimum indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Di pasar modal, peningkatan tekanan terlihat pada merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sementara di pasar SUN terjadi penurunan harga yang signifikan. Di perbankan, tekanan tersebut tercermin pada peningkatan risiko likuiditas terutama pada bulan Agustus-September 2008. Tekanan likuiditas itu muncul tidak saja karena imbas krisis global, namun juga karena tingginya pertumbuhan kredit yang lebih banyak dibiayai dengan secondary reserves dibandingkan dengan pembiayaan yang berasal dari kenaikan dana masyarakat. Pada saat yang sama, perbankan juga menghadapi peningkatan risiko nilai tukar karena menurunnya nilai mata uang Rupiah. Setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan, baik oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia, menjelang akhir 2008 tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan mulai berkurang meskipun belum sepenuhnya pulih. Salah satu bentuk permasalahan yang belum dapat diatasi secara sempurna adalah segmentasi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Meskipun tekanan terhadap sektor keuangan meningkat, namun kinerja perbankan sebagai industri yang paling dominan di sektor keuangan, relatif masih cukup baik. Pada akhir Desember 2008, rasio permodalan (CAR) perbankan tercatat masih tinggi (16,2%) dengan kualitas aktiva yang masih tetap terjaga sebagaimana tercermin pada rasio NPL yang relatif rendah, yaitu 3,8% (gross) dan 1,5% (netto). Namun demikian, ke depan perlu terus diwaspadai berbagai sumber instabilitas, termasuk potensi peningkatan risiko kredit dan kemungkinan berulangnya tekanan likuiditas. Masalah lainnya yang juga dapat menimbulkan tekanan adalah semakin lambatnya penyaluran kredit (credit crunch) oleh perbankan yang pada gilirannya dapat mengganggu kinerja sektor riil, baik pada level korporasi maupun pada level households. Terganggunya kinerja sektor riil berpotensi meningkatkan risiko kredit di perbankan.
vi
Semakin banyaknya tantangan di sektor keuangan perlu diantisipasi dengan selalu berupaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas surveillance guna mendukung deteksi dini. Dengan mengetahui lebih awal potensi risiko, langkah-langkah mitigasi risiko dapat direncanakan secara cermat sehingga kerugian dapat diminimalisir. Untuk itulah kami memandang penting penerbitan KSK ini karena dapat digunakan sebagai media yang efektif untuk mengkomunikasikan kepada para stakeholders hasil-hasil surveillance yang telah dilakukan. Semoga KSK berhasil mengemban misinya itu dengan baik dan informasi yang disediakannya bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Maret 2009 DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA
Muliaman D. Hadad
vii
viii
Gambaran Umum
Gambaran Umum
1
Gambaran Umum
Halaman ini sengaja dikosongkan
2
Gambaran Umum
Gambaran Umum Stabilitas sistem keuangan pada semester II 2008 masih tetap terjaga. Selama periode tersebut, terimbas oleh krisis global, tekanan terhadap sektor keuangan domestik menjadi semakin besar. Indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot tajam, sementara harga Surat Utang Negara (SUN) mengalami penurunan yang signifikan. Perbankan juga sempat mengalami tekanan likuiditas tidak saja karena pengaruh krisis likuiditas global, namun juga karena tingginya pertumbuhan kredit yang berlangsung s.d. Oktober 2008 yang sebagian besar dibiayai dengan secondary reserves. Selain itu, menurunnya nilai tukar Rupiah sejak awal Oktober 2008 juga meningkatkan risiko di sektor keuangan. Gejolak di sektor keuangan ini telah mengakibatkan Indeks Stabilitas Keuangan selama semester laporan meningkat tajam, bahkan melampaui batas maksimum indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, Pemerintah menerbitkan beberapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU), sementara Bank Indonesia mengeluarkan beberapa ketentuan baru, termasuk merubah Giro Wajib Minimum (GWM). Dampak positifnya adalah kondisi likuiditas industri perbankan semakin membaik dan nilai tukar Rupiah semakin berkurang volatilitasnya meskipun belum kembali pada level seperti sebelum Oktober 2008. Namun, menjelang akhir 2008 dan awal 2009 terdapat tanda-tanda bahwa pertumbuhan kredit perbankan menjadi semakin melambat. Apabila hal ini terus berlangsung dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perekonomian mengingat perbankan selama ini merupakan sumber pembiayaan yang paling utama. Ke depan, prospek stabilitas sistem keuangan diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan yang dihadapi semakin berat karena akan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi.
1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS
itu, sumber dana dari luar negeri selama ini merupakan
1.1. Krisis Keuangan Global
salah satu sumber dana yang penting, baik bagi
Krisis keuangan global merupakan sumber instabilitas
perusahaan perbankan maupun perusahaan non-
yang terutama. Hal ini karena perekonomian Indonesia
perbankan. Oleh karena itu, krisis keuangan yang dialami
semakin terintegrasi dengan perekonomian global. Selain
sejumlah negara sejak beberapa waktu terakhir ini
3
Gambaran Umum
berpotensi menular ke Indonesia. Tidak saja sektor
menunjukkan bahwa kinerja korporasi pada umumnya
keuangan domestik menjadi semakin rentan oleh gejolak
mengalami penurunan terutama dari segi profitabilitas dan
keuangan, perusahaan-perusahaan Indonesia menjadi
ketersediaan likuiditas. Selain itu, leverage juga cenderung
semakin sulit mendapatkan dana asing untuk membiayai
meningkat sejalan dengan penurunan modal karena
kegiatan usahanya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di
berkurangnya profitabilitas. Selanjutnya, meskipun hasil
sektor riil yang selama ini tergantung pada sumber
survei tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi sektor
pembiayaan dari luar negeri dapat terganggu kinerjanya
rumah tangga (household) masih relatif aman, namun
dan dapat menurunkan debt repayment capacity dari
ancaman pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada
perusahaan-perusahaan tersebut. Di perbankan, hal-hal
beberapa perusahaan sangat berpotensi mengganggu
ini dapat mendorong terjadinya peningkatan kredit
kinerja household ke depan. Sementara itu, kondisi
bermasalah (NPL), serta perlambatan pertumbuhan kredit
infrastruktur, dalam enam bulan terakhir juga tidak
dan pembiayaan lainnya dalam valas yang dibutuhkan
menunjukkan kemajuan yang berarti. Secara keseluruhan,
untuk mendukung kegiatan perekonomian.
kondisi sektor riil dan infratsruktur yang masih belum mendukung ini berpotensi menimbulkan tekanan terhadap
1.2. Kondisi Makroekonomi
stabilitas sistem keuangan, terutama dalam bentuk
Stabilitas makroekonomi merupakan prasyarat utama untuk tercapainya stabilitas sistem keuangan.
peningkatan NPL dan melambatnya penyaluran kredit perbankan.
Berbagai pihak memperkirakan bahwa kondisi makroekonomi domestik tahun 2009 tidak lebih baik
1.4. Inovasi Keuangan, Structured Products dan
dibandingkan dengan tahun 2008, terutama karena
Offshore Products
pengaruh perlambatan ekonomi global. Memburuknya
Dalam KSK edisi sebelumnya (No.11 September
kondisi makroekonomi berpotensi menekan stabilitas
2008) telah dikemukakan pentingnya perbankan
keuangan karena dapat mendorong peningkatan NPL.
memperhatikan aspek manajemen risiko dan perlindungan
Disamping itu, perbankan kemungkinan menjadi semakin
nasabah dalam melakukan inovasi terhadap produk-
selektif menyalurkan kredit. Untuk itu, perlu dilakukan
produk keuangan yang ditawarkan kepada nasabah,
langkah-langkah
mencegah
termasuk structured products. Dalam kenyataannya sejak
meningkatnya risiko perbankan karena memburuknya
beberapa waktu terakhir sejalan dengan pelemahan nilai
kondisi makroekonomi, termasuk dengan memperketat
tukar mata uang domestik, beberapa negara mengalami
monitoring dan mempercepat pelaksanaan restrukturisasi
kesulitan karena kerugian yang disebabkan oleh structured
kredit terhadap debitur-debitur yang terkena imbas krisis
products sehingga menimbulkan dispute antara bank
global.
dengan nasabahnya. Meskipun di Indonesia, potensi
antisipatif
untuk
kerugian yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan
1.3. Kondisi Sektor Riil dan Infrastruktur
4
negara-negara lainnya, hal ini perlu mendapat perhatian
Potensi instabilitas juga dapat berasal dari kondisi
karena dapat meningkatkan risiko kredit dan risiko nilai
sektor riil dan infrastruktur domestik yang masih belum
tukar di perbankan. Di samping itu, risiko reputasi dan
menggembirakan. Terimbas krisis global, hasil pemantauan
risiko hukum dari bank-bank yang terkait dengan
Gambaran Umum
structured products juga berpotensi meningkat, khususnya
tahun 2009 juga akan terlaksana dengan aman dan
jika dispute dengan nasabah tidak berhasil diselesaikan
terkendali. Keberhasilan melaksanakan Pemilu dengan
dengan baik.
damai dan demokratis akan mendorong meningkatnya
Selain itu, perbankan juga perlu pula meningkatkan kehati-hatian terkait dengan kegiatan keagenan offshore
investasi di dalam negeri, baik yang berasal dari investor lokal maupun investor international.
products. Hal tersebut antara lain karena penanaman yang berlebihan dalam produk tersebut dapat mendorong
2. MITIGASI RISIKO
terjadinya pelarian dana investor domestik ke luar negeri,
2.1. Memperkuat Manajemen Risiko dan Good
membuat bank lebih terekspose risiko reputasi dan risiko
Governance
hukum, serta meningkatkan potensi terjadinya dispute
Cara yang terbaik untuk menekan potensi instabilitas
dengan nasabah, terutama apabila transparansi dan
di sektor keuangan adalah memperkuat manajemen risiko
perlindungan konsumen masih belum diprioritaskan.
dan good governance di lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank. Manajemen risiko yang lebih baik
1.5. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
akan sangat membantu dalam pengambilan langkah-
Secara umum, tekanan likuiditas yang sempat dialami
langkah yang diperlukan untuk memitigasi risiko untuk
pada semester kedua 2008 dewasa ini telah teratasi dan
menghindarkan potensi kerugian. Sementara itu,
industri perbankan sudah semakin likuid. Namun demikian,
penerapan good governance akan membuat lembaga-
masih ada persoalan yang tersisa yaitu masih terdapatnya
lembaga keuangan semakin memperhatikan prinsip-
segmentasi PUAB dimana bank-bank besar cenderung
prinsip transparansi, akuntabilitas dan fairness yang
hanya bertransaksi dengan bank-bank besar pula,
memungkinkan berjalannya mekanisme disiplin pasar dan
sementara bank-bank kecil dan menengah relatif masih
perlindungan nasabah yang memadai. Dibandingkan
mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana antar
dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan
bank. Ke depan, segmentasi PUAB ini perlu segera diatasi
manajemen risiko dan good governance di perbankan
karena dapat menimbulkan tekanan pada stabilitas
sudah
perbankan, khususnya dari sisi likuiditas.
mengantisipasi dampak semakin memburuknya ekonomi
mengalami
kemajuan.
Namun,
untuk
global, diperlukan upaya yang lebih keras lagi untuk terus
1.6. Perkembangan Politik dan Keamanan Dalam
memperkuat manajemen risiko dan implementasi good
Negeri
governance di perbankan.
Pelaksanaan Pemilu 2009 dapat berdampak terhadap kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang apabila
2.2. Memperkuat Surveillance
tidak terkendali dapat mengganggu stabilitas keuangan.
Mitigasi risiko di sektor keuangan juga dapat
Namun, dengan mempertimbangkan bahwa rakyat selama
dilakukan dengan memperkuat surveillance. Untuk itu,
ini sudah semakin terbiasa dengan pesta demokrasi seperti
telah dikembangkan berbagai tools dan methodologies
halnya Pemilihan Gubernur dan Bupati yang berlangsung
seperti stress tests, analisis probability of default, financial
terus menerus silih berganti sepanjang tahun di berbagai
stability index serta survey households untuk mendukung
tempat di dalam negeri, dapat diperkirakan bahwa Pemilu
surveillance pada tingkat macroprudential. Dari waktu
5
Gambaran Umum
ke waktu masing-masing pendekatan ini terus direview
persetujuan. Kondisi terakhir, Pemerintah telah
dan dikembangkan agar dapat menjadi alat deteksi dini
mempersiapkan Rancangan Undang-undang tentang JPSK
(early warning) yang andal. Sementara itu, pada level
dan sudah mulai dibahas dengan DPR.
microprudential , fungsi pengawasan bank terus diperkuat, antara lain dengan membenahi sumber daya
3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN
manusia pengawasan bank, serta terus memperbaiki
Prospek stabilitas sistem keuangan ke depan
berbagai pendekatan yang digunakan dalam rangka
diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan
penerapan Risk-Based Supervision. Disamping itu,
yang dihadapi akan semakin berat terutama karena belum
sejumlah ketentuan baru di bidang perbankan yang
pulihnya kondisi perekonomian baik domestik maupun
ditujukan antara lain untuk menjaga stabilitas sistem
global. Sebagaimana yang akan diuraikan lebih rinci pada
keuangan, juga telah dikeluarkan.
Bab 4, hal-hal yang mendasari perkiraan ini sebagai berikut. Pertama, gejolak keuangan yang terjadi akhir-akhir ini
2.3. Memperkuat Protokol Manajemen Krisis Untuk memitigasi risiko dalam konteks yang lebih
perbankan domestik relatif tidak memiliki masalah seberat
luas di sektor keuangan telah disusun protokol manajemen
perbankan di luar negeri. Kedua, dewasa ini perbankan
krisis yang merupakan bagian penting dalam kerangka
dan otoritas pengawasan bank lebih siap menghadapi krisis
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Terkait dengan
dibandingkan kondisi tahun 1997/1998. Ketiga,
hal tersebut, untuk memitigasi risiko karena bergejolaknya
infrastruktur sektor keuangan sudah semakin lengkap,
sektor keuangan pada bulan Oktober 2008, Pemerintah
antara lain ditandai dengan adanya Lembaga Penjamin
telah menerbitkan 3 PERPPU, yaitu masing-masing tentang
Simpanan (LPS) yang cukup dipercaya dan menimbulkan
(i) Peningkatan penjaminan oleh LPS dari semula maksimal
ketentraman bagi nasabah penyimpan dana di perbankan.
Rp100 juta menjadi Rp2 milyar perorang pernasabah; (ii)
Faktor penting berikutnya yang mendukung prospek positif
Perubahan Undang-undang tentang Bank Indonesia yang
stabilitas keuangan ke depan adalah Jaring Pengaman
memungkinkan penggunaan kredit lancar sebagai agunan
Sektor Keuangan (JPSK) yang saat ini rancangan Undang-
dalam mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek
undangnya sudah dipersiapkan dan telah mulai dibahas
(FPJP) dari Bank Indonesia; dan (iii) Jaring Pengaman Sistem
di DPR.
Keuangan (JPSK).
6
terjadi lebih banyak karena faktor eksternal, sementara
Ditengah-tengah optimisme tersebut di atas, kehati-
Penerbitan ketiga PERPPU tersebut terbukti
hatian perlu terus lebih ditingkatkan karena krisis global
membantu meredam tekanan likuiditas perbankan,
dewasa ini dinilai sebagai yang terberat paska Depresi Besar
sehingga perbankan tetap tenang meskipun pada saat
( Great Depression ) tahun 1929. Melambatnya
tekanan likuiditas terjadi terdapat 1 bank yang diserahkan
pertumbuhan ekonomi global secara kolektif akan sulit
ke LPS untuk disehatkan. Dalam perkembangan
dihindarkan dampaknya terhadap ekonomi domestik. Oleh
selanjutnya, PERPPU tentang perubahan cakupan
karena itu sangat penting untuk membentengi sektor
penjaminan oleh LPS dan perubahan Undang-undang Bank
keuangan domestik dengan membuat jaring pengaman
Indonesia sudah mendapatkan persetujuan dari DPR,
yang memadai serta mengedepankan kehati-hatian dalam
sementara PERPPU tentang JPSK tidak mendapat
menjalankan aktivitas usaha.
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
7
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
8
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Bab 1
Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Selama semester II 2008 stabilitas makroekonomi Indonesia masih tetap terjaga meskipun mendapat tekanan dari krisis keuangan global. Penurunan kepercayaan pasar menyebabkan krisis keuangan merambat ke sektor riil sehingga mendorong terjadinya perlambatan ekonomi pada banyak negara termasuk Indonesia. Sementara itu, penurunan daya beli yang diiringi dengan penurunan harga menyebabkan profitabilitas sektor korporasi menurun. Akibatnya, pelaku usaha melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja dan pembatasan kegiatan ekspansi yang pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan pendapatan rumah tangga. Jika terus berlanjut, hal ini berpotensi menimbulkan gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan domestik.
1. KONDISI MAKROEKONOMI
3,4%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2007
Perkembangan ekonomi internasional selama
yang sebesar 5,2%. Perlambatan ini diperkirakan akan
semester II 2008 diwarnai oleh meluasnya krisis keuangan
berlanjut pada tahun 2009 yaitu menjadi hanya sekitar
global hingga merambat ke sektor riil. Kelangkaan
0,5%. Pada tahun 2010, keadaan diperkirakan akan sedikit
likuiditas dan peningkatan volatilitas di pasar uang
membaik dengan pertumbuhan sebesar 3,0%.
memicu penurunan kepercayaan sektor korporasi Grafik 1.1 Business Confidence Indicators
(produsen) maupun sektor rumah tangga (konsumen) terhadap kondisi perekonomian. Hal ini tergambar pada
Manufacturing PMls
penurunan Business Confidence Indicator yang
65
dikeluarkan oleh IMF.
60
Kondisi ini menyebabkan produsen dan konsumen melakukan langkah antisipasi dengan menahan diri untuk melakukan investasi dan konsumsi. Hal tersebut berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama di negara-negara maju. Selama tahun 2008
(values greater than 50 indicate expansion) Euro Area
55 50 45 Emerging Economies
40
United States
35 1985
perekonomian dunia diperkirakan hanya tumbuh sekitar
1990
1995
2000
2005
Okt 2008
Sumber: World Economic Outlook-IMF November, 2008
9
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Grafik 1.2 Indeks Harga Beberapa Komoditas
Tabel 1.1 Indikator Ekonomi Dunia (%) Kategori
2007
2008
2009
2010
World Output: Advanced Economies United States Euro area Emerging & Developing Countries
5,2 2,7 2,0 2,6 8,3
3,4 1,0 1,1 1,0 6,3
0,5 (2,0) (1,6) (2,0) 3,3
3,0 1,1 1,6 0,2 5,0
Consumer Price: Advanced Economies Emerging & Developing Countries1)
2,1 6,4
3,5 9,2
0,3 5,8
0,8 5,0
LIBOR2) US Dollar Deposit Euro Deposit Yen Deposit Oil Price (USD) - rata-rata3)
1990 = 100
Proyeksi 600
Minyak Timah Minyak Sawit Beras Aluminium
500
3,0 4,6 1,0
1,3 2,2 1,0
2,9 2,7 0,4
10,7
36,4
(48,5)
20,0
Sumber: World Economic Outlook - IMF Januari 2009
500
400
400
300
300
200
200
100
100
0
0 2000
5,3 4,3 0,9
600
Tembaga Emas Kopi Karet
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: Bank Indonesia
Eropa yang selama ini menjadi pasar ekspor utama negaranegara emerging market, yang disertai dengan penurunan harga komoditas di pasar global menyebabkan turunnya
Penurunan kegiatan ekonomi di negara-negara maju
kinerja ekspor negara-negara emerging market termasuk
berdampak pada penurunan permintaan terhadap
Indonesia. Karena pendapatan negara-negara emerging
komoditas yang menyebabkan turunnya harga komoditas
market umumnya tergantung pada hasil ekspor, maka
di pasar global. Semula, pada semester I 2008, pelemahan
penurunan kinerja ekspor tersebut menyebabkan
nilai tukar dollar AS dan gejolak yang terjadi di pasar uang
penurunan pertumbuhan ekonomi di masing-masing
mendorong beralihnya arus dana investasi ke pasar
negara.
komoditi yang memicu terjadinya lonjakan harga
Akan tetapi penting dicatat bahwa meskipun
komoditas. Harga minyak mentah dunia sempat mencapai
pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat signifikan
level tertinggi mendekati USD150 per barrel yang diikuti
pada triwulan IV 2008, namun secara keseluruhan selama
pula dengan kenaikan harga komoditas lainnya. Namun,
tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih
memasuki semester II 2008, seiring dengan menurunnya
tumbuh cukup kuat, yaitu sebesar 6,1%, atau lebih tinggi
jumlah permintaan akibat penurunan kegiatan ekonomi
dibandingkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara
dan berkurangnya transaksi yang bersifat spekulatif di
Grafik 1.3 Pertumbuhan PDB Negara Industri
pasar komoditas, harga minyak mentah dan harga komoditas utama dunia lainnya menurun tajam. Dibandingkan akhir semester I 2008, harga minyak dunia
% 6,00 5,00 4,00
mengalami penurunan lebih dari 50% hingga menjadi USD44,6 per barrel pada akhir semester II 2008. Penurunan tersebut juga diikuti oleh penurunan harga-harga komoditas utama dunia lainnya. Penurunan permintaan terhadap barang dan jasa, khususnya dari negara-negara maju seperti AS dan Uni
10
3,00 2,00 1,00 (1,00)
Amerika Serikat Jerman Canada
(2,00)
Jepang Inggris
(3,00) Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4
2000 Sumber: Bloomberg
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Grafik 1.4 Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market %
tukar rupiah melemah sekitar 20,5% hingga mencapai Rp11.120 per dollar AS pada akhir semester II 2008. Pelemahan ini masih terlihat meskipun volatitasnya sudah
12,00
semakin berkurang.
9,00 6,00
Grafik 1.5 Indeks Harga Saham Global
3,00 (3,00)
Indonesia Thailand China
(6,00) (9,00)
Singapura Korea Selatan India
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
35000
35000 Singapore NYA New York
30000
Dow Jones Indonesia Nikkei
30000
25000
25000
20000
20000
15000
15000
10000
10000
5000
5000
Sumber: Bloomberg
ASEAN lainnya seperti Singapura, Korea Selatan dan Thailand. Kondisi tersebut ditopang oleh masih cukup tingginya pertumbuhan konsumsi swasta, khususnya dari
0 2006
0 2007
2008
Sumber: Bloomberg
sektor-sektor non tradable seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, sehingga mengimbangi penurunan di
Grafik 1.6 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah IDR/USD
sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Sementara itu, di sisi keuangan, peningkatan
Rata-rata bulanan
intensitas krisis keuangan global memicu para investor
12.000
menarik investasi portfolionya dari negara-negara
10.000
emerging market, baik untuk memenuhi kebutuhan likuiditas (flight to liquidity) maupun mencari tempat
14.000
14.000
12.000
Rata-rata semesteran 9.352
9.258
10.000
9.210
9.039
8.000
8.000
6.000
6.000 4.000
2.000
2.000
Kondisi ini juga dialami Indonesia. Dibandingkan akhir
0
9.075 9.077 9.172 9.095 8.842 8.981 9.067 9.358 9.105 9.102 9.267 9.356 9.406 9.180 9.178 9.203 9.281 9.288 9.159 9.151 9.354 9.990 11.803 11.314
4.000
penanaman yang dianggap lebih aman (flight to quality).
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007
semester I 2008, indeks harga saham gabungan di Bursa
2008
Sumber: Bloomberg
Efek Indonesia turun tajam sekitar 42,3% dari 2.349,11 menjadi 1.355,41 pada akhir semester II 2008. Aksi
Pada sisi lain, penurunan permintaan dan penurunan
pelepasan investasi asing tersebut antara lain
harga komoditas di pasar internasional menyebabkan
menyebabkan neraca modal dan finansial Indonesia pada
tekanan inflasi yang terjadi cukup kuat pada pertengahan
triwulan IV 2008 mengalami defisit. Selama tahun 2008
tahun 2008 mulai mereda. Momentum penurunan inflasi
neraca pembayaran Indonesia diperkirakan defisit sebesar
ini mendorong bank sentral di beberapa negara melakukan
USD2.302 juta.
pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan suku
Gejolak keuangan yang meningkat khususnya sejak
bunga guna mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi.
awal semester II 2008 juga berdampak kepada
Pada bulan Desember 2008 Fed Fund Rate mencapai titik
terdepresiasinya nilai tukar rupiah dengan volatilitas yang
terendahnya 0,25%, sementara suku bunga European
juga meningkat. Dibandingkan akhir semester I 2008, nilai
Central Bank turun menjadi 2,50%. BI rate juga mengalami
11
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
penurunan menjadi 9,25% pada Desember 2008 yang
diharapkan dapat mengimbangi tekanan dari sektor
berlanjut hingga menjadi 7,75% pada Maret 2009.
eksternal. Stimulus dari sisi moneter adalah penurunan
Meskipun BI rate mengalami penurunan tetapi iklim
suku bunga, sementara stimulus dari sisi fiskal antara lain
investasi di Indonesia diperkirakan masih cukup menarik,
adalah pelaksanaan program peningkatan daya beli
karena secara riil tingkat bunga di Indonesia masih lebih
masyarakat oleh pemerintah melalui Program Nasional
tinggi dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya.
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, penurunan harga bahan bakar minyak dan tarif angkutan, kenaikan Upah
Grafik 1.7 Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnam
Minimum Regional (UMR) yang diperkirakan melebihi 11%, dan kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Tidak kalah
y.o.y %
pentingnya adalah kegiatan Pemilu maupun Pilkada yang diperkirakan juga akan mendorong pertumbuhan
10
konsumsi swasta yang sangat diperlukan untuk 5
mengimbangi tekanan dari sektor eksternal.
0
(5)
Jan
Filipina
Singapura
Thailand
Malaysia
Indonesia
Vietnam
Apr
Jul
Okt
Jan
2007
Apr
Jul
2. KONDISI SEKTOR RIIL Okt
Perlambatan ekspor karena imbas krisis keuangan
2008
global berdampak pula kepada kinerja sektor rill dalam
Sumber: CEIC
Grafik 1.8 Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura
negeri, baik korporasi maupun rumah tangga. Hal ini antara lain tercermin pada penurunan kinerja keuangan perusahaan-perusahaan non financial go public yang
%
menyebabkan terjadinya pembatasan kegiatan ekspansi
4,0 2,0
maupun pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini pada
0,0
gilirannya dapat berdampak pada penurunan daya beli
(2,0)
rumah tangga.
(4,0) (6,0)
Penurunan harga, berkurangnya permintaan ekspor
Indonesia AS Singapura
dan melemahnya daya beli masyarakat karena krisis global
(8,0) Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
2003
2004
2005
2006
2007
2008
menyebabkan sektor korporasi khususnya perusahaan non
Sumber: Bloomberg dan CEIC
financial go public mengalami penurunan margin. Hal ini
12
Ke depan, tekanan krisis ekonomi global terhadap
terlihat dari menurunnya pertumbuhan profitabilitas usaha
ekonomi dan keuangan domestik diperkirakan masih
(ROA dan ROE) perusahaan-perusahaan tersebut pada
berlanjut. Penurunan permintaan barang ekspor akibat
triwulan III 2008 dibandingkan dengan periode yang sama
perlambatan kegiatan ekonomi global kemungkinan akan
tahun sebelumnya.
semakin menekan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara dari sisi pembiayaan, sektor korporasi
Namun, beberapa stimulus dari dalam negeri baik dari sisi
terlihat mulai mengalami keterbatasan modal. Untuk
moneter maupun dari sisi fiskal diperkirakan cukup mampu
memenuhi kebutuhan operasionalnya, perusahaan mulai
mendorong pertumbuhan konsumsi swasta dan
banyak mengandalkan dana dari pihak ketiga, baik
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Grafik 1.11 Probability of Default (PD) Perusahaan Non Financial Go Public
perbankan maupun melalui penerbitan obligasi dan surat berharga lainnya. Hal ini dapat diamati dari meningkatnya
debt to equity ratio (DER) dan rasio total liabilities terhadap
Jumlah 250 215
total assets (TL/TA) pada triwulan III 2008 dibandingkan 200
dengan triwulan III 2007. 150
Grafik 1.9 Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non Financial Go Public
100 50
350
700 ROA (kiri) ROE (kanan)
600
200 150
300
100
200
50
100
0
0
-50
-100 -200
0,0-0,1
2006
2007
0,2-0,3
1
1
0,5-0,6
0,6-0,7
0,7-0,8
0
19
0,3-0,4 0,4-0,5
0,8-0,9 0,9-0,10
171
160 140 120 100
-150
60
2008
0
Jumlah 180
80
40 21
20
Sumber: Bursa Efek Indonesia
2
Probability of Default - September 2008
-100 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3
2005
0,1-0,2
3
0
250
400
2004
4
300
500
2003
5
23 14 6
9
0
4
0,5-0,6
0,6-0,7
1
1
0 0,0-0,1
0,1-0,2
0,2-0,3
0,3-0,4 0,4-0,5
0,7-0,8
0,8-0,9 0,9-0,10
Probability of Default - September 2009
Grafik 1.10 Perkembangan DER dan TL/TA Perusahaan Non Financial Go Public
Selain menghadapi potensi peningkatan risiko kredit, perusahaan-perusahaan di sektor riil khususnya
1,80 DER Debt/TA
1,60
konglomerasi besar Indonesia juga berpotensi mendapat
1,40
tekanan risiko nilai tukar. Berdasarkan data per September
1,20 1,00
2008, konglomerasi besar Indonesia tampaknya perlu
0,80
memperhatikan potensi risiko karena fluktuasi nilai tukar.
0,60 0,40
Namun demikian, hasil stress test terhadap 46
0,20 0,00 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3
2003
2004
2005
2006
2007
2008
konglomerasi besar yang rutin dipantau menunjukkan bahwa secara umum permodalan masih dapat
Sumber: Bursa Efek Indonesia
dipertahankan dan baru akan tertekan sampai 100% Sejalan dengan menurunnya kinerja perusahaan
apabila nilai tukar rupiah melebihi Rp16.100 per USD.
non financial go public tersebut, hasil estimasi probability
Penurunan profitabilitas akibat penurunan daya beli
of default (PD) juga menunjukkan adanya kenaikan. Jumlah
yang diiringi dengan penurunan harga, mendorong pelaku
perusahaan dengan PD lebih besar dari 0,5 meningkat dari
usaha khususnya di sektor yang berorientasi ekspor untuk
21 perusahaan pada September 2008 menjadi 29
melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja dan
perusahaan pada September 2009. Bagi perbankan, hal
pembatasan kegiatan ekspansi. Hal ini berpotensi
ini merupakan salah satu indikasi dini tentang peningkatan
menambah jumlah pengangguran nasional. Berdasarkan
risiko kredit ke depan.
data terakhir pada tahun 2008, meskipun cenderung
13
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
bergerak turun tetapi tingkat pengangguran Indonesia
tangga. Apabila kondisi ini terus berlanjut, dapat
sebesar 8,4% masih menjadi yang tertinggi di bandingkan
menurunkan kemampuan membayar (repayment capacity)
beberapa negara ASEAN lainnya.
rumah tangga. Sementara itu, dilihat dari komposisi asetnya, rumah
Grafik 1.12 Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN
tangga Indonesia tampaknya masih memiliki eksposur yang kecil terhadap aset keuangan. Aset rumah tangga
% 2006
2007
2008*)
Indonesia didominasi oleh non financial asset berupa
10,0
rumah, bangunan dan tanah dengan porsi 76,81% dari
8,0
total aset. Seiring kecilnya eksposur aset rumah tangga
6,0
pada sistem keuangan, diperkirakan dampak langsung
4,0
volatilitas pasar keuangan terhadap kondisi aset rumah
2,0
tangga relatif kecil. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian
0,0 Indonesia
Thailand
Malaysia
Singapura
Sumber: CEIC Keterangan: *) : Data untuk Indonesia (Agustus 2008), Thailand (November 2008), Malaysia dan Singapura (September 2008).
mengingat kenaikan nilai aset tersebut diperkirakan lebih dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga properti yang terjadi secara persisten sejak tahun 2004. Dalam kondisi
Hasil survey Neraca Rumah Tangga (Household)
ekonomi yang melambat seperti sekarang ini, besar
menunjukkan bahwa pada tahun 2008 secara keseluruhan
kemungkinan permintaan terhadap properti akan
rumah tangga Indonesia masih mempunyai kemampuan
menurun sehingga harga properti juga berpotensi turun.
membayar hutang yang cukup baik. Hal ini tergambar dari
Jika harga properti turun tentunya nilai aset rumah tangga
masih kecilnya rasio hutang terhadap total pendapatan
juga akan turun. Penurunan nilai aset dan penurunan
maupun terhadap disposable income, yaitu hanya berada
pendapatan rumah tangga akan semakin menekan
pada kisaran 6,31% s.d. 28,62%. Namun, mengingat
kemampuan membayar rumah tangga.
56% dari total pendapatan rumah tangga bersumber dari
Ke depan, tantangan di sektor rill diperkirakan masih
gaji dan tunjangan, maka pemutusan hubungan kerja oleh
akan tetap tinggi sejalan dengan masih terbatasnya
perusahaan berpotensi menurunkan pendapatan rumah
pembangunan
infrastruktur
di
dalam
negeri.
Perekonomian diperkirakan juga akan masih dipengaruhi Grafik 1.13 Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga
imbas krisis keuangan global. Sebagai antisipasi terhadap tekanan ekspor yang cukup besar, diperlukan langkahlangkah untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor
Penerimaan Pensiun 3%
usaha yang non tradable. Dalam jangka pendek, beberapa
Lainnya 10%
Pendapatan usaha netto 31%
Gaji dan Tunjangan 56%
stimulus yang telah dikeluarkan baik dari sisi moneter maupun fiskal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan konsumsi dan ketahanan sektor riil. Jika berhasil diwujudkan maka stabilitas sistem keuangan ke depan diperkirakan akan tetap terpelihara dengan baik.
Sumber: Survey Neraca Rumah Tangga 2008
14
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Boks 1.1 Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia 2008
Neraca rumah tangga (household) merupakan
(0,39%). Relatif tingginya networth rumah tangga
indikator penting untuk menganalisis potensi risiko
didukung kemampuan menabung. Hal itu tercermin
kredit dari sektor rumah tangga. Pada bulan Juni 2008,
pada rasio total pengeluaran terhadap total pendapatan
Bank Indonesia bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik
rumah tangga dan rasio pengeluaran konsumsi
(BPS) melakukan survei guna menyusun neraca rumah
terhadap disposable income yang di bawah 100%, yaitu
tangga Indonesia. Survei dilakukan pada 10 propinsi
masing-masing sebesar 91,29% dan 90,59%.
(Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa
Namun demikian, kemampuan menabung rumah
Barat, DI Yogyakarta, Jawa timur, Bali, Kalimantan
tangga yang tidak memiliki hutang cenderung lebih
Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo) dengan total
besar, terlihat pada rasio total pengeluaran terhadap
responden 3.553 rumah tangga.
total pendapatan rumah tangga dan rasio pengeluaran konsumsi terhadap disposable income yang lebih
Gambaran Umum Neraca Rumah Tangga
rendah, yaitu masing-masing sebesar 83,64% dan
Indonesia
83,39%. Sementara itu, kemampuan menabung
Aset Rumah Tangga Seperti lazimnya di negara sedang berkembang, aset rumah tangga Indonesia didominasi aset non keuangan (non financial asset) berupa properti seperti rumah, bangunan dan tanah dengan pangsa sebesar 76,81% dari total aset, diikuti oleh aset non keuangan lainnya (15,57%), dan asset keuangan (7,62%). Dibandingkan hasil survei 2007, komposisi aset non keuangan lainnya (emas, ternak dan lainnya) sedikit meningkat. Hal ini dipicu kenaikan harga emas pada pertengahan 2008 yang mendorong rumah tangga mengalihkan sebagian aset keuangannya ke dalam bentuk emas. Sementara itu, aset keuangan rumah tangga didominasi oleh penanaman pada bank (73%), diikuti oleh penanaman pada lembaga keuangan non bank (13%).
kelompok rumah tangga yang berhutang cenderung kurang memadai sehingga berhutang untuk membiayai kebutuhan dan pembelian asetnya. Hal ini tercermin dari rasio total pengeluaran terhadap total pendapatannya dan rasio pengeluaran konsumsi terhadap disposable income yang di atas 100%, yaitu masing-masing sebesar 102,61%, dan 103,12%.
Hutang Rumah Tangga Sebagian besar (sekitar 65%) responden menyatakan bahwa mereka memiliki uang tunai yang disisihkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tak terduga. Namun, apabila kebutuhan tak terduga tersebut sudah melebihi dana cadangan maka rumah tangga mengatasinya dengan berhutang. Berdasarkan nominalnya, hutang rumah tangga Indonesia didominasi oleh hutang bank (78%), diikuti oleh hutang kepada lembaga keuangan non bank (12%)
Sumber Dana Rumah Tangga
dan sumber lain diluar lembaga keuangan (10%).
Sumber dana utama rumah tangga adalah dari
Tujuan pinjaman atau berhutang adalah 24% untuk
penghasilan sendiri (networth), mencapai 96,13% dari
modal usaha, 16% untuk membeli alat transportasi, 14%
total aset. Pembiayaan dari hutang bank hanya 3,01%
untuk membangun atau renovasi rumah, dan 13% untuk
dari total aset, diikuti oleh pembiayaan dari lembaga
konsumsi makanan. Sementara rata-rata jangka waktu
keuangan non bank (0,47%) dan sumber dana lainnya
pengembalian hutang adalah sekitar 20 bulan.
15
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
hutang rumah tangga terhadap total pendapatan
Grafik Boks 1.1.1 Komposisi Hutang Rumah Tangga (dalam % terhadap Total Hutang)
maupun disposable income kurang dari 100%, yaitu sebesar 10,38% dan 11,22%. Debt servicing ratio (cicilan pokok pinjaman dan biaya bunga terhadap
Hutang Lainnya 10%
Hutang LKBB 12%
disposable income) rumah tangga juga kurang dari 100% yaitu hanya sebesar 6,31%. Kecil angka rasiorasio ini mengindikasikan bahwa rumah tangga mampu mengelola pengeluarannya sedemikian rupa sehingga
Hutang bank 78%
pendapatan yang dihasilkan dapat digunakan untuk membayar kewajibannya yang jatuh tempo. Selanjutnya, meskipun rasio hutang terhadap
disposable income maupun debt servicing ratio dari kelompok rumah tangga yang berhutang kepada bank Grafik Boks 1.1.2 Tujuan Pinjaman Rumah Tangga
dan LKBB adalah yang tertinggi (72,11% dan 33,08%), namun kedua rasio tersebut juga masih di bawah 100%. Dengan demikian, kelompok rumah tangga tersebut
Elektronik 2%
Lainnya 16%
Membeli Alat transportasi 16%
yang baik apabila terdapat kewajiban yang jatuh tempo. Konsumsi makanan 13%
Membeli Tanah/Rumah tidak ditempati 2% Membeli Rumah ditempati sendiri 2%
diperkirakan masih memiliki kemampuan membayar
Modal usaha 24%
Solvency Ratio Rasio ini menggambarkan kemampuan aset
Membangun/Reno vasi Rumah 14%
Kesehatan 3%
Pendidikan 8%
rumah tangga untuk meng-cover hutangnya apabila terjadi default . Hasil survei menunjukkan bahwa kemampuan aset rumah tangga Indonesia cukup baik tercermin dari household gearing ratio (rasio total
Potensi Risiko
hutang terhadap total aset) maupun rasio total hutang terhadap networth yang sangat rendah, yaitu masing-
Potensi risiko terhadap sistem keuangan terutama
masing hanya 3,87% dan 4,03%. Nilai household
ditransmisikan melalui volatilitas harga properti
gearing ratio yang kecil ini juga merupakan salah satu
mengingat mayoritas aset rumah tangga berupa
housing asset (aset properti seperti rumah, bangunan, dan tanah). Sementara itu, risiko rumah tangga yang berhutang terhadap sektor keuangan relatif rendah mengingat kemampuan membayar kewajibannya yang jatuh tempo cukup baik. Berikut dikemukakan hasil analisis menggunakan beberapa rasio keuangan:
indikasi bahwa rumah tangga masih mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk mendapatkan tambahan pembiayaan dari bank. Dari
pengelompokkan
rumah
tangga
berdasarkan sumber hutangnya, diketahui bahwa kelompok rumah tangga yang berhutang kepada bank dan LKBB mempunyai household gearing ratio tertinggi dibandingkan lainnya. Namun, nilai rasio tersebut juga
Liquidity Mismatch Ratio
16
masih di bawah 100%. Hal tersebut mencerminkan
Rasio ini menggambarkan kemampuan
bahwa kelompok rumah tangga yang berhutang
pendapatan rumah tangga untuk membayar
cenderung juga masih mempunyai kemampuan
kewajibannya. Hasil survei menunjukkan bahwa rasio
membayar yang baik.
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Boks 1.2 Risiko Kredit Sektor Korporasi: Credit Default Swaps (CDS) Persepsi
Sektor riil mencakup 2 komponen yaitu rumah
tersebut
cenderung
kurang
tangga (household) dan korporasi. Perkembangan
menggambarkan kondisi yang sebenarnya mengingat
terakhir sektor rumah tangga telah diungkapkan pada
harga dan spread CDS yang tinggi tersebut juga dipicu
Boks 1.1. Pada Boks 1.2 ini dikemukakan salah satu
oleh tipisnya pasar.
pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai
Namun demikian, untuk tujuan surveillance
perkembangan risiko kredit sektor korporasi, yaitu
ketahanan sistem keuangan, data tentang harga dan
dengan menganalisis perkembangan Credit Default
spread CDS ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat
Swaps (CDS).
deteksi dini (early warning).
CDS dikenal luas sebagai salah satu instrument
credit derivative . Secara konseptual, CDS dapat
Grafik Boks 1.2.1 Perkembangan Harga CDS Indonesia
dipandang sebagai asuransi atau perlindungan atas default-nya kredit atau bonds (Duffie dan Singleton,
1200
2003; Lando, 2004). Secara teknis, risiko kredit
1000
tercermin pada spread CDS. Namun demikian, harga (price) CDS juga tetap perlu diperhatikan karena juga dapat menggambarkan perkembangan tekanan pasar.
Indonesia Philipin
Korea Thailand
800 600 400
Akhir-akhir ini, sejalan dengan semakin memburuknya pasar keuangan global, perkembangan
200 0
harga dan spread CDS semakin menjadi pusat perhatian. Bahkan, CDS tidak saja sebagai cerminan risiko kredit
3 Jul
370
semester II 2008 telah menyebabkan harga dan spread
320
170 120
karena IHSG merosot tajam, mencapai 1111,4 yaitu
70
29 Jan
2009
Indonesia Philipin
Korea Thailand
20
terendah sejak Desember 2005. Namun, setelah
-30
Pemerintah dan Bank Indonesia mengambil sejumlah
-80
negara-negara tetangga, harga dan spread CDS
30 Des
220
Bursa Efek Indonesia terpaksa ditutup sementara
Sementara itu, apabila dibandingkan dengan
30 Nov
270
adalah sekitar tanggal 28 Oktober 2008 pada saat
dengan kondisi sebelum Oktober 2008.
31 Okt
Grafik Boks 1.2.2 Perkembangan Spread CDS Indonesia
Gejolak pasar keuangan yang sempat terjadi pada
menurun, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan
1 Okt
Sumber : Bloomberg
indikator sovereign risk.
kebijakan penting, harga dan spread CDS sudah mulai
1 Sep
2008
korporasi, namun telah berkembang menjadi salah satu
CDS Indonesia menjadi melonjak tinggi. Puncaknya
2 Ags
3 Jul
2 Ags
1 Sep
1 Okt
31 Okt
30 Nov
30 Des
2008
29 Jan
2009
Sumber : Bloomberg
Daftar Pustaka: Lando, D. (2004), Credit Risk Modeling, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Indonesia juga masih menjadi yang tertinggi. Hal ini
Duffie, D. dan Singleton, K.J. (2003), Credit Risk:
mengindikasikan kentalnya persepsi pasar bahwa risiko
Pricing, Measurement, and Management, Princeton
kredit korporasi Indonesia masih tergolong tinggi.
University Press, Princeton, New Jersey.
17
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Boks 1.3
Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit Korporasi pada 3 Sektor
Transition matrices (matriks transisi) merupakan salah satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan
probabilitas migrasi ke rating yang memiliki jarak cukup jauh (rating default).
untuk mendeteksi risiko kredit pada korporasi, yaitu
Melanjutkan penelitian Hadad et al. (2007),
dengan menghitung probabilitas terjadinya migrasi
dilakukan penelitian baru untuk mempelajari migrasi
rating atau perubahan kualitas kredit terakhir suatu
kolektibilitas kredit pada 3 sektor (properti, transportasi
perusahaan. Matriks transisi merupakan salah satu input
dan tekstil) selama tahun 2008 dengan menggunakan
penting dalam berbagai aplikasi manajemen risiko.
data triwulanan SID yang mencakup 448.183 debitur.
Bahkan, perhitungan kecukupan modal ( capital
Adapun pendekatan yang digunakan adalah metode
requirements) sesuai rekomendasi New Basel Accord
Continuous Time dengan pertimbangan lebih unggul
(BIS, 2001) antara lain harus memperhatikan migrasi
dibandingkan metode Cohort.
rating.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari ketiga
Penelitian sebelumnya (Credit Risk Modelling:
sektor tersebut, debitur-debitur pada sektor properti
Rating Transition Matrices oleh Hadad et al., 2007
cenderung lebih baik dibandingkan 2 sektor lainnya.
dalam KSK No.9 September 2007) menggunakan rating
Hal ini tercermin pada:
yang dikeluarkan oleh PT Pemeringkat Efek Indonesia
Peluang migrasi debitur dengan kolektibilitas 1 dan
(Pefindo) sejak Februari 2001 s.d. Juni 2006. Penelitian
2 (Performing Loans atau PL) ke kolektibilitas 3, 4
tersebut menggunakan dua pendekatan, yaitu metode
dan 5 (Non Performing Loans atau NPL) pada sektor
Continuous Time dan metode Cohort , serta
properti lebih kecil dibandingkan 2 sektor lainnya.
mengasumsikan bahwa proses rating kredit mengikuti
Peluang migrasi debitur NPL ke PL pada sektor
Markov chain . Kesimpulannya adalah metode
properti lebih besar dibandingkan 2 sektor lainnya.
Continuous Time memberikan hasil yang lebih efisien
Peluang migrasi debitur kolektibilitas 3 ke
dibandingkan metode Cohort. Selain itu, metode
kolektibilitas 5 pada sektor properti lebih kecil
Continuous Time juga memungkinkan adanya
dibandingkan 2 sektor lainnya.
Tabel Boks 1.3.1 Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 Sektor Properti Kolek 1 2 3 4 5
Transportasi Kolek 1 2 3 4 5
Tekstil Kolek 1 2 3 4 5
18
1 89,7% 64,4% 37,7% 23,4% 0,0%
1 89,5% 53,5% 7,5% 2,9% 0,0%
1 94,0% 77,9% 27,0% 0,0% 0,0%
2
3
9,3% 28,0% 19,6% 10,8% 0,0%
2
3
8,0% 28,7% 3,5% 1,1% 0,0%
2 3,8% 4,6% 2,3% 0,0% 0,0%
4 0,3% 1,7% 5,8% 1,5% 0,0%
5 0,3% 1,5% 3,8% 4,7% 0,0%
4 0,5% 1,7% 3,3% 0,3% 0,0%
3
5 0,4% 2,0% 1,7% 3,0% 0,0%
4 0,6% 1,0% 0,7% 0,0% 0,0%
0,4% 4,4% 33,1% 59,5% 100,0%
1,7% 14,0% 84,1% 92,6% 100,0%
5 0,3% 1,1% 1,5% 0,6% 0,0%
1,4% 15,3% 68,6% 99,4% 100,0%
Bab 2 Sektor Keuangan
Bab 2 Sektor Keuangan
19
Bab 2 Sektor Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
20
Bab 2 Sektor Keuangan
Bab 2
Sektor Keuangan
Selama semester II 2008, sektor keuangan Indonesia terus bertumbuh ditengah semakin beratnya tekanan yang berasal dari krisis keuangan global. Secara umum, ketahanan sistem keuangan dapat tetap terjaga. Perbankan sebagai industri yang paling dominan di sektor keuangan masih tetap menunjukkan kinerja yang positif. Namun, krisis global telah sempat menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga Surat Utang Negara (SUN).
2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIA
1.355,41 (Desember 2008) atau turun 42,3%. Sementara,
Dibandingkan dengan kondisi pada semester
harga SUN juga sempat turun yaitu sekitar 2,3% selama
sebelumnya, pada semester II 2008 struktur sistem
periode 30 Juni s.d. 25 September 2008, meskipun kembali
keuangan Indonesia tidak banyak mengalami perubahan.
rebound sebesar 8,6% selama periode 25 September 2008
Industri perbankan yang terdiri dari bank umum dan bank
s.d. 31 Desember 2008. Akan tetapi, sejak akhir Desember
perkreditan rakyat (BPR) masih tetap mendominasi dengan
2008 s.d. pertengahan Maret 2009, harga SUN kembali
pangsa sekitar 74% dari total asset sektor keuangan.
mengalami tekanan dan turun sekitar 5,62%.
Sementara itu, pangsa industri keuangan lainnya, yaitu asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas
Grafik 2.1 Komposisi Aset Lembaga Keuangan
dan pegadaian relatif masih tetap rendah. Pada industri perbankan, 15 bank besar menguasai sebagian besar (70%) total aset industri. Selama semester II 2008, total asset bank umum bertumbuh Rp269,7 triliun
3,2%
0,3% 5,8% 2,7%
BPR
8,0% 1,1%
Perusahaan Asuransi
(13,2%) menjadi Rp2.310,6 triliun. Pertumbuhan ini
Dana Pensiun
merupakan salah satu pertanda bahwa krisis global yang 79,0%
tengah terjadi tidak berdampak signifikan terhadap industri perbankan. Namun, krisis global telah memicu
Bank Umum
Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Sekuritas Pegadaian
merosotnya IHSG dari 2.349,11 (Juni 2008) menjadi
21
Bab 2 Sektor Keuangan
2.2. INDEKS STABILITAS KEUANGAN Perkembangan stabilitas keuangan dari waktu ke
Grafik 2.2 Indeks Stabilitas Keuangan (Financial Stability Index)
waktu tercermin pada Indeks Stabilitas Keuangan atau
3
Financial Stability Index (FSI).1 Terpengaruh oleh krisis
2,5
keuangan global, sektor keuangan dalam negeri bergejolak
2
sehingga stabilitas keuangan selama semester II 2008 mengalami tekanan (lihat Boks 2.1). Akibatnya, FSI meningkat tajam dari 1,60 pada akhir Juni 2008 menjadi 2,10 pada akhir Desember 2008, dengan posisi tertinggi
Proyeksi FSI FSI
2,10 2,13 1,95 1,77
1,5 1 0,5 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
pada bulan November 2008 sebesar 2,43. Bersamaan dengan itu, sejak Oktober 2008, nilai tukar rupiah juga
2.3. PERBANKAN
mengalami tekanan.
2.3.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas
Dengan demikian, angka FSI dalam dua bulan
Perkembangan Dana Pihak Ketiga
terakhir 2008 telah melampaui batas indikatif maksimum
Dana Pihak Ketiga (DPK), sebagai sumber dana
2. Tingginya angka FSI tersebut lebih banyak karena
utama perbankan, pada awal semester II 2008 tumbuh
merosotnya IHSG dan harga SUN sebagai imbas krisis
negatif, dan baru tumbuh positif sejak pertengahan
global.
semester. Kenaikan signifikan DPK sejak bulan September
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa
2008 menyebabkan selama periode laporan, DPK tumbuh
tekanan krisis keuangan global mulai sedikit menurun yang
positif sekitar 12,87% mencapai Rp1.753,3 triliun.
ditandai dengan mulai membaiknya IHSG dan harga SUN.
Peningkatan tersebut terjadi pada semua komponen, baik
Respon kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank
giro, tabungan, maupun deposito.
Indonesia juga berhasil meredam gejolak keuangan yang
Peningkatan DPK sejak pertengahan semester II 2008
sempat terjadi. Sejalan dengan itu, FSI semakin menurun,
tampaknya terkait dengan tingginya suku bunga pada
mencapai 2,06 per Januari 2009.
waktu itu sebelum akhirnya diturunkan di penghujung
Penurunan FSI tersebut mencerminkan bahwa
tahun 2008. Tingginya suku bunga merupakan salah satu
stabilitas keuangan secara umum masih relatif terjaga.
faktor yang mempengaruhi naiknya minat masyarakat
Bahkan, ke depan pada akhir Juni 2009, FSI diperkirakan
untuk kembali menanamkan dananya di perbankan.
akan mencapai sekitar 1,77 √ 2,13, dengan skenario
Terlebih di tengah kondisi perekonomian yang belum
moderat sebesar 1,95 atau relatif lebih rendah
sepenuhnya stabil, investasi pada lembaga non perbankan
dibandingkan posisi akhir Desember 2008. Oleh karena
dinilai oleh sebagian pemilik dana sebagai berisiko tinggi
itu, prospek stabilitas keuangan diperkirakan masih tetap
dan imbal hasil yang diperoleh cenderung tidak pasti
positif dan stabilitas sistem keuangan ke depan akan relatif
dibandingkan dengan menyimpan dana di perbankan.
tetap terpelihara.
Faktor penting lain yang turut mendorong kenaikan DPK adalah kebijakan Pemerintah melalui PERPPU pada
1 Uraian detail tentang metodologi dan pendekatan yang digunakan untuk menghitung Indeks Stabilitas Keuangan dapat dilihat pada KSK No.8 Maret 2007 dan No.9 September 2007.
22
pertengahan Oktober 2008 untuk meningkatkan besarnya cakupan penjaminan simpanan oleh LPS dari sebesar
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.5 Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar Rupiah
Rp100 juta menjadi Rp2 miliar per nasabah per bank. Kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk
USD miliar
mempertahankan dan bahkan mendorong peningkatan
Rupiah 12.500
30
dana masyarakat di perbankan.
11.700
27 dalam USD (skala kiri)
Grafik 2.3 Perkembangan DPK
10.900
24
Rp triliun 550
900 Deposito (ka)
750
500
21
9.300 8.500
18 Des
600
10.100
nilai tukar rupiah thd USD (skala kanan)
Apr
Ags
2006
Des
Apr
2007
Ags
Des
2008
Tabungan (ki)
450
450 Giro (ki)
Kecukupan Likuiditas
300
Lambatnya pertumbuhan DPK pada awal semester
400 150
II 2008 yang terjadi bersamaan dengan keringnya 350 Des 2007
0 Feb
Aprl
Jun
Ags
Okt
Des
likuiditas global menyebabkan kondisi likuiditas
2008
perbankan domestik ikut tertekan. Selain itu, Berdasarkan jenis valuta, pertumbuhan DPK dalam
pertumbuhan kredit yang cukup tinggi s.d. bulan Oktober
valuta asing tercatat sebesar 18,94% atau sedikit lebih
2008, ternyata sebagian besar dibiayai dengan pencairan
tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK rupiah sebesar
secondary reserves sehingga menekan likuiditas
18,85%. Namun, karena faktor depresiasi nilai tukar rupiah
perbankan. Akibatnya, kecukupan likuiditas semakin
terhadap USD yang cukup besar selama periode laporan,
berkurang dengan puncaknya pada bulan Agustus 2008,
maka apabila dihitung dalam denominasi valas,
pada saat ekses likuiditas mencapai titik terendah. 2
pertumbuhan DPK valas selama periode laporan justru
Sampai dengan bulan tersebut, ekses likuiditas turun
turun sebesar USD1,36 miliar, terutama pada komponen
sekitar 30,18% (ytd) dengan penurunan terbesar pada
deposito dan giro yang masing-masing turun sebesar
Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
USD0,98 miliar dan USD0,58 miliar. Grafik 2.6 Ekses Likuiditas Bank
Grafik 2.4 Perkembangan DPK Valas USD miliar
Rp triliun 320
30
27
290
250
DPK va dlm USD (skala kiri)
200
285
150
SBI (ki)
290
280
SUN (kn) 100
260
24
230
21
270
0 Des 2007
Feb
Apr
Jun
Ags
Okt
Des
2008
200
18 Des 2007
275
Fasbi/FTK (ki)
50
DPK va dlm Rp (skala kanan)
Feb
Apr
Jun
Ags 2008
Okt
Des
2 Ekses likuiditas terdiri dari SBI, penempatan lainnya pada Bank Indonesia selain Giro pada BI (Fasbi/FTK), dan Surat-surat Berharga.
23
Bab 2 Sektor Keuangan
Selain tercermin pada penurunan jumlah ekses likuiditas, berkurangnya kecukupan likuiditas bank juga
cenderung menurun, baik dalam rupiah maupun valuta asing (valas).
ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap Non Core Grafik 2.7 Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari)
Deposits (NCD)3 yang terus menurun dan mencapai angka terendah pada bulan Agustus 2008, yaitu 84,9%. Rasio
Rp triliun
ini menunjukkan kemampuan bank untuk dapat
14
memenuhi penarikan DPK sewaktu-waktu. Dengan
12
angka rasio yang kurang dari 100%, maka ketahanan
10
USD juta 500 400 300
8
likuiditas perbankan pada waktu itu cenderung kurang memadai.
6
200
4 100
Namun, seiring dengan kenaikan signifikan DPK sejak
2
awal September 2008, tekanan likuiditas mulai berkurang.
0
PUAB Rupiah Jan
Mar
Mei
PUAB valas Jul
Sep
Nov
0
2008
Kenaikan DPK tersebut, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, antara lain karena kebijakan Pemerintah
Untuk meminimalkan dampak segmentasi di PUAB,
meningkatkan besarnya cakupan penjaminan simpanan
Bank Indonesia telah melakukan enhancement Operasi
oleh LPS. Disamping itu, Bank Indonesia juga telah
Pasar Terbuka (OPT) sejak Februari 2008. Setelah
mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengurangi
mengaktifkan fasilitas Fine Tune Operation (FTO), baik yang
tekanan likuiditas, termasuk pelonggaran kewajiban GWM
bersifat ekspansi (FTE) untuk memberi kelonggaran bagi
rupiah dan valas. Akibatnya, kondisi likuiditas industri
bank yang kesulitan likuiditas, maupun yang bersifat
perbankan semakin membaik sehingga mendorong
kontraksi (FTK) sebagai fasilitas penempatan dana bagi
meningkatnya ketahanan likuiditas. Perkembangan positif
bank dengan kelebihan likuiditas, Bank Indonesia
tersebut juga tercermin dari angka rasio alat likuid terhadap
kemudian melakukan penyempurnaan pada fitur FTO. Hal
NCD yang terus membaik, sehingga pada akhir Desember
ini dilakukan dengan memperpanjang tenor FTE dari
2008 berhasil mencapai 109,1%. Hal ini mengindikasikan
maksimum 14 hari menjadi maksimum 3 bulan agar bank
bahwa kondisi likuiditas perbankan sudah semakin
dapat memperoleh akses lebih besar terhadap likuiditas
terkendali.
dari bank sentral. Sementara itu, Bank Indonesia juga mengadakan transaksi repo dengan tenor lebih panjang
Pasar Uang Antar Bank
(2-14 hari) untuk membantu bank yang mengalami
Sejalan dengan meningkatnya tekanan likuiditas
kesulitan likuiditas. Langkah-langkah ini terbukti cukup
global, terdapat kecenderungan bank-bank domestik
berhasil mengatasi tekanan likuiditas pada industri
untuk menahan likuiditasnya dan membatasi transaksi
perbankan.
antar bank sehingga menimbulkan segmentasi Pasar Uang
Selanjutnya, dalam rangka mengetahui ketahanan
Antar Bank (PUAB). Bersamaan dengan itu, rata-rata per
likuiditas perbankan, khususnya terhadap kemungkinan
hari volume transaksi bank pada PUAB Dalam Negeri (DN)
penarikan DPK secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar telah dilakukan suatu simulasi dengan mengasumsikan
3 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (Giro BI, SBI, dan penempatan lainnya). Sedangkan NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro + 30% tabungan + 10% deposito jangka waktu s.d 3 bulan.
24
bahwa penurunan/penarikan DPK akan dibiayai dari ekses
Bab 2 Sektor Keuangan
likuiditas bank. Hasil simulasi berdasarkan data akhir
dari krisis global. Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi
Desember 2008 menunjukkan bahwa ekses likuiditas yang
tampaknya juga bagian dari strategi bank untuk
dimiliki bank masih mencukupi untuk mengcover
mempertahankan tingkat laba karena spread antara biaya
penurunan DPK hingga 29,27%. Selain itu, juga telah
bunga DPK dengan pendapatan bunga dari penanaman
dilakukan stress test risiko likuiditas untuk mengetahui
pada PUAB dan SBI cenderung semakin menipis.
ketahanan permodalan dalam menyerap biaya
Pertumbuhan kredit yang tinggi tersebut dapat pula
mendapatkan likuiditas dari PUAB apabila bank
dipandang sebagai hasil dari berbagai kebijakan Bank
menghadapi kesulitan pendanaan. Hasil stress test
Indonesia pada waktu-waktu sebelumnya dalam rangka
menunjukkan bahwa secara umum permodalan bank
mendorong fungsi intermediasi perbankan.
masih cukup kuat menghadapi tekanan risiko likuiditas Grafik 2.8 Pertumbuhan Kredit (yoy)
dimaksud. % 50
2.3.2. Perkembangan dan Risiko Kredit
Perkembangan Kredit Pertumbuhan kredit yang tinggi menjadi hal yang
Kredit Valas dlm USD Total Kredit Total Kredit (NT Tetap) Kredit Rupiah Kredit Valas dlm Rp
45 40 35 30 25
menonjol pada tahun 2008. Gejala pertumbuhan kredit yang pesat sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun 2007. Waktu itu pertumbuhan kredit mencapai 25% atau lebih tinggi dari target sebesar 22%. Pada tahun 2008, sesuai Rencana Bisnis, perbankan menargetkan pertumbuhan kredit sekitar 24%. Namun, sebelum tahun 2008 berakhir, target kredit tersebut sudah terlampaui
20 15 10 5 0 Des 2007
Feb
Apr
Jun
Ags
Okt
Des
2008
Data Des'08 menggunakan data LHBU
Grafik 2.9 Perkembangan Kredit 2007-2008
hingga mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2008 dengan pertumbuhan 37% yoy. Sejalan dengan meningkatnya tekanan karena
2008 2007
Kredit Valas (USD T)
Kredit Valas (Rp T)
memburuknya perekonomian, sejak bulan November 2008 pertumbuhan kredit mulai melambat sehingga mencapai 29,5% pada akhir tahun. Mengingat selama periode laporan telah terjadi depresiasi nilai tukar rupiah yang
Kredit Rupiah (Rp T)
Total Kredit (Rp T) (15) 0
25
65
105
145
185
225
265
signifikan, maka dengan menghilangkan faktor nilai tukar, pertumbuhan kredit tahun 2008 sebenarnya lebih rendah, yaitu sebesar 25,7%.
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa selama periode laporan dana pihak ketiga (DPK) bertumbuh sekitar
Tingginya pertumbuhan kredit antara lain didorong
12,87%. Pertumbuhan DPK yang lebih rendah
oleh tingginya permintaan pengusaha domestik untuk
dibandingkan pertumbuhan kredit mendorong
modal kerja dan investasi sejalan dengan semakin sulitnya
peningkatan loan to deposit ratio (LDR) dari 76,6% pada
mendapat pendanaan dari luar negeri sebagai dampak
Juni 2008 menjadi 77,2% pada Desember 2008. Bahkan
25
Bab 2 Sektor Keuangan
angka LDR sempat mencapai titik tertinggi setelah krisis
Komunikasi; sektor Konstruksi; sektor Jasa Dunia Usaha;
1997/1998 yaitu sebesar 81,6% pada Agustus 2008.
dan sektor Industri Pengolahan.
Dari segi kelompok bank, penyaluran kredit oleh bank Persero dan bank Swasta masih mendominasi.
Grafik 2.11 Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd)
Selama periode laporan, kredit kelompok bank Persero meningkat signifikan, terutama untuk sektor Industri
2008 2007
29%
Konsumsi
Pengolahan, Lain-Lain (Konsumsi) serta Perdagangan. Sementara itu, walaupun masih tumbuh tinggi,
37%
Investasi
peningkatan kredit bank Swasta cenderung lebih rendah dibandingkan semester sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan kredit pada kelompok bank Swasta terutama
32%
Modal Kerja
0
10
20
30
40 %
untuk sektor Perdagangan dan Lain-Lain (Konsumsi), sedangkan sektor Industri Pengolahan masih naik cukup
Grafik 2.12 Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi
besar. 133,8%
Listrik 25,9%
Pertambangan
Grafik 2.10 Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd)
11,1%
Jasa Sosial
39,6%
Jasa Dunia Usaha 19,1%
Pertanian
42,8%
Konstruksi
32%
Industri
70,2%
Pengangkutan 46%
Asing
37,9%
Industri Pengolahan
29,1%
Lain-lain 50%
Campuran
20
40
60
80
100
120
140 %
27%
Swasta
0
10
20
30
Meskipun tidak sebesar pertumbuhan kredit lainnya,
2008 2007
32%
BUMN
26
0
36%
BPD
2008 2007
20,7%
Perdagangan
40
50 %
Kredit Konsumsi tetap meningkat sebesar Rp39 triliun selama semester II 2008. Kenaikan kredit konsumsi
Suatu hal yang menggembirakan dari penyaluran
terutama berasal dari peningkatan kredit Lainnya
kredit selama semester II 2008 adalah cukup tingginya
(mencakup kredit kendaraan bermotor, kredit tanpa
penyaluran kredit untuk sektor produktif. Hal ini tercermin
agunan, dan lain-lain) sebesar Rp25,6 triliun dan diikuti
pada Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi yang
kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp10,1 triliun.
mendominasi penyaluran kredit dengan menyumbang
Dengan demikian, selama tahun 2008, pertumbuhan
masing-masing sebesar 49% dan 27% dari total kenaikan
kredit Lainnya dan KPR menjadi lebih tinggi dibandingkan
kredit. Dengan demikian, secara keseluruhan
pertumbuhan Kartu Kredit. Sementara itu, dari 3 jenis
pertumbuhan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi
kredit yang termasuk dalam kelompok Kredit Properti (KPR,
selama tahun 2008 bertumbuh cukup tinggi masing-
Kredit Real Estate dan Kredit Konstruksi), KPR
masing 32% dan 37%. Sementara itu, secara sektoral,
menyumbang 54,6% dari total kenaikan kredit Properti
pertumbuhan kredit yang cukup tinggi terdapat pada
selama semester laporan yang mencapai Rp18,5 triliun.
sektor Listrik, Air dan Gas; sektor Pengangkutan dan
Dengan total kredit mencapai Rp198,9 triliun, pangsa
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.15 Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal
kredit Properti mengalami sedikit penurunan dari 15,7% pada akhir Juni 2008 menjadi 15,2% pada akhir Desember
%
2008.
Rp 14.000
60 40
12.000
Grafik 2.13 Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya
20 10.000
(20) 29%
Lainnya
8.000 (40)
2008 2007
yoy Rp (%)
(60) 2000
26%
Kartu Kredit
yoy Va USD (%)
kurs
6.000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Konsumsi lebih merata, tercermin pada pangsa untuk 29%
KPR
pulau Jawa berkisar antara 50%-60%. Sementara itu, 0
5
10
15
20
25
30 %
kredit di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi lebih kepada kredit investasi.
Grafik 2.14 Perkembangan Kredit Properti Grafik 2.16 Pangsa Kredit Penggunaan KPR Maluku + Papua Real Estate
Pertumbuhan 2007 (%)
Pertumbuhan 2008 (% ytd)
Delta Kredit 2007 (Rp M)
Delta Kredit 2008 (Rp M)
KK KI KMK
Bali + NusTra Sulawesi Kalimantan Sumatra
Konstruksi
Jawa Timur JaTeng + DIY 0
9
18
27
36
45
DKI Jakarta JaBar + Banten
Kredit rupiah masih mendominasi penyaluran kredit
0
5
10
15
20
25
30
35 %
perbankan pada semester laporan, dengan pangsa mencapai 80% dari total kenaikan kredit. Sementara itu,
Pada semester II 2008, kredit MKM (Mikro, Kecil dan
kenaikan kredit valas sebesar Rp32,4 triliun lebih
Menengah) mengalami peningkatan sebesar Rp58,6 triliun
dipengaruhi oleh faktor depresiasi nilai tukar rupiah.
atau tumbuh 26,1% yoy, atau di bawah angka
Dengan menggunakan denominasi USD, kredit valas
pertumbuhan total kredit perbankan. Akibatnya,
sebenarnya turun sebesar USD0,8 miliar menjadi USD23,1
pangsanya terhadap total kredit mengalami sedikit
miliar. Penurunan kredit valas terjadi sejalan dengan
penurunan dari 50,1% pada akhir Juni 2008 menjadi
meningkatnya risiko akibat berfluktuasinya nilai tukar dan
48,5% pada akhir Desember 2008. Secara umum, kredit
kondisi perekonomian dunia yang masih belum
MKM masih didominasi oleh Kredit Konsumsi dengan
menggembirakan.
peningkatan mencapai 61,5% dari total peningkatan
Dari sisi lokasi proyek, penyaluran kredit masih
kredit MKM. Kredit produktif pada kredit MKM lebih
terpusat di pulau Jawa, terutama untuk kredit modal kerja
cenderung dalam bentuk Kredit Modal Kerja untuk
(pangsa 72,9%). Perkembangan Kredit investasi dan Kredit
kebutuhan operasional sehari-hari yang peningkatannya
27
Bab 2 Sektor Keuangan
selama selama semester laporan mencapai Rp19 triliun
yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan nominal NPL
(32,4% dari total peningkatan kredit). Sementara itu,
mengindikasikan bahwa perbankan sudah mulai
sumbangan kredit Investasi relatif kecil yaitu sekitar 6,1%
mengantisipasi kemungkinan kenaikan risiko kredit ke
dari total kenaikan kredit MKM. Secara sektoral, sektor
depan.
yang mengalami kenaikan kredit terbesar adalah sektor Grafik 2.18 Non Performing Loans
Lain-Lain dan Perdagangan. (%)
(Triliun)
10
Grafik 2.17 Perkembangan Kredit MKM
9
70
8
% 1400
75
NPL Gross (kr)
54
65
7
60
6
1200
52
5
50
4
Total Kredit Rp T (kiri) MKM Rp T (kiri) % MKM/Kredit
1000
50
800 48 600 46
400 200
45
3
NPL Net (kr)
2
40
1
35 30
2006
Jun
2007
2008
2007
Jun
2008
Jun
Des
Grafik 2.19 Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun)
44 2006
55
NPL Nominal (kn)
Des
1600
75
Risiko Kredit Selama semester II 2008, kenaikan nominal NPL
70
Nominal NPL (kiri) 1400 Kredit (kanan)
65
1200
60
cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya tekanan perlambatan perekonomian. Meskipun selama periode laporan nominal NPL hanya naik Rp2,3 triliun menjadi Rp50,9 triliun, namun mengingat rendahnya peningkatan nominal NPL tersebut adalah karena
28
55
1000
50
800
45
600
40 400
35 30 2006
200 2007
2008
Des
penghapusbukuan kredit yang cukup signifikan pada satu
Dari segi kelompok bank, selama semester laporan,
bank besar, maka kenaikan nominal NPL perlu diwaspadai
kenaikan nominal NPL terjadi pada kelompok bank Swasta,
apalagi kondisi ekonomi tengah kurang menggembirakan.
kantor cabang bank Asing dan bank Campuran,
Dari sisi rasio NPL, dibandingkan dengan posisi akhir
sedangkan nominal NPL bank Persero justru turun Rp3,1
semester I 2008, rasio NPL gross menurun menjadi 3,76%.
triliun karena penghapusbukuan kredit. Naiknya nominal
Rendahnya rasio NPL dipengaruhi oleh tingginya
NPL pada kelompok bank Swasta dan Campuran disertai
peningkatan kredit yang jauh melebihi peningkatan
pula dengan peningkatan rasio NPL gross yang terjadi sejak
nominal NPL. Sementara itu, kenaikan nominal NPL juga
pertengahan semester II 2008, sementara kenaikan rasio
diiringi dengan kenaikan Penyisihan Penghapusan Aktiva
NPL kelompok kantor cabang bank Asing baru terjadi pada
Produktif (PPAP) dalam jumlah yang lebih tinggi yaitu
akhir semester. Kenaikan kredit bermasalah pada kelompok
sebesar Rp4,4 triliun menjadi Rp47,5 triliun selama
bank Swasta dan Campuran terutama pada kredit untuk
semester laporan. Hal ini menyebabkan rasio NPL net
sektor Industri Pengolahan serta sektor Jasa Dunia Usaha,
menurun sebesar 0,2% menjadi 1,47%. Peningkatan PPAP
sementara untuk kelompok kantor cabang bank Asing
Bab 2 Sektor Keuangan
diikuti pula oleh kredit sektor Lain-Lain (konsumsi),
pada Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi mengalami
terutama yang berasal dari kartu kredit.
penurunan. Meskipun jumlah nominalnya mengalami peningkatan, secara rasio, NPL gross Kredit Modal Kerja
Grafik 2.20 Rasio NPL Gross Kelompok Bank
sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya sehingga menjadi 3,4%. Selanjutnya, walaupun secara
7
rasio, NPL tertinggi masih terdapat pada Kredit Investasi,
Des-07 Jun-08 Des-08
6 5
telah terjadi penurunan kredit non-lancar yang cukup
4
signifikan karena adanya hapus buku sehingga rasio NPL
3
gross Kredit Investasi turun dari 4,6% pada akhir Juni 2008
2
menjadi 3,8% pada akhir Desember 2008. Sementara itu,
1
sejalan dengan penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi,
0 BUMN
Swasta
BPD
Campuran
Asing
rasio NPL grossnya juga mengalami penurunan dari 2,9%
Peningkatan nominal NPL sektor Jasa Dunia Usaha
menjadi 2,5%.
dan Industri Pengolahan membuat kedua sektor ekonomi Grafik 2.22 Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan
tersebut mendominasi kenaikan nominal NPL sektoral industri perbankan, masing-masing sebesar Rp1 triliun dan 7
Rp0,7 triliun. Kedua sektor tercatat memiliki rasio NPL gross masing-masing sebesar 2,12% dan 5,41%. Dengan
5
demikian, Industri Pengolahan tampaknya masih menjadi
4
sektor dengan tingkat risiko kredit yang cukup tinggi,
3
meskipun sedikit membaik pada akhir periode laporan
Des-07 Jun-08 Des-08
6
2 1
sejalan dengan hapus buku yang dilakukan oleh salah satu
0 Modal Kerja
bank besar.
Investasi
Konsumsi
Grafik 2.23 Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi
Grafik 2.21 Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi % 12 Lain-lain
Des-07 Jun-08 Des-08
Jasa Dunia Usaha
Des-07 Jun-08 Des-08
10 8
Pengangkutan Perdagangan
6
Konstruksi 4
Ind. Pengolahan Pertambangan
2
Pertanian 0 0,0
1,5
3,0
4,5
6,0
7,5
KPR
Kartu Kredit
Lainnya
Dari segi jenis penggunaan kredit, peningkatan
Penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi terutama
nominal NPL selama semester II 2008 hanya terjadi pada
karena penurunan nominal kredit KPR yang menyebabkan
Kredit Modal Kerja, yaitu sebesar Rp1,7 triliun, sementara
rasio NPL gross KPR turun menjadi 2,26%. Sementara itu,
29
Bab 2 Sektor Keuangan
rasio NPL gross Kartu Kredit masih cukup tinggi, yaitu 10,8%
penghapusbukuan kredit. Ke depan, perlu semakin
pada akhir Desember 2008, meskipun sedikit menurun
diwaspadai turunnya ekspor dan pelemahan nilai tukar
dibandingkan posisi akhir Juni 2008 sebesar 11,6%.
rupiah karena berpotensi mempengaruhi kemampuan
Sebagian besar (78,2%) nominal NPL Kartu Kredit terdapat
debitur membayar kewajibannya, terutama kewajiban
pada kelompok Kantor Cabang Bank Asing. Sementara itu,
dalam valas.
walaupun nominal NPL KPR sudah mengalami penurunan, Grafik 2.25 Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%)
secara total, nominal NPL Kredit Properti masih mengalami peningkatan sebesar Rp0,3 triliun. Hal tersebut karena nominal NPL Kredit Real Estate mengalami peningkatan dengan rasio NPL menjadi sebesar 4,51%.
5 Des-07 Des-08 Jun-08
4 3
Grafik 2.24 Rasio NPL Gross Kredit Properti (%)
2 6 Des-07 Jun-08 Des-08
5
1 0 Rupiah
4
Valas
3
Pada periode laporan, nominal NPL Kredit MKM
2
turun Rp1 triliun menjadi Rp18,8 triliun. Sejalan dengan
1
itu, rasio NPL gross Kredit MKM juga turun menjadi 2,97%.
Konstruksi
Real Estate
KPR
Berdasarkan jenis penggunaan, nominal NPL dari semua
Kredit valas menjadi sumber utama peningkatan
jenis Kredit MKM turun, terutama pada Kredit Modal Kerja
nominal NPL perbankan. Selama semester II 2008, nominal
sebesar Rp0,5 triliun. Dari sisi sektoral, penurunan nominal
NPL kredit valas naik Rp1,9 triliun menjadi Rp10,5 triliun
NPL terjadi pada hampir semua sektor, kecuali sektor
antara lain karena pelemahan nilai tukar rupiah. Apabila
Industri Pengolahan, dengan penurunan terbesar pada
dinyatakan dalam USD, nominal NPL kredit valas hanya
sektor Perdagangan sebesar Rp1 triliun. Nominal NPL kredit
naik USD29,7 juta. Sejalan dengan itu, rasio NPL gross
MKM sektor Industri Pengolahan naik Rp0,6 triliun,
kredit valas juga meningkat menjadi 4,14%. Kenaikan
sehingga rasio NPL gross-nya naik menjadi 7,5%. Hal ini
nominal NPL kredit valas terbesar pada kelompok bank Grafik 2.26 Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%)
Persero sebesar Rp0,8 triliun, diikuti Kantor Cabang Bank Asing sebesar Rp0,7 triliun. Di lain pihak, rasio NPL gross kredit rupiah turun
5 Des-07 Juni-08 Nov-08
4
menjadi 2,98% sejalan dengan penurunan nominal NPL 3
kredit rupiah sebesar Rp0,7 triliun. Penurunan nominal NPL kredit rupiah terutama karena menurunnya nominal NPL
30
2
pada kelompok bank Persero dalam jumlah yang signifikan,
1
yaitu sebesar Rp3,9 triliun yang disebabkab oleh
0 MKM
Non MKM
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.27 Rasio NPL Gross Kredit MKM (%) Des-07 Des-08
4,0
masih tinggi pada saat itu juga berpotensi meningkatkan tekanan inflasi ke depan. Sebagai respon atas kondisi tersebut, Bank Indonesia menaikkan suku bunga
Jun-08
kebijakannya (BI rate) sebagai upaya untuk meredam 3,0
tekanan inflasi. Sejak Juli sampai dengan Oktober, secara berturut-turut BI rate terus dinaikkan sebesar 25 bps,
2,0
sehingga mencapai 9,5% pada Oktober. 1,0
Namun, pada perkembangan lebih lanjut, 0,0 Mikro
Kecil
Menengah
memburuknya kondisi pasar keuangan dunia mulai mempengaruhi kondisi ekonomi domestik, terutama di
menunjukkan bahwa risiko kredit di sektor Industri
pasar keuangan yang menyebabkan menurunnya kinerja
Pengolahan tidak hanya berasal dari korporasi besar (Non
pasar saham, dan harga SUN, serta pelemahan nilai tukar
MKM) tetapi juga dari usaha skala kecil dan menengah
Rupiah yang signifikan. Selain itu, perlambatan ekonomi
(MKM).
dunia menyebabkan pertumbuhan ekspor Indonesia turun
Sebagaimana dikemukakan pada Bab 1, potensi
signifikan, sehingga ekonomi domestik mulai tumbuh
peningkatan risiko kredit tercermin pula pada hasil analisis
melambat. Memperhatikan kondisi tersebut, Bank
Probability of Default (PD) yang mengindikasikan bahwa
Indonesia mempertahankan level BI rate pada 9,5% pada
ke depan risiko kredit yang berasal dari sektor riil
bulan November. Pada penghujung 2008, Bank Indonesia
(korporasi) akan cenderung meningkat. Berdasarkan
mulai menurunkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 9,25%
analisis Probability of Default ( PD ) dan model
untuk mendorong kegiatan ekonomi mengingat prospek
ekonometrik, diproyeksikan bahwa pada akhir tahun
pertumbuhan ekonomi domestik ke depan diperkirakan
2009 rasio NPL gross perbankan akan meningkat menjadi
melambat cukup dalam.
sekitar 4,9%-5,6%. Namun demikian, hasil stress test
Penurunan BI rate pada akhir 2008 tidak langsung
terhadap 15 bank besar dengan menggunakan skenario
direspon dengan penurunan suku bunga perbankan. Suku
pesimis (rasio NPL gross akan meningkat menjadi 5,6%
bunga perbankan masih meningkat meskipun sudah
yaitu sebesar proyeksi tertinggi untuk tahun 2009)
cenderung melambat. Selama periode laporan, suku bunga
menunjukkan bahwa secara umum perbankan masih
deposito 1 bulan naik 356 bps menjadi 10,75%,
mampu mengatasi kemungkinan kerugian yang akan
sedangkan suku bunga kredit naik dalam level yang lebih
terjadi sehingga tidak terdapat bank yang CAR-nya turun
rendah. Masih tingginya suku bunga perbankan,
menjadi di bawah 8%.
khususnya suku bunga deposito, terjadi karena perang suku bunga untuk menarik dana masyarakat sebesar-
2.3.3. Risiko Pasar
besarnya guna meningkatkan likuiditas perbankan.
Perkembangan ekonomi domestik pada awal
Sementara itu, suku bunga kredit Kredit Modal Kerja,
semester II 2008 ditandai dengan tingginya inflasi sebagai
Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi masing-masing naik
dampak dari kenaikan harga BBM dan tingginya harga
222 bps, 139 bps, dan 27 bps, sehingga spread suku bunga
komoditas pokok dunia. Pertumbuhan ekonomi yang
cenderung menyempit.
31
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.28 Suku Bunga Rp & Nilai Tukar
pendapatan bunga bersih perbankan lebih tinggi dibandingkan semester I 2008 sebagai akibat dari
%
Rp
20
12500
penyaluran kredit yang masih tinggi, namun ke depan hal
11500
ini berpotensi mengurangi profitabilitas. Hasil stress test
10500
menunjukkan bahwa apabila suku bunga meningkat 1%,
KK (ki) 18
KMK (ki)
16 14 KI (ki) 12
9500
menjadi di bawah 8%.
10 Deposito 1 bln (ki)
8
tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR
8500
Kurs (kn) 7500
6 2006
2007
2008
Grafik 2.30 Profil Maturitas Valas
Des
M USD 10
Grafik 2.29 Profil Maturitas Rupiah
5
Rp triliun 500 0
400 300
(5)
200 100
(10)
0 (100)
Des07
Mrt08
Sep08
Des08
Jun08
(15)
(200)
sd 1 bln
(300) (400)
Des07
Mrt08
Sep08
Des08
1 - 3 bln
(500) sd 1 bln
1 - 3 bln
3 - 6 bulan
6 - 12 bln
3 - 6 bulan
6 - 12 bln
> 12 bln
Jun08
Grafik 2.31 Posisi Devisa Netto
> 12 bln
%
Dengan profil maturitas perbankan, baik rupiah maupun valas, yang secara umum cenderung short dalam jangka pendek dan long dalam jangka panjang, kenaikan
9 8 7 6 5
suku bunga perbankan berpotensi merugikan karena akan mengurangi keuntungan atau meningkatkan kerugian.
3
Pada periode laporan, posisi short aset/kewajiban dalam
1
rupiah untuk jangka waktu sangat pendek (s.d. 1 bulan) cenderung semakin meningkat seiring dengan gencarnya
32
4
2
0 Des07 BUSN
Mrt08 Campuran
Jun08 BPD
Sep08 Persero
Asing
Des08 SELURUH
perbankan dalam menarik dana masyarakat untuk
Gejolak pasar keuangan global juga menimbulkan
meningkatkan likuiditas. Sebaliknya, untuk aset/kewajiban
tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Bahkan rupiah sempat
dalam valas, posisi shortnya cenderung menurun sejalan
mencapai Rp12.150 per USD pada November 2008,
dengan meningkatnya risiko akibat depresiasi rupiah yang
sehingga rata-rata nilai tukar rupiah selama semester II
cukup tajam.
2008 mencapai Rp10.138 per USD dibandingkan semester
Meningkatnya posisi short jangka pendek ini
I 2008 sebesar Rp9.235 per dolar AS. Namun demikian,
berpotensi meningkatkan risiko pasar perbankan akibat
rasio PDN perbankan yang relatif rendah (6,2%)
kenaikan suku bunga, terlebih dengan spread yang
menyebabkan eksposur perbankan terhadap risiko nilai
semakin menyempit. Meskipun selama semester II 2008
tukar relatif terbatas. Hasil stress test menunjukkan bahwa
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.33 Perkembangan SUN (Rp T)
apabila nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sampai dengan Rp5.000 per USD, rasio kecukupan modal (CAR)
perbankan melalui penurunan kemampuan membayar
200
AFS
krisis pasar keuangan global yang semakin buruk. Salah
156,4
domestik selama semester II 2008 semakin tinggi akibat
100 126,8
Tekanan terhadap pasar saham dan pasar utang
HTM
28,2
150
debitur.
Trading
101,4
perlu diwaspadai pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap
250
16,9
300
130,6
perbankan masih berada di atas 8%. Namun demikian,
50 0
Des 2007
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
2008
satu dampaknya adalah harga surat utang negara yang sempat turun signifikan pada Oktober, meski pada akhir
pada laporan laba rugi yang menurun pada Desember
2008 sudah mulai meningkat. Perkembangan ini sangat
2008, setelah sempat meningkat tinggi pada Oktober
mempengaruhi neraca dan laba rugi perbankan, karena
2008.
sebagian besar bank memiliki SUN sebagai salah satu portofolio dalam aktiva produktif.
Harga SUN yang turun tajam juga mendorong perbankan untuk mengalihkan tujuan kepemilikan SUN dari
Untuk mengurangi kerugian yang lebih besar, pada
AFS menjadi HTM untuk mengurangi kerugian. Akibatnya,
tanggal 9 Oktober 2008, Bank Indonesia, Pemerintah
selama semester II 2008, pangsa kepemilikan SUN untuk
(Bapepam-LK), dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
AFS turun 10,8% menjadi 36,9%, sedangkan pangsa HTM
menerbitkan keputusan bersama yang memungkinkan
naik 11,3% menjadi 56,9%. Pangsa kepemilikan SUN
perbankan untuk menunda penerapan marking to market
trading yang cukup rendah dan penundaan berlakunya
dalam penetapan nilai wajar untuk SUN. Selain itu,
marking to market menjadikan perbankan tidak terlalu
perbankan juga dimungkinkan untuk mengalihkan tujuan
terekspos dengan risiko penurunan harga SUN. Hasil stress
kepemilikan SUN dari kategori Trading dan Available for
test menunjukkan bahwa apabila harga SUN turun sampai
Sale (AFS) menjadi kategori Hold to Maturity (HTM).
20%, tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR
Kebijakan tersebut memberikan dampak positif terhadap
menjadi di bawah batas minimum 8%.
neraca dan laba rugi perbankan. Hal ini tercermin pada
net unrealized loss di neraca dan nilai kerugian bersih
2.3.4. Profitabilitas dan Permodalan
Profitabilitas Grafik 2.32 Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan
Di tengah peningkatan tekanan terhadap perekonomian, industri perbankan masih mampu
% 60 Des07 Jun08 Des08
50 40
mempertahankan profitabilitasnya, meskipun menurun bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Net Interest
Income (NII), sebagai salah satu indikator profitabilitas,
30 20
menunjukkan peningkatan yaitu dari Rp53,2 triliun (Juni
10
2008) menjadi Rp59,9
0
triliun (Desember 2008).
Peningkatan tersebut antara lain karena pertumbuhan HTM
AFS
Trading
33
Bab 2 Sektor Keuangan
kredit yang tinggi sejak awal tahun dan baru mulai
terkait melambatnya pertumbuhan ekonomi ke depan
melambat sejak bulan November 2008. Dengan demikian,
dengan meningkatkan beban Penyisihan Penghapusan
peningkatan NII lebih ditopang oleh pendapatan bunga
Aktiva Produktif (PPAP). Akibatnya, terjadi penurunan laba
kredit.
operasional sekitar 30,6%, yaitu dari Rp17,6 triliun (Juni 2008) menjadi Rp12,2 triliun (Desember 2008). Setelah Grafik 2.34 Profitabilitas Bank-mtm 2008
memperhitungkan pajak, perolehan laba selama semester II 2008 turun 33,9%, yaitu dari Rp18,4 triliun menjadi
Rp triliun 25 20
Rp12,2 triliun.
Pend. Bunga Beban Bunga NII
Penting dicatat bahwa penurunan laba yang terjadi
15
pada paruh kedua tahun 2008 ini, merupakan
10
kecenderungan tahunan yang juga terjadi pada tahun
5
2007 yang lalu. Hanya saja, meningkatnya tekanan
0
terhadap kondisi perbankan pada tahun 2008, Nov Des Jan 2007
Feb Mar Apr Mei Jun Jul 2008
Ags Sep Okt Nov Des
menyebabkan perolehan laba berjalan menjadi lebih menurun, yaitu dari sebesar Rp35,0 triliun pada akhir 2007
Grafik 2.35 Pendapatan Bunga Bank
menjadi Rp30,6 triliun pada akhir 2008. Sementara itu, pada periode yang sama total aset perbankan juga
250 Lainnya Kredit
200
SSB BI
mengalami peningkatan. Hal ini kemudian menyebabkan ROA perbankan juga menjadi menurun.
150 100
Grafik 2.36 Perkembangan Rasio ROA per Kelompok Bank
50
% 0 Nov
Des
Nov
2007
4
Des
ROA Des'07
ROA Des'08
2008
3
Akan tetapi, profitabilitas yang dihasilkan dari pendapatan bunga tersebut tidak seluruhnya dapat
2
langsung menjadi laba bersih bank. Hal tersebut karena
1
perbankan mengantisipasi memburuknya kualitas kredit
15 BB S. Menengah S. Kecil
BPD
Campuran
Asing
Tabel 2.1 Laba/Rugi Perbankan Rp triliun
2007 Semester I Semester II L/R Operasional
Total
Semester I Semester II
Total
18,07
16,97
35,04
17,63
12,23
7,10
7,72
14,82
7,23
11,01
18,24
L/R sebelum Pajak
25,17
24,69
49,86
24,86
23,24
48,10
L/R setelah Pajak
18,38
16,63
35,02
18,39
12,16
30,55
L/R Non Operasional
34
2008
29,86
Industri
Bab 2 Sektor Keuangan
Penurunan laba operasional sepanjang tahun 2008
Sementara itu, rasio modal inti (Tier 1) terhadap
tampaknya juga dipicu oleh tingkat efisiensi yang ikut
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) juga masih
berkurang. Penurunan efisiensi ini tercermin pada rasio
cukup tinggi, yaitu sebesar 14,4%. Dengan demikian,
Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional
permodalan perbankan diperkirakan masih cukup kuat
(BOPO) yang meningkat. Oleh karena itu, salah satu
untuk menyerap berbagai risiko, serta masih memiliki
agenda penting perbankan ke depan adalah upaya untuk
ruang gerak yang mencukupi untuk terus bertumbuh dan
meningkatkan efisiensi.
melakukan ekspansi kredit.
Sementara itu, data yang ada menunjukkan bahwa Grafik 2.38 Modal, ATMR, dan CAR
inefisiensi ternyata lebih banyak terlihat pada kelompok bank kecil dibandingkan kelompok bank lainnya. Dengan demikian, salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi
Rp triliun
%
2.000
25
Modal ATMR CAR (kanan)
1.600
20
adalah dengan memperbesar size atau skala usaha bank. 1.200
15
800
10
400
5
Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui merger dan akuisisi dalam rangka konsolidasi perbankan. Grafik 2.37 Perkembangan Rasio BOPO per Kelompok Bank
-
Des 2007
Feb
Apr
Jun
Ags
Okt
0
Des
2008
%
Ketahanan perbankan terhadap tekanan berbagai
120 BOPO Des'07
BOPO Des'08
100
risiko tersebut tercermin pada hasil integrated stress test,
80
yang mencakup risiko kredit, risiko suku bunga, risiko nilai
60
tukar, risiko harga SUN dan risiko likuiditas. Stress test ini
40
dilakukan terhadap 15 bank besar yang mencakup sekitar
20
70% dari total aset industri perbankan. Skenario yang
15 BB S. Menengah S. Kecil
BPD
Campuran
Asing
Industri
digunakan adalah rasio NPL gross meningkat menjadi sebesar 5,6% (proyeksi pesimis rasio NPL tahun 2009),
Permodalan Secara umum, rasio permodalan (CAR) industri
harga SUN turun 20%, suku bunga turun 1% dan rupiah terdepresiasi sampai dengan Rp5.000 per USD. Selain itu,
perbankan pada akhir semester II 2008 masih cukup tinggi, yaitu 16,2%. Namun demikian, jika dibandingkan dengan posisi akhir semester sebelumnya sebesar 16,4%, terdapat sedikit penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya pertumbuhan kredit yang dibarengi dengan lambannya
Grafik 2.39 Integrated Stress Test terhadap CAR 15 Bank Besar 30% CAR AWAL CAR BARU
25% 20%
peningkatan laba bank. Apabila kredit perbankan ke depan
15%
terus bertumbuh pada kisaran 15%-18%, maka CAR
10%
industri perbankan pada akhir tahun 2009 diperkirakan
5%
akan turun menjadi sekitar 14,3%.
0% A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
35
Bab 2 Sektor Keuangan
kekurangan likuiditas diasumsikan dipenuhi dari dana
dampak lanjutannya (second round effects) berpotensi
PUAB. Hasil stress test menunjukkan bahwa tidak terdapat
membuat 24 bank lainnya ( multiple failure ) juga
bank yang CARnya turun menjadi di bawah 8%.
menghadapi tekanan permodalan.
Selanjutnya, mengingat beberapa bank dewasa ini
Sementara itu, apabila dilihat secara individual,
sedang menghadapi potensi kerugian terkait structured
beberapa bank masih memiliki modal inti minimum kurang
products , telah dilakukan pula stress test untuk
dari Rp100 miliar. Meskipun ketentuan modal inti minimum
mengetahui ketahanan permodalan dari bank-bank
sebesar Rp100 miliar baru akan berlaku pada akhir tahun
tersebut. Hasil stress test ini menunjukkan bahwa secara
2010, bank-bank yang dewasa ini masih belum memiliki
umum permodalan bank cukup kuat, meskipun beberapa
modal inti Rp100 miliar perlu segera menyiapkan langkah-
Kantor Cabang Bank Asing tertentu yang aktif melakukan
langkah untuk pemenuhannya. Salah satu langkah yang
transaksi structured products harus siap-siap segera
mungkin dapat dilakukan adalah dengan melakukan
meningkatkan modal apabila potensi kerugian menjadi
merger dan akuisisi sehingga dapat mempercepat proses
semakin meningkat.
konsolidasi perbankan.
Untuk mendapatkan gambaran tentang ketahanan perbankan dalam menghadapi gejolak faktor-faktor
2.4. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN
makroekonomi, telah dilakukan macroeconomic stress test,
PASAR MODAL
khususnya terhadap 15 bank besar. Hasil stress test ini
2.4.1. Perusahaan Pembiayaan
memperlihatkan bahwa pada akhir 2009, sejalan dengan
Perusahaan Pembiayaan (PP) merupakan salah satu
proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi, maka secara
jenis lembaga keuangan bukan bank yang berfungsi
rata-rata rasio NPL 15 bank besar akan meningkat, namun
melakukan pembiayaan melalui berbagai jenis pembiayaan
masih pada kisaran 5%.
antara lain pembiayaan konsumen, sewa guna usaha,
Selain itu, telah dilakukan pula interbank stress test,
anjak piutang dan kartu kredit. Selama semester II 2008
yaitu untuk mengetahui dampak contagion kegagalan
(s.d November), kinerja PP meningkat cukup signifikan,
suatu bank terhadap bank lainnya dalam sistem perbankan
tercermin pada peningkatan total asset dan modal masing-
(contagion risk). Hasil stress test ini menunjukkan bahwa
masing sebesar 23,80% dan 2,01%, sementara kegiatan
apabila 11 bank pemicu gagal (single failure) terdapat 14
pembiayaan meningkat sebesar 16,58%.
bank yang berpotensi permodalannya tertekan, sementara
Pesatnya kegiatan usaha PP ditopang oleh kenaikan pendanaan, terutama yang bersumber dari kredit
Grafik 2.40 Interbank Stress Test
perbankan yang meningkat cukup pesat yaitu sekitar 24,42% sehingga pangsanya menjadi 42% dari total
Bank Pemicu
Bank Kena Dampak F M N O P
36
A B C D E F G H I J K L
Q
R
S
T
U
V
J
W
K
pendanaan. Krisis keuangan global yang memperketat likuiditas menyebabkan tingginya biaya emisi saham dan obligasi. Akibatnya, PP semakin tergantung pada sumber dana kredit perbankan. Dari segi jenis pembiayaan yang diberikan, pangsa pembiayaan konsumen semakin berkurang dan cenderung
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.41 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan
Tabel 2.2 Perkembangan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan
200,00 Jun 07 Des'07 Jun'08 Nov'08
23,80%
180,00 160,00
16,58% 28,19%
140,00 120,00 100,00
Jun»08
Total
Swasta Nasional
Patungan
Sewa Guna Usaha Anjak Piutang Kartu Kredit Pembiayaan Konsumen
33,34% 1,82% 1,07% 63,76%
11,31% 3,10% 0,01% 85,59%
44,85% 1,05% 1,69% 52,40%
Nov»08
Total
Swasta Nasional
Patungan
Sewa Guna Usaha Anjak Piutang Kartu Kredit Pembiayaan Konsumen
37,88% 1,57% 0,83% 59,71%
12,45% 2,56% 0,01% 84,99%
49,72% 1,07% 1,25% 47,96%
80,00 60,00 40,00
2,01%
20,00 0,00
Aset
Pembiayaan
Pendanaan
Modal
Grafik 2.42 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Rp miliar
signifikan, yaitu sebesar Rp2,85 triliun menjadi Rp5,96
140.000 120.000
Sementara itu, keuntungan PP meningkat cukup
Jun'07
Jun'08
Des'07
Nov'08
28,19%
triliun. Kenaikan laba tersebut mendorong meningkatnya
100.000
ROA dan ROE. Efisiensi usaha juga berhasil dipertahankan
80.000
dengan rasio Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi
24,42%
60.000
(BOPO) sebesar 77%.
40.000 -7,33%
20.000 0 Pinjaman Bank Domestik
Surat Berharga yang Diterbitkan
Total Sumber Dana*
*Total Sumber Dana: SSB, Pinjaman Subordinasi dan Total Pinjaman Dalam dan Luar Negeri
Tabel 2.3 Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan Des-06
Grafik 2.43 Komposisi Nominal Pembiayaan PP (Nov'08) Pembiayaan (dalam Rp miliar) 160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000
Mei-07
Asset 116.000.000.000 127.000.000.000 Debt (Pinjaman/ Obligasi) 81.524.052.728 90.319.642.214 Kewajiban 95.241.046.752 102.466.196.738 Equity 20.758.953.248 24.533.803.262 Profit Before Tax 2.978.914.227 5.763.866.446 Profit After Tax 2.244.670.921 4.379.780.690 ROA 0,03 0,05 ROE 0,14 0,23 BOPO 0,81 0,83 Debt/Equity 3,93 3,68 Kewajiban/Equity 4,59 4,18
Des-07
Mei-07
140.649.000.000 174.124.731.707 100.183.895.911 128.423.157.567 113.722.737.895 143.568.726.785 26.926.262.105 30.556.004.922 4.134.560.328 8.078.856.892 3.114.695.467 5.961.654.328 0,03 0,05 0,15 0,26 0,77 0,77 3,72 4,2 4,22 4,7
20.000 0
Total
Swasta Nasional
Piutang pembiayaan
141.179
46.257
Patungan 93.795
Sewa Guna Usaha
53.480
5.759
46.634
Anjak Piutang
2.222
1.182
1.001
Kartu Kredit
1.178
2
1.175
Pembiayaan Konsumen
84.299
39.314
44.985
Tetap baiknya kinerja PP pada semester laporan didukung oleh perkembangan pasar kendaraan bermotor yang masih tetap menggembirakan. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia
didiversifikasi melalui peningkatan pembiayaan sewa guna
(Gaikindo), sepanjang periode 2008, penjualan mobil di
usaha. Penurunan konsentrasi kegiatan pembiayaan
Indonesia meningkat sekitar 40% menyentuh rekor
konsumen terutama terjadi pada PP Patungan yaitu dari
tertinggi mencapai 607,15 unit, meskipun terdapat trend
52,40% (Juni 2008) menjadi 47,96% (November 2008).
penurunan penjualan pada November dan Desember.
37
Bab 2 Sektor Keuangan
Sementara itu, berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda
Selain itu, risiko likuiditas juga berpotensi meningkat.
Motor Indonesia (AISI), penjualan sepeda motor selama
Hal tersebut terutama karena membesarnya mismatch
tahun 2008 juga meningkat mencapai 6,22 juta, atau jauh
liquidity. Arus masuk likuiditas yang bersumber dari
lebih banyak dibandingkan penjualan pada tahun 2007
pendanaan sebenarnya cukup tinggi, namun tetap tidak
sebesar 4,69 juta unit.
mampu mengimbangi tingginya arus kas keluar karena
Suku bunga kredit yang cukup tinggi pada semester
aktivitas operasi yang meningkat pesat.
laporan meningkatkan potensi risiko pembiayaan oleh PP. Di samping itu, menurunnya pendapatan nasabah sebagai
Grafik 2.46 Arus Kas PP Swasta Nasional
dampak krisis global juga berpotensi meningkatkan NPL. Pada tahun 2008 rasio NPL pembiayaan PP tetap menurun,
Rp miliar 4.000 3.000
namun secara nominal terindikasi adanya peningkatan NPL, khususnya pada pembiayaan konsumen dan sewa
2.000 1.000
guna usaha.
0 -1.000 -2.000
Grafik 2.44 NPL Pembiayaan
Jun 07
Des 07
Jun 08
Nov 08
Arus kas neto dari aktivitas operasi
792
1.184
1.312
1.772
Arus kas neto dari aktivitas investasi
-45
-162
-177
-322
-903
-811
1.721
3.109
-3.000
NPL (%) 16,00 14,00
Arus kas neto dari aktivitas pendanaan
12,00 10,00 8,00
Grafik 2.47 Arus Kas PP Patungan
6,00 4,00
Rp miliar 15.000
2,00 0,00
Anjak Piutang
Kartu Kredit
Jun'07
Sewa Guna Usaha 2,67%
14,14%
4,28%
Pembiayaan Konsumen 1,55%
Des'07
2,28%
11,59%
3,66%
1,68%
Jun'07
1,90%
11,32%
2,79%
1,70%
Nov'08
1,67%
9,04%
3,09%
1,66%
10.000 5.000 0 -5.000 -10.000
Grafik 2.45 Perkembangan Nominal NPL
-15.000 Arus kas neto dari aktivitas operasi
Rp miliar
Arus kas neto dari aktivitas investasi Arus kas neto dari aktivitas pendanaan
3.000.000.000 2.500.000.000 2.000.000.000
SGU AP KK
1.500.000.000
PK Total
Jun-08
Nov-08
7.133
5.221
9.786
174
494
944
724
4.790
7.513
4.480
11.222
tersebut pada gilirannya dapat mengganggu kinerja atau meningkatkan risiko bagi bank yang menjadi sumber dana
500.000.000
bagi PP. Dengan demikian, potensi risiko yang lebih besar Jun
Des 2007
38
Des-07
3.528
Meningkatnya risiko pembiayaan dan risiko likuiditas
1.000.000.000
0
Jun-07
Jun
Nov 2008
akan dihadapi oleh bank-bank yang memiliki anak
Bab 2 Sektor Keuangan
perusahaan PP. Sementara itu, meningkatnya kegiatan
channeling dan joint financing antara bank dengan PP
Grafik 2.49 Perkembangan Penurunan NPL PP Subsidiary Bank
berpotensi meningkatkan tekanan risiko bagi bank. Selama
12000000
12000000
semester II 2008, channeling meningkat 23,74% menjadi
10000000
10000000
Rp9,33 triliun, sedangkan joint financing meningkat 9,8%
8000000
80000000
menjadi Rp49,61 triliun.
6000000
60000000
4000000
40000000
Grafik 2.48 Exposure Perbankan
20000000
2000000 1
0
Rp Miliar
8
4
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
50.000 45.000
5 Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
2008
Channelling Joint Financing
40.000
Grafik 2.50 Perkembangan Kenaikan NPL PP Subsidiary Bank
35.000 30.000 25.000
4500000
30000000
20.000
2 3 6
15.000 25000000
10.000 5.000
7 9 10
4000000 3500000 3000000
20000000
0 Jun
Des
Jun
2500000
Nov
2007
15000000
2008
2000000 1500000
10000000
Terkait dengan perkembangan tersebut, berdasarkan
1000000 50000000
500000
pemantauan terhadap 21 PP yang terafiliasi dengan bank 0
diketahui adanya 10 PP yang memiliki NPL dan 6
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
0
2008
diantaranya cenderung mengalami peningkatan. Kenaikan nominal NPL yang signifikan terutama terjadi pada PP yang
2.4.2. Pasar Modal
memiliki porsi pembiayaan sewa guna usaha yang tinggi.
Portofolio Investasi Asing
Sementara, NPL nominal pembiayaan konsumen
Pada semester II 2008, investor asing cenderung melakukan realisasi gain. Akibatnya, terjadi outflows
cenderung mengalami penurunan.
investasi asing pada aset keuangan rupiah sebesar Rp20,4 Tabel 2.4 Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan
triliun, padahal pada semester sebelumnya terjadi inflows sebesar Rp18,5 triliun. Outflows tersebut tercermin pada
∆ Perubahan Nominal NPL
Perubahan % NPL PP Jun»08 Nov»08 Jun»08 - Nov»08 1 2
0,54%
SGU
turunnya kepemilikan asing pada SBI dan SUN masing-
Ajk.Ptng KK Pmb.Kons
masing Rp25,2 triliun dan Rp6,7 triliun.
0,37%
-
-
-
-3.558.416
32,63% 53,28%
93.069.554
413.988
-
42.591.752
Sementara itu, sentimen negatif paska kejatuhan institusi keuangan internasional seperti Lehman Brothers
3
0,37%
0,37%
-
-
-
-990.623
4
1,03%
0,00%
-
-
-
-
-26.578.328
5
1,20%
1,07%
-
-
-
-5.406.096
6
0,00%
0,06%
799.020
-
-
-
7
0,20%
0,44%
-
-
-
1.370.608
8
0,79%
0,58%
142.127
-
-
-
9
0,00%
0,66%
-540.907
-
-
-
peluang profit taking bagi investor asing. Di pasar saham
10
0,02%
0,03%
-
-
-
279.805
domestik, perilaku profit taking investor asing
di AS dan beberapa bank investasi di Eropa serta kegagalan Asuransi AIG menyebabkan semakin berfluktuasinya harga saham, sehingga meningkatkan
39
Bab 2 Sektor Keuangan
mengakibatkan terjadinya net beli saham sebesar Rp11,5
pelepasan SUN oleh investor domestik (khususnya lembaga
triliun.
keuangan) sekitar Rp10,1 triliun. Akibatnya, pelemahan pasar SUN sangat mendalam dan recovery pasar menjadi Grafik 2.51 Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham
sangat lambat. Pada sisi lain, tetap tingginya portofolio SUN yang dimiliki oleh lembaga keuangan domestik,
Rp triliun 35 SBI
SUN
Saham
seperti perbankan (sebesar Rp253,9 triliun), asuransi
25 15
(Rp53,3 triliun), dana pensiun (Rp32,2 triliun) dan
5
reksadana (Rp31,9 triliun), menyebabkan pelemahan pasar
-5
SUN akan berdampak negatif terhadap kinerja lembaga
-15
keuangan domestik tersebut sehingga perlu diwaspadai.
-25 -35
Sep Okt
Nov Des
Jan
Feb
Mar
Apr
2007
Mei Jun
Jul
Ags
Sep Okt
Nov Des
Grafik 2.53 Kepemilikan SUN dan SBI Investor Asing
2008
Grafik 2.52 Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham
Rp triliun 120 SBI
SUN
100
Rp triliun 35
80
25
60 15
40
5 -5
20
-15
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
2008
-25 -35 Sep Okt
Nov Des
2007
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei Jun
Jul
Ags
Sep Okt
Nov Des
2008
Grafik 2.54 Penyerapan SUN Lembaga Keuangan Domestik dan Asing Rp triliun
Perilaku profit taking oleh investor asing berpotensi
20
menekan stabilitas sistem keuangan karena berpotensi
10
memicu pembalikan arus dana secara tiba-tiba dan
0
serentak ( sudden reversal ). Kerawanan terutama
-10 -20
bersumber pada portofolio SUN yang dimiliki investor asing
-30
sejumlah Rp87,4 triliun per akhir Desember 2008 yang
-40
sebagian besar merupakan portofolio manajer investasi
-50
LK Domestik Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
LK Asing Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
2008
asing. Selain berpotensi memicu sudden reversal , pelepasan SUN oleh investor asing juga akan berpotensi menekan nilai tukar rupiah dan harga SUN.
40
Pasar Saham Pada semester laporan, bursa saham global terkoreksi
Potensi kerawanan semakin besar karena perilaku
turun terimbas sentimen negatif kejatuhan perusahaan-
investor utama SUN cenderung searah. Hal ini tampak pada
perusahaan investasi peringkat atas serta meningkatnya
perkembangan selama semester laporan yaitu pelepasan
laporan kerugian lembaga keuangan internasional. Bursa
SUN oleh investor asing sebesar Rp4,7 triliun diikuti dengan
Dow Jones turun pesat sekitar 23% dan sempat
Bab 2 Sektor Keuangan
menyentuh level terendah 7.552,2 (pertengahan
pertambangan yang masing-masing turun sekitar 70% dan
November 2008). Prospek memburuknya kondisi
74%. Pelemahan cukup besar juga dialami indeks sektoral
perekonomian global dan adanya ekspektasi resesi di AS
yang rentan terhadap pelemahan nilai tukar yaitu indeks
dan beberapa negara di Eropa berdampak pada turunnya
sektor perdagangan dan indeks sektor aneka industri yang
kinerja bursa regional Asia. Dalam hal ini, IHSG tercatat
masing-masing turun sekitar 58% dan 40%.
turun sekitar 42,3% menjadi 1.355,41 (Desember 2008) Tabel 2.6 Pertumbuhan Indeks Sektoral
dan sempat mencapai level terendah sebesar 1.111,39 pada tanggal 28 Oktober 2008. Dengan perkembangan
Pertumbuhan Jun 07 Des 07 Jun 08 Sep 08 Des 08
tersebut, rata-rata IHSG selama semester II 2008 sekitar 1.723,06, atau jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata selama semester sebelumnya sebesar 2.485,47. Tabel 2.5 Pertumbuhan Indeks Bursa Regional Pertumbuhan Jun 07 Des 07 Jun 08 Sep 08 Des 08 IHSG STI SET KLCI PCOMP NIKKEI HSCI KOSPI FTSE UKX DJIA
2.139,28 3.475,89 776,79 1.354,38 3.660,86 18.138,36 21.772,73 1.743,60 9.873,02 6.607,90 13408,62
2.745,83 3.465,63 858,10 1.445,03 3.621,60 15.307,78 27.812,65 1.897,13 9.740,32 6.456,90 13264,82
2.349,11 2.947,54 768,59 1.186,57 2.459,98 13.484,38 22.102,01 1.674,92 8.660,48 5.625,90 11350,01
1.832,51 2358,91 596,54 1.018,68 2.569,65 11.259,86 18.016,21 1.448,06 7.532,80 4.902,45 10850,66
1.355,41 1.761,56 449,96 876,75 1.872,85 8.859,56 14.387,48 1.124,47 5.757,05 4.434,17 8776,39
(%)
Sem II 07 Sem II 08 Jun-Sep 08 28,35 (0,30) 10,47 6,69 (1,07) (15,61) 27,74 8,81 (1,34) (2,29) (1,07)
(42,30) (40,24) (41,46) (26,11) (23,87) (34.28) (34,90) (32,86) (33,53) (21,18) (22,68)
(21,99) (19,97) (22,39) (14,15) 4,46 (16,48) (18,49) (13,54) (13,02) (12,86) (4,40)
(%)
Sem II 07 Sem II 08 Jun-Sep 08
IHSG 2.139,28 2.745,83 2.349,11 1.832,51 1.355,41 28,35 Indeks Sektor Keuangan 223,14 260,57 203,74 203,37 176,33 16,78 Indeks Sektor Pertanian 1.680,12 2.754,76 3.061,06 1.489,57 918,77 63,96 Indeks Sektor Industri Dasar 196,10 238,05 200,05 162,93 134,99 21,39 Indeks Sektor Konsumsi 437,01 436,04 398,29 381,36 326,84 (0,22) Indeks Sektor Properti 211,72 251,82 168,53 142,42 103,49 18,94 Indeks Sektor Pertambangan 1.647,04 3.270,09 3.415,96 1.833,24 877,68 98,54 Indeks Sektor Infrastruktur 750,43 874,07 652,81 570,91 490,35 16,47 Indeks Sektor Perdagangan 387,38 392,24 356,76 261,33 148,33 1,26 Indeks Sektor Aneka Industri 324,96 477,35 360,65 326,15 214,94 46,89
(42,30) (13,45) (69,99) (32,52) (17,94) (38,59) (74,31) (24,89) (58,42) (40,40)
(21,99) (0,18) (51,34) (18,55) (4,25) (15,49) (46,33) (12,55) (26,75) (9,57)
Sementara itu, berkurangnya tekanan inflasi dan terdapatnya sinyal penurunan suku bunga pada menjelang akhir tahun 2008 berhasil menahan pelemahan indeks sektor keuangan yang hanya turun sekitar 0,18%. Gejolak krisis pasar global sempat membuat volatilitas pasar saham domestik melonjak tinggi pada periode SeptemberNovember 2008. Namun, karena secara rata-rata volatilitas
Grafik 2.55 Perkembangan IHSG & Indeks Global dan Regional (Diindekskan dengan Indeks 31 Desember 2005)
pasar saham domestik cukup moderat, maka minat investor untuk profit taking jangka pendek masih tetap bertahan.
2,20
Grafik 2.56 Volatilitas (30 hari) beberapa Indeks Bursa Asia
1,70
%
1,20 120 0,70
Indonesia Thailand Singapore
100
Jepang Malaysia Hongkong
80
0,20 Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
2007
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
2008 IHSG PCOMP FTSE
FSSTI NKY NYA
60 SET Hang Seng DJIA
KLCI KOSPI
40 20
Seluruh indeks sektoral mengalami pelemahan, 0
terutama indeks sektor pertanian dan indeks sektor
Des
2007
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
2008
41
Bab 2 Sektor Keuangan
Turun tajamnya indeks saham diiringi pula dengan
Selama semester laporan, harga sebagian besar
berkurangnya aktivitas transaksi. Hal tersebut antara lain
saham perbankan melemah signifikan meskipun
karena adanya libur panjang menjelang akhir tahun 2008.
menjelang akhir semester terindikasi rebound. Sementara
Selama semester II 2008, transaksi saham turun sekitar
itu, dari sisi Price/Earning Ratio (PER), sebagian besar saham
64% menjadi Rp34,88 triliun. Transaksi saham investor
bank mengalami penurunan.
asing menurun, namun tetap tingginya minat investor mengakibatkan terdapatnya net beli sebesar Rp7,77 triliun.
Grafik 2.59 Perkembangan Harga Saham Beberapa Bank
Penurunan harga yang disertai turunnya transaksi perdagangan menyebabkan turunnya kapitalisasi pasar sebesar 45,86% menjadi hanya Rp1,076 triliun. Sementara
1.200,00
9.000,00 8.000,00
1.000,00
7.000,00
itu, likuiditas pasar tetap rendah, tercermin pada emisi saham yang hanya meningkat 6,94% menjadi Rp407,46
800,00
6.000,00 5.000,00
600,00 4.000,00
triliun dengan jumlah emiten yang hanya bertambah 17
400,00
3.000,00 2.000,00
perusahaan menjadi 485 perusahaan.
200,00
1.000,00 -
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
2007
Grafik 2.57 Nilai Transaksi Saham Investor Domestik dan Asing
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov Des
2008
BCA (LHS) Danamon (LHS) CIMB Niaga (RHS)
BRI (LHS) BNI (LHS)
Mandiri (LHS) BII (RHS)
Rp triliun 160 Total
Indonesia
Asing
140
Grafik 2.60 P/E Ratio Saham Bank
120 100
%
80
90
60
80
40
70
Jun 07
Des 07
Jun 08
Des 08
60
20
50
0
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
2008
40 30 20 10
Grafik 2.58 Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi
0
Danamon
BCA
BRI
Mandiri
BNI
BII
CIMB Niaga
Rp triliun 450
3500
400
3000 N Kap (BEI) N Kap (BEJ) N Kap (BES) IHSG (RHS) N Emisi
2500 2000
350
250 200
1500
100 500
50 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
2008
42
Tingginya suku bunga sejak awal sampai pertengahan semester II 2008 menyebabkan kinerja pasar
150
1000
0
Pasar Surat Utang
300
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
surat utang menjadi tertekan. Harga SUN mengalami penurunan, tercermin pada turunnya indeks IDMA sekitar
0
11% menjadi 88,21. Bahkan, indeks IDMA sempat
Bab 2 Sektor Keuangan
mencapai level terendah 67,11 pada tanggal 29 Oktober
berkembangnya transaksi SUN untuk tenor jangka
2008. Untuk mengurangi potensi kerugian investor karena
panjang. Tidak adanya acuan yield yang wajar untuk
turun pesatnya harga SUN, telah ditempuh kebijakan untuk
penanaman rupiah berjangka panjang (berjangka waktu
melonggarkan aturan marking to market bagi investor
lebih dari 10 tahun) juga menghambat perkembangan
SUN. Sejalan dengan penurunan BI rate sejak awal
transaksi SUN berjangka panjang.
November 2008, pasar mulai rebound, terindikasi pada Grafik 2.63 SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor
turunnya yield penanaman rupiah berbagai tenor.
Rp triliun 45
Grafik 2.61 Perkembangan Harga Beberapa Seri FR
FR
40
VR
ORI
Zero Coupon
SPN
35 30
140
25 120
20 15
100
10
80
5 0
60 40
FR02 FR48
20
Jan
Feb
Mar
Apr
FR49 FR47
Mei
Jun
FR27 FR45
Jul
Ags
Sep
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2037 2038
Tertekannya pasar surat utang mengurangi minat Okt
Nov
Des
emiten untuk menghimpun dana melalui penerbitan
2008
obligasi. Pada tahun 2008, pembiayaan melalui emisi Grafik 2.62 Yield SUN 1 s.d. 30 tahun
obligasi korporasi tercatat rendah, yaitu nilai emisi hanya naik sekitar 9% menjadi Rp145,9 triliun dengan tambahan
% 20
emiten hanya 3 perusahaan sehingga menjadi 178
18
perusahaan. Emisi obligasi korporasi tersebut tidak
16 14
berdampak nyata terhadap likuiditas pasar obligasi
12
korporasi karena sebagian besar emisi merupakan
10
refinancing. Secara keseluruhan, posisi obligasi korporasi
8 1 tahun
6
3 tahun
10 tahun
4
Des
2007
Jan
Feb
Mar
Apr
5 tahun
15 tahun Mei
Jun
30 tahun Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Grafik 2.64 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi
Des
2008
(Emisi & Posisi Trl Rp)
Dari segi likuiditas, tidak adanya lelang SUN pada Kuartal IV (sejak 14 Oktober 2008) telah menyeimbangkan
160
Emisi
(Emiten) Posisi
179
Emiten
178
140
177
120
likuiditas pasar yang diwarnai aksi jual. Sejalan dengan
100
itu, posisi SUN pada semester laporan turun dari Rp515,0
80
176 175 174
60
triliun menjadi Rp511,0 triliun. Dari segi tenor, likuiditas pasar SUN tetap terkonsentrasi pada SUN berjangka pendek dan menengah yang menyebabkan kurang
173
40
172
20
171
0
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
170
2008
43
Bab 2 Sektor Keuangan
pada akhir Desember 2008 tercatat sebesar Rp73 triliun,
sejalan dengan melemahnya pasar surat utang, NAB
atau turun sebesar 13,7% dibandingkan posisi pada akhir
reksadana pendapatan tetap turun 15% menjadi Rp14,0
Desember 2007.
triliun. Sementara itu, pemberlakuan ketentuan Bapepam-
Reksadana
LK yang melarang redemption reksadana terproteksi yang
Semakin melemahnya pasar keuangan menyebabkan
belum selesai masa pengelolaannya, menyebabkan NAB
memburuknya kinerja reksadana. Hal tersebut terlihat pada
reksadana terproteksi tetap meningkat, yaitu naik 21%
perkembangan Nilai Aktiva Bersih (NAB) pada semester
menjadi Rp24,9 triliun. Sejalan dengan itu, pangsa
laporan (s.d Oktober 2008) yang turun 25% menjadi
reksadana terproteksi pada akhir Desember 2008 menjadi
Rp68,9 triliun. Dengan perkembangan tersebut, selama
yang terbesar yaitu sekitar 36%, padahal pada akhir
tahun 2008 NAB reksadana turun sekitar 27%.
Desember 2007 pangsanya masih sekitar 17%. Tetap
Perkembangan
kurang
meningkatnya NAB reksadana terproteksi berhasil
menggembirakan yang disertai meningkatnya volatilitas
mengurangi tekanan redemption. Bahkan, selama tahun
IHSG mengakibatkan NAB reksadana saham turun sebesar
2008 redemption tetap lebih kecil dibandingkan dengan
53% menjadi Rp16,6 triliun, sementara NAB reksadana
subscription, yaitu Rp81,6 triliun berbanding Rp83,8
campuran turun 38% menjadi Rp8,7 triliun. Selanjutnya,
triliun.
bursa
saham
yang
Grafik 2.65 Nilai Aktiva Bersih Reksadana
Grafik 2.67 Reksadana : NAB-Unit Penyertaan
Rp triliun 40
120
35
NAB, trl Rp,kr
Unit Penyertaan, mil unit,kr
100
2000
NAB/Unit,knn
1800 1600
30
1400
80
25
1200
20
60
1000 800
15
40
600
10 5 0
400
20
200 Des 2007
Jan
Feb
Mar
Pend Tetap
Apr
Saham
Mei Jun 2008 Camp
Jul
Ags
Ps Uang
Sep
Okt
0
14
Feb
Mar
Apr
Mei Jun 2008
Jul
Ags
Sep
Okt
160
Juml Unit Penyertaan,kr
NAB, trl Rp,knn
12
100
Juml Dana,Trl Rp,kr
Juml Reksadana, knn
140
80
8 60
520
100
500
80 480
6 40
4
60 460
40 20
2
44
560 540
120
10
0
0
Grafik 2.68 Kinerja Penghimpunan Dana Reksadana 120
Subscr, trl Rp,kr
Jan
Terproteksi
Grafik 2.66 Reksadana : Redemption-Subscription-NAB Rdmp, trl Rp,kr
Des 2007
Des 2007
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei Jun 2008
Jul
Ags
Sep
Okt
0
440
20 0
Des 2007
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei 2008
Jun
Jul
Ags
Sep
420
Bab 2 Sektor Keuangan
Namun demikian, terdapat tanda-tanda bahwa minat
menjadi sekitar 62,5 miliar unit. Selain itu, peningkatan
investor terhadap reksadana semakin menurun. Hal tersebut
penghimpunan dana melalui reksadana pada tahun 2008
antara lain terlihat pada unit penyertaan. Meskipun
(s.d September) tergolong kecil yaitu hanya sebesar 2%
sepanjang tahun 2008 terdapat peningkatan unit penyertaan
menjadi Rp135,5 triliun, sementara jumlah reksadana
sebesar 17%, namun sejak September 2008 menurun
meningkat cukup besar yaitu sekitar 16% menjadi 549.
45
Bab 2 Sektor Keuangan
Boks 2.1
Kronologis Gejolak Sektor Keuangan 2008 dan Respon Kebijakan
Kondisi sektor keuangan pada tahun 2008,
Berikut ini disampaikan ringkasan kronologis
khususnya selama semester II, penuh gejolak.
gejolak keuangan di Indonesia selama semester II 2008
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, gejolak tersebut
dan respon kebijakan yang telah diambil untuk
telah membuat Indeks Stabilitas Keuangan (Financial
menjaga stabilitas sistem keuangan.
Stability Index - FSI) meningkat tajam selama semester laporan, bahkan pernah melampaui batas indikatif maksimum angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Sementara itu, nilai tukar rupiah juga mengalami tekanan. Dalam perkembangan terakhir, FSI mulai sedikit menurun sejalan dengan membaiknya IHSG dan harga SUN, namun nilai tukar rupiah masih belum kembali kepada level sebelum Oktober 2008, meskipun volatilitasnya sudah semakin berkurang.
Tabel Boks 2.1.1 Kronologis Gejolak Sektor Keuangan Indonesia 2008 Tanggal
Kejadian
8-10 Oktober 2008 Bursa Efek Indonesia ditutup sementara. IHSG: 1.111,39, terendah sejak Desember 2005. 28 Oktober 2008 Indeks Harga SUN (IDMA): 67,11, terendah sejak 29 Oktober 2008 penerbitan SUN pertama kali pada Januari 2005. 20 Nopember 2008 LPS mengambilalih 1 bank yang dinilai berdampak sistemik (Bank Century). 24 Nopember 2008 Nilai tukar Rp/USD: 12.650, terendah sejak krisis 1997/ 1998.
Tabel Boks 2.1.2 Respon Kebijakan Tanggal 16 September 2008 23 September 2008 13 Oktober 2008
15 Oktober 2008
24 Oktober 2008 29 Oktober 2008 13 Nopember 2008 14 Nopember 2008 18 Nopember 2008 16 Desember 2008
46
Kejadian BI menurunkan O/N repo rate dari BI rate plus 300 bps menjadi BI rate plus 100 bps. BI menyesuaikan FASBI rate dari BI rate minus 200 bps menjadi BI rate minus 100 bps. BI memperpanjang jangka waktu Fine Tune Operation (FTO) dari 1 hari s.d 14 hari menjadi 1 hari s.d 3 bulan (PBI No.10/14/PBI/2008). BI merubah ketentuan tentang GWM rupiah dan GWM valas bagi Bank Umum (PBI No.10/19/PBI2008). BI meniadakan pembatasan posisi saldo harian Pinjaman Luar Negeri (PLN) jangka pendek (PBI No.10/20/PBI/2008). Penerbitan PERPPU No.2 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Penerbitan PERPPU No.3 Tahun 2008 yang mengatur kenaikan nilai simpanan nasabah yang dijamin LPS dari Rp100 juta menjadi Rp 2 milyar. BI memperpanjang tenor FX Swap dari paling lama 7 hari menjadi 1 bulan (PBI No.10/21/PBI/2008). BI berkomitmen menyediakan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan (PBI No.10/22/PBI/2008). Penerbitan PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/19/PBI2008 untuk menyempurnakan perhitungan GWM Rupiah menjadi GWM utama sebesar 5% dari DPK Rupiah, dan GWM sekunder sebesar 2.5% dari DPK Rupiah (PBI No.10/25/PBI/2008). BI mengeluarkan peraturan tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum (FPJP) (PBI No.10/26/PBI/2008). BI mengeluarkan peraturan yang membatasi transaksi spekulatif valas terhadap rupiah dengan mewajibkan adanya underlying transaksi untuk setiap pembelian valas yang melebihi USD100.000 (PBI No.10/28/PBI/2008). BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Umum (PBI No. 10/30/PBI/2008). BI mengeluarkan aturan mengenai Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) (PBI No.10/31/PBI/2008). BI melarang transaksi derivatif structured product yang terkait transaksi valas (PBI No.10/38/PBI/2008).
Bab 2 Sektor Keuangan
Boks 2.2
Pengambilalihan Bank Century, Penutupan Bank Indover dan Stabilitas Sistem Keuangan
Pada semester II 2008 terdapat 2 permasalahan
Sementara itu, De Indonesische Overzeese Bank
di perbankan yang banyak mendapat perhatian. Yang
atau lebih dikenal dengan Bank Indover adalah anak
pertama adalah pengambilalihan Bank Century oleh
perusahaan Bank Indonesia yang berkedudukan di
LPS dan yang kedua adalah penutupan Bank Indover.
Amsterdam, Belanda. Bank Indover sempat memiliki
Pertanyaannya adalah apakah kedua permasalahan
kinerja yang cukup bagus sebelum mengalami
tersebut mengganggu stabilitas sistem keuangan
kesulitan likuiditas akibat penurunan secara drastis
Indonesia?
money market line sebagai dampak dari gejolak pasar
Bank Century adalah hasil merger Bank CIC,
keuangan global, khususnya yang terjadi di Eropa.
Bank Pikko dan Bank Danpac pada bulan Desember
Bank ini akhirnya dibekukan oleh pengadilan Belanda
2004. Bersamaan dengan terjadinya kekeringan
pada tanggal 6 Oktober 2008.
likuiditas global yang berimbas ke dalam negeri, pada
Salah satu potensi tekanan terhadap stabilitas
bulan Juli 2008 Bank Century mengalami kesulitan
keuangan adalah penanaman yang dilakukan oleh
likuiditas yang ditandai dengan pelanggaran GWM
bank-bank domestik pada Bank Indover. Data yang
beberapa kali. Setelah itu, kinerja bank terus menurun
ada menunjukkan terdapat sekitar 14 bank domestik
sehingga masuk dalam pengawasan khusus (Special
yang melakukan penanaman pada Bank Indover
Surveillance ) Bank Indonesia. Namun demikian,
sebelum ditutup. Mengingat jumlah eksposur ke14
kondisi bank terus memburuk sehingga dinyatakan
bank domestik pada Bank Indover tersebut hanya
sebagai bank gagal pada tanggal 20 November 2008.
sekitar Rp1,6 triliun atau 0,07% dari total asset industri
Selanjutnya, mengingat bank tersebut dinilai
perbankan per Oktober 2008, maka penutupan Bank
berdampak sistemik maka Bank Century kemudian
Indover tidak menimbulkan dampak yang signifikan
diambilalih oleh LPS untuk disehatkan.
terhadap ketahanan sistem keuangan Indonesia.
Dalam kenyataannya pengambilalihan Bank
Selain itu, dampaknya terhadap rasio
Century oleh LPS tidak menimbulkan gejolak atau
permodalan (CAR) industri perbankan juga tidak besar.
shock yang signifikan di perbankan. Baik nasabah
Penutupan Bank Indover hanya mengakibatkan
maupun lembaga perbankan relatif tenang sehingga
penurunan CAR dari 16,18% menjadi 16,09%. Hasil
tidak menimbulkan tekanan terhadap stabilitas sistem
interbank stress test juga menunjukkan bahwa bank-
keuangan. Pengambilalihan bank yang tidak
bank yang mengalami penurunan CAR karena
menimbulkan gejolak ini sekaligus juga merupakan
penutupan Bank Indover bukanlah bank-bank yang
cerminan semakin kuatnya koordinasi antara
dapat menimbulkan dampak sistemik. Dari sisi
lembaga-lembaga terkait dalam sistem keuangan di
likuiditas, juga tidak berdampak signifikan karena
Indonesia dan berjalannya mekanisme protokol
hanya mengakibatkan penurunan likuiditas dalam
manajemen krisis (crisis management protocol) yang
kisaran antara 0,01% s.d 7,28% dari secondary
telah disepakati bersama.
reserves perbankan.
47
Bab 2 Sektor Keuangan
Boks 2.3 Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Segmentasi PUAB adalah suatu kondisi dimana
Negeri (DN) penurunan rata-rata per hari volume
transaksi antar bank cenderung terbatas dan hanya
transaksi baru terjadi satu bulan kemudian, yaitu sejak
terjadi antara sesama kelompok bank tertentu saja.
bulan Oktober 2008.
Dengan tersegmentasinya PUAB, bank yang memiliki
Pada Tabel di bawah ini tahun 2008 dipecah
likuiditas menjadi semakin berhati-hati dalam
menjadi dua periode. Periode I adalah sebelum
menempatkan atau mengelola likuiditasnya.
terjadinya tekanan likuiditas (Januari s.d. Agustus
Sementara, bank yang memerlukan likuiditas menjadi
untuk PUAB Rupiah atau Januari s.d. September untuk
semakin berhati-hati dalam meminjam dana di PUAB,
PUAB Valas DN), sedangkan periode II adalah setelah
bukan hanya karena keterbatasan supply, namun juga
terjadi tekanan likuiditas (September s.d. Desember
untuk menjaga reputasi.
untuk PUAB Rupiah atau Oktober s.d. Desember untuk
Segmentasi PUAB dapat ditelusuri dari
PUAB Valas DN). Dengan memperbandingkan kedua
perkembangan penurunan rata-rata perhari volume
periode tersebut, terlihat bahwa pada periode II hampir
transaksi PUAB. Pada PUAB Rupiah, penurunan rata-
semua kelompok bank membatasi transaksi, baik
rata per hari volume transaksi terjadi sejak bulan
dalam hal menempatkan dana (placing) maupun
September 2008, sementara pada PUAB Valas Dalam
dalam hal meminjam (taking). Selain itu, kalaupun ada
Tabel Boks 2.3.1 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Rupiah Januari s.d Desember 2008 Rp juta BANK PEMBERI Kelompok Bank
4 Bank Persero
BANK PEMINJAM
Bank Besar Non Persero Bank Swasta Menengah Bank Swasta Kecil BPD Bank Campuran & KCBA TOTAL
48
Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan
4 Bank Persero 266.184 17.690 -93,4% 456.839 121.980 -73,3% 49.585 51.991 4,9% 9.382 4.963 -47,1% 10.229 2.500 -75,6% 873.565 225.304 -74,2% 1.665.783 424.429 -74,5%
Bank Besar Bank Swasta Bank Swasta Non Persero Menengah Kecil 260.786 30.547 -88,3% 239.003 372.240 55,7% 62.317 100.921 61,9% 53.515 37.090 -30,7% 4.897 11.701 139,0% 695.964 614.915 -11,6% 1.316.482 1.167.415 -11,3%
99.627 4.762 -95,2% 119.152 173.638 45,7% 36.332 126.384 247,9% 63.656 45.772 -28,1% 2.377 2.778 16,9% 197.388 355.914 80,3% 518.532 709.247 36,8%
8.628 0 -100,0% 69.866 20.184 -71,1% 50.926 31.345 -38,5% 36.223 15.076 -58,4% 1.411 0 -100,0% 71.858 15.469 -78,5% 238.913 82.074 -65,6%
BPD
Bank Campuran & KCBA
Total
706.069 112.154 -84,1% 592.022 367.196 -38,0% 81.815 90.521 10,6% 7.424 1.594 -78,5% 252.279 318.728 26,3% 97.870 51.586 -47,3% 1.737.480 941.778 -45,8%
143.799 3.962 -97,2% 188.310 143.939 -23,6% 17.459 33.659 92,8% 22.954 12.730 -44,5% 0 0 917.118 1.090.923 19,0% 1.289.640 1.285.213 -0,3%
1.485.093 169.115 -88,6% 1.665.192 1.199.177 -28,0% 298.434 434.819 45,7% 193.155 117.226 -39,3% 271.193 335.707 23,8% 2.853.763 2.354.112 -17,5% 6.766.829 4.610.157 -31,9%
Bab 2 Sektor Keuangan
transaksi, hal itu cenderung hanya terjadi terbatas
serangkaian kebijakan yang diambil Bank Indonesia
pada kelompok bank-bank tertentu saja. Bank-bank
dan Pemerintah, maka mulai penghujung tahun 2008,
besar terlihat hanya mau bertransaksi dengan sesama
baik PUAB rupiah maupun valas DN, sama-sama
bank besar pula, sementara bank-bank kecil dan
menunjukkan peningkatan rata-rata per hari volume
menengah relatif kesulitan dalam mendapatkan dana
transaksinya. Dengan demikian, ke depan diharapkan
antar bank.
permasalahan segmentasi PUAB ini segera mulai
terselesaikan secara menyeluruh sehingga tidak
membaiknya kondisi likuiditas domestik paska
menimbulkan tekanan terhadap stabilitas keuangan.
Perkembangan
terakhir,
seiring
Tabel Boks 2.3.2 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Valas DN Januari s.d Desember 2008 USD ribu BANK PEMBERI Kelompok Bank
4 Bank Persero
BANK PEMINJAM
Bank Besar Non Persero Bank Swasta Menengah Bank Swasta Kecil BPD Bank Campuran & KCBA TOTAL
Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan Periode I Periode II Perubahan
4 Bank Persero 8.623 4.455 -48,3% 10.481 2.209 -78,9% 2.504 1.170 -53,3% 0 0 32 0 -100,0% 45.668 2.585 -94,3% 67.307 10.419 -84,5%
Bank Besar Bank Swasta Bank Swasta Non Persero Menengah Kecil 14.935 16.072 7,6% 9.057 7.193 -20,6% 2.837 1.568 -44,7% 3 0 -100,0% 14 700 5037,9% 60.364 41.127 -31,9% 87.209 66.660 -23,6%
5.980 4.481 -25,1% 6.014 4.530 -24,7% 670 648 -3,3% 78 0 -100,0% 0 19
759 894 17,6% 1.109 1.065 -4,0% 1.525 1.212 -20,5% 53 18 -66,9% 0 19
24.368 13.445 -44,8% 37.110 23.122 -37,7%
5.943 6.093 2,5% 9.390 9.300 -1,0%
BPD 1.337 174 -87,0% 52 50 -4,5% 24 8 -65,0% 0 0 0 0 144 0 -100,0% 1.558 232 -85,1%
Bank Campuran & KCBA 2.873 4.418 53,8% 6.561 2.121 -67,7% 330 376 14,1% 45 25 -44,7% 94 0 -100,0% 81.611 71.763 -12,1% 91.513 78.703 -14,0%
Total
34.508 30.494 -11,6% 33.274 17.168 -48,4% 7.889 4.982 -36,8% 179 43 -76,2% 139 737 429,7% 218.098 135.014 -38,1% 294.087 188.437 -35,9%
49
Bab 2 Sektor Keuangan
Boks 2.4
Structured Products dan Offshore Products: Dampaknya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Structured Products
menyediakan dana untuk memelihara nilai simpanan.
Beberapa bank, terutama kantor cabang bank
Bahkan nasabah structured products tertentu, seperti
asing dan bank swasta nasional yang dimiliki asing,
eksportir, dewasa ini ada yang menghadapi persoalan
akhir-akhir ini aktif melakukan penawaran produk-
pembatalan sepihak oleh importir di luar negeri terkait
produk investasi yang dikenal di Indonesia sebagai
dengan memburuknya perekonomian global.
structured products . Secara umum, structured
Akibatnya, nasabah ini tidak memiliki dana cukup
products dapat dipandang sebagai derivatif produk
untuk memelihara nilai simpanan, padahal mereka
keuangan konvensional dengan struktur aset yang
juga kesulitan untuk membatalkan transaksi
diharapkan menghasilkan return yang paling optimal
structured products karena tingginya biaya
atau memberikan yield enhancement bagi nasabah,
pembatalan transaksi (unwinding cost). Sementara itu,
berdasarkan asumsi-asumsi tertentu dari indikator
karena bank masih memiliki kewajiban terhadap bank
pasar keuangan yang umum, misalnya suku bunga,
lain terkait transaksi structured products nasabah,
nilai tukar dan indeks saham.
maka bank seringkali menutup kewajiban nasabah
Structured products yang berkembang di
yang jatuh waktu terlebih dahulu. Namun, praktek
Indonesia umumnya merupakan derivatif dari deposito
tersebut akan meningkatkan eksposur risiko kredit
dengan option atau hedging (umumnya forward)
bank, dan dapat menjadi sumber dispute dengan
dengan option. Data menunjukkan bahwa
nasabah. Dengan demikian, transaksi structured
perkembangan transaksi option sangat pesat, yaitu
products telah menimbulkan suatu kesulitan baru
pada tahun 2007 meningkat 251% dan pada tahun
diperbankan dan apabila tidak diselesaikan secara
2008 meningkat 134%. Sementara itu, transaksi
cermat, berpotensi menekan stabilitas keuangan.
forward juga meningkat yaitu pada tahun 2007 dan 2008 masing-masing naik 24% dan 46%. Sementara itu, memburuknya perekonomian
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari permasalahan structured products yang saat ini ramai dibicarakan
adalah
pentingnya
perbankan
global menekan kinerja neraca pembayaran Indonesia.
menerapkan kehati-hatian dan keterbukaan dalam
Hal ini kemudian menjadi sentimen negatif yang
memasarkan produk tersebut, termasuk dalam
membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi. Pada tahun
menjelaskan aspek mitigasi risiko dan perlindungan
2008, nilai tukar Rp/USD melemah sekitar 18,5%
konsumen. Apabila masalah structured products tidak
sehingga nilai tukar pada akhir Desember mencapai
tuntas diselesaikan, hal ini akan meningkatkan risiko
sekitar Rp11.120/USD. Pelemahan nilai tukar rupiah
reputasi dan risiko hukum dari masing-masing bank
ini kemudian mempengaruhi kinerja structured
yang terkait.
products yang pada umumnya tidak pernah memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah akan terdepresiasi secara signifikan.
50
Offshore Products Sementara itu, maraknya transaksi reksadana
Dalam perkembangan lebih lanjut, menurunnya
telah mendorong perbankan untuk melakukan
kinerja structured products menimbulkan kerugian
kegiatan keagenan reksadana. Akibatnya, keagenan
bagi investor, sementara investor tetap harus
reksadana oleh perbankan tidak lagi hanya terbatas
Bab 2 Sektor Keuangan
pada reksadana onshore , yaitu reksadana yang
negeri pada semester II 2008 turun 14% menjadi
diterbitkan oleh manajer investasi (MI) domestik,
sekitar Rp32 triliun. Penurunan tersebut terkait dengan
namun juga mencakup penawaran produk keuangan
melemahnya pasar keuangan global sehingga
offshore, baik yang bersifat structured funds maupun
mengurangi minat investor terhadap produk-produk
structured notes. Pada dasarnya, structured funds
investasi terstruktur. Namun demikian, jumlah bank
merupakan reksadana yang diterbitkan oleh MI luar
penyelenggara semakin meningkat. Hal tersebut
negeri, sementara structured notes merupakan jenis
antara lain karena bertambahnya bank domestik yang
produk keuangan terstruktur yang yang diterbitkan
telah diambil alih pihak asing.
oleh investment banks di luar negeri.
Di samping perbankan, penawaran produk
Beberapa alasan utama dilakukannya kegiatan
keuangan offshore juga dilakukan oleh MI domestik.
penawaran produk keuangan offshore oleh
Berdasarkan data sementara s.d November 2008,
perbankan adalah: (i) adanya permintaan dari
penawaran produk keuangan offshore oleh MI
nasabah utama (prime customers); (ii) dalam rangka
domestik jauh lebih rendah, yaitu hanya berkisar Rp2,5
memelihara hubungan dengan nasabah atau
triliun. Bahkan, selama semester II 2008 (data s.d
menjaga agar nasabah tidak pindah ke bank lain; dan
November) jumlahny menurun sekitar 6% sehingga
(iii) untuk menghadapi persaingan dengan semakin
menjadi sekitar Rp2 triliun. Namun demikian, secara
maraknya penawaran produk-produk keuangan luar
keseluruhan, posisi produk keuangan offshore yang
negeri oleh bank dan MI luar negeri yang dilakukan
ditawarkan oleh bank dan MI domestik relatif kecil,
dengan cara mengunjungi calon investor langsung
yaitu pangsanya secara rata-rata hanya sekitar 29%
ke Indonesia.
dari reksadana onshore.
Dengan latar belakang tersebut, kantor cabang
Penawaran produk keuangan offshore yang
bank Asing (KCBA) adalah kelompok bank yang paling
dilakukan oleh perbankan tampaknya masih
aktif dalam melakukan keagenan produk keuangan
cenderung terbatas, yaitu hanya ditujukan bagi calon
offshore, khususnya melalui unit private banking atau
investor yang telah memiliki pemahaman yang cukup
unit wealth management. Pada sebagian bank, unit
tentang risiko penanaman pada produk keuangan
wealth management di Indonesia berhubungan
offshore. Meskipun masih cenderung terbatas, kehati-
langsung dan merupakan bagian dari unit wealth
hatian perlu ditingkatkan mengingat kegiatan
management pada global office bank yang
keagenan produk keuangan offshore berpotensi
bersangkutan di luar negeri. Hal lain yang
membuat bank lebih terekspose terhadap risiko
menyebabkan KCBA menjadi cukup aktif dalam
reputasi dan risiko hukum, disamping memperbesar
melakukan penawaran produk keuangan offshore
peluang meningkatnya kesalahpahaman dengan
adalah karena kegiatan serupa telah sering dilakukan
investor, khususnya apabila masalah tranparansi dan
di kantor-kantor cabang bank tersebut di negara-
perlindungan nasabah kurang diperhatikan. Dampak
negara lain.
penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah
Berdasarkan laporan dari beberapa bank
penanaman yang berlebihan dalam offshore products
penyelenggara keagenan produk keuangan offshore
berpotensi mendorong terjadinya pelarian dana
diketahui bahwa penawaran produk keuangan luar
investor domestik ke luar negeri.
51
Bab 2 Sektor Keuangan
Dampak Utang Luar Negeri terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Boks 2.5
Pengalaman krisis 1997/1998 menunjukkan bahwa utang luar negeri (ULN) perbankan dan korporasi
yang mencakup kewajiban pembayaran ULN Pemerintah dan Swasta.
dapat menjadi pemicu krisis, khususnya apabila nilai
Jumlah pokok dan bunga ULN swasta perbankan
tukar domestik mengalami penurunan yang signifikan.
yang jatuh tempo pada tahun 2009 hanya sebesar
Belajar dari pengalaman tersebut, bank dewasa ini
USD3,1 miliar, sedangkan jumlah ULN swasta non
cukup berhati-hati dalam menjaga Posisi Devisa Netto
bank adalah sekitar USD14,2 miliar (tidak termasuk
(PDN), tercermin dari rata-rata PDN industri perbankan
jumlah ULN yang standstill ). Bagi perbankan,
yang cukup rendah (6,2%) padahal batas maksimal
kewajiban pembayaran ULN diperkirakan akan cukup
adalah 20% dari modal. Namun demikian, mengingat
terkendali, mengingat sekitar 60% dari total ULN yang
profil maturitas valas perbankan menunjukkan cukup
akan jatuh tempo pada tahun 2009 merupakan
tingginya posisi short jangka pendek (tenor s.d. 1 bulan),
banker»s acceptance. Sementara itu, jumlah ULN
maka kehati-hatian perlu lebih ditingkatkan.
swasta non bank juga masih relatif kecil dibandingkan
kewajiban
dengan cadangan devisa. Dengan demikian, tekanan
pembayaran utang luar negeri 2009 masih
terhadap nilai tukar yang berasal dari ULN swasta
manageable . Selama 2009 diperkirakan akan
termasuk perbankan pada tahun 2009 diperkirakan
dilakukan pembayaran ULN sebesar USD27,5 miliar
tidak akan signifikan.
Secara
umum
diperkirakan
Tabel Boks 2.5.1 Utang Luar Negeri Swasta Jatuh Tempo 2009 LOAN_TYPE
Loan Agreement Securities Trade Credits Other Loan Jumlah
Tw I-09 4.208,97 1.614,73 755,45 32,94 6.612,08
Tw II-09 2.191,40 750,35 154,43 10,76 3.106,94
Tw III-09 1.919,57 223,03 87,03 3,23 2.232,86
Tw IV-09 3.190,13 93,36 87,55 57,55 3.428,58
USD Juta 11.510,06 2.681,46 1.084,47 104,46 15.380,46
BUNGA LOAN_TYPE
Loan Agreement Securities Jumlah Grand Total
Tw I-09 271,47 54,60 326,07 6.938,14
Tw II-09 555,55 66,11 621,67 3.728,61
Tw III-09 238,14 49,06 287,21 2.520,06
Tw IV-09 699,22 62,66 761,88 4.190,46 Bank Non Bank ULN Swasta*
* Tidak termasuk surat-surat berharga domestik yang dimiliki asing sebesar USD1.308 juta.
52
USD Juta 1.764,38 232,44 1.996,82 17.377,28 3.140,50 14.236,70 17.377,20
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
53
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Halaman ini sengaja dikosongkan
54
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Bab 3
Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Kehandalan infrastruktur keuangan selama semester II 2008 tetap terpelihara dengan baik sehingga dapat mendukung aktivitas di sistem keuangan dan perekonomian. Sistem pembayaran terus menunjukkan kemajuan, sementara informasi yang disediakan oleh Biro Informasi Kredit semakin banyak dimanfaatkan. Keberadaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang saat ini sedang dipersiapkan undang-undangnya akan semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan ke depan.
3.1. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Grafik 3.1 Perkembangan Transaksi BI-RTGS
Secara umum, peranan Sistem BI-RTGS dalam sistem pembayaran semakin penting karena dari sisi nilai transaksi,
12,0
50.000 Volume (jutaan)
sekitar 93% pembayaran menggunakan sistem ini.
10,0
Namun, dari sisi volume transaksi, pembayaran dengan
8,0
menggunakan kartu (Kartu kredit, kartu debit dan kartu
6,0
ATM) lebih mendominasi, yaitu sebesar 97% dari total
4,0
pembayaran.
2,0
Nominal (trilyun)
40.000
30.000 20.000
Nilai transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS
10.000
-
2004
2005
2006
2007
2008
mengalami peningkatan sebesar Rp3,1 ribu triliun atau tumbuh 14,68% (yoy) mencapai nilai Rp23,9 ribu triliun
Sementara
itu,
setelmen
melalui
SKN-BI
(yoy). Seiring dengan peningkatan nilai transaksi, volume
menunjukkan pola yang agak berbeda dengan yang
transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS bertambah
melalui BI-RTGS. Selama 2 tahun terakhir sampai dengan
710 ribu transaksi atau tumbuh 14,9% mencapai 5,45
akhir semester II 2008, nilai dan volume transaksi
juta transaksi dibandingkan periode sebelumnya.
pembayaran melalui SKN-BI mengalami tren kenaikan,
Peningkatan volume transaksi tersebut terutama karena
namun pada semester II 2008 cenderung menurun. Secara
semakin banyaknya transaksi antar nasabah dan transaksi
lebih khusus, jika dibandingkan dengan semester II 2007,
pemerintah yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS.
transfer dana ritel melalui SKN-BI mengalami penurunan
55
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Grafik 3.4 Perkembangan Transaksi E-Money
Rp105,35 triliun (14,31%) menjadi Rp631 triliun. Dari sisi volume transaksi juga terdapat penurunan yaitu 19,35 juta
20,00
500,00 Volume (ribu) Nominal (milyar)
transaksi (47,96%) menjadi 21 juta transaksi. 400,00
Grafik 3.2 Perkembangan Transaksi SKN-BI Volume
10,00 200,00
Nilai (Rp Juta)
6
120 Volume (Juta) Nilai (Rp Triliun)
5
15,00
300,00
5,00
100,00
100 0,00
0,00 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
80
3
60
meningkat sebesar 1,15 juta transaksi (163,75%).
2
40
Peningkatan ini karena semakin banyaknya penerbit baru
1
20
e-money, sehingga sampai dengan akhir tahun 2008 sudah
-
-
terdapat 8 penerbit e-money.
1
2
3
4
5
6 7
8 9 10 11 12 1
2
3
2007
4
5
6 7
8 9 10 11 12
2008
Penggunaan alat pembayaran menggunakan kartu
3.1.1. Risk Assessment dan Mitigasi Risiko
(APMK) juga cukup tinggi dengan jumlah transaksi melalui
Dalam rangka mitigasi risiko kredit dalam sistem
kartu ATM/Debit masih mendominasi hingga mencapai
pembayaran dan dalam upaya mengantisipasi dampak
89%, sedangkan penggunaan kartu kredit hanya sebesar
krisis global yang berpotensi membahayakan kebutuhan
11%. Dari sisi nilai transaksi, penggunaan kartu ATM/Debit
likuiditas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia telah
juga tetap tertinggi yaitu sebesar 95%, sedangkan kartu
menyempurnakan ketentuan Fasilitas Likuiditas Intrahari
kredit hanya 5%.
(FLI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), serta
Transaksi electronic money ( e-money ) dalam semester II 2008 mengalami pertumbuhan secara
mengeluarkan ketentuan baru mengenai Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD).
signifikan dibandingkan dengan semester I 2008. Dari sisi
Selain itu, dalam rangka mitigasi risiko setelmen
nilai transaksi, penggunaan e-money meningkat sebesar
dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional, Bank
Rp0,05 triliun (398,44%). Sementara, dari sisi volume
Indonesia telah menetapkan prefund sebagai salah satu
Grafik 3.3 Perkembangan Transaksi APMK
5%
11%
95% Kartu Berbasis (ATM dan ATM + Debit)
56
Des
4
89% Kartu Kredit
Kartu Berbasis (ATM dan ATM + Debit)
Kartu Kredit
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
mekanisme failure to settle (FtS) sebagaimana diatur dalam
tanggal 24 Desember 2008 perihal Perizinan KUPU, yang
Peraturan Bank Indonesia No.7/18/PBI/2005 tentang
mencabut ketentuan pelaksanaan sebelumnya (Surat
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI).
Edaran Bank Indonesia No.8/32/DASP tanggal 20
Mekanisme prefund merupakan kewajiban bank peserta
Desember 2006 perihal Pendaftaran KUPU). Dengan
SKN-BI untuk penyediaan dana awal baik berupa dana
berlakunya SE baru tersebut, masa transisi selama 2 tahun
tunai ( cash prefund ) atau surat berharga ( collateral
yang diberikan kepada penyelenggara KUPU untuk
prefund ) dalam rekening giro dan agunan di Bank
melakukan pendaftaran kegiatan usaha KUPU telah
Indonesia untuk dapat mengikuti kegiatan kliring debet.
berakhir dan setiap penyelenggara KUPU diwajibkan untuk
Dengan adanya kewajiban prefund ini diharapkan dapat
memperoleh izin dari Bank Indonesia. Dengan adanya
meminimalkan risiko terjadinya bank yang tidak memiliki
ketentuan baru ini diharapkan penyelenggaraan KUPU
likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajibannya
dapat termonitor dengan lebih baik dan memiliki standar
dalam setelmen kliring debet. Kegagalan pemenuhan
kegiatan sesuai international best practices.
prefund pada waktu yang ditetapkan dapat
Bank Indonesia juga terus berupaya untuk
mengakibatkan bank peserta tidak dapat mengikuti kliring
menyempurnakan ketentuan dan pengawasan APMK
debet pada hari tersebut.
guna memastikan bahwa penyelenggara APMK dapat
Dalam rangka mitigasi risiko gagal bayar dalam
mengelola potensi risiko. Dalam rangka meningkatkan
penyelesaian hasil kliring transaksi pembayaran debet
keamanan dan mitigasi potensi risiko penyalahgunaan dan/
antar-bank, pada akhir tahun 2008 Bank Indonesia telah
atau pemalsuan kartu kredit termasuk keamanan
mengeluarkan kebijakan untuk menerapkan pula prinsip
perangkat Electronic Data Capture, Bank Indonesia telah
no money no game untuk kliring debet.Ω Melalui penerapan
mengeluarkan kebijakan bahwa penggunaan chip pada
kebijakan penyempurnaan penyelesaian hasil kliring
kartu kredit harus dilakukan selambat-lambatnya 31
transaksi pembayaran debet antar-bank tersebut, risiko
Desember 2009.
gagal bayar dalam penyelesaian hasil kliring debet dapat
Sementara itu, sebagai tindak lanjut hasil security
dimitigasi, dan Bank Indonesia sebagai Penyelenggara
assessment dan progress implementasi chip kartu kredit
Kliring tidak akan menanggung risiko gagal bayar dari bank
yang telah dilakukan pada semester I tahun 2008 dapat
peserta kliring debet (mitigasi credit risk yang berpotensi
diinformasikan bahwa 46 temuan atau 58% dari 80 total
dihadapi oleh Bank Indonesia). Penerapan kebijakan no
temuan telah diselesaikan pada akhir semester II tahun
money no game dengan instrumen pre-fund tersebut akan
2008. Selanjutnya, Penerbit dan Acquirer diminta
membuat seluruh transaksi pembayaran debet dari suatu
menyampaikan laporan progres implementasi chip dan
bank dapat dibatalkan oleh Penyelenggara Kliring apabila
tindak lanjut security assessment secara berkala
pre-fund untuk meng-cover kewajiban dari hasil kliring
(triwulanan).
debet-nya tidak mencukupi.
Sebagai upaya untuk terus memitigasi potensi risiko
Terkait dengan upaya mengurangi risiko dalam
dalam sistem pembayaran antar-bank di Indonesia, pada
penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang
Sistem BI-RTGS direncanakan akan dikembangkan
(KUPU), Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan
mekanisme Payment-Versus-Payment (PVP) Settlement. Hal
pelaksana Surat Edaran Bank Indonesia No.10/49/DASP
ini dimaksudkan untuk memitigasi risiko kegagalan
57
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
pembayaran dalam penyelesaian transaksi perdagangan
Untuk menjaga kelangsungan sistem BI-RTGS pada
valuta asing (valas) antar-bank di Indonesia (mitigasi FX
penyelenggara, Bank Indonesia melaksanakan ujicoba sistem
settlement risk). Dengan PVP settlement, pembayaran mata
backup secara berkala dengan menggunakan berbagai
uang domestik dan mata uang asing dari transaksi
skenario. Sementara untuk memastikan keberfungsian
perdagangan valas antar-bank di Indonesia akan dilakukan
sistem backup pada peserta, Bank Indonesia memberikan
secara bersamaan (simultaneous settlement), sehingga dua
kesempatan untuk melakukan ujicoba koneksi ke
pihak dalam perdagangan valas antar-bank tidak akan
penyelenggara. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan
mengalami kondisi telah melakukan serah mata uang yang
alternatif mekanisme penyelesaian transaksi yang dapat
dijualnya namun belum menerima mata uang yang
digunakan oleh peserta dalam kondisi gangguan dan/atau
dibelinya (FX settlement risk).
keadaan darurat berupa fasilitas Guest Bank (penggunaan
Mekanisme PVP settlement yang akan dikembangkan
fasilitas hardware dan software di Bank Indonesia) dan
pada Sistem BI-RTGS terutama untuk penyelesaian
penggunaan instrumen Cek dan Bilyet Giro Bank Indonesia.
perdagangan Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah (USD/
Dalam rangka menjaga kehandalan infrastruktur
IDR). Hal ini karena perdagangan USD/IDR merupakan porsi
Sistem BI-RTGS dalam kondisi gangguan atau keadaan
terbesar dalam perdagangan valas antar-bank di Indonesia.
darurat, Bank Indonesia terus melakukan ujicoba dan
Mekanisme PVP yang dinamai USD/IDR PVP tersebut akan
analisa untuk meminimalkan recovery time objective (RTO).
dikembangkan dengan membangun USD/IDR PVP Link yang
RTO adalah target waktu yang ditetapkan dalam proses
akan menghubungkan Sistem BI-RTGS (untuk setelmen
pemulihan kegiatan operasional dan sistem untuk
pembayaran IDR) dengan Sistem USD-CHATS4 di HongKong
memastikan kesinambungan kegiatan operasional apabila
(untuk setelmen pembayaran USD). Untuk itu, Bank
terjadi gangguan (disaster). Penetapan RTO merupakan
Indonesia dan Hong Kong Monetary Authority telah
iterative process dan negotiation process yang dilakukan
menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of
dengan mempertimbangkan antara biaya dan risiko yang
Understanding) pada tanggal 24 Oktober 2008.
akan ditanggung. Mengingat BI-RTGS merupakan sistem penyelesaian transaksi nilai besar dan merupakan
3.1.2. Business Continuity Plan (BCP) Sistem BI-
systemically important payment system (SIPS), maka RTO
RTGS
diupayakan seminimal mungkin. Dalam kaitan ini, upaya-
Kegagalan sistem pembayaran dapat menimbulkan
upaya peningkatan percepatan proses recovery terus
gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh
dilakukan melalui kajian teknis dan penyelenggaran uji
karena itu, sistem pembayaran harus memiliki kinerja baik,
coba disaster recovery plan (DRP) secara berkala.
handal, serta termitigasi risikonya. Untuk itu, diperlukan kesiapan sumber daya manusia dan kehandalan
3.1.3. Upaya Pemenuhan CP-SIPS
infrastruktur (aplikasi, hardware dan jaringan) baik pada
Bank Indonesia terus berupaya untuk memenuhi
penyelenggara maupun peserta dalam menghadapi
standar internasional dalam penyelenggaraan sistem
kondisi darurat.
pembayaran yang bersifat sistemik seperti pemenuhan core
principle systemically important payment system (CP-SIPS) 4 CHATS singkatan dari Clearing House Automated Transfer System, yang merupakan salah satu sistem RTGS di HongKong.
58
yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlements
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Grafik 3.5 Peran Biro Informasi Kredit
PERTUMBUHAN EKONOMI PERTUMBUHAN SEKTOR RIIL BIRO INFORMASI KREDIT
INFORMASI
MASYARAKAT
INFORMASI
PERORANGAN
SEKTOR NON KEUANGAN PERUSH. UTILITAS PUBLIK
MEMPERLANCAR FUNGSI INTERMEDIASI MEMINIMALKAN GAP INFORMASI DAN RISIKO MEMPERCEPAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN
BADAN USAHA
NON BANK
BANK
SEKTOR KEUANGAN
MENURUNKAN BIAYA
PENGHIMUPUNAN DAN PENYEDIAAN DANA TRANSPARANSI DISIPLIN PASAR PEMERINTAH / REGULATOR
(BIS) untuk penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. Upaya yang
3.2. PENGEMBANGAN BIRO INFORMASI KREDIT
dilakukan antara lain mencakup peningkatan good
Pembentukan Biro Informasi Kredit (BIK), yang
corporate governance melalui reorganisasi satuan kerja
diresmikan pada bulan Juni 2006, merupakan salah satu
penyelenggara Sistem BI-RTGS.
upaya Bank Indonesia untuk memperkuat infrastruktur
Pada akhir tahun 2008, Bank Indonesia telah
sistem perbankan dan sistem keuangan di Indonesia. Hal
menerbitkan ketentuan internal No.10/86/Intern tanggal
ini merupakan wujud pelaksanaan Arsitektur Perbankan
23 Desember 2008 mengenai Reorganisasi Direktorat
Indonesia (API) khususnya Pilar V yaitu penguatan
Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP) sebagai salah
infrastruktur untuk menciptakan perbankan yang sehat,
satu langkah agar penyelenggaraan sistem pembayaran
kuat dan efisien.
dilakukan secara efektif, dapat dipertanggungjawabkan
Tugas utama BIK adalah menghimpun dan
dan transparan. Reorganisasi DASP merupakan
menyimpan data perkreditan, mempertukarkan dan pada
perwujudan dari kewajiban penyelenggara SIPS untuk
akhirnya mendistribusikannya sebagai informasi debitur
menerapkan prinsip tata kelola yang baik antara lain
dalam rangka mendukung pelaksanaan fungsi intermediasi
melalui adanya pemisahan tanggung jawab pelaporan
lembaga keuangan. Keberadaan BIK diharapkan dapat
(reporting line) unit kerja yang menangani pengawasan
membantu meminimalkan permasalahan asymmetric
( payment system oversight) dengan unit kerja yang
information antara penyedia dana dan penerima dana.
melaksanakan operasional Sistem BI-RTGS.
Guna mendukung pencapaian tugas tersebut, BIK
Selain itu, Bank Indonesia bekerjasama dengan
mengoperasikan dan mengelola sebuah sistem dengan
beberapa peserta Sistem BI-RTGS membentuk suatu
nama Sistem Informasi Debitur (SID). Sistem ini telah
working group sebagai bagian dari upaya meningkatkan
mengalami penyempurnaan secara berkesinambungan
transparansi antara penyelenggara dan peserta dengan
dan sejak tahun 2005, telah berbasis web . Dengan
melibatkan para peserta dalam pengembangan Sistem BI-
demikian pelaporan data disampaikan secara on-line dan
RTGS. Pendekatan ini diharapkan akan meningkatkan
permintaan informasi debitur dapat dilakukan secara on-
efisiensi dan kehandalan sistem yang ada.
line dan real-time. Data perkreditan sebagai input SID,
59
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Tabel 3.1 Perkembangan Data SID 2006-2008 Desember 2006 Jumlah Pelapor (Lembaga) Bank Umum BPR PP
Desember 2007
Desember 2008
486 130 355 1
751 130 618 3
777 127 646 4
3.374 2.548 825 1
3.788 2.788 2.633 3
4.054 2.790 1.260 4
Jumlah Debitur (berdasarkan Debtor Identification Number) Bank Umum BPR PP
20.359.850 19.535.979 822.849 1.022
28.187.986 26.312.078 1.780.534 95.374
35.900.857 33.070.536 2.521.748 308.573
Jumlah Fasilitas Kredit (rekening)*) Bank Umum BPR PP
21.689.062 20.863.200 824.839 1.023
29.479.139 27.640.264 1.697.186 141.689
57.782.495 53.573.464 3.813.657 395.374
782.626 751.769 30.857 0
1.178.957 1.147.096 30.192 1.669
2.050.957 1.833.158 206.255 10.915
Jumlah Pelapor (Kantor Cabang) Bank Umum BPR PP
Jumlah Permintaan Informasi Debitur**) Bank Umum BPR PP
Catatan: *) Desember 2006, data jumlah fasilitas kredit yang tersedia hanya untuk rekening yang aktif. Sedangkan Desember 2007 dan 2008, jumlah fasilitas kredit mencakup rekening yang aktif dan pasif. **) Jumlah permintaan pada bulan tersebut.
dihimpun dari semua lembaga penyedia dana yang
ke atas selama 6 bulan berturut-turut, dan PKKSB.
meliputi Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR),
Sedangkan pelapor sukarela adalah BPR yang total asetnya
Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) termasuk
belum sesuai dengan persyaratan menjadi pelapor wajib,
Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank (PKKSB).
LKNB, dan Koperasi Simpan Pinjam. Dari angka statistik, penyelenggaraan BIK telah
Grafik 3.6 Kebijakan Strategis BIK
menunjukan hasil yang cukup menggembirakan. Selama 2 tahun pasca beroperasi, telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada jumlah pelapor, debitur, fasilitas
KETENTUAN & PENGATURAN SISTEM & APLIKASI
PELAPOR & PENGGUNA
kredit maupun akses terhadap informasi debitur. Namun demikian, dapat dicatat bahwa pelapor SID dari LNKB,
BIK
khususnya Perusahaan Pembiayaan (PP) masih tergolong KUALITAS DATA
PRODUK & LAYANAN
EDUKASI MASYARAKAT
minim. Hal tersebut terutama karena kepesertaannya bersifat sukarela, serta adanya gap yang cukup besar antara struktur data yang dimiliki LKNB dengan struktur data yang dipersyaratkan dalam SID.
60
Saat ini terdapat 2 jenis kepesertaan dalam SID yaitu
Sementara itu, dari sisi pemanfaatan output SID, rata-
kepesertaan yang bersifat wajib dan sukarela. Pelapor wajib
rata permintaan informasi debitur selama tahun 2008
terdiri dari Bank Umum, BPR dengan total aset Rp10 miliar
mengalami peningkatan sebesar 55% dibandingkan tahun
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
2007. Share terbesar dari pemanfaatan informasi debitur
Dalam kajian rencana pengembangan BIK, telah
dilakukan oleh Bank Umum, sementara pemanfaatan
dirumuskan rencana pengembangan SID dalam jangka
output SID oleh BPR masih sangat rendah.
pendek, menengah dan panjang. Pada tahap awal,
Untuk lebih mengembangkan BIK sekaligus
pengembangan SID akan lebih difokuskan pada
mengatasi kendala-kendala yang masih ada, Bank
peningkatan akurasi data dan performance sistem.
Indonesia menjalankan beberapa kebijakan strategis yang
Sedangkan untuk tahap selanjutnya, akan dilakukan
mencakup
data,
perubahan terhadap mekanisme penyampaian laporan
penyempurnaan sistem dan aplikasi, perluasan cakupan
debitur agar lebih efektif dan efisien. Pelaksanaan dari
pelapor dan pengguna, penyempurnaan ketentuan dan
kajian ini dimulai tahun 2009 dan akan berlangsung sampai
pengaturan, pengembangan produk dan layanan, serta
dengan 2 tahun ke depan.
aspek
peningkatan
kualitas
edukasi kepada masyarakat.
3.2.3. Perluasan Cakupan Pelapor dan Pengguna 3.2.1. Peningkatan Kualitas Data
Keandalan informasi debitur yang dihasilkan oleh BIK
Untuk meningkatkan kualitas data dan informasi
ditentukan pula oleh luasnya cakupan sumber data. Masih
yang dihasilkan SID, upaya yang dilakukan Bank Indonesia
minimnya jumlah LKNB yang melaporkan SID saat ini
meliputi absensi secara periodik untuk memastikan
menunjukan bahwa masih terdapat potensi data yang
ketepatan waktu pelaporan, pembersihan data duplikat
belum dimanfaatkan. Untuk itu, Bank Indonesia bekerja
dan pemberian teguran atas kesalahan pelaporan, dan
sama dengan Departemen Keuangan (Bapepam LK) telah
pemeriksaan terhadap pelapor untuk meningkatkan
berupaya mendorong keikutsertaan LKNB dalam SID
kesadaran pelapor terhadap ketentuan yang berlaku dan
melalui penandatanganan Nota Kesepahaman pada bulan
pentingnya pelaporan secara benar. Disamping itu, telah
September 2007. Sebagai tindak lanjutnya, telah disusun
dilakukan pula pelatihan kepada petugas pelapor untuk
rencana kegiatan sosialisasi kepada pegawai Bapepam LK,
meningkatkan pengetahuan serta kualitas pelaporan.
workshop secara bertahap untuk Asosiasi Perusahaan
Upaya lainnya adalah peningkatan layanan help-desk SID.
Pembiayaan Indonesia (APPI) dan LKNB calon pelapor SID, serta penyusunan standard operating procedure (SOP)
3.2.2. Penyempurnaan Sistem dan Aplikasi Penyempurnaan sistem dan aplikasi SID dilakukan
untuk joint procedure pengecekan kepada LKNB pelapor SID mulai tahun 2009.
secara berkesinambungan. Kegiatan ini dimulai dengan
Selain itu, mengikuti standar credit bureau
melakukan evaluasi terhadap existing sistem dan aplikasi,
internasional, sumber data SID direncanakan akan
yang dilakukan oleh internal Bank Indonesia maupun
diperluas sehingga mencakup data pelanggan perusahaan
dengan melibatkan para pelapor. Evaluasi tersebut tidak
utilitas publik, seperti Telkom, PLN dan PDAM. Hal ini telah
hanya sebatas pada aplikasi SID, namun terhadap aplikasi
tertuang dalam Paket Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK)
lainnya yang terkait. Hasil evaluasi selanjutnya
tahun 2008, dengan target keluaran ≈tercakupnya data
dipergunakan sebagai dasar penyempurnaan, serta
perusahaan utilitas publik pada SID∆. Terkait dengan hal
masukan
tersebut,
dalam
pembuatan
pengembangan BIK ke depan.
kajian
rencana
telah
dilakukan
kajian
terhadap
integrasi∆ database dari perusahaan utilitas publik.
61
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Berdasarkan kajian tersebut masih terdapat beberapa
Checking. Informasi debitur yang dihasilkan mencakup
kendala, termasuk kendala legal. Untuk itu, akan dilakukan
informasi positif (yaitu informasi kredit yang tidak
harmonisasi ketentuan yang terkait dengan pemberian
mengalami kegagalan dalam penyelesaiannya) dan
data dari perusahaan utilitas publik ke dalam SID.
informasi negatif (yaitu informasi kredit yang mengalami
Sementara itu, untuk meningkatkan jumlah penggunaan
kegagalan dalam penyelesaiannya) untuk seluruh
informasi debitur oleh BPR telah dilakukan sosialisasi serta
penyediaan dana mulai dari Rp1 ke atas, serta mencakup
pelatihan SID kepada pejabat dan petugas BPR.
pula informasi tentang historis pembayaran yang dilakukan oleh debitur dalam kurun waktu 24 bulan terakhir. Dengan
3.2.4. Penyempurnaan Ketentuan
demikian, informasi debitur yang dihasilkan dapat
Untuk menjamin kelancaran operasional BIK, pada
memberikan gambaran mengenai exposure kredit, serta
tahun 2007-2008 telah dilakukan penyempurnaan
performance dan kualitas kredit dari debitur yang
Peraturan Bank Indonesia tentang SID beserta Surat
bersangkutan.
Edaran Bank Indonesia sebagai aturan pelaksanaannya.
Produk lain yang telah dikembangkan adalah
Secara garis besar, ketentuan SID tersebut mengatur
penyediaan consumer report atau informasi debitur yang
mengenai pihak yang dapat menjadi pelapor; kewajiban
dapat diminta oleh debitur atas nama dirinya sendiri di
pelapor; cakupan dan prosedur penyampaian laporan
Gerai Info - Bank Indonesia atau di lembaga keuangan
debitur; pihak yang dapat meminta informasi debitur
pelapor SID yang memberikan penyediaan dana kepada
beserta batasan penggunaannya; pengawasan Bank
debitur tersebut. Penyediaan consumer report ini
Indonesia kepada pelapor; serta pengenaan sanksi atas
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan transparansi
pelanggaran yang dilakukan. Dengan adanya ketentuan
pelapor kepada debitur, serta sebagai sarana cross check
ini, seluruh hak dan kewajiban dari pelapor dan debitur
debitur atas pelaporan yang telah dilakukan. Lokasi layanan
dapat lebih diperjelas.
penyediaan consumer report juga diperluas pada Kantor
Proses penyusunan ketentuan tersebut telah
Bank Indonesia di daerah dan counter informasi kredit yang
mengakomodir kebutuhan industri perkreditan melalui
disediakan pada beberapa event khusus seperti Bazar
keterlibatan perwakilan pelapor SID, yang terdiri dari
UMKM dan Festival Ekonomi Syariah.
perwakilan Bank Pemerintah, Bank Asing, BPR dan LKNB
Pada credit bureau berstandar internasional, produk
yang tergabung dalam Working Group SID. Kontribusi aktif
yang dihasilkan tidak hanya berupa basic report tetapi
dari Working Group tersebut telah memperkaya materi
mencakup pula value added services yang merupakan
pengaturan SID serta sebagai masukan untuk penyusunan
olahan dan pengembangan data yang dihimpun dan
rencana penyempurnaan aplikasi serta pengembangan BIK.
teknologi yang dimiliki oleh credit bureau tersebut. Value
added services ini dapat berupa credit scoring, fraud alert/
3.2.5. Pengembangan Produk dan Layanan
62
detection, pengelolaan risiko kredit, jasa konsultasi, dan
Pengembangan produk dan layanan BIK terus
sebagainya. Dari sisi sumber data, data yang dihimpun
diarahkan untuk dapat memenuhi standar credit
oleh credit bureau internasional mencakup pula data dari
bureauinternasional. Produk BIK saat ini adalah informasi
perusahaan utilitas publik, koperasi dan keputusan
debitur atau dikalangan perbankan dikenal dengan namaBI
pengadilan. Sebagai bagian dari upaya menjadikan BIK
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
berstandar internasional, maka penyediaan value added
mengalami tekanan. Secara lebih rinci, manfaat yang dapat
services, khususnya credit scoring dan perluasan sumber
diperoleh dari JPSK adalah:
data dari perusahaan utilitas publik, merupakan target
terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan
pengembangan produk BIK berikutnya.
tindakan pencegahan dan penanganan krisis; adanya transparansi dan akuntabilitas dalam
3.2.6. Edukasi Kepada Masyarakat Pencapaian sistem perkreditan yang sehat dan
mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis;
efisien, tidak hanya tergantung pada kesadaran dari para
terdapat mekanisme koordinasi diantara lembaga
penyedia dana dalam melakukan pelaporan, namun juga
terkait dalam menghadapi gangguan yang berpotensi
memerlukan kesadaran dari masyarakat akan pentingnya
mengancam stabilitas sistem keuangan nasional,
menjaga reputasi kreditnya. Dengan mengetahui bahwa
tanpa mengurangi independensi masing-masing
riwayat kreditnya terdata di BIK dan dapat diakses oleh
otoritas;
seluruh lembaga penyedia dana yang menjadi pelapor SID,
penanganan permasalahan lembaga keuangan yang
diharapkan awareness debitur untuk menjaga nama
berdampak sistemik dapat dilakukan secara tuntas;
baiknya akan meningkat.
terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan
tindakan pencegahan dan penanganan krisis dengan
kesadaran masyarakat akan keberadaan BIK, antara lain
memperhatikan tatacara dan mekanisme hak budget
melalui sosialisasi berupa seminar di beberapa daerah, serta
Dewan Perwakilan Rakyat.
edukasi masyarakat melalui advertorial di media massa
Sementara itu, di Indonesia, pada semester II 2008
nasional. Dampaknya adalah semakin meningkatnya
terdapat beberapa bulan yang penuh tekanan di sektor
jumlah permintaan consumer report melalui Gerai Info
keuangan, antara lain ditandai dengan keringnya likuiditas
Bank Indonesia oleh masyarakat. Hal tersebut sesuatu yang
rupiah dan valas yang dibarengi dengan penurunan nilai
positif bagi pengembangan BIK ke depan, karena dengan
tukar rupiah yang cukup signifikan. Untuk itu, pada
semakin seringnya output SID diakses oleh masyarakat,
pertengahan Oktober 2008, Pemerintah telah menerbitkan
semakin tinggi pula tuntutan untuk meningkatkan kualitas
beberapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
data dan informasi debitur.
undang (PERPPU) yang salah satunya adalah mengenai JPSK (PERPPU No.4 Tahun 2008 tanggal 15 Oktober 2008).
3.3. JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
Berdasarkan PERPPU tersebut, JPSK merupakan suatu
Infrastruktur keuangan lainnya yang dinilai sangat
mekanisme pengamanan sistem keuangan dari ancaman
penting bagi stabilitas sistem keuangan suatu negara
krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
adalah Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Secara
Adapun tindakan pencegahan dan penanganan krisis
konseptual, adanya JPSK akan sangat membantu dalam
meliputi: (i) penanganan kesulitan likuiditas dan/atau
memitigasi risiko sistemik. Lazimnya dalam JPSK diatur
masalah solvabilitas bank yang berdampak sistemik, dan
protokol manajemen krisis (crisis management protocol)
(ii) penanganan kesulitan likuiditas dan/atau masalah
sebagai bagian dari mekanisme koordinasi diantara
solvabilitas lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang
lembaga-lembaga pada saat sektor keuangan sedang
berdampak sistemik. Untuk mencapai tujuan dari JPSK,
63
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang
mengatasi permasalahan: (i) Bank yang mengalami
beranggotakan Menteri Keuangan (sebagai Ketua) dan
permasalahan likuiditas yang berdampak Sistemik; (ii) Bank
Gubernur Bank Indonesia. KSSK berwenang menetapkan
yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan
kebijakan dan langkah-langkah dalam rangka pencegahan
pelunasan Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) yang berdampak
dan penanganan krisis di sektor keuangan dan melakukan
sistemik; dan (iii) LKBB yang mengalami permasalahan
koordinasi
likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas yang
dengan
berbagai
otoritas
dalam
berdampak sistemik. Sementara itu, penanganan krisis
pelaksanaannya. Dalam perjalanannya PERPPU No.4 Tahun 2008
meliputi tindakan mengatasi permasalahan (i) beberapa
tentang JPSK tidak mendapat persetujuan DPR sehingga
bank yang mengalami permasalahan likuiditas dan/atau
harus disusun ulang dan diajukan kembali ke DPR. Pada
solvabilitas yang secara individu berdampak sistemik; (ii)
saat ini Rancangan Undang-undang (RUU) JPSK sudah
Bank yang secara individu dalam keadaan normal tidak
berhasil disusun dan telah mulai dibahas di DPR.
berdampak sistemik tetapi dalam kondisi krisis berdampak
Adapun ruang lingkup yang diatur dalam RUU JPSK
sistemik dan berpotensi krisis; dan (iii) Beberapa LKBB yang
adalah pencegahan dan penanganan krisis yang meliputi
mengalami permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas
tindakan mengatasi permasalahan likuiditas dan
yang berdampak sistemik. Sementara itu, kerangka kerja
permasalahan solvabilitas pada bank dan LKBB yang
yang diusulkan adalah sebagaimana yang tercantum pada
berdampak sistemik. Pencegahan krisis meliputi tindakan
Tabel 3.2
Tabel 3.2 Kerangka Kerja Jaring Pengaman Sistem Keuangan Tujuan/ Ruang Lingkup
Pengambilan Keputusan
Keputusan
Tool Kits/ Mekanisme
Sumber Pendanaan
Pencegahan Krisis 1. Likuiditas Bank 2. Solvabilitas Bank/ Bank Gagal
KSSK melakukan: a. Evaluasi masalah b. Penetapan masalah c. Penetapan langkah penanganan masalah
3. Likuiditas dan/atau solvabilitas
1. Pemberian bantuan likuiditas 2.a. Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk Bank Sistemik. 2. b. Penyelesaian Bank Non-sistemik 3. Pemberian pinjaman atau penyertaan modal untuk LKBB
FPD oleh BI, dijamin Pemerintah 2.a. PMS oleh LPS 2.b. Penutupan Bank dan Pembayaran jaminan oleh LPS
1.a. Pemberian bantuan likuiditas 1.b. Penyertaan Modal Sementara 2. Pemberian bantuan likuiditas/Penyertaan Modal Sementara
1.a. FPD oleh BI 1.b. PMS oleh LPS atau Pemerintah atau Badan Khusus 2. Pinjaman/PMS oleh Pemerintah atau Badan Khusus
3. Pinjaman atau penyertaan modal oleh Pemerintah
Penanganan Krisis 1. Likuiditas dan/atau solvabilitas Bank
2. Likuiditas dan/atau solvabilitas LKBB
64
KSSK melakukan: a. Evaluasi masalah b. Penetapan masalah c. Penetapan langkah penanganan masalah
Sumber pendanaan Pemerintah untuk pencegahan dan penanganan Krisis berasal dari APBN melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara) atau tunai. BI dapat membeli SBN dimaksud di pasar primer. Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Boks 3.1
Stabilitas Sistem Keuangan dan PERPPU tentang Perubahan Undang Undang Bank Indonesia
Salah satu kebijakan penting yang diambil
berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang
Pemerintah pada pertengahan Oktober 2008 adalah
kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat
penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.
Undang (PERPPU) Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008
Perubahan yang diatur PERPPU menyebutkan
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
bahwa yang dimaksud dengan agunan berkualitas
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. PERPPU
tinggi dan mudah dicarikan, tidak saja meliputi surat
ini penting artinya bagi stabilitas sistem keuangan
berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh
karena memberikan dasar hukum bagi Bank Indonesia
Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai
dalam memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga
(FPJP) secara lebih luas bagi bank yang memerlukan.
pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu
Perluasan akses bagi bank tersebut didasarkan atas
dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan
perubahan terhadap Pasal 11 Undang-Undang Bank
uang tunai, namun juga termasuk aset kredit
Indonesia.
kolektibilitas lancar. Dengan demikian, obyek yang
Sebelum dilakukan perubahan, Pasal 11 pada
dapat dijadikan sebagai agunan oleh bank untuk
intinya mengatur bahwa Bank Indonesia dapat
mendapatkan FPJP menjadi lebih banyak jenisnya,
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
sehingga memperluas akses bagi bank untuk
prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 hari
menggunakan FPJP.
kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
Dalam pencegahan maupun penanganan krisis,
jangka pendek bank. Pelaksanaan pemberian kredit
diperlukan dasar hukum yang kuat serta mekanisme
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut
kerja yang jelas untuk mendukung pengambilan
wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang
keputusan-keputusan yang penting untuk mencegah
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah
terjadinya krisis ataupun menyelamatkan perekonomian
kredit atau pembiyaan yang diterimanya. Sedangkan
dari krisis. Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia
yang dimaksud dengan agunan yang berkualitas tinggi
yang dilakukan melalui PERPPU tersebut di atas
dan mudah dicairkan meliputi surat berharga dan/atau
merupakan contoh langkah antisipatif Pemerintah dari
tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan
sisi dasar hukum guna menjaga stabilitas sistem
hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi
keuangan dalam menghadapi krisis global.
65
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Boks 3.2
66
Best Practices Analisis Dampak Sistemik terhadap Sistem Keuangan
Secara konseptual, dampak sistemik terhadap
dampak sistemik sulit untuk ditetapkan diawal. Suatu
sistem keuangan terjadi apabila permasalahan dari
lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak
suatu lembaga keuangan, baik secara individu maupun
sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak
bersama-sama yang karena ukuran (size) dari lembaga
sistemik pada situasi yang lain. Dengan demikian,
keuangan tersebut dan potensi penyebaran masalah
penetapan dampak sistemik memerlukan professional
(contagion effect) yang ditimbulkannya, menyebabkan
judgement.
kegagalan pada sistem keuangan secara keseluruhan.
Salah satu sumber referensi dalam penilaian
Berdasarkan best practices atau praktek yang
dampak sistemik adalah dokumen Memorandum of
berlaku umum di dunia internasional, maka kriteria
Understanding on Cooperation between the Financial
dampak sistemik tidak ditetapkan secara eksplisit
Supervisory Authorities, Central Banks and Finance
dimuka (ex ante) dalam suatu ketentuan perundang-
Ministries of the European Union on Cross Border
undangan, dengan dua alasan pokok sebagai berikut.
Financial Stability (Annex 2 Template for Systemic
Pertama, penetapan secara ex ante berpotensi
Assessment Framework). Dokumen ini antara lain
menimbulkan moral hazard. Adanya kriteria yang
merekomendasikan bahwa penilaian dampak sistemik
eksplisit, akan mendorong lembaga keuangan untuk
perlu memperhatikan dampak kegagalan atau
melakukan pengambilan risiko yang tidak terkendali
permasalahan yang dihadapi lembaga keuangan
( excessive risk taking ) karena yakin akan tetap
terhadap: (i) institusi keuangan lainnya secara
diselamatkan oleh Pemerintah.
keseluruhan, (ii) pasar keuangan, (iii) sistem
Kedua, penetapan dampak sistemik cenderung
pembayaran, dan (iv) psikologi pasar. Selain itu,
bersifat situasional. Hal itu karena pemicu krisis sistemik
penilaian juga harus mencakup perkiraan
dapat berbeda-beda tergantung situasi, baik yang
kemungkinan akan terganggunya sektor riil dengan
bersifat internal lembaga keuangan, maupun yang
memperhatikan peranan atau kontribusi lembaga
bersifat eksternal seperti krisis keuangan global,
keuangan yang bersangkutan terhadap sektor
serangan teroris, dan bencana alam. Oleh karena itu,
tersebut.
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
67
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
68
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Bab 4
Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Secara umum, prospek sistem keuangan Indonesia diperkirakan masih akan tetap positif, meskipun tekanan karena belum pulihnya kondisi perekonomian global dan domestik tampaknya masih akan terus menjadi tantangan. Di perbankan, prospek positif tersebut antara lain didukung oleh permodalan yang masih cukup tinggi. Sementara itu, koordinasi antara otoritas perbankan dengan otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank diperkirakan akan semakin erat dan menjadi bagian penting dari jaring pengaman sistem keuangan yang mendukung ketahanan sektor keuangan.
4.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO
Tabel 4.1 Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi
Perekonomian Indonesia diperkirakan akan mengalami perlambatan dengan pertumbuhan sekitar 4-
2008
2009*
5% di tahun 2009 seiring dengan perlambatan ekonomi
Q1 Q2 Q3 Q4
Q1 Q2 Q3 Q4
dunia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan
PDB (% yoy)
6,3 6,4 6,4
mengurangi tekanan dari sisi permintaan sehingga inflasi
Inflasi (% yoy)
7,6 11,0 12,0 11,1 10,2 8,0 5,8 5,8
Neraca Perdagangan (US$ miliar)
7,5 5,3 5,8
relatif terkendali. Hal-hal lainnya yang diperkirakan akan
5,2 4,5 4,3 4,4 4,7
8* 6,7 7,1 6,8 7,7
* Prediksi dari Asia Pacific Concensus Forecast
turut berkontribusi terhadap penurunan inflasi adalah penurunan harga komoditas di pasar global yang
Sementara itu, krisis keuangan global yang berimbas
mendorong penurunan harga komoditas domestik,
pada sektor keuangan domestik telah semakin
penurunan harga BBM pada awal tahun 2009,
meningkatkan persepsi risiko tentang Indonesia. Hal itu
swasembada dan surplus beras yang diperkirakan akan
tercermin pada yield spread yang cenderung meningkat.
terus berlanjut pada tahun 2009. Oleh karena itu, pada
Tingginya persepsi risiko tersebut berpotensi menghambat
kuartal II 2009 diperkirakan inflasi berada di bawah satu
aliran investasi masuk, apalagi di negara asalnya para
digit, yaitu 8%, turun dari 11.1% pada akhir 2008. Namun,
investor umumnya sedang kesulitan likuiditas karena krisis
perlambatan ekonomi dunia dan penurunan harga
global. Bagi perbankan, tingginya persepsi risiko akan
komoditas di pasar global menyebabkan nilai ekspor
membuat penyaluran kredit menjadi semakin selektif.
menurun sehingga kinerja Neraca Perdagangan 2009 diperkirakan akan mengalami penurunan.
Aliran investasi masuk yang rendah cenderung menekan pertumbuhan ekonomi sehingga sektor riil, baik
69
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
korporasi maupun rumah tangga (household), dapat
16,2%. Berdasarkan hasil stress test, permodalan tersebut
terganggu kinerjanya. Pada gilirannya hal ini dapat
masih mampu menyerap berbagai jenis risiko, seperti risiko
mendorong peningkatan risiko kredit di perbankan.
pasar (mencakup risiko suku bunga, risiko nilai tukar, dan
Disamping itu, rendahnya aliran investasi yang masuk juga
risiko penurunan harga SUN), risiko likuiditas dan risiko
berpotensi menimbulkan tekanan pada nilai tukar.
kredit, termasuk pula risiko yang berasal dari kerugian
Akibatnya, bank-bank yang mengalami posisi short dalam
karena structured products.
valas berpotensi mengalami kerugian karena risiko nilai
Risiko pasar berada pada level moderat meskipun
tukar. Hal-hal ini perlu diwaspadai agar stabilitas sistem
pada paruh kedua tahun 2008 sempat mengalami
perbankan dan sistem keuangan tetap terjaga.
peningkatan yang signifikan terutama karena penurunan harga SUN dan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi,
Tabel 4.2 Persepsi Risiko Indonesia
disamping karena trend kenaikan suku bunga pada waktu itu. Namun menjelang akhir 2008, risiko penurunan harga
Yield Spread (bp) Obligasi
Rating
Ytm (%)
September 2008
Desember 2008
Indo 49
Ba3 (Moody's)
11,70
997,47
1015,41
Indo 48
Ba3 (Moody's)
11,86
932,46
965,17
Indo 45
Ba3 (Moody's)
11,95
918,30
925,92
SUN berkurang dengan terbitnya Surat Edaran Bank Indonesia yang membolehkan bank untuk menangguhkan kewajiban marking to market. Sementara, risiko nilai tukar cukup terkendali mengingat Posisi Devisa Netto (PDN) yang dipegang industri perbankan tergolong rendah (sekitar 6,2%) dan kebanyakan bank memiliki posisi long dalam
4.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN
valas. Selanjutnya, risiko suku bunga juga berkurang
ARAH
sejalan dengan penurunan BI rate yang dilakukan
Tantangan terhadap stabilitas sistem keuangan yang dialami pada semester I 2008 terus berlanjut pada semester
menjadi sebesar 8,25% pada bulan Februari 2009.
II 2008 dan bahkan semakin besar. Seperti telah diuraikan
Namun demikian, ke depan perbankan tampaknya
dalam bab-bab sebelumnya, gejolak pasar keuangan global
masih tetap memiliki potensi risiko pasar yang cukup besar
dan perlambatan ekonomi dunia yang berimbas pada
mengingat gejolak krisis keuangan global masih belum
kondisi pasar keuangan dan perekonomian domestik telah
sepenuhnya mereda. Di samping itu, sejalan dengan
menimbulkan tekanan pada sektor keuangan Indonesia.
pelemahan nilai tukar rupiah, beberapa bank diketahui
Hal tersebut antara lain ditandai dengan merosotnya Indeks
memiliki potensi kerugian yang terkait dengan structured
Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia dan
products. Meskipun berdasarkan hasil stress test potensi
menurunnya harga Surat Utang Negara (SUN). Namun
kerugian tersebut masih dapat diserap oleh permodalan
demikian, secara keseluruhan kondisi sektor keuangan
bank. Ke depan perbankan tampaknya perlu lebih
tetap terkendali.
meningkatkan kehati-hatian terhadap produk serupa dan
Sementara itu, perbankan yang merupakan industri yang paling dominan dalam sektor keuangan domestik,
70
berulang-ulang sejak bulan Desember 2008 hingga
transaksi derivatif pada umumnya, termasuk offshore
products.
secara umum masih memiliki ketahanan yang relatif baik
Risiko likuiditas pada awal semester II 2008, terutama
yang tercermin dari CAR yang masih cukup tinggi di level
pada bulan Agustus, cenderung meningkat sejalan dengan
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Grafik 4.1 Profil Risiko Perbankan dan Arah ke Depan
Risiko Likuiditas
Moderate
Sem II-2008 Outlook
Risiko Kredit
Sem II-2008 Outlook
Sem II-2008 Outlook
Harga SUN
Nilai Tukar
Suku Bunga Low
Inherent Risk
High
Risiko Pasar
Weak
Acceptable
Strong
Weak
Strong
Acceptable
Weak
Acceptable
Strong
Risk Control System (RCS)
berkurangnya ekses likuiditas perbankan akibat
ke depan juga tercermin pada hasil estimasi Probability of
pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang masih tetap
Default (PD) menggunakan data keuangan dari
lambat sementara kredit yang disalurkan cenderung sangat
perusahaan non-financial go public yang listed di Bursa
ekspansif. Pada saat itu, terimbas krisis keuangan global,
Efek Indonesia. Selain itu, potensi kenaikan risiko kredit
kondisi pasar uang antar bank (PUAB) cenderung ketat
juga dapat berasal dari debitur yang mengalami kerugian
dan terjadi segmentasi yang membatasi akses bank-bank
karena pelemahan nilai tukar rupiah yang kemudian
khususnya dari kelompok menengah dan kecil untuk
mempengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan
masuk ke PUAB. Namun, dengan pelonggaran ketentuan
semua jenis kewajiban kepada perbankan.
GWM yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan
Risiko lain yang juga cukup penting diperhatikan
peningkatan jumlah simpanan yang dijamin LPS, kondisi
adalah risiko operasional. Secara umum masih banyak
likuiditas industri perbankan terus membaik. Bahkan sejak
tantangan yang harus dihadapi perbankan terkait dengan
November 2008 sejalan dengan peningkatan DPK dan
risiko operasional ini, terutama yang berkaitan dengan
berkurangnya penyaluran kredit, penanaman bank dalam
kapasitas dan integritas sumber daya manusia untuk
alat likuid seperti SBI kembali mengalami peningkatan yang
meminimalisir human error maupun kemungkinan fraud,
signifikan. Ke depan, walaupun risiko likuiditas
serta infrastruktur pendukung seperti teknologi informasi
diperkirakan akan relatif stabil, tetap perlu diwaspadai
yang memadai dan good governance. Sementara itu,
potensi tekanan yang berasal dari belum pulihnya kondisi
tekanan yang berasal dari krisis global juga perlu
likuiditas global serta masih adanya segmentasi di PUAB.
diperhitungkan dampaknya terhadap kemampuan
Sementara itu, risiko kredit perbankan relatif stabil
perbankan dalam melakukan penilaian terhadap risiko
pada tingkat moderat dengan rasio kredit bermasalah (NPL)
operasional. Untuk meningkatkan kesiapan perbankan di
yang terus menurun. Namun, ke depan perlu diwaspadai
tengah krisis global tersebut, rencana implementasi Basel
potensi kenaikan risiko kredit karena proyeksi akan
II yang ditandai dengan kewajiban membentuk capital
memburuknya kondisi ekonomi. Sebagaimana
charges untuk risiko operasional yang rencananya dimulai
dikemukakan pada Bab 1, potensi peningkatan risiko kredit
pada tahun 2009 ditunda sampai dengan 2010.
71
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Penundaan tersebut diharapkan tetap membuat
Saat itu, pengawasan bank masih berorientasi pada
perbankan memperhatikan aspek-aspek yang terkait
compliance-based, tidak risk-based seperti yang sekarang
dengan risiko operasional, termasuk memperkuat
ini dijalankan. Para pengawas bank dewasa ini diharuskan
pelaksanaan fungsi pengendalian intern pada masing-
mengikuti program sertifikasi dan diberi kesempatan yang
masing bank.
lebih luas untuk mengikuti training dalam rangka capacity
building . Ke depan, untuk meningkatkan kualitas
4.3. PROSPEK SISTEM KEUANGAN INDONESIA Prospek sistem keuangan Indonesia ke depan
akan dibahas dengan panel ahli (expert panel).
diperkirakan masih tetap positif di tengah-tengah
Prospek positif stabilitas keuangan juga diperkuat
perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik.
oleh telah semakin dipercayanya Lembaga Penjamin
Beberapa hal yang mendasari perkiraan ini sebagai berikut.
Simpanan (LPS) oleh masyarakat luas. Keberadaan LPS juga
Pertama, gejolak keuangan yang terjadi akhir-akhir ini
sudah semakin teruji dengan penutupan sejumlah Bank
terjadi lebih banyak karena faktor eksternal, sementara
Perkreditan Rakyat (BPR) bermasalah serta pengambilalihan
perbankan domestik relatif tidak memiliki masalah seberat
1 bank umum yang dinilai berdampak sistemik pada bulan
perbankan di luar negeri. Hal ini sangat berbeda
November 2008. Dalam kenyataannya penutupan BPR
dibandingkan dengan situasi krisis 1997/1998 yang lebih
maupun pengambilalihan bank umum tersebut sama sekali
banyak dipicu oleh berbagai kelemahan pada perbankan
tidak menimbulkan gejolak di perbankan. Ke depan, upaya
dalam negeri seperti tingginya NPL serta pelanggaran Batas
memperkuat infrastruktur keuangan tersebut akan
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Posisi Devisa
semakin mantap apabila rancangan Undang-undang
Netto (PDN). Dengan demikian, diperkirakan dampak dari
tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dapat
krisis global terhadap sektor keuangan dalam negeri akan
disetujui DPR.
sangat terbatas.
Secara keseluruhan, prospek positif stabilitas
Kedua, dewasa ini perbankan lebih siap menghadapi
keuangan tercermin pada Indeks Stabilitas Keuangan
krisis dibandingkan kondisi tahun 1997/1998. Kesiapan
(Financial Stability Index - FSI) yang setelah meningkat tajam
itu antara lain tercermin pada membaiknya pelaksanaan
selama semester II 2008, kemudian mulai menunjukkan
manajemen risiko dan good governance di perbankan.
penurunan sejak beberapa bulan terakhir. Sebagaimana
Dibandingkan satu dawarsa yang lalu, sekarang ini tidak
dikemukakan pada Bab 2, ke depan pada akhir Juni 2009,
mudah untuk menjadi pengurus dan pemegang saham
FSI diperkirakan mencapai sekitar 1,77-2,13, dengan
pengendali bank karena harus lulus Fit and Proper Test.
skenario moderat sebesar 1,95 atau relatif lebih rendah
Dengan governance perbankan yang semakin baik,
dibandingkan posisi akhir Desember 2008 sebesar 2,10.
perbankan semakin tahan terhadap gejolak keuangan.
Perkiraan FSI yang relatif akan lebih rendah tersebut
Ketiga, otoritas pengawasan bank juga semakin siap menghadapi krisis dibandingkan kondisi tahun 1997/1998.
72
pengawasan, hasil pengawasan dan pemeriksaan juga
memberikan harapan bahwa ketahanan sektor keuangan ke depan masih akan tetap terjaga.
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Artikel
73
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
74
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Artikel I
Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia Wimboh Santoso1, Bagus Santoso2, Ita Rulina3, Elis Deriantino4
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat contagion risk pada pasar modal Indonesia. Pendekatan yang dipakai adalah Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional Correlations (DCC) dan Markov Regime
Switching. Adapun data yang digunakan dalam studi ini adalah data harian indeks saham dari 15 negara yaitu Indonesia, Australia, Amerika Serikat (Dow Jones dan Nasdaq), Inggris, Jerman, Jepang, Korea, Hong Kong, Cina, Taiwan, India, Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia, data T-Bill 3 bulan, nilai tukar Rp/USD, suku bunga PUAB dan harga minyak dunia, dengan periode 2 Januari 1995 sampai 13 November 2008. Dengan menggunakan Indonesia sebagai titik referensi, data harian ini dibagi menjadi 4 periode. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat contagion antara Indonesia dengan negara-negara lainnya dalam penelitian ini dan Indonesia lebih merupakan shock absorber dan bukan merupakan shock transmitter, terutama untuk negaranegara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris, dan AS). Key words: Financial Aspect of Economic Integration, International Financial Market, Time Series Model JEL classification: F36, G15, C22
LATAR BELAKANG
di suatu negara akan berdampak pada negara lainnya.
Globalisasi keuangan yang menyebabkan
Sebagai contoh, krisis 1997 yang berawal di Thailand akibat
terintegrasinya sektor keuangan suatu negara terhadap
devaluasi baht yang diikuti kebijakan pengambangan nilai
pasar keuangan global, membuat negara-negara tersebut
tukar baht, dengan cepat menyebar ke Indonesia, Malaysia,
mengalami eksposur risiko contagion, yaitu krisis yang
Korea, Filipina, menyebabkan rata-rata nilai tukar negara-
terjadi di suatu negara dapat menyebar ke negara lain.
negara tersebut terdepresiasi sekitar 75%. Pada 1998,
Devaluasi nilai tukar, default terhadap sovereign obligation
bangkrutnya pasar obligasi domestik Rusia dan jatuhnya LTCM berimbas pada Hongkong, Brazil dan Mexico dan
1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia; alamat email:
[email protected] 2 Peneliti, Universitas Gadjah Mada, email:
[email protected] 3 Peneliti Senior Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia, email:
[email protected] 4 Peneliti Yunior Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia, email:
[email protected]
emerging market lainnya. Yang terakhir adalah krisis subprime mortgage 2007 di AS yang berdampak terutama pada pasar saham di negara-negara Eropa dan mulai menyebar ke negara-negara lain di dunia.
75
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Kondisi Indonesia saat ini ditandai dengan semakin
Dimana
derasnya aliran hot money. Kondisi ekonomi AS yang
rt = (r1,t, r2,t,..., rn,t), ai = (a1,i, a2,i,..., an,i), et = (e1,t, e2,t,...,
berada diambang resesi sehingga memaksa The Fed
en,t), dan et l Σt-1 ~ N(0, Ht)
menurunkan suku bunganya membuat spread suku bunga
rt adalah return index saham masing-masing negara
antar kedua negara semakin lebar, aset-aset Indonesia
dengan n=16 (Indonesia, Singapura, Thailand,
menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan
Malaysia, Filipina, India, Hongkong, Taiwan, Korea,
AS, sehingga semakin mendorong kuatnya aliran hot
Jepang, Cina, UK, Jerman, Australia, Dow Jones, dan
money.
Nasdaq).
Sentimen global negatif berpotensi mendorong
Tbill3m adalah Treasury bill √ 3 bulan Amerika Serikat.
terjadinya sudden reversal dalam jumlah yang signifikan
Multivariate conditional variance dirumuskan sebagai
yang akan memberikan tekanan ke bawah pada harga
berikut.
aset-aset Indonesia sehingga menurunkan return aset
H t = Dt Rt D t
tersebut. Hal ini akan menimbulkan kepanikan bagi
Dt merupakan matriks diagonal nxn yang elemennya
investor dalam negeri sehingga ikut melepas saham yang
merupakan time varying standard deviation dari
dimilikinya mengikuti investor asing. Akibatnya kejatuhan
model univariat dengan diagonal ke-i dan Rt matriks
harga aset yang terjadi semakin dalam. Hal ini juga akan
time varying correlation nxn.
membawa implikasi lain seperti pelemahan nilai tukar
Dalam model DCC, matriks time varying covariance
rupiah. Oleh karena itu deteksi contagion perlu dilakukan
dituliskan sebagai berikut.
termasuk identifikasi asal contagion tersebut. Adapun
Qt = (1-a-β)Q = aut-1u»t-1 + βQt-1
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
Qt=(q ij,t) matriks time varying covariance dari u t
terdapat contagion risk pada pasar modal Indonesia
berukuran nxn, Q = E[ut ut»] matriks unconditional
sebagaimana digambarkan pada analytical framework
variance ut berukuran nxn, dan a, β skalar nonnegatif.
berikut:
Matriks korelasi kemudian dapat dirumuskan dengan:
Rt = (diag(Qt ))1/2 Qt (diag(Qt ))1/2
METODOLOGI PENELITIAN
dimana (diag(Qt ))1/2 = diag(1/ q1,t,...1/ qn,t).
Untuk menguji apakah terdapat contagion pada
Model DCC tersebut kemudian diestimasi dengan
pasar modal Indonesia, penelitian ini menggunakan
menggunakan fungsi log likelihood sebagai berikut: lt (Σ,f ) = - 1 Σ» (nlog(2p) + log l Dt l2 + e»tDt2et) + 2 t-1 -1 1 - Σ» (log l Rt l + u»tRt ut - u»tut) 2 t-1
beberapa metode yaitu: 1.
Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional Correlations (DCC) Model GARCH multivariate yang dikemukakan oleh
76
2.
Markov Regime Switching
Engle (2002) dapat digunakan untuk mengestimasi
Namun, metode Multivariate GARCH tersebut
dynamic conditional correlation (DCC). Penelitian ini
memiliki kelemahan dalam mendeteksi contagion.
menggunakan model multivariate GARCH (1,1)
Salah satunya dikemukakan oleh Bekaert et al. (2005)
dengan persamaan mean konstanta AR(1) dan tbill3m
yang menyatakan bahwa model GARCH tidak dapat
sebagai world common factor:
menangkap adanya volatilitas yang tidak simetris dan
rt = a0 + ai rt-1 + a2 tbill3m + et
hal ini dapat mempengaruhi korelasi yang diestimasi
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
selama periode krisis. Oleh karena itu digunakan
Dalam keadaan S t tidak dapat diamati secara
metode regime-switching untuk melakukan deteksi
langsung, diperlukan informasi mengenai sifat
contagion.
stokastik St. Estimasi parameter dilakukan dengan
Markov-switching merupakan metode untuk
menggunakan metode maximum likelihood.
menangkap adanya perubahan sifat stokhastik data time series dengan memodelkan data dalam beberapa
DATA
persamaan. Keunggulan metode switching regime
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data
dibandingkan dengan model GARCH dalam
harian (berdasarkan 5 hari kerja) indeks saham dari 15
melakukan estimasi adalah kemampuannya dalam
negara: Indonesia, Australia, Amerika Serikat (Dow Jones
mengestimasi data yang memiliki nilai ekstrim yang
dan Nasdaq), Inggris, Jerman, Jepang, Korea, Hong Kong,
merupakan indikasi adanya peristiwa yang ekstrim.
Cina, Taiwan, India, Filipina, Thailand, Singapura, dan
Metode ini mampu memberikan periode krisis yang
Malaysia, data T-Bill 3 bulan, nilai tukar Rp/USD, suku
secara endogen didefinisikan dalam sistem
bunga PUAB dan harga minyak dunia,
persamaan. Oleh karena itu, metode switching regime
Data harian dimulai dari 2 Januari 1995 sampai 13
ini dianggap mampu menyelesaikan masalah generasi
November 2008. Dengan menggunakan Indonesia
pertama pengujian contagion yang mensyaratkan
sebagai titik referensi, data harian ini dibagi menjadi 4
bahwa periode krisis dan tranquil didefinisikan
periode. Adapun periode-periode tersebut adalah sebagai
terlebih dahulu sebelum pengujian dilakukan.
berikut:
Misalkan return saham dalam suatu pasar memiliki
1.
Periode Pertama disebut dengan periode sebelum Pra-
dua keadaan atau state, yaitu tranquil state (St=1)
Krisis Krisis. Periode ini dimulai dari 2 Januari 1995 sampai
dan volatile state (St=2), untuk menggambarkan
15 Juli 1997.
perpindahan dari St=1 ke St=2 digunakan prinsip
2.
dimulai dari 16 Juli 1997 sampai 29 Desember 2000.
rantai Markov yaitu : Pr (St = j l St-1 = i, St-2 = k,..., yt-1, yt-2,...) = Pr (St = j l
Periode Kedua disebut periode Krisis II. Periode ini
3.
Periode Ketiga adalah periode Setelah Krisis Krisis. Periode
St-1 = i ) = pij
ini dimulai dari 1 Januari 2001 sampai 14 Agustus
Dengan first order Markov-switching, probabilitas
2007.
transisi (transition probabilities) dapat diformulasikan sebagai berikut.
4.
Periode Keempat adalah periode Krisis IIII. Periode ini dimulai dari 15 Agustus 2007 sampai 13 November 2008.
P=
P11 P12 P21 P22
Salah satu permasalahan dalam studi ini adalah menentukan break pada data harian dan bulanan. Dalam
dimana p11+p12=p21+p22=1 dan
menentukan break, Indonesia merupakan titik referensi
P11 - Pr [St - 1lSt -1- 1]
atau pusat hubungan dengan negara-negara amatan
P12 - Pr [St - 2lSt -1- 1]
dalam studi ini, kecuali penentuan break pada estimasi
P21 - Pr [St - 1lSt -1- 2]
Markov-Switching. Metode estimasi yang digunakan
P22 - Pr [St - 2lSt -1- 2]
dalam menentukan adanya break pada data harian adalah sebagai berikut:
77
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Penentuan Periode Kedua sebagai periode Krisis I
Grafik A1.2 menunjukkan korelasi antara Indonesia
(16 Juli 1997-29 Desember 2000) dipilih berdasarkan krisis
dengan negara-negara di Asia (kecuali negara-negara di
di Indonesia. Break pada periode tersebut dipilih karena
kawasan Asia Tenggara). Terlihat bahwa Indonesia memiliki
return saham Indonesia menunjukkan volatilitas yang
korelasi yang relatif rendah untuk negara-negara dalam
tinggi.
grafik sampai dengan sebelum Periode Krisis II, kecuali
Penentuan break pada Krisis II (15 Agustus 2007-13
Hong Kong. Indonesia mengalami peningkatan korelasi
November 2008) berdasarkan krisis global. Pada periode
pada periode Krisis I dengan Hong Kong, yang
itu menunjukkan bahwa indeks harga saham Dow Jones
mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia
dan Nasdaq mengalami penurunan yang signifikan.
dengan Hong Kong. Periode Krisis II menunjukkan peningkatan korelasi yang cukup signifikan antara
HASIL ESTIMASI DETEKSI CONTAGION
Indonesia dengan semua negara dalam grafik, kecuali
1.
Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional
Cina, dengan korelasi yang cukup tinggi antara Indonesia
Correlations (DCC)
dengan Hong Kong.
Grafik A1.1 menunjukkan korelasi antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Terlihat bahwa korelasi antara Indonesia dengan Thailand lebih rendah dibandingkan dengan korelasi dengan negara lain di kawasan ini pada pertengahan 1997. Namun korelasi
Grafik A1.2 Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia dengan Negara-Negara di Asia (kecuali Asia Tenggara) 0,8 0,7
R_IND_HK
R_IND_CHN
R_IND_JPN
R_IND_TWN
R_IND_INA
R_IND_KOR
0,6
ini kemudian meningkat secara signifikan dan mencapai puncaknya pada saat krisis Asia 1998. Hal ini menunjukkan bahwa pada krisis Asia, terdapat contagion antara Indonesia dengan Thailand. Sedangkan pada periode 2007-2008, terdapat peningkatan korelasi yang cukup
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 -0,1 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
signifikan antara Indonesia dengan Singapura dan Indonesia dengan Malaysia. Hal ini mengindikasikan bahwa
Grafik A1.3 menggambarkan korelasi antara
terdapat contagion antara Indonesia dengan kedua negara
Indonesia dengan negara-negara maju. Terlihat bahwa
ini pada Periode Krisis II.
Indonesia tidak memiliki korelasi yang tinggi dengan negara-negara dalam grafik. Bahkan pada periode Krisis
Grafik A1.1 Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia dengan Negara-Negara di Asia Tenggara
Serikat (baik untuk Dow Jones Index maupun Nasdaq). Namun pada periode Krisis II, korelasi antara Indonesia
0,8 0,7
I, Indonesia memiliki korelasi yang negatif dengan Amerika
Idn-sin
Idn-mly
Idn-thai
Idn-phl
dan Australia meningkat secara signifikan. Hal ini
0,6 0,5
mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia
0,4
dengan Australia.
0,3
Untuk melihat apakah kenaikan korelasi yang
0,2 0,1 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
78
diperoleh signifikan, DCC yang diperoleh dari Model 4 dipecah menjadi empat periode, yaitu Periode Sebelum
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Grafik A1.3 Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia dengan Negara-Negara Maju
hipotesis alternatif dalam uji ini adalah korelasi pada periode volatilitas tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi pada periode volatilitas rendah (∑i < ∑h).
0,7 0,6
R_IND_UK
R_IND_DOW
R_IND_GER
R_IND_NASDAQ
R_IND_AUS
Hasil yang diperoleh berdasarkan Uji Fisher pada tabel
0,5
A1.1 menunjukkan tidak adanya peningkatan korelasi yang
0,4 0,3
signifikan pada Periode 2 antara return saham Indonesia
0,2
dengan return saham negara lain. Hal ini berarti pada
0,1 0
periode Krisis Asia, tidak ada contagion antara Indonesia
-0,1
dengan negara-negara dalam penelitian ini.
-0,2 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Untuk Periode 3, hasil estimasi dengan DCC Krisis, Krisis I, Setelah Krisis, dan Krisis II. Dari seri korelasi
menunjukkan adanya peningkatan korelasi yang signifikan
yang diperoleh tersebut kemudian diperoleh nilai rata-rata
antara Indonesia dengan Jepang dan India pada tingkat
korelasi untuk keempat periode. Nilai korelasi yang
signifikansi 5 persen, serta antara Indonesia dengan Korea
diperoleh ini kemudian diuji dengan menggunakan Uji
dan Taiwan pada tingkat signifikansi 1 persen. Hal ini
Fisher. Adanya peningkatan korelasi pada pengujian ini
berarti terdapat contagion di Indonesia yang berasal dari
mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia
negara-negara tersebut. Sedangkan untuk Periode 4,
dengan negara lain. Null hypothesis dalam uji ini adalah
peningkatan korelasi yang signifikan terjadi di hampir di
tidak ada perbedaan korelasi antara periode volatilitas
semua negara, kecuali korelasi antara Indonesia dengan
rendah dengan periode volatilitas tinggi (∑i = ∑h). Sedangkan
Filipina, Jerman, Dow Jones, dan Nasdaq.
Tabel A1.1 Deteksi Contagion dengan Dynamic Conditional Correlation (DCC)-Return Saham harian P1 IDN - CHN IDN - HK IDN - JPN IDN - KOR IDN - TWN IDN - PHIL IDN - SIN IDN - MLY IDN - THAI IDN - AUS IDN - UK IDN - GER IDN - INA IDN - DOW IDN - NASDAQ Keterangan:
P1: P2: P3: P4: ***: **: *:
0,02885 0,38930 0,20369 0,14951 0,13661 0,35927 0,42429 0,33618 0,32858 0,28818 0,17723 0,18563 0,17594 0,07272 0,05999
P2 0,01949 0,36340 0,21825 0,16979 0,16031 0,32417 0,40541 0,26867 0,33702 0,27669 0,15270 0,18358 0,13356 0,03421 0,00406
P3 0,06040 0,35565 0,27484 0,29427 0,26543 0,25437 0,37972 0,27986 0,30109 0,30222 0,16984 0,15692 0,27282 0,05611 0,04681
P4
Z-Stat P2
0,21785 0,62349 0,44552 0,47997 0,44685 0,37696 0,54769 0,52233 0,44945 0,55227 0,31572 0,26901 0,47507 0,12253 0,11701
0,18315 0,59024 -0,29805 -0,40707 -0,47405 0,77732 0,44598 1,45414 -0,18549 0,24430 0,49313 0,04146 0,84920 0,75542 1,09522
Z-Stat P3 -0,69170 0,85513 -1,65232 ** -3,33905 *** -2,94255 *** 2,53743 1,16358 1,36211 0,66773 -0,33648 0,16669 0,64712 -2,23446 ** 0,36499 0,28916
Z-Stat P4 -2,77582 -4,60957 -3,92898 -5,36774 -4,94937 -0,29511 -2,33810 -3,31258 -2,05835 -4,68655 -2,13033 -1,26861 -4,88472 -0,72521 -0,82877
*** *** *** *** *** *** *** ** *** ** ***
Korelasi Periode 1 (Januari 1995 - Juli 1997) Korelasi Periode 2 (Agustus 1997 - Desember 2000) Korelasi Periode 3 (1 Januari 2001 - 14 Agustus 2007) Korelasi Periode 4 (15 Agustus - 13 November 2008) Signifikan untuk a=1% Signifikan untuk a=5% Signifikan untuk a=10%
79
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
2.
Persamaan
Markov√Switching Regime Estimation Method
Markov-switching
di
atas,
Pada penelitian ini, metode switching regime
mengasumsikan bahwa arah contagion terjadi dari negara-
diestimasi dengan menggunakan persamaan GARCH (1,1)
negara yang diestimasi ke Indonesia. Variabel independen
dengan persamaan mean dan variansi sebagai berikut:
dalam persamaan mean di atas diperoleh berdasarkan hasil
ridn,t = ac,St + a1,St ridn,t-1 + a2,St idn_exe_dlog + a3,St idn_int +
estimasi dengan menggunakan metode Autoregressive
Distributed Lag (ADL) untuk melihat variabel-variabel
a4,St tbill3m + a5,St oil_dlog + a6,St rm,t + eSt,t eSt,t ~ N(0, s
2
keuangan dan ekonomi apakah yang berpengaruh
)
St,t
s2St,t = VASt + VBSt e2St,t-1 + VCSt s2St,t-1
terhadap return saham Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan estimasi dengan
Keterangan:
membagi state menjadi dua regime, yaitu Regime Krisis
ridn,t: return saham Indonesia
dan Non-Krisis berdasarkan persistensi dan unconditional
rm,t: return saham negara lain
variance yang diperoleh dari conditional variance .
idn_exe_dlog: rate of depreciation nilai tukar Indonesia
Persistensi yang lebih rendah antara kedua state
idn_int: interest rate Indonesia (PUAB)
dikategorikan sebagai Regime 1 (non krisis), sedangkan
tbill3m: T-Bill 3 bulan
persistensi yang lebih tinggi dikategorikan sebagai Regime
oil_dlog: perubahan harga minyak
2 (krisis). Contagion dikatakan terjadi antara Indonesia
e : error
dengan negara lain apabila terjadi peningkatan signifikan
s2 : variansi
koefisien return negara lain (a6) dari Regime 1 ke Regime
St: regime 1 (non krisis) dan regime 2 (krisis)
2. Tabel A1.2 memperlihatkan bahwa nilai koefisien a6
Tabel A1.2 Markov Switching Mean Equation a0 IDN - CHN IDN - HK IDN - JPN IDN - KOR IDN - TWN IDN - PHIL IDN - SIN IDN - MLY IDN - THAI IDN - AUS IDN - UK
80
regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2
0,004 *** -0,006 *** 0,003 *** -0,001 0,003 *** -0,002 0,003 *** -0,004 ** 0,003 *** -0,004 ** 0,004 *** -0,005 *** 0,003 *** -0,001 0,003 *** -0,002 * 0,003 *** -0,004 ** 0,003 *** -0,004 ** 0,003 *** -0,002
a1 0,010 0,714 *** 0,053 ** 0,159 *** 0,002 0,658 *** -0,004 0,484 *** 0,006 0,538 *** -0,010 0,442 *** -0,002 0,243 *** -0,015 0,297 *** 0,009 0,357 *** 0,009 0,357 *** 0,014 0,522 ***
a2 -0,142 -0,696 -0,068 -0,518 -0,132 -0,622 -0,120 -0,614 -0,128 -0,640 -0,116 -0,562 -0,040 -0,415 -0,104 -0,500 -0,127 -0,474 -0,127 -0,474 -0,135 -0,608
a3 *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** ** *** *** *** *** *** *** *** *** ***
-0,014 0,035 -0,009 0,005 -0,010 -0,002 0,014 0,026 -0,014 0,029 -0,013 0,021 -0,012 0,008 -0,014 0,015 -0,011 0,008 -0,011 0,008 -0,016 0,045
a4 *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** ** *** *** *** ***
-0,019 0,017 -0,027 ** 0,035 0,015 0,036 -0,015 0,016 -0,013 -0,001 -0,020 0,033 -0,015 0,007 -0,018 0,020 -0,019 0,065 * -0,019 0,065 * -0,004 -0,080 **
a5 0,005 0,054 * 0,001 0,055 ** 0,003 0,046 -0,001 0,050 * 0,006 0,046 0,003 0,021 -0,006 0,045 *** -0,008 0,051 ** -0,002 0,047 * -0,002 0,047 * 0,015 -0,018
a6 0,011 0,152 *** 0,174 *** 0,616 *** 0,137 *** 0,393 *** 0,090 *** 0,334 *** 0,059 *** 0,451 *** 0,119 *** 0,549 *** 0,194 *** 0,686 *** 0,112 *** 0,672 *** 0,085 *** 0,603 *** 0,085 *** 0,603 *** 0,050 *** 0,754 ***
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Tabel A1.2 Markov Switching Mean Equation (lanjutan) a0 IDN - GER
regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2 regime 1 regime 2
IDN - INA IDN - DOW IDN - NASDAQ
a1
0,003 *** -0,002 0,003 *** -0,004 ** 0,003 *** -0,004 ** 0,003 *** -0,004 **
0,014 0,522 *** 0,004 0,387 *** 0,000 0,796 *** 0,000 0,800 ***
a2 -0,135 -0,608 -0,122 -0,582 -0,142 -0,650 -0,141 -0,651
a3 *** *** *** *** *** *** *** ***
-0,016 0,045 -0,015 0,029 -0,012 0,007 -0,012 0,007
a4 *** *** *** *** *** ***
-0,004 -0,080 ** -0,015 0,008 -0,020 * 0,042 -0,020 0,043
a5 0,015 -0,018 0,001 0,053 ** 0,006 0,042 0,006 0,043
a6 0,050 *** 0,754 *** 0,056 *** 0,437 *** 0,042 ** 0,051 0,034 *** 0,020
signifikan dan mengalami peningkatan pada Regime 2
Conditional Correlation-Multivariate GARCH) dan Markov-
untuk semua negara, kecuali Amerika Serikat (baik untuk
Switching. Kedua uji ini merupakan pengujian contagion
Dow Jones maupun Nasdaq).
tanpa memperhitungkan negara yang menjadi awal krisis.
Berdasarkan analisis dengan metode Markov-
Markov-Switching melakukan pengujian adanya contagion
Switching diperoleh kesimpulan bahwa contagion terjadi
tanpa memberikan terlebih dahulu periodisasi krisis.
antara Indonesia dengan hampir semua negara yang
Metode ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi
diteliti, kecuali dengan Amerika Serikat (Dow Jones dan
permasalahan dalam pengujian contagion yang
Nasdaq).
mensyaratkan adanya titik krisis dan non-krisis yang ditetapkan secara arbitrary.
KESIMPULAN
Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat
Tabel A1.3 merupakan rangkuman hasil estimasi
contagion antara Indonesia dengan negara-negara lainnya
dengan menggunakan metode DCC-MG (Dynamic
dalam penelitian ini. Contagion terutama terjadi antara Indonesia dengan negara-negara Asia Timur, seperti
Tabel A1.3 Kesimpulan Hasil Pengujian Deteksi Contagion (1)
Jepang, Taiwan, dan Korea. Terdapat pula contagion antara Indonesia dengan India. Selain itu, perilaku pasar saham
DCC/Multivariate GARCH P2 IDN-MLY IDN-SIN IDN-THA IDN-PHI IDN-JPN IDN-TWN IDN-HK IDN-CHN IDN-KOR IDN-INA IDN-AUS IDN-GER IDN-UK IDN-US(DJ) IDN-US(NQ) Keterangan:
P3
P4 √*** √*** √***
√*** √***
√*** √***
√*** √*** √*** √*** √*** √*** √*** √***
Markov-Regime Switching √*** √*** √*** √*** √*** √*** √*** √*** √*** √*** √*** √*** √***
di Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan pasar saham India. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya investor asing yang berinvestasi baik di India dan Indonesia. Indonesia dan India memiliki kondisi fundamental dan kondisi sosial yang mirip, sehingga investor menggunakan India sebagai sinyal bagi kondisi pasar di Indonesia, dan sebaliknya menggunakan Indonesia sebagai sinyal bagi kondisi pasar di India. Hal ini menunjukkan adanya wake-
up call hypothesis. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa tidak ada
contagion antara Indonesia dan Amerika Serikat, baik ***: Signifikan untuk α=1% (critical value: -2,32) **: Signifikan untuk α=5% (critical value: -1,64) *: Signifikan untuk α=10% (critical value: -1,28) Tanda √ menunjukkan bahwa terdapat contagion antara kedua negara.
untuk estimasi dengan menggunakan indeks Dow Jones maupun dengan indeks Nasdaq. Oleh karena itu, apabila
81
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Indonesia terpengaruh krisis global yang terjadi saat ini,
Asia, seperti Jepang, Taiwan, Korea, Hongkong, dan
yang berawal dari krisis sub-prime mortgage di Amerika
India. Hubungan contagion ini merupakan hubungan
Serikat, pengaruh ini bukan merupakan pengaruh
dua arah, dalam artian Indonesia mempengaruhi negara
langsung dari pasar Amerika Serikat, melainkan
lain dan negara lain pun memiliki pengaruh terhadap
merupakan pengaruh terusan dari pasar-pasar modal di
Indonesia. Namun berdasarkan uji deteksi error, dapat
Asia yang memiliki hubungan langsung dengan pasar
dilihat bahwa Indonesia lebih merupakan shock absorber
modal Amerika Serikat.
dan bukan merupakan shock transmitter terutama untuk
Tabel A1.4 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hubungan contagion dengan negara-negara di kawasan
negara-negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris, dan AS).
Tabel A1.4 Kesimpulan Hasil Pengujian Deteksi Contagion (2)
Negara IDN-MLY IDN-SIN IDN-THA IDN-PHI IDN-JPN IDN-TWN IDN-HK IDN-CHN IDN-KOR IDN-INA IDN-AUS IDN-GER IDN-UK IDN-US(DJ) IDN-US-(NQ) Keterangan:
82
Data Harian √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
^^^ ^^^ ^^^ ^^^ ^^^ ^^^ ^^^ ^ ^^^ ^^^ ^ ^ ^ ^ ^
Data Harian
Data Bulanan √ √ √ √ √ √ √
P2
P3
^ ^ ^ ^ ^ ^ ^^^ √
√
^
√ √ √
^ ^ ^
Data Bulanan
^
P2
P4 √
^
√
^
√
^
√ √
^^^ ^^^
√ √
^ ^^^
√
√ √ √ √
^^^ ^^^ ^^^ ^
√ √ √
^^^ ^^^ ^^^
√ √
P2 : Periode 2 (data harian: 16 Juli 1997 - 29 Desember 2000; data bulanan Agustus 1997-Desember 2000) P3 : Periode 3 (data harian: 1 Januari 2001 - 14 Agustus 2007; data bulanan Januari 2000-September 2008) P4 : Periode 4 (15 Agustus - 13 November 2008) ^^^ : Hubungan contagion dua arah ^^ : Hubungan contagion dengan Indonesia sebagai asal shock ^ : Hubungan contagion dengan negara lain sebagai asal shock Tanda √ menunjukkan bahwa terdapat contagion antara kedua negara Tingkat signifikansi yang digunakan adalah 5% dan 1%
P3*
√
^
^^^
√ √
^^^ ^^^
^^^ ^^^
√ √ √
^^^ ^^^ ^^^
√
^^
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Daftar Pustaka
Agenor, Aizenman, dan Hoffmaister. 2008. ≈External
Collins dan Gavron, 2004. ≈Channels of Financial Market
Shocks, Bank Lending Spreads, External Shocks,Bank
Contagion∆, Applied Economics, 36:21, 2461- 2469.
Lending Spreads, and Output Fluctuations∆, Review
Collins dan Gavron. 2005. ≈Measuring Equity Market
of International Economics,16:1, 1-20. Arestis, et al. 2005. ≈Testing for Financial Contagion
Contagion in Multiple Financial Events∆, Applied
Financial Economics, 15:8, 531-538.
between Developed and Emerging Markets during
Dornbusch, Park, dan Claessens. 2000. ≈Contagion: How
the 1997 East Asian Crisis∆, International Journal of
It Spreads and How It Can be Stopped∆, Forthcoming
Finance and Economics, 10, 359-367.
World Bank Research Observer.
Caporale, Cipollini, dan Spagnolo. 2005. ≈Testing for Contagion: a Conditional Correlation Analysis∆,
Journal of Empirical Finance, 12, 476-489. Caramazza, Ricci, dan Salgado. 2004. ≈International Financial Contagion in Currency Crisis∆, Journal of
International Money and Finance, 23, 51-70.
Duggar dan Mitra. 2007. ≈External Linkages and Contagion Risk in Irish Bank∆, IMF Working Paper. Engle, G. 2000. ≈Dynamic Conditional Correlation √ A Simple Class of Multivariate GARCH Models∆, UCSD
Economics Discussion Paper, 2000-9. Essaadi, Jouini, dan Khallouli. 2007. ≈The Asian Crisis
Cartapanis, Dropsy, dan Mametz. 2002. ≈The Asian
Contagion: A Dynamic Correlation Approach
Currency Crises: Vulnerability, Contagion, or
Analysis∆, Documents De Travail-Working Papers, 07-
Unsustainability∆, Review∆of International Economics,
25.
10(1), 79-91. Castiglionesi. 2007. ≈Financial Contagion and the Role of the Central Bank∆, Journal of Banking and Finance, 31, 81-101.
Forbes dan Rigobon. 2000. ≈Contagion in Latin America: Definition, Measurement and Policy Implication∆,
NBER Working Paper Series, 7885. Hatemi-J dan Hacker. 2005. ternative Method to Test for
Chiang, Bang Nam Jeon, dan Huimin Li. 2007. ≈Dynamic
Contagion with an Application to the Asian Financial
Correlation Analysis Of Financial Contagion: Evidence
Crisis∆, Applied Financial Economics Letters, 1:6, 343-
From Asian Markets∆, Journal of International Money
347.
and Finance, 26, 1206-1228. Chu-Sheng Tai. 2004. ≈Contagion: Evidence from International Banking Industry∆, Journal of
Multinational Financial Management, 14, 353-368.
Horta, Mendes, dan Vieira. 2008. Contagion Effects of the U.S Subprime Crisis on Developed Countries∆,
CEFAGE-UE Working Paper, 08. Luo dan Tang. 2007. ≈Capital Openness and Financial
Cifuentes, Ferrucci, dan Shin. 2005. ≈Liquidity Risk and
Crises: A Financial Contagion Model with Multiple
Contagion∆, Journal of the European Economic
Equilibria∆, Journal of Economic Policy Reform, 10:4,
Association, 3(2-3), 556-566.
283-296.
83
Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia
Marais dan Bates. 2006. ≈An Empirical Study to Identify
Suliman. 2005. ≈Interest Rate Volatility, Exchange Rates,
Shift Contagion during the Asian Crisis∆, International
and External Contagion∆, Applied Financial
Financial Markets Institutions and Money, 16, 468-
Economics, 15:12, 883-894.
479. Marongiu. 2005. ≈Towards a New Set of Leading Indicators of Currency Crisis for Developing Countries: an Application to Argentina∆.
Market Contagion in the Asian Crisis: A RegressionBased Approach∆. Walti. 2003. ≈Contagion and Interdependence among
Rodriguez. 2007. ≈Measuring Financial Contagion: A
Central European Economies: the Impact
Copula Approach∆, Journal of Empirical Finance,14,
of≈Common External Shocks∆, HEI Working Paper,
401-423.
02.
Sojli. 2007. ≈Contagion in Emerging Markets: the Russian
Yang dan Lim. 2004. ≈Crisis, Contagion, and East Asian
Crisis∆, Applied Financial Economics, 17:3, 197-213.
Stock Markets∆, Review of Pacific Basin Financial
Sriananthakumar dan Silvapulle. 2008. ≈Multivariate
84
Van Horen, Jager, dan Klaassen. 2006. ≈Foreign Exchange
Markets and Policies, 7:1, 119-151.
Conditional Heteroscedasticity Models with Dynamic
Yoon. 2005. ≈Correlation Coefficients, Heteroskedasticity
Correlations for Testing Contagion∆, Applied Financial
and Contagion of Financial Crises∆, The Manchester
Economics, 18:4, 267-273.
School, 73:1, 92-100.
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Artikel II
Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt Wimboh Santoso1, Viverita2, Ardiansyah3, Reska Prasetya4, Heny Sulistyaningsih5
Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi hutang perusahaan Indonesia yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan pembiayaan dan investasi perusahaan tersebut. Model yang digunakan merupakan pengembangan dari model Gibbard dan Stevens (2006) yang dikombinasikan dengan pendekatan tradisional struktur modal trade-off theory dan pecking order theory. Penelitian ini akan memodelkan corporate leverage dengan mengkombinasikan hutang, equity issuance serta model investasi dan mengaplikasikan Generalized Moment of Method (GMM) dengan panel data dari 218 perusahaan yag sudah go public. Hasil estimasi menunjukkan bahwa penentuan level hutang korporasi di Indonesia dipengaruhi oleh default probability effect, sehingga membutuhkan penilaian yang hati-hati dalam penentuan sumber pendanaan. Diketahui pula bahwa aktivitas Investasi, akuisisi serta ketersediaan kas akan mempengaruhi tingkat hutang korporasi. Selanjutnya, hasil estimasi juga menggambarkan bahwa teori pecking order berkontribusi signifikan terhadap model neraca korporasi. Keywords : Corporate debt; balance sheet; capital structure; speed of adjustment JEL Classification: C51;C33;N65
1. PENDAHULUAN
pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini secara tidak
Meningkatnya volatilitas di pasar komoditas dan
langsung berpotensi menurunkan kinerja keuangan sektor
pasar uang internasional serta melambatnya pertumbuhan
korporasi. Melemahnya daya beli konsumen menyebabkan
ekonomi dunia berimbas kepada perlambatan
tingkat penjualan korporasi menurun sehingga pendapatan korporasi juga menurun. Penurunan pendapatan yang
1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia; alamat email:
[email protected] 2 Peneliti Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, e-mail address:
[email protected] 3 Peneliti Eksekutif, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan; alamat email:
[email protected] 4 Peneliti Yunior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan; alamat email:
[email protected] 5 Peneliti Yunior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan; alamat email:
[email protected]
tidak diiringi dengan penurunan biaya operasional maupun biaya produksi menyebabkan korporasi membutuhkan pinjaman dari pihak ketiga, baik berupa hutang kepada perbankan atau pembiayaan non bank lainnya. Semakin
85
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
besar hutang korporasi semakin besar eksposur korporasi
mempengaruhi optimal level of debt dari suatu perusahaan
terhadap sistem keuangan. Peningkatan jumlah hutang
dengan menggunakan teori pecking order dan teori trade-
yang diiringi penurunan pendapatan lebih lanjut berpotensi
off.
menurunkan kemampuan membayar korporasi. Disisi lain, penurunan pendapatan berpotensi menurunkan
86
2. TINJAUAN PUSTAKA
kemampuan membayar korporasi terhadap kewajibannya
Menurut Modigliani dan Miller (1963), korporasi
kepada pihak ketiga sehingga dapat menjadi sumber
cenderung akan menjaga kapasitas cadangan hutang
instabilitas sistem keuangan.
dalam kondisi pasar yang sempurna. Oleh karena itu,
Terdapat beberapa alasan suatu perusahaan
fasilitas pinjaman yang akan diterima perusahaan akan
menerbitkan hutang sebagai sumber pembiayaan usahanya.
berkurang seiring dengan meningkatnya pinjaman yang
Menurut Jensen (1986), hutang merupakan cara yang efisien
telah diterima oleh perusahaan tersebut. Sementara itu,
untuk mengurangi biaya-biaya yang terkait dengan
Farrar dan Selwyn (1967) yang berpendapat sama dengan
penerbitan saham sedangkan Klaus dan Litzenberger
Stiglitz (1972) menyatakan bahwa perbedaan dari pajak
berpendapat bahwa hutang dapat mengoptimalkan struktur
personal income yang dikenakan pada penambahan modal
permodalan korporasi melalui keuntungan pajak. Ross
dan pendapatan tetap mengurangi keyakinan pada teori
(2008) dan Leldan & Pyle (1977) berpendapat bahwa hutang
yang menyatakan bahwa keuntungan pajak dari fasilitas
merupakan poin yang penting dari nilai suatu perusahaan.
pinjaman akan berdampak pada penolakan penggunaan
Raviv (1991) menemukan bahwa peningkatan leverage
fasilitas pinjaman sebagai modal. Di sisi lain, literatur
sejalan dengan peningkatan hutang, non-debt tax shield,
mengenai credit rationing menjelaskan sudut pandang
kesempatan investasi. Sebaliknya, penurunan leverage
kreditur dan perbankan tentang alasan korporasi
sejalan dengan peningkatan volatilitas, advertising
membatasi jumlah pinjamannya. Jaffe (1971)
expenditure, default probability dan keunikan dari suatu
menggambarkan bahwa ketidakinginan seorang manajer
produk. Oleh karena itu, optimal debt ratio ditentukan
untuk mendapatkan pinjaman disebabkan mereka ingin
dengan mempertimbangkan keuntungan dan biaya yang
menjaga posisi dan kesejahteraan mereka. Faktor lain yang
dikeluarkan untuk menerbitkan hutang (Frydenberg, 2004).
dianggap mempengaruhi penggunaan pinjaman adalah
Sampai dengan Juni 2008, perbankan berkontribusi
besarnya biaya yang dicadangkan apabila terjadi
memberikan pembiayaan ke perusahaan berupa kredit
kebangkrutan atau apabila kondisi keuangan sedang buruk
modal kerja dan kredit investasi sebesar 71% dari total
(Warner, 1976 dan Robichek dan Myers, 1966).
kredit perbankan. Hal ini mengindikasikan bahwa eksposur
Menurut teori, sebuah perusahaan akan melakukan
terbesar dari perbankan dan institusi keuangan lainnya
investasi apabila mempunyai cash. Oleh karena itu,
adalah korporasi Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah
keputusan untuk menggunakan sumber pembiayaan dari
penting untuk membuat suatu model yang dapat
internal maupun eksternal tidak hanya bergantung pada
menentukan neraca korporasi Indonesia dengan meneliti
waktu berinvestasi, namun juga pada ketersediaan
peran dari optimal debt dalam mengambil keputusan
kesempatan investasi. Keputusan untuk tidak menerbitkan
pembiayaan dan investasi. Penelitian ini bertujuan untuk
saham dan tidak menggunakan kesempatan berinvestasi
membangun model neraca korporasi dengan meneliti
akan berakibat pada ketidaktepatan pengalokasian dana
struktur hutang dan juga faktor-faktor yang
yang nantinya akan menurunkan nilai perusahaan tersebut
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
atau dikenal dengan financing trap (Myers dan Majluf,
perusahaan dalam memilih sumber internal sebagai
1984). Berdasarkan perkembangan ini, perusahaan
sumber pembiayaan daripada menggunakan hutang.
cenderung akan menggunakan hutang sebagai sumber
Namun, apabila sumber eksternal sangat dibutuhkan,
eksternal saat pemegang saham yang ada tergolong
hutang lebih baik dibandingkan dengan equity (Myers dan
sebagai passive investors. Dampaknya, perusahaan yang
Majluf, 1984). Teori ini lebih fokus pada bagaimana cara
mempunyai kelonggaran pembiayaan yang cukup besar
mengatur perusahaan agar mencapai keseimbangan
cenderung akan mengambil kesempatan investasi yang
antara ekonomi dengan stabilitas keuangan. Teori ini dapat
ada. Jensen (1986) berpendapat bahwa sebuah
dijelaskan sebagai berikut (1) pembiayaan dari internal
perusahaan yang lebih memilih untuk menerbitkan dan
(modal yang ditahan) digunakan karena dinilai lebih aman
mempergunakan hutang sebagai sumber pembiayaan
dibandingkan dengan hutang yang memiliki default risk,
akan menguntungkan tidak hanya bagi manajer dalam
(2) menerbitkan surat hutang sebagai sumber pembiayaan
kaitannya dengan hak untuk menunda pemberian future
paling aman apabila pembiayaan dari eksternal tidak dapat
dividends, namun juga memberikan hak bagi pemilik
dihindari lagi. Dalam teori ini pula, menerbitkan saham
perusahaan untuk mengambil legal action saat terjadi
sebagai sumber pembiayaan merupakan pilihan
default. Adanya kenaikan penggunaan hutang akan
pembiayaan yang kurang tepat mengingat nantinya tetap
meningkatkan leverage dari suatu perusahaan maupun
akan dibutukan pembiayaan dari sumber lain. Oleh karena
agency dan bankruptcy cost.
itu, kondisi tersebut dapat menciptakan gap antara
Terdapat 2 (dua) teori yang umum digunakan untuk
corporate expenses dan free cash flow yang membutuhkan
menjelaskan struktur hutang korporasi yaitu teori trade
pembiayaan dari hutang (financing gap). Berdasarkan teori
off dan teori pecking order. Teori trade off mengenai
ini, perubahan dari hutang harus sama dengan financing
struktur permodalan menjelaskan bahwa tingkat hutang
gap. Studi lain yang dilakukan oleh Shyam-sunder dan
korporasi bisa dijelaskan dengan keseimbangan antara
Myers (1999) mempergunakan debt ratio sebagai proxy
biaya dan keuntungan dari penggunaan hutang sebagai
untuk optimal level of debt dengan asumsi target level of
sumber pembiayaan, dengan biaya kebangkrutan sebagai
debt konstan.
biaya hutang dan pengurangan pajak sebagai keuntungan
Gibbard dan Stevens (2006) meneliti faktor-faktor
dari penggunaan hutang. Hal ini menjelaskan adanya trade
penentu hutang korporasi di UK, US, Perancis, dan Jerman.
off antara keuntungan pajak dan biaya karena adanya
Studi ini menjelaskan peran hutang korporasi dengan
tekanan keuangan. Teori ini fokus pada keseimbangan
menghitung investasi dan penerbitan equity. Dengan
antara keuntungan dari hutang dan tingginya biaya
menggunakan persamaan, ditemukan bahwa variabel
penggunaannya serta kesempatan dari tekanan keuangan.
pecking order terutama cash flow dan akuisisi mempunyai
Selain itu, teori ini juga menjelaskan keterkaitan antara
pengaruh yang signifikan terhadap corporate debt level.
hutang dan risiko gagal bayar maupun hutang dan
Studi ini juga menemukan bahwa hutang memiliki korelasi
kesempatan pertumbuhan.
yang positif dengan kebutuhan pembiayaan perusahaan,
The pecking order theory menyatakan mengenai
sementara level optimal hutang korporasi berkorelasi
strategi pembiayaan jangka panjang dari perusahaan dan
negatif dengan market to book ratio. Selanjutnya,
penggunaan sumber internal sebagai suatu pilihan
procyclicality hutang merupakan efek dari procyclicality
pembiayaan. Secara umum, teori ini menjelaskan prioritas
gap pembiayaan. Temuan lain menggambarkan bahwa
87
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
pertumbuhan hutang korporasi pada saat ekonomi
Wanzenried (2002) meneliti pengaruh dari faktor-faktor
membaik tidak dapat dijelaskan oleh kenaikan hutang
tertentu di perusahaan dan faktor makroekonomi
optimal namun dijelaskan oleh gap pembiayaan.
terhadap speed of adjustment untuk target leverage 90
Sementara itu, Welch (2002) menyarankan bahwa struktur
perusahaan di Swiss. Penelitian ini menemukan bahwa
modal korporasi ditentukan dari return saham (misalnya,
makin tinggi tingkat pertumbuhan suatu perusahaan dan
nilai equity, perkiraan nilai equity saat ini dan debt equity
makin jauh dari tingkat optimal debt akan makin cepat
ratio). Oleh sebab itu, faktor penentu utama dari struktur
mencapai target leverage. Selain itu, ditemukan juga
permodalan adalah pengaruh eksternal daripada struktur
bahwa tangibility dan besar kecilnya perusahaan tidak
internal. Di satu sisi, Welch (2004) menemukan bahwa
mempunyai hubungan yang positif dengan leverage.
40% perubahan di struktur hutang korporasi
Sebaliknya, profitability mempunyai hubungan yang
kemungkinan besar karena pendapatan dari saham.
negatif terhadap leverage. Tingginya pertumbuhan
Sementara itu, penerbitan hutang jangka panjang
perusahaan (market to book ratio) mempunyai leverage
mempengaruhi 30% dari perubahan debt level.
yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang
Fama dan French (2002) memperkenalkan two-step
memiliki market to book ratio yang rendah. Historis dari
regression untuk menentukan level optimal dari hutang
market to book value digunakan oleh Hovakimian (2003)
dengan menggabungkan Teori Trade off dan Teori pecking
untuk meneliti pengaruh dari faktor ini terhadap
order dan menemukan 4 (empat) faktor penentu yaitu (1)
keputusan investasi dan pembiayaan. Hasilnya ditemukan
profitability, (2) investment opportunity, (3) ukuran
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
perusahaan (dilihat dari total aset) dan (4) target dividend
keputusan investasi dan pembiayaan. Hal ini menunjukkan
payout . Hasil penelitian ini menunjukkan adanya
bahwa current market to book value terhadap hutang
perbedaan dan hasil yang bertolak belakang dari aplikasi
gagal menggambarkan kesempatan pertumbuhan suatu
ke-2 teori tersebut. Contohnya, saat mengaplikasikan teori
perusahaan.
trade off, ditemukan bahwa perusahaan dengan investasi yang besar memiliki hutang yang kecil. Sebaliknya, teori
88
3. METODOLOGI PENELITIAN
pecking order menunjukkan bahwa terdapat hubungan
Penelitian ini menggabungkan teori trade off dan
yang negatif antara expected investment dan book
teori pecking order untuk membangun neraca korporasi
leverage. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara
di Indonesia. Teori pecking order menyatakan bahwa
leverage dan besarnya perusahaan maupun antara dividen
penggunaan sumber internal merupakan sumber
payout dengan besarnya perusahaan. Hal ini
pembiayaan yang lebih utama dibandingkan dengan
mengindikasikan bahwa perusahaan dengan pendapatan
penerbitan saham. Teori ini berpendapat bahwa penerbitan
yang cukup besar memiliki pengaruh yang signifikan
saham akan dianggap sebagai sentimen negatif oleh
terhadap struktur permodalan.
investor. Sementara itu, teori trade off mengajukan konsep
Tsiplakov (2007) menggunakan model dinamis dari
proxy tingkat optimal hutang dengan membandingkan
optimal capital structure dan menemukan adanya
keuntungan marginal dengan biaya marginal dari
hubungan yang kuat antara pendapatan dari saham
penggunaan hutang. Berdasarkan tujuan penelitian ini,
perusahaan dan perubahan debt level. Penemuan ini
selanjutnya akan disusun neraca korporasi Indonesia
mendukung Welch (2004). Sementara itu, Drobetz dan
dengan menggunakan model penelitian empiris mengenai
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
struktur permodalan, seperti yang pernah dilakukan oleh
(2) rata-rata rasio hutang selama periode penelitian (Sunder
Gibbard dan Stevens (2006).
dan Myers 1999); dan (3) penentuan tingkat optimum debt
Terdapat perbedaan sudut pandang dalam melihat
dengan meregressi variabel yang mungkin mempengaruhi
perubahan posisi hutang apabila didasarkan pada 2 (dua)
target debt ratio perusahaan (Fama dan French, 1999).
teori tersebut. Teori pecking order berpendapat bahwa
Nilai yang sesuai dari hasil regresi akan menggambarkan
perubahan posisi hutang bergantung pada financing gap
optimal debt dari korporasi.
yaitu gap antara pengeluaran korporasi (investasi & akuisisi)
Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk
dengan sumber pembiayaan yang berupa cash. Untuk
memodelkan struktur permodalan korporasi dengan
mengatasi keterbatasan cash , perusahaan akan
menggunakan beberapa model seperti debt model, equity
menggunakan hutang sebagai sumber utama dari
issuance model, dan investment model seperti yang
pembiayaan eksternal. Di satu sisi, teori trade off
dijelaskan dibawah ini:
berpendapat bahwa perubahan posisi hutang adalah perbedaan antara tingkat optimal hutang dengan hutang aktual. Gambar A2.1 menunjukkan kerangka konsep model hutang dari neraca korporasi Indonesia.
3.1. Debt Model Model ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat hutang korporasi. Menurut teori
pecking order, variabel investasi (I) dan akuisisi (A) memiliki Gambar A2.1 Kerangka Konsep dari Model Neraca Korporasi
hubungan yang positif dengan tingkat hutang korporasi, sementara cash (C) mempunyai hubungan yang negatif dengan tingkat hutang. Selain itu, tingkat optimal dari
DEBT EQUITY CASH
Use to finance
INVESTMENT ACQUISITION
hutang (M) diharapkan memiliki hubungan negatif dengan tingkat aktual hutang korporasi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Welch (2002) memberikan kesimpulan yang
Penelitian yang dilakukan Gibbard dan Stevens
berbeda, dimana market to book value of debt mempunyai
(2006) menggabungkan 2 (dua) teori mengenai struktur
hubungan yang negatif dengan tingkat hutang korporasi.
permodalan. Penelitian ini memberikan kemungkinan
Namun, secara statistik hubungan ini tidak signifikan. Hasil
untuk melihat siklus pergerakan dari hutang korporasi dan
yang ambigu ini dapat dijelaskan melalui dua pendekatan
menghitung seberapa jauh pergerakan hutang memicu
yaitu efek pertumbuhan kesempatan (Myers, 1977) dan
kebutuhan pembiayaan dan kecepatan penyesuaian dari
efek kemungkinan untuk default (Welch, 2002) seperti
tingkat hutang, seperti yang digambarkan dalam
dalam persamaan dibawah ini:
persamaan dibawah ini:
Dit = α + α1Di,t-1 + α2Iit + α3Ii,t-1 + α4Ait + α5Ai,t-1 + α6Cit +
*
Dit = αGit + βDit + (1-β) Di,t-1
(1)
α7Ci,t-1 + α8Mit + α9Mi,t-1 + η1 + εit
(2)
Dimana, Dit adalah hutang korporasi pada suatu waktu t;
η 1 di persamaan (2) menggambarkan efek khusus
Git = financing gap; dimana variabel utama yang digunakan
perusahaan, yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan
adalah arus kas, pengeluaran investasi dan akuisisi. Dit*
dalam koefisien regresi, namun bisa diselesaikan
adalah optimal debt (dinyatakan oleh teori trade off) dan
menggunakan teknik differencing. Namun, dengan
bisa ditentukan dari salah satu model berikut ini: (1) market
mendifferensialkan variabel endogen dapat menyebabkan
to book value (Gibbard dan Stevens 2006, Welch 2002);
korelasi antara differenced of error term dan differenced
89
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
lag of endogenous term. Masalah ini bisa diatasi dengan
3.4. Spesifikasi Model
menggunakan lebih dari satu lag untuk tingkat variabel.
Berdasarkan model-model sebelumnya, model yang
Misalnya, Arellano dan Bond (1991) menggunakan
disusun untuk penelitian ini terutama menggunakan model
Generalized Methods of Moment (GMM) yang akan
dari Gibbard dan Stevens (2006). Penelitian Welch (2002)
menghasilkan estimasi yang efisien.
memasukkan pendapatan saham (R) sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi tingkat hutang perusahaan
3.2. Equity Issuance Model
Indonesia. Penggunaan pendapatan saham bertujuan
Persamaan (3) menggambarkan model dari
untuk menguji inertia dari penggunaan hutang di dalam
penerbitan equity yang dipengaruhi oleh financing gap
struktur permodalan. Pendekatan perilaku ini secara tidak
maupun tingkat optimal hutang korporasi, berdasarkan
langsung akan menjelaskan bahwa pendapatan saham
model empiris yang dibangun oleh Benito dan Young
yang negatif akan memberikan sinyal yang negatif
(2002). Model ini mendukung debt model dalam
sehingga akan meningkatkan tingkat hutang korporasi.
persamaan (2) dan digunakan untuk menentukan tingkat
Model dapat digambarkan sebagai berikut :
hutang korporasi Indonesia. Model ini mengharapkan
Dit = α + α1Di,t-1 + α2Iit + α3Ii,t-1 + α4Ait + α5Ai,t-1 + α6Cit +
pengeluaran modal (A & I) memiliki hubungan yang positif
α7Ci,t-1 + α8Mit + α9Mi,t-1 + α10Ri,t,t-1 + η1 + εit
(5)
dengan kenaikan jumlah saham yang diterbitkan,
dimana, Di,t-1 adalah hutang pada waktu t-1; I adalah
sementara cash (C) diharapkan memiliki hubungan yang
investasi pada waktu t; Ait menunjukkan akuisisi pada waktu
negatif. Tingkat hutang optimal memiliki hubungan yang
t; Cit adalah arus kas korporasi pada waktu t; Mit adalah
ambigu dengan kenaikan jumlah saham yang diterbitkan
target debt ratio pada waktu t; dan Ri,t,t-1 menggambarkan
dimana tingkat hutang optimal memiliki hubungan yang
pendapatan saham perusahaan pada waktu t.
positif atau negatif dengan jumlah saham yang diterbitkan.
Equity Issuance Model dapat ditunjukkan dalam persamaan
3.4.1. Menentukan Tingkat Optimal Hutang
(3) berikut:
Perusahaan
Eit = α + α1Di,t-1 + α2Iit + α3Ait + α4Cit + α5Mit + η1 + εit (3)
Menurut Fama dan French (2002), rasio target
leverage dari perusahaan ditentukan oleh nilai tetap dari
3.3. Investment Model
persamaan (6). Rasio target leverage perusahaan (M)
Persamaan (4) memodelkan tingkat investasi dari perusahaan. Model ini mengharapkan bahwa cash (C)
Mt = b0 + b1MVt-1 + b2EBITt-1 + b3DPt-1 + b4RDt-1 +
memiliki hubungan yang positif dengan nilai investasi
b5 ln(At-1) + b6FAt-1 + b7MIt + b8Mt-1 + et+1
perusahaan. Pertama, variabel Q (variabel yang digunakan
Hal ini diasumsikan bahwa perusahaan memiliki laba
berdasarkan bukti-bukti empiris dari Blundell, at.al.,1992)
sebelum pajak (EBIT) tinggi atau tingkat leverage yang
dimasukkan di dalam persamaan. Variabel ini diharapkan
rendah. Rendahnya leverage bisa terjadi di perusahaan
menjadi pengaruh yang positif terhadap investasi
yang mempunyai laba ditahan cukup besar atau saat
korporasi. Model ini dapat dituliskan dalam persamaan
perusahaan membatasi leverage untuk melindungi
dibawah ini:
franchise dalam menghasilkan laba yang besar. Tingginya
Iit = α + α1Di,t-1 + α3Ii,t-1 + α4Ait + α6Cit + α7Ci,t-1 + α8Qit +
leverage menggambarkan kemampuan perusahaan untuk
α9Qi,t-1 + η1 + εit
90
nantinya menjadi model neraca perusahaan Indonesia.
(4)
(6)
memenuhi pembayaran hutang diluar relatif tingginya arus
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
kas. Selanjutnya, tingginya market to book ratio (MV)
Tabel A2.1 Deskripsi Statistik Korporasi Indonesia (2004 √ 2007)
secara umum menggambarkan pertumbuhan yang lebih baik di masa depan. Dalam hal ini, tingginya pertumbuhan
All Variabel
perusahaan cenderung dapat dilindungi dengan membatasi jumlah leverage. Depresiasi (DP) merupakan proporsi total aset. Perusahaan dengan tingkat depresiasi yang tinggi akan memperoleh pengurangan interest terkait dengan besarnya penggunaan leverage sebagai sumber pembiayaan. Perusahaan dengan nilai aset yang tinggi ln(At) cenderung akan menggunakan lebih banyak hutang dibandingkan perusahaan yang memiliki aset yang kecil. Hal ini bisa terjadi karena perusahaan cenderung lebih transparan atau memiliki akses yang lebih mudah ke pasar surat hutang. Perusahaan yang memiliki tangible asset (FA) tinggi cenderung memiliki kapasitas hutang besar,
Total Asset (Trilliun IDR) Current Asset (Trilliun IDR) Fixed Asset (Trilliun IDR) Tangible assets (Trilliun IDR) Intangible Asset (Trilliun IDR) Total Debt (Trilliun IDR) Net Sales (Trilliun IDR) Net income (Trilliun IDR) Depretiation (Trilliun IDR) Amortization (Trilliun IDR) Capital expenditure (Trilliun IDR) EBIT Cash per total asset Depreciation Expense per tangible asset R & D Expense per total asset Size (Log of Total Asset) Fixed asset per total asset Debt per total asset Investment (Capex per total asset) acquisition (Acquisition per total asset)
Mean 6.133,65 872,02 1.118,58 6.024,73 90,11 25.471,62 1.935,43 246,87 644,08 46,55 167,08 327,52 0,33 0,27 0,05 27,14 0,38 0,78 0,04 0,03
Standard Deviation 55.821,59 1.891,74 4.157,16 55.745,80 558,83 437.384,39 5.641,06 1.812,31 3.079,11 473,89 992,40 1.658,52 0,34 0,24 1,11 1,85 0,24 1,04 0,10 0,08
sementara perusahaan yang memiliki intangible asset tinggi dalam bentuk R&D lebih memilih equity sebagai
Bover (1995). Metode ini digunakan untuk mengurangi
sumber pembiayaan. Selanjutnya, firm»s lagged industry
firm specific effect dari sample perusahaan mengingat
media debt ratio (MI) digunakan untuk mengontrol
perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari beragam
karakteristik industri yang tidak bisa digambarkan oleh
sektor industri.
variabel independen lainnya.
Mengikuti Fama & French (2002) serta Hovakimian et al (2003), study ini menemukan bahwa level optimal
4. ANALISIS
hutang korporasi Indonesia secara negatif dan signifikan
Penelitian ini menggunakan unbalanced panel data
dipengaruhi level keuntungan. Hal ini sejalan dengan
dari 218 perusahaan go public yang terbagi dalam delapan
ekspektasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum
sektor yaitu konsumsi, infrastruktur, mining, property, basic
korporasi Indonesia lebih menyukai menggunakan
industry, agriculture, trading dan miscellaneous industry
keuntungan (internal sources) daripada menggunakan
dari tahun 2004 sampai dengan 2007. Data bersumber
hutang sebagai sumber pembiayaan. Di lain pihak,
dari Bloomberg dan Bursa Efek Indonesia.
ditemukan juga bahwa besarnya perusahaan berhubungan
Tabel A2.1 menggambarkan bahwa nilai rata-rata hutang perusahaan Indonesia adalah lebih dari 400 kali
secara negatif dan signifikan dengan penggunaan external source sebagai sumber pembiayaan.
total aset perusahaan tersebut. Namun, standar deviasi
Tabel A2.2 menunjukkan estimasi persamaan hutang
dari masing-masing variabel juga lebih tinggi dari rata-
dari perusahaan Indonesia. Tabel tersebut menunjukkan
ratanya. Untuk menguji faktor-faktor yang menentukan
bahwa teori pecking order secara signifikan mampu
level hutang korporasi Indonesia, digunakan estimator
menjelaskan hutang korporasi. Hal ini digambarkan pula
generalised methods of moments mengikuti Arrelano dan
oleh tanda dan koefisien yang signifikan dari 2 faktor
91
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
financing gap yaitu investasi dan cash flow. Komponen
ACTA : Hasil regresi menunjukkan hubungan negatif
lain, akuisisi memiliki unexpected sign (negative sign) dan
dengan penggunaan hutang korporasi walaupun
tidak signifikan.
hasilnya tidak signifikan. Studi empiris menunjukkan hasil koefisien yang berbeda.
Tabel A2.2 Determinants of Corporate Debt
Hubungan
negatif
antara
akuisisi
mengindikasikan prioritas sumber pembiayaan DEBT EQUATION (GMM Sys) Dependent Variable :DEBT Variable
lain untuk membiayai aktivitas akuisisi.
Coefficient
t-Statistic
Prob.
DEBT(-1) 0.5740 ACTA -0.1456 ACTA(-1) 0.0692 CASH 0.0574 CASH(-1) 0.0359 INVTA 0.1816 INVTA(-1) 0.1186 OD 0.0054 OD(-1) -0.5757 RETURN -0.0341 RETURN(-1) -0.0158 Cross-section fixed (first differences) R-squared 0.983631 P-value (Chi square) 0.00000 SSE 0.07645 N (Firms) 201
13.0137 -1.2976 0.4581 0.6196 0.6204 2.0067 1.3022 0.5342 -41.0524 -3.0392 -4.1306
0.0000 0.1971 0.6478 0.5368 0.5362 0.0472 0.1956 0.5943 0.0000 0.0030 0.0001
Keterangan DEBT : Total debt per total asset ACTA : Total Acquisition per total asset CASH : Total cash per total asset INVTA : Total Investment per total asset Return : Tingkat pengembalian Saham per year
Hasil estimasi seperti tercantum pada Tabel A2.2 menunjukkan bahwa Fitted Values of Debt (OD-1) sebagai suatu proxy level optimal dari hutang korporasi menunjukkan hubungan negatif dan signifikan dengan level hutang aktual. Koefisien negatif ini mendukung efek
default probability (Myers, 1977 dan Jensen, 1986). Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan mengambil hutang sebagai sumber pembiayaan merupakan hal penting dan perlu dilakukan perusahaan secara hati-hati. Selanjutnya, variabel stock return perusahaan sebagai proxy ekspektasi pasar menunjukkan bahwa stock return berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap level optimal hutang. Kondisi ini menggambarkan bahwa pasar memiliki ekspektasi tinggi dan positif terhadap kinerja perusahaan di masa depan, karenanya korporasi perlu lebih sedikit
Analisis masing-masing variabel adalah sebagai
hutang sebagai sumber pembiayaan. Sejalan dengan
berikut:
Welch (2204), stock return perusahaan mempengaruhi
INVTA : Koefisien dari investasi terhadap rasio penggunaan
variabilitas level hutang yang optimal.
hutang korporasi adalah positif (+) dan signifikan pada level 5%. Hal ini mengindikasikan semakin banyak jumlah investasi perusahaan maka
Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan neraca
penggunaan hutang semakin meningkat. Ini
korporasi Indonesia dan menguji faktor-faktor yang
sejalan dengan dengan teori pecking-order.
mempengaruhi level optimal hutang korporasi dengan
CASH : Koefisien dari investasi terhadap rasio
mengkombinasikan teori trade-off dan pecking order.
penggunaan hutang korporasi adalah positif (+).
Dengan menggunakan estimator Generalised Methods of
Kedua variabel ini sesuai dengan pecking-order
Moment, hasil penelitian ini menangkap dinamika level
theory, dimana semakin untung perusahaan
hutang korporasi yang menyesuaikan dengan level
maka penggunaan hutang semakin meningkat
optimalnya.
(kelebihan kas digunakan untuk keperluan lain seperti pembayaran deviden).
92
5. KESIMPULAN
Hasil estimasi menunjukkan bahwa level hutang korporasi Indonesia ditentukan secara signifikan oleh level
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
investasi dan arus kas. Temuan juga mengindikasikan
memperhatikan penyesuaian biaya karena level hutang
bahwa teori pecking order berkontribusi signifikan
ditentukan oleh efek default probability.
terhadap model neraca korporasi Indonesia. Selanjutnya,
Temuan study ini menunjukkan faktor-faktor yang
level hutang optimal mendukung efek default probability
menjadi penentu hutang perusahaan sehingga perusahaan
seperti yang dijelaskan Myers (1977) dan Jensen (1986).
menyesuaikan level hutangnya sedemikan rupa sampai
Karena hasil temuan menunjukkan bahwa neraca korporasi
mencapai level optimal hutangnya. Lebih lanjut, temuan
Indonesia secara umum dipengaruhi oleh teori pecking
tersebut dapat digunakan untuk memonitor hutang
order, hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas investasi
perusahaan yang digunakan untuk aktivitas investasi dan
dan akuisisi akan mempengaruhi level hutang korporasi.
akuisisi sehingga pada akhirnya dapat digunakan untuk
Berdasarkan estimasi GMM-SYS, ditemukan bahwa
mnghitung potensi risiko default. Untuk itu, kreditur dan
hutang korporasi Indonesia menyesuaikan sedikit lebih
regulator perlu melakukan penilaian komprehensif untuk
rendah dari level optimalnya, yaitu dengan implied
mengurangi dampak negatif penggunaan hutang yang
adjustment rate sebesar 0,43. Artinya bahwa perusahaan
berlebihan. Pada akhirnya, manajemen level hutang yang
perlu mempertimbangkan seluruh faktor yang
baik yang mengarah pada level optimal hutang akan
mempengaruhi level hutangnya dan secara hati-hati perlu
mendorong naiknya nilai perusahaan.
93
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Daftar Pustaka
Arellano Manuel dan Stephen Bond (1991), ≈Some Tests
dan France:a comparative analysis for west German
of Specification of Panel Data: Monte Carlo Evidence
dan French incorporated enterprises with special
dan Application to Employment Equations∆. The
reference to institutional factors∆.
Review of Economic Studies, Vol. 58, No. 2 (Apr., 1991), pp. 277-297
review∆. Sor-Trondelag University College,
Antoniou, A., Guney, Y dan Paudyal, K (2003),
Department of Business Administration, Jonsvannsun,
≈Determinants of corporate debt ownership structure:
82,7004 Trondheim, Norway. http://www.ssrn.com/
evidence from market-based dan bank-based
abstract=556631.
economies∆, mimeo, University of Durham Business School. Blundell, Richard dan Stephen Bond (1998), ≈Initial Conditions dan Moment Restrictions in Dynamic Panel Data Models∆. Journal of Econometrics 87, pp. 115143. Davis, E. P. (1995): Banking, corporate finance dan monetary policy: an empirical perspective, Oxford
Review of Economic Policy, 10, pp. 49-67 Deminguc-Kunt A. dan Maksimovic V. (1996): ≈Financial
Gibbard, P dan Stevens, I (2006), ≈Corporate debt dan financial balance sheet adjustment: a comparison of the United States, the United Kingdom, France dan Germany∆, WP No. 317, Bank of Engldan. Hovakimian, Harmen (2003), ≈Are Observed Capital Structures Determined by Equity Market Timing?∆. Baruch College, the City University of New York, One Bernard Baruch Way, Box B 10-225, NY 10010. Jaffe, D. M., 1971, Credit Rationing dan the Commercial Loan Market, (Wiley, New York).
constraints, uses of funds dan firm growth. An
Jensen, M (1986). ≈Agency costs of free cash flow,
international comparison∆, World Bank, Policy
corporate finance dan takeovers∆, American
Research Working Paper 1671.
Economic Review, Vol. 76, pages 323-29.
Drobetz, Wolfgang dan Gabrielle Wanzenried (2002),
Modigliani, F. dan M. H. Miller (1963). ≈The Cost of Capital,
≈What determines the speed of adjustment to the
Corporation Finance dan the Theory of Investment:
target capital structure?∆.
Corrections,∆ American Economic Review 53, 433-
Fama, E dan French, K (2002), ≈Testing trade-off dan
443
pecking order prediction about dividends dan debt∆,
Myers, Stewart C (1977). ≈The determinants of corporate
The Review of financial studies, vol. 15 (1), pp. 1-33.
borrowing∆. Journal of Financial Economics, Vol. 5,
Farrar, Donald dan Lee Selwyn (1967),∆Taxe, corporate policy, dan return to investors.∆. National Tax Journal 20,pp. 444-54. Friderichs, Hans, Bernard Paranque dan Annie Sauve» (1999), ≈Structures of corporate finance in Germany
94
Frydenberg,Stein (2004), ≈Theory of capital structure √ a
No. 2. pp. 147-175. Myers dan Majluf, N (1984). ≈Corporate Financing dan Investment Decision when Firms have information that investors do not have∆. Journal of Financial
Economics, Vol.13, pp. 187-221.
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Robichek, A. A. dan S. C. Myers, ≈Problems in the Theory
Titman, Sheridan dan Sergei Tsiplakov (2007),∆A dynamic
of Optimal Capital Structure ≈Journal of Financial dan
model of optimal capital structure∆. McCombs
Quantitative Analysis 1,(12).pp. 1-35.
Research Paper Series No. FIN-03-06. SSRN: http://
Ross, Westerfield dan Jaffe (2008), ≈Corporate Fianance∆. McGraw Hill InternationalEdition. Von Thadden, E. L. (1992): The commitment of finance, duplicated monitoring dan the investment horizon, Working Paper, Centre for Economic Policy Research, London Stiglitz, J. E., 1972, ≈On Some Aspects of the Pure Theory of Corporate Finance, Bankruptcies dan Takeovers,∆
Bell Journal of Economics 3,458-82. Shyam-Sunder, Laksmi dan Stewart C. Myers (1999),
ssrn.com/abstract=332042 . Warner, J. B., 1976, ≈Bankruptcy Costs, Absolute Priority dan the Pricing of Risky Debt Claims, Journal of
Financial Economics, 4. Welch, Ivo (2002): Columbus» Egg: The real determinant of capital structure, Working Paper,8782, National Bureau of Economics Research. Welch, Ivo (2004): Capital structure dan stock returns.
Journal of Political Economy, Vol.112, No. 1. The University of Chicago.
≈Testing static trade-off against pecking order models of capital structure. Journal of Financial Economics 51, pp. 219-244.
95
Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt
Halaman ini sengaja dikosongkan
96
Kajian Stabilitas Keuangan No. 12, Maret 2009 PENGARAH Halim Alamsyah
Wimboh Santoso
Suhaedi
KOORDINATOR & EDITOR Agusman
TIM PENYUSUN Ardiansyah, Linda Maulidina, Ratih A. Sekaryuni, Anto Prabowo, Tirta Segara, Wini Purwanti, Endang Kurnia Saputra, Ita Rulina, Boyke Wibowo Suadi, Ida Rumondang, Azka Subhan, Pipih Dewi Purusitawati, Noviati, Rosita Dewi, Erma Kusumawati, Darmawan Tohap B, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Elis Deriantino, Hero Wonida, Mestika Widantri, Heny Sulistyaningsih, Primitiva Febriarti, Adidoyo Prakoso
KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI Boyke Wibowo Suadi
Primitiva Febriarti
KONTRIBUTOR Direktorat Pengawasan Bank 1 Direktorat Pengawasan Bank 2 Direktorat Pengawasan Bank 3 Direktorat Perbankan Syariah Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Diserktorat Pengelolaan Moneter Direktorat Pengelolaan Devisa
PENGOLAHAN DATA Suharso
I Made Yogi