Bangku-Bangku Kosong Ada sekolah yang mencari duit dengan menjual bangku kosong. Di Bandar Lampung harga sebuah bangku bisa mencapai RP 1,5 juta. Di Jakarta harga itu bisa naik hingga Rp 10 juta. Setidaknya begitulah angka yang di tulis oleh sebuah media. Tulisan ini tak hendak bercerita tentang bertapa buruk kelakuan dunia pendidikan kita, tapi mari menengok soal lain yakni betapa repot memiliki anak bodoh. Sekolah yang memperdagangkan pendidikan boleh saja disebut kriminal. Tapi kebodohan yang tak tahu diri juga merupakan kejahatan tingkat tinggi. Bisa Anda teliti, kriminalitas sekolah biasanya banyak disumbang oleh penyakit tidak tahu diri ini. Ingin sekolah bergengsi tapi tak cukup prestasi. Ingin sekolah terkenal tapi tak cukup modal. Dari tempat inilah benalu pendidikan di Indonesia ikut disemai. Mahal memang ongkos kebodohan. Tapi jauh lebih mahal lagi adalah biaya kebodohan yang bercampur kenekatan. Nekat bahwa ia layak menempati tempat yang bukan tempatnya, nekat memiliki yang bukan miliknya. Jika kita adalah orang tua, ada baiknya mulai belajar menerima kebodohan bukan sebagai sesuatu yang hina. Itupun kalau benar ia adalah kebodohan. Bagaimana kalau ia ternyata cuma kekurangan. Apa yang salah dari sebuah kekurangan. Hebat betul niat yang hendak mengubah manusia yang serba kurang ini menjadi mahkluk yang serba lebih. Kita, orang tua, jarang mendidik anak-anak untuk menghargai kekurangan dan menempatkan di tempat sewajarnya. Kekurangan di mata kita adalah aib yang harus segera ditutupi dengan cara apa saja. Padahal ''cara'' itulah aib yang sesungguhnya. Kepada anak-anak sering kita berikan tempat yang bukan tempatnya. Jika ia anak biasa, kita ingin menyulapnya menjadi luar biasa. Jika ia bodoh, kita ingin mmmbuat dia pintar dalam sekejab mata. Yang bodoh, kurang dan biasa-biasa saja menurut versi sekolah itu telah langsung kita anggap sebagai musibah. Sekolah tiba-tiba telah begitu berkuasa menentukan nasib anak-anak yang malang itu. Sekolah menjadi terlalu pintar dalam mencari-cari kekurangan tapi lupa memperhitungkan kelebihan anak didiknya. Maka kelebihan itupun memilih mengembangkan diri lewat pendidikan yang lebih luas dan terbuka yakni hidup itu sendiri. Maka lihatlah bagaimana jenis pendidikan ''liar'' ini malah sering dengan telak mempermalukan sekolah-sekolah resmi. Betapa banyak para ''bodoh sekolahan'' yang pintar mengolah kenyataan. Betapa tidak sedikit ''bintang sekolah'' yang gagu dalam hidup, sial bahkan gagal. Maka satu lagi pendidikan yang harus segera ditambahkan pada anak-anak yakni mata pelajaran tahu diri. Jika ia bodoh karena kemalasan, biarlah ia belajar menerima hukuman. Jika ia bodoh karena keterbatasan, ajarlah ia menerima diri sendiri. Tapi sejak awal, agaknya kita jugalah yang sering mengajar mereka untuk lebih suka memilih hidup yang palsu. (03) (PrieGS/)