Bagian Yang Hilang

  • Uploaded by: Muhammad Ikhsan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bagian Yang Hilang as PDF for free.

More details

  • Words: 2,205
  • Pages: 6
Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Bagian yang Hilang November 17th, 2008 by potta Aku terbangun dari tidur siangku. Namun entahlah tidur siang atau tertidur dari sejak malam tadi. Aku dudukkan tubuhku di sisi ranjang dan melihat sekeliling kamar kecil berukuran 4×4 meter ini. Tak ada yang berubah sejak umurku 10 tahun, tepatnya 10 tahun yang lalu. Isi kamar dan posisi benda-bendanya pun tak banyak berubah. Tinggal di daerah pegunungan memang tak memerlukan dekorasi kamar yang bagus hanya karena malu jika teman berkunjung. Lagi pula temanku sedikit, hampir tak ada. Aku tak tahu apa mereka pantas disebut teman atau tidak karena bertemu pun sangat jarang sekali. Bukan saja teman sekolah, warga sekitar pun jarang singgah ke rumah tua ini. Apalagi untuk sekedar bertamu. Rumahku memang berada di daerah yang lebih atas dibandingkan rumah-rumah yang lain. Rumahrumah warga lain berkumpul membentuk satu perkampungan kecil di daerah kaki gunung. Rumahku terpisah sendiri. Itulah yang membuatku hanya memiliki teman sedikit karena jarang berinteraksi dengan warga lainnya. Kadang warga hanya lewat di depan rumahku selepas mencari kayu bakar di daerah atas gunung. Di tahun 70-an seperti sekarang ini, kayu bakar memang terbilang benda berharga untuk warga di sini. Tak ada radio apalagi televisi. Benda elektronik yang ada di rumah ini hanya lampu saja. Barang elektronik terlalu mewah untuk kami beli. Hiburan satu-satunya untuk ibuku adalah merajut sambil duduk di kursi goyang tua di ruangan yang seharusnya menjadi ruang menonton TV, kalau kami punya. Sedangkan hiburan untukku, menonton ibu merajut. Aku memang hanya tinggal berdua dengan ibuku. Sedangkan ayahku sudah meninggal. Ayahku adalah seorang buruh serabutan yang mencari nafkah ke daerah perkotaan. Sering kali ia tidak pulang selama berbulan-bulan karena pekerjaannya itu. Menjadi buruh serabutan di kota. Namun satu hal yang membuatku menganggap seorang buruh serabutan seperti ayahku adalah orang yang sangat romantis. Ayah memanggil Ibu, dengan panggilan Dinda. Sangat romantis. “Sayang uangnya kalau harus dipakai ongkos pulang pergi,” begitu katanya. Itu adalah kata terakhir yang ia ucapkan sebelum menghilang berbulan-bulan tanpa kabar. Dan kabar yang selama berbulanbulan ditunggu Ibu itu, ternyata adalah kabar kematian tentang dirinya. Saat mendengar kabar itu aku berdiri di samping Ibu, orang yang menyampaikan kabar tersebut terlihat sangat buru-buru, entah kenapa. “Ratmi, kamu yang tabah ya. Suamimu meninggal. Aku melihat sendiri mayatnya. Tapi aku tak tahu pasti kenapa penyebabnya. Rumah sakit sedang mengurusnya. Jenazahnya akan dikirimkan ke sini besok. Aku harus pergi dulu. Kamu yang tabah ya!” laki-laki itu berbicara panjang lebar, tersengalsengal napasnya. Kemudian dia pergi. Ibu tak bicara sepatah kata pun, hanya melihat laki-laki itu pergi, berjalan menuju kaki bukit, sampai tak terlihat lagi. Air mata menetes di pipi Ibu. Tapi entah kenapa aku merasa tak ingin menangis. Kami masuk ke dalam rumah. *** Kejadian itu terjadi saat umurku 14 tahun. Sudah 6 tahun berlalu. Ayahku dikuburkan di samping rumah kami, atas permintaan Ibu. Pikiranku kembali ke kamar kecilku ini. Jam dinding dikamarku

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

menunjukan pukul 18.30, sudah petang rupanya. Ibu tak pernah membangunkan aku jika aku tertidur. Bukan karena kasihan tapi karena aku memang sering tertidur tak kenal waktu. Lebih tepatnya tak sadarkan diri. Tiga tahun setelah ayahku meninggal, aku divonis terkena kanker sel darah putih, tubuhku pun melemah, sangat rapuh. Aku sendiri tak mengerti penyakit macam apa itu. Namun yang pasti sangat berbahaya karena sering membuatku tak sadarkan diri. Ibu mengajakku ke dokter untuk memeriksakan kesehatanku waktu itu. Dia harus merogoh uang simpanannya cukup dalam untuk itu. Jika saja vonis mengerikan yang harus kami dengar, aku akan menolak pergi ke dokter saat itu. Tak ada pil atau obat sejenisnya yang aku telan. Aku dan Ibu sudah pasrah, tak ada dana untuk itu. Jendela di kamarku menghadap ke arah jalan dimana orang yang hendak naik ke gunung atau turun gunung pasti melewatinya. Aku mendekati jendela, seperti kebiasaanku setelah terbangun. Hanya untuk sekedar melihat keluar, tapi seringnya aku tak melihat satu orang pun yang lewat. Orangorang biasanya lebih memilih untuk melewati jalan lain. Namun pemandangan kali ini berbeda. Aku melihat ada seorang ibu berjalan menuntun anak perempuannya yang masih kecil, sambil menggendong kayu bakar dipunggungnya. Terlalu petang memang. Baru selesai mencari kayu bakar sepetang ini. Mereka berjalan menurun semakin dekat ke arah rumahku, aku memandangi mereka terus. Saat tepat di depan jendela kamarku, anak kecil itu melihat ke arahku. Aku pun memandangnya sambil tersenyum. Anak itu menunjukkan jarinya kepadaku sambil menarik-narik tangan ibunya. Si ibu melihat ke arahku, tapi wajahnya begitu ketakutan, cepat-cepat dia berpaling. Dia buru-buru berjalan ke arah tujuannya tadi, setengah menggusur tangan anaknya. Aneh, pikirku. Tertegun sebentar memikirkan kejadian tadi, ingatanku tersadar kembali. Sudahlah, kataku dalam hati. Semenjak ayahku meninggal orang-orang memang semakin jarang melewati jalan depan rumahku itu. Mereka menganggap rumah kami menyeramkan. Keluar dari kamarku adalah ruangan yang seharusnya menjadi ruang menonton TV. Namun yang ada adalah wanita separuh baya duduk di kursi goyang, dengan uban memenuhi rambutnya, wajah yang mulai keriput dan memegang gulungan benang wol dan jarum. Asyik merajut. Kursi goyang itu terletak di samping jendela yang menghadap pekarangan samping rumah dimana ayahku terbaring tidur selamanya. Ibu kadang memandangi kuburan ayahku dari kursi goyang itu sambil merajut. Di belakangnya meja makan, belakangnya lagi dapur yang sangat sederhana. Ruangan lain yang tersisa adalah kamar ibuku dan ruang tamu yang jarang kami gunakan. Rumah yang kecil memang. “Sudah bangun, Nak?” tanya ibuku. “Tidurmu lebih lama dari biasanya kali ini. Makanlah, Ibu baru selesai memasak, mumpung masih hangat.” Aku hendak menceritakan kejadian yang cukup aneh tadi. Namun pikranku mengatakan tidak usah, tidak penting. “Baiklah. Ibu sudah makan?” malah kalimat tersebut yang terucap.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

“Kamu duluan. Ibu nanti saja” jawabnya. Dia meliuk-liukan tangannya lagi, kembali merajut. Sayur asem dan tempe goreng tersaji di hadapanku. Seperti biasa, menu favorit Ayah. Walaupun aku sudah sangat bosan karena hampir tiap hari ibu memasak menu yang sama tapi aku tak pernah protes. Aku duduk di kursi yang berada di belakang kursi goyang, sehingga ibu memunggungiku. Sambil makan dalam diam aku memperhatikan Ibu. Rambutnya panjang diikat melilit seperti sanggul. Ibu memang cantik dengan rambut panjangnya itu. Namun sekarang rambut panjang hitam legam itu sudah sepenuhnya memutih. Selesai makan aku berniat menyimpan piring kotor bekas makanku ini ke dapur seperti biasa. Namun saat piringnya kuangkat aku melihat ada noda berwarna merah kehitaman tepat dibawah piringku tadi ditempatkan. Aku sudah terbiasa makan di posisi ini tapi baru kali ini aku menyadari noda ini. Nodanya seperti sudah lama sekali, sudah mengering. Aku melihat ke bawah meja. Ada noda yang sama. Aku berniat bertanya pada Ibu, tapi sudahlah tak perlu meributkan noda tak penting ini. Meski tanpa noda ini pun rumah ini tak akan terlihat lebih cerah. Aku lebih memilih pergi ke dapur. Ibu masih duduk di kursi goyangnya. Kini rajutannya mulai terlihat bentuknya. Ibu melihat aku mendekatinya. “Enak makanannya?” Pertanyaan yang sama setiap hari. “Masakan Ibu selalu enak.” Jawaban yang sama pula. Ibu tersenyum. “Ibu pikir kamu bosan?” Aku tak menjawabnya. Giliranku yang tersenyum sekarang. Sekarang aku berdiri di depan Ibu tepat di samping jendela. Setelah lama memandangi Ibu cukup lama dalam diam. Akhirnya Ibu memecah kesunyian ini. “Rajutan Ibu ini pasti bagus. Sedikit lagi akan selesai.” “Ibu tak perlu merajutkan baju hangat terus untukku. Lebih baik Ibu istirahat saja,” nasihatku. “Ibu senang sekali merajut. Lagi pula yang ini bukan untuk kamu.” Sanggahan ibuku ini cukup membuatku kaget. Sebelum berhasil bertanya, Ibu langsung menambahkan. “Ibu menunggu seseorang. Ini hadiah untuknya. Sudah lama Ibu …” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Ibu berhenti karena heran melihatku memegang kepala terus. “Kamu tak apa-apa, Nak?” Kepalaku pusing. Aku tak menghiraukan pertanyaan Ibu. Aku mulai limbung. Tanganku menahan tubuhku agar tidak jatuh pada tembok di sebelahku. Aku melihat keluar jendela yang berada tepat di sampingku. Kuburan ayahku.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Tunggu, ada yang aneh, kataku dalam hati. Kuburan di pekarangan itu bertambah. Siapa lagi yang dikuburkan disana. Kenapa aku tidak tahu? Ibu tak pernah cerita. Ah, itu pasti bayangan saja akibat pusing kepalaku ini. Pusing di kepalaku semakin menjadi. Aku tak tahan lagi. Ruangan di sekelilingku berputar. Aku mendengar Ibu berteriak tak jelas. Dia meloncat dari kursi goyangnya mencoba menangkap tubuhku yang akan jatuh. Aku tak sadarkan diri lagi. *** Mataku kubuka perlahan. Kepalaku masih agak pusing. Memang sudah kuduga. Aku terbaring lagi di ranjangku. Mataku ku arahkan ke jam dinding di kamarku, pukul 19.00. Lebih larut dari kemarin. Hal terakhir yang kuingat adalah Ibu menangkapku saat aku jatuh sempoyongan. Sudah biasa hal seperti ini bagiku, tak sadarkan diri hampir setiap hari. Waktu terasa sangat tak jelas, banyak bagian yang hilang dalam hidupku. Aku mencoba bangun dari ranjangku, duduk di tepi ranjang, melihat keluar jendela. Sepi. Memang sudah terlalu larut. Samar-samar terdengar suara orang mengobrol di ruangan sebelah. Suara Ibu dan seorang laki-laki. Suaranya berat, sepertinya aku kenal, tapi tak bisa aku ingat suara siapa. Sekarang aku tak merasa pusing lagi. Suaranya semakin jelas. Aku mencoba menangkap perbincangan mereka. “Ya Dinda, aku juga sangat merindukanmu. Sampai aku tak ingat berapa lama kita tak bertemu.” Tubuhku bergetar hebat. Suara itu. Ya, aku memang kenal suara itu. Dan hanya satu orang yang memanggil Ibu dengan panggilan Dinda. Suara ayahku. Ayahku yang sudah meninggal. Lalu siapa yang dikubur di pekarangan rumahku. “Kamu datang tepat waktu, Mas. Aku baru selesai masak. Makanan kesukaanmu, sayur asem dan tempe goreng.” Suara ibu, aku hafal betul. Otakku dipenuhi dengan pertanyaan yang tak bisa aku jawab. Badanku masih gemetaran. Aku tak tahan lagi. Kukumpulkan segenap tenaga untuk berdiri dan melangkah mendekati pintu. Jantungku berdegup kencang. Tanganku sudah memegang gagang pintu. Aku sangat takut. Tinggal kutarik dan kulihat siapa laki-laki yang memiliki suara ayahku itu. Pintu kubuka. Kedua orang itu saling berpegangan tangan. Mereka duduk bersebelahan di kursi meja makan. Si lelaki duduk di kursi tempat ayahku duduk. Ibu yang duduk membelakangiku menolehkan wajahnya memandangku. Begitu pun si lelaki. Kini jantungku berdegup makin kencang. Rasanya tubuhku kehilangan beban, terasa melayang. Wajah lelaki itu memang wajah ayahku. Aku pasti bermimpi. “Kemari, Nak. Kita makan bersama malam ini. Sayur asem dan tempe goreng. Orang yang Ibu tunggu sudah datang. Lihatlah! Ayahmu terlihat tampan sekali mengunakan baju hangat buatan Ibu.” Ibuku berbicara panjang lebar tak kuhiraukan. Aku masih memandang wajah orang di sebelahnya. Ayah hanya tersenyum, tak berkata apapun.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

“Kemarilah, Nak! Duduklah di kursimu seperti biasa!” pinta Ibu sambil menolehkan wajahnya ke kursi yang kududuki kemarin malam. Aku melihat ke arah meja di sana. Noda itu masih ada. Bukannya duduk di kursi, seperti pinta Ibu. Aku malah mendekati jendela dekat kursi goyang. Ada sesuatu yang ingin kupastikan. Sesuatu yang terlihat samar kemarin sebelum aku tak sadarkan diri. Kulihat dengan seksama kuburan itu. Walaupun hari sudah gelap namun kuburan itu terlihat sangat jelas. Ini pasti mimpi. Kuburan itu tidak cuma satu, tapi ada tiga. Bersebelahan. Berjejer rapi. Kepalaku pusing. Tapi aku mencoba menenangkan diri. Aku tak mau tak sadarkan diri lagi karena banyak hal yang ingin kutanyakan pada Ibu. Mereka berdua memandangiku. Ayahku tetap tersenyum. Dia memang terlihat tampan dari yang kuingat. Ibu melihatku dengan wajah sedih. Dia tidak memintaku duduk lagi. Tapi aku yang mendekati meja makan itu sekarang dan duduk di kursiku. Aku mencoba membuka mulutku untuk berbicara. Sangat sulit sekali rasanya. Tubuhku masih bergetar tapi tak sehebat tadi. Ibu menyendokkan nasi untuk Ayah. Akhirnya mulutku mengeluarkan suara juga. “Kenapa kuburannya ada tiga, Ibu? Siapa yang dikubur sebelah kuburan Ayah?” Pertanyaan aneh ini membuat ayahku melihat padaku dengan wajah heran. Jelas-jelas ayahmu ada di hadapanmu, pasti itu pikirnya. Kemudian Ayah beralih memandang heran pada Ibu. Ibu membuka mulut juga. “Aku memang belum memberitahu Tunggal, Mas.” Ibu beralih memandangku dan berkata. “Pasti kau juga tahu siapa yang akan dikuburkan sebelah ayahmu.” Ibu berhenti. Aku menahan napas menunggu dia melanjutkan kalimatnya. Aku tak bisa berpikir. “Tentu saja itu kuburan kita. Kuburan Ibu dan kamu, Nak.” Ibuku pasti sudah gila. Aku terdiam membeku, tak dapat berkata apa pun. Kulihat ayahku, dia tersenyum setengah hati sekarang. “Waktu itu, enam hari yang lalu, kau seperti biasa tak sadarkan diri dan tertidur lama sekali. Ibu masuk ke kamarmu untuk membangunkan karena kamu belum makan dari pagi. Tidurmu sangat pulas. Ibu memanggilmu beberapa kali tapi kamu tak bangun juga. Padahal mulut ibu sudah dekat sekali dengan telingamu. Ibu mulai cemas. Ibu tempelkan jari ibu di lubang hidungmu tapi tak terasa apa-apa. Jantungmu pun tak terasa detaknya. Ibu pun langsung tau kalau Tuhan sudah mengambilmu.” Dia diam sejenak lalu melanjutkan. “Yang Ibu rasakan hanya takut. Sangat takut. Karena Ibu kini sendiri. Akhirnya Ibu keluar dari kamarmu dan duduk di kursi yang kamu duduki sekarang.” Aku tetap tak bergeming.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

“Pisau bekas memasak sore itu masih tergeletak di meja. Ibu hanya memandangi pisau itu lama, lama sekali. Akhirnya Ibu meraihnya.” Ibu berhenti lagi. “Sakit sekali rasanya saat Ibu menyayat pergelangan tangan ini.” Ibu memperlihatkan bekas luka ditangannya yang tak pernah kusadari sebelumnya. “Darah Ibu berceceran di meja. Kamu lihat kan nodanya? Sayang padahal Ibu sangat suka meja makan ini.” Ibu berhenti dan memandang Ayah. Kini wajah Ayah terlihat murung. Kemudian dia melanjutkan. “Tapi Ibu senang. Warga di sini mengerti. Mereka menguburkan kita bersebelahan. Dan Ibu lebih senang lagi karena sekarang ayahmu telah kembali dan kita berkumpul lagi.” Aku diam. Kami semua diam. Aku teringat anak kecil yang melihatku kemarin dan ibunya yang begitu ketakutan. Kini semuanya jelas. Bagian yang hilang itu telah kutemukan. “Sebaiknya sekarang kita makan sebelum sayur asemnya dingin, rasanya pasti jadi tak enak,” ujar Ibu riang kembali.

*** SELESAI

Related Documents

Bagian Yang Hilang
April 2020 42
Desa Yang Hilang
October 2019 46
Yang Hilang Dari Wanita
November 2019 53
Natal Yang Hilang
June 2020 25
Cinta Yang Hilang
November 2019 43
Buah Pisang Yang Hilang
November 2019 39

More Documents from "Indonesiana"