Bachrul Alam Arriza ( Bronchiolitis).docx

  • Uploaded by: Bachrul Alam Arriza
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bachrul Alam Arriza ( Bronchiolitis).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,305
  • Pages: 25
No. ID dan Nama Peserta : dr. Bachrul Alam Arriza No. ID dan Nama Wahana : RSUD Muara Teweh Topik: Bronchiolitis Tanggal (kasus): 11 Mei 2018 Nama Pasien: By. U

No RM:

Alamat : Yetrosinseng Muara teweh Tanggal Presentasi:

Pembimbing : dr. Artawan komang. M.Biomed. Sp.A Pendamping: dr. Adhimas Brahmantyo dr. Pramita Indah Suryani

Obyektif Presentasi: Keterampilan

Keilmuan

Penyegaran

Tinjauan Pustaka

Diagnostik Neonatus

Masalah

Manajemen Bayi

Anak

Remaja

Istimewa

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi: Pasien mengeluh sesak nafas sejak 7 hari yang lalu Tujuan: Mengoptimalkan pengenalan gejala dan tanda, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan awal Bronchiolitis Bahan bahasan

Tinjauan

Riset

Kasus

Audit

Presentasi dan

E-mail

Pos

Pustaka Cara membahas

Diskusi√

diskusi

Data pasien

Nama: By.U

No RM:

Nama Klinik:

Alamat : Jl. Yetrosingseng

Terdaftar sejak

IGD RSUD Muara Teweh

Muara Teweh

6 Mei 2018

Data utama untuk bahan diskusi 1. Anamnesis

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 1

Keluhan Utama : sesak Sejak kurang lebih 7 hari SMRS anak batuk (+), dahak (+) tidak dapat dikeluarkan, pilek ada, terlihat sesak, suara mengi tidak ada, demam tidak terlalu panas dan kembali ke suhu normal jika minum obat, BAB dan BAK tidak ada kelainan, makan dan minum berkurang. Sejak kurang lebih 1 hari SMRS anak masih batuk dan makin bertambah parah, dahak tidak dapat dikeluarkan, sesak (+), sesak tidak berkurang dengan perubahan posisi dan cuaca (+), dan tidak bertambah saat bermain, biru-biru disekitar mulut (-), demam (+) tidak terlalu tinggi tapi terus menerus, bintikbintik merah seperti digigit nyamuk (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), keluar cairan dari telinga (-), nyeri tekan belakang telinga (-), nyeri telan (-), anak rewel (+), nafsu makan dan minum susu anak terganggu, buang air besar dan buang biasa. 2. Riwayat Penyakit Dahulu 

Riwayat alergi makanan (-)



Riwayat sesak sebelumnya dan nafas berbunyi (mengi) ada.



Riwayat ruam /alergi susu saat bayi disangkal.



Riwayat batuk/bersin saat pagi hari/subuh (-)

3. Riwayat Penyakit Keluarga 

Ayah perokok aktif (+).



Ibu riwayat asma sejak kecil.



Lingkungan : memelihara binatang (-), karpet (-).

4. Kondisi lingkungan sosial dan fisik Ayah bekerja sebagai pegawai swasta. Ibu tidak bekerja. Menanggung 3 orang. 5. Pemeriksaan Fisik Kesan umum : sadar, tampak sesak , tidak sianosis, ada napas spontan , adekuat. Tanda vital

: Nadi : 104 x/menit, isi dan tegangan cukup. RR

: 42 x/menit

Suhu : 37C dr. Bachrul Alam Arriza

Page 2

Kepala

: mikrosefal, ubun-ubun besar datar dan belum menutup. -Rambut

: hitam, tidak mudah dicabut.

-Mata

: konjungtiva palpebra anemis (-), sklera tidak ikterik,

pupil isokor diameter 2 mm/2 mm, reflek cahaya (+) N / (+) N - Hidung

: nafas cuping hidung (+), tidak ada sekret.

-Telinga

: tidak ada sekret .

-Mulut

:bibir tidak sianosis, selaput lendir tidak kering,

Lidah tidak kotor, gusi tidak berdarah. -Tenggorok

Thoraks

: T1-T1, faring tidak hiperemis.

-Leher

: simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe.

-Kulit

: tidak ikterus, turgor normal

: simetris, ada retraksi epigastrial. Paru depan

:

I

: simetris, statis, dinamis.

Pa

: fremitus kanan = kiri

Pe

: sonor seluruh lapangan paru

A

: suara dasar vesikuler normal suara tambahan : ronkhi basah (+)/(+) wheezing (+)/(+) eksperium memanjang (+)/(+)

Jantung

: Suara jantung I-II normal, tidak ada bising, tidak ada gallop, irama

reguler, frekuensi jantung 104 x / menit, Abdomen

:I Pa

: datar, tidak ada venektasi. : datar, lemas, tidak nyeri tekan. Hepar

dr. Bachrul Alam Arriza

: tidak teraba

Page 3

Lien

: tidak teraba

Pe

: timpani, pekak sisi (+) normal, tidak ada pekak alih.

A

: bising usus (+) normal.

Alat kelamin : laki-laki, testis (+) 2 buah, epispadi (-), hipospadia (-), fimosis (-), hiperemis (-) Ekstremitas

:

superior

Sianosis

inferior

(-)/(-)

(-)/(-)

Oedem

(-)/(-)

(-)/(-)

Akral dingin

(-)/(-)

(-)/(-)

<2’’

<2’’

Cap. refill

Hasil laboratorium Pemeriksaan HEMATOLOGI Hb Eritrosit Leukosit Hematokrit Trombosit RDW-CV

MCV, MCH, MCHC MCV MCH MCHC HITUNG JENIS Limfosit % Monosit % Limfosit # Monosit # KIMIA GULA DARAH Glukosa Darah Sewaktu (BSS dr. Bachrul Alam Arriza

Hasil5/2/ 2015 11,9 4,40 9.900 33,1 287.000 13,9

Nilai Normal

11-15 g/dl 4,5-6 juta/µl 4.0-10.5 ribu/ µl 40-50 vol% 150-450 ribu/µl 11,5-14,7 %

75,2 27,0 36,0

80-97 fl 27-32 pg 32-38 %

21,2 4,00 2,1 0,4

25,0-40,0 % 3,0-9,0 % 2,5-7,0 ribu/µl 1,25-4,0 ribu/µl 0,30-1,00 ribu/µl

120

< 200 mg/dl

Page 4

Diagnosis Banding 1.

ISPA

2.

Bronkopneumonia

Diagnosis Kerja Bronkiolitis Akut Medikamentosa - Infus IVFD D5 1/2 8 tetes mikro/menit - Injeksi Cefotaxim 3 x 200mg -Inj. Gentamisin 1x40mg - Injeksi Dexamethason 3 x 1mg - Inj. Ranitidin 3x10mg - Inj. Antrain 3x100mg - O2 Nasal 1L/m - Nebul Ventolin 3x1amp Non-Medikamentosa a. Pengawasan keadaan umum, tanda vital, distress respirasi, dan pengawasan jalan napas ( isap lendir jika perlu) c. Edukasi mengenai perlunya menjaga kebersihan lingkungan rumah dan badan penderita d. Edukasi tentang penghindaran dari asap rokok serta kurang nya ventilasi udara dirumah Prognosis Fungtionam : Dubia ad bonam Vitam : Dubia ad bonam

A. Pembahasan dr. Bachrul Alam Arriza

Page 5

Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkioli) yang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi umur 2-8 bulan. Pada kasus terjadi pada anak yang berusia 1 tahun 8 bulan.7,8 Pada penderita ini data-data yang mendukung diagnosis bronkiolitis adalah riwayat batuk pilek sebelumnya, ada panas subfebril, sesak, tetapi tidak tampak sianosis dan tidak ada riwayat mengi sebelumnya. 7,8 Pemeriksaan fisik didapatkan dispenu dengan frekuensi pernafasan 42x /menit, suhu 37oC, terdapat retraksi epigastrial. Pada auskultasi paru terdapat ronchi kasar, wheezing, ekspirasi memanjang. 7,8 Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis adalah asma bronkiale dan bronkopneumoni. Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa pada penderita ini tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : serangan/episode sesak yang berulang-ulang, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi yang sangat memanjang. Asma juga jarang terjadi pada umur kurang dari satu tahun dan memberikan respon yang baik terhadap suntikan adrenalin atau albuterol aerosol, tetapi penderita memiliki keluarga yang menderita asma bronkial. 6,9 Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, namun keadaan klinis dan laboratoris tidak mendukung ke arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni panasnya tinggi, dari auskultasi paru didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak dijumpai wheezing maupun ekspirasi memanjang. Derajat sesaknya juga sesuai dengan temuan klinis (banyaknya infiltrat paru), sedangkan penderita ini terjadi sesak tanpa sianosis. Bronkopneumoni tidak berespon terhadap pemberian kortikosteroid. 6 Pemeriksaan penunjang lain pada penderita ini belum diperlukan. Analisa gas darah (BGA) tidak dilakukan dengan alasan sudah terjadi perbaikan klinis setelah pemberian nebulizer. Deteksi agen penyebab dengan serologi masih jarang dilakukan. Demikian pula screening tuberkulosis dengan BCG tes tidak dilakukan karena anamnesis maupun pemeriksaan fisik tidak mendukung. Pada penatalaksanaan pada kasus ini diberikan :

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 6

 Oksigen yang dilembabkan, kecepatan aliran 1 – 2 liter/menit bertujuan

untuk mengatasi

hipoksemia, mengurangi kehilangan air insensibel akibat takipnu, mengurangi dispnu, menghilangkan kecemasan dan kegelisahan. Jika keadaannya lebih berat, oksigen sebaiknya diberikan dengan konsentrasi 40 % menggunakan head box yang dipantau dengan pulse oximetri, dan kemudian konsentrasi oksigen diturunkan sesuai perbaikan saturasinya. Penderita ini tidak terdapat sesak nafas yang hebat, tidak sampai sianosis, sehingga diberikan oksigen dengan masker atau nasal canul.

12,13

 Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral maupun enteral untuk mengimbangi pengaruh dehidrasi akibat takipnu. Penderita ini selama sakit makan dan minumnya berkurang, sehingga diberi cairan parenteral berupa infus Infus IVFD D5+ NaCl 15 % 8 tetes mikro/menit.  Pemberian kortikosteroid sampai saat ini masih kontroversial. Umumnya diberikan pada kasus yang gawat/kritis. Titik tangkap kortikosteroid adalah sebagai anti inflamasi sehingga dapat meringankan obstruksi pada bronkioli. Obat yang dipilih adalah deksametason inisial 0,5 mg/KgBB, dilanjutkan 0,5 mg/KgBB/hari dibagi 3 – 4 dosis, atau hidrokortison 5 – 10 mg/KgBB/hari tiap 6 – 8 jam sampai klinis membaik. Pada kasus diberikan Injeksi Dexamethason 3 x 1 mg.  Penderita ini datang dengan distres respirasi, maka diberikan bronkodilator nebulizer salbutamol ditambah NaCl 3 cc diberikan 3 kali perhari.

 Obat mukolitik dipertimbangkan pemberiannya dalam kaitannya dengan adanya hipersekresi mukus. Penderita ini diberi ambroksol 3 x 4 mg. Ambroksol adalah suatu benzylamin derivat vasicine, berguna dalam meningkatkan sekresi mukus dan mengurangi viskositas/kekentalannya serta memperbaiki transport mukosilier. 

Antibiotika sebenarnya tidak mempunyai nilai terapeutik, tetapi karena sulit dibedakan

dengan pneumonia bakteri, antibiotika tetap diberikan secara empris, terutama pada keadaan umum yang kurang membaik dan kecurigaan adanya infeksi sekunder. Biasanya diberikan kloramphenicol atau gentamicin dan dilanjutkan peroral jika sesak hilang, dosis disesuaikan. Bila dapat diberikan langsung peroral eritromisin 30-50 mg/kgBB/24 jan dalam 2-3 dosis. Pada penderita diberikan gentamicin dan cefotaxim. Dosis gentamisin pada anak adalah dr. Bachrul Alam Arriza

Page 7

6mg/kg/hari sehingga pada kasus dengan berat 8 kg diberikan 1x40mg. sedangkan dosis cefotaxim adalah 50-100mg/kgbb/hari sehingga dapat diberikan 400-800mg/kgbb/hari. Pada pasien diberikan cefotaxim 600mg/hari yang terbagi menjadi 3 dosis yaitu 200mg/8jam. 15 Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-adrenergik. Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik selektif adalah : 16 -

Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation perfusing matching.

-

Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik

-

Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi

-

Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema

-

Mengurangi sekresi kataral.

Beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.17 Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika : -

Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada kelompok yang beresiko.

-

Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau adanya frekuensi pernafasan pendek lebih dari 15 detik.

-

Saturasi oksigen rendah yang menetap

-

Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan gangguan pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO2 > 50 mmHg; pH 5,12

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 8

Tabel 1. Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala Bronkiolitis Ringan -

-

Sedang

Tidak memerlukan

-

Perawatan di rumah sakit

- Perawatan di rumah sakit

penilaian lebih lanjut

-

Berikan oksigen

-

Perawatan dirumah,

sehingga saturasi oksigen

jika orang tua pasien mampu dan sudah

> 93 % -

dijelaskan keadaannya -

Berat

Berobat ulang ke dokter setelah 2 – 3 hari

-

kemudian

saturasi oksigen > 95 % -

Pengamatan seksama untuk

Pertimbangkan

antisipasi kemungkinan

pemberian cairan

memerlukan intubasi dan

intravena

pemakaian ventilator

Pengamatan seksama

-

Berikan cairan intravena

terhadap perburukan

-

Monitor system

kondisi -

Pemberian oksigen sampai

Foto thorak

- Aspirasi nasopharyngeal

cardiorespiratori - Foto thorak - Aspirasi nasopharyngeal

untuk virus

untuk virus

imunoflurorecency

imunoflurorecency

dan kultur

dan kultur - Pertimbangkan pengawasan gas pembuluh darah arteri - Pertimbangkan untuk konsultasi perawatan ICU anak.

Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 9

- Status pernafasan18 o Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda klinis usaha pernafasan lebih o Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan alat sedot gelembung. o Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi yang stabil. o Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan konsultan. o Status nutrisi pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi B. Tinjauan Pustaka Etiologi Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma.1 RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein ) yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari.1 Meskipun sejumlah virus dikenal sebagai penyebab bronkiolitis telah secara nyata diperluas dengan keberadaan tes diagnosis yang sensitif dengan menggunakan teknik dr. Bachrul Alam Arriza

Page 10

molekular tambahan, tetapi RSV tetap menjadi penyebab 50 % – 80 % kasus. Penyebab lain termasuk virus parainfluenza, terutama parainfluenza tipe 3, influenza, dan human metapneumovirus (HMPV). HMPV ditaksir menyebabkan 3 % – 19 % kasus bronkiolitis. Kebanyakan anak-anak terinfeksi selama epidemik luas musim dingin tahunan.5 Teknik diagnosis molekular juga telah mengungkapkan bahwa anak-anak kecil dengan bronkiolitis dan penyakit-penyakit respirasi akut lainnya sering diinfeksi oleh lebih dari satu virus. Jumlah coinfeksi ini sekitar 10 % – 30 % pada sampel anak-anak yang dirawat di rumah sakit, kebanyakan oleh RSV dan salah satu dari HMPV atau rhinovirus.5 Epidemiologi RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.5 Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.5

Patogenesis Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 11

saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .2

Gambar 1. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran nafas 2 Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, sehingga mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas Patofisiologi Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan dr. Bachrul Alam Arriza

Page 12

compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt sehingga menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.5 Karena tahanan/resistensi terhadap aliran udara di dalam saluran besarnya berbanding terbalik dengan radius/jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit sekalipun pada dinding bronkhiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara. Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase ekspirasi, namun karena selama ekspirasi radius jalan nafas menjadi lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup bola yang menimbulkan perangkap udara awal dan overinflasi. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara yang terperangkap di absorbsi.1 Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada awal perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi kecuali pada penderita yang terkena bronkiolitis berat. Makin tinggi frekuensi pernafasan makin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi sampai pernafasan melebihi 60 kali/menit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini bertambah menjadi takipnea.1

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 13

Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis 6 Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan penyebab. Sehingga anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi RSV sehingga kejadian bronkiolitis dan pneumonia lebih jarang terjadi.5 Penurunan ventilasi dari bagian paru-paru menyebabkan ventilasi / perfusi mismatching, sehingga terjadi hipoksia. Selama fase ekspirasi respirasi, dinamis lebih lanjut penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan aliran udara yang tidak proporsional dan menyaring udara yang dihasilkan. Kerja pernapasan meningkat karena volume paru-paru meningkat akhir-ekspirasi dan penurunan kepatuhan paru-paru. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia dr. Bachrul Alam Arriza

Page 14

berlangsung setelah 2 minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.7 Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. 1 Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .5 Manifestasi klinis Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. 1,3,6 Tanda dan gejala yang sering ditemukan berupa: 

Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat.



Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).



Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 15



Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.



Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.



Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.



Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). Karakteristiknya:

o

Gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang.

o

Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.

o

Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis.

Diagnosis Diagnosis bronkiolitis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pertama sekali dapat dicatat bahwa bayi dengan bronkiolitis menderita suatu infeksi ringan yang mengenai saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran sekret-sekret encer dari hidung dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini biasanya akan berlangsung selama beberapa hari dan disertai demam dari 38,50C hingga 390C, pada beberapa akasus

tidak disertai demam, bahkan pasien bisa

mengalami hipotermi. Pasien mengalami penurunan nafsu makan, kemudian ditemukan kesukaran pernafasan yang akan berkembang perlahan-lahan dan ditandai dengan timbulnya batuk-batuk, bersin paroksimal, dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus ringan gejala akan menghilang dalam waktu 1-3 hari. Pada penderita yang terserang lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam serta perjalaan penyakitnya akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah dan diare biasanya tidak didapatkan pada pasien ini.1 dr. Bachrul Alam Arriza

Page 16

Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit ini, mempunyai riwayat diasuh oleh orang dewasa yang menderita penyakit saluran pernafasan ringan pada minggu sebelum awitan penyakit terjadi. Sebelum menegakkan diagnosis bronkiolitis, kita harus menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang juga dapat menyebabkan wheezing.8 Pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit (takipneu), kadang-kadang disertai sianosis, dan nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot pembantu pernafasan yang mengakibatkan terjadinya retraksi pada daerah interkostal dan daerah sub kostal. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.1 Hepar dan lien akan teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah tulang iga. Keadaan ini terjadi akibatt pendorongan diafragma kebawah karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang tersebar luas juga dapat terdengar pada bagian akhir inspirasi. Fase ekspirasi pernafasan akan memanjang dan suara-suara pernapasan juga bisa hampir tidak terdengar jika sudah berada dalam kasus yang berat.1 Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG -

Pemeriksaan darah tepi tidak khas, jumlah leukosit berkisar antara 5000-24000 sel/μl. Pada keadaan leukositosis, batang dan PMN banyak ditemukan.

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 17

-

Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan pernafasan berat, khususnya yang membutuhkanventilator mekanik, gejala kelelahan dan hipoksia. Hasil AGD akan didapatkan gambaran hiperkapnia sebagai tanda dari air tapping, asidosis metabolik atau respiratorik.

-

Foto Thorak diindikasikan pada : -

Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga

-

Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.

Rontgen thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral disertai dengan diafragma datar, penonjolan ruang retrosternal dan penonjolan ruang interkostal. Dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar pada sekitar 30 % penderita dan disebabkan oleh ateletaksis akibat obstruksi atau karena radang alveolus. Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang ( hyperaerated ). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis ( patchy atelectasis ) atau pneumonia ( patchy infiltrates ). Pada rontgen -foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan rontgen foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat,diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.1

-

Identifikasi virus dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan tekhnik

imunofluoresens atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) -

Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan

deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Sensifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 18

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Jumlah dan hitung jenis lekosit biasanya normal. Biakan-biakan bahan yang berasal dari nasofaring akan menunjukkan flora normal. Virus dapat dapat diperlihatkan di dalam sekresi nasofaring melalui fluresensi imunologis dalam suatu peningkatan titer-titer darah atau dalam biakan.1 Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.8 Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) SKOR

Skor 2

3

4

maksimal

Semua

4

0

1

-Ekspirasi

(-)

Akhir

-Inspirasi

(-)

Sebagian

Semua

2

-Lokasi

(-)

2 dr 4 lap

3 dr 4 lap paru

2

Wheezing :

paru Retraksi : -

(-)

Ringan

Sedang

Berat

3

Supraklavikular

(-)

Ringan

Sedang

Berat

3

-Interkostal

(-)

Ringan

Sedang

Berat

3

-Subkostal TOTAL

17

] dr. Bachrul Alam Arriza

Page 19

Tatalaksana Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobulin ( polyclonal ) atau Humanis RSV monoclonal antibody ( palivizumab ).7 Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas haemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spectrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan diberikan antibiotika.

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 20

Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin menghambat translasi mRNA virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV bisa meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun.Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortiko steroid. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier. Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprrednisolon, hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3 mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan.7

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 21

Gambar 3. Tatalaksana Bronkioloitis Prognosis1,2 Pada penderita ini, prognosis untuk kehidupannya (quo ad vitam) adalah ad bonam, karena walaupun datang dengan distres respirasi, dapat ditangani dengan segera dan tepat, sehingga masa-masa kritisnya terlewati. Sedangkan prognosis untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah ad bonam, dikarenakan pengelolaan terhadap penderita rasional dan menyeluruh meliputi aspek keperawatan, medikamentosa, dietetik dan edukatif. Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi bisa berkembang menjadi asma. Ehlenfield dkk mengatakan jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3. Adanya eosinofilia dimungkinkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa kanak-kanak. Kriteria yang menjadi faktor risiko asma adalah didapatkannya 2 faktor risiko mayor atau 1 faktor resiko mayor + 2 faktor risiko minor. 1 - Faktor risiko major yaitu asma pada orang tua dan eksema pada anak. - Faktor risiko minor adalah Rinitis alergi, mengi diluar selesma dan eosinofilia. Pada pasien ini

kemungkinan belum bisa berkembang menjadi asma.

Hal ini dapat

disebabkan karena hanya memenuhi 1 kriteria minor yaitu pasien mengalami riwayat wheezing pada usia < 2 tahun. -

Faktor resiko gejala yang berulang sehingga kemungkinan dapat berkembang menjadi asma : sosial ekonomi yang rendah, lingkungan rumah yang tidak sehat, jumlah anggota keluarga yang besar tinggal dalam 1 rumah, ayah seorang perokok aktif dan anak tidak mendapatkan ASI sejak lahir karena puting susu terbenam.

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 22

DAFTAR PUSTAKA 1. Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008: 333-347

2. A. P. Uyan, H. Ozyurek, M. Keskin, Y. Afsar & E. Yilmaz : Comparison Of Two Different Bronchodilators In The Treatment Of Acute Bronchiolitis . The Internet Journal of Pediatrics and Neonatology. 2003 Volume 3 Number 1 3. Zorc JJ, Hall CB, Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and management. Paediatrics 2010; 125; 342-49. 4. Carroll KN, et.all. increasing burden and risk factor for bronchiolitis. Related medical visits in infants enrolled in a state health care insurance plan. Pediatrics 2008; 122; 58-64. 5. Orenstein DM. Bronkiolitis. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor. Nelson, ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1484 – 1486 6. McIntosh K. Virus sinsitial respiratori. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor. Nelson, ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1112 – 1114. 7. Voets S, van Berlaer G, Hachimi-Idrissi S. Clinicalpredictors of the severity of bronchiolitis. Eur J Emerg Med. 2006;13:134-8. 8. Gupta S, Shamsundar R, Shet A, Chawan R, Srinivasa H. Prevalence of respiratory syncytial virus infection among hospitalized children presenting with acute lower respiratory tract infections. Indian J Pediatr. 2011;78:1495-7. 9. Swingler GH, Hussey GD, Zwarenstein M. Duration of illness in ambulatory children diagnosed with bronchiolitis. Arch Pediatr Adolesc Med. 2000;154:9971000. 10. Steiner RWP. Treating acute bronchiolitis associated with RSV. Am Family Physician. 2004;69:325-30.34. 11. Schroeder AR, Marmor AK, Pantell RH, Newman TB.Impact of pulse oximetry and oxygen therapy on length of stay in bronchiolitis hospitalizations. Arch Pediatr Adolesc Med. 2004;158:527-30. 12. Unger S, Cunningham S. Effect of oxygen supplementation on length of stay for infants hospitalized with acute viral bronchiolitis. Pediatrics. 2008;121:470-5. 13. Donlan M, Fontela PS, Puligandla PS. Use of continuous positive airway pressure (CPAP) in acute viral bronchiolitis: A systematic review. Pediatr Pulmonol. 2011;46:736-46. dr. Bachrul Alam Arriza

Page 23

14. Mile´si C, Matecki S, Jaber S, Mura T, Jacquot A, Pidoux O, et al. 6 cm H2O continuous positive airway pressure versus conventional oxygen therapy in severe viral bronchiolitis: A randomized trial. Pediatr Pulmonol. 2013;48:45-51. 15. Spurling GK, Doust J, Del Mar CB, Eriksson L. Antibiotics for bronchiolitis in children. Cochrane Database Syst Rev. 2011;6:CD005189. 16. Eber E. Treatment of acute viral bronchiolitis. Open Microbiol J. 2011;5:159-64. 17. King VJ, Viswanathan M, Bordley WC, Jackman AM, Sutton SF, Lohr KN, et al. Pharmacologic treatment of bronchiolitis in infants and children. Arch Pediatr Adolesc Med. 2004;158:127-37. 18. Bar A, Srugo I, Amirav I, Tzverling C, Naftali G, Kugelman A. Inhaled furosemide in hospitalized infants with viral bronchiolitis: A randomized, doubleblind, placebo-controlled pilot study. Pediatr Pulmonol. 2008;43:261-7. 19. Tahan F, Ozcan A, Koc N. Clarithromycin in the treatment of RSV bronchiolitis: a double-blind, randomised, placebo-controlled trial. Eur Respir J. 2007;29:91-7. 20. Zhang L, Mendoza-Sassi RA, Wainwright C, Klassen TP. Nebulized hypertonic saline solution for acute bronchiolitis in infants. Cochrane Database Syst Rev. 2008;4:CD00648. 21. Amirav I, Luder AS, Kruger N, Borovitch Y, Babai I, Miron D, et al. A doubleblind, placebo-controlled, randomized trial of montelukast for acute bronchiolitis. Pediatrics. 2008; 122:e1249-55. 22. King VJ, Viswanathan M, Bordley WC, Jackman AM, Sutton SF, Lohr KN, et al. Pharmacologic treatment of bronchiolitis in infants and children. Arch Pediatr Adolesc Med. 2004;158:127-37. 23. Bar A, Srugo I, Amirav I, Tzverling C, Naftali G, Kugelman A. Inhaled furosemide in hospitalized infants with viral bronchiolitis: A randomized, doubleblind, placebo-controlled pilot study. Pediatr Pulmonol. 2008;43:261-7.

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 24

Muara Teweh, Pendamping

Peserta

dr. Pramita Indah Suryani

dr. Bachrul Alam Arriza

Pembimbing

Pendamping

dr.Komang Artawan Sp.A

dr. Adhimas Bramantyo

dr. Bachrul Alam Arriza

Page 25

Related Documents

Alam
May 2020 34
Alam Skitar
June 2020 16
Alam Sekitar
May 2020 38
Aank & Alam
June 2020 17

More Documents from "Heri Mulyanto"