BAB 4 ASPEK KELEMBAGAAN PERBANKAN ISLAM Perbedaan antara bank Islam dengan bank konvensionaI, yaitu bank Islam dalam kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan syariah, sedangkan bank konvensional dalam kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bunga. Pengawasan perbankan Islam pada dasarnya memiliki dua sistem, yaitu: 1. Pengawasan dari aspek keuangan, kepatuhan pada perbankan secara umum, dan prinsip kehati-hatian bank. 2. Pengawasan prinsip syariah dalam kegiatan operasional bank. Karena itu, struktur pengawasan terdiri dari: Sistem Pengawasan Internal, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, dewan komisaris, dewan audit, Dewan Pengawas Syariah, direktur kepatuhan dan SKAI, serta Sistem Pengawasan Eksternal, yang terdiri dari unsur Bank Indonesia, akuntan publik, Dewan Syariah Nasional, dan stakeholder. Pengaturan tentang bank Islam, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 yang mengatur bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (dengan perubahan dalam PBI No. 7/35/PBI/2005) dan PBI No. 6/17/PBI/2004 yang mengatur Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Sedikit perbedaan aturan untuk Bank Islam dan BPRS, misalnya dalam hal pemilik, modal yang disetor, dan jumlah anggota direksi dan dewan komisaris. Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank, serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan tetap mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan bank, prinsip kehati-hatian operasional bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja bank, serta kemampuan dan/atau kepatutan pemilik, pengurus, dan pejabat bank. Dalam pendirian bank diperlukan dukungan permodalan yang kuat dan pemilik bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat, sehingga mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional. Dalam rangka mendukung kebijakan yang transparan dan mengandung kepastian hukum, maka pengaturan kelembagaan bank ini juga antara lain memuat prosedur perizinan, aspek-aspek penilaian dalam perizinan, dan batas waktu pemberian izin pembukaan bank atau kantor, batas waktu dan alasan penolakan, serta batas waktu pelaporan pelaksanaan kegiatan bank. Sementara itu dalam rangka kepastian hukum perlu dicantumkan sanksi yang tegas dan transparan kepada bank dan/atau pihak lain yang melanggar ketentuan ini. Persyaratan untuk melengkapi dokumen-dokumen administratif antara lain struktur kelompok usaha, rencana jangka menengah dan jangka panjang, pedoman kerja dan pedoman pengelolaan risiko, serta kesediaan pemegang saham pengendali untuk mengatasi kesulitan pendanaan bank, selain diberlakukan kepada bank yang akan beroperasi juga diberlakukan kepada bank yang telah beroperasi sebelum dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia ini. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong bank lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan untuk kelancaran pelaksanaan tugas pengawasan dan pembinaan bank oleh Bank Indonesia. Dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat, khususnya masyarakat kecil, maka perlu didukung dengan jaringan kantor yang cukup, dalam hal ini melalui Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (BPRS). Agar perkembangannya bisa berjalan, maka perlu didukung dengan ketentuan yang mempermudah pembukaan jaringan kantor tersebut, yang merupakan amanat dari Arsitektur Perbankan Indonesia dan Blueprint Perbankan Syariah. 1
A. TATA CARA PENDIRIAN BANK UMUM SYARIAH DAN BPRS DAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG SYARIAH DAN UNIT SYARIAH 1. Pendirian Bank Umum Syariah dan BPRS Untuk mendirikan bank umum syariah menurut PBI No. 7/35/PBI/2005, modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). Sedangkan modal disetor untuk mendirikan BPRS menurut PBI No. 6/17/PBI/2004 ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar: a. Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah DKI Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi; b. Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibu kota provinsi di luar wilayah tersebut di atas; dan c. Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah pada huruf a dan b. Menurut Pasal 5 PBI No. 6/24/PBI/2004, bank hanya dapat didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, atau warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan. Kepemilikan yang berasal dari warga negara asing dan/atau badan hukum asing tersebut setinggi-tingginya sebesar 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor bank. Sedangkan menurut PBI No. 6/17/PBI/2004 Pasal 5, BPRS hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI, pemerintah daerah, atau dua pihak atau lebih dari pihak-pihak di atas. Kepemilikan bank oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan. Ketentuan modal sendiri bersih wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran modal untuk pendirian bank atau pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penambahan modal disetor bank. Sumber dana yang digunakan dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah termasuk dari/dan/untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Yang dapat menjadi pemilik bank adalah pihak-pihak yang: a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan/atau pengurus bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik, yaitu memiliki akhlak dan moral yang baik mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang sehat. Perubahan komposisi kepemilikan bank yang tidak mengakibatkan penggantian dan/atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnva 10 (sepuluh) hari setelah perubahan dilakukan. Sedangkan, laporan perubahan komposisi kepemilikan yang diakibatkan oleh adanya penambahan modal disetor wajib disertai dengan bukti penyetoran, notulen Rapat Umum Pemegang Saham/rapat anggota, surat pernyataan mengenai pelunasan modal disetor dan data kepemilikan. Laporan perubahan komposisi kepemilikan yang tidak mengubah jumlah modal disetor wajib disertai dengan dokumen yang diminta. Perubahan modal dasar bagi bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah, wajib dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia selambat-larnbatnya 10 hari setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang disertai dengan notulen Rapat Umum Pemegang Saham dan akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang. 2
Sedangkan, perubahan modal bagi bank yang berbentuk hukum koperasi wajib dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal perubahan anggaran dasar disertai dengan notulen rapat anggota dan akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh rapat anggota. Menurut Pasal 2 PBI No. 6/24/P131/2004, bentuk hukum suatu bank dapat berupa perseroan terbatas, koperasi, atau perusahaan daerah. Pasal 3 menjelaskan, bahwa bank hanya dapat didirikan dengan izin Bank Indonesia dalam dua tahap: (a) persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank; dan (b) izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha bank setelah persiapan pendirian bank selesai dilakukan. Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip tersebut, pada bank Islam dan BPRS harus memenuhi berbagai persyaratan administrasi yang culcup ketat, antara lain. a. Rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran dasar. b. Data kepemilikan. c. Daftar calon anggota direksi, dewan komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah. d. Rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia. e. Rencana kerja (business plan) untuk tahun pertama. f. Rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan). g. Pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan. h. Sistem dan prosedur kerja. i. Bukti setoran modal sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari modal disetor. j. Surat pernyataan dari calon perriegang saham bagi bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah atau dari calon anggota bagi bank yang berbentuk hukum koperasi, bahwa setoran modal tersebut: 1 ) tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalarm bentuk apa pun dari bank dan/atau pihak lain; 2) tidak berasal dari sumber dana yang dihararnkan menurut prinsip syariah termasuk dari/dan/untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Menurut Pasal 7 PBI No. 6/24/PBI/2004, persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan c. wawancara terhadap calon pemegang saham pengendali, calon anggota dewan komisaris, dan calon anggota direksi. Persetujuan prinsip ini berlaku untuk jangka waktu 360 (tiga ratus enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan sebelum mendapat izin usaha. Apabila setelah jangka waktu yang ditentukan pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Gubernur Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Menurut Pasal 9 PBI No. 6/24/PBI/2004, permohonan untuk memperoleh izin usaha diajukan oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. akta pendirian badan hukum, yang mernuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; 3
b. data kepemilikan yang masing-masing disertai dengan dokumen yang telah diminta dalam hal terjadi perubahan; c. daftar susunan direksi dan dewan komisaris, disertai dengan identitas dan dokumen dalam hal terjadi perubahan; d. dokumen lainnya yang telah diajukan sebelumnya dalam hal terjadi perubahan; e. bukti pelunasan modal disetor minimum; f. bukti kesiapan operasional; dan g. surat pernyataan dari pemegang saham bagi bank, bahwa pelunasan modal disetor tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari bank dan/atau pihak lain; dan tidak berasal dari sumber dana yang dihararnkan menurut prinsip syariah termasuk dari/dan/untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap, pemegang saham pengendali, anggota direksi, dewan komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya. Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha perbankan selarnbat-Iarnbatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan. Pelaksanaan kegiatan usaha wajib dilaporkan oleh direksi bark kepada Bank Indonesia selarnbat-larnbatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. Apabila setelah jangka waktu yang telah ditentukan bank belurn melakukan kegiatan usaha, Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin usaha yang telah dikeluarkan. Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata "Syariah" sesudah kata "Bank" pada penulisan namanya. 2. Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Bagi bank konvensional yang ingin mengubah kegiatan usahanya menjadi bank berdasarkan prinsip syariah harus memenuhi ketentuan yang terdapat pada PSI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional, yaitu harus dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia dengan rnencanturnkan rencana perubahan tersebut dalam rencana bisnis bank. Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin perubahan kegiatan usaha persetujuan prinsip tersebut diberikan selarnbat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enarn puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap setelah Bank Indonesia Melakukan hal-hal berikut ini. a. Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen-dokumen yang telah ditentukan. b. Analisis yang mencakup antara lain kernarnpuan bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antarbank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan peluang pasar. c. Wawancara terhadap calon pemegang saham pengendali, calon anggoca dewan komisaris dan calon anggota direksi, dan calon Dewan Pengawas Syariah. d. Bank yang mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha Bank. 4
Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah paling lambat 60 hari sejak izin perubahan kegiatan usaha diberlakukan dan pelaksanaannya wajib dilaporkan oleh direksi kepada Bank Indonesia paling lambat 10 hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan kegiatan usaha tersebut. Apabila setelah jangka waktu tersebut bank belum melaksanakan kegiatan usahanya, maka izin perubahan kegiatan usaha yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu, bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitor dan kreditor dari kegiatan konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan. Namun, Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu penyelesaian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu di atas untuk tujuan penyelesaian aktiva produktif kegiatan usaha secara konvensional yang telah dihapus buku. Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi di atas. Bank tersebut wajib mencantumkan secara jelas kata "Syariah" sesudah kata "Bank" pada penulisan namanya. Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dilarang untuk mengubah kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah menjadi kegiatan usaha secara konvensional. 3. Pembukaan Kantor yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah otch Bank Bank umum konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membentuk unit usaha syariah di kantor pusat bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah, yang mempunyai tugas: a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah dan/atau unit syariah; b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah; c. menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah; dan d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah. Bank yang telah membuka unit usaha syariah, dapat membuka kantor cabang syariah dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia, dengan cara: a. membuka kantor cabang syariah yang baru; b. mengubah kegiatan usaha kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor cabang syariah; c. meningkatkan status kantor di bawah kantor cabang menjadi kantor cabang syariah; d. mengubah kegiatan usaha kantor cabang yang sebelumnya telah membuka unit syariah menjadi kantor cabang syariah; e. meningkatkan status kantor cabang pembantu yang sebelumnya telah membuka unit syariah menjadi kantor cabang syariah; dan/atau f
membuka kantor cabang syariah baru yang berasal dari unit syariah dari kantor cabang dan/atau kantor cabang pembantu, di lokasi yang sama atau di luar lokasi kantor cabang dan/atau kantor cabang pembantu di mana unit usaha syariah sebelumnya berada. Pemberian izin untuk poin a sampai dengan c dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
1) Persetujuan prinsip, yang merupakan persetujuan untuk melakukan persiapan pembukaan kantor cabang syariah (KCS). 2) Izin pembukaan KCS, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha KCS setelah persiapan persetujuan prinsip. 5
Pemberian izin untuk poin d sampai dengan f diberikan dalam satu tahap, yaitu langsung izin pembukaan kantor cabang syariah, tanpa melalui persetujuan prinsip. Pembukaan kantor cabang syariah pada point d sampai dengan f merupakan pembukaan unit syariah yang hanya dapat dilakukan setelah bank memiliki unit usaha syariah. Bank yang memiliki kantor cabang syariah wajib memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan menyusun laporan kcuangan berdasarkan prinsip syariah dan memasukkan laporan tersebut ke dalam laporan keuangan gabungan. Kantor bank yang telah mendapat izin pembukaan kantor cabang syariah wajib mencantumkan kata "Kantor Cabang Syariah" pada setiap penulisan nama kantornya dan dilarang untuk mengubah kegiatan kantor cabang syariah menjadi kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Apabila terjadi pelanggaran, maka Bank Indonesia akan mencabut izin pembukaan kantor cabang syariah tersebut. 4. Layanan Syariah Hal baru yang diatur dalam PBI No. 8/3/PBI/2006 adalah adanya mekanisme layanan syariah. Layanan syariah adalah kegiatan penghimpunan dana yang dilakukan di kantor cabang dan atau di kantor di bawah kantor cabang untuk dan atas narna kantor cabang syariah pada bank yang sama. Hal ini berarti PBI telah membuka kemungkinan layanan penghimpunan dana yang dilakukan bank konverisional yang memiliki usaha unit syariah. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan layanan syariah tersebut adalah sebagai berikut: a. Rencana Layanan Syariah wajib dicantumkan dalam rencana bisnis bank yang telah mendapat penegasan dari Bank Indonesia. b. Layanan syariah dapat dibuka: 1) dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dengan kantor cabang syariah induknya; 2) dengan menggunakan pola kerja sarna antara kantor cabang syariah induknya dengan kantor cabang dan/atau kantor cabang pembantu; dan 3) dengan menggunakan sumber daya manusia sendiri bank yang telah rnerniliki pengetahuan mengenai produk dan operasional bank syariah. c. Layanan syariah wajib: 1) memiliki pencatatan dan pernbukuan yang terpisah dari kantor cabang dan/atau kantor cabang pembantu; 2) menggunakan standar akuntansi yang berlaku bagi perbankan syariah; 3) melaporkan keuangan layanan syariah dengan menggabungkan laporan keuangan kantor cabang syariah induknya pada hari yang sama. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya dengan mengacu pada PBI tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal akuntansi, sistim akuntansi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada Standar Akuntansi Keuangan Syariah yang berlaku bagi perbankan syariah. Bank yang merniliki kantor cabang syariah dan unit syariah wajib Memiliki pencatatan dan pernbukuan tersendiri untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan menyusun laporan keuangan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. B. STRUKTUR KEPENGURUSAN
6
Untuk memenuhi tuntutan kinerja bank Islam yang efektif, efisien, berintegritas tinggi, dan melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip kehati-hatian diharapkan manajemen bank Islam memiliki kewenangan dan diberi fungsi yang tegas dan pasti, agar dapat menjamin terselenggaranya kinerja perbankan Islam yang menjunjung tinggi nilai kejujuran (shiddiq), transparan dan memberikan pendidikan kepada masvarakat (tabligh), menjaga kehati-hatian dan kejujuran (amanah), dan profesional (fathanah). Menurut ketentuan Pasal 19 PBI No. 6/24/PBI/2004 dan Pasal 20 PBI No. 6/17/PBI/2004, kepengurusan BUS dan BPRS terdiri dari dewan komisaris dan direksi. Di samping kepengurusan, suatu BUS dan BPRS wajib pula memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi kegiatan BUS tersebut dan berkedudukan di kantor pusat bank. Selain direksi dan dewan komisaris, PBI No. 6/24/PBI/2004 dan PBI No. 6/17/PBI/2004 juga mengatur tentang pejabat eksekutif, yaitu pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional bank atau perusahaan dan/atau bertanggung jawab langsung kepada direksi antara lain pernimpin kantor cabang. 1. Direksi dan Dewan Komisaris Direksi bagi BUS dan BPRS yang berbentuk hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. BUS dan BPRS yang berbentuk hukum perusahaan daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Direksi bagi BUS dan BPRS yang berbentuk hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Komisaris bagi BUS dan BPRS yang. berbentuk badan hukum PT adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 anglca 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang PT BUS dan BPRS yang berbentuk perusahaan daerah adalah pengawas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. BUS dan BPRS yang berbentuk koperasi adalah pengawas sebagaimana yang dirnaksudkan dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Anggota direksi dan dewan komisaris wajib memenuhi persyaratan: a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan/atau pengurus bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki kompetensi dan integritas yang baik, yaitu pihak-pihak yang: 1) memiliki akhlak dan moral yang baik; 2) mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) memiliki komitmen yang tinggi dalam mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional; dan 4) mempunyai kernampuan dalam menjalankan tugas dan/atau reputasi mengawasi kegiatan usaha bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 22 PBI No. 6/24/PBI/2004 menjelaskan bahwa bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat menempatkan warga negara asing sebagai anggota direksi dan dewan komisaris. Di antara anggota direksi dan dewan komisaris bank, sekurang-kurangnya terdapat 1 (satu) orang anggota direksi dan 1 (satu) orang anggota dewan komisaris berkewarganegaraan Indonesia. Untuk direksi bank, sekurang-kurangnya berjurnlah 2 (dua) orang yang berpengalarnan dalam operasional bank syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai pejabat eksekutif. Adapun direktur utarna bank wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali. Pasal 24 PBI No. 6/24/PBI/2004, menguraikan mengenai larangan yang harus dipatuhi oleh direksi bank, yaitu: a. sesama anggota direksi saling merniliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk besan; 7
b. saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk besan dengan anggota dewan komisaris; c. merangkap jabatan sebagai anggota direksi, dewan komisaris atau pejabat eksekutif pada bank, perusahaan atau lembaga lain; d. memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain, baik secara sendiri-sendiri atau bersarna-sarna; dan e. memberikan kuasa umurn kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas. Anggota dewan komisaris sekurang-kurangnya berjurnlah 2 orang dan sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah anggota direksi. Sekurang-kurangnya 1 orang anggota dewan komisaris wajib berdomisili di Indonesia. Sekurang-kurangnya 1 orang anggota dewan komisaris wajib berasal dari plhak yang independen terhadap pemilik. Beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh anggota dewan komisaris adalah sebagai berikut: a. wajib memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan. b. hanya dapat merangkap jabatan sebagai: 1) anggota dewan komisaris sebanyak-banyaknya pada 1 (satu) bank lain; atau 2) anggota dewan komisaris, direksi, atau pejabat eksekutif yang memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank. c. dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota dewan komisaris. Adapun ketentuan dan persyaratan terhadap direksi dan dewan komisaris untuk BPRS pada umumnya adalah sama dengan bank syariah. Namun ada beberapa perbedaan seperti yang dijelaskan pada PBI No. 6/17/PBI/2004 berikut ini. Anggota direksi dan dewan komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagal berikut: a. Integritas, yaitu memiliki akhlak dan moral yang baik; komitmen untuk rnematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; kornitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang sehat; dan tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Kompetensi, yaitu: 1) bagi calon direksi: a) memiliki pengetahuan di bidang perbankan yang mernadai dan relevan dengan jabatannya; b) memiliki pengalarnan dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan; dan c) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat. 2) bagi calon komisaris: a) memiliki pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan/atau b) memiliki pengalaman di bidang perbankan. c. Reputasi keuangan, yaitu: a. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
8
Adapun jumlah anggota direksi BPRS sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari anggota direksi termasuk direktur utarna. Anggota direksi BPRS wajib berpengalaman operasional sekurang-kurangnya: a. 1 (satu) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau pernbiayaan di perbankan syariah; atau b. 4 (empat) tahun sebagai pegawai di bidang pendanaan dan pembiayaan di perbankan syariah; atau c. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau perkreditan di perbankan konvensional dan memiliki pengetahuan di bidang perbankan syariah. Ketentuan lain yang harus dipenuhl oleh direksi adalah: a. berpendidikan formal minimal setingkat Diploma III atau sarjana muda; b. bagi anggota direksi lain yang belum berpengalaman perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah; c. Direktur utama BPRS wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali; d. dilarang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat pertama, termasuk dengan sesama anggota direksi atau anggota dewan komisaris; e. dilarang merangkap jabatan sebagai anggota direksi, komisaris, atau pejabat eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan, atau lembaga lain; f. dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas; g. seluruh anggota direksi BPRS harus berdomisili dekat dengan tempat kedudukan kantor pusat BPRS. Ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh anggota komisaris adalah sebagai berikut: a. jumlah anggota dewan komisaris sekurana,-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. b. Sekurang-kurangriya 1 (satu) orang anggota dewan komisaris wajib berdomisili dekat di tempat kedudukan BPRS. c. Wajib memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan atau di bidang keuangan lainnya. d. Merangkap jabatan hanya dapat dilakukan sebagai: 1) anggota dewan komisaris, sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) bank lain; atau 2) anggota dewan komisaris, direksi, atau pejabat eksekutif yang memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank. Calon anggota direksi atau dewan komisaris di bank Islam dan BPRS wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat anggota dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon anggota direksi atau dewan komisaris. Adapun persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota direksi dan/atau dewan komisaris diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham, atau rapat anggota telah mengangkat calon anggoca direksi dan/atau calon anggota dewan komisaris sebelum persetujuan Bank Indonesia dan apabila Bank Indonesia tidak menyetujui pihak-pihak dirnaksud, maka bank wajib mengajukan kembali calon anggota direksi dan/atau calon anggota dewan komisaris baru sesuai dengan ketentuan. Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat anggota membatalkan pengangkatan calon anggota direksi atau calon anggota dewan komisaris yang telah disetujui oleh Bank Indonesia, maka bank wajib melaporkan pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia, selambat-larnbatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembatalan pengangkatan, disertai dengan fotokopi notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau 9
fotokopi notulen rapat anggota. Pengangkatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris wajib dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia selarnbat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan fotokopi notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau fotokopi notulen rapat anggota. 2. Pejabat Eksekutif Pasal 34 PBI No. 6/24/PBI/2004 mengatur, bahwa pengangkatan.atau penggantian pejabat eksekutif atau pernimpin kantor cabang wajib dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai dengan: a. surat pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai pejabat eksekutif atau pemimpin kantor cabang dari direksi bank; dan b. dokumen yang menyatakan identitas pejabat eksekutif atau pemimpin kantor cabang bank. Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, pejabat eksekutif atau pemimpin kantor cabang termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham, pemegang saham pengendali, pengurus, pejabat eksekutif bank, maka bank wajib segera memberhentikan yang bersangkutan. Bagi anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, pejabat eksekutif, dan pemimpin kantor cabang yang memiliki benturan kepentingan dilarang mengambil keputusan. C. DEWAN SYARIAH NASIONAL DAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH Hal penting yang membedakan bank Islam dari bank konvensional adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang sejajar dengan dewan komisaris. Tugasnya untuk melakukan pengawasan pada bank Islam yang mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). 1. Dewan Syariah Nasional Pada awal tahun 1999, Dewan Syariah Nasional secara resmi didirikan sebagai lembaga syariah yang bertugas mengayomi dan mengawasi operasional aktivitas perekonomian Lembaga Keuangan Syariah (LKS). DSN sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI secara struktural berada di bawah MUI. Sementara kelembagaan DSN sendiri belum secara tegas diatur dalam peraturan perundang~undangan. Menurut Pasal 1 angka 9 PBI No. 6/24/PBI/2004, disebutkan bahwa: "DSN adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ularna Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa, dan kegiatan usaha bank dengan prinsip syariah." Menurut Keputusan DSN No. 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia, DSN bertugas sebagai berikut: a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiaran perekonomian pada umumnya dan keuangan khususnya; b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan; c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; dan d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. DSN berwenang, sebagai berikut: a. Mengeluarkan fatwa yang rnengikat DPS di masing-masing Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan menjadi dasar tindakan hukum terkait. b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. c. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu LKS. 10
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri. e. Memberikan peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN. f
Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. Berdasarkan paparan di atas jelas terlihat, bahwa DSN berwenang mengeluarkan fatwa yang mengikat
DPS dan perbankan Islam. Produk yang dikeluarkan oleh DSN hanya berupa fatwa, sehingga berdasarkan kepastian hukum tidak kuat karena fatwa sama dengan opini hukum, dapat diikuti atau tidak. Fatwa MUI ini secara moral memang harus diikuti oleh umat Islam karena mcrupakan pendapat para ulama. MUI dalam mengeluarkan fatwa harus selalu menggunakan prinsip kehatihatian. Dalam memberikan fatwa tersebut, DSN tidak boleh dipengaruhi atau terpengaruh oleh lembaga mana pun. Independensi ini diperlukan agar fatwa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan ketentuan syariah dan untuk menjaga objektivitas dari pembuatan fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN. Sebaliknya DSN berdiri sendiri di luar dari BI, namun dalam melakukan pengawasan tetap bekerja sama dengan Bl. Walaupun tugas DSN dan BI sama-sama melakukan pengawasan eksternal, DSN berfokus pada masalah pengawasan dan pembuatan fatwa produk-produk syariah, sementara BI lebih berfokus pada masalah manajemen perbankan secara umum dan tidak masuk pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan syariah. 2. Dewan Pengawas Syariah Penjelasan Pasal 6 huruf m UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjelaskan bihwa dalam suatu lembaga Perbankan Islam harus dibentuk DPS. Menurut Pasal 21 PBI No. 6/24/PBI/2004 anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Integritas, yaitu: 1) memiliki akhlak dan moral yang baik; 2) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang sehat; dan 4) tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum. c. Reputasi keuangan, yaitu pihak-pihak yang: 1) tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan macet, 2) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam. waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Jumlah anggota DPS sekurang-kurangnya dua orang dan sebanyak-banyaknya lima orang. Sedangkan di BPRS, berjumlah sekurang-kurangnya satu orang dan sebanyak-banyaknya tiga orang. Anggota DPS hanya bisa merangkap jabatan sebagai anggota DPS sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) bank lain dan 2 (dua) lembaga keuangan syariah bukan bank. Sebanyak-banyaknya 2 (dua) anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DSN. Kedudukan anggota DPS digolongkan sebagai pihak terafiliasi. Pasal 27 PBI No. 6/24/PBI/2004 menguraikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab, DPS, yaitu antara lain meliputi: a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; b. menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank; 11
c. memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank; d. mengkaji produk dan jasa baru yang belurn ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN; e. menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada direksi, komisaris, Dewan Syariah Nasional, dan Bank Indonesia. Pasal 31, 32, 33 PBI No. 6/24/PBI/2004 mengatur mengenai tata cara penetapan DPS. Bank wajib mengajukan calon anggota DPS untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan penetapan DSN sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Permohonan untuk memperoleh persetujuan tersebut diajukan oleh bank kepada Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen-dokumen yang dirninta. Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota DPS diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. Penetapan calon anggota DPS oleh DSN dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Permohonan untuk memperoleh penetapan tersebut wajib disampaikan oleh bank kepada DSN dengan tembusan ke Bank Indonesia selambat-lambatnya 15 hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia. Selanjutnya, DSN menetapkan calon DPS selambat-lambatnya 30 hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia. Apabila dalam jangka waktu tersebut DSN belum mengeluarkan penetapan calon DPS, maka calon DPS dianggap efektif sebagai Dewan Pengawas Syariah. Kemudian, pengangkatan tersebut wajib dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif. Menurut keputusan DSN No. 3 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggaran DPS pada Lembaga Keuangan Syariah, tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Fungsi utama DPS adalah: a. sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah, dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah; b. sebagai mediator antara Lembaga Keuangan Syariah dengan DSN dalam mengomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari Lembaga Keuangan Syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Sedangkan kewajiban DPS adalah: 1. mengikuti fatwa-fatwa DSN; 2. mengawasi kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN; dan 3. melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan lembaga keuangan yang diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun. Keberadaan Kornite Ahli Pengembangan Syariah di Bank Indonesia yang beranggotakan ahli syariah, ahli ekonorni, ahli hukum, ahli perbankan, dan ahli akuntansi dapat didayagunakan semaksinial mungkin untuk membuat petunjuk pelaksana yang jelas. Mereka dapat bekerja sama dengan DSN sebagai otoritas tertinggi regulasi sekaligus pengawasan syariah terhadap, lembaga keuangan dan perbankan yang berdasarkan syariah. Pemberdayaan dan pengembangan sistem pengawasan dan audit kepatuhan syariah dipelopori oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Dalam standar DPS yang diterbitkan oleh AAOIFI ditentukan sebagai berikut: 1 ) Setiap pelaporan tahunan bank Islam harus mencantumkan pendapat DPS bank yang menjelaskan kegiatan usaha bank sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (opini syariah). 2) Adanya proses pengawasan dan audit yang aktif dari pihak DPS terhadap seluruh kegiatan usaha bank. 12
Menurut Setiawan Budi Utomo, Standar AA0IFI ini sangat ideal bagi perbankan Islam saat ini, namun harus dijalankan demi perbaikan kinerja pengawasan audit DPS dan bank Islam dan dapat berkiprah secara internasional. Karena itu, sudah sepatutnya DPS diberi wewenang audit internal aspek syariah dan DSN diberi wewenang audit eksternal aspek syariah. Apabila SDM belurn dapat memenuhi standar ini, maka bank dapat menggunakan audit syariah eksternal atau kantor akuntan publik yang komit dan paharn terhadap prinsip syariah. Posisi DPS adalah sejajar dengan dewan kornisaris, karena harus mendapat persetujuan RUPS dan mewakili kepentingan RUPS dari segi pengawasan kesyariahan. Jadi, keduanya sarna-sama bertanggung jawab kepada RUPS. Selain itu perlu dipertimbangkan mengenai honorarium para anggota DPS bila dianggap sejajar dengan anggota dewan komisaris, berarti imbalan yang diberikan scharusnya juga sama. DSN tidak dapat membubarkan DPS, tetapi hanya mengajukan kepada RUPS untuk membubarkan DPS, karena tidak melakukan tugasnya dengan baik. Apabila ada penyimpangan di DPS, BI-dalam hal ini direktur kepatuhan-melaporkan kepada DSN dan kemudian DSN akan merekomendasikan kepada RUPS agar memberhentikan DPS. Berarti, direktur kepatuhan juga harus menguasai prinsip-prinsip syariah dalam perbankan. BI dengan mekanisme pemeriksaannya secara periodik pasti dapat menemukan adanya penyimpangan syariah. Selain itu RUPS juga bisa memutuskan tanpa melalui sidang, yang penting ada tanda tangan dari pemegang saham utama, terutama terhadap bank-bank pernerintah. 3. Ruang Lingkup Pengawasan BI dan Dewan Syariah Nasional Terhadap Aspek Administratif, Keuangan, dan Syariah Compliance Bank Islam Dalam Undang-Undang Perbankan dinyatakan secara tegas, bahwa pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia (B1). Berkaitan dengan perbankan Islam, tugas pokok BI adalah membuat aturan-aturan strategis dan teknis yang berupa norma-norma hukum yang diberlakukan terhadap seluruh stakeholder untuk mendukung perkembangan bank Islam. a. Aspek Administratif Bentuk pengawasan administrasi oleh BI terhadap sektor perbankan Islam antara lain tentang perubahan kegiatan usaha dan pembukaan kantor cabang syariah dan pendirian bank yang berdasarkan prinsip syariah. Dalam peraturan ini disebutkan antara lain, bahwa bagi bank Konvensional yang ingin mengubah usahanya menjadi bank Islam atau membuka cabang syariah atau mendirikan bank syariah harus mendapat izin dari Dewan Gubernur BI. Selain itu, perlu diperhatikan karier SDM yang bekerja di induk perusahaan yang konvensional dengan anak perusahaan yang syariah. Bila jabatan tertinggi mereka di anak perusahaan adalah sebagai kepala divisi, karier mereka sebagai karyawan hanya selesai hingga di situ. Bila mereka ingin naik jenjang karier, maka mereka kembali ke induk perusahaan yang masih konvensional. jadi, di sini tidak tampak kesungguhan SDM dalam menjalankan syariah Islam secara kaffah. Selain itu, kernampuan mereka di bidang syariah akan tidak termanfaatkan bila kembali ke tempat asal. Oleh karena itu, bank konvensional yang membuka cabang syariah di bawah koordinasi Unit Usaha Syariah (UUS) di kantor pusat, seharusnya membuat perencanaan karier bagi SDM syariahnya. Jangan sampai terjadi mereka yang sudah mapan di UUS ditarik kembali ke induknya yang masih konvensional. b. Aspek Keuangan Dalam aspek keuangan, BI memiliki wewenang untuk menetapkan batas maksimum pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang harus dipatuhi oleh bank Islam. Bank Islam dalam hal ini berkewajiban menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata 13
cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan menyampaikan neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, dan laporan berkala lainnya kepada Bank Indonesia dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut di atas diancam dengan pidana. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat laporan keuangan adalah dengan menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK No. 59). BI harus memberikan peraturan yang jelas dan ketat terhadap bank konvensional yang membuka cabang syariah. MisaInya dalam permodalan, jangan sampai terjadi percampuran modal antara bank konvensional dan bank Islam. Peluang ini bisa terjadi karena banyak bank Islam masih menggunakan fasilitas bank konvensional, seperti ATM, online system. c. Aspek Pengawasan Syariah Dari segi syartah compliance, sampai saat ini belum ada satu peraturan yang mengatur kewenangan dan tugas B1. Memang, Undang Undang Perbankan secara umum mengatur norma maupun code of conduct bank, yang mungkin dapat dipahami sebagai implementasi prinsip syariah, yaitu antara lain kewajiban bank Islam untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah dalam memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Juga kewajiban bank Islam untuk mempunyai keyakinan dan melakukan analisis yang mendalam berdasarkan iktikad baik, kemampuan, dan kesanggupan nasabah debitor dalam hal pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Kewenangan untuk melakukan syariah compliance dapat diserahkan kepada DSN karena dalam hal ini DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk, dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. 4. Efisiensi Hubungan Kerja antara B1 dan DSN Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, otoritas yang berwenang untuk menyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah, termasuk penerapan sanksi hukum adalah Bank Indonesia. BI sebagai otoritas pengawas perbankan dapat meminta fatwa kepada DSN apabila disinyalir ada masalah pelanggaran syariah compliance. Sebaliknya, DSN juga dapat melakukan inisiatif atau berperan aktif dalam mengawasi DPS ataupun bank Islam terhadap adanya permasalahan syariah compliance, misalnya terdapat produk-produk, praktik bank Islam, maupun tindakan DPS yang melanggar prinsip-prinsip syariah, dengan jalan melaporkan kepada Bl. DSN juga dapat melakukan teguran langsung kepada DPS. Namun teguran tersebut lebih bersifat moral, karena DPS sebagai suatu lembaga independen tidak dapat mengeksekusi bank Islam yang menyimpang. Berbeda dengan DSN di Malaysia yang mempunyai kekuatan eksekusi terhadap suatu bank Islam karena DSN Malaysia berkedudukan di Bank Sentral Malaysia dan menyatu dengan Islamic Banking Division. Gambar 4.1 Hubungan antara MUI, DSN, DPS, dan Bank Syariah DEWAN GUBERNUR BI pengawasan administrasi
DIREKTORAT BANK SYARIAH
pengawasan keuangan
MUI DSN koordinasi
RUPS pengawasan syariah 14
DEWAN
Direksi BS
DPS
KOMISARIS mengawasi kegiatan usaha BS
15