BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelahiran
seorang
anak
merupakan
kebahagiaan
terbesar
bagi
kebanyakan ibu, namun disisi lain merupakan sebuah tantangan besar serta kecemasan karena akan menjalani sebuah peran baru sebagai orang tua, sehingga dapat di pahami bahwa mengapa beberapa ibu pasca bersalin, sekitar 70% mengalami depresi ringan atau sering disebut postpartum blues. Sebagian besar ibu akan segera pulih dari keadaan postpartum blues tersebut, namun 13% diantaranya mengalami depresi berlanjut yang di namakan depresi postpartum (Devi Kurniasari, et all., 2015). Postpartum blues merupakan masalah psikis yang terjadi pada ibu pasca persalinan yang berupa, mudah menangis, keletihan, enggan merawat bayinya, merasa tidak percaya diri untuk memberikan nutrisi berupa ASI kepada bayinya serta terjadi gangguan tidur. Jika masalah ini terjadi terus-menerus dan tidak segera ditangani maka akan beralih menjadi depresi postpartum (Rotua Lenawati Tindaon, et all., 2018). Puncak dari postpartum blues ini ialah terlihat sejak hari ke-3 pasca persalinan dan biasanya berlangsung hingga 14 hari (Mariyatul Qiftiyah, 2018). Seorang ibu yang mengalami postpartum blues akan berdampak negative kepada anaknya, dampak yang muncul antara lain ialah masalah gangguan tidur, tantrum, agresi dan hiperaktif kemudian terganggunya perkembangan kognitif anak seperti lambat bicara serta pada umumnya anak akan mengalami keterlambatan pada usia pra sekolahnya nanti. Dampak tersebut sangat di takuti adanya sehingga masalah postpartum blues tersebut merupakan masalah yang harus ditangani dengan serius dan mendapat penangan khusus pada ibu pasca bersalin (Dila Oktaputrining, et all., 2017). Angka kejadian postpartum blues di dunia diperkirakan berjumlah 20% dari wanita pasca bersalin. Di Asia angka kejadian postpartum blues cukup tinggi serta bervariasi yakni berkisar 26-85% (Devi Endah Saraswati, 2018). Di Indonesia pendokumentasian khusus pada kasus postpartum blues sendiri masih sangat jarang di berbagai Rumah Sakit, dikarenakan belum adanya lembaga
1
STIKES Muhammadiyah Gombong
2
khusus yang menangani kasus post partum blues tersebut. Namun dalam penelitian dengan judul faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues yang dilakukan oleh Devi Endah Saraswati (2018) ditemukan data bahwa 1 dari 10 ibu yang baru pertama kali melakukan persalinan mengalami postpartum blues (Depkes RI, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian post partum blues berkaitan erat dengan faktor usia dan pengalaman seorang ibu dalam proses kehamilan sampai persalinan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Irawati Sp.Kj di dalam Kurniasari Devi, et all, (2015), menjelaskan bahwa dari 580 ibu pasca bersalin yang menjadi respondennya ditemukan sejumlah 25% mengalami postpartum blues. Beberapa faktor diduga penyebab dari postpartum blues ialah adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi adanya perubahan hormonal pada wanita pasca bersalin (Devi Endah Saraswati, 2018). Perubahan hormonal meliputi, hormone estrogen, progesterone, prolaktin serta estriol yang terlalu rendah. Kadar estrogen yang menurun secara drastis dapat menimbulkan efek berupa mempengaruhi suasana hati dan kejadian depresi karena diketahui bahwa hormone estrogen memilki efek supresi aktivitas enzim nonadrenalin maupun serotonin yang berhubungan dengan suasana hati sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian postpartum blues pada ibu pasca persalinan kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya perubahan hormonal tersebut. Faktor psikologis dan kepribadian seorang ibu juga dapat mengakibatkan munculnya postpartum blues (Devi Kurniasari, et all., 2015). Selain faktor perubahan hormone serta latar belakang psikologis ibu, jenis persalinan, usia serta dukungan social suami dan keluarga yang kurang juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya postpartum blues. Menurut Mariyatul Qiftiyah, (2018), dalam buku yang berjudul Buku Ajar Konsep Kebidanan bahwa, kurangnya dukungan social suami dan keluarga dapat berdampak pada keadaan psikologis ibu sehingga mengalami postpartum blues. Ketidaktahuan ibu serta keluarga mengenai apa itu postpartum blues juga dapat berdampak pada ibu pasca bersalin.
STIKES Muhammadiyah Gombong
3
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, salah satu faktor yang menjadi penyebab munculnya postpartum blues ialah jenis persalinan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karyono, (2007), dengan judul penelitian strategi koping ibu yang mengalami postpartum blues di Rumah Sakit Umum Daerah Semarang, sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi dengan strategi yang digunakan yaitu berfokus pada masalah dan emosi. Intervensi medis yang mengharuskan untuk dilakukan operasi section caesaria akan menimbulkan konsekuensi beban finansial yang belum terpikirkan sebelumnya oleh ibu serta keluarga (Andrew Umayya Miyansaski, 2014). Sedangkan pada kasus persalinan normal menurut hasil penelitian yang dilakukan Machmudah, (2010), tentang pengaruh persalinan terhadap kejadian postpartum blues di Kota Semarang menunjukkan bahwa dengan jumlah total 25 responden, kemungkinan timbulnya post partum blues yakni pada responden yang melakukan persalinan dengan operasi section caesaria sebesar 10 responden (53,7%) dan sebesar 15 responden (46,3%) dialami pada responden yang melakukan persalinan normal (Krisdiana Wijayanti, et all., 2013). Keadaan Postpartum blues juga dapat di tinjau dari rentan usia muda (usia produktif), saat proses kehamilan sampai persalinan. Rentan usia seorang wanita disini termasuk dari faktor internal dimana kesiapan ibu sangat mempengaruhi keadaannya saat waktu persalinan nanti. Penelitian yang dilakukan oleh Thurgood (2009), Di wilayah Eropa yakni Kanada, Belanda dan Irlandia menjelaskan bahwa wanita dengan rentan usia 20-35 tahun menunjukkan bahwa sekitar 75% diantaranya mengalami stress pasca persalinan, stress tersebut di lihat dari tanda-tanda pada wanita pasca bersalin seperti perasaan sedih, kecewa, marah, menangis, menyalahkan diri sendiri, ketakutan akan kehilangan pekerjaan dan merasa takut berlebihan tidak bisa menyusui anaknya sendiri (Susanti Prasetya Ningrum, 2017). Seorang ibu primipara lebih rentan mengalami postpartum blues dibanding dengan ibu multipara karena ditinjau dari kondisi psikologis ibu primipara yang dipicu oleh perasaan belum siap menerima peran baru sebagai orang tua serta kemungkinan pengetahuan yang kurang dalam merawat bayi dan
STIKES Muhammadiyah Gombong
4
beradaptasi, baik dari adapatasi psikologis dan fisiologis atau menerima perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Kasus postpartum blues sendiri dapat dipicu dari perasaan belum siap menjadi orang tua pada ibu sendiri terutama ibu primipara (Devi Kursniasari, et all., 2015). Pada saat kelahiran pertama seorang ibu primipara membutuhkan dukungan social baik dari suami maupun keluarga terdekat untuk bisa membantu dalam menyesuaikan dirinya yang sudah memililki peran baru dalam hidupnya, seorang ibu primipara yang berhasil melewati masa adaptasi setelah persalinan serta mampu menyesuaikan dirinya dengan kondisi setelah memilki bayi maka ia akan sangat bersemangat dalam mengurus bayinya tersebut namun beberapa ibu primipara yang tidak mampu menyesuaikan dirinya dan tidak mampu beradaptasi akan mengalami perubahan serta gangguan emosi (Dila Oktaputrining, et all., 2017). Selain ibu primipara, kondisi ASI yang tak kunjung lancar juga dapat menjadi pemicu munculnya postpartum blues. Menurut Prasetyono (2009), kondisi psikologis sangat mempengaruhi produksi ASI pada ibu masa nifas. Ketidaklancaran ASI dapat mengakibatkan munculnya postpartum blues, keadaan postpartum blues sendiri merupakan perasaan cemas serta khawatir pada ibu yang tidak bisa memberikan ASI kepada bayinya (Idha Suparwati, et all., 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Nurul Kamariyah (2014). Dengan judul penelitian faktor psikologis yang mempengaruhi kelancaran ASI ibu nifas menunjukkan bahwa, pada 10 responden ibu nifas primipara terdapat 6 (60%) diantaranya merasakan kecemasan dan ketegangan setelah proses persalinan dan 4 (40%) diantaranya tidak mengalami ketegangan sedangkan 50% diantaranya mengalami ketidaklancaran ASI dan 50% lainnya mengalami kelancaran ASI. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rizki Amalia (2016). Pada penelitiannya yang berjudul hubungan faktor stress dengan kelancaran produksi ASI pada ibu nifas di RSI.A.Yani Surabaya menjelaskan bahwa, dari 28 responden terdapat 15 responden mengalami stress pasca persalinan dikarenakan ibu merasa tidak nyaman karena keadaan pasca persalinan sedangkan 13 diantaranya mengalami ketidaklancaran ASI karena didukung oleh beberapa faktor yakni kelelahan pasca persalinan, nyeri bagian luka baik persalinan
STIKES Muhammadiyah Gombong
5
dengan pervaginam ataupun dengan tindakan operasi section caesaria, ibu merasa takut untuk mobilisasi sehingga merasa malas untuk memberikan ASI kepada bayinya. Faktor-faktor kelancaran ASI antara lain kesiapan fisik, psikologis, nutrisi, pengetahuan ibu dan keluarga mengenai perawatan payudara yang rutin, isapan bayi saat mengkonsumsi ASI serta sosial budaya pada masyarakat. Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong pada tanggal 11 Februari-11 Maret 2019 di bangsal Rahmah (nifas). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara kepada para tenaga medis terkait data satu tahun terakhir ibu nifas serta ibu yang mengalami ketidaklancaran ASI. Sedangkan data yang diperoleh langsung melalui responden ialah dengan melakukan wawancara pada 8 responden ibu nifas hari ke-2. Hasil wawancara dengan 5 responden terkait perasaan dan masalah apa yang muncul pasca bersalin, diperoleh hasil yaitu dari 5 responden ibu nifas, 4 diantaranya yakni primipara dan dengan tindakan operasi sectio caesaria sedangkan 1 diantaranya multipara dengan persalinan normal didapatkan data 4 diantaranya mengalami masalah pasca persalinan yaitu ketidaklancaran produksi ASI dan mengalami kecemasan sedangkan 1 orang diantaranya tidak mengalami masalah stress ataupun ASI tidak lancar. Ketidaklancaran ASI ditinjau dari adanya bendungan ASI yang terjadi pada ibu dan kurangnya pengetahuan ibu terkait masalah mengatur emosional pasca persalinan selain bendungan ASI, faktor stress seperti sikap enggan merawat bayi serta butuh bantuan orang lain menandakan
ibu
mangalami
postpartum
blues.
Sehingga
sangat
berkesinambungan masalah kelancaran produksi ASI dengan faktor psikologis ibu pasca bersalin. Sedangkan data dari hasil wawancara dengan tim medis mengenai kejadian ketidaklancaran ASI pada ibu pasca bersalin pada satu tahun terakhir yakni berjumlah 108 ibu, sedangkan data mengenai kejadian postpartum blues belum dilakukan penanganan dan pendokumentasian khusus, sehinga dengan jumlah yang cukup tinggi peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian mengenai hubungan karakteristik ibu dan kelancaran produksi ASI dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas.
STIKES Muhammadiyah Gombong
6
B. Rumusan Masalah Perbedaan karakteristik setiap ibu nifas seperti faktor kurangnya pengetahuan akibat tingkat pendidikan menghasilkan adaptasi negative pasca persalinan. kejadian postpartum blues sering muncul dikalangan masyarakat khususnya ibu nifas, sedangkan seperti tertulis dalam teori bahwa produksi ASI sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis ibu, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “seberapa besar hubungan antara karakteristik ibu dan kelancaran produksi ASI dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas” C. Tujuan 1.
Tujuan umum Untuk menganalisis hubungan antara karakteristik
ibu, kelancaran
pengeluaran ASI dan dukungan suami dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas hari -1 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui karakteristik ibu masa nifas yang meliputi (latar belakang pendidikan, paritas, usia, serta faktor ekonomi pada ibu nifas) b. Untuk mengetahui kelancaran pengeluaran ASI pada ibu masa nifas c. Untuk mengetahui kejadian postpartum blues pada ibu nifas D. Manfaat 1. Manfaat teoritis Penelitian ini dapat memberi manfaat dengan informasi baru yang dapat digunakan sebagai tinjauan atau referensi pada ilmu pengetahuan dan dikembangkan dalam ilmu praktik keperawatan khususnya imu keperawatan maternitas yang membahas mengenai karakteristik ibu nifas dan kelancaran pengeluaran ASI dengan kejadian postpartum blues. 2. Manfaat praktisi a. Bagi ibu masa nifas Dapat memberikan informasi terkait pencegahan munculnya postpartum blues, sehingga ibu mengetahui apa itu postpartum blues dan dapat meminimalisir kejadian dari postpartum blues itu sendiri
STIKES Muhammadiyah Gombong
7
b. Bagi Rumah Sakit Sebagai sumber informasi kepada petugas kesehatan agar memberikan perhatian khusus dan pelayanan yang lebih maksimal pada ibu masa nifas c. Bagi institusi Untuk menambah referensi pada penelitian selanjutnya di Rumah Sakit sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan khususnya dalam bidang keperawatan maternitas yang membahas masalah postpartum blues E. Keaslian Penelitian 1) Penelitian yang dilakukan oleh (Devi Endah Saraswati, 2018) dengan judul penelitian “faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues”, dengan metode penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini mengambil jumlah responden sekitar 30 ibu nifas, penelitian dilakukan di BPM “S” daerah Bojonegoro dengan menggunakan instrument penelitian Epidenburgh Postnatal Depressions Scale (EPDS). Hasil penelitian ialah terdapat 9 (30%) responden yang mengalami postpartum blues dengan rentang usia 20-35 tahun. Sedangkan di tinjau dari tingkat pendidikan terdapat 7 (23,3%) responden yang mengalami postpartum blues dengan kategori pendidikan terakhir SMP. Sedangkan ibu yang tidak memilki pekerjaan sangat rentan mengalami postpartum blues karena merasa tidak dihargai oleh lingkungannya. 2) Penelitian yang dilakukan oleh (Ida Suparwati, et all., 2018) dengan tema penelitian hubungan kelancaran pengeluaran ASI terhadap kejadian postpartum blues. Penelitian ini dilakukan di wilayah daerah puskesmas Trucuk II Klaten, dengan metode penelitian deskriptif analitik dan dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sample menggunakan metode purposive sampling sehingga terkumpul ada 48 responden yang terhitung dari bulan mei 2017, analisa univariate dan bivariate uji korelasi chi square. Kelancaran
pengeluaran
ASI
ibu
nifas
berjumlah
93,8%
dalam
kesimpulannya lancar, sedangkan jumlah ibu yang mengalami postpartum
STIKES Muhammadiyah Gombong
8
blues ialah sebanyak 44,2% hal ini menunjukkan terdapat hubungan antara kondisi psikologis terhadap kelancaran pengeluaran produksi ASI pada ibu nifas. 3) Penelitian yang dilakukan oleh (Rizki Amalia, 2016) dengan judul penelitian hubungan stress dengan kelancaran produksi ASI pada ibu nifas
STIKES Muhammadiyah Gombong
9
BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi 1. Konsep Dasar Masa Nifas a) Definisi Masa Nifas Masa nifas merupakan masa yang dalam dunia kesehatan disebut postpartum atau puerperium yakni, masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari Rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan dengan persalinan (Suherni, et all., 2009). Masa nifas (Puerpureum) yang berasal dari bahasa latin, dimana puer artinya bayi dan parous artinya melahirkan atau masa sesudah melahirkan, masa nifas berjalan kurang lebih selama 6 minggu. Perawatan masa nifas sangatlah penting bagi ibu serta bayinya karena dapat mengatasi komplikasi jika ada dan memberikan informasi bagaimana cara merawat bayi dengan baik dan benar serta menyesuaikan diri pasca bersalin baik dari adapatasi fisik maupun psikologis (Saleha, S., 2009). Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan diakhiri dengan pemulihan kembali organ-organ vital sama seperti sebelum terjadi kehamilan sampai persalinan (Maryunani, 2011). b) Tahapan Masa Nifas Adapun tahapan masa nifas menurut (Suherni, et all., 2009) ialah : 1) Puerperium dini : merupakan masa pemulihan atau masa nifas yakni saat seorang ibu sudah diperbolehkan berjalan-jalan, namun harus selalu diperhatikan kondisi ibu, petugas kesehatan harus selalu memantau keadaan involusi uteri pada ibu karena untuk mencegah dan berjaga-jaga akan kejadian perdarahan pada ibu nifas. Masa nifas hari pertama merupakan masa yang paling rentan dikarenakan sering terjadi pendarahan pada ibu pasca bersalin. Kondisi ini dikarenakan
kontraksi
uterus
terkadang
melemah
karena
STIKES Muhammadiyah Gombong
10
berkurangnya kadar hormone oksitosin yang disekresi oleh kelenjar hipofiseposterior, maka asuhan selama masa nifas sangat diperlukan salah satunya ialah dengan menyusui, dengan menyusui hormone oksitosin akan terangsang. 2) Puerperium intermedial : merupakan masa dimana pemulihan keseluruhan organ-organ genitalia pada ibu, masa ini berlangsung selama 6-8 minggu. 3) Remot puerperium : merupakan waktu yang diperlukan untuk pulih pada ibu masa nifas, serta untuk mengembalikan kondisi tubuh agar kembali sehat dan normal, fase ini harus diperhatikan apalagi pada ibu yang mengalami komplikasi pada masa kehamilan sampai persalinan 2. Perubahan Fisiologis Masa Nifas a) Perubahan uterus (Involusi) Proses kembalinya uterus menuju keadaan normal disebut involusi uteri. Proses tersebut dimulai ketika plasenta telah lahir sehingga otot polos pada uterus berkontraksi. Ketika sebelum proses kehamilan terjadi uterus memiliki berat 11 kali lipat sedangkan pada saat berinvolusi kira-kira menjadi 500 gram pada 7 hari pasca persalianan dan meningkat menjadi 350 gram pada 2 minggu pasca proses persalinan. Uterus akan kembali normal di dalam panggul setelah seminggu persalinan dan pada minggu ke-6 beratnya menjadi 50-60 gram (Bobak, et all., 2005). Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut involusi yakni : Tabel 1. Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut involusi Involusi
Tinggi Fundus Uterus
Berat Uterus
Bayi Lahir
setinggi pusat
1000 gr
Uri Lahir
2 jari dibawah pusat
570 gr
1 minggu
pertengahan pusat
500 gr
2 minggu
tak teraba diatas simpisis
350 gr
6 minggu
bertambah kecil
50 gr
8 minggu
sebesar normal
30 r
STIKES Muhammadiyah Gombong
11
(Suherni, Hesty Widiasih, Anita Rahmawati, 2009) b) Kontraksi uterus Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna secara langsung setelah proses persalinan.kondisi tersebut diduga karena adanya respon penurunan volume intrauterine yang sangat maksimal. Hormone oksitosin yang dilepas oleh kelenjar hipofisis memperkuat dari kontaraksi uterus tersebut selama 1 sampai 2 jam saat proses persalinan, namun keadaan tersebut dapat menurun sehingga sangat diperlukan pemantauan dan penting sekali dalam mempertahankan kondisi kontraksi uterus. Biasanya dilakukan pemberian suntik oksitosin melalui intravena intramuscular yang diberikan segera setelah plasenta lahir (Bobak, et all., 2005). c) Afterpains Pada ibu primipara, tonus uterus mengalami peningkatan sehingga fundus umumnya tetep kencang. Pada saat proses persalinan sampai kelahiran plasenta, terjadi relaksasi dan kontraksi yang periodic, kondisi tersebut sering dialami oleh semua ibu pasca bersalin, rasa nyeri yang ditimbulkan akibat relaksasi dan kontraksi yang cukup lama pada awal puerperium. Rasa nyeri akan meningkat pada kondisi bayi besar, kembar bahkan pemberian rangsangan dengan oksitosin tambahan dapat menyebabkan nyeri yang luar biaa dirasakan oleh ibu (Bobak, et all., 2005). d) Lochea Selama dua jam pertama setelah proses persalinan selesai, darah sisa-sisa persalinan tidak boleh keluar melebihi darah menstruasi umumnya. Aliran lochea harus semakin berkurang, lochea rubra terutama karena mengandung darah dan debris desidua serta debris trofoblastik. Lochea desidua ialah selaput tenar rahim dalam keadaan hamil. Aliran lochea menyembur, menjadi warna merah muda setelah 3-4 hari pasca persalinan. Setelah hari ke-10 dari kelahiran bayi lochea akan berwarna kuning hingga putih yang disebut lochea alba. Lochea alba mengandung
STIKES Muhammadiyah Gombong
12
leukosit , desidua, epitel, mucus, serum dan bakteri, biasanya lochea alba bertahan 2-6 minggu setelah bayi lahir (Bobak, et all., 2005). e) Serviks Servik menjadi lunak saat proses persalinan selesai. Selama 18 jam pasca persalinan, servik memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dimana kembali seperti bentuk semula. Muara servik akan menutup secara bertahap, pada hari ke 4-6 pasca bersalin kemungkinan dua jari masih bisa masuk ke muara servik. Pada akhir minggu ke-2 muara serviks eksterna tidak akan berbentuk lingkaran seperti sebelum melahirkan (Bobak, et all., 2005). f) Vagina dan perineum Salah satu akibat dari penurunan hormone estrogen pasca partum ialah dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae, vagina yang awalnya menegang saat proses bersalin akan kembali ke bentuk semula pada 6-8 minggu setelah kelahiran bayi. Penebalan mukosa vagina berhubungan dengan pemulihan fungsi ovarium, kekurangan hormone estrogen menyebabkan penurunan jumlah pelumasan pada vagina dan penipisan mukosa vagina (Bobak, et all,. 2005). g) Sistem endokrin 1. Hormone plasenta Kadar estrogen dan progesterone menurun secara drastis setelah plasenta lahir, kadar rendah hormone tersebut mencapai 1 minggu pasca
persalinan.
Penurunan
kadar
hormone
estrogen
dan
progesterone berdampak pada pengeluaran ASI dimana bahwa telah diketahui fungsi utama dari hormone tersebut ialah merangsang kontraksi uterus dan pengeluaran hormone oksitosin, sehingga jika hormone progesterone dan estrogen menurun akan berdampak pada proses pemulihan uterus dan proses laktasi pada bayi (Bobak, et all., 2005).
STIKES Muhammadiyah Gombong
13
2. Hormone hipofise dan fungsi ovarium Pada wanita tidak menyusui terjadi ovulasi dini yakni dalam 27 hari pasca persaliann dengan waktu rata-rata 70-75 hari. Sedangkan pada wanita menyusui rentan waktu terjadinya ovulasi sekitar 190 hari (Bobak, et all., 2005). 3. Sistem urinarius Organ-organ seperti pelvik, ginjal serta saluran kencing dipengaruhi oleh sistem kerja hormone progesterone yang mengalami dilatasi dan statis urine yang berhubungan dengan resiko infeksi. Mekanisme tubuh untuk mengurangi timbunan cairan berlebih selama haml ialah dengan diaferensis dan diuresis. Trauma jalan lahir, efek anastesi pada proses persaliann SC serta rasa takut berkemih dapat mengakibatkan perdarahan dan menghambat kontraksi uterus (Suherni, et all., 2009). 4. Sistem kardiovaskuler Penurunan curah jantung yang sangat signifikan dapat dilihat pada saat proses persalinan kala tiga yakni ketika volume uterus dikeluarkan. Penurunan terjadi beberapa hari pertama pasca persalianan dan akan kembali normal di akhir minggu ke-3 postpartum (Suherni,et all., 2009). 5. Sistem hematologic Pada sistem hematologic kemungkinan akan terjadi peningkatan sel darah putih (Leukosit), peningkatan sel darah putih berksar antara 25.000-30.000 yang merupakan tanda gejala dari adanya infeksi pada persalinan dengan komplikasi. Kejadian tersebut dapat meningkat pada awal masa nifas yang bersamaan dengan meningkatnya tekanan darah serta volume plasma sel darah merah. Hematokrit yang menjadi kandungan sel darah mengalami penurunan sekitar 2,00% atau lebih. Total kehilangan darah pada saat persalinan ialah berkisar antara 500-800 ml pada minggu pertama postpartum serta pada saat
STIKES Muhammadiyah Gombong
14
masa nifas terjadi kehilangan volume darah sekitar 500 ml (Suherni,et all., 2009). 6. Payudara Selama kehamilan, hormone estrogen dan progesterone menginduksi (membangkitkan) perkembangan alveolus dan duktus laktiferus di dalam kelenjar mammae (payudara), selain itu bertugas sebagai perangsang produksi kolostrum yang sangat bermanfaat bagi bayi. Namun saat bayi sudah dilahirkan maka terjadi penurunan kadar estrogen serta progesterone yang sangat drastis, penurunan kadar hormone estrogen dan progesterone tersebut memicu naiknya kadar prolaktin.
Hormone
prolaktin
memicu
produksi
ASI pasca
persalinan, sehingga sanga tepat untuk memberikan nutrisi maksimal pada bayi, namun setelah beberapa hari pasca bersalin keadaan emosi ibu dapat mempengaruhi fisiologi pelepasan ASI. Sebagai contoh rasa letih dan kelelahan, rasa takut dan cemas berlebih terhadap kedaan dirinya dan bayi, malu atau dengan kata lain kondisi stress pasca persalinana pada seorang ibu, terutama pada ibu primipara sehingga dapat menghambat produksi ASI (Suherni, et all., 2009). 3. Perubahan Psikologis Masa Nifas Menurut (Bahiyatun, 2009), adaptasi psikologis pada periode post partum dapat mengakibatkan stress emosional terhadap ibu terutama ibu baru (primipara), bahkan menjadi penyulit apabila terjadi perubahan fisik yang sangat hebat. Faktor-faktor yang mempengaruhi suksesnya masa transisi dari sebelum mempunyai peran baru ke masa menjadi orang tua pada masa postpartum ialah : a) Respon dan dukungan dari keluarga dan teman b) Hubungan antara pengalaman melahirkan sebelumnya c) Pengaruh budaya Proses adaptasi masing-masing individu berbeda, pada awal kehamilan ibu masih bisa beradapatasi menerima bayi yang dikandungnya sebagai bagian dari dirinya. Perasaan seperti gembira, khawatir dan cemas berlebih terjadi
STIKES Muhammadiyah Gombong
15
pada dirinya yang memiliki peran tambahan didalam hidupnya setelah melahirkan seorang anak. Seorang wanita yang berawal mula menjadi seorang anak, kini menjadi istri dan sudah melahirkan bayi, proses adapatasi dalam hal ini memerlukan waktu untuk bisa menguasai perasaan dan pikirannya. Semakin lama akan timbul rasa memiliki pada bayinya, ibu akan mulai berpikir mengenai kesehatan bayinya. Perubahan peran seorang ibu memerlukan adaptasi yang harus dijalani. Tanggung jawab bertambah dengan hadirnya seorang bayi yang baru lahir. Dorongan serta perhatian terutama dukungan suami sangat berpengaruh positif dalam hal ini. Dalam menjalani adaptasi setelah persalinan, ibu akan mengalami fase-fase sebagai berikut (Suherni, at al., 2009) : a) Fase taking in Fase taking in yaitu fase hari ke 1-2 pasca persalinan. Pada fase ini ibu masih bergantung pada orang lain, ibu merasa cemas dan perhatian selalu tertuju pada kondisi fisik yang berubah dan rasa nyeri pasca bersalin serta adanya perasaan cemas berlebih tidak mampu merawat bayi dengan mandiri. Nafsu makan seorang ibu biasanya mengalami peningkatan sehingga sangat dibutuhkan pemberian nutris yang kaya akan protein, vitamin mineral serta zat besi guna untuk mengembalikan stamina ibu kea rah normal kembali. Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu pada fase ini seperti rasa mules, nyeri daerah jahitan, kurang tidur serta keletihan merupakan suatu yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut sangat mendukung untuk diberikan peluang istirahat yang cukup. Kehadiran suami ataupun keluarga sangat dibutuhkan pada fase ini terutam pada ibu baru yang pertama kali melakukan persalinan (prmipara). b) Fase taking hold Fase taking hold yaitu periode adapatasi yang berlangsung antara 3-10 hari pasca persalinan. Pada fase ini, ibu mempuyai perasaan khawatir berlebih serta cemas dikarenakan rasa ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya terhadap bayinya. Pada fase ini ibu mudah
STIKES Muhammadiyah Gombong
16
tersinggung sehingga dalam berkomunikasi harus berhati-hati. Dukungan moril sangat diperlukan baik dari keluarga sahabat bahkan terutama dukungan suami serta perhatian semaksimal mungkin. c) Fase letting go Pada fase ini ibu sudah bisa menerima tanggung jawabnya dan menjalankan perannya sebagai orang tua baru. Fase ini berlangsung antara 10-14 hari pasca bersalin. Ibu sudah mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Ibu memahami bahwa setia bayi butuh untuk disusui sehingga siap terjaga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. Ibu akan lebih percaya diri dalam menjalani peran par sebagai orang tua pada fase ini. Pendidikan kesehatan yang diberikan sangat bermanfaat bagi ibu pada fae tersebut. Dukunga suami dan keluarga terdekat masih terus diperlukan ibu, suami ataupun keluarga terdekat dapat membantu ibu dalam merawat bayi atau pekerjaan rumah tangga sehingga ibu tidak terlalu terbebani. Istirahat yang cukup sangat diperlukan ibu dalam hal ini agar mendapatkan kondisi fisik yang sehat untuk merawat bayinya dengan baik. B. Karakteristik Ibu Karakteristik ibu masa nifas ditinjau dari masalah psikososial, usia, paritas serta pengetahuan atau latar belakang pendidikan ibu yaitu : 1) Sosial ekonomi Kondisi social ekonomi seringkali memicu timbulnya permasalahan dalam hal kehamilan dan persalinan, seorang ibu yang menjalani proses kehamilan sampai dengan persalinan dengan latar belakang keluarga yang mampu dari segi finansial hampir tidak merasakan beban keuangan, namun keluarga yang tidak mampu membiayai sejakproses kehamilan sampai persalinan akan sangat berpengaruh pada kondisi psikologis ibu pasca persalinan (Bobak, et all., 2005). 2) Pekerjaan Pekerjaan merupakan suatu bentuk usaha yang dapat menentukan kelanjutan hidup sesorang. Dengan pekerjaan seseorang dapat dinilai dari segi social
STIKES Muhammadiyah Gombong
17
ekonomi karena dari bekerja segala kebuuhan akan terpenuhi. Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi kemampuan ekonominya, untuk itu bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap individu, sebab dalam bekerja mengandung dua segi kepuasaan yakni terpenuhinya kebutuhan hidup dan kebutuhan jasmani (Nursalam, 2003). 3) Pendidikan Pendidikan sangatlah penting bagi setiap individu. Dengan pendidikan yang maksimal akan menjadikan seseorang lebih bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Selian itu tingkat pendidikan masing-masing setiap individu akan mempengaruhi kemajuan sebuah Negara dan menjadi suatu kebanggaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yand dapat menunjang kesehatan sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup. Menrut (Notoadmojo, 2003) pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang serta dalam hal memotivasi dalam berperan serta dalam pembangunan. Pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kana semakin mudah menerima infromasi. 4) Umur Usia adalah suatu yang dapat terhitung dimulai sejak kelahiran hingga kembali ke tahun kelahiran dan menjadi terulang-ulang setiap tahun (Nursalam, 2003). Semakin cukup umur maka tingkat kematangan seseorang dalam berfikir dan memutuskan suatu pendapat semakin bagus, dari segi kepercayaan dan pandangan masyarakat lebih mempercayai seseorang yang sudah beranjak dewasa dari yang masih uasia muda, hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak pengalaman seseorang dewasa daripada yang belum tinggi tingkat kedewasaanya bak dilihat dari usia maupun perilaku (Huclok, 2008). 5) Paritas Paritas ialah jumlah anak yang telah di kandung sampai melahirkan baik yang hidup maupun meninggal. Melahirkan atau paritas lebih dari empat kali beresiko mengalami pendarahan pada saat persalinan, komplikasi , kesakitas
STIKES Muhammadiyah Gombong
18
pada ibu serta kematian pada bayi maupun ibu (Depkes RI, 2008). Menurut (Sastrawinata, 2004) paritas dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : a. Primipara ialah seorang wanita yang telah melahirkan sebanyak satu kali dan melahirkan seorang bayi hidup selamat sampai dunia b. Multipara ialah kelahiran bayi dari seornag wanita sebanyak dua kali atau lebih c. Grande multiparitas ialah kelahiran seorang bayi hidup selama lebih 5 kali persalinan oleh seorang wanita paritas merupakan salah satu faktor resiko komplikasi obstetric pada wanita hamil. Seorang wanita yang memiliki paritas lebih dari 5 kali akan cenderung beresiko mengalami plasenta previa, dimana plasenta previa ialah melepsnya plasenta dari sekat pada uterus sehingga menutupi jalan lahir pada saat proses persalinan, sehingga menganggu pertumbuhan endometrium (Manuaba, 2008). Ibu yang baru pertama kali melakukan persalinan sangat termotivasi akan hal tersebut sehingga harus siap dan sigap dalam mempertahankan kehamilannya dikarenakan belum banyak pengalaman disbanding ibu multipara (Winkjosastro, 2005). C. Air Susu Ibu (ASI) 1) Definisi ASI ASI (Air Susu Ibu) adalah makanan terbaik dan alamiah yang diperuntukkan pada bayi baru lahir sebagi nutrisi utama dan yang paling penting bagi tumbuh kembang bayi. Praktek pemberian ASI di Negara berkembang berhasil menyelamatkan 1,5 juta bayi petahun, atas dasar tersebut WHO merekomendasikan pemberian ASI sampai bayi berusia 4 sampai 5 bulan (Depkes RI, 2014). 2) Proses terbentuknya ASI dipengaruhi 2 reflek yaitu : a. Reflek prolaktin Rangsangan isapan bayi melalui serabut saraf pada kelenjar ASI yang akan memicu hipofises anterior untuk mengeluarkan hormone prolaktin kedalam sirkulasi darah. Hormone prolaktin akan memicu sel kelenjar
STIKES Muhammadiyah Gombong
19
untuk sekresi ASI sehingga semakin sering bayi menghisap akan semakin banyak produksi ASI. b. Reflek aliran (Let Down Reflek) Reflek aliran atau Let Down Reflek adalah pancaran ASI dari payudara seorang ibu masa nifas karena dipengaruhi oleh hormone oksitosin yang disekresi oleh kelenjar hipofise yang dirangsang oleh isapan bayi yang membuat kontraksi otot area payudara (Depkes RI, 2005). 3) Kelancaran ASI ibu nifas Selama kehamilan, hormone estrogen dan progesterone menginduksi (membangkitkan) perkembangan alveolus dan duktus laktiferus di dalam mammae (payudara), di samping menstimulasi (merangsang) produksi kolostrum. Namun setelah bayi dilahirkan terjadi penurunan kadar hormone estrogen dan progesterone secara tajam, penurunan kadar estrogen tersebut memicu naiknya kadar prolaktin. Dengan munculnya kadar prolaktin maka akan memicu produksi ASI sehingga mulailah aktivitas produksi ASI berlangsung (Suherni, et all., 2009). Ketika bayi lahir dengan spontan akan diberikan nutrisi melalui ASI, ketika bayi mulai menyusu pada ibunya, aktivitas tersebut dapat menstimulasi kerja hormone prolaktin sehingga memproduksi ASI secara berkesinambungan. Sekresi ASI sendiri , berada di bawah pengaruh atau dikendalikan oleh neuro-endokrin, rangsangan sentuhan pada payudara yakni ketika bayi menhisap putting susu menyebabkan timbulnya rangsangan yang menyebabkan terjadinya produksi oksitosin. Oksitosin merangsang terjadinya kontraksi sel-sel mioepitel. Proses ini dinamakan reflex ‘let down’ atau “pelepasan ASI”. Setelah berlangsung dalam beberapa hari, emosi ibu dapat berpengaruh pada fisiologi pelepasan ASI . sebagai contoh , rasa lelah, keletihan, perasaan tidak percaya diri dalam merawat bayinya dan faktor dukungan keluarga yang kurang terutama suami dapat menjadi faktor pemicu timbulnya psikologis yang buruk pada masa nifas dan menyusui, maknanya kondisi seperti inilah yang dapat menghambat pelepasan ASI (Suherni, at al., 2009).
STIKES Muhammadiyah Gombong
20
Pada tahap awal emosi ibu tersebut sama sekali tidak berpengaruh. Baru setelah bayi menghisap ASI pada hari-hari berikutnya tidak memperlihatkan frekuensi penghisapan dibanding hari-hari sebelumnya, maka emosi ibu berpengaruh pada kondisi tersebut. Hisapan bayi pada mammae ibu dapat merangsang atau memicu pelepasan ASI dari alveolus mammae melalui duktus ke sinus laktiferus. Secara fisiologis , hisapan yang dilakukan oleh bayi pada mammae ibu akan merangsang produksi hormone oksitosin oleh kelenjar hipofisis posterior, hormone oksitosin akan memasuki darah dan mengakibatkan sel-sel khusus ini mendorong ASI keluar dari alveolus melaui duktus laktiferus menuju ke sinus laktiferus dan disanalah ASI akan disimpan. Sedangkan pada saat bayi mengkonsumsi ASI dengan menghisap mammae ibu, ASI di dalam sinus akan terdorong atau tertekan keluar menuju mulut bayi. Gerakan bersamaan antara pengeluaran ASI dengan penghisapan bayi dan sistem kerja sinus laktiferus ini dinamakan proses “let down” atau pelepasan. Pada beberapa hari pasca melahirkan dan menyusui pada akhirnya “let down” tersebut dapat dipicu tanpa rangsangan hisapan dari bayi, mendengar bayi menangis saja bahkan memikirkan kondisi bayinya saja pun dapat terjadi proses “let down” tersebut (Suherni, 1t al., 2009). 4) Hubungan kelancaran produksi ASI dengan kejadian Potspartum Blues Produksi ASI yang tidak lancar dapat berdampak pada status psikologis ibu, maupun sebaliknya jika seorang ibu masa nifas mengalami siklus pasca persalinan dengan adaptasi yan kurang baik maka akan mengalami gejala mudah menangis, mudah marah, enggan merawat bayi bahkan sampai enggan menyusui dikarenakan produksi ASI yang kurang lancar merupakan kumpulan gejala dari kejadian postpartum blues. Postpartum blues dapat dipicu oleh keletihan selama aktivitas persalinan, keletihan juga dapat menjadi pemicu emosional seorang ibu sehingga biasanya pada ibu primipara pasca persalinan yang belum memilki pengalaman tidak bisa mengontrol emosinya sehingga dampak dari hal tersebut akan terlihat pada kelancaran pengeluaran ASI. Penurunan hormone prolaktin yang dipicu oleh
STIKES Muhammadiyah Gombong
21
keadaan stress pasca bersalin akan berdampak pada produksi ASI, sehingga biasanya pada hari-hari pertama pasca persalinan produksi ASI pada ibu baik primipara ataupun multipara akan mengalami penurunan atau kesulitan dalam memproduksi ASI (Nurul, 2015). 5) Pengukuran kelancaran ASI Penyakit stress, kelelahan serta kurangnya dukungan social suami dan keluarga dapat menjadi pemicu kelancaran produksi ASI pada ibu masa nifas (Arini, 2011). Adapun pengukuran untuk kelancaran ASI sebagai berikut : a. Pengukuran dengan observasi pada bayi : 1. Menyusui bayi lebih sering Membiarkan bayi mengkonsumsi ASI selama 6 kali setiap hari dan ditambah menjadi 7 sampai 8 kali frekuensi, ketika memberikan ASI sesering mungkin akan memberikan respon positif pada tubuh ibu untuk menghasilkan produksi ASI yang maksimal (Arini, 2011). 2. Perubahan Berat Badan Bayi yang signifikan Tanda bahwa ASI benar-benar kurang ialah BB (berat badan ) bayi berkurang dari rata-rata 500 gramperbulan, berat badan lahir dalam waktu 2 minggu belum kembali (Arini, 2011). 3. Eliminasi pada bayi Frekuensi BAB dan BAK pada bayi terganggu berupa tinja bayi mengeras, kering dan berwarna hijau, frekuensi BAK berkurang (Arini, 2011). 4. Observasi melalui payudara Payudara tampak menegang, payudara tidak membesar selama kehamilan, putting susu terbenam, ibu jarang melakukan perawatan payudara selama masa hamil (Arini, 2011). b. Pengukuran kelancaran ASI dengan observasi volume ASI Pada hari-hari peratama sejak pasca persalinan frekuensi volume ASI sebanyak 100-500 ml/hari. Dan jumlahnya terus-menerus meningkat hingga minggu ke dua pasca persalinan. Bayi yang sehat mengkonsumsi 700-800 ml/hari setelah memasuki usia 6 bulan pasca kelahiran. Secara
STIKES Muhammadiyah Gombong
22
fisiologis jumah ASI ibu tidak bergantung pada besar atau kecilnya ukuran payudara melainkan berhubungan dengan faktor kejiwaan, nutrisi serta pengalaman dalam memberikan ASI, ibu dalam masa nifas tidak boleh merasa stress karena hal tersebut akan mempengaruhi kelancaran ASI (Muchtadi, 2009). 6) Manfaat pemberian ASI a. Bagi bayi Pemberian ASI pada bayi membantu bayi memulai kehidupan barunya dengan baik. ASI yang keluar pertama kali ialah dinamakan kolostrum yang mengandung antibody kuat untuk mencegah terjadinya infeksi dan membuat sistem imun bayi kuat.penting sekali pemberian ASI sejak bayi baru lahir dan kemudian setidaknya selama kurang lebih setiap 2-3 jam. ASI mengandung berbagai vitamin dan mineral yang sangat bagus untuk bayi serta mudah dicerna oleh bayi. Setelah usia 6 bulan , ASI sangat baik jika di campurkan atau di barengi dengan makanan pembantu ASI . pemberian ASI disarankan setidaknya selama satu tahun penuh usia anak (Suherni, et all., 2009). b. Bagi ibu Pemberian
ASI
membantu
ibu
memulihkan
diri
dari
proses
persalinannya. Pemberian ASI selama beberapa hari pertama membuat Rahim berkontraksi dengan cepat dan memperlambat perdarahan. Hisapan pada putting susu oleh bayi akan membantu pengeluaran hormone oksitosin untuk merangsang kontraksi Rahim agar sisa-sisa endometrium dapat dikeluarkan dari Rahim, selain itu wanita yang menyusui bayinya, akan lebih cepat dalam masa pemulihan penurunan berat badan dari berat badan yang mengalami peningkatan selama masa kehamilan (Suherni, et all., 2009). D. Konsep Dasar Postpartum Blues 1) Pengertian Postpartum blues merupakan suatu syndrome sebagai gangguan efek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan ditandai
STIKES Muhammadiyah Gombong
23
dengan gejala-gejala antara lain, mudah menangis, mudah tersinggung, cemas, mengalami perasaan labil, cenderung menyalahkan diri sendiri, kelelahan, cepat marah, mood berubah-ubah serta sangat pelupa (Hasni, at al., 2012). Postpartum blues merupakan gangguan suasana hati yang dialami selama 3 sampai 6 hari pasca melahirkan oleh ibu. Posrpartum blues sendiri sudah dikenal sejak tahun 1875 pada tulisan literature kedokteran yakni berupa disforia ringan pasca bersalin dengan bahasa lain “milk fever”, karena gejala disforia muncul bersamaan dengan proses laktasi. Pada saat ini postpartum blues atau lebih dikenal dengan postpartum blues ialah suatu syndorm efek ringan pasca melahirkan yang sering terlihat tanda dan gejala pada ibu pasca bersalin sekitar 1 minggu pertama pasca bersalin (Cunningham, 2006). 2) Jenis gangguan psikologi ibu pasca melahirkan (Nifas) a) Postpartum blues Terjadi pada hari-hari pertama pasca bersalin dengan tanda dan gejala seperti perasaan cemas berlebih terhadap kondisi bayi dan dirinya, murung, sedih, merasa tidak percaya diri, dan enggan mengurus bayi, kesulitan dalam tidur (Arfian, 2012). b) Postpartum depression Gejala yang timbul pada kasus postpartum depression ialah tidak jauh dengan postpartum blues, namun pada postpartum depression gejala tersebut sudah menjadi sifat dasar pada seorang ibu seperti contoh ibu yang memang sudah memiliki gangguan kejiwaan saat sebelum mengandung (Arfian, 2012). c) Postpartum psikosis Depresi berat yakni dengan gejala proses pikir yang dapat mengancam dan membahayakan keselamatan ibu dan bayinya sehingga memerlukan pertolongan dari tenaga professional yani psikiater dan pemberian obat penenang (Arfian, 2012).
STIKES Muhammadiyah Gombong
24
3) Faktor-faktor penyebab kasus postpartum blues faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian postpartum blues muncul biasanya tdak dapat berdiri sendiri, karena kasus postpartum blues sendiri merupakan suatu syndrome multifactorial (sekumpulan gejala depresi ringan yang terjadi dikarenakan banyak faktor), yakni : a) Faktor hormonal Berupa perubahan kadar estrogen dan progesterone, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah. Kadar estrogen menurun secara bermakna setelah proses persalinan sedangkan diketahui bahwa kadar hormone estrogen yang menurun memiliki kandungan efek supresi enzim nonadrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi (Suherni, et all., 2009). b) Faktor demografi Usia serta paritas sangat berpengaruh pada kasus postpartum blues tersebut. Ibu yang baru pertama kali melakukan persalinan baik spontan maupun sectio caesaria (ibu primipara) yang tidak mempuunyai pengalaman sama sekali dalam mengasuh anak, ibu yang berusia remaja rentan terkena postpartum blues (Bobak ,et all., 2004). c) Faktor psikologis Ketidaknyamanan fisik yang dialami wanita pasca persalinan dapat menimbulkan gangguan pada emosional seperti payudara bengkak, nyeri jahitan, rasa mules. Ketidakmampuan beradapatasi terhadap perubahan fisik dan menimbulkan emosional kompleks. Latar belakang psikososial wanita seperti pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan riwayat gangguan kejiwaan serta social ekonomi dapat mengakibatkan ancaman mengalami postpartum blues. Faktor stress yang dialami wanita pasca persalinan misalkan dari ASI yang tidak lancar , frustasi karena bayi susah tidur serta rasa bosan karena pikiran yang tidak bisa dikendalikan akan beresiko besar mengalami depresi ringan (Suherni, et all., 2009).
STIKES Muhammadiyah Gombong
25
d) Faktor social Kecukupan dukungan dari keluarga terutama suami . apakah suami mendukung kehamilan ini atau tidak, apakah keluarga terdekat dan suami dapat membantu meringankan pekerjaan rumah dan membantu mengurus anggota baru yakni bayi baru lahir tersebut, sangat berpengaruh pada kondisi social ibu (Afrianto, 2012). Dalah hal ini termasuk juga masalah kepuasan dalam pernikahan, skala untuk pengukuran aspek kepuasan dalam pernikahan yakni aspek keintiman, keselarasan, kehidupak seksual, resolusi konflik serta religiusitas (Yusnidar, 2015). 4) Gejala postpartum blues Gejala postpartum blues ringan terlihat saat hari-hari pertama pasca persalinan. Gejala ini dapat sembuh dengan sendirinya namun diperlukan penangan khusus agar tidak berlanjut ke fase depresi berikutnya yakni postpartum psikosis. Bila terlihat ada tanda pada ibu pasca bersalin seperti mencelakai diri sendiri orang lain ataupun bayinya maka perlu diperhatikan agar dapat ditangani secara cepa oleh petugas kesehatan (Afrianto, 2012). Gejala-gejala postpartum tersebut dapat ditinjau dari sikap ibu apakah terdapat perubahan sikap sejak hari ke-3 sampai hari ke -7 atau 14 pasca persalinan. Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya ialah : sering tiba-tiba menangis karena merasa tidak bahgia, penakut, penurunan nafsu makan, tidak ingin berbicara, sering berganti mood, mudah tersinggung, tidak bergairah serta sampai enggan merawat bayinya sendiri. Gejala-gejala tersebut terlihat pada saat hari-hari pertama namun jika gejala berlanjut hingga melebihi 14 hari atau satu bulan maka dapat disimpulkna bahwa itu merupakan gejala dari postpartum depresions (Murtiningsih, 2012). 5) Penilaian terhadap kasus postpartum blues dengan skala EPDS Penilaian terhadap gejala postpartum blues pada ibu nifas dapat menggunakan skala “epidenburgh postnatal deprsession scale” yang sudah teruji di berbagai Negara. Penggunaan “Epidenburgh Postnatal Depression Scale” (EPDS) tidak memerlukan bantuan tenaga kesehatan, dengan
STIKES Muhammadiyah Gombong
26
kemampuan spesialis psikiatri sudah teruji nilai validitas dan reabilitas serta sudah sangat terpercaya dalam menentukan kecenderungan depresi pada ibu pasca bersalin. Keuntungan menggunakan skala “Epidenburgh Postnatal Depression Scale” ialah lebih akurat dalam menentukan skor depresi pada ibu nifas (Rahmadani, 2007). Skala EPDS telah teruji dan digunakan di berbagai negara seperti Swedia, Australia, Indonesia serta Italia. Kuisioner EPDS dapat digunakan untuk skrinning adanya depresi pada ibu masa nifas, 10 pertanyaan kuisioner yang telah teruji akan di berikan kepada ibu sejak hari ke-3 saat masa nifas. Kuisioner mencakup pertanyaan-pertanyaan yang meliputi labilitas perasaan ibu selama pasca bersalin serta pertanyaanpertanyaan yang mencakup tanda gejala dari postpartum blues tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Beck dan Gable (2001) dalam Soep (2009) menyebutkan bahwa nilai validasi skala EPDS berkisar antara 86% dengan nilai prediksi sejumlah 78% dan nilai koefesien alfa 0,87% pada 84 orang wanita postpartum. 6) Dampak dari postpartum Blues Jika kasus postpartum blues tidak diperhatikan dan di sikapi secara baik dan benar maka akan memberikan dampak buruk bagi hubungan antara ibu dan bayi bahkan dengan anggota keluarga. Jika keadaan postpartum blues dibiarkan tanpa ada penanganan, maka dapat berlanjut menjadi depresi postpartum hingga masalah psikis atau gangguan jiwa. Depresi pasca persalinan rata-rata berlangsung dari tiga sampai enam bulan bahkan terkadang sampai delapan bulan, keadaan tersebut dapat mengancam keselamatan ibu sendiri serta anaknya (Kasdu, 2007). a. Pada ibu 1) Ibu sering menyalahkan kehamilannya 2) Menangis tanpa sebab 3) Gampang tersinggung 4) Kurang istirahat sertainsomnia berat 5) Hilang percaya diri dalam merawat bayi, merasa takut tidak bisa memberikan ASI
STIKES Muhammadiyah Gombong
27
6) Muncul perasaan malas dalam mengurus bayi 7) Frustasi hingga berupaya untuk bunuh diri (pada kasus postpartum depresi). b. Pada bayi 1) Masalah perilaku Anak-anak dari seorang ibu yang mengalami postpartum blues lebih terlihat pada perilaku dasar anak yakni anak memilki gangguan tidur, antrum, agresif serta hiperaktif 2) Perkembangan kognitif terganggu Pada masa perkembangan anak dari seorang ibu yang mengalami postpartum blues akan mengalami gangguan dalam berbicara, mengalami keterlambatan dari usia yang seharusnya sudah dapat berbicara 3) Susah dalam bersosialisasi Anak-anak dari seorang ibu yang mengalami postpartum blues biasanya sulit dalam bersosialisasi dengan orang lain, dan cenderung merasa rendah diri, lebih sering merasa cemas takut serta lebih pasif c. Pada suami Keharmonisan rumah tangga biasanya terganggu dengan adanya masalah terkait baby blues syndrome tersebut. Seorang suami yang tidak mengetahui mengenai apa itu depresi ringan pasca persalinan biasanya akan menganggap bahwa istrinya tidak becus dalam mengurus anaknya sehingga kondisi seorang ibu semakin menurun dan enggan mengurus bayinya. 7) Penatalaksanaan postpartum blues Postpartum blues merupakan masalah yang sering terabaikan dikalangan ibu pasca persalinan karena sudah dianggap hal yang lumrah terjadi. Sehingga para ahli obstetric sangat berperan penting dalam mempersiapkan para wanita postpartum dengan kemungkinan mengalami postpartum blues. Para ahli obstetric menyimpulkan bahwa penanganan yang dapat dilakukan berupa konseling ataupun mengkhususkan dalam bidang psikologi.
STIKES Muhammadiyah Gombong
28
Dukungan yang memadai dari para petugas obstetric yaitu bidan, perawat maupun dokter sangat dibutuhkan misalnya dengan memberikan konseling melalui pemberian infromasi yang adekuat selama masa kehamilan sampai menjelang proses persalinan, termasuk bahaya yang kemungkinan akan muncul dalam masa-masa tersebut (Murtiningsih, 2012). Kejadian postpartum blues juga dapat diminimalisir dengan belajar dalam menenangkan diri untuk ibu postpartum dengan menarik nafas dalam dan panjang serta melakukan meditasi ringan, istirahat ketika saat menidurkan bayi, berolahraga ringan serta mengontrol rasa cemas yang biasanya timbul (Murtiningsih, 2012). Dalam penangan ibu yang mengalami postpartum blues dibutuhkan pendekatan menyeluruh, bantuan-bantuan praktis serta pemahaman intelektual. Konseling emosional sangat berpengaruh pada kondisi awal masa postpartum. Secara garis besar dibutuhkan penanganan perilaku, emosional, intelektual, social serta psikologis secara bersama-sama dengan melibatkan dukungan suami dan keluarga (Murtiningsih, 2012).
STIKES Muhammadiyah Gombong
29
E. Kerangka Teori Ibu masa nifas
Faktor-faktor yang mempengaruhi postpartum blues antara lain:
Adapatasi pasca persalinan : 1. Fase taking in 2. Fase taking hold 3. Fase letting go
1. Perubahan hormone 2. Pekerjaan/ status ekonomi 3. Pendidikan 4. Usia 5. Paritas
koping negative
Postpartum Blues
Keletihan pasca persalinan
Emosi labil/ koping tidak efektif
stress
Penurunan hormone prolaktin yang memproduksi ASI
Kelancaran ASI
Dampak pada bayi ialah : 1. Menganggu proses boanding attachment 2. Tumbuh kembang menjadi tidak sempurna 3. Fungsi kognitif tidak berkembang dengan baik
1.
2. 3.
4. 5.
Penanganan postpartum blues: Bimbingan konseling dengan tenaga kesehata Istirahat yang cukup Dukungan suami dan keluarga yang adekuat Nutrisi yang sesuai dan memadai Strategi koping yang tepat dari ibu serta perhatian keluarga
Dampak pada ibu dapat mengakibatkan gangguan psikologis lebih serius yang disebut prikosis/ kejiwaan
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian (Sumber : Murtiningsih (2012), Bobak (2005), Bahiyatun (2009), Dahro (2012). Suherni, at al (2009), Depkes RI (2008), Jurnal Kebidanan (2015)
STIKES Muhammadiyah Gombong
30
F. Kerangka Konsep Kelancaran produksi ASI Postpartum Blues Karakteristik ibu 1. Usia 2. Paritas 3. Pendidikan 4. Status ekonomi
Faktor lain : 1. Perubahan hormonal 2. Kurangnya dukungan suami dan keluarga
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan : : variabel diteliti : tidak diteliti
G. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep dapat disimpulkan sebuah hipotesis sebagai berikut : H0
: Hipotesis Nol 1) Tidak terdapat hubungan antara usia dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 2) Tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 3) Tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 4) Tidak terdapat hubungan antara status ekonomi dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 5) Tidak terdapat hubungan antara kelancaran produksi ASI dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas
STIKES Muhammadiyah Gombong
31
Ha
: Hipotesis Alternatif 1) Terdapat hubungan antara usia dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 2) Terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 3) Terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 4) Terdapat hubungan antara status ekonomi dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas 5) Terdapat hubungan antara kelancaran produksi ASI dengan kejadian postpartum blues pada ibu nifas
STIKES Muhammadiyah Gombong
32
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode “Deskriptif Analitik” dengan pendekatan cross sectional. Dimana metode penelitian deskripstif analitik merupakan metode penelitian kuantitatif yang digunakan untuk mendapatkan data yang terjadi pada masa lampau atau saat ini, tentang keyakinan, pendapat, karakteristik, perilaku, hubungan antar variabel dan untuk menguji hipotesis tentang variabel sosiologis dan psikologis dari sample yang diambil dari populasi tertentu, tehnik pengumpulan data yakni dengan wawancara atau kuisioner yang tidak mendalam serta hasil penelitian cenderung untuk digeneralisasikan (Sugiyono, 2015). B. Populasi dan Sample Penelitian a) Populasi Populasi adalah keseluruhan element yang akan dijadikan wilayah generalisasi. Elemen populasi adalah keseluruhan subyek yang akan diukur, yang merupakan unit yang diteliti (Sugiyono, 2015). Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu yang di rawat pada satu tahun terakhir yakni sejumlah 1.287 ibu nifas di bangsal Rahma RS PKU Muhammadiyah Gombong. b) Sample Sample adalah sebagian dari jumlah dan keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap dapat mewakili seluruh populasi (Notoadmojo, 2012). Tehnik pengambilan sampling di bagi menjadi dua yakni probability sampling dan non-probability sampling, pada penelitian ini tehnik pengambilan sampling yang akan digunakan ialah tehnik non-probability sampling dengan “purposive sampling”. Purposive sampling ialah pengambilan sample yang dilakukan tidak berdasarkan strata, kelompokatau acak tetapi berdasarka pertimbangan/ tujuan tertentu. Tehnik ini dilakukan atas pertimbangan
STIKES Muhammadiyah Gombong
33
tertentu seperti waktu, biaya, tenaga, sehingga tidak dapat mengambil sample dalam jumlah besar dan jauh (Saryono, 2011). c) Tehnik Pengambilan Sample Tehnik pengambilan sample pada penelitian ini adalah menggunakan rumus Slovin (Sugiyono, 2015). Adapun rumus tersebut : Rumus Slovin : 𝑁
n = 𝑁.(𝑑)²+1
Keterangan : n
: Jumlah Sampel
N : Jumlah Populasi d² : 0,1 Dengan menggunakan rumus Slovin diatas maka dapat di jumlahkan besaran sample sebagai berikut : 𝑁
n = 𝑁.(𝑑)²+1 1.278
n = 1.278.(0,1)²+1 1.278
n = (1.278.0,01)+1 n=
1.278 13,8
n = 92 Berdasarkan hasil perhitungan maka ditentukan besaran sample pada penelitian ini ialah 92 responden, dengan kriteria sebagai berikut : 1) Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria atau karakteristik yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat dijadikan sebagai sample penelitian (Notoadmojo, 2012). Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini ialah : a. Ibu dengan gangguan produksi ASI b. Ibu yang dapat membaca dan menulis c. Ibu yang bersedia menjadi responden
STIKES Muhammadiyah Gombong
34
d. Ibu berusia produktif e. Ibu dengan kondisi fisik sehat pasca bersalin f. Ibu nifas yang dirawat di ruang Rahma RS PKU Muhammadiyah Gombong g. Ibu yang kooperatif 2) Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi merupakan suatu kondisi yang menyebabkan subyek mampu memenuhi kriteria inklusi, namun tidak mampu diikutsertakan dalam penelitian (Nursalam, 2013). Sehingga yang merupakan pengecualian karakteristik dari sample yang akan diteliti antara lain : a. Ibu dengan riwayat gangguan jiwa b. Ibu yang mengalami komplikasi pasca persalinan c. Ibu yang mengalami syok pada saat persalinan C. Lokasi dan Waktu Penelitian 1) Lokasi penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di bangsal Rahma Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong. 2) Waktu penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan April-Bulan Mei 2019. D. Variabel Penelitian 1) Variabel Independen Dalam bahasa Indonesia variabel independen sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen (variabel terikat) (Sugiyono, 2015). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas ialah karakteristik ibu dan kelancaran pengeluaran ASI pada ibu nifas hari ke-1 2) Variabel Dependen Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel dependen merupakan sebuah akibat dari variabel independen (Sugiyono, 2015). Dalam penelitian ini variabel dependen ditinjau dari kejadian postpartum blues pada ibu nifas.
STIKES Muhammadiyah Gombong
35
E. Definisi Operasional Definisi operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik suatu individu yang dapat di obserasi dari apa yang didefiniskan (Al-Ummah, 2010). Pada penelitian ini dapat dilihat dari table di bawah ini : Table 3.1 Definisi Operasional Variabel Variabel variabel Independent Usia
paritas
pendidikan
Definisi Operasional Usia hidup ibu dan usia reproduksi yang sudah produktif sejak kehamilan sampai proses persalinan meliputi: 1. Usia >20 tahun 2. Usia <50 tahun Angka total jumlah persalinan ibu dengan kriteria : 1. Primipara 2. Multipara 3. Grande multipara
latar belakang pendidikan ibu atau pendidikan terakhir yang dijalani ibu selama hidup sampai menjalani proses kehamilan dan persalinan
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
menggunakan metode wawancara dengan 2 kategori pertanyaan : 1. Usia sehat dalam reproduksi 2. Usia tidak sehat untuk reproduksi
diperoleh hasil Ordinal ukur : a. Ya skor = 1 b. Tidak skor = 0
menggunakan metode wawancara dengan 1 pertanyaan antara lain : 1. Memiliki pengalaman dalam kehamilan dan persalinan 2. Tidak ada pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan
diperoleh hasil ordinal ukur dengan lembar hasil wawancara yakni : 1. Ada pengalaman 2. Tidak ada pengalaman
melakukan wawancara dengan 1 pertanyaan tentang pendidikan terakhir ibu meliputi : 1. Sekolah Dasar 2. Sekolah Menengah Pertama 3. Sekolah Menengah Atas 4. Perguruan Tinggi : S1 atau D3
diperoleh hasil Ordinal dari keseluruhan jumlah responden yakni dengan
1.
1.Kategori pendidikan dasar : SD 2.Kategori pendidikan menengah : SMP dan SMA 3.Kategori
STIKES Muhammadiyah Gombong
36
status ekonomi/ pekerjaan
status ekonomi ditinjau dari : a. Apakah ibu sebagai wanita karier b. Berapa pendapatan ibu selama satu bulan c. Bagaimana ibu mengahadapi keadaan ekonomi dengan kelahiran seorang anak
kelancaran ASI
produksi ASI pada ibu masa nifas yang terproduksi oleh kelenjar mammae dan dibantu dengan aktivitas hormone prolaktin (Bahiyatun, 2009). Di observasi sejak hari ke-1 sampai ke-3 pasca persalinan postpartum blues merupakan suatu tanda gejala dari depresi ringan yang dialami oleh ibu pasca persalinan seperti keletihan, butuh bantuan orang
Variabel Dependent Postpartum Blues
pengukuran dilakukan dengan tehik wawancara, dengan lembar wawancara dan tertulis 5 pertanyaan : 1. Apakah ibu wanita karier 2. Berapa pendapatan ibu jika ibu sebagai wanita karier 3. Bagaimana ibu menyikapi kedaan ekonomi dengan kelahiran seorang anak
perguruan tinggi : S1 atau D3 diperoleh hasil ordinal wawancara : 1. Merasa cukup dengan status ekonomi 2. Merasa tidak cukup dengan status ekonomi
1. dilakukan observasi diperoleh dari Ordinal pada ibu nifas sejak hari hasil observasi ke-3 sampai ke-7 pasca yakni : persalinan dengan kategori : 1. ASI lancar 1. Ada atau tidaknya 2. ASI tidak bendungan ASI lancar 2. Volume ASI kurang dari 500 ml/hari 3. Isapan bayi adekuat 4. Frekuensi BAB dan BAK pada bayi lancar
dilakukan pengukuran skoring diperoleh Nominal dari hari ke-3 pasca dari 10 item persalinan dengan pertanyaan yakni : menggunakan kuisioner 1. Total skoring EPDS berjumlah 10 < 13 tidak item pertanyaan dengan mengalami total skor 13 dengan postpartum rincian sebagai berikut : blues 1. Ibu mengalami 2. Total skoring
STIKES Muhammadiyah Gombong
37
lain dalam mengurus bayinya, mudah menangis dan terkadang tidak percaya diri.
2. 3. 4. 5.
perasaan labil pasca persalinan Ibu merasa cemas tidak jelas Merasa kurang percaya diri Merasa tidak bahagia Khawatir tidak bisa menysui dengan maksimal
≥ 13 mengalami postpartum blues
F. Instrumen Penelitian Instrument penelitian merupakan alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data. Alat atau instrument yang digunakan dalam penelitian ini ialah kuisioner dalam bentuk (pertanyaan) khususnya pada variabel mengukur skala depresi pada ibu pasca bersalin. Sedangkan instrument penelitian untuk pengamatan kelancaran ASI digunakan lembar observasi. Kelebihan dari penggunaan kuisioner sebagai instrument adalah lebih menghemat waktu, tenaga, biaya dan responden tidak merasa terpaksa (Notoadmojo, 2012). Total jumlah instrument dalam penelitian ini ialah sebanyak 25 pertanyaan, 10 item pertanyaan pada skala EPDS dan 15 item pengamatan pada lembar observasi kelancaran ASI. 1) Pengukuran Skala Depresi Ibu Nifas Menggunakan Skala EPDS Penelitian ini menggunakan kuisioner EPDS yang telah teruji validitas dan reabilitas yang telah diadopsi melalui penelitian yang dilakukan oleh Dian Irawati dan Farida Yuliani (2014), Pada penelitian yang berjudul pengaruh faktor psikososial dan cara persalinan terhadap terjadinya postpartum blues pada ibu nifas, kuisioner EPDS berfungsi dalam menentukan apakah ibu masa nifas mengalami gejala-gejala yang menunjukkan postpartum blues. Edinburgh Postnatal Depression Scale merupakan skala internasional yang berfungsi dalam mendeteksi adanya depresi pada ibu pasca bersalin dengan tehnik pengumpulan data menggunakan kuisioner EPDS dengan penilaian skor > 13 menandakan bahwa ibu mengalami postpartum blues dan dengan
STIKES Muhammadiyah Gombong
38
rincian sebagai berikut, jika ibu memilih pada huruf sangat setuju (SS) maka skor 5, huruf setuju (ST) maka skor 4, huruf ragu-ragu (RG) dengan nilai skor 3 dan terakhir huruf tidak setuju (TS) dengan nilai skor 1. Total semua sub item ialah 13 dengan nilai akhir jika ≥13 maka ibu mengalami depresi ringan yaitu postpartum blues. Berikut adalah kisi-kisi kuisioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) meliputi : Tabel 3.3 Kisi-Kisi Kuisioner Skala EPDS No
Indikator
No pernyataan
Jumlah Item
1.
Tidak Terjadi Postpartum Blues
1,2
2
2.
Terjadi Postpartum Blues
3,4,5,6,7,8,9,10
8
Jumlah Seluruh Item
10
2) Lembar observasi kelancaran produksi ASI pada ibu nifas hari pertama Lembar observasi dirancang berdasarkan teori terkait pengukuran kelancaran produksi ASI pada ibu nifas. Kelancaran produksi ASI dapat ditinjau dari bayi, volume ASI serta perubahan bentuk dari putting susu ataupun payudara ibu masa nifas. Kisi-kisi lembar observasi ASI pada ibu nifas antara lain : Tabel Kisi-Kisi Lembar Observasi Kelancaran Produksi ASI Ibu Nifas No 1.
Indikator
No pernyataan
Jumlah Item
pada bayi meliputi : a. Berat badan bayi b. Frekuensi
menyusu
dalam
sehari c. Frekuensi BAB dan BAK d. Isapan bayi 2.
pada volue ASI ibu nifas
3.
pada bentuk payudara ibu nifas a. Putting masuk b. Adanya bendungan ASI 15
Jumlah Seluruh Item
STIKES Muhammadiyah Gombong
39
G. Uji Validitas dan Reabilitas Instrument 1. Uji validitas Uji validitas merupakan pengukuran dan pengamatan yang diartikan sebagai prinsip keadaan instrument dalam mengumpulkan data (Nursalam, 2008). Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini ialah angket pengukuran skala depresi pada ibu postpartum yaitu skala Edinburgh postnatal depression scale (EPDS), untuk uji validitas angket mengukur depresi pada ibu postpartum sudah teruji validitas dengan nilai signifikan (p) diperoleh 0,05 (Dian Irawati, et all., 2014). Jika diperoleh nilai signifikan (p) ialah 0,05 maka kuisioner atau angket tersebut sudah di anggap valid (Riwidikdo, 2007). Pengukuran uji validitas dalam sebuah kuisioner penelitian menggunakan rumus korelasi produk moment person yaitu : Rumus : 𝑁 Ʃ𝑋𝑌−(Ʃ𝑋)(Ʃ𝑌)
Rxy =(𝑁Ʃ𝑋 2−(Ʃ𝑋 2 ))(𝑁 Ʃ𝑦 2−(Ʃ𝑦²)
Keterangan : Ʃ : Jumlah X : Skor butir Y : Skor total N : Jumlah subyek Validitas alat diukur dengan menghitung korelasi antara masing-masing item pertanyaan dengan skor total menggunakan rumus korelasi product moment. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai product moment (Arikunto, S, 2007). Cara yang lebih mudah yakni dengan menggunakan program statistic computer yaitu mengacu pada nilai signifikasi (p) yang diperoleh. Bila nilai signifikasi (p) yang diperoleh lebih kecil daripada 0,05 maka butir yang diuji valid (Riwidikdo, 2007).
STIKES Muhammadiyah Gombong
40
2. Uji Reabilitas Instrument yang bersifat reliabel artinya intrumen yang apabila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2010). Pengujian reliabilitas instrument yang berupa kuisioner EPDS untuk mengukur tingkat depresi pada ibu postpartum telah teruji reabilitas dimana instrument telah diuji beberapa kali pada kasus postnatal dan dibandingkan dengan skala ukur yang lain lebih memiliki tingkat keabsahan data yang tinggi. Pengujian reabilitas instrument telah diuji dengan internal consistency yang mencobakan instrument satu kali saja. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dan dinyatakan dengan nilai koeefisien R = 0,784. Tehnik yang digunakan untuk menguji reabilitas yaitu alfa Cronbach (Sugiyono, 2011). Adapun rumus yang dimaksud ialah : Rumus : 2
𝑘
RII= ⟦(𝑘−1⟧ ⟦1 −
∑𝜎 𝑏 𝜎𝑡2
⟧
Keterangan : RII
: Reabilitas instrumen
K
: Banyaknya Butir Pertanyaan atau banyaknya soal
∑𝜎
2 𝑏
𝜎𝑡2
: Jumlah varians butir : Varians total
H. Tehnik Pengumpulan dan Analisa Data Pengumpulan data merupakan suatu tehnik atau proses pendekatan kepada subjek serta proses pengumpulan karakteristik yang dibutuhkan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008). Pengumpulan data dalam penelitian ini ialah terdiri dari jenis data, tehnik pengumpulan data dan cara pengumpulan data. a. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini ialah dapat dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder
STIKES Muhammadiyah Gombong
41
1) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui obyek atau subyek penelitian oleh peneliti perorangan maupun penelitian yang dilakukan oleh suatu organisasi (Riwikdido, 2010). Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui responden dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan kemudian diisi secara langsung oleh responden yang sudah menjadi bagian dari kriteria penelitian. Data primer dalam penelitian ini ialah mengenai usia, paritas, pendidikan ibu, status ekonomi dan kelancaran ASI
berhubungan dengan keadaan
psikologis ibu serta kejadian depresi ringan (Postpartum Blues) yang di alami oleh ibu masa nifas. 2) Data sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari obyek yang diteliti (Riwikdido, 2010). Data sekunder dari penelitian tersebut didapatkan melalui seluruh ibu nifas yang melakukan partus spontan maupun dengan operasi sectio caesaria di RS PKU Muhammadiyah Gombong pada bulan April. 3) Tehnik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan data primer. Adapun tahap-tahap pengumpulan data sebagai berikut : a. Peneliti menyerahkan surat izin penelitian kepada bagian diklat Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong, untuk kemudian diberikan surat izin penelitian khusus untuk ruangan tempat dilaksanakannya penelitian yaitu bangsal nifas (Rahma) b. Peneliti menyerahkan surat izin penelitian kepada kepala ruang bangsal rahma, kemudian menjelaskan tujuan dan menjelaskan apa saja yang akan dilakukan dalam penelitian c. Peneliti menentukan calon responden sesuai dengan kriteria inklusi d. Setelah peneliti mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, peneliti memberikan lembar persetujuan (inform consent) untuk dijadikan responden penelitian
STIKES Muhammadiyah Gombong
42
e. Setelah responden menandatangani lembar persutujuan sebagai responden (inform consent), peneliti menjelaskan bagaimana cara pengisian
inform
consent
dan
mempersilahkan
responden
memberikan pertanyaan jika ada dari item kuisioner yang kurang jelas. f. Sebelum memberikan kuisioner peneliti melakukan wawancara mengenai usia, latar belakang pendidikan, paritas serta bagaimana pendapat ibu mengenai status ekonomi terkait dengan proses kehamilan sampai persalinan yang dialami saat ini g. Setelah itu peneliti memberikan kuisioner, peneliti melakukan observasi langsung terhadap kelancaran pengeluaran ASI pada ibu meliputi (volume ASI, apakah terdapat bendungan ASI serta observasi pada bayi) h. Jika saat waktu observasi belum mencukupi terkait data yang akan diambil, maka peneliti sekaligus akan melakukan wawancara mengenai kelancaran produksi ASI pada ibu masa nifas di hari pertama pasca persalinan i. Waktu pengisian kuisioner kurang lebih 10 menit (±10 menit) untuk masing-masing responden. Responden menjawab seluruh item pertanyaan pada kuisioner yang telah disediakan, setelah responden menjawah
seluruh
pertanyaan
kuisioner,
peneliti
melakukan
pengecekan ulang mengenai kelengkapan kuisioner. Jika masih ada ketidaklengkapan kuisioner maka peneliti menjelaskan kembali kepada responden yang belum jelas dan dipandu untuk mengisi kuisioner kembali oleh peneliti. j. Kuisioner yang telah diisi kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti k. Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan asisten agar penelitian berlangsung lancar tanpa hambatan. Peneliti memberikan penjelasan kepada asisten untuk ikut dalam penyebaran kuisioner dan pengumpulan kuisioner.
STIKES Muhammadiyah Gombong
43
4) Tehnik Pengolahan Data a. Editing Setelah kuisioner terkumpul, selanjutnya dilakukan seleksi data yang telah terkumpul kembali. Tujuannya yaitu untuk mengetahui apabila ada kuisioner yang belum terisi dengan lengkap. b. Koding dan Skoring Merupakan kegiatan memberi kode setiap data yang diperoleh, kemudian memberi skor yang tujuannya untuk mempermudah menganalisis data (Arikunto, 2010). c. Entry data Setelah dilakukan koding dan skoring selanjutnya dilakukan entry data yakni memasukkan data yang telah diedit dan dikoding dengan fasilitas computer. Adapun program yang digunakan yaitu Microsoft Office 2010 dan program SPSS 22 d. Tabulasi data Tabulasi data yakni kegiata memasukkan data ke dalam table- table dan mengatur angka-angka yang diperoleh, sehingga dapat dihitung distribusi dan prosentasenya e. Cleaning data Tahap terakhir dalam pengolahan data yaitu cleaning data, yaitu mengoreksi data bila ditemukan penomoran yang salah atau huruf yang tidak jelas. 5) Analisa Data Analisa data yang digunakan ialah analisis univariat, dimana analisis univariat ialah menganalisis setiap variabel dari hasil penelitian untuk dijadikan hasil distributor frekuensi dan presentase tiap variabel (Notoadmojo, 2010). Analisa data meliputi : a. Analisis univariat (Analisa Deskriptif) Analisa univariat ialah merupakan cara menganalisis data secara deskriptif
dengan
menggunakan
distribusi
frekuensi.
Dengan
distribusi frekuensi dapat diketahui data dari suatu kelompok yang
STIKES Muhammadiyah Gombong
44
diamati. Dalam penelitian ini data yang akan diamati ialah usia ibu, pendidikan ibu, paritas, status ekonomi dan kelancaran produksi ASI serta kejadian postpartum blues pada ibu masa nifas yang memilki hubungan antar variabel. Setelah data didapatkan maka dilakukan perhitungan prosentase dengan rumus : Rumus : 𝐹
P = 𝑁 X 100 Keterangan : P : presentase F : frekuensi N : jumlah sample b. Analisa Bivariat (Uji Hipotesis) Analisa bivariate dilakukan setelah pengujian anlisis univariat. Analisis bivariate dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis bivariate yakni usia ibu, paritas, pendidikan ibu, kelancaran produksi ASI, status ekonomi serta kejadian Postpartum blues pada ibu masa nifas. Untuk mengetahui variabel yang menggunakan skala ordinal ataupun nominal maka dapat menggunakan uji analisa bivariate dengan rumus chi square sebagai berikut : Rumus :
𝑥2 = Ʃ
(𝑓𝑜 − 𝑓ℎ)² 𝑓ℎ
Keterangan : X² : chi square Fo : frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan sample Fh : frekuensi yang diharapkan dalam sample sebagai cerminan dan frekuensi yang diharapkan dari populasi
STIKES Muhammadiyah Gombong
45
Jika probabilitas (sig) lebih kecil dari 0,05 maka HO atau hipotesis statistic ditolak. Jika probabilitas (sig) lebih besar dari 0,05 maka Ho atau hipotesis dterima (Sugiyono, 2009). I. Penerapan Etik Menurut Hidayat (2010). Dalam melakukan penelitian khususnya jika dalam sebuah penelitian melibatkan manusia sebagai subyek penelitian, maka penelitian harus memahami hak-hak dasar manusia. 1) Prinsip penelitian a. Prinsip Manfaat Penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Prinsip ini ditegakkan dengan membebaskan dan tidak menimbulkan kekerasan pada manusia b. Prinsip Menghormati Manusia c. Prinsip Keadilan 2) Masalah Etika Penelitian a. Lembar Persetujuan (Informed Consen) Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan bukti lembar persetujuan. Tujuan adanya informed consent ialah agar responden dalam sebuah penelitian mengerti maksud dan tujuan serta mengetahui manfaat dari penelitian tersebut. b. Menggunakan Inisial (Anonymity) Menggunakan subyek penelitian dengan tidak mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya diberikan kode beruPa inisial mislanya :P1, P2, P3. c. Kerahasiaan (Confidentiality) Peneliti harus dapat menjamin kerahasiaan dalam sebuah penelitian baik itu nama maupun kondisi responden. Kerahasiaan disini meliputi identitas responden, informasi yang menyangkut responden serta informasi yang diberikan oleh responden.
STIKES Muhammadiyah Gombong
46
DAFTAR PUSTAKA Amalia , R. (2016). Hubungan Stres Dengan Kelancaran Produksi ASI Pada Ibu Menyusui Pasca Persalinan Di RSI.A Yani Surabaya . Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol.9, No.1, 12-16. Arikunto, S;. (2007). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bahiyatun. (2009). Buku Ajar Kebidanan Nifas Normal. Jakarta : Edisi 4 : Jakarta : EGC. Bobak; at, al;. (2005). Keperawatan Maternitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran : EGC. Kurniasari, Devi; Astuti, Yetti Amir;. (2015). Hubungan Antara Karakteristik Ibu, Kondisi Bayi Dan Dukungan Sosial Suami Dengan Postpartum Blues Pada Ibu Dengan Persalinan SC Di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Holistik Vol 9, No 3, Juli 2015, 115-125. Maryunani;. (2011). Asuhan Pada Ibu Dalam Masa Nifas. Jakarta: Trans Info Media. Miyansaski, Andrew Umaya; Misrawati; Sabrian, Febriana;. (2014). Perbandingan Kejadian Postpartum Blues Pada Ibu Postpartum Dengan Persalinan Normal Dan Sectio Caesaria. jurnal JOM PSIK. Vol. 1. No. 2 Oktober 2014, 1-9. Ningrum, Susanti Prasetya;. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Postpartum Blues. PSYMPATHIK : Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 4, No. 2, 205-218. Notoadmojo, S;. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam;. (2013). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Oktaputrining, Dila; C, Susandi; , Suroso;. (2017). Postpatum Blues: Pentingnya Dukungan Sosial Dan Kepuasan Pernikahan Pada Ibu Primipara. Jurnal Psikodemensia, Vol. 16, No. 2, 151-157. Prof. Dr, Sugiyono;. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Alfabeta. Qiftiyah, M. (2018). Gambaran Faktor-Faktor(Dukungan Keluarga, Pengetahuan, Status Kehamilan Dan Jenis Persalinan) Yang Melatarbelakangi Kejadian Post Partum Blues Pada Ibu Nifas Hari Ke-7 (Di Polindes Doa Ibu Gesikharjo dan Polindes Keradenan Palang). Jurnal kebidanan Universitas Islam Lamongan Vol. 10 No. 2, Desember, 9-19. Saleha, S;. (2009). Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika.
STIKES Muhammadiyah Gombong
47
Saraswati, Devi Endah;. (2018). Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Postpartum Blues. Journal Of Health Sciences, Vol. 11, No. 2, Agustus 2018, 130-139. Saryono, S. Kep. M. Kes;. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: MITRA CENDEKIA Press, Jogyakarta Jl. Sadewa No.1 Sorowajan Baru Yogyakarta. Suherni, S.Pd, APP, M. Kes; Hesty Widyasih, SST; Anita Rahmawati, SSiT;. (2009). Perawatan Masa Nifas (cetakan ke IV: Oktober 2009 ed.). (M. drg. Ircham Machfoedz, Ed.) Yogyakarta: Penerbit Fitramaya. Tindaon, Rotua Lenawati; Anggeria, Elis;. (2018). Efektivitas Konseling Terhadap Post Partum Blues Pada Ibu Primipara. Jurnal JUMANTIK Vol. 3 No. 2, 115-126. Wijayanti, Krisdiana; Wijayanti, Feri Anita; Nuriyanti, Erni;. (2013). Gambaran FaktorFaktor Risiko Postpartum Blues Di Wilayah Kerja Puskesmas Blora. Jurnal Kebidanan. Vol. 2, No.5 Oktober 2013, 57-64.
STIKES Muhammadiyah Gombong