BAB III KEOTENTIKAN BUKTI-BUKTI ELEKTRONIK
A. Kedudukan Saksi Dalam Kitab UU NO. 8 Tahun 1981 (KUHAP) Di dalam Pasal 184 Ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan beberapa alat bukti yang sah. Yaitu : 1. Keterangan Saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Pentunjuk; 5. Keterangan Terdakwa.14 Ketentuan tersebut di atas masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat-alat bukti di Negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontental. Akan tetapi berbeda dengan penyusunan alat-alat bukti di Negaranegara common law seperti Amerika Serikat yaitu lain daripada yang tercantum dalam KUHAP kita. Alat-alat bukti menurut Criminal Procedure Law Amerika Serikat yang disebut from of evidence terdiri dari :
14
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Semrang :Aneka ilmu), Pasal 184.
23
1. Real Evidence (bukti dokumen); 2. Dokumentary evidence (bukti kesaksian); dan 3. Testimonial evidence (bukti kesksian); dan 4. Judikal notice (pengamatan hakim).15 Jadi jelaslah perbedaan sistematika alat-alat bukti berdasarkan KUHAP dengan alat-alat bukti yang di atur dalam criminal procedure law, dimana didalam KUHP kedudukan seorang saksi itu menempati urutan awal. Tetapi berbeda dengan aturan criminal procedure law yang menempatkan bukti saksi urutan yang ketiga setelah bukti sesungguhnya dan bukti dokumen. Dan tidak disebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Melainkan kesaksian ahli digabungkan dengan bukti kesaksian. Yang lain dari pada yang tercantum dalam KUHP kita, ialah real evidence yang berupa objek materil yang meliputi tapi tidak terbatas atas benda-benda yang berwujud. Diantaranya; pisau, perhiasan, senjata api, dan lain-lain. Real evidence ini biasa disebut bukti yang berbicara untuk diri sendiri (speaker for it self). Akan tetapi real evidence ini tidak termasuk kedalam alatbukti menurut hukum acara pidana kita (sama dengan belanda), yang bisa disebut “barang bukti”. Dan barang bukti yang berupa objek materiil ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi dan terdakwa.
15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), Hal. 254.
24
1. Ketentuan-Ketentuan Bagi Seorang Saksi Ketentuan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti yang sah diatur dalam KUHP adalah ketentuan normatif yang bersifat legalistik guna mencapai kepastian hukum. Dan pada umumnya semua orang dapat dan bisa menjadi saksi kecuali yang dikecualikan dalam KUHAP pasal 186, yaitu; a. Keluarga sederhana atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau sudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan,dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Dan disamping karena hubungan kekeluargaan, adapula seorang saksi yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu ditentukan dalam Pasal 170 KUHAP meliputi mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia. Maka mereka yang tersebut diatas dapat diminta dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi. Ditambahkan dalam Pasal 171 KUHAP menyebutkan kekecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah, ialah :
25
1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah menikah. 2) Orang yang sakit ingatan dan sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Di dalam hukum pembuktian dan yang diatur dalam KUHAP di berbagai Pasal ada tiga kewajiban seorang saksi, yaitu : a) Kewajiban untuk mengahadap sendiri di muka persidangan pengadilan. b) Kewajiban untuk disumpah c) Kewajiban untuk memberikan keterangan tentang apa yang dia lihat sendiri, didengar sendiri, atau dialami sendiri. Maka penggunaan teleconference sesuai dengan perkembangan teknologi dalam perkara pidana, sekalipun tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan saksi yang memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah, namun bila dihubungkan dengan ketentuan dalam hukum acara pidana yang menyebutkan adanya keterangan “tambahan alat bukti yang sah lain” bagi keterangan saksi yang tidak disumpah. Maka teleconference dapat digunakan paling tidak untuk “menguatkan keyakinan hakim” dan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi tersebut saling bersesuain dengan alat bukti yang sah lainnya yang teah ada dan memenuhi batas minimum dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang, yaitu dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah serta ditambah dengan keyakinan hakim. Dan kedepan agar penggunan media teleconference sebagai alat bantu seorang saksi yang hendak memberikan keterangannya, hendaknya dilakukan
26
dengan memenuhi syarat aman menggunakan media teleconference yaitu dilakukan dengan : 1. Penggunaan teleconference harus dilakukan di kantor perwakilan Indonesia yang ada di luar negeri atau Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). 2. Dan mereka yang memberikan kesaksian di luar negeri melalui teleconference harus didampingi JPU (Jaksa Penuntut Umum) dan pengacara terdakwa.
2. Isi dan Nilai Keterangan Seorang Saksi “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di dalam sidang pengadilan”, Pasal 185 Ayat 1 KUHAP. Artinya segala sesuatu yang diucapkan oleh saksi di dalam persidangan merupakan alat bukti bagi hakim untuk menyandarkan keputusannya. Dikatakan pula; “dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperolah dari orang lain atau testimonium dengan auditu”. Dengan demikian bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah, karena saksi ialah apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri suatu tindak pidana. Maka sekali lagi keterangan seorang saksi yang diperoleh dari pihak lain secara tidak langsung atau kesaksian teetimonium dengan auditu dilarang dan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Bahkan dalam menilai kebenaran atas keteranga seorang saksi atas pengetahuannya dalam memberi
27
keterangan, juga cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu sipercaya. 16 Akan tetaoi jika memang keadan yang mengharuskan adanya keterangan seorang saksi secara testimonium di auditu dan tidak ada lagi saksi ahli, maka keterangan tersebut tetap didengarkan hakim sebagai bahan pengamatan bagi hakim untuk mencari petunjuk. Dan petunjuk adalah; perbuatan, kejadian atau keadaan, karena penyesuaiannya, hak antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya. Dan petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari; Keterangan saksi, Surat dan Keterangan terdakwa.
B. Keotentikan Bukti-Bukti Elektronik Kehidupan manusia tentunya tidak terlepas dari interaksi sesame manusia itu sendiri, dan interaksi tersebut berupa hubungan yang bersifat pergaulan dalam bermasyarakat. Karena itu Aristoteles dalam ajarannya menyebut manusia sebagai Zoom Politicon, yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam berkumpul sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat.17 Dan manusia sering kali berusaha untuk mewujudkan segala macam cita dan harapannya, dan hal itu tidak terlepas dari hubungan antar manusia yang dengan 16
Indonesia, Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Semarang :Aneka Ilmu), Pasal 185 Ayat 6 Huruf c-d. 17 Kansil dan Christine, Pengantar ilmu hukum, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), Hal. 03
28
hubungan tersebut dan dapat merealisasikan cita-cita antar keduanya. Maka tidak jarang dalam kehidupan manusia senantiasa membuat hubungan hukum, baik berupa perjanjian, pernyataan, dan lain-lain antara kedua pihak atau lebih yang kemudian terbuang dalam sebuah kertas. 1. Surat/Dokumen Kertas Kertas senantiasa dianggap sebagai media yang terpercaya untuk menyimpan barang bukti (evidence) yang dianggap sah, dan sering kali pula dianggap sebagai media yang terpercaya untuk digunakan sebagai barang bukti yang sah (legal). Sementara itu disisi yang lain, yang sering dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, maka munculah teknologi pesan elektronik (elektronik message technologi) yang diciptakan untuk pengganti serta membatasi terjadinya pertukaran dokumen-dokumen kertas. Ada tiga jenis umum dokumen yang dapat digunakan sebagai barang bukti di Pengadilan, khususnya sebagai bukti telah terjadinya transaksi elektronik. Ialah: Satu, dokumen yang berisikan pesan elektronik. Dua, dokumen hasil audit komputer, seperti misalnya jurnal yang menyebutkan waktu kapan komputer yang bersangkutan mengeluarkan suatu pesan; dan Tiga, laporan statistik atau laporan hasil analisis yang diperoleh dari hasil survey suatu computer terhadap sejumlah data yang disimpan didalam komputer. Di dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP),
yang
didalamnya
menyebutkan beberapa alat bukti yang syah. Yaitu: Keterangan Saksi,
29
Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa.18 Dan tentunya surat yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut ialah berupa surat yang tertuang dalam kertas, karena dokumen/surat elektronik itu muncul jauh setelah Undang-undang tersebut disyahkan atau dimana surat/dokumen elektronik belum muncul ketika Undang-undang itu dibuat. Surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.19 Dari devinisi tersebut bahwa hakekat alat bukti surat ialah suatu pikiran/klausul sebuah perjanjian/lainnya yang tidak disebutkan keharusan tertuang didalam sebuah kertas. Akan tetapi dengan kemunculan dokumen elektronik tersebut, tentunya pada hakekatnya merupakan kategori surat yang pada intinya dapat dan bisa menjadi alat bukti yang syah dalam persidangan.
2. Surat/Dokumen Elektronik Berdasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik (ITE), dalam Pasal 5 Ayat 1 berbunyi; “Informasi Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Namun Undang-undang ini membatasi tentang surat/dokumen elektronik, bahwa ada pengecualian dimana surat harus dan mesti berupa kertas. Dalam
18
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Semarang : Aneka Ilmu), Pasal 184. 19 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika Tahun 2001, Hal. 271.
30
Pasal 5 Ayat 4 disebutkan; “Ketentuan mengenai dan/atau
Dokumen
Informasi
Elektronik
Elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak
berlaku untuk; a. surat yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk tertulis (penjelasan Pasal, Surat yang menurut UU harus dibuat dalam bantuk tertulis (penjelasan Pasal, Surat yang menurut UU harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, dan syarat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi Negara). b. surat beserta dokumennya yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.20 Umumnya untuk bisa diterima sebagai alat bukti atau untuk bisa dipercaya didalam persidangan, maka suatu pesan atau dokumen yang berisi pesan haruslah otentik. Artinya, pesan dan dokumen yang berisi pesan tersebut harus terlihat sama seperti telah diklaim atau dikatakan oleh pihak yang mengajukan sebagai alat bukti. Dan keontetikan suatu pesan atau dokumen ini dapat ditunjukan dengan cara apapun yang dianggap logis dan umum. Misalnya, keontetikan pesan elektronik atau dokumen computer yang lain dapat dibuktikan melalui kesaksian para saksi tentang keadaan-keadaan diseputar pesan tersebut, karakteristik-karakteristik
internal
pesan
itu
sendiri,
atau
dengan
mempertunjukan (demonstrated) proses pembuatan pesan tersebut atau dokumen. Selain itu, pesan atau dokumen yang dibuat dan disajikan secara 20
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Electronic, (Yogyakarta : Gradien Mediatama 2008)
31
sitematis kemungkinan besar akan dianggap sebagai pesan atau dokumen yang otentik. Maka kiranya agar isi pesan atau dokumen elektronik dapat diterima sebagai alat bukti, atau untuk membuktikan keotentikan isi pesan atau dokumen elektronik tersebut dihadapan para penguji pakta (trier of fact), maka yang mengajukan alat bukti tersebut harus dapat membuktikan; asal mula, yaitu siapa atau apa yang mengirim. Dan integritas dokumen tersebut, yaitu siapa atau apa yang mengirim. Dan integritas dokumen tersebut, yaitu apakah isi pesan tersebut bebas dari kesalahan atau rekayasa. Dan keotentikan suatu pesan elektronik serta dokumen-dokumen computer yang lain, dapat ditegakan melalui keterangan saksi yang memberikan keterangan harus bisa mendeskripsikan halhal atau keadaan-keadaan disekitar pembuatan pesan dokumen tersebut, serta harus dapat menjelaskan mata rantai penyimpanan yang bersangkutan. Biasanya saksi yang dimaksud tidak harus memiliki pengetahuan pribadi tentang informasi yang ada di dalam dokumen tersebut, dan tidak harus terlibat dan berpartisipasi langsung dalam proses pembuatan dokumen itu. Serta saksi tersebut harus dapat menjelaskan tentang sistem komunikasi yang bersangkutan, fungsi-fungsi umum sistem tersebut, harus dapat mendeskripsikan prosedur penataan dan penyimpanan dokumen itu. Berkaitan dengan bukti-bukti dokumen elektronik, maka biasanya ada dua teori pengamatan yang akan dan oleh hakim jalani terhadap keotentikan bukti elektronik tersebut. Yaitu;
32
a. Hearsey Rule Pada umumnya, hearsey tidak dapat diterima sebagai alat bukti didalam persidangan, namun ada beberapa pengecualian dalam aturan hearsey rule ini. Pertama, komunikasi yang dilakukan secara sah dan legal tidak termasuk dalam kategori hearsey apabila komunikasi elektronik tersebut dilakukam secara legal, dan jika dipergunakan atau diajukan sebagai alat bukti dalam persidangan untuk menunjukan bahwa suatu dokumen memang benar telah dikirim. Kedua, transaksi-transaksi elektronik yang dilakukan dengan menggunakan sarana-sarana otomatis dapat mengurangi sebagian atau keseluruhan interfensi manusia dalam suatu proses transaksi, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan (error) selama berlangsunya proses komunikasi dan proses dimasukannya data-data tentang komunikasi tersebut kedalam komputer akan dapat dikurangi. Hearsey, disini diartikan sebagai pernyataan yang diberikan di luar persidangan, yang diajukan sebagai alat bukti di dalam persidangan dengan tujuan untuk membuktikan bahwa hal-hal yang disebutkan di dalam pernyataan tersebut adalah benar adanya. Dan tujuan dikembangkannya aturan hearsey rule adalah untuk meningkatkan reabilitas dan kelengkapan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Jadi, suatu pesan atau dokeumen yang memiliki kekuatan hukum (legal effect) tidak dikategoeikan sebagai hearsey apabila pesan atau dokumen tersebut diajukan sebagai alat
33
bukti dalam persidangan dengan tujuan untuk menunjukan bahwa pesan atau dokumen tersebut memang memiliki kekuatan hukum.
b. Best Evidence Rule Aturan ini lebih menghendaki digunakannya dokumen tertulis asli sebagai alat bukti daripada menggunakan alat bukti sekunder dari dokumen tertulis tersebut. Namun demikian aturan ini juga memiliki beberapa pengecualian, sehingga alat bukti sekunder kadangkala dapat diterima sebagai barang bukti, yaitu apabila memang hal tersebut memang harus dilakukan. Namun, sedikit sekali putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan alaty bukti computer dibuat berdasarkan analisis best evidence rule. Namun demikian, aturan ini diaplikasikan terhadap dokumen-dokumen electronic, serta terhadap pengalihan (transfer) dokumen electronic tersebut dasri satu media ke media yang lain. Tujuan dikembangkannya aturan ini adalah juga untuk membatasi kemungkinan terjadinya kesalahan (error) dan pelanggaran (fraud). Selain itu, aturan ini juga dimaksud untuk membatasi kemungkinan diajukannya alat bukti yang menyesatkan dalam bentuk kutipan atau ringkasan dokumen tertulis. Dan aturan ini juga seringkali diaplikasikan terhadap informasiinformasi yang dituangkan ke media selain kertas, dengan penekanan bahwa isi informasi itu sendirilah yang menjadi permasalahan utama.
34
35