BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sectio Caesarean
2.1.1 Definisi Sectio caesar (SC) adalah proses pengeluaran janin melalui sayatan pada dinding perut (laparotomi) dan sayatan pada dinding uterus (histerektomi).
(1) (2) (3)
Secara umum, SC dapat dibedakan menjadi SC emergensi dan SC elektif.
(4)
SC
elektif merupakan prosedur persalinan secara bedah yang di rencanakan sebelumnya, tanpa adanya labour.
(17)
Sedangkan SC emergensi merupakan prosedur persalinan
secara bedah tanpa perencanaan sebelumnya, dikarenakan kondisi gawat darurat yang terjadi akibat komplikasi selama labour, sehingga membutuhkan intervensi bedah untuk tindakan life-saving. (17) (18)
2.1.2 Teknik Operasi SC merupakan persalinan secara bedah melalui insisi perut (laparotomi) dan insisi pada uterus (histerektomi). Ada beberapa teknik operasi yang dapat dilakukan selama tindakan SC. Pada insisi abdomen, dapat dilakukan insisi vertikal yang merupakan teknik insisi pada garis pertengahan umbilikus, dimana
panjang
sayatannya disesuaikan dengan panjang janin. Teknik ini merupakan teknik insisi yang paling cepat dilakukan. (1) Selain dengan teknik insisi vertikal, ada juga teknik insisi abdomen secara transversa atau horizontal yang sering disebut sebagai insisi pfannenstiel. (3) (19) Insisi ini merupakan teknik insisi yang sangat menunjang nilai kosmetik pada wanita.
(1) (19)
Sayatan dibuat secara melintang, dan sedikit melengkung tepat di atas batas mons pubis yang melebar hingga ke lateral musculus rektus, dengan panjang sayatan disesuaikan dengan panjang janin. (1) Insisi transversa lebih unggul dibanding insisi vertikal karena dapat mengurangi insidensi hernia umbilikalis. (3) (19) Sedangkan pada insisi uterus, ada beberapa teknik yang dapat dilakukan selama tindakan SC, seperti teknik insisi klasik yang dibuat secara vertikal pada bagian atas segmen bawah uterus yang diteruskan hingga ke korpus uterus. Teknik ini sudah mulai ditinggalkan karena memiliki banyak kekurangan. Apabila insisi ini menembus 5
6 hingga ke leher rahim dan vagina, hal tersebut dapat menciderai vesica urinaria. Dan apabila insisi ini menembus hingga ke fundus uteri, resiko ruptur uteri menjadi lebih tinggi pada ibu dipersalinan berikutnya. Teknik lainnya yang dapat dilakukan pada insisi uterus adalah teknik insisi tranversal yang dibuat secara melintang pada segmen bawah uteri. Teknik insisi ini lebih sering digunakan karena komplikasi ruptur uteri akan lebih kecil dibandingkan dengan teknik insisi klasik. (1)
Gambar 2.1 Teknik insisi pada sectio caesar (20)
2.1.3 Indikasi SC Sectio caesarean dilakukan apabila persalinan melalui vagina beresiko besar terhadap feto-maternal. Beberapa indikasi tersering yang menyebabkan seseorang menjalani SC adalah prolonged labor or failure to progress (distosia), fetal dan maternal distress, kehamilan dengan resiko tinggi seperti pre-eclampsia dan henti jantung, kehamilan multiple, rupture uteri, malpresentasi (letak sungsang, letak lintang), gagal induksi dan gagal persalinan dengan instrumen, makrosomia, prolaps tali pusat, placental problems (placenta previa, abruptio placenta, dan placenta akreta), previous caesarean section (meskipun masih kontroversi). (1) (9) (21) (22)
7 2.1.4 Anestesia SC Ada beberapa anestesia yang dapat diberikan sebelum tindakan SC dilakukan. Diantaranya anestesi yang diberikan secara lokal, regional dan general. Lokal anestesia sangat umum dilakukan oleh ahli bedah. Pada anestesi lokal ini, digunakan obat-obatan dengan dosis maximum terapeutik yang ditambahkan dengan 5 mcg adrenalin setiap ml obat lokal anestesia yang diberikan. Pada teknik regional anestesia, ada 2 teknik yang dapat dilakukan yaitu teknik epidural (transmural) dan teknik subarachnoid (spinal). Di United Kingdom, regional anestesia dilakukan dengan mengkombinasikan kedua teknik yang ada, yaitu teknik epidural bersamaan dengan teknik spinal. Namun, pada negara berkembang teknik kombinasi ini sangat jarang dilakukan. Teknik ini mempunyai kelebihan masingmasing. Apabila regional anestesia dilakukan dengan teknik epidural, maka efek anestesinya panjang dan bertahan lama. Sedangkan regional anestesi dengan teknik spinal dapat menimbulkan efek anestesia yang baik pada lower segment caesarean section (LSCS). Sedangkan pada teknik general anestesia, pasien akan tertidur dan tak sadarkan diri selama dilakukannya tindakan pembedahan. Teknik ini digunakan apabila terdapat kegagalan ataupun kontraindikasi terhadap anestesi spinal, seperti pada kondisi hipovolemi materna akut, sepsis atau infeksi kulit lokal, dan adanya fetal distress. Beberapa obat-obatan yang dapat digunakan pada saat general anestesia adalah thiopental (25mg/kg IV, T1/2 3-11,5 jam), propofol (1-2,5mg/kg IV, T1/2 3-7 jam), Ketamin (1-2mg/kg IV, T1/2 2,5-3,1 jam), succinylcholine (0,3-0,5 mg/kg IV). (9)
2.1.5 Komplikasi SC Banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika memilih tipe persalinan, salah satu nya tipe persalinan SC. Tindakan SC memiliki pengaruh yang besar akan komplikasi berupa morbiditas maupun mortalitas pada fetomaterna, hal ini tergantung bagaimana prosedur SC dilakukan. (1) Komplikasi tersebut dapat terjadi selama operasi berlangsung seperti perdarahan, trauma visera, laserasi atau robekan selama tindakan histerektomi obstetric, bahkan juga bisa menyebabkan kematian ibu.
(23)
Sedangkan pada masa
8 postoperasi, komplikasi yang dapat terjadi seperti nyeri pada daerah sayatan, perdarahan post partum, luka yang bersifat dehiscense, infeksi dan sebagainya. (23) Tindakan SC sebelumnya juga dapat meningkatkan resiko rupture uteri, placenta previa, placenta akreta, abruptio placenta, dan kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya, yang sangat beresiko apabila persalinan dilakukan secara Vaginal Birth After Caesarean (VBAC). Angka fertilitas untuk kehamilan berikutnya cenderung menurun, sedangkan angka keguguran (miscarriage) cenderung meningkat akibat scar yang diyakini dapat menyebabkan kegagalan proses implantasi dan migrasi plasenta pada uterus. (24)
2.2
Nyeri
2.2.1 Definisi Nyeri adalah suatu sensasi ataupun rasa tidak nyaman baik itu pengalaman sensori atau emosional yang biasanya dikaitkan karena adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun potensial.
(25)
Definisi ini menunjukkan bahwa nyeri
merupakan pengalaman subjektif yang disertai dengan sensasi dan emosi dari individu yang merasakannya dan hanya individu itulah yang dapat menjelaskan dan menilai rasa nyeri yang dirasakan. (26) Nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan pada nociceptor yang diteruskan ke otak untuk diinterpretasikan menjadi sebuah sensasi nyeri.
(27)
Nyeri membuat seseorang menjadi kehilangan kemampuan dalam
menjalankan aktivitas normal akibat dari ketidaknormalan struktur atau fungsi anatomik yang ditimbulkan. (28) Perasaan nyeri sebenarnya memiliki arti klinis yang penting agar individu menghindar dari stimulus yang membahayakan dirinya dengan cara memberikan respon seperti melakukan penarikan, melarikan diri, atau melakukan immobilisasi bagian tubuh yang nyeri yang tujuannya sebagai usaha proteksi.
(26)
Namun, berbeda
dengan perasaan nyeri yang timbul segera/akut, pada kasus kronik nyeri cenderung tidak memiliki fungsi proteksi, bahkan menyebabkan proses penyembuhan menjadi lebih lambat. (26)
2.2.2 Fisiologi Nyeri
9 Mekanisme timbulnya nyeri merupakan suatu fenomena elektrik dan kimia yang kompleks, dimana ada tahapan-tahapan yang harus terjadi untuk menimbulkan persepsi nyeri. Tahapan pertama dimana terjadinya proses tranduksi. Pada mulanya, nyeri timbul karena adanya stimulasi noxious yang terdapat pada jaringan yang rusak dan mengalami injury, yang kemudian akan menyebabkan reseptor nyeri menjadi terangsang. (28) Reseptor nyeri tersebut dikenal sebagai nosiseptor. Nosiseptor tersebar di berbagai bagian tubuh (kulit, otot, sendi, viscera, meningen).
(29)
Setiap stimulant
harus mampu mengaktifkan reseptor tersebut dan akhirnya menimbulkan sensasi nyeri. Hal ini mutlak, karena nosiseptor hanya akan teraktivasi apabila stimulasi yang diberikan mencapai ambang rangsang. Pada akhirnya, apabila reseptor nyeri teraktivasi oleh stimulus noxious tersebut, maka stimulus tersebut akan di ubah menjadi potensial aksi. Peristiwa inilah yang disebut sebagai proses tranduksi. Tahapan kedua adalah transmisi, dimana potensial aksi tersebut akan dikirim ke sel saraf yang ada di system saraf pusat melalui hantaran impuls dari neuron aferen primer yang terdapat di jaringan kemudian diteruskan ke kornu dorsalis pada medulla spinalis. Setelah itu, impuls akan diteruskan naik ke atas dari medulla spinalis menuju medulla oblongata dan thalamus. Selanjutnya terjadi feedback antara thalamus dan pusat yang lebih tinggi di otak. Tahapan ketiga adalah modulasi yang merupakan fase akhir transmisi yang perlu terjadi. Impuls yang berasal dari pusat yang lebih tinggi di otak diteruskan secara descenden ke saraf spinal yang akhirnya dapat mempengaruhi rasa nyeri itu sendiri. Tahapan terakhir yaitu adanya persepsi yang terjadi apabila titik ambang batas nyeri berupa impuls yang sudah diterjemahkan oleh otak sebagai suatu pengalaman nyeri yang merupakan sebuah sensasi dan pengalaman yang tidak menyenangkan. (9) (28)
Gambar 2.2 Fisiologi nyeri (9)
2.2.3 Klasifikasi Nyeri
10 Nyeri diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berdasarkan tempat, sifat, berat ringan dan onset nyeri yang dirasakan. Berdasarkan tempat, nyeri dibagi menjadi nyeri somatik superficial (nyeri pada kulit, dan mukosa), nyeri somatik dalam (nyeri pada otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi), nyeri visera (nyeri pada dinding otot polos organ berongga), nyeri alih (nyeri visera yang dialihkan ke dermatom kulit), dan nyeri neuropati (nyeri akibat lesi pada system saraf pusat dan system saraf tepi). Berdasarkan sifatnya, nyeri dibagi menjadi incidental pain (nyeri yang timbul sewaktu-waktu, kemudian mereda), steady pain (nyeri yang menetap dalam waktu yang lama), paroxysmal pain (nyeri yang sifatnya kuat dan memiliki intensitas nyeri yang tinggi) dan menetap selama ± 10 – 15 menit, diikuti dengan periode hilang timbul. Berdasarkan berat/ringannya, nyeri dibagi menjadi nyeri ringan (nyeri dengan intensitas rendah), nyeri sedang (nyeri dengan intensitas sedang), nyeri berat (nyeri dengan intensitas tinggi). (26) Berdasarkan lama serangannya, nyeri dibagi menjadi nyeri akut (nyeri yang serangannya bersifat mendadak, dengan durasi yang kurang dari 6 bulan), dan nyeri kronis (nyeri yang serangannya bertahap, menetap dengan durasi yang lebih dari 6 bulan. (26) Nyeri juga dibagi dalam klasifikasi lain yaitu nyeri primer dan nyeri sekunder. Nyeri primer merupakan nyeri yang muncul segera (0,1 detik) setelah stimulus nyeri merangsang reseptor nyeri, bersifat akut dan terlokalisir di suatu area, biasanya akibat terstimulasinya reseptor nyeri yang memiliki serat A-delta. Sedangkan nyeri sekunder merupakan nyeri yang muncul akibat terstimulasinya reseptor nyeri yang merupakan serabut C yang tidak bermielin, bersifat lambat,menyebar dan menetap lebih lama. (27)
2.2.4 Faktor yang mempengaruhi nyeri Nyeri merupakan pengalaman yang bersifat kompleks dan subjektif. Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang nyeri yang dirasakan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap sebuah
nyeri.
Diantaranya sebagai berikut : 1. Psikis sangat penting dalam mempengaruhi persepsi nyeri. Seseorang yang sedang cemas, takut, dan depresi akan cenderung meningkat sensitivitas dirinya terhadap nyeri. (11) (12)
11 2. Usia diyakini dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Misalnya pada orang yang sudah lanjut usia. Semakin bertambahnya umur, maka intensitas nyeri akan cenderung lebih berat karena ambang rangsang somatosensori terhadap
nosiseptor semakin besar dan ambang inhibisi nyerinya
semakin berkurang. (30) 3. Budaya sangat mempengaruhi ekspresi seseorang dalam mempersepsikan nyeri baik secara verbal maupun nonverbal. Dari penelitian yang ada, dikatakan bahwa budaya
mempengaruhi kemampuan coping seseorang
dalam mengatasi nyeri, sehingga dengan perbedaan budaya akan menciptakan persepsi nyeri yang berbeda pula. (31) 4. Perbedaan jenis kelamin ternyata juga memberikan pengaruh dalam kemampuan seseorang untuk mempersepsikan nyeri. Wanita dilaporkan memiliki intensitas nyeri yang lebih besar daripada pria karena wanita memiliki reseptor nyeri yang lebih sensitif dibandingkan pria. Hingga sekarang masih belum jelas apa alasan yang menjadi dasar perbedaan intensitas nyeri akibat perbedaan jenis kelamin. Namun diyakini adanya peran perbedaan homon sex, genetik, perbedaan aktivitas otak dan medulla spinalis, dan faktor stress yang menjadi penyebab perbedaan persepsi pada pria dan wanita. (27) (32) 5. Adanya pengalaman nyeri yang diderita seseorang dimasa lalu, akan menjadikan seseorang dapat menoleransi nyeri yang sama sehingga persepsi nyerinya menjadi berkurang. (9) 6. Orang dengan kepribadian extrovert personality yang suka bersosialisasi dan membuka diri cenderung lebih jarang mengeluhkan nyeri dibandingkan orang dengan introvert personality yang sukar bersosialisasi dan menutup diri. (33) 7. Keyakinan terhadap Dzat yang mampu memberikan kekuatan supranatural, akan mempengaruhi kempampuan seseorang dalam mempersepsikan nyerinya. Seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat dan besar akan Tuhannya,
akan cenderung menerima keadaan yang sedang dialaminya
sehingga bisa melawan rasa nyeri yang ada. (31)
12 8. Sosioekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sosioekomi seseorang maka semakin rendah intensitas nyerinya karena seseorang tersebut akan cenderung mencari manajemen nyeri yang efektif sehingga nyerinya semakin berkurang. Begitupun sebaliknya, orang dengan tingkat sosioekonomi yang rendah, cenderung akan meningkat intensitas nyerinya. (9)
2.2.5 Pengukuran Nyeri Pengukuran nyeri sangat penting dilakukan untuk memprediksi dan membantu tenaga medis dalam memilih penatalaksaaan yang tepat dan efektif. Hal ini berguna untuk mempercepat proses penyembuhan, dan demi kesehatan pasien. (29) (33) Dalam menilai dan mengukur nyeri, sangat penting bagi pemeriksa untuk memperhatikan kondisi pasien secara keseluruhan dengan memahami kondisi fisiologi, kondisi jiwa, dan faktor lingkungan yang ada disekitar pasien (biophysicosocial) yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. (29) 1. Pengukuran dengan menggunakan Kuesioner Nyeri McGill. Kuesioner ini merupakan alat bantu untuk menilai nyeri akut/kronik dan sering juga digunakan dalam penelitian, terdiri dari 4 bagian utama kriteria penilaian yaitu, bagian pertama berguna untuk menunjukkan area nyeri pada sebuah gambar yang menyerupai tubuh manusia. Bagian yang kedua berguna untuk mengukur kualitas nyeri baik secara sensorik,afektif, evaluatif, dan lainnya, dengan memilih 20 kata yang dirasa bisa mewakili pasien untuk mengungkapkan
kualitas
nyerinya.
Bagian
ketiga
berguna
untuk
menjelaskan bagaimana pola yang dirasakan ketika nyeri berlangsung (singkat,berirama,
atau
menetap).
menentukan skala nyeri ( 0-5). (26)
Bagian
terakhir,
berguna
untuk
13
Gambar 2.3 Kuisioner Nyeri McGill (26) 2. Pengukuran dengan Visual Analog Scale (VAS). VAS merupakan alat ukur yang paling populer dan sering digunakan dalam berbagai penelitian dan praktik klinis. Hal ini dikarenakan VAS merupakan alat pengukur nyeri yang paling sensitif.
(33) (34)
VAS merupakan suatu instrument pengukuran yang
dikembangkan oleh Stevenson, dkk sebagai sebuah garis lurus sepanjang 10 cm dimana batas paling ujung kiri dimulai dari 0 (tidak nyeri sama sekali) hingga batas paling ujung kanan dengan nilai 10 (sangat nyeri). (26) (28)
0 Tidak Nyeri
10 Nyeri Paling Parah Gambar 2.4 Visual Analogue Scale (VAS) (34)
14 3. Pengukuran dengan Wong-Baker FACES Pain Rating Scale. Pada teknik ini, disediakan sebuah kertas dengan design gambar wajah yang menunjukkan emosi seseorang mulai dari gembira/bahagia karena sama sekali tidak merasakan nyeri hingga kesedihan yang sangat parah ketika sedang merasakan nyeri. Instrumen ini hanya di rekomendasikan untuk anak – anak yang berusia dibawah 3 tahun atau pada orang dewasa dengan gangguan kognitif. (26) (28)
Gambar 2.5 Wong-Baker Face Pain Rating Scale (35)
Pada akhirnya pengukuran nyeri yang adekuat sangat penting dilakukan untuk meningkatkan derajat keberhasilan dan menurunkan derajat kegagalan terapi, yang kemudian secara otomatis akan mengurangi dampak negatif yang akan ditimbulkan dari nyeri tersebut. (33)
2.3
Nyeri Pasca Operasi SC Nyeri ini diakibatkan karena jaringan mengalami kerusakan setelah insisi yang
dibuat selama proses pembedahan. Meskipun saat ini penatalaksanaan nyeri sudah lebih efektif daripada sebelumnya, tetapi seseorang yang mengalami pembedahan masih menyisakan pengalaman nyeri. Penelitian menunjukkan bahwa 50-70% pasien akan merasakan nyeri dengan tingkat intensitas nyeri sedang-berat pada 24 jam pertama postoperasi apabila terapi yang diberikan tidak adekuat. (36) Setidaknya ada 2 komponen yang dapat menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik berasal dari insisi yang dibuat pada kulit dan komponen yang lebih dalam dari lapisan abdomen. Insisi ini akan menyebabkan nosiseptor terangsang. Apabila nosiseptor terangsang, maka hal tersebut akan menimbulkan potensial aksi yang selanjutnya akan ditransmisikan ke divisi anterior saraf spinal
15 T10-L1. Kemudian, transmisi ini akan menjalar hingga ke seluruh lapisan otot transversus abdominus dan otot obliquus internus. (16) Sedangkan nyeri viseral berasal dari luka insisi pada uterus yang merangsang nosiseptor. Insisi ini menyebabkan transmisi diteruskan secara ascenden dari pleksus hiposgastrium inferior yang merupakan serat saraf aferen untuk kemudian diteruskan hingga ke serabut saraf spinal setinggi T10-L1. (16)
2.4
Analgesia Pasca Operasi SC Nyeri insisi yang timbul post operasi SC mengharuskan seseorang untuk
menerima analgesia yang adekuat guna mempercepat mobilisasi agar memudahkan proses laktasi dan ibu dapat merawat bayinya dengan segera. Regimen analgesia yang efektif adalah yang mempunyai efek painkiller yang adekuat, efek samping yang sedikit terhadap ibu maupun bayi, murah dari segi harga, dan simpel dalam pemberian. Pada saat ini, pemberian analgesia dilakukan dengan pendekatan multimodal yang menggunakan regimen opioid, seperti teknik opioid neuraxial (sangat aman bagi ibu) yang apabila dikombinasi dengan obat-obatan analgesia akan menambah efek painkiller. (16) Selain dapat diberikan secara neuraxial, pemberian opioid juga dapat dilakukan secara intravena maupun oral. Penggunaan opioid seperti morfin, secara intravena mulai digemari karena dilaporkan akan memberikan tingkat kepuasan yang tinggi dan efek samping yang rendah, walaupun masih belum bisa menyaingi pemberian opioid secara neuraxial. Dari penelitian sebelumnya disebutkan bahwa efek painkiller opioid neuraxial lebih superior dibanding opioid yang diberikan secara intravena. Pemberian opioid lain secara intravena seperti fentanyl, sudah mulai jarang diberikan karena memiliki efek samping yang besar, sebab fentanyl dapat terakumulasi sebagai metabolit aktif pada ASI sehingga akan berpengaruh terhadap neonatus. (16) Opioid yang diberikan secara oral seperti oxycodone dan tramadol dapat membantu efek analgesia apabila diberikan sebagai terapi lanjutan setelah diterapi secara neuraxial atau opioid. Pemberian opioid oral dilakukan dengan teknik stepdown. Obat-obatan NSAID dan Paracetamol sangat efektif untuk mengurangi nyeri viseral pada uterus. Dari penelitian yang ada, penggunaan Diclofenac yang
16 dikombinasikan dengan Paracetamol dapat mengurangi kebutuhan opioid baik secara neuraxial atau intavena dan memiliki efek painkiller yang tinggi. (16) 2.5
Kerangka Teori Tindakan Operasi Sectio Caesar
Emergensi SC (4)
Elektif SC (4)
Komplikasi Pasca Operasi Trauma Insisi
Transduksi
Transmisi
Dipengaruhi: 1.Psikis(11)(12) 2.Usia(30) 3.Budaya(31) 4.Jenis Kelamin(27)(32) 5.Pengalaman(9) 6.Kepribadian(33) 7.Kepercayaan(31) 8.Sosiekonomi(9)
Modulasi
Persepsi Nyeri
Nyeri Akut
Efek Maternal
Intensitas Nyeri
Gambar 2.6 Kerangka Teori Keterangan : diteliti : tidak diteliti
Efek Neonatus