BAB II PEMBAHASAN I . TRAUMA ABDOMEN A. Konsep Dasar 1. Pengertian Trauma
adalah
cedera
fisik
dan
psikis,
kekerasan
yang
mengakibatkan cedera (Sjamsuhidayat, 1997). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologi oleh gangguan emocional yang hebat (Brooker, 2001) Trauma abdomen adalah cedera pada perut, bisa terdiri dari trauma tumpul dan tembus atau yang di sengaja atau tidak di sengaja. (S melter, 2001) Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut bisa terjadi dengan atau tidak tembusnya dinding perut dimana pada penanganan atau penatalaksanaan lebih bersifat gawat darurat ( FK UI, 1905) Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. a. Trauma penetrasi 1) Trauma Tembak 2) Trauma Tumpul b. Trauma non-penetrasi 1) Kompresi 2) Hancur akibat kecelakaan 3) Sabuk pengaman 4) Cedera akselerasi Selain trauma pada abdomen juga ada trauma dinding abdomen. Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi.
a. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor. b. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari: a. Perforasi organ viseral intraperitoneum. Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen. b. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomenLuka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah. c. Cedera thorak abdomenSetiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi. 2. Etiologi a. Penyebab trauma penetrasi 1) Luka akibat terkena tembakan 2) Luka akibat tikaman benda tajam 3) Luka akibat tusukan b. Penyebab trauma non-peneterasi 1) Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh 2) Hancur (tertabrak mobil) 3) Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut 4) Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
3. Patofisiologi Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi
pendarahan
intra
abdomen
yang
serius,
pasien
akan
memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tandatanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan (Sjamsuhidayat, 1997)
SKEMA Trauma Abdomen
Penetrasi
Non penetrasi
Pendarahan
Penurunan sel darah merah
Iritasi
Nyeri tekan Syok hemoragik
Nyeri spontan Distensi abdomen
Takikardi
Peningkatan suhu tubuh
4. Pathway Trauma (kecelakaan)
Penetrasi & nonpenetrasi Terjadi perforasi lapisan abdomen (kontusio, laserasi, jejas, hematom Menekan saraf peritonitis
nyeri
Terjadi perdarahan
Motilitas usus
Disfungsi usus
Resiko infeksi
Refluks usus output cairan berlebih
Gangguan cairanelektrolit
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Kelemahan fisik
Gangguan mobilitas fisik
5. Tanda dan Gejala/Manifestasi Klinik Klinis Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut Sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan. Pada trauma nonpenetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya Jejas atau ruptur dibagian dalam abdomen: Terjadi perdarahan intra abdominal. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena) Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen. Pada trauma penetrasi biasanya terdapat: a. Terdapat luka robekan pada abdomen b. Luka tusuk sampai menembus abdomen c. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa perdarahan/memperparah keadaan keluar dari dalam andomen Trauma
Operasi
Terjadi
perforasi
Lapisan
abdomen
(kontusio,laserasi Menekan Syaraf Peritonitis Terjadi perdarahan dalam jaringan Lunak dan rongga abdomen Nyeri Motilitas usus Dilakukan tindakan drain Disfungsi usus resiko tinggi infeksi Refleks usus output cairan lebih. Peningkatan Gg keseimbangan elektrolit metabolisme Defisit vol Cairan dan elektrolit intake nutrisi kurang Kelemahan fisik Gangguan Mobilitas 6. Komplikasi klinik Segera : hemoragi, syok, dan cedera. Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).
7. Pemeriksaan diagnostik a. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) Dilakukan pada trauma abdomen perdarahan intra abdomen, tujuan dari DPL adalah untuk mengetahui lokasi perdarahan intra abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL, antara lain: 1) Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya 2) Trauma pada bagian bawah dari dada 3) Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas 4) Pasien cidera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak) 5) Pasien cedera abdominalis dan cidera medula spinalis (sumsum tulang belakang) 6) Patah tulang pelvis Pemeriksaan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapt darah segar dalm BAB atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma tumpul) mengenai kolon atau usus besar, dan apabila darah hitam terdapat pada BAB atau sekitar anus berarti trauma nonpenetrasi (trauma tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah diketahui hasil
Diagnostic Peritonea Lavage (DPL), seperti
adanya darah pada rektum atau pada saat BAB. Perdarahan dinyatakan positif bila sel darah merah lebih dari 100.000 sel/mm³ dari 500 sel/mm³, empedu atau amilase dalam jumlah yang cukup juga
merupakan
indikasi
untuk
cedera
abdomen.
Tindakan
selanjutnya akan dilakukan prosedur laparotomi Kontra indikasi dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), antara lain: 1) Hamil 2) Pernah operasi abdominal 3) Operator tidak berpengalaman
b. Skrinning pemeriksaan rongten. Foto rongsen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau Pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rongten abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum. 1) IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada. 2) Uretrografi. Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra 3) Sistografi Ini di gunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya pada: a) fraktur pelvis b) Trauma non-penetrasi 8. Penatalaksanaan Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat Apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakuakan prosedur ABC jika ada indikasi, Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas. a. Airway Dengan Kontrol Tulang Belakang Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
b. Breathing Dengan Ventilasi Yang Adekuat Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan). c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan Hebat Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas
B. Asuhan keperawatan 1. Pengkajian Data DasarPemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.Pengkajian data dasar menurut Doenges (2000), adalah: a. Aktifitas/istirahat Subjektit : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas, Objektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera (trauma). b. Sirkulasi Objektif
:Kecepatan
(bradipneu,
takhipneu),
pola
napas
(hipoventilasi, hiperventilasi, dll). Normalnya pernapasan normal berkisar antara 8-20 kali per menit (dewasa), 15 – 30 (anak-anak) dan 25 – 50 (bayi)
c. Integritas ego Subjektif : menyangkal gejala penting / adanya kondisi takut mati, perasaan ajal suah dekat, marah pada penyakit / perawatan yang tidak perlu, kuatir tentang eluarga, kerja, keuangan.
Perubahan
tingkah
laku
/
kepribadian
(tenangatau dramatis), Objektif : menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri. d. Eliminasi Objektif :
Inkontinensia kandung kemih/usus ataumengalami
gangguan fungsi e. Makanan dan cairan Subjektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan Selera makan. Objektif : Mengalami distensi abdomen. Nyeri tekan di perut,kulit kering/berkeringat, perubahan berat badan. f. Neurosensori. Objektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. g. Nyeri dan kenyamanan Subjektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama. Objektif : wajah meringi, gelisah, merintih, emosi labil, perilaku berhati-hati. h. Pernafasan Objektif : Perubahan pola nafas.
i.
Keamanan Subjektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan. Objektif : Dislokasi gangguan kognitif.Gangguan rentang gerak.
2. Analisa Data No 1
Data
Etiologi
Masalah keperawatan
Ds : pasien mengatakan ”
Kurangnya masukan
Kekurangan cairan
saya tidak nafsu makan”
cairan dan elektrolit
dan elekrolit
trauma pada daerah
Nyeri dan
Do :
2
-
mual
-
muntah
-
distensi abdomen
-
berkeringat
-
perdarahan
Ds: pasien mengatakan
”saya merasakan sakit pada abdomen
kenyamanan
daerah luka. Do :
3
-
wajah meringis
-
gelisah,
-
Merintih
-
Emosi labil
-
Perilaku berhati-hati.
-
Bradipneu
ds : pasien mengatakan
Tindakan pembedahan,
”keadaan luka saya belum
tidak adekuatnya
membaik”
pertahanan tubuh
do :
Infeksi
-
suhu tubuh meningkat lebih dari 37,8 oC
-
adanya pembengkakan
-
adanya kemerahan disekitar luka
4
Ds : pasien menyatakan
Krisis
”saya takut penyakit saya
perubahan
tak akan sembuh
kesehatan
situasi
dan Ansietas status
Do :
5
-
cemas
-
bingung
-
depresi
-
ekspresi wajah tegang
-
ketakutan
-
insomnia
Ds : pasien mengatakan ”saya masih takut untuk bergerak” Do : -
aktifitas terbatas
-
gerakan lambat
-
gaya berjalan tidak stabil
-
bicara tersendat-sendat
Kelemahan fisik
Gangguan mobilitas
3. Prioritas Masalah a. Defisit Volume cairan dan elektrolit b. Nyeri c. Resiko infeksi d. Ansietas e. Gangguan Mobilitas fisik
4. Rencana Keperawatan Rencana keperawatan No
Diagnosa keperawatan Tujuan
1
2
Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
Terjadi keseimbangan volume cairan
Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
Nyeri Teratasi
(Doenges, 2000)
Intervensi a. Kaji tanda-tanda vital. b. Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin c. Kaji tetesan infus d. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi. e. Tranfusi darah a. Kaji karakteristik nyeri b. Beri posisi semi fowler. c. Anjurkan tehnik manajemen nyeri seperti distraksi d. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi. e. Managemant lingkungan yang nyaman
Rasionalisasi o untuk mengidentifikasi defisit volume cairan o mengidentifikasi keadaan perdarahan o awasi tetesan untuk mengidentifikasi kebutuhan cairan o cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi tubuh o menggantikan darah yang keluar o mengetahui tingkat nyeri klien o mengurngi kontraksi abdomen o membantu mengurangi rasa nyeri dengan mmengalihkan perhatian o analgetik membantu mengurangi rasa nyeri o lingkungan yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman klien
3
Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan tubuh
tanda-tanda o mengidentifikasi adanya resiko infeksi lebih Tidak terjadi infeksi a. Kaji infeksi dini b. Kaji keadaan luka o keadaan luka yang diketahui lebih awal dapat mengurangi resiko infeksi o suhu tubuh naik dapat di indikasikan adanya c. Kaji tanda-tanda vital proses infeksi o teknik aseptik dapat m5enurunkan resiko infeksi nosokomial d. Perawatan luka dengan o antibiotik mencegah adanya infeksi bakteri dari prinsip sterilisasi luar e. Kolaborasi pemberian antibiotik
4
Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan
ansietas teratasi
a.
b.
c.
d.
e.
Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pad lalu Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut dan bepenanganan Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres Dorong dan dukungan orang terdekat
o koping yang baik akan mengurangi ansietas klien o mengetahui nsietas, rasa takut klien bisa mengidentifikasi masalah dan umtuk memberikan penjelasan kepada klien o apabila klien tahu tentang prosedur dan tindakan yang akan dilakukan, klien diharapkan ansietas berkurang o lingkungan yang nyaman dapat membuat klien nyaman dalam menghadapi situasi. o memotifasi klien
5
Gangguan Mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik (Doenges, 2000)
Dapat bergerak bebas
a.
b.
c. d. e.
Kaji kemampuan pasien untuk bergerak Dekatkan peralatan yang dibutuhkan pasien Berikan latihan gerak aktif pasif Bantu kebutuhan pasien Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
o o o o
identifikasi kemampuan klien dalam mobilisasi meminimalisir pergerakan klien melatih otot-otot klien membantu dalam mengatasi kebutuhan dasar klien o terapi fisioterapi dapat memulihkan kondisi klien
II. FRAKTUR A. Konsep Dasar 1. Definisi Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007). Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). 2. Etiologi a. Trauma langsung/ direct trauma yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang). b. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan. c. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis. d. Kekerasan akibat tarikan otot patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. 3. Klasifikasi Klasifikasi fraktur secara umum : a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst) b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. 1) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
2) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang). c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah : 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. d. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan): 1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya. b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement. 2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu : a. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm. b. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
c. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif. e. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma : 1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga. 3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. 4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
4. Anatomi dan fisiologi fraktur a. Anatomi Tulang Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya : 1) Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah
tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan
tulang
berhenti
testosteron merangsang
tumbuh. Hormon pertumbuhan
pertumbuhan,
tulang
estrogen,
dan
panjang. Estrogen, bersama
dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang. 2) Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat. 3) Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous. 4) Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek. 5) Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut). Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks
tersusun
atas 98%
kolagen
dan
2%
subtansi
dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan
kerangka
dimana
garam-garam
mineral
anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah
sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang. Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm). Tulang
diselimuti
dinamaan periosteum.
dibagian
Periosteum
oleh
membran
memberi
nutrisi
fibrous ke
tulang
padat dan
memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang
panjang
dan
rongga-rongga
dalam
tulang
kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang). Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolantonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah. Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat. Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olahraga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar
hormon-hormon
tersebut. Estrogen
dan
testosteron akhirnya
menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang. Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi
kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang. Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas. Efek
lain
Hormon
dengan menurunkan sekresi
paratiroid adalah meningkatkan kalsium kalsium
oleh
ginjal.
Hormon
serum
paratiroid
meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas.
Efek-efek
ini
meningkatkan
menurunkan kadar kalsium serum.
kalsifikasi
tulang
sehingga
5. PATOFISIOLOGI Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. b. Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang. 6. Pathway Kecelakaan, trauma, osteoporosis
F. tertutup
Trauma pada Wrist
Fraktur terbuka
Bengkak tekanan meningkat
Pembuluh darah, syaraf jaringan lunak rusak
Kontak dengan lingkungan luar
Denyut nadi menurun para lysis nyeri hebat
Darah mengalir kedaerah fraktur
Resiko infeksi
Menekan jaringan sekitar pembuluh darah
Pertumbuhan bacteri
Gx neuro vaskuler
Kerusakan integritas kulit
Nyeri
Resiko infeksi Iskemia Imobilisasi (traksi) Kontraktur
Jaringan tulang nekrosis
Necrosis merangsang terjadinya peradangan
Lemak keluar ke pembuluh darah
Emboli -
Nadi menurun Stenosis Sesak
Kerusakan integritas kulit
Kerusakan mobilitas fisik
7. Manifestasi klinis Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut: a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot. c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. 8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera. b. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans c. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler. d. CCT kalau banyak kerusakan otot. e. Pemeriksaan Darah Lengkap
9. Stadium Penyembuhan Luka Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: a. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma: Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
b. Stadium Dua-Proliferasi Seluler :Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi
sel
menjadi
fibro
kartilago
yang
berasal
dari
periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Selsel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
c. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
d. Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
e. Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
10. PENATALAKSANAAN MEDIS Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah : a. Untuk menghilangkan rasa nyeri. Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang
fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips. (1) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
(2) Pemasangan gips: Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
(1) Immobilisasi dan penyangga fraktur (2) Istirahatkan dan stabilisasi (3) Koreksi deformitas (4) Mengurangi aktifitas
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama.
Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri. a) Penarikan (traksi) : Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain : (1) Traksi manual: Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency Kegunaan pemasangan traksi, antara lain : Prinsip pemasangan traksi : a. Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik b. Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan c. Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus d. Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol e. Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
b) Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang.Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya
insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku. 1). Fiksasi Interna Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya.
2) Fiksasi Eksterna Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat dipasang. Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang rigid juga cocok untuk tindakan ini.
3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang. 4.Untuk mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
B. Asuhan Keperawatan I. Pengkajian 1. Pengumpulan Data a. Anamnesa 1) Identitas Klien: Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. 2) Keluhan Utama: Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. 3) Riwayat Penyakit Sekarang: Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain 4) Riwayat
Penyakit
Dahulu:
Pada
pengkajian
ini
ditemukan
kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang 5) Riwayat Penyakit Keluarga: Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic 6) Riwayat Psikososial: Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehariharinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat 7)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat: Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat
pengkonsumsian
mengganggu alkohol
metabolisme yang
bisa
kalsium, mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak b) Pola Nutrisi dan Metabolisme: Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien c) Pola Eliminasi: Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur. d) Pola Aktivitas: Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain e) Pola Hubungan dan Peran: Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap f) Pola Persepsi dan Konsep Diri: Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) g) Pola Sensori dan Kognitif: Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur h) Pola Reproduksi Seksual: Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress: Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif. j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan: Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien b) Pemeriksaan Fisik 1) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda tanda, seperti: a. Kesadaran penderita:
apatis,
sopor, koma,
gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien. b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. b)
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin 1)
Sistem Integumen: Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
2)
Kepala: Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3)
Leher: Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
4)
Muka: Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5)
Mata: Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
6)
Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7)
Hidung: Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8)
Mulut dan Faring: Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9)
Thoraks: Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10)
Paru 1. Inspeksi:
Pernafasan
meningkat,
reguler
atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. 2. Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. 3. Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. 4. Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (11) Jantung (a) Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung. (b) Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (c) Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada murmur. (12) Abdomen 1. Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
1. Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. 2. Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. 3. Auskultasi: Peristaltik usus normal
20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus: Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. 2) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai
neurovaskuler 5
P
status yaitu
neurovaskuler Pain,
Palor,
(untuk
status
Parestesia,
Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: a) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (2) Cape au lait spot (birth mark). (3) Fistulae. (4) Warna
kemerahan
atau
kebiruan
(livide)
atau
hyperpigmentasi. (5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) b) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time
Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan
konsistensinya,
perlu
dideskripsikan
pergerakan
terhadap
permukaannya, dasar
atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik
0
(posisi
netral)
atau
dalam
ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Analisa Data No
Hari / Tanggal
Symptom
1.
23 maret 2019
Ds
:
Pasien
Etiologi mengatakan Terputusnya
nyeri pada kaki sebelah kiri kontinuitas pasca op
Problem Gangguan
rasa
nyaman nyeri
fragmen tulang
Do : Pasien nampak meringis kesakitan saat bergerak. Karakteristik nyeri: P: Sakit saat bergerak / bergeser Q: Terasa nyeri R: fraktur femur kiri 1/3 tengah S: Skala 3 T:Kadadang-kadang terutama saat bergerak 2.
Ds
:
Pasien
mengatakan Kerusakan
kesulitsn untuk melakukan neuromuskular
Gangguan mobilitas fisik
ativitas Do : pasien tampak di bantu dalam beraktivitas terdapat drain di kaki kiri 3.
Ds : pasien mengatakan tidak Nyeri post OP
Gangguan
dapat tidur karena nyeri pada
tidur
kaki Do : pasien tidurnya tampak tidak nyenyak
pola
3. DIAGNOSA KEPERAWTAN 1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d terputusnya kontinuitas fragmen tulang 2. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular 3. Gangguan pola tidur b.d nyeri post OP
4.INTERVENSI KEPERAWATAN No Hari
/
Dx Tanggal 1.
23 2019
Tujuan Keperawatan
maret Setelah tindakan
dilakukan keperawatan
selama 3 x 24 jam nyeri dapat berkurang atau
Intervensi
TT
Rasional
a. Observasi
D
a. Peningkatan nadi @
tanda-tanda
menunjukan
vital
adanya nyeri
b. Evaluasi skala
b. Mempengaruhi
terkontrol.
nyeri,
pilihan
KH :
karakteristik
keefektifan
dan lokasi
intervensi
a. Nyeri berkurang/hilang
c. Atur
posisi
@
c. Meningkatkan
b. Skala nyeri 1
kaki yang sakit
sirkulasi
c. TTV normal
(abduksi)
umum,
dengan bantal
menurunkan area
d. Kolaborasi
tekanan
pemberian
dan
obat analgesic
otot
e. Anjurkan pada klien
utuk
yang
@
lokal
kelelahan
d. Untuk membantu
membatasi
mengurangi rasa @
pergerakan
nyeri e. Membuat
klien
merasa
lebih
nyaman
2.
23 2019
maret Setelah tindakan
dilakukan
a. Diskusikan
@
a. Untuk
@
keperawatan
dengan pasien
mengetahui
selama 3 x 24 jam
aktifitas yang
aktifitas
imobilisasi teratasi.
bisa ditoleransi
masih
KH :
b. Anjurkan
yang bisa
toleransi @
Pasien dapat melakukan
keluarga untuk
aktifitas sendiri tanpa
membantu
pasien
bantuan keluaga
pasien
meningkatkan
c. Anjurkan
atifitas pasien
pasien
di
untuk
b. Membantu untuk
c. Untuk
melakukan
meningkatkan
aktifitas ringan
mobilisasi pasien
d. Peragakan penggunaan alat
bantu
untuk (walker) e. Kaji
d. Membantu pasien
untuk @ meningkatkan atifitas pasien e. Untuk
kemampuan
mengetahui
rentan
tingkat kekuatan
dan
@
gerak kekuatan
otot klien
otot
@
3.
23 2019
maret Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24 jam gangguan
pola
tidur
a. Berikan
a. Untuk
@
lingkungan
memberikan
yang nyaman
kenyamanan
b. Berikan posisi
pada pasien
pasien teratasi.
yang menurut
KH:
pasien adalah
memberikan
Jumlah jam tidur dalam
posisi
kenyamanan
batas normal
paling nyaman
pada pasien saat
untuk
tidur
Pola
tidur
kualitas
dalam batas normal
yang
pasien
dapat tidur c. Batasi pengunjung. d. Jelaskan pada klien
dan
b. Untuk @
c. Agar
pasien
dapat
tidur
dengan cukup d. Menambah pengetahuan
keluarga klien
mengenai
penyebab
penyebab
gangguan tidur
gangguan tidur
e. Pertahankan waktu
tidur
teratur
dan
waktu bangun
@
@
e. Agar pola tidur menjadi seimbang
@
III. DISLOKASI A. Kosep Dasar 1. DEFINISI Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (brunner&suddarth). dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, dkk. 2000). Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang di sertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. ( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal 1138). Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi. Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami
dislokasi,
ligamen-ligamennya
biasanya
menjadi
kendor.
Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi. 2. KLASIFIKASI Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Dislokasi congenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan. b. Dislokasi patologik :Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang. c. Dislokasi traumatic :Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia)
akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang
kuat
sehingga
dapat
mengeluarkan
tulang
dari
jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi : a. Dislokasi Akut Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi. b. Dislokasi Kronik c. Dislokasi Berulang Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan. 3. ETIOLOGI Dislokasi disebabkan oleh : a. Cedera olahraga Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain. b. Trauma
yang
tidak
berhubungan
dengan
olahraga
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi. c. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
d. Patologis : terjadinya ‘tear’ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang 4. PATOFISIOLOGI Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadangkadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid).
5. MANIFESTASI KLINIS a. Nyeri b. Perubahan kontur sendi c. Perubahan panjang eksremitas d. Kehilangan mobilitas normal e. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi f. Deformitas g. Kekakuan 6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK a. Foto X-ray Untuk menentukan arah dislokasi dan apakah disertai dengan fraktur. b. Foto Rongent c. Pemeriksaan radiologi d. Pemeriksaan laboratorium 7. KOMPLIKASI a. Komplikasi Dini 1) Cedera saraf : saraf aksila dapat ceder pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut 2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak 3) Fraktur disloksi b. Komplikasi lanjut 1) Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
2) Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid 3) Kelemahan otot 8. PENATALAKSANAAN a. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat. b. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi. c. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil. d. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi e. Memberikan
kenyamanan
dan
melindungi
sendi
selama
masa
penyembuhan. B. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a.
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari disklokasi yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit.
c. Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah diderita klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien dan menghambat proses penyembuhan. d. Pemeriksaan Fisik Pada penderita Dislokasi pemeriksan fisik yang diutamakan adalah nyeri, deformitas, fungsiolesa misalnya: bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi anterior bahu. 2. Analisa Data No 1
Data
Etiologi
Masalah
DS : Berdasarkan pengkajian yang Discuntinoitas
Nyeri akut
dilakukan terhadap pasien, pasien Jaringan mengatakan nyeri pada lengan kiri atas dan tidak bisa digerakkan
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Nyeri akut B.d Discuntinoitas Jaringan
4. Rencana Asuhan Keperawatan No
Data
Rencana Tujuan
1
Nyeri Akut b.d Setelah
Intervensi
dilakukakn
Rasional
1. Kaji skala nyeri
Discuntinoitas
tindakan
keperawatan
Jaringan
selama 15 menit , nyeri
2. Berikan
yang dirasakan pasien
relaks
berkurang
pasien.
kriteria hasil :
dengan
1. Mengetahui intensitas nyeri.
posisi 2. Posisi pada
pada
relaksasi pasien
dapat mengalihkan focus
pikiran
a. Klien
pasien
tampak tidak meringis lagi. b. Klien tampak
pada
nyeri. 3. Berikan
3. Tehnik relaksasi
lingkungan yang
dan
nyaman,
dan aktifi tas hiburan.
distraksi
dapat mengurangi rasa nyeri.
rileks. 4. Ajarkan teknik distraksi
dan
4. Meningkatkan relaksasi pasien.
relaksasi 5. Kolaborasi
5. Analgesik
pemberian
mengurangi
analgesik.
nyeri