BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Laut Cina Selatan apabila dilihat secara geografis merupakan bagian dari Samudera Pasifik. Meliputi sebagian willayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan, dengan luas sekitar 3,5 juta km². Dilihat dari ukurannya, Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan terluas setelah kelima samudera. Negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Indonesia. Adapun sungai besar yang bermuara di Laut Cina Selatan yaitu sungai Mutiara (Guangdong), Min, Jiulong, Red, Mekong, Rajang, Pahang, dan Pasig.1 Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Didalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam, selain itu kawasan ini juga berperan sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional. Maka dari itu kawasan ini memiliki potensi konflik sekaligus kerjasama. Permasalahan utama yang terjadi dalam konflik Laut Cina Selatan adalah adanya klaim tumpang tindih yang melibatkan enam pihak yaitu: Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Malaysia berdasarkan catatan sejarah maupun UNCLOS (United Nation on the Law of the Sea) 1982. Mayoritas negara di dunia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut yang ditetapkan oleh PBB yang dikenal dengan UNCLOS 1982 yang mengatur batas wilayah laut setiap negara. Negara-negara ASEAN pun merujuk Konvensi Hukum Laut ini dalam menentukan batas terluar wilayah laut negara. Bila tidak ditangani dengan baik klaim tumpang tindih ini akan menjurus pada terjadinya konflik terbuka di kawasan tersebut. Sementara itu, pihak yang bersengketa yang sebagian besar merupakan negara anggota ASEAN selama bertahun-tahun tidak bersedia 1
Harahap Anugerah Baginda, 2016, Upaya ASEAN Dalam Menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan Tahun 2010-
2015, Jom FISIP Vol. 3 No. 2, hlm. 2, diakses dari https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/11278/10926 pada 28 Oktober 2018.
1
memanfaatkan mekanisme ASEAN dalam memecahkan masalah dengan alasan kedaulatan nasional. Jika negara-negara yang terlibat di dalam konflik wilayah di LCS masih bersikukuh pada upaya perebutan wilayah atas dasar kedaulatan dan batas-batas yang diklaim di wilayah itu, maka dapat dipastikan bahwa mereka sebenarnya sedang membangun peta menuju jalan buntu (a roadmap to deadlock) dengan konsekuensi tidak terhindarkannya konflik militer di LCS. Pembicaraan konflik Laut Cina Selatan penting, karena keamanan di Laut Cina selatan disadari oleh negara anggota sebagai indikator stabilitas keamanan di kawasan. Mengacu pada hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) XVIII ASEAN pada bulan Juni 2011, Laut Cina Selatan masuk dalam daftar isu penting yang perlu dipertimbangkan oleh ASEAN. Khususnya untuk memproyeksikan arsitektur regional ASEAN.2 Bahkan telah ada landasan yang signifikan untuk mempromosikan perdamaian di Laut Cina Selatan yaitu persetujuan Treaty of Amity and Cooperation (TAC), yang ditandatangani oleh Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Rusia bersama-sama dengan banyak negara eksternal lainnya, sebagai prasyarat untuk bergabung dengan East Asia Summit (EAS).3
1.2 Rumusan Masalah Dari penjelasan singkat diatas penulis akan membahas beberapa poin penting dalam BAB II, yaitu: 1. Bagaimana awal mula konflik Laut Cina Selatan? 2. Bagaimana perkembangan konflik Laut Cina Selatan? 3. Bagaimana peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan? 4. Apa tantangan ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan?
2
Initiatives on South China Sea, Conflict Resolution and Peacekeeping Cooperation, People Engagement, Among
Many Issues Noted in Comprehensive ASEAN Joint Communiqué Bali, Indonesia, 20 July 2011. Diakses dari https://asean.org/?static_post=initiatives-on-south-china-sea-conflict-resolution-and-peacekeeping-cooperationpeople-engagement-among-many-issues-noted-in-comprehensive-asean-joint-communique-bali-indonesia-20-july2011 pada 28 Oktober 2018. 3
Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga, 2015, ASEAN dan Isu Laut Cina Selatan: Transformasi Konflik Menuju
Tata Kelola Keamanan Regional Asia Timur, Jurnal Penelitian Politik Vol. 12 No. 1 hlm. 100, diakses dari http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/532 pada 28 Oktober 2018.
2
1.3 Tujuan Adapun tujuan dalam membuat makalah ini, yaitu: 1. Untuk memahami bagaimana perkembangan dari konflik Laut Cina Selatan. 2. Untuk memahami apa peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. 3. Untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. 4. Untuk memenuhi nilai UTS dari mata kuliah Pemerintahan dan Politik Asia Tenggara.
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Konflik Laut Cina Selatan Menurut Biro Hidrografis Internasional (the International Hydrographic Bureau) Laut China Selatan didefinisikan sebagai perairan yang memanjang dari barat daya kearah timur laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3 derajat lintang selatan antara Sumatra dan Kalimantan, di sebelah utara dibatasi oleh Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan kearah pantai Fukien, China. Luas perairan meliputi sekitar 4.000.000 kilometer persegi.4 Dasar Laut China Selatan dari 1,7 juta km² landas kontinen yang mempunyai kedalaman kurang dari 200 meter dan 2,3 juta km² dari dasar laut lebih dalam dari 200 meter. Dasar laut yang termasuk landas kontinen terutama terdapat di bagian barat dan selatan (Sunda Shelf), sementara bagian yang lebih dalam di beberapa area mencapai lebih dari 5000 meter (South China Basin), ditandai dengan berbagai kedangkalan dan pulau-pulau karang.5 Menurut definisi lain Laut China Selatan merupakan “laut setengah tertutup” (semienclosed sea) yang berbatasan dengan China dan Taiwan di sebelah utara, di sebelah barat ke arah selatan berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia, di sebelah timur berbatasan dengan Filipina, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Indonesia dan Malaysia (Serawak dan Sabah). Pusat dari kepulauan ini sekitar 400 km dari Malaysia Serawak, 600 km Saigon (Vietnam), 700 km dari Manila, 1.100 km dari China (pulau Hainan) dan 1.600 km dari Indonesia (Pulau Sumatra). Dengan luas wilayah perairan sekitar 3.000.000 km persegi, di wilayah Laut China Selatan ini tersebar beberapa gugus kepulauan, yaitu6: 1. Gugus kepulauan Pratas 2. Gugus kepulauan Paracel 3. Gugus Kepulauan Spratly 4
Asnani, Usman & Rizal Sukma. Konflik Laut China Selatan : Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: CSIS, 1997.
5
Ibid.
6
Ibid.
4
4. Gugus karang Scarborough. Berbicara tentang konflik Laut Cina Selatan tentu tidak bisa dilepaskan dengan kebijakan yang di lakukan oleh Tiongkok atas klaim sepihak mereka terhadap kepemilikan mayoritas wilayah Laut Cina Selatan. Klaim ini bermula ketika tahun 1947 Tiongkok yang saat itu bernama Cina memproduksi peta Laut Cina Selatan dengan 9 garis putus-putus dan menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut adalah wilayah teritori Cina. Peta ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Partai Komunis berkuasa pada tahun 1953. Klaim ini atas dasar sejarah Cina Kuno, mulai dari dinasti Han yang berkuasa pada abad 2 SM sampai dengan Dinasi Ming dan Dinasti Qing di abad 13 SM.7 Dalam peta konflik diwilayah Laut Cina Selatan sebenarnya dibagi dua, pertama wilayah kepulauan Paracel yang terdapat di bagian utara Laut Cina Selatan. Dalam konflik ini melibatkan Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam yang sama-sama mengklaim kepemilikan atas kepulauan ini. Kedua, konflik yang melibatkan Tiongkok dengan 4 negara ASEAN yakni, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang memperebutkan kepulauan Spartly pada bagian selatan wilayah Laut Cina Selatan. Pada prosesnya, dalam mengurangi ketegangan antara negara-negara tersebut telah disepakati aturan sebagai dasar hukum yang wajib dijalankan. Dasar hukum tersebut di tuangkan kedalam United Nation Convention on The Law of The Sea 1928 (UNCLOS). Didalamnya menekankan pada kedaulatan teritorial Laut Cina Selatan sejauh 12 mil dari tepi pantai dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil. Kesepakatan ini dibuat dengan tujuan untuk mengurangi gesekan antar negara-negara tersebut dan lebih mengedepankan penghargaan atas wilayah kedaulatan mereka di Laut Cina Selatan untuk sama-sama mengelola sumber daya alam yang ada didalamnya. Namun, perjanjian tersebut tidak dapat diterima oleh Tiongkok. Tiongkok mengklaim kepemilikan seluruh wilayah yang dipersengketakan tersebut masuk wilayah kedaulatannya dengan mempertimbangkan faktor historis dari negara tersebut. 7
Diakses dari
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12288/g.%20bab%20iii.pdf?sequence=7&isAllowed=y pada 28 Oktober 2018.
5
Perjalanan dari UNCLOS tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan, karena Tiongkok tetap bersikeras bahwa wilayah Laut Cina Selatan yang mencakup ratusan kilometer diselatan dan timur Hainan, yang juga merupakan Provinsi paling selatan Tiongkok adalah milik mereka. Tiongkok tetap mempertahankan Peta yang telah mereka buat pada tahun 1947. Hal ini tentu mendapat pertentangan dari negara-negara yang juga mengklaim wilayah tersebut masuk kedaulatannya. Menurut mereka, Tiongkok tidak pernah menyatakan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayahnya sebelum tahun 1940-an. Karena seperti Vietnam dan Filipina, wilayah tersebut masuk kedalam wilayahnya dengan mempertimbangkan peta yang ditinggalkan oleh Perancis ketika menjajah negara mereka. Menurut beberapa penelitian yang mengkaji tentang potensi kekayaan alam yang terkandung di LCS, bahwa diwilayah ini diperkirakan terdapat kandungan minyak mentah mencapai 17,7 miliar ton, ini tentu saja jauh jika dibandingkan dengan cadangan minyak yang dimiliki oleh Kuwait yang mencapai 13 miliar ton saja. Akan tetapi hal ini banyak dibantah oleh sumber lain yang menyatakan cadangan minyak di wilayah ini hanya mencapai 7,5 miliar barel atau 1,1 ton. Terlepas dari hal tersebut, wilayah Laut Cina Selatan masih tetap berstatus menarik bagi negara-negara yang menganggap sebagai wilayah kedaulatannya. Kemudian jika dilihat dari aspek strategis, wilayah ini merupakan rute laut yang paling tersibuk didunia. Tentunya siapapun yang menguasasinya akan memiliki keuntungan paling besar. Karena kapal-kapal yang menghubungkan belahan negara satu dengan lainnya akan melewati wilayah ini. terutama kapal yang berasal dari eropa menuju asia, dan begitupun sebaliknya. Secara umum, ada dua hal yang penting bagi negara-negara diatas dalam memperebutkan wilayah Laut Cina Selatan. Pertama mengenai letak strategis, karena secara georgrafis Laut Cina Selatan dikelilingi oleh sepuluh negara pantai (RRC, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Filipina). Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang bernilai ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting bagi suatu negara. 6
Kedua, potensi ekonomi dan pentingnya geopolitik termasuk kandungan alam yang ada didalamnya seperti yang telah digambarkan oleh penulis diatas. Kedua alasan tersebut sangat rasional untuk menjelaskan sengketa Laut Cina Selatan.
2.2.1 Klaim Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam atas Laut Cina Selatan Sebenarnya, kepentingan negara-negara terhadap wilayah Laut Cina Selatan tidak lebih pada kepentingan untuk menguasai sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Untuk menganalisis lebih dalam persoalan ini, kita mulai dengan hukum yang berkaitan yakni United Convention on The Law Of the Sea (UNCLOS) yang merupakan Hukum Laut Internasional yang ditetapkan pada tahun 1982. Hukum laut ini mendorong negaranegara dunia untuk memiliki pemahaman yang sama terkait dengan laut dan perbatasanperbatasannya. Hukum ini ditujukan untuk mencegah dan mengurangi sengketa dan konflik antar negara, serta sebaliknya mendorong negara untuk bekerja sama satu sama lain untuk membangun dan mengelola laut mereka dengan sebaik-baiknya. Negara sengketa yang melakukan klaim berdasarkan hukum lau ini adalah Brunei Darussalam dan Malaysia. Brunei Darussalam menyatakan bahwa beberapa wilayah laut yang diklaim dan bahkan sudah mulai diduduki oleh negara sengketa lainnya, merupakan pelanggaran terhadap Hukum Laut UNCLOS. Dalam hukum laut diatur tentang hak dan kedaulatan negara untuk melakukan eksplorasi terhadap wilayah laut yang termasuk ZEE dan continental shelf. Pada artikel 55 dan 56 tentang ZEE dan artikel 76 dan 77 tentang continental shelf menyebutkan bahwa negara yang memiliki wilayah laut ini dihitung dari garis pantainya memiliki hak dan kedaulatan atas segala sumber daya yang dapat dieksplorasi dari wilayah laut ini, tetapi tidak untuk memilikinya. Selain itu, Malaysia juga memiliki klaim yang berdasarkan hukum laut khususnya continental shelf yang sama dengan Brunei Darussalam tadi.8 Klaim Malaysia ini
8
R.A. Cossa, Security Implications of Conflict in the South China Sea: Ekspolring Potential Triggers of Conflict, A
Pacific Forum CSIS Special Report, Honolulu, 1998, hlm. 2.
7
dilakukan pada tahun 1979 melalui publikasi peta resmi yang memperlihatkan wilayah laut yang berada dibagian selatan dan timur Kepulauan Spartly yang diklaim oleh Cina, Filipina, dan Vietnam seperti Swallo Reef atau Layang Atoll.9 Pada kenyataannya, Brunei Darussalam dan Malaysia mengklaim hanya sebagian dari wilayah Laut Cina Selatan. Selain berdasarkan Hukum UNCLOS tersebut, klaim negara-negara sengketa juga dilakukan atas nama kependudukan dan fakta sejarah. Pada dasarnya, Cina dan Vietnam mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan yang diperkirakan berbentuk Ushape. Klaim tersebut termasuk dua kepulauan utama yaitu Spartly dan Paracel yang diklaim keduanya sebagai bagian dari wilayah kedaulatan didasarkan pada catatan sejarah.Vietnam misalnya, melakukan klaim atas seluruh bagian dari Laut Cina Selatan dengan landasan adanya okupasi dan aneksasi Perancis pada tahun 1933 diwilayah tersebut.10 Kemerdekaan Vietnam pada tahun 1945, menjadi titik balik Vietnam untuk mengakui hasil okupasi dan aneksasi Perancis menjadi bagian dari Vietnam. Filipina dalam hal ini merupakan negara yang juga mengklaim hanya sebagian wilayah laut cina selatan khususnya kepulauan Spartly atau dinamakan oleh Filipina sebagai Kepulauan Kalayaan dan beberapa kepulauan disebelah barat Filipina seperti Scarborough Shoal.11 Sejak tahun 1956, ketika Tomas Cloma seorang warga Filipina berhasil mendarat di Kepulauan Spartly atau Kalayaan dalam bahasa Filipina.12 Pemberitahuan Cloma terhadap gugusan pulau yang ditemukannya tersebut, mendorong Filipina untuk secara resmi memasukkan Kepulauan Spartly kedalam administrasi Provinsi Palawa.Pada tahun 1971, Spartly resmi diklaim sebagai contiguous zone yang lokasinya sangat dekat dengan wilayah perairan Palawan tersebut. Akhirnya, Presiden Marcos melakukan aneksasi terhadap gugusan pulau ini pada tahun 1978 dan 9
Leszek Buszynki, 2007, Maritime Claims and Energy Cooperation in the South China Sea, Contemporary
Southeast Asia, Institue of Southeast Asian Studies Vol. 29 No. 1, hlm. 147. 10
R.A. Cossa, op, cit., hlm. 3.
11
Ibid.
12
Nugraha Anthanasius Aditya, Manuver Politik Cina Dalam Konflik Laut Cina Selatan, diakses dari
https://www.academia.edu/8279356/Jurnal_III_Athanasius_Aditya_Nugraha pada 28 Oktober 2018.
8
menentang klaim sejarah Tiongkok terkait dengan adanya kegiatan laut yang dilakukan oleh masyarakatnyan sejak sekian lama.
2.2.2 Indonesia dan Konflik Laut Cina Selatan Jika dilihat dari manfaatnya, pencapaian sebuah resolusi konflik bagi persoalan Laut Cina Selatan tidak hanya bermanfaat secara ekonomi, tetapi juga secara politik dan keamanan. Besarnya ekonomi yang berpotensi dikawasan ini seperti Jalur pelayaran, kandungan alam seperti minyak, gas dan mineral serta kekayaan ikannya apabila bisa dimanfaatkan dan dikelola akan sangat bermanfaat bagi setiap negara yang terlibat. Maka dari itu, penyelesaian konflik akan memiliki manfaat yang signifikan tidak saja bagi masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Ada dua hal yang mendapat pertimbangan Indonesia dalam manfaat ini. Pertama, Indonesia harus selalu mewasapadai situasi keamanan di Laut Cina Selatan yang sering dijadikan sengketa oleh beberapa negara dikawasan ini. Hal tersebut akan mempengaruhi kondisi keamanan karena secara geografis letak Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara yang terlibat sengketa konflik juga akan secara ekonomi, karena selain letak Indonesia yang secara geografis sangat dekat dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, wilayah itu juga salah satu jalur lalu lintas ekonomi Internasional, dimana ekspor-impor Indonesia melewati jalur tersebut. Kedua, Indonesia yang menjadi bagian dari masyarakat Internasional merasa perlu dan segera menentukan jalan terbaik bagi penyelesaian masalah Laut Cina Selatan. Karena dengan cara inilah Indonesia dapat menunjukkan partisipasinya dalam menjaga perdamaian dunia yang dimulai dengan menciptakan perdamaian di dalam negeri maupun dikawasan sengketa ini.13 Jika dilihat kebelakang, upaya Indonesia dalam menengahi dan menyelesaiakan konflik ini sudah dimulai sejak tahun 1990. Sejak itu Indonesia telah memprakarsai 13
I Nyoman Sudira, 2009, Konflik Laut CIna Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke Amerika dan Eropa,
hlm. 152.
9
diadakannya lokakarya untuk membahas Laut Cina Selatan yang bertajuk Workshop for Managing Potential Conflict in The South China Sea dan diselenggarakan di Bali, runtutan lokakarya inilah yang akhirnya membuka jalan untuk mengesahkan Declaration on the Conduct in The South China Sea pada tahun 2002. Lokakarya-lokakarya tersebut diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia seperti Makassar, Surakarta, Jakarta dan yang terakhir berlangsung dibandung pada tanggal 22-24 November 2012. Lokakarya ini bertujuan untuk mempertemukan negara-negara pengklaim dalam suatu forum guna menemukan solusi penyelesaian sengketa di kawasan ini yang dapat diterima semua pihak dan membangung Confidence Building Measure (CBM) antar semua negara yang memiliki kepentingan di kawasan perairan tersebut.14 Indonesia adalah negara yang memiliki posisi yang sangat strategis dalam konribusinya terhadap persoalan di Laut Cina Selatan karena tidak terlibat klaim wilayah yang disengketakan, dan tidak memiliki konflik mengenai kelautan dengan Tionkok seperti yang dialami Filipina dan Vietnam. Kelebihan lain yang dimiliki Indonesia adalah posisi netral yang selama ini diambil Indonesia dalam masalah Laut Cina Selatan.
2.2 Peran ASEAN Dalam Menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara tentu berupaya meredam ketegangan konflik Laut Cina Selatan antara Cina dengan Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina. ASEAN memiliki caranya sendiri dalam menyelesaikan sengketa, yaitu dengan mengutamakan cara diplomasi, tekanan, dan pencegahan (diplomasi preventif). Cara ini tidak melibatkan kekuaran militer. Cara ini diberlakukan mengingat tanggung jawab ASEAN untuk menghindarkan Negara anggotanya dari segara bentuk ancaman yang dapat merusak stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara. Penggunaan kekerasan dikhawatirkan akan menimbulkan efek provokatif yang akhirnya memaksa Negara anggota ASEAN mengerahkan pasukan militernya. 14
Lokakarya Penanganan Konflik di Laut Cina Selatan ke-19, 2009, diakses dari
https://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/Lokakarya-Penanganan-Potensi-Konflik-di-Laut-ChinaSelatan-ke-19.aspx pada 28 Oktober 2018.
10
Tujuan ASEAN dibentuk adalah untuk menciptakan stabilitas regional kawasan Asia Tenggara. Pada masa awal ASEAN dibentuk sekitar tahun 1950 hingga 1960, Negara-negara di kawasan Asia Tenggara baru mendapatkan kemerdekaannya sebagai Negara yang berdaulat sendiri. Sehingga kepentingan nasional tiap Negara adalah bagaimana mereka membagun negaranya. Setiap Negara ingin memiliki pemerintahan yang solid dan sistem ekonomi yang baik untuk mensejahterakan rakyatnya, juga pertahanan dan keamanan Negara yang baik (national building). Untuk mengembangkan national building tersebut diperlukan keadaan yang kondusif, keadaan ini didapatkan dari stabilitas keamanan regional yang baik. Dalam national building tidak hanya aspek keamanan berbasis militer yang perlu dikembangkan, stabilitas politik, keberhasilan sistem ekonomi, dan sosial harmoni dalam Negara juga sangat penting. Keamanan nasional tetap menjadi hal yang penting, namun ancaman keamanan tidak hanya dari luar negeri tetapi juga dari dalam, contohnya kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan pemberontakan. Menurut Amitav Acharya, ada dua sumber nilai yang menjadi landasan pembentukan norma pada organisasi regional khususnya ASEAN. Pertama, sebuah organisasi dapat belajar dari organisasi regional lain atau organisasi dunia yang ada. Kedua, sumber juga bisa di dapatkan dari nilai-nilai sosial, politik, dan budaya setempat.15 Dalam Treaty of Amity and Cooperation (Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama) pada tahun 1976, anggota ASEAN sepakat untuk: 1. Saling menghirmati kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas wilayah semua bangsa 2. Setiap Negara berhak memelihara keberadaannya dari campur tangan, subversi, kekerasan dari kekuatan luar 3. Tidak mencampuri urusan dalam Negara lain 4. Menyelesaikan perbedaan pendapat dan pertingkaian dengan jalan damai 5. Menolak ancaman penggunaan kekerasan
15
Cipto, Bambang, 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Kondisi riil,
dan masa depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
11
Kesepakatan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) ini menegaskan bahwa ASEAN secara gamblang menentang penggunaan segala macam kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kawasan, dan mengutamakan solusi damai. Prinsip tidak mencampuri urusan Negara lain atau doctrine of non-interference, memelihara hubungan antar negara anggota ASEAN dari konflik militer antar Negara. Doktrin ini menjadi alasan ASEAN untuk tidak mengkritik pemerintahan Negara anggota terhadap rakyatnya, menentang pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi Negara anggota lain, dan mendukung dan membantu Negara anggota lain yang sedang menghadapi gerakan antikemapanan. Doktrin ini membantu ASEAN menjauhi konflik internal antar Negara anggota. Kemudian menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerjasama pertahanan bilateral. ASEAN tidak membentuk aliansi militer karena hak tersebut akan menimbulkan kecurigaan antar anggota yang berakibat seluruh anggota akan memperkuat kekuatan militernya, akhirnya, keadaan kondusif yang aman dan damai tidak tercipta. Melalui prinsip ini, ASEAN memiliki kebiasaan yang disebut ASEAN way dalam menyelesaikan konflik antar Negara anggotanya dengan Negara lain. Salah satu implementasi dari prinsip-prinsi diatas adalah dengan membentuk ASEAN Regional Forum atau ARF. ARF dibentuk dalam Sidang Para Menteri Luar Negeri (AMM) dan Sidang Mitra Dialog (PMC) pada tanggal 21 hingga 26 Juli 1993 di Singapura. Forum tersebut awalnya beranggotakan 6 negara anggota ASEAN beserta 7 mitra dialog yakni, Amerika Serikat, Jepang, Masyarakat Eropa, Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Korea Selatan. Vietnam, Laos, dan Papua Nugini, menjadi peninjau sementara, dan Rusia dan Cina sebagai sebatas mitra konsultatif. Dalam perkembangan kedepan, Cina telah mejadi mitra dialog karena kekuatan Cina yang semakin kuat dan berpengaruh besar dalam kawasan Asia. Pertemuan ARF I yang bertempat di Bangkok, mensetujui Treaty of Amity and Cooperation (TAC) sebagai code of conduct masalah politik dan keamanan. Pada tahun 1995 diadakan pertemuan ARF II di Brunei Darussalam, yang menyepakati untuk memusatkan perhatian pada tiga upaya yang akan dituju yaitu pembangunan rasa saling percaya,
12
diplomasi preventif dan penjabaran pendekatan konflik. Kemudian ARF III di Jakarta, menyoroti kerjasama dalam bidang operasi pendukung perdamaian. 16 Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) merupakan salah satu upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik kawasan Laut Cina Selatan. DOC diratifikasi oleh Cina dan Negara anggota ASEAN yang terlibat pada 4 November 2002. Dalam DOC disepakati bahwa Negara anggota ASEAN terutama Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, serta Cina mengkonsolidasi serta memperbaiki kembali hubungan yang sempat menegang akibat konflik perebutan wilayah. Disepakati pula untuk terus menjaga kerjasama dan hubungan tetangga yang baik yang saling percaya satu sama lain.17 Di tekankan pula bahwa sengketa territorial di Laut Cina Selatan tidak akan menjadi isu internasional atau isu multilateral. Namun 8 tahun setelah itu, DOC belum berhasil mencapai misinya untuk saling percaya diantara pihak yang berkonflik di kawasan Laut Cina Selatan. DOC memberikan batasanbatasan moral kepada pihak yang bersengketa. DOC menjadi dasar penyusunan dokumen code of conduct (COC). Hal ini juga menjadi dasar implementasi penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, meskipun belum berjalan secara optimal dan efektif.18 Persoalan ini juga menjadi hal yang dibahas dalam setiap Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Hal yang perlu diingat adalah, dalam KTT ASEAN di Kamboja ke-20 pada tahun 2012 ASEAN dinilai gagal dalam mencapai satu suara dalam penyelesaian konflik kawasan tersebut dan membelah sikap negara-negara ASEAN. KTT ini dikatakan sebagai sebuah kegagalan pertama ASEAN selama 45 tahun dalam penyelesaian konflik. Terbelahnya sikap negara-negara ASEAN juga membuktikan semakin kuatnya pengaruh Cina kepada sejumlah anggota ASEAN yang tidak terlibat sengketa. Phnom Penh, selaku tuan rumah, menentang tindakan-tindakan agresif yang dapat memprovokasi Cina.
16
Ryanto, Sugeng, 2009, ASEAN REGIONAL FORUM, Upaya Menjaga Stabilitas Kawasan Asia Pasifik,
Yogyakarta: LP3M UMY & HI UMY, hlm. 67-69 17
Declaration On The Conduct Of Parties in The South China Sea, diakses dari Asean.org.co pada 28 Oktober
2018. 18
Li Mingjiang, 2014, Mengelola Isu Keamanan Di Laut Cina Selatan: Dari DOC ke COC, Terj. Michael Andreas
Tandinary, diakses dari kyotoreview.org/bahasa-indonesia/mengelola-isu-keamaan-di-laut-cina-selatan-dari-doc-kecoc/ pada 28 Oktober 2918.
13
Saat sikap terbelah ini terjadi pada anggota ASEAN, negara anggota ASEAN seharusnya satu suara dalam bersikap tegas dengan sengketa Laut Cina Selatan. Kenetralan ASEAN dalam menyelesaikan persoalan memiliki arti bahwa ASEAN tetap membela sesama anggotanya. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan konflik berkepanjangan antar anggota, dan merujuk pada tujuan utama ASEAN dibentuk dan prinsip-prinsip yang diberlakukan. ASEAN adalah untuk menciptakan keadaan yang kondusif bagi negara anggotanya untuk dapat membangun negaranya. Pecahnya konflik yang lebih berkepanjangan akan memperburuk keadaan untuk pembangunan masing-masing Negara ASEAN. Selain itu, ASEAN memiliki agenda ASEAN Community yang harus direalisasikan di akhir tahun 2015. Secara otomatis, ASEAN harus menjaga ketegangan konflik kawasan Laut Cina Selatan dengan Cina dan bernegosiasi dengan Amerika Serikat, Jepang, Australia yang mulai campur tangan dengan alasan memberikan solusi. Namun realitanya malah memperkeruh permasalahan. KTT ASEAN ke-25 pada November 2014, juga membahas sengketa Laut Cina Selatan dan persoalan implementasi DOC ASEAN-Cina dalam Laut Cina Selatan. Apabila DOC diberlakukan secara efektif maka dapat menyelesaikan konflik atau paling tidak dapat menurunkan ketegangan di kawasan tersebut. Selain itu, ASEAN banyak melakukan pertemuan tertutup antar menteri luar negeri pihak-pihak yang bersengketa. Dalam pertemuan tertutup, Sekertaris Negara Kemeterian Luar Negeri Kamboja, Soeung Rathchavy mengatakan, “ASEAN tidak dapat menyelesaikan sengketa ini. Kita bukan institusi hukum, pengadilanlah yang menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.”19 Pernyataan Kamboja memang benar, sengketa Laut Cina Selatan bukanlah tanggung jawab ASEAN untuk menyelesaikannya. Konflik ini juga bukan prioritas utama ASEAN karena ASEAN lebih fokus dalam pertumbuhan ekonomi negara dan menciptakan keadaan yang kondusif bagi pembangunan negara anggotanya. Dapat dikatakan dengan masuknya banyak intervensi dari negara di luar kawasan Asia, konflik ini sudah masuk ke dalam ranah konflik internasional. Sehingga, yang berhak menyelesaikannya secara hukum adalah mahkamah internasional. 19
Ramadhan Bilal, Kamboja: ASEAN Jangan Terlibat dalam Sengketa Laut Cina Selatan, 2015, diakses dari
www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/05/07/nnz9j4-kamboja-asean-jangan-terlibat-dalam-sengketalaut-cina-selatan pada 28 Oktober 2018.
14
Namun perlu diingat, yang membuat ASEAN harus terlibat dalam upaya penyelesaian masalah kawasan ini adalah tanggung jawab ASEAN dalam menjaga stabilitas keamanan kawasannya. Saat Negara anggotanya berkonflik dengan negara anggota lain ataupun negara luar ASEAN, cepat atau lambat konflik tersebut akan menyebabkan kekacauan dan dapat berujung pada baku tembak. Hal ini yang ingin dihindari ASEAN, jangan sampai terjadi konflik senjata api di kawasan Asia Tenggara. Meskipun Cina bermain militer dalam konflik ini, begitu pula Vietnam yang mulai mengadakan latihan militer bersama dengan Amerika Serikat, ASEAN tetap tidak akan mengeluarkan kebijakan aliansi militernya. Terkait konflik keamanan pertahanan, ASEAN lebih cenderung mendukung bilateralism antar negara yang berkonflik Selain itu, hal ini melenceng dari prinsip awal ASEAN yang selalu menjunjung tinggi solusi damai dalam penyelesaian segala sengketa serta menentang penggunaan kekerasan. Kemudian yang perlu diperhatikan juga, ASEAN selain bertanggung jawab menjaga stabilitas keamanan kawasannya, juga perlu menjaga hubungannya dengan Cina, mitra besarnya. Diawal hubungan Cina dan ASEAN, dihiasi dengan kecurigaan satu sama lain akan ancaman Barat bagi Cina dan ancaman komunis bagi ASEAN. Meskipun banyak dinamika dalam hubungan keduanya, ASEAN tetap konsisten untuk mengembangkan kerjasama dengan Cina dengan pertimbangan posisi strategis dan potensi pasar Cina yang sedemikian besar tiap tahunnya. Hubungan ASEAN-China yang baik dalam bidang ekonomi, membantu meningkatkan perekonomian kawasan Asia Tenggara, membantu dalam pembentukaan MEA, dan lainnya. Hal ini harus dipertahankan ASEAN demi masa depan perekonomian negara anggotanya. Sikap yang harus diambil ASEAN dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan adalah bersikap sebagai mediator, berdasarkan prinsip-prinsip ASEAN yang menjunjung tinggi solusi damai tanpa menggunakan paksaan kekuatan. Negara anggota ASEAN mengambil satu sikap yang sama dalam menanggapi tindakan-tindakan yang akan dilakukan pihak yang bersengketa. Tidak mendukung tindakan yang akan merugikan kedua belah pihak dan tidak ikut terprovokasi dalam penggunaan kekuatan militer. ASEAN juga harus dapat bersikap netral dalam menanggapi intervensi yang masuk dari pihak ketiga. Upaya realisasi DOC secara optimal dan efektif perlu terus di kerahkan dan ditegaskan kepada pihak yang bersengketa untuk mematuhi DOC dengan sebaik-baiknya. Bila diperlukan, adakan revisi 15
DOC yang baru yang memuat sanksi-sanksi bagi yang tidak mematuhi code of conduct tersebut. Kerjasama bilateral terhadap pertahanan keamanan menjadi salah satu solusi yang ASEAN berikan kepada pihak yang bersengketa untuk saling menjalin kerjasama tersebut. Agar konflik klaim yang terjadi diselesaikan secara bilateral, misal antara Cina-Vietnam, Cina-Filipina, dan pihak terlibat lainnya. Perlu pula adanya ketegasan tentang UNCLOS, hukum laut yang menjadi latar belakang muncul permasalahan klaim ZEE di kawasan Laut Cina Selatan (Brunei, Malaysia, dan Indonesia). Ketegasan ZEE ini juga dapat diselesaikan secara bilateral antar negara yang mempermasalahkan zona ekonominya. Bahwasanya, meskipun konflik ini bukan menjadi tanggung jawab ASEAN, demi menjaga stabilitas keamanan regionalnya, ASEAN perlu terlibat dalam membantu mencari solusi terbaik agar konflik ini tidak menjadi konflik yang berkepanjangan. Skenario terburuk yang dihindari ASEAN adalah meledaknya operasi militer di kawasan tersebut yang akan memaksa pihak yang bersengketa mengkerahkan pasukan militernya. Bila hal ini terjadi, tentu negara anggota lain yang tidak terlibat akan ikut terlibat dalam memberikan bantuan militer ataupun membentuk aliansi militer. Tentunya hal ini tidak diharapkan, karena masih banyak hal yang perlu diperhatikan dan dibangun dalam kawasan Asia Tenggara sendiri, seperti pertumbuhan ekonomi, dan sosial budaya.
2.3 Tantangan ASEAN dalam Menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan Setelah dijelaskan bagaimana perkembangan dan bagaimana sikap ASEAN terhadap konflik Laut Cina Selatan, penulis menganalisis apa tantangan bagi ASEAN untuk kedepannya dalam menyelesaikan konflik ini. ASEAN sebenarnya sedang dalam posisi yang membingungkan. ASEAN tentu tidak ingin konflik ini menjadi konflik yang bersenjata, akan tetapi semua usaha diplomasi yang dilakukan oleh ASEAN akan percuma apabila tidak diberlakukan secara efektif pada negaranegara yang berkonflik. ASEAN juga ingin tetap menjaga kerjasama yang baik dengan pihak Cina, menurut penulis hal ini membuat ASEAN tidak dapat melakukan tindakan yang tegas terhadap Cina. 16
Disebutkan juga diatas bahwa sikap negara anggota ASEAN sudah terpecah belah akibat pengaruh yang kuat dari Cina. Hal ini merupakan tantangan yang sulit bagi ASEAN, karena apabila sikap negara anggota sudah terpecah belah maka berkuranglah rasa saling percaya antar negara anggota. Pada tahun 2012, Kamboja yang menjadi Ketua ASEAN menantang sebuah pernyataan bersama Menteri Luar Negeri ASEAN mengenai Laut Cina Selatan. Sikap ini menimbulkan pro dan kontra. Karena hal ini memperlihatkan bahwa Kamboja lebih cenderung memihak Cina dan membuat rasa percaya antar negara anggota ASEAN semakin retak. Jadi sebenarnya Cina adalah tantangan terbesar ASEAN untuk menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Karena Cina berusaha untuk menguasai seluruh Laut Cina Selatan. Cina juga tidak meratifikasi UNCLOS sehingga semakin sulit bagi ASEAN untuk menemukan titik tengah yang baik bagi seluruh pihak. Menurut penulis, ASEAN akan tetap mempertahankan cara mereka yaitu dengan diplomasi prefentif dan tidak akan menggunakan militer atau kekerasan. Karena hal tersebut malah akan semakin memperburuk keadaan. Keamanan dan kesejahteraan regional tetap menjadi fokus utama ASEAN. Maka dari itu ASEAN sebaiknya menjadi mediator saja dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan.
17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Konflik Laut Cina Selatan merupakan konflik yang cukup rumit untuk diselesaikan. Karena konflik ini melibatkan banyak negara, dan konflik ini terjadi di jalur perdagangan internasional. Sehingga apabila konflik ini semakin memanas akan dapat menghambat perdagangan internasional yang akan berdampak kepada perekonomian dunia. ASEAN sebagai sebuah organisasi regional tentu tidak ingin konflik ini terus berlanjut di wilayahnya. Namun fokus utama ASEAN adalah tetap menjaga keamanan dan kesejahteraan wilayah regional. Sulit bagi ASEAN untuk menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan dan sulit juga bagi Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan konflik ini karena tidak semua negara meratifikasi UNCLOS. Konflik Laut Cina Selatan akan terus berlanjut hingga Cina atau negara yang terlibat dapat menemukan titik tengah yang adil. Namun jika dilihat sekarang, tidak ada satu negarapun yang mau mengalah terutama Cina. Cina tetap bersikukuh bahwa Laut Cina Selatan masuk ke dalam wilayah tertorial Cina.
18
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal: Asnani, Usman & Rizal Sukma. Konflik Laut China Selatan : Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: CSIS, 1997. Cipto, Bambang, 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Kondisi riil, dan masa depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harahap Anugerah Baginda, 2016, Upaya ASEAN Dalam Menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan Tahun 2010-2015, Jom FISIP Vol. 3 No. 2, hlm. 2, diakses dari https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/11278/10926 pada 28 Oktober 2018. Initiatives on South China Sea, Conflict Resolution and Peacekeeping Cooperation, People Engagement, Among Many Issues Noted in Comprehensive ASEAN Joint Communiqué Bali, Indonesia, 20 July 2011. Diakses dari https://asean.org/?static_post=initiatives-on-south-china-sea-conflict-resolution-andpeacekeeping-cooperation-people-engagement-among-many-issues-noted-in-comprehensiveasean-joint-communique-bali-indonesia-20-july-2011 pada 28 Oktober 2018. I Nyoman Sudira, 2009, Konflik Laut CIna Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke Amerika dan Eropa. Leszek Buszynki, 2007, Maritime Claims and Energy Cooperation in the South China Sea, Contemporary Southeast Asia, Institue of Southeast Asian Studies Vol. 29 No. 1. Nugraha Anthanasius Aditya, Manuver Politik Cina Dalam Konflik Laut Cina Selatan, diakses dari https://www.academia.edu/8279356/Jurnal_III_Athanasius_Aditya_Nugraha pada 28 Oktober 2018. R.A. Cossa, Security Implications of Conflict in the South China Sea: Ekspolring Potential Triggers of Conflict, A Pacific Forum CSIS Special Report, Honolulu, 1998. 19
Ryanto, Sugeng, 2009, ASEAN REGIONAL FORUM, Upaya Menjaga Stabilitas Kawasan Asia Pasifik, Yogyakarta: LP3M UMY & HI UMY. Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga, 2015, ASEAN dan Isu Laut Cina Selatan: Transformasi Konflik Menuju Tata Kelola Keamanan Regional Asia Timur, Jurnal Penelitian Politik Vol. 12 No. 1 hlm. 100, diakses dari http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/532 pada 28 Oktober 2018.
Website: Declaration On The Conduct Of Parties in The South China Sea, diakses dari Asean.org.co pada 28 Oktober 2018. Diakses dari http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12288/g.%20bab%20iii.pdf?sequenc e=7&isAllowed=y pada 28 Oktober 2018. Li Mingjiang, 2014, Mengelola Isu Keamanan Di Laut Cina Selatan: Dari DOC ke COC, Terj. Michael Andreas Tandinary, diakses dari kyotoreview.org/bahasa-indonesia/mengelolaisu-keamaan-di-laut-cina-selatan-dari-doc-ke-coc/ pada 28 Oktober 2918. Lokakarya Penanganan Konflik di Laut Cina Selatan ke-19, 2009, diakses dari https://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/Lokakarya-Penanganan-PotensiKonflik-di-Laut-China-Selatan-ke-19.aspx pada 28 Oktober 2018.
20