Bab I Konsepsi Dasar Kefilsafatan.docx

  • Uploaded by: Indha Lestary
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Konsepsi Dasar Kefilsafatan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,884
  • Pages: 30
BAB

I

KONSEPSI DASAR KEFILSAFATAN Dalam bab I ini, dikaji tentang konsepsi dasar kefilsafatan, meliputi: pengertian dan permasalahan filsafat, asal mula filsafat, manusia dan filsafat, tujuan dan manfaat filsafat, Kegunaan dan cara mempelajari filsafat, Pembidangan filsafat

A. Pengetian dan Permasalahan Filsafat Sebelum membahas tentang filsafat ilmu, alangkah baiknya dimulai dengan memberi kajian tentang filsafat, sebab sudah menjadi pendapat umum bahwa filsafat merupakan induk dari segala macam jenis ilmu pengetahuan.

1.

Pengertian Filsafat

Secara etimologi atau asal usul bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philoshophia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut mungkin juga berasal dari kata Yunani philoshophia yang berasal dari dua kata kerja philein yang berarti mencintai atau philos yang berarti cinta, dan shopia yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Dari kata tersebut masuk dalam bahasa Inggris philosophy yang biasanya diterjemahkan dengan “cinta kearifan” Pengertian

etimologi

tersebut,

Achmadi

(2012:

2)

mengatakan

“belum

memperlihatkan suatu makna yang sebenarnya dari kata filsafat, sebab pengertian ‘mencintai’ belum memperlihatkan keaktifan seorang filosof untuk memperoleh kearifan atau kebijaksanaan itu”. Selanjutnya, juga dikatakan bahwa: pengertian yang lazim berlaku di Timur (Tiongkok atau India), seseorang disebut filosof apabila telah mendapatkan atau telah meraih kebibijaksanaan. Sedangkan, pengertian yang lazim berlaku di Barat, kata ‘mencintai’ tidak perlu meraih kebijaksanaan. Oleh karena itu, yang disebut filosof atau ‘orang bijaksana’ mempunyai pengertian yang berbeda antara di Barat dengan di Timur. Pengertian filsafat menurut para ahli, adalah sebagai berikut: Suriasumantri (1997: 4), falsafah diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.

Indar (1994: 6), filsafat dapat disimpulkan adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, mencari kebenaran, dan tentang dasar-dasar atau prinsip-prinsip. Jadi, filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami dan menyelami secara radikal dan integral serta sistematik mengenai ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. Siagian (2008: 2), filsafat dalam bahasa Yunani terdiri dari dua suku kata, yaitu Philos dan Sophia. Philos biasanya diterjemahkan dengan istilah gemar, senang, atau cinta. Sophia dapat diartikan kebijaksanaan atau kearifan. Dengan demikian dapat dikatakan “filsafat” berarti cinta kepada kebijaksanaan. Menjadi bijaksana berarti berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa berfilsafat berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakikatnya, fungsinya, ciri-cirinya, kegunaannya, masalah-masalahnya, serta pemecahan-pemecahan terhadap masalah-masalah itu. Menurut Socrates sebagai bapak filsafat (Yunani) dalam Wiramihardja, (2009: 15) menyatakan fisafat sebagai cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Kemudian Plato, dalam Suhartono (1994: 8) filsafat harus berlangsung dengan mengeritik pendapat–pendapat yang berlaku. Jadi kearifan atau pengertian intelektual diperoleh melalui sesuatu prose pemeriksaan secara kritis, diskusi dan penjelasan gagasan-gagasan. Selanjutnya, Aristoteles (384-322 SM) dalam Sahabuddin (1997: 78-79), menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran dan tercakup di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika. Rene Descartes (1590-1650), filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan yang di dalamnya Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Al-Farabi (870-950), mengartikan filsafat dengan ilmu pengetahuan tentang alam wujud yang mempersoalkan bagaimana hakikat yang sebenarnya. sedangkan, Ibnu Sina (979-1037), mengaitkan filsafat dengan kesempurnaan dan realisasidiri. Hikmah (filsafat) adalah penyempurnaan jiwa manusia melalui pengkonsepsian halikhwal dan penimbangan kebenaran-kebenaran teoritis dan praktis dalam batas-batas kemampuan manusia. Dari pandangan-pandangan para ahli dan para pemikir tersebut, nampak dengan jelas adanya perbedaan-perbedaan yang terlihat dari sudut pandang masing-masing. Namun, jika direnungkan dan dikaji secara mendalam makna dari masing-masing pandangan tersebut,

sebenarnya dapat dikatakan bahwa dasar pemikirannya adalah mengarah adanya pemikiran yang sifatnya radikal, sistematis, dan integral (menyeluruh) atau kesemestaan. Dikatakan sifatnya radikal, karena segala permasalahan dipikirkan secara mendalam sampai ke akar permasalahan. Dalam berpikir radikal tersebut harus ditata secara sistematis menurut sistem, menurut aturan yang menunjukkan adanya satu rangkaian menyeluruh. Dan pemikiran yang mendalam dan sesuai sistem itu harus menjangkau seluruh alam semesta. Yuyun S. Suriasumantri ( Jadi, secara bahasa filsafat memiliki arti “cinta akan kebijaksanaan”, sedangkan sebagai rumusan pengertian umum filsafat adalah rangkaian kegiatan berpikir radikal, sistematis, dan integral (menyeluruh) atau kesemestaan tentang hakikat dari segala sesuatu yang sebenarnya. 2.

Ciri-ciri Pemikiran Ficlsafat Menurut Wiranata, (2005: 58) berfilsafat adalah sebuah ancangan berpikir manusia

Namun, tidak otomatis semua berpikir itu adalah berfilsafat. Berfilsafat apabila dalam berpikir tersebut memiliki ciri utama, yaitu: a.

Radikal

Filsafat berpikir sampai sedalam-dalamnya mengenai hakikat sesuatu hingga keakar-akarnya sampai pada konsekuensi terdalam. Dengan perpikir secara radikal, seseorang tidak akan berhenti ketikarealitas yang dibayangkannya telah terwujud dalam kenyataan. Berfilafat dengan demikian kental dengan fenomena radikal sebab dengan selalu bertanya fenomena nasional secara terus menerus akandapat ditemukan makna yang hakiki termasuk mengenai dirinya

sendiri.

Pemikiran

radikal

tidaklah

otoatis

berarti

arah

menghapuskan,

menghancurkan sesuatu yang sudah mapan. Justrupemikiran radikal ini harus diarahkan pada penemuan sesuatuyang yang bersifat esensi, hingga ke akar permasalahannya. Kematangan berpikir seseorag akan mampu mencapai akar permasalahan. b.

Sistematik

Filsafat berpikir logis, melakka gerakan selangkah demi selangkah dengan kesadaran yang mantap dengan tata urutan yang bertanggung jawab dan bermakna saling memiliki

hubungan atau keterkaitan satudengan lainnya secarasistematis. Filsafat bukan hanya mengacu pada bagian tertentu darisebuah realitas, namun filsafat itu mengacu kepada keseluruhan dari realitas secara terintegrasi Pencarian demikian harus menemukan hal-hal yang bersifat hakiki sehingga dapat diketahi pada pola keterkaitan antara masing-masing unsurnya c.

Universal

Filsafat berpikir secara utuh,menyeluruh tidak sepenggal demi sepenggal sehingga makna dapat ditemuansecara utuh. Filsafat tidak akan berhenti pada bagian tertentu/bagian terkecil tetapi penemuan penemuan yang terkecil sekalipun harus mampu menjawab fenomena unifersal. d.

Mencari kejelasan

Filsafat diawalisalah satunya olehadanya keraguan. Untukmenghilangkan keraguan itu perlu ada kejelasan. Kejelasan pengertian (clarity of uderstanding) aka menghasilkan kejelasan intelektual (intelectual clarity). Perjuangan untuk memperoleh kejelasan akan bermuara pada perolehan sesuatu kebenaran. Kebenaran ini akan mengakhiri mitos,serba kerahasiaan, kekaburan, dan ketidaksempurnaan nalar. e.

Rasional.

Rasional dalam berpikir secara utuh,r asional dalam menganalisis dan rasional dalam penyimpulan adalah hakikat sifat dasar yang lain dari filsafat. Logika berpikir yang logis didasarkan atas asumsi yang rasional dibantu oleh logika silogisme merupakan hal yang mutlak diperlukan dalamdunia filsafat. Apabila ciri-ciri pemikiran filsafat di atas dilakukan secara maksimal seseorang sampai pada tahap bijaksana karena a.

Mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai

b.

Mendasarkan pendapat dan pandangannya tidak atas pertimbangan-pertimbangan yang dangkal saja, tetapi melihat, merasa, dan memperhatikan dari sudut yang general dan utuh.

3.

Permasalahan Filsafat Sudarsono, (2001: 3-5) mengemukakan ada enam persoalan yang selalu menjadi

perhatian para filsuf, yaitu: persoalan tentang ada, pengetahuan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Keenam persoalan tersebut memerlukan jawaban secara radikal, dan tiap-tiap persoalan menjadikan salah satu cabang filsafat, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a.

Persoalan tentang Ada: persoalan tentang “ada” (being) menghasilkan cabang filsafat metafisika. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu: meta berarti di balik; dan physika berarti benda-benda fisik. Pengertian sederhana dari metafisika, yaitu kajian tentang sifat paling dalam dan radikal dari kenyataan. Metafisika sebagai salah satu cabang filsafat mencakup persoalan ontologism, kosmologi, dan antropologis. Ketiga hal tersebut memiliki titik sentral kajian tersendiri. Ontologis merupakan teori tentang sifat dasar dari kenyataan yang radikal dan sedalam-dalamnya. Kosmologi merupakan teori tentang perkembangan kosmos (alam semesta) sebagai suatu sistem yang teratur.

b.

Persoalan tentang pengetahuan (knowledge): menghasilkan cabang filsafat epistemologi, yaitu: filsafat pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari akar kata episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.

c.

Persoalan tentang Metode (Method): Persoalan tentang metode (Method) menghasilkan cabang filsafat metodologi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu metodos dengan unsur “meta” berarti: cara, perjalanan, sesudah, dan “hodos” berarti: cara perjalanan, arah. Pengertian metodologi secara umum, ialah kajian atau telaah dan penyusunan secara sistematik dari beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah; atau sebagai penyusun struktur ilmu-ilmu vak.

d.

Persoalan tentang Penyimpulan: persoalan tentang penyimpulan menghasilkan cabang filsafat logika (logis). Logika berasal dari istilah Yunani yaitu logos yang berarti uraian, nalar, secara umum pengertian logika ialah telaah mengenai aturan-

aturan penalaran yang benar. Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir tepat dan benar. Berpikir adalah kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Dengan berpikir manusia “mengolah”, “mengerjakan” pengolahan yang telah didapat. Dengan “mengerjakan”, “mengolah” pengetahuan yang telah didapat, maka ia dapat memperoleh kebenaran. Apabila seorang “mengolah”, “mengerjakan”

berarti

ia

telah

mempertimbangkan,

membandingkan,

menguraikan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan lainnya. Logika dapat dibagi menjadi: logika ilmiah dan logika kodratiah. Logika merupakan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan. e.

Persoalan tentang Moralitas (Morality): persoalan tentang moralitas menghasilkan cabang filsafat etika (ethics). Istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti adat kebiasaan. Etika sebagai salah satu cabang filsafat menghendaki adanya ukuran yang bersifat universal. Dalam hal ini berarti berlaku untuk semua orang dan setiap saat, jadi tidak dibatasi ruang dan waktu.

f.

Persoalan tentang Keindahan: persoalan tentang keindahan menghasilkan cabang filsafat Estetika (aesthetics). Estetika berasal dari istilah Yunani aestheticos yang maknanya berhubungan dengan penerapan indera. Estetika merupakan kajian kefilsafatan mengenai keindahan dan ketidakindahan. Dalam pengertian yang lebih luas estetika merupakan cabang filsafat yang menyangkut bidang keindahan atau sesuatu yang indah terutama dalam masalah seni dan rasa, norma-norma nilai dan seni.

Dari kutipan panjang tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk memahami persoalanpersoalan yang berkenaan dengan masalah filsafat ilmu, terlebih dahulu dipahami tentang filsafat. Filsafat itu membahas tiga hal yang menyangkut tentang hakikat sesuatu (ontologi), tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan (epistemelogi), dan tentang nilai-nilai sesuatu (aksiologi). Jadi, mengenal filsafat dengan mengenal ketiga aspek itu. Amsal Bakhtiar (2010: 131-174), menyebutnya sebagai dasar ilmu, sedangkan Muhajir (1998: 49) menyebutnya sebagai cabang utama filsafat, yaitu: 1) ontologi, 2) epistemelogi, dan 3) aksiologi Ontologi adalah kajian filsafat yang mempersoalkan tentang ‘yang ada’ atau suatu pemikiran yang intensif dan ekstensif mengenai ‘yang ada’ Adapun yang ada menurut Lorens Bagus (dalam Muhajir, 1998: 49) menjelaskan yang ada meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

Kajian filsafat secara ontologis, selain bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas, ia dibimbing oleh kaidah moral yang berasaskan tidak merubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia dan tidak mencampuri masalah kehidupan, dan lingkup permasalahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seprti kehidupan setelah mati/akhirat – mengenai surga dan neraka) diserahkan pada kajian pengetahuan lain. Epistemologi adalah kajian filsafat yang berkaitan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasional manusia. Kattsoff (1987: 76) mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Landasan epistemologis dalam memperoleh dan menyusun tubuh pegetahuannya secara operasional berasarkan: a.

Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun

b.

Menjabarkan hipotsis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut, dan

c.

Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termasuk untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual. Secara akroni metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypothetico-verficatif atau deducto-hypothetico-verficatif

Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomen alam. Verifikasi secara empiris berart i evaluasi secara objektif

dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual.

Verifikasi ini berarti bahwa terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta menolak pernyataan hipotesis). Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dan keterbukaan terhadap terhap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berfikir kritis. Keterbukaan ini merupakan sistem umpan balik korrktif yang ditunjng dengan cara berfikir kriti yang disebut Merton (dalam Depdikbud 1982/1983:

91) sebagai “skeptisisme

terorganisasi”. Artinya cara berfikir ilmiah dimulai dengan sifat skeptis terhadap kebenaran sampai kesahihan kebenaran tersebut dibuktikan lewat prosedur keilmuan. Cara berfikir ini

berbeda dengan modus yang dimulai dengan sikap percaya seperti terdapat umpamanya dalam agama. Di samping sikap moral yang secara implisit terkait dalam proses logico-hypothetycoverifikatif tersebut terdapat asas moral yang secara eksplisit nerupakan das sollen dalam epistemologi keilmuan. Asas tersebut ialah bahwa dalam proses kegiatan keilmuan maka setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Aksiologi adalah kajian filsafat yang berkaitan dengan teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai Teorinya mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti. Pertama, etika berarti kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia, seperi ungkapan ‘saya pernah belajar etika’.

Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk perilaku manusia

tentangbai atau tidakbaik, seperti ungkapan ‘ia bersifat etis’ atau ia seorang yang ‘jujur’. Pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila. Untuk estetika berkaitan dengan nilaitentang pengalaman keindahan yangdimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomen disekelilingnya. Jadi etika adalah penilaian tentang baik dan tidak baik, sedangkan estetika adalah penilaian tentang keindahan. Menurut Bramel (dalam Bakhtiar, 2010: 163), aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin khussus, yakni etika. Kedua, esthetic ekpression (ekspresi keindahan) yang melahirkn keindahan, Ketiga, sosio-political life (kehidupan sosial poltik), yang melahirkan filsafat sosio-politik. B. Asal Mula Filsafat Hatta, (1986:1-2) dalam Tafsir (2001:14), “tiap bangsa betapapun biadabnya, mempunyai dongeng-dongeng takhyul. Ada yang terjadi dari kisah perintang hari dan keluar dari mulut orang suka bercerita. Ada yang terjadi dari muslihat menakut-nakuti anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbul dari keajaiban alam yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang menyangka alam ini penuh oleh dewa-dewa. Lama kelamaan timbul berbagai fantasi. Dengan fantasi itu manusia dapat menyatukan ruhnya dengan alam sekitarnya. Orang yang membuat fantasi itu tidak ingin membuktikan kebenaran fantasinya karena kesenangan ruhnya terletak pada fantasinya itu. Tetapi kemudian ada orang yang

ingin mengetahui lebih jauh. Di antaranya ada orang orang yang tidak percaya, ada yang bersifat kritis, lama-kelamaan timbul keinginan pada kebenaran. Orang-orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhyul. Tetapi yang ajaib pada mereka ialah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja. Tidak mengharapkan untung dari itu. Berhadapan dengan alam yang indah luas, yang sangat bagus dan ajaib pada malam hari, timbul di hati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan di dalam hati mereka, dari mana datangnya alam ini, bagaimana terjadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya. Demikianlah selama seratus tahun alam ini menjadi pertanyaan yang memikat perhatian ahli-ahli pikir Grik”. Rakyat Grik yang terpaksa merantau, di sanalah tempat kediaman filosof-filosof, seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Tafsir

(ibid), dari kutipan panjang ini

dapat diambil dua kesimpulan. Pertama,

dongeng dan takhyul dapat menimbulkan filsafat. Di antara orang-orang ada yang tidak percaya begitu saja. Ia kritis, ingin mengetahui kebenaran dongeng itu. Dari situ timbul filsafat. Kedua, keindahan alam besar, terutama ketika malam hari, menimbulkan keinginan pada orang Grik untuk mengetahui rahasia alam itu. Keinginan mengetahui rahasia alam, berupa rumusan-rumusan pertanyaan, ini juga menimbulkan filsafat. Beerling (1966) dalam Tafsir (ibid), mengatakan bahwa orang Yunani yang mula-mula sekali berfilsafat di Barat mengatakan bahwa filsafat timbul karena ketakjuban. Ketakjuban menyaksikan keindahan dan kerahasiaan alam semesta ini lantas menimbulkan keinginan mengetahuinya. Prawironegoro (2010: 14) mengatakan bahwa filsafat lahir dari keraguan (skeptis), kekaguman (keheranan), dan dari berpikir kritis (mempertanyakan) terhadap gejala alam dan sosial. Wiranata, (2005: 49) mengatakan ada empat hal yang mendorong timbulnya kajian filsafat, yaitu: 1) ketakjuban atau keheranan, 2) ketidakpuasan, 3) hasrat bertanya, dan 4) keraguan 1) Keraguan (skeptis): mendorong manusia mencari pemecahan atas sesuatu yang diragukan; 2) Kekaguman (keheranan): melihat kebesaran alam, manusia mencari prinsip dasar terjadinya alam. Thales (abad 6 SM) menjelaskan bahwa prinsip dasar alam ialah air, Heraklitus (sekitar 500 SM) menjelaskan bahwa prinsip dasar alam ialah api, Anaximenes dan Anaximandros (610-540 SM) menjelaskan bahwa prinsip dasar alam ialah udara, dan Empedokles menjelaskan bahwa prinsip dasar alam ialah

tanah. Empat unsur inilah yang diyakini oleh para filosof membentuk alam, di dalamnya termasuk manusia. Mereka itulah peletak dasar ilmu alam; 3) Ketidakpuasan: ketika memandang alam dan lingkungan di sekitarnya, perjalanan panjang hidup manusia selalu memunculkan ketidakpuasan, yang penyebabnya antara lain karena terpolanya peran mitos, dongeng, penjelasan yang sifatnya sangat terbatas, dan lain-lain, hal-hal yang bersifat di luar kemampuannya, ketidakpuasan manusia pun semakin lama semakin berkembang. Manusia tidak pernah puas akan pencarian hakikat tentang diri dan lingkungannya. 4) Berpikir Kritis: tidak menerima begitu saja apa adanya; selalu mempertanyakan apa saja terutama sesuatu yang mapan (established); berpikir kritis tidak menggunakan asumsi terlebih dahulu. Dari pandangan-pandangan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa orang berfilsafat didasarkan adanya keraguan, keheranan/ketakjuban, ketidakpuasan, dan berpikir secara kritis terhadap fenomena alam semesta dengan suatu tujuan yakni ingin memecahkan hakikat fenomena. Atau dengan keraguan, keheranan, ketidakpuasan maka timbul dorongan rasa ingin tahu sesuatu sampai ke akar-akarnya itulah pertanda timbulnya filsafat C. Manusia dan Filsafat Suhartono (2008: 1), “dalam konteks filsafat, manusia dipahami sebagai makhluk berpikir. Tetapi sebenarnya, selain itu manusia juga sebagai makhluk ber-rasa dan ber-karsa. Atas tiga potensi kejiwaannya, manusia melakukan segala macam kegiatan hidup dan karena itulah kesungguhan keberadaan manusia menjadi lebih nyata. Atas daya cipta, rasa, dan karsanya, manusia sadar atas dirinya sendiri, dari mana asal mula dan ke mana tujuan hidupnya, serta di mana eksistensi kehidupannya. Atas potensi kesadarannya itu, maka hakikat manusia dapat dijelaskan sebagai berikut. Ada tiga pendekatan tentang manusia, yaitu menurut susunan, sifat, dan kedudukan kodratnya. Menurut susunan kodratnya, manusia adalah makhluk rohani yang membadan dan makhluk badani yang merohani. Menurut sifat kodratnya, manusia adalah makhluk individu yang memasyarakat dan makhluk sosial yang mengindividu. Kemudian, menurut kedudukan kodratnya, manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom dan makhluk otonom yang men-Tuhan. Jadi, dapat dirumuskan bahwa atas potensi kerohaniaannya, manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri pribadi menurut susunan kesatuan harmonik roh (jiwa) yang membadan (raga) dan eksis sebagai individu yang memasyarakat.

Dari kutipan panjang tersebut jelaslah bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan kesempurnaan, artinya hakikat “manusia” mempunyai jasmani dan rohani yang dibekali dengan akal untuk menentukan apa yang harus dilakukan sesuai tujuan penciptaannya, sedangkan hewan juga sebagai makhluk memiliki jasmani dan rohani yang diciptakan oleh Allah, namun tidak dibekali akal, sehingga hewan tidak pernah ambil pusing dengan segala macam pikiran, hewan juga tidak pernah bertanya kenapa dia dan untuk apa dia dilahirkan, karena hewan memang tak memiliki akal. Dengan akal, manusia senantiasa berpikir mengenai eksistensi dirinya maupun eksistensi alam semesta dengan segala isinya, tanpa disadari bahwa sesungguhnya manusia sedang mencari identitas dirinya. Dengan demikian, manusia merupakan satu kesatuan sebagai makhluk individu, sebagai makhluk sosial, juga sebagai makhluk susila. Sebagai makhluk individu, manusia selalu berpikir bagaimana menjalankan hidup dan kehidupan di dunia yang bermanfaat. Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung mengadakan hubungan sosial atau dengan kata lain hidup bermasyarakat dengan manusia lain, juga membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia. Sedangkan sebagai makhluk susila, manusia dalam proses interaksinya haruslah berpedoman pada norma-norma atau nilai-nilai kehidupan yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan yang baik. Untuk lebih memperjelas hakikat manusia, kita harus memahami manusia dalam sudut pandang dan konsepsi agama, karena hal-hal tersebut yang telah diuraikan di atas mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan paling sempurna. Dalam pandangan agama (Islam), manusia terdiri dari substansi yaitu substansi materi yang asalnya dari bumi dan ruh berasal dari Tuhan, sehingga dikatakan bahwa manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh, jika kedua substansi tersebut tidak ada maka tidak dapat dikatakan manusia. Artinya manusia terdiri dari ruh dan jasmaniah 1.

Manusia Sebagai Makhluk Berpikir Sudarsono (2001:224), menurut tinjauan kefilsafatan manusia adalah makhluk yang

bertanya, dalam hal ini manusia sebagai makhluk yang mempertanyakan dirinya sendiri dan keberadaannya serta kosmos secara menyeluruh. Dengpan demikian manusia mulai tahu keberadaannya dan menyadari bahwa dirinya adalah penanya. Pandangan tersebut jika dicermati dan direnungkan secara saksama dan sistematis, mengapa dikatakan bahwa manusia mulai tahu keberadaannya dan menyadari dirinya

sebagai penanya, tidak lain dan tidak bukan serta tidak pula dapat disangkal bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai pencipta telah melengkapi manusia dengan akal. Akal tersebut yang digunakan oleh manusia untuk berpikir dan mencerna secara mendalam tentang hakikat penciptaan manusia. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah dalam kitabnya al-Fikr at-Tarbawi dalam Bya, (2005: 72-73) mencoba merumuskan definisi tentang manusia sebagai berikut: a.

Manusia berasal dari tanah dan dilahirkan dari air yang hina (air mani);

b.

Manusia diciptakan dari suatu gumpalan yang Allah gumpalkan dari segala unsur tanah, yang mana terdapat segala unsur yang baik, yang kotor, yang mudah, yang sedih, yang mulia dan yang hina. Dari gumpalan tanah itu dibuat bentuk manusia lalu ditiupkan ruh kepdanya. Ketika ruh itu telah masuk ke dalam gumpalan tanah yang telah berbentuk daging dan darah, jadilah manusia sebagai makhluk hidup yang berbicara. Kemudian Allah mengajarkan kepadanya tentang nama-nama dari segala sesuatu;

c.

Manusia dimuliakan dengan akal, ilmu pengetahuan, pemahaman, kesenangan, dan berbicara;

d.

Manusia diberi keistimewaan yaitu memiliki rasa malu;

e.

Manusia diberi keistimewaan dengan keterangan (Qur’an dan alam-Nya)

f.

Manusia memiliki kemampuan untuk belajar karena telah diberikan kepadanya sarana-sarana tertentu untuk belajar;

g.

Manusia memiliki keistimewaan dengan memiliki kecenderungan dan tabiat yang dapat membantunya dalam melaksanakan kemaslahatannya;

h.

Manusia memiliki kekuatan, syahwat, dan rasa malu;

i.

Perintah-perintah Allah tidak akan terpisah dari manusia hinga manusia menghadap-Nya;

j.

Manusia tidak diciptakan dengan sia-sia;

k.

Manusia memiliki keistimewaan dalam hal bentuk dan rupanya; dan

l.

Manusia adalah satu unit yang tidak terpisah-pisah, terdiri dari jiwa, akal dan jasmani.

Dari pandangan tersebut secara sepintas kita dapat mengatakan bahwa manusia adalah merupakan makhluk yang memiliki multi-dimensi yang diberikan oleh Allah adalah agar manusia menyadari sesadar-sadarnya makna keberadaannya di dunia dan dapat mengenal dirinya. Mengenal diri dimaksudkan adalah agar manusia sadar akan martabat dan kehormatannya, dan dapat memahami bahwa bila dirinya berbuat keji maka hal itu tidak

sesuai dengan atau mencemarkan kedudukannya yang telah diberikan oleh Allah. Dengan kesadaran manusia akan kesucian dirinya sendiri sehingga nilai moral dan sosial yang suci akan sangat berarti bagi hidup dan kehidupannya kelak sebagai makhluk individu, sebagai makhluk sosial, maupun sebagai makhluk susila. 2.

Tinjauan Kefilsafatan Tentang Manusia Filsafat yang merupakan pemikiran secara sistematis dalam kegiatannya untuk

menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri yang pada dasarnya kesemuanya mengarah kepada suatu pencarian kebenaran secara hakiki dari seluruh kenyataan-kenyataan hidup. Sedangkan manusia seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan segala keistimewaannya. Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh manusia sehingga berbeda dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya adalah dengan “akal”. Suhartono (2008: 22), mengatakan bahwa Aristoteles memberi identitas manusia sebagai “animal rationale”, yang disepanjang hidupnya tidak pernah berhenti berpikir. Apa yang perlu dipikirkan? Mengapa harus dipikirkan? Bagaimana pemikirannya itu? Untuk apa manusia harus berpikir sedemikian itu? Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan manusia di dunia ini memang cenderung untuk selalu berpikir. Berpikir tentang bagaimana menjalani hidup, berpikir tentang makna keberadaannya di dunia ini, berpikir tentang tujuan hidup sesuai hakikat penciptaannya, dan banyak lagi yang harus dipikirkan untuk memecahkan permasalahanpermasalahan sebagai makhluk individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk susila dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Sahabuddin (1997: 2), mengatakan bahwa filsafat jika dikaji secara mendalam, maka fisalafat digunakan justru dalam hidup dan kehidupan, yang liputannya jauh lebih luas, sesuai dengan sifat filsafat, sebagai sistem berpikir yang sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, dan secara sistematis. Oleh sebab itu, filsafat pada dasarnya dibutuhkan sebagai landasan dalam memikirkan, dalam memandang dan menilai, serta dalam bertindak ketika menghadapi sesuatu yang sifatnya tidak rutin. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, bahwa perkembangan pemikiran tentang manusia menunjukkan adanya upaya yang terus menerus untuk menemukan hakikat manusia (siapa “aku”, apa tujuan hidup “aku”, dan kemana “aku” kelak). Hal ini berarti ingin dicapai

pengertian dengan sesuatu kegiatan berpikr yang mendalam, radikal dan sistematis tentang manusia. 3.

Pandangan Filsuf Tentang Manusia Surdasono (2001: 235), seorang tokoh filsafat alam (Anaximandros) memberikan

pandangan tentang manusia. Dalam kaitan ini mengenai manusia Anaximandros mengatakan bahwa tidak mungkin manusia pertama timbul dari air dalam rupa anak bayi. Sebagai alasan dikemukakan bahwa binatang lain cepat sekali sanggup untuk mencari makanan sendiri, sedangkan manusia memerlukan masa cukup lama di mana ia menyusu. Oleh sebab itu dia beranggapan bahwa manusia-manusia yang pertama tumbuh dalam badan seekor ikan, dengan dasar anggapannya atas observasinya, bahwa seekor hiu di laut Yunani melindungi anak-anaknya dalam badannya. Plato dalam Hadi, (1996: 5) mengatakan bahwa yang disebut manusia atau pribadi adalah jiwa sendiri, sedangkan badan dianggap sebagai alat yang berguna sewaktu masih hidup di dunia ini. Tetapi badan itu, di samping berguna, sekaligus juga memberati usaha jiwa untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kembali ke dunia ide. Jadi, manusia mempunyai “pra-eksistensi”, yaitu sudah berada sebelum dipersatukan dengan badan dan jatuh ke dunia ini. Pendapat Plato di atas ditolak oleh Thomas Aquinas. Aquinas dalam Hadi, (1996: 6), yang disebut manusia sebagai pribadi adalah “makhluk individual yang dianugrahi kodrat rasional”. Jadi, manusia menurut Aquinas tidak dikenal apa dikatakan oleh Plato praeksistensi jiwa sebelum dipersatukan dengan badan. Manusia adalah suatu substansi yang komplet terdiri dari badan (materi) dan jiwa (forma). Pandangan Lamattrie (1709 – 1751) dalam Sudarsono (2001: 236) sebagai pelopor materialisme menyebutkan bahwa manusia tidak lain daripada binatang, binatang tak berjiwa, material belaka, jadi manusia pun material belaka. Maka dibuktikannyalah, bahwa yang disebut jiwa itu dalam tindakan sebenarnya tergantung kepada material, sedangkan badan atau meterial dapat bertindak tanpa jiwa. Jantung katak misalnya, dapat berdenyut di luar badan. Adapun jiwa tak mungkin bertindak yang nyata sedikit pun jika badannya tidak ada. Sudut pandangan Kristiani yang dikembangkan oleh Neibhur dalam Kattsoff, (1996: 411), manusia tiga dalil pokok. Pertama, pandangan tersebut didasarkan atas pengertian tentang Tuhan sebagai pencipta dunia dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya,

termasuk manusia. Jadi manusia dipandang sebagai eksistensi yang diciptakan dan mengenal akhir baik raganya maupun jiwanya, tetapi dalam beberapa hal juga menyerupai Tuhan. Manusia merupakan “suatu kesatuan yang terdiri dari keadaan yang menyerupai Tuhan dan keadaan sebagai makhluk”. Kedua, keadaan manusia, “dipahami terutama dari sudut pandangan Tuhan, dan bukannya dari sudut kekhusussan kemampuan rasionalnya atau hubungannya dengan alam”. Berdasarkan pandangan ini dapat disimpulkan manusia merupakan makhluk yang lemah, mengenal akhir, dan tergantung pada Tuhan. Ketiga, pandangan Kristiani tentang manusia menyatakan, “Keburukan yang terdapat pada manusia merupakan konsekuensi dari sikapnya yang tidak bersedia (yang tidak terelakkan, meskipun niscaya demikian) untuk mengakui ketergantungannya, untuk menerima keadaannya yang mengenal akhir, dan untuk mengakui keadaannya yang tidak pasti”. Inilah yang merupakan unsur dosa. Lanjut menurut Neibuhr, pemahaman tentang manusia harus didasarkan atas proposisi-proposisi berikut ini: a.

Manusia merupakan suatu kesatuan yang diciptakan yang terdiri dari raga dan roh --- “seperti Tuhan”;

b.

Ditinjau dari sudut pandangan Tuhan, manusia merupakan suatu makhluk yang lemah, yang tergantung, yang mengenal akhir; dan

c.

Manusia ialah penanggung dosa.

Menurut pandangan Islam (Al-Qur’an) dalam Bya (2005: 54-57), sedikitnya ada tiga kelompok istilah yang dipakai Al-Qur’an dalam menjelaskan makna ‘manusia’ secara totalitas, baik fisik maupun psikis. Pertama, kelompok kata al-basyar, Kedua, kelompok kata dari al-insan yang meliputi kata-kata: al-ins, an-nas, dan al-unas, dan Ketiga, kelompok kata bani adam. Penggunaan kata al-basyar misalnya, digunakan untuk menggambarkan manusia dari sisi fisik biologisnya, seperti kulit manusia, kebutuhan biologisnya berupa makan, minum, berhubungan seks, dan lain-lain. Atau dengan kata lain, bahwa kata al-basyar digunakan pada gejala umum yang melekat pada fisik manusia, yang secara umum relatif sama diantara semua manusia. Berikut dua buah contoh ayat yang menggunakan kata al-basyar, masingmasing menjelaskan prihal kulit manusia dan prihal bahwa manusia itu semuanya akan mati. Contoh pertama, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Muddatsir ayat 27-29, yang artinya, “Tahukah kamu apakah Neraka Sakar itu? Sakar itu adalah tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Sakar itu) pembakar kulit manusia”. Sedangkan contoh yang kedua, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 34-35, yang artinya, “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu Muhammad,

maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal (maksudnya tetap memeluk agamamu), tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dengan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu akan kembali. Penggunaan kata al-insan yang meliputi kata sejenis seperti, al-ins, an-nas dan al-unas. Menurut Ibnu Manzur, kata al-insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti absara yaitu melihat, ‘alima yang berarti mengetahui, dan isti’zan yang berarti meminta izin. Jika ditinjau dari pengertian anasa, maka manusia itu memiliki sifatsifat potensial, dan aktual untuk mampu berpikir dan bernalar. Dengan berpikir, manusia akan mengetahui mana yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, selanjutnya ia akan menentukan pilihannya agar senantiasa melakukan perbuatan yang benar dan yang baik. Kedua, berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi untuk lupa, bahkan hilang ingatan atau kesadarannya. Ketiga, berasal dari kata an-nus yang berarti jinak, lawan dari kata al-wakhsyah yang berarti buas. Ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang jinak serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam jiwa manusia terdapat potensi untuk berbuat yang baik dan untuk berbuat yang buruk. Sedangkan penggunaan kata al-unas di dalam Al-Qur’an digunakan dalam konteks kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kejahatan, maupun kelompok orang yang baik dan buruk kelak di Akhirat nanti. Ini berarti bahwa Al-Qur’an sudah menetapkan manusia itu adalah makhluk yang suka berkelompok, dan cenderung membentuk kelompok sesuai dengan ciri-ciri dan persamaannya, seperti persamaan biologis, kebutuhan, kepentingan, suku dan lain-lain. Al-Qur’an menggunakan kata al-insan pada ayat-ayat yang menerangkan proses penciptaan manusia. Al-Qur’an juga menggunakan kata al-insan ketika menjelaskan bahwa Allah swt telah mengajari manusia apa saja yang tidak dapat diketahui manusia, termasuk ketika Allah swt mengajarkan al-asma (nama-nama) kepada manusia. Istilah terakhir adalah kata bani adam. Al-Qur’an menyebutkannya istilah bani adam ini digunakan untuk memahami bahwa manusia adalah makhluk yang melebihi kelebihan dari makhluk lainnya, yang meliputi fitrah keagamaan, peradaban dan kemampuan memanfaatkan alam. Sehingga Dr. Baharuddin menyimpulkan, bahwa “manusia adalah makhluk pilihan Tuhan sebagai khalifah-Nya (wakil-Nya) di muka bumi, serta makhluk yang semi samawi-duniawi yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan, terpercaya, memiliki rasa tanggung jawab juga dibekali dengan kecenderungan ke arah kebaikan dan kejahatan.

Dari pandangan-pandangan tersebut di atas, jelaslah bahwa pandangan para filosof dalam mencoba memecahkan rahasia penciptaan manusia, sering terjadi adalah rumusan-rumusan yang tidak menentu, saling bertentangan atau berbantahan satu sama lain. Dan jika dicermati, kebanyakan pendapat hanya berputar di sekitar logika, sehingga tidak terelakkan teori yang telah dikembangkan lalu dibantah lagi oleh teori yang muncul kemudian. Dengan demikian, manusia dalam pandangan Islam (Al-Qur’an) adalah manusia diciptakan dari tanah, dan setelah sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (surat Shaad: 71-72). Alibasyah (2005: 52-53), untuk mensukseskan tugas-tugas manusia sebagai khalifah (kuasa/wakil) dalam di dunia ini Allah swt melengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, antara lain: a.

Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda. Hal ini tergambar dalam firman Tuhan: “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama (benda-benda) seluruhnya” (surat Al-Baqarah ayat 31;

b.

Ditundukkannya bumi, langit, dan segala isinya: binatang-binatang, planet-planet, dan lain sebagainya oleh Allah swt kepada makhluk ini (manusia), (surat AlJaatsiyah ayat 12-13);

c.

Diberinya akal pikiran serta pancaindra, (surat Al-Mulk ayat 23);

d.

Diberinya kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan dunia ini (surat ArRa’d ayat 11).

Nurcholis Madjid dalam bukunya “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” dalam Alibasyah (2005: 31), mengatakan, “Al-Qur’an dari waktu ke waktu menggugat manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akalnya. Berpikir adalah sebagian dari petunjuk Allah swt ke arah percaya kepada-Nya. Allah memuji mereka yang berjiwa terbuka, suka mendengarkan pendapat orang lain, kemudian mengikuti mana yang terbaik dari pendapat itu, yaitu setelah melalui kegiatan berpikir dan pemeriksaan serta pemahaman yang kritis dan teliti”. Dengan kondisi ini, Ma’ani (2008), mengatakan bahwa “setiap manusia diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya secara sendiri-sendiri; setiap manusia tidak diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain; tidak ada campur baur dalam diri setiap manusia untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya; dan setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

4.

Proses Kehidupan Manusia dalam Sudut Pandang Filsafat Filsafat sangat berkaitan erat dengan segala sesuatu yang dapat menimbulkan

pemikiran dari setiap manusia dan bahkan dapat dikatakan bahwa manusia yang dibekali dalam penciptaannya dengan akal tidak akan pernah habis berpikir atau selalu berpikir, karena dengan selalu berpikir mengandung makna yaitu adanya proses dalam berpikir dan hasil berpikir. Manusia sebagai makhluk yang dibekali akal dalam hidup dan kehidupannya seharihari selalu disibukkan dengan berbagai permasalahan, baik sebagai makhluk individu dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan negara maupun dalam permasalahan ekonomi, politik, sosial, hukum dan sebagainya, yang kesemuanya diperlukan jalan pemecahan. Tafsir (2001:8), agama dan filsafat adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia. Barang siapa yang hendak memahami dunia, ia harus memahami agama atau filsafat yang mewarnai dunia itu. Orang harus mempelajari kekuatan itu. Kekuatan agama adalah suatu kekuatan yang akan menuntun umatnya untuk mencapai kebahgiaan di dunia dan kebahagian di akhirat dengan landasan adanya keimanan (kepercayaan yang hakiki). Sedangkan dengan kekuatan filsafat adalah untuk menuntun manusia dalam berpikir dan bernalar secara mendalam dan sistematis dalam memecahkan segala persoalan hidup dan kehidupan manusia di dunia. Manusia dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini, harus mampu memanfaatkan segala potensi yang telah dibekali oleh Sang Pencipta yaitu Allah swt, yaitu akal, hati dan indera secara seimbang, baik dalam menjalankan perintah agamanya tentang bagaimana berbuat baik maupun dalam ruang lingkup kefilsafatan tentang bagaimana memaknai hidup dan kehidupan ini. Hamersma (1981:9), pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian, tentang hakikat manusia, tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaanpertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun, filsafat adalah tempat di mana pertanyaan-pertanyaan ini dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa-apa saja yang menarik perhatian manusia. Dengan demikian, filsafat dalam hidup dan kehidupan manusia di dunia ini ditentukan oleh macam-macam norma, seperti norma-norma sopan santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral, yang menurut kajian filsafat bahwa diantara norma-norma tersebut yang paling penting untuk tindakan manusia adalah norma-norma moral, karena norma-

norma ini merupakan kajian filsafat etika. Kajian filsafat etika sangat bermanfaat bagi manusia dengan segala tindakannya di dunia, karena kajian filsafat etika ini dapat membantu manusia dalam sikapnya terhadap pengaruh norma-norma dari luar yang tidak sesuai agar manusia mencapai kesadaran moral yang baik. Walaupun hal demikian telah terun. D. Tujuan dan Manfaat Filsafat 1.

Tujuan Filsafat Prawironegoro (2010: 18-19), tujuan filsafat ialah memperoleh pengertian (makna)

dan menjelaskan gejala-peristiwa alam dan sosial. Itu berarti orang yang berfilsafat harus berpikir obyektif atas hal-hal yang obyektif, bukan menghayal. Kattsoff dalam Sahabuddin (1997: 87-88), tujuan filsafat ialah: a.

Mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan, membahas hakikat, menertibkan dan mengatur semuanya itu di dalam bentuk sistematis. Filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang layak;

b.

Mengusahakan kejelasan, keruntutan, dan keadaan memadainya pengetahuan, agar kita memperoleh pemahaman;

Lain halnya dengan Abubakar Aceh dalam Sahabuddin mengemukakan dua tujuan filsafat, yaitu: a.

Memandang keadaan hidup dengan sesempurna-sempurnanya;

b.

Memecahkan kesukaran-kesukaran yang terdapat di antara ilmu dan agama.

Dalam hidup dan kehidupan manusia di dunia ini dalam menghadapi dan mengelola alam dan sosial, tentu manusia harus mempunyai landasan atau pedoman untuk berpikir dan berperilaku secara sadar agar dengan kesadaran itulah manusia tidak mudah diombangambingkan oleh gejala-peristiwa alam dan sosial, tidak dibingungkan oleh masalah-masalah yang

memang

harus

dipecahkan

serta

pengambilan

keputusannya

pun

tidak

membingungkan. Sehingga S.T. Alisyahbana dalam Sahabuddin (1997), mengemukakan betapa perlunya suatu filsafat yang luas dan lebih komprehensif, yang merupakan integrasi dari berbagai aliran filsafat dan memperhitungkan berbagai problema dan hasil berbagai ilmu khusus maupun kegiatan ekonomi yang berbeda-beda, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan bertitik tolak dari hakikat filsafat yang merupakan cara berpikir dari pengalaman hidup di dunia dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi berikutnya,

sehingga dengan pengalaman tersebut dapat direfleksi dan dicari arti atau maknanya. Sebagai suatu illustrasi misalnya, “dunia dewasa ini tenggelam dalam berbagai macam kebudayaan, kerumitan dalam hidup kehidupan bermasyarakat, maraknya tindakan-tindakan yang mengarah pada kerusakan moral, dan lain sebagainya. Dimana kesemua hal tersebut dapat dipecahkan melalui suatu perenungan untuk memikirkan sampai ke akar permasalahan terhadap makna apakah baik itu, apakah hukum penyimpulan yang lurus itu, teknik-teknik penyelidikan, dan lain-lain yang merupakan ruang lingkup kefilsafatan. Secara sederhana hal tersebut berarti bahwa orang berfilsafat adalah orang yang mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan tersebut, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis. 2.

Manfaat Filsafat

Prawironegoro (2010:19), berfilsafat itu penting, sebab dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman untuk berpikir, bersikap, dan bertindak secara sadar dalam menghadapi berbagai gejala peristiwa yang timbul dalam alam dan masyarakat. Kesadaran itu akan membuat seseorang tidak mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh timbulnya gejala-gejala, peristiwa, dan masalah yang dihadapi. Untuk dapat berfilsafat, manusia harus belajar filsafat dengan cara yang benar, yaitu orang harus mengetahui dan memahami ajarannya secara ilmu, artinya mempelajari aliran-aliran filsafat kemudian memadukan pengertian itu dengan praktek. Selanjutnya mengambil pengalaman dari praktek, dan kemudian menyimpulkan praktek secara ilmu. Berfilsafat berarti berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu untuk menjelaskan secara rasional gejala-peristiwa alam dan masyarakat yang ditangkap dan dihadapi. Berfilsafat tidak bersikap dan bertindak secara tradisi, kebiasaan, adat-istiadat, dan naluri, tetapi bersikap dan bertindak kritis, mencari sebab, mencari isi, dan mencari hakikat dari itu gejala-peristiwa alam dan sosial. Berfilsafat juga tidak menerima takdir atau nasib begitu saja, tetapi mengubah nasib atau takdir dengan pikiran dan perbuatan. Tafsir (2001:19), sekurang-kurangnya ada empat macam faedah mempelajari filsafat: agar terlatih berpikir serius, agar mampu memahami filsafat, agar mungkin menjadi filosof, dan agar menjadi warga negara yang baik. Dengan demikian, filsafat memang tidak lain dari usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus menerus, dan filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita

kepada tindakan yang lebih layak. Orang berfilsafat harus mampu menjelaskan hubungan antara sebab dan akibat, antara bentuk dan isi, antara gejala dan hakikat. Dengan demikian, hakikatnya tujuan filsafat adalah melahirkan anak kandung yang disebut ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu orang-orang yang belajar ilmu pengetahuan harus belajar filsafat agar mengerti secara mendalam ilmu yang dipelajarinya, sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu itu merupkan anak kandung dari filsafat. Untuk dapat memberikan penjelasan dan uraian tentang adanya saling hubungan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa orang yang berfilsafat harus melakukan pemikiran secara mendalam sampai ke akar-akarnya (radikal), menyeluruh (holistik), dialektik (cara berpikir yang teratur), dan kritis (mempertanyakan). Semua gejala alam dan sosial yang dapat diobservasi harus dicari hakikatnya; semua kejadian harus dicari sebabnya; semua yang nampak (yang mempunyai bentuk) harus dicari isinya. Dengan pengertian bahwa semua masalah harus bisa dipecahkan (atau diberi jawabannya); jika saat ini belum dapat diberikan pemecahannya atau belum dapat diberikan jawabannya, maka harus dicari secara terus-menerus pemecahannya atau jawabannya, sehingga ilmu dapat dikatakan bertumbuh dan berkembang. Tafsir (2001:42-43), untuk mengetahui kegunaan filsafat atau untuk apa filsafat itu digunakan atau apa sih guna filsafat itu, dapat dimulai dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori, kedua filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life), dan ketiga filsafat sebagai metode pemecahan masalah. Filsafat sebagai kumpulan teori filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dunia dibangun atau dibentuk oleh dua kekuatan yaitu agama dan filsafat. Jadi, jika hendak ikut membentuk dunia atau hendak ikut mendukung sesuatu ide yang membentuk dunia atau hendak menentang sesuatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi atau sistem politik, maka sebaiknya terlebih dahulu mempelajari teori-teori filsafatnya, yang merupakan manfaat atau kegunaan mempelajari teori-teori filsafat. Filsafat sebagai philosophy of life adalah merupakan filsafat dipandang sebagai pandangan hidup, fungsinya mirip sekali atau hampir sama dengan agama, namun tidak persis. Agama, seperti kita maklumi dan yakini bersama adalah merupakan pedoman hidup bagi manusia yang diturunkan oleh Allah melalui rasul-Nya, yang digunakan oleh manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya di dunia untuk mencari bekal bagi kehidupannya di akhirat. Sedangkan filsafat yng merupakan pandangan hidup atau pedoman dalam hidup dan kehidupan dengan segala teorinya, namun teori tersebut ada yang dapat digunakan dan

adapula yang tidak dapat dipakai. Jadi, kegunaan filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life) adalah semua ajarannya yang sesuai dengan ajaran agama dapat dilaksanakan dan merupakan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Sedangkan, filsafat sebagai metode pemecahan masalah (metodology) adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan suatu cara yang teratur dan terarah agar permasalahan tersebut dapat teratasi. Penyelesaian masalah dengan filsafat berarti mencari solusi dengan suatu pendekatan kefilsafatan yaitu penyelesaian masalah dengan mendalam dan universal. Penyelesaian masalah secara mendalam artinya menyelesaikan masalah dengan cara pertama-tama mencari penyebab yang paling awal munculnya masalah. Secara universal artinya melihat masalah dalam hubungan yang seluasluasnya. E. Mempelajari Filsafat 1.

Kegunaan Mempelajari Filsafat Mengenai kegunaan mempelajari filsafat, Achmadi (2012: 18-20) mendeskripsikannya

sebagai berikut: a.

Dengan belajar filsafat diharapkan akan dapat menambah ilmu pengetahuan, karena dengan bertambahnya ilmu pengetahuan akan bertambah pula cakrawaa pemikiran,cakrawala pandang yang semakin luas. Hal ini dapat membantu penyelesaian masalah yang selalu dihadapi dengan dengan cara yang lebih bijaksana.

b.

Dasar semua tindakan adalah ide, Sesungguhnya filsafat didalamya memuat ideide yang fundamental. Ide-ide itulah yang akan membawa manusia ke arah suatu kemampuan untuk merentang kesadarannya dalam segala tindakannya, sehingga manusia akan dapat lebih hidup, lebih tanggap (peka) terhadap diri dan lingkungannya, lebih sadar terhadap hak dan kewajibannya.

c.

Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kita semakin ditentang dengan memberikan alternatifnya. Di satu sisi kita berhadapan dengan kemajuan teknologi beserta dampak negatifnya, perubahan demikian cepatnya, pergeseran tata nilai [, dan akhirnya kita akan semakin jauh dari tata nilai dan moral. Disisi lainnya, apabila kita tidak berani menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya kita akan menjai manusia

“terbelakang”. Untuk itu kita berusaha untuk mengejar ketinggalan tersebut. dengan segala upaya. Dengan semakin jauhnya kita dengan tata nilai dan moral, akibatnya banyak ilmuwan kehilangan bobot kebijaksanaannya. Dengan demikian apayang dihasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi bersamaan itu pula manusia kehilangan pendirian dan dihantui kebingungan dan keraguan (skeptis). Tinggal menunggu malapetaka datang menghancurkan kehidupan manusia. Mengingat hal-hal tersebut di atas sangat diperlukan suatu ilmu yang sifatnya memberikan pengarahan (ilmu pengetahuan) atau sence of direction. Dengan ilmu tersebut, manusia akan dibekali suatu kebijaksanaan yang di dalamya memuat nilai-nilai kehidupan yan sangat diperlukan oleh umat manusia. Hanya dengan filsafatlah yang dapat diharapkan mampu memberi manusia suatu integrasi dalam membantu mendekatkan manusia pada nilai-nilai kehidupan untuk mengetahui mana yang pantas ditolak, atau disetujui, dan diambil sehingga dapat memberikan makna kehidupan. Kegunaan filsafat ini sering muncul bagi para penulis belajar. Masalah tersebut harus dituntaskan. Selagi masalah tersebut masih berada dalamdiri seorang yang sedang belajar filsafat, maka orang tersebut akan selalu mendapatkan keraguan terhadap filsafat. Apakah filsafat bermanfaat bagi saya? Filsafat berguna bagi manusia apabila filsafat tersebut memperlihatkan kemajuan yang positif bagi kehidupan manusia. 2.

Cara Mempelajari Filsafat Cara mempelajari filsafat adallah suatu metode belajar kefilsafatan Secara umum,

Langeveld dalam Wiramihardja (2009: 17) mengatakan bahwa jika menginginkan belajar berfilsafat, mulailah berfilsafat, ialah memikirkan segala hal secara mendalam. Maksud berpikir mendalam di sini adalah berpikir yang tidak terbatas pada asumsi-asumsi ilmu pengetahuan yang mendasarinya, tetapi sampai pada konsekuensi-konsekuensinya yang terakhir. Selanjutnya, Wiramihardja (2009: 18) mengatakan bahwa metode berfilsafat sangat berbeda secara signifikan atau prinsipil dibanding dengan metode belajar ilmu lain. Yang menjadi inti dari metode berfilsafat adalah refleksi. Berfilsafat adalah berefleksi, merenung dan berkontemplasi, yaitu tidak memikirkan mengenai apa yang secara konkret

ada

dihadapan kita secara langsung, tetapi apa yang ada di belakang mendasarinya. Misalnya ketika seseorang melalui kaca jendela melihat gunung yang indah, ia mempertanyakan apa indah itu, mengapa saya menyebut gejala itu dengan indah (dan tidak indah). Jadi, tidak

berbicara tentang apakah benar bahwa pemandangan itu indah atau tidak, yang tentu sudah ada ukuran atau ciri-ciri indahnya. Mengapa untuk pemandangan semacam itu kita tidak menggunakan atau mempertanyakannya dengan mahal dan murah, itu berfilsafat. Kattsoff (1987: 14) menyatakan perenungan kefilsafatan tidak berusaha menemukan fakta-fakta; filsafat menerimanya dari mereka yang menemukannya. Tetapi filsafat selalu menunjukkan fakta-fakta ini utuk menguji apakah penjelasannya sudah memadai. Filsafat membicakan fakta-fakta dengan dua cara: a.

Filsafat mengajukan kritik atas makna yang dikadung fskta-fakta

b.

Filsafat menarik kesimpulan-kesimpulanyan bersifat umum dari fakta-fakta.

Dikatakan orang, bahwa tekanan dalam berfilsafat diletakkan pada persoalan pertanyaan, dan bukan pada jawabannya. Jadi berfilsafat mempertanyakan pertanyaan. Dalam memastikan kebenarannya, filsafat mempercayakan pada rasio, akal budi. Filsafat meruapakan kegiatan rasional yang tidak memerlukan bukti empirik. Wiramihardja (2009:19) mengemukakan ada dua metode mempelajari filsafat, yaitu metode sistematis dan metode historis. Ahmadi, (2012: 22) mengemukakan ada tiga metode, yaitu: metode kritis, metode intuitif, dan metode analisis. Kattsoff (1987: 18) mengemukakan ada dua metode berfilsafat, yaitu: analisis dan sintesis. Jadi, ada enam metode mempelajari filsafat, a. metode sistematis, b. metode historis. c. metode kritis, d. metode intuitif, e. metode analisis. dan f. metode sintesis Metode Sistematis, yaitu cara mempelajari objek material filsafat, ialah mengenai materi/masalah-masalah yang dibicarakannya. Pengertian sistematis di sini adalah adanya susunan dan urutan (hierarki) dan juga hubungan menyangkut materi atau masalah yang terdapat dalam filsafat. Kemudian yang dimaksud dengan materi atau permasalahan, yaitu: problematika yang dipersoalkan dalam filsafat. Plato telah mengemukakan tiga cabang filsafat, ialah (1) dialektika yang mempersoalkan gagasan atau pengertian umum, (2) fisika yang mempersoalkan dunia materi, dan (3) etika yang mempersoalka hakikat baik dan jahat. Adapun pembagian aau klasifikasi filsafat menurut Aristoteles, adalah (1) Logika yang dianggapsebagai pendahuluan filsafat, (2) filsafat teoritis yang membicarakan fisika, matematika dan metafisika (3) filsafat fisika praktis yang membicarakan etika, ekonomi, dan politik, dan (4) filsafat petika (produksi, kesenian). Dari filsafat sistimatika ini, jelas menunjukkan etika dan logika merupakan salah satu materi filsafat. Metode Historis, yaitu cara mempelajari filsafat dari asal mulanya dan perkembangannya menurut urutan waktu pemikiran filsafat yang telah terjadi, misalnya:

Bertens (1976) yang membagi perkembangan filsafat dalam tiga tahap, yaitu: (1) Zaman Yunani Kuno (dari abad 5 - 6 SM sampai 2 M). (2) Zaman Patristik dan pertengahan (antar 2 M – 17 M); sampai 1500); (3) Zaman Modern (dimulai kira-kira tahun 1700-an). Wiramihardja (2009) dan Ahmadi (2012) membagi dalam empat tahap, yaitu (1) Zaman Yunani Kuno, (2) Zaman pertengahan, (3) zaman modern, dan (4) Zaman Pasc Beibniz), idealisme (Fichte – Shelling-Hegelamodernisme (mulai abad ke 20 sampai sekarang) Adapun tokoh-tokoh filasafat yang terkenal pada masa Yunani Kuno adalah: Thales, Anaksimandros, Anaksimenes, Heracleitos, Parmanides, Zeno, Protagoras, Gorgia, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada zaman pertengahan, tokoh-tokoh filsafat yang terkenal adalah: Plotinus, (204 – 270), Augustinus (354 – 430), Anselmus (1033 – 1109), Thomas Aquinas(1225 – 1274). Sedangkan aliran dan tokoh-tokoh filsafat modern adalah: Renaissance, Rationalisme, (Descarftes-Spinoza-Beibniz), idealisme (Fichte-ShellingHegel), empirisme (Lock-Hume-Spencer), Kantianisme: Imanuel Kant (1724 – 1804), pragmatisme: William James (1842 – 1910), dan eksistensialisme (Kierkegaard-Sartre). Metode kritis, yaitu dengan menganalisis istilah dan pendapat, dengan mengajukan pertanyaan secara terus-menerus sampai hakikat yang ditanyakan Metode intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif, dengan memakai simbol-simbol Metode analisis abstraksi, yaitu dengan jalan memisah-misahkan atau menganalisis di dalam angan-angan (di dalam pikiran) hingga sampai pada hakikat (ditemukan jawaban) Metode Sintesis, adalah lawan dari metode analisis, yaitu dengan mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan. Jadi, si.ntesis adalah suatu usaha untuk mencari kesatuan di dalam keragaman itu. F.

Ruang Lingkup dan Pembidangan Filsafat

1.

Ruang Lingkup Filsafat Ali (1986: 7) dalam Jalaluddin (1997: 17), keberadaan filsafat berbeda dengan ilmu.

Ilmu ingin mengetahui sebab dan akibat dari sesuatu, sementara filsafat tidak terikat pada satu ketentuan dan tidak mau terkurung hanya pada ruang dan waktu dalam pembahasan dan penyelidikannya tentang hakikat sesuatu yang menjadi objek dan materi bahasannya. Pertanyaan yang diajukannya berkisar sekitar apa itu, dari mana dan kemana. Filsafat ingin memperoleh realita mengenai apa hakikat benda, dari mana asal usulnya dan kemana tujuan

akhirnya. Wiranata (2005:72) mengemukakan pendapat Will Durant yang membagi ruang lingkup bidang studi filsafat itu ada lima: logika, estetika, etika, politik dan metafisika. Mudyahardjo (2001:3), membagi filsafat dari sudut karakteristik objeknya, yaitu filsafat murni dan filsafat terapan. Filsafat murni/umum mempunyai objek kenyataan keseluruhan segala sesuatu: (1) hakikat kenyataan segala sesuatu (metafisika), yang termasuk di dalamnya hakikat kenyataan secara keseluruhan (Ontologi), kenyataan tentang alam atau kosmos (Kosmologi), kenyataan tentang manusia (Humanologi), dan kenyataan tentang Tuhan (Teologi); (2) hakikat mengetahui kenyataan (Epistemologi); (3) hakikat menyusun kesimpulan pengetahuan tentang kenyataan (Logika); dan (4) hakikat menilai kenyataan (Aksiologi), antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik dan jahat (Etika) serta nilai yang berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika). Sedangkan filsafat khusus/terapan mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang penting (misalnya: sejarah, seni, moral, sosial, logika, ilmu, pendidikan, dan sebagainya). Kattsoff (1996: 83-84), pembicaraan terhadap lapangan filsafat dapat diringkas: Lapangan Filsafat

: Pertanyaannya yang Utama

Logika

: Apakah hukum-hukum penyimpulan yang lurus itu?

Metodologi

: Apakah teknik-teknik penyelidikan itu?

Metafisika

: Apakah kenyataan itu?

Ontologi

: “Apakah saya ini tidak berbeda dengan batu karang? Atau Apakah roh saya hanya merupakan gejala materi?”

Kosmologi

: Apakah yang merupakan asal mula jagat raya? Apakah yang menjadikan jagat dan bukannya suatu keadaan yang bercampur aduk? Apakah hakikat ruang dan waktu itu?

Epistemologi

: Apakah kebenaran itu?

Biologi kefilsafatan

: Apakah hidup itu?

Psikologi kefilsafatan

: Apakah jiwa itu?

Antropologi kefilsafatan: Apakah manusia itu? Sosiologi kefilsafatan

: Apakah masyarakat dan negara itu?

Etika

: Apakah yang baik itu?

Estetika

: Apakah yang indah itu?

Filsafat agama

: Apakah yang keagamaan itu?

Ewing (2003: 12-14), berikut ini adalah beberapa bagian filsafat yang dianggap umum: (1) Metafisika. Bagian filsafat ini dipahami sebagai studi tentang hakikat realitas dalam aspek-aspek yang paling umum, jika ia bisa kita capai. Bagian filsafat ini membahas pertanyaan, seperti: “Bagaimana hubungan antara materi dan pikiran? Manakah yang lebih primer? Apakah manusia itu merdeka? Apakah diri (self) merupakan substansi atau hanya suatu rangkaian dari pengalaman? Apakah alam semesta bersifat tidak terbatas? Apakah Tuhan itu ada? Sejauh manakah alam semesta menjadi suatu kesatuan dan sejauh manakah ia menjadi suatu keragaman? Sejauh manakah sistem yang rasional itu (jika ia ada)?”. (2) Filsafat Kritis. Filsafat ini tercapai dalam analisis dan kritik atas konsep-konsep nalar awan (common sense) dan ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu pengetahuan mengandaikan konsepkonsep tertentu yang tidak otomatis bisa diinvestigasi dengan metode-metode ilmiah dan oleh karenanya masuk ke dalam wilayah filsafat. Dengan demikian, semua ilmu pengetahuan, kecuali matetmatika, dalam bentuk tertentu mengandaikan konsepsi tentang hukum alam, dan untuk menguji hal ini adalah menjadi urusan filsafat dan bukan urusan ilmu pengetahuan tertentu manapun. Bagian dari filsafat kritis yang bertugas menginvestigasi hakikat dan kriteria kebenaran dan cara yang bisa kita gunakan untuk mengetahuinya disebut Epietemology (teori pengetahuan). Ilmu ini membahas pertanyaan, seperti: Bagaimana kita mendefinisikan kebenaran? Apa perbedaan antara pengetahuan dan keyakinan? Dapatkah kita mengetahui sesuatu dengan pasti? Apakah fungsi relatif dari berpikir, intuisi, dan pengalaman-indera? Dari kedua pandangan tersebut di atas, Kattsoff dalam memilih metode yang membuat daftar serta menjelaskan lapangan-lapangan pembicaraan kefilsafatan dengan urut-urutan keumuman yang semakin menurun dalam pertanyaan-pertanyaan yang bersangkutan, dengan alasan bahwa tidak ada satu metode tertentu cara untuk melakukan penghimpunan (classification) terhadap lapangan-lapangan pembicaraan kefilsafatan. Sedangkan apa yang telah dikemukakan oleh Ewing, yang hanya memusatkan perhatiannya pada dua cabang filsafat yang dianggapnya paling fundamental dan secara khas bersifat filosofis. Namun Ewing membagi hal-hal yang hanya merupakan cabang studi yang berkait dengan filsafat akan tetapi masing-masing cabang studi tersebut memliki independensi tertentu. Seperti, Logika, Etika/Filsafat Moral, Filsafat Politik, Estetika. Tafsir (2001:23), mengatakan bahwa dalam garis besarnya filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Teori pengetahuan pada dasarnya membicarakan cara memperoleh pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objek, dan hasilnya ialah pengetahuan filsafat. Yang ketiga, teori nilai atau disebut juga

aksiologi, membicarakan guna pengetahuan tadi. Kalau demikian, ringkasannya ialah sebagai berikut: (1) Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistemologi; (2) Teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontologi; (3) Teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu, disebut aksiologi. Pada prinsipnya yang menjadi perhatian para filsuf yaitu: ada, metode, pengetahuan, penyimpulan, moralitas dan keindahan. Keenam persoalan tersebut memerlukan jawaban, tiap-tiap persoalan merupakan cabang filsafat. E. Pembidangan Filsafat Filsafat merupakan bidang studi yang sedemikian luasnya, sehingga tidak sedikit pembidangannya. Oleh karena tidak ada tata cara pembagian sehingga terdapat perbedaan. Masing-masing dari mereka memiliki argumen sendiri dalam mengelompokkan suatu pembidangan filsafat, diantaranya menurut Plato dan Aristoteles dalam Wiranata (2005: 69) sebagai berikut: Pembidangan filasafat menurut Plato, yaitu: 1.

Dialektika Bagian filsafat yang mengkaji tentang gagasan-gagasan atau batasan pengertian – pengertian secara umum

2.

Fisika Bagian filsafat mengkaji tentang dunia material

3.

Etika Bagian filsafat mengkaji tentang kebaikan manusia

Berikut pembidangan filsafat menurut Aristoteles, (382 – 322 SM.), yaitu: 1.

Filosofia teoritika/spekulaif Bagian filsafat yang bersifat objektif, yang terdiri atas: a.

Fisika Mengkaji tentang dunia materi (ilmu alam dan sebagainya)

b.

Matematika Mengkaji tentang benda atau barang menurut kuantitasnya

c.

Metafisika Mengkaji tentang masalah “ada” dan juga masalah “yang ada”

2.

Filosofia praktika

Bagian filsafat yang memberi petunjuk dan berbagai pedoman mengenai tingkah laku hidup dan kesusilaan yang seharusnya dilakukan/diperbuat. Filsafat jenis ini membentuk sikap dan perilaku sehingga mampu berbuat dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, meliputi: 1) Etika Mengkaji tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan 2) Ekonomi Mengkaji tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan 3) Politika Mengkaji tentang kesusilaan dalam tatanan hidup kenegaraan 3.

Filosofia produktiva (pencipta) Bagian filsafat yang mengkaji dan membimbing serta menuntun manusia tentang pengetahuan sehingga menjadikan manusia produktif

melalui sebuah

keterampilan yang bersifat khusus, retorika, estetika, dan kesenian. Filsafat ini akan menjadikan manusia mampu menghasilkan sesuatu. Menurut Aristoteles, logika tidak dimasukkan dalam pembagian filsafat logika yang disebut juga sebagai analitika (untuk meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang baik dan benar) dan dialektika (untuk meneliti argumentasi yang diragukan kebenarannya) merupakan metode dasar dari pengembangan bidang-bidang filsafat. Berikut

dikemukakan

dari

Harry

Hamersma

dalam Achmadi

mengelompokkan filsafat menjadi empat bidang induk, sebagai berikut: 1.

2.

Filsafat tentang pengetahuan, terdiri dari: a.

epistemologi,

b.

logika

c.

kritik ilmu-ilmu

Filsafat tentang keseluruhan kenyataan, terdiri dari: a.

metafisika umum (ontologi),

b.

metafisika khusus, terdiri: 1) teologi metafisik, 2) antropologi, 3) kosmologi,

3.

Filsafat tentang tindakan, terdiri dari: a.

etika

(2012:

12)

4.

b.

estetika

c.

Sejarah filsafat

Sejarah Filsafat

Selanjutnya, The Liang Gie (1977:170) membagi filsafat dalam tiga bidang berdasar pada struktur pengetahuan filsafat yang berkembang sekarang ini, yaitu filsafat sistimatis, filsafat khusus, dan filsafat keilmuan. 1.

2.

3.

Filsafat sistematis, terdiri: a.

Metafisika,

b.

Epistemologi,

c.

Metodologi,

d.

Logika,

e.

Etika, dan

f.

Estetika.

Filsafat khusus, terdiri: a.

Filsafat Seni,

b.

Filsafat Kebudayaan,

c.

Filsafat Pendidikan,

d.

Filsafat Sejarah,

e.

Filsafat Bahasa,

f.

Filsafat Hukum,

g.

Filsafat Budi,

h.

Filsafat Politik,

i.

Filsafat Agama,

j.

Filsafat Kehidupan Sosial, dan

k.

Filsafat Nilai

Filsafat keilmuan, terdiri: a. Filsafat Matematik, 1) Filsafat Ilmu-ilmu Fisik, 2) Filsafat Biologi, 3) Filsafat Linguistik, 4) Filsafat Psikologi, dan 5) Filsafat Ilmu-ilmu Sosial.

Related Documents


More Documents from "hadikomara purkoni"