Bab 2(2).docx

  • Uploaded by: vii
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2(2).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,918
  • Pages: 15
4 mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka. 8. Al-Qur’an sebagai sumber hukum, seluruh mazhab sepakat Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum, dalam kata lain bahwa Al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. 9. Al-Qur’an di sampaikan kepada nabi Muhammad SAW secara lisan artinya, baik lafadz ataupun maknanya dari Allah SWT. 10. Al-Qur’an termaktub dalam Mushaf, artinya bahwa setiap wahyu Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari-Nya itu termasuk dalam Mushaf (telah di bukukan). 11. Agama Islam datang dengan Al-Qur'annya membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka manyadari jati diri dan hakikat hidup di muka bumi. Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakangerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini. Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan Al-Qur`an

diperlukan

tafsir.

Penafsiran

terhadap Al-Qur`an

mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran Al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat AlQur’an diantaranya adalah metode Tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih

5 dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran), Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul, Tafsir bi al-ra’yi sering dipergunakan oleh para mufassir untuk melegitimasi mazhabnya sesuai dengan ayat-ayat AlQur’an dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan mazhabnya.[3] B. Nilai-Nilai Al-Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam Dalam konteks etika pendidikan dalam Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang dikembangkan melalui jalan ijtihad para ulama. Pencerdasan akal pikiran dan sekaligus pencerdasan qalbu merupakan langkah yang sangat efektif dalam membangun bangsa yang saat ini memerlukan generasi-generasi memiliki kecerdasan intelektual dan cerdas qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan diperoleh apabila lembaga pendidikan menggali dan menyelami nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur’an dalam membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas dengan cara mengaktualisasi nilai-nilai qur’ani dalam sistem pendidikan Islam.[4] Nilai-nilai Qur’ani secara garis besar adalah nilai kebenaran (metafisika dan sains) dan nilai moral. Kedua nilai Qur’ani tersebut akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya Sehingga manusia tidak akan salah dalam memahami dan menerapkan segala hal yang berada di dalam al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai perkembangan masyarakat yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi sangat penting. Karena tanpa aktualisasi kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilainilai Qur’ani sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cerdas, maju dan mandiri.[5] Sehingga tidak mudah terprofokasi ke dalam hal-hal yang tidak baik dan merugikan umat.

6 Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilainilai al-Qur’an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang perlu dikembangkan oleh pendidikan. Pertama, dimensi spiritual, yaitu iman, takwa dan akhlak mulia (tercermin dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spiritual tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada dengan kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya.[6] Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung

jawab

kemasyarakatan

dan

kebangsaan.

Tanggung

jawab

kemasyarakatan dapat dilakukan dengan kegiatan pembentukan hubungan sosial melalui upaya penerapan nilai-nilai akhlak dalam pergaulan sosial. Langkah-langkah pelaksanaannya mencakup; 1. Melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan keji daan tercela. 2. Mempererat hubungan kerjasama. 3. Menggalakkan perbuatan-perbuatan yang terpuji dan memberi manfaat dalam kehidupan bermasyarakat. 4. Membina hubungan sesuai dengan tata tertib.[7] Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inoatif dan produktif. C. Al-Qur’an sebagai Sumber Berbagai Studi Keislaman Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran Islam karena Al-Qur’an langsung diturunkan oleh Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam. Karena Al-Qur’an merupakan pokok ajaran Islam, maka segala studi mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan sumber pokok ini. Apabila kita perhatikan, maka susunan Al-Qur’an adalah merupakan suatu susunan yang tidak tertandingi, sehingga dari segi ini dapat dipahami berbagai kemungkinan pengertian, karena kalimat-kalimatnya simpel dan

7 isinya padat. Berdasarkan janji Allah SWT, bahwa kalimat-kalimat Al-Qur’an yang terlihat sederhana bila direnungkan berulang-ulang dan secara mendalam, baik dari segi bahasanya maupun dari segi kandungannya merupakan suatu sumber pengetahuan yang tidak akan selesai-selesainya untuk dibahas.[8] Janji Allah tersebut sebagaimana firman-Nya: ‫ت َر ِبي لَنَ ِفدَ ْالبَحْ ُر قَ ْب َل َأَ ْن َت َ ْنفَدَ َك ِل َماتُ َر ِبي ََولَ ْو ِِجْئْنَا ِب ِمثْ ِل ِه َمدَدًا‬ ِ ‫قُ ْل لَ ْو َكانَ ْالبَحْ ُر ِمدَاد ًا ِل َك ِل َما‬ Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhan-ku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (Al-Kahfi : 109)[9] Ayat tersebut menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber segala ilmu pengetahuan yang tidak pernah kering bila dibahas, khususnya mengenai keislaman. Dalam ayat lain disebutkan, bahwa Al-Qur’an tersebut meliputi segala macam persoalan dan cara penyampaiannya secara global, sebagaimana firman Allah : “Dan tidak kami alpakan sesuatupun dalam alkitab (Al-Qur’an).” (Al-An'am: 38)[10] Jadi isi Al-Qur’an meliputi segala macam persoalan, dan bisa dibahas dari berbagai aspek. Al-Qur’an juga dapat dilihat dari segi kandungannya yang bukan

hanya

peribadatan

mengemukakan

saja,

tetapi

persoalan-persoalan

meliputi

juga

persoalan

yang

menyangkut

teologi,

persoalan

kemasyarakatan, persoalan eksistensi manusia bahkan persoalan-persoalan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti ilmu dan teknologi. Karena posisi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, maka segala sesuatu pembahasan mengenai keIslaman, baik yang menyangkut ajaran maupun yang menyangkut unsur-unsur pendukung terlaksananya ajaran tersebut, seluruhnya mengacu kepada Al-Qur’an. Bagi orang-orang yang percaya akan kemu'jizatan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu betul-betul akan menjadi petunjuk baginya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.[11]

8 Al-Qur’an mengandung pengertian yang lengkap mengenai segala aspek kehidupan manusia, alam semesta dan metafisika, masa lampau, masa kini dan masa depan, individu, masyarakat, sosial politik, dan sebagainya.[12] Dilihat dari abad ke abad, umat Islam tidak pernah berhenti mengembangkan ilmu pengetahuan di mana saja mereka berada. Pada negerinegeri yang diilhami oleh umat Islam selalu terdapat lembaga tempat perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu bersumber dari Al-Qur’an. Dalam lembaga-lembaga ini diajarkan tentang Al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, ilmu fikih, teologi Islam, mantiq, astronomi, sejarah dan lain-lain. Kalau kita kaji lebih mendalam isi Al-Qur’an yang menginformasikan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya, sungguh betapa lengkapnya Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam.[13] Tidak ada satu pun yang terlupakan atau tertinggal dalam ayat-ayat AlQur’an yang membahas tentang segala aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an dalam menginformasikan berita dari Allah tidak terlepas dari unsur nalar dan berbagai aspek lainnya, agar informasi tersebut dapat dipahami dan diterima oleh obyeknya. Dalam perkembangan Islam, aspek nalar memainkan peranan penting. Dalam membahas bidang-bidang keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banyak pula berpegang pada akal. Peranan akal besar sekali dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan yang kita jumpai, bukan hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan dalam bidang fikih dan tafsir, karena Allah SWT sendiri memerintahkan hamba-Nya berpikir. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan baik, karena isi dan kandungan Al-Qur’an itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Memahami al-Qur’an tidaklah mudah, karena kita harus mengetahui sebab turunnya, lebih-lebih dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dan pengetahuan lainnya. Dengan demikian dirasakan kebutuhan mengembangkan

9 beberapa

peralatan

ilmiah

untuk

mengontrol

kemajuan

ilmu

yang

berhubungan dengan Al-Qur’an (ilmu tafsir). Karena itu pertama-tama menjadi prinsip adalah, bahwa tidak hanya pengetahuan mengenai bahasa Arab saja yang diperlukan untuk memahami Al-Qur’an secara tepat, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain seperti idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi. Dari sini berkembanglah gramatika bahasa Arab, ilmu perkamusan dan kesusastraan Arab dengan suburnya. Selanjutnya latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang disebut "asbab al nuzul" dijadikan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat dari firman Allah SWT. Di samping itu perlu juga diketahui dan dianggap sangat penting bagaimana caranya orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah Al-Qur’an. Setelah persyaratan-persyaratan ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberi tempat. Untuk itu bermunculanlah kitab-kitab tafsir sehingga pandangan apa pun yang ingin diproyeksikan dan dibela oleh kaum Muslimin, mengambil bentuk dalam berbagai tafsir Al-Qur’an.[14] Secara singkat tentang disiplin ilmu yang bersumber pada Al-Qur’an tersebut sebagai berikut: 1. Teologi Islam (Ilmu Tauhid) Ilmu kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi Islam yang amat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Ilmu tauhid disebut juga ilmu kalam, yaitu ilmu yang membahas tentang ke-Esaan Tuhan dan wujud Allah dengan segala sifat-Nya. Dalam ilmu tauhid disebutkan tidak hanya dibahas mengenai wujud Allah saja, tetapi juga dibahas tentang iman kepada rasul, kitab-kitab yang diturunkan Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat (alam gaib), dan iman kepada kadar baik maupun buruk, yang disebut dengan rukun iman.[15] Sebagai inti dari rukun iman itu, adalah iman kepada Allah, mengakui wujud-Nya dan meng-EsakanNya.

10 Teologi

terkadang dinamai

pula

Ilmu

Tauhid,

Ilmu Usluhuddin,

Ilmu Aqaid dan Ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu usluhuddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, dinamai ilmu aqaid karena dengan ilmu ini seseorang diharapakan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan. [16] Firman Allah SWT : َّ ‫يَآ َأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ َأ َمنُوا َِأمنُ ْوا ِب‬ ‫ ََو َم ْن‬°‫ِي َأ َ ْنزَ َل ِم ْن قَ ْب ُل‬ ُ ‫ي ن ََّز َل َعلَى َر‬ ُ ‫اَّللِ ََو َر‬ ِ ‫س ْو ِل ِه ََو ْال ِكت َا‬ ِ ‫س ْو ِل ِه ََو ْال ِكت َا‬ ْ ‫ب الَّذ‬ ْ ‫ب الَّ ِذ‬ َّ ‫َي ْكفُ ْر ِب‬ )136 : ‫ (النساء‬. ‫ض ََل الً َب ِع ْيدًا‬ ُ ‫اَّللِ ََو َم ََلئِ َكتِ ِه ََو ُكت ُ ِب ِه ََو ُر‬ َ ‫ض َّل‬ َ ْ‫س ِل ِه ََو ْال َي ْو ِم األ َ ِخ ِر فَقَد‬ “Hai orang-orang yang beriman, yakinlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab terdahulu. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan

kitab-kitab-Nya,

Rasul-rasul-Nya

dan

Hari

Kemudian

maka

sesungguhnya orang itu telah sesat jalan sejauh-jauhnya.” (Q.S al-Nisa, 4 : 136) [17] Untuk meyakinkan kita, bahwa Allah itu ada (wujud), di dalam Al-Qur’an diisyaratkan supaya kita memperhatikan makhluk (alam) ciptaan-Nya. Dibalik ciptaan dan alam jagad raya ini akan ditemukan Allah dan diyakini wujudNya. Di antaranya Allah berfirman: ‫إن في خلق السماَوات َو األرض َو اختَلف الليل َو النهار َو الفلك التي َتجري في البحر بما ينفع الناس‬ ‫َو ما َأنزل هللا من السماء من ماء فأحيى به األرض بعد موَتها َو بث فيها من كل دآبة َو َتصريف الرياح‬ ‫َو السحاب المسخر بين السماء َو األرض آليات لقوم يعقلون‬ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu. Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya), dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang di antara langit dan

11 bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (ke-Esaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (AI-Baqarah: 164)[18] Di dalam ayat di atas diisyaratkan, supaya hamba Allah memikirkan tentang kejadian alam semesta ini. Ayat Al-Qur’an cukup banyak memberi isyarat ke arah itu dan sesudah direnungkan dalam-dalam akan menemukan Penciptanya dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian diyakini pula, bahwa pencipta semuanya ini adalah Tunggal (Esa), tidak berbilang. 2. Ilmu Hukum Hukum Islam atau fiqih merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Hukum Islam atau fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah praktis, diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil yang dimaksud dalam definisi tersebut antara lain bersumber pada Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang sempurna dan terakhir untuk manusia, harus dijadikan pedoman utama, bahkan tunggal bagi manusia sebagai sumber hukum.[19] Semua masalah hukum fiqih dibicarakan di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat yang mengandung masalah hukum disebut ayat ahkam. 3. Ilmu Tasawuf Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya.[20] Tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar memperoleh langsung hubungan dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada

12 dihadirat Tuhan. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia yang merupakan ajaran dasar tasawuf itu terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist.[21] Ayat 186 surat Al-Baqarah misalnya mengatakan: )186 : ‫ان (البقرة‬ َ ‫ََو ِإذَا‬ ْ ‫سأَلَكَ ِعبَا ِد‬ ِ ‫ي َعنِي فَإِنِي قَ ِريْبٌ َأ ُ ِِجيْبُ دَع َْوة َ الدَّاعِ ِإذَا دَ َع‬ “jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil ia panggil Aku”.[22] Ayat 115 dari surat Al-Baqarah juga mengatakan : َّ ‫ّللاِ إِ َّن‬ َّ ُ‫ََو ِ ََّّللِ ْال َم ْش ِر ُق ََو ْال َم ْغ ِربُ فَأ َ ْي َن َما َت ُ َولُّ ْوا فَث َ َّم ََوِجْ ه‬ )115 : ‫ّللاَ ََوا ِس ٌع َع ِل ْي ٌم (البقرة‬ “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling dari situ (kamu jumpai) wajah Allah”.[23] Lebih tegas lagi dinyatakan dalam surat Qaf ayat 16 : )16:‫ (ق‬.ِ‫سهُ ََونَحْ نُ َأ َ ْق َربُ إِلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِار ْيد‬ ُ ‫س بِ ِه نَ ْف‬ ُ ‫سانَ ََونَ ْعلَ ُم َما َت ُ َو ْس ِو‬ َ ‫ََولَقَدْ َخلَ ْقنَا ا ِال ْن‬ “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri”.[24] Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber bagi disiplin ilmu tasawuf.[25] 4. Ilmu Filsafat Islam Dari segi bahasa, filsafat islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan islam. Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selanjutnya kata islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk, berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaranajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur’an dan hadist.

13 Filsafat Islam adalah ilmu yang berbicara tentang segala sesuatu yang ada untuk dicari hakikat atau dasar serta prinsip-prinsipnya, secara sistematik, radikal, dan universal.[26] Filsafat ditandai dengan penggunaan akal atau rasio secara benar dan sehat. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menyuruh manusia menggunakan akal atau rasio.

D. Aliran-aliran dalam Islam dan Hubungannya dengan Al-Qur’an Secara garis besar apa yang terkandung dalam pengertian Islam dapat dibagi di dalam dua kelompok. Kelompok ajaran dan kelompok non ajaran. Dalam kelompok non ajaran dapat dimasukkan sejarah, kebudayaan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang datang ke dalam Islam sebagai hasil dari perkembangan Islam dalam sejarah. Kelompok ajaran dapat dibagi kepada ajaran dasar sebagai terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits, dan ajaran bukan dasar yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama dan ahli-ahli Islam terhadap ajaranajaran dasar itu. Dari sini lahirlah berbagai pemikiran Islam dalam bidang hukum, dan bidang teologi yang menimbulkan berbagai madzhab dan aliran. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan hasil akal manusia. Karena manusia tidak bersifat ma’sum, penafsiran para ulama sehingga tidak bersifat mutlak, namun tetap harus tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.[27] Pada dasarnya, munculnya aliran-aliran, terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang pemahaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Ada beberapa aliran yang dikenal dalam Islam antara lain : 1. As-Salaf As-Salaf adalah mereka yang memegang teguh Al-Ma’sur (al-Qur’an dan sunnah),

mendahulukan

riwayat

atas

kajian

(Al-Dirayah),

dan

mendahulukan naql (Al-Qur’an dan sunnah) atas akal. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan ahlu sunnah wal Jama’ah. Mereka mengimani Al-Qur’an tanpa banyak tanya, memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara global berdasarkan pengertian-pengertian lahir.[28]

14 2. Mu’tazilah Mu’tazilah adalah aliran rasional dalam Islam yang membahas secara filosofis

hal-hal

yang

tadinya

belum

diketahui

melalui

metode

filsafat.[29] Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan

kesendirian,

kelemahan,

keputusasaan,

berpisah,

atau

mengasingkan diri.[30] Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu menjauhi sesuatu. Seperti

tertera

dalam

QS.

An-Nisa:

90

yang

berbunyi:

ً‫سبِ ْيَل‬ َّ ‫فَإ ِ ِن ا ْعت َزَ لُو ُك ْم فَلَ ْم يُقَاَتِلُو ُك ْم ََوَأ َ ْلقَ ْوا اِلَ ْي ُك ُم ال‬ َ ‫سلَ َم فَ َما َِجعَ َل هللاُ لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه ْم‬ “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)[31] Sedangkan secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105–110H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[32] Munculnya aliran Mu’tazilah berasal dari dialog antara Hasan al-Bashri dengan muridnya yaitu Washil bin Atha’ mengenai status orang mukmin yang berbuat dosa besar. Hasan Bashri berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin. Namun Washil bin Atho’ berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi berada di posisi di antara keduanya. kemudian Washil memisahkan diri dari halaqoh Hasan Bashri dan membuat halaqoh sendiri. Atas kejadian ini Hasan al-Bashri berkata :“i’tazala anna washil” (Washil memisahkan diri dari kita). Washil dan para pengikutnya

inilah

yang

golongan mu’tazilah. Golongan

kemudian ini

dikenal

dikenal juga

dengan dengan

nama

nama ahlul

15 adl atau ahlut tauhid wal adl (golongan yang mempertahankan keEsaan dan keadilan Tuhan). 3. Al-Asy’ariah Asy’ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy’ariy. Al-Asy’ariyah kreatif yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub akal dan naqli, antara kaum Salaf dan Mu’tazilah.[33] Kaum Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifatsifat. Hal ini difahami dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Tuhan memiliki sifat seperti alim, qadir, murid, dan sebagainya. 4. Syi’ah Jika ketiga aliran di atas berbeda karena pandangan mereka terhadap ayatayat al-Qur’an, maka syi’ah muncul sebagai aliran yang meyakini Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang paling berhak menjadi khalifah (setelah Rasul wafat) karena Ali paling dulu masuk Islam, paling banyak menghadapi cobaan dalam fisabilillah, bahkan punya hubungan nasab paling kuat dengan nabi.[34] 5. Tasawuf Aliran ini berpegang pada: a. Tingkah laku menjauhi pesona dunia demi kesucian jiwa dan tubuh. b. Mujahadah ketahanan menghadapi bencana. c. Mementingkan akhirat.[35] 6. Qadariyah Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri seseorang ataupun makhluk-makhluk yang lain adalah atas kekuasaannya sendiri secara mutlak. Tidak ada campur tangan Allah dalam masalah tersebut. Dan Allah tidak mengetahui atas segala apa yang terjadi. Mereka berpendapat atas dasar firman Allah: َّ ‫ِإ َّن‬ ‫ّللاَ َال يُغَ ِي ُر َما ِبقَ ْوم َحتَّى يُغَ ِي ُرَوا َما ِبأ َ ْنفُ ِس ِه ْم‬ “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan (nasib) sesuatu kaum (seseorang) sehingga mereka (mau berusaha) merubah keadaan yang ada pada (diri) mereka itu.” (Q.S. Ar-Ra’du : 11)[36]

16 Dari ayat diatas mereka mengambil kesimpulan bahwa manusia itu mampu menentukan nasibnya sendiri secara mutlak tanpa adanya campur tangan dari Allah, contoh: nasib kaya dan miskin, pintar dan bodoh dan lain sebagainya, adalah merupakan hasil usaha dari pada usaha manusia itu sendiri. Selain itu, mereka juga memperkuat pendapatnya dengan mengambil firman Allah, yaitu: ‫سبِيل‬ َ ‫إِ َّن هَـ ِذ ِه َتَذْ ِك َرة ٌ ا ً فَ َمن شَآ َء اَت َّ َخذَ إِلَى َربِ ِه‬ “Sesunggunya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki (kebijakan bagi dirinya) niscaya mereka mengambil jalan (yang mendekatkan) kepada Tuhannya”. (Q.S. Al-Insan : 29).[37] Sayangnya dalam memahami ayat ini, mereka tidak melihat ayat yang selanjutnya, yaitu ; َّ ‫ََو َما َتَشَآ ُءَونَ إِالَّ َأ َن يَشَآ َء‬ ُ‫ّللا‬ “Dan kami tidak menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah”. (Q.S. Al-Insan : 30).[38] Mereka mengambil kemudian memahami ayat-ayat Al-Qur’an sepotongsepotong saja dengan tidak memperhatikan aya-ayat yang selanjutnya (seolaholah hanya ayat itu saja yang dianggap penting) demi menguatkan paham mereka sendiri, padahal mereka mengetahui itu. 7. Jabariyah Jabariyyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia.[39] Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah dan semua amal perbuatan itu berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya, manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan manusia sendiri. Kodrat dan iradat Allahlah yang membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah paksaan semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun manusia nantinya memperoleh balasan surga atau neraka. Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya dan balasan kejahatan

17 yang dilakukannya, tetapi surga dan neraka semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradat-Nya. Sebagian pengikut Jabariyyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Hal ini menimbulkan paham “Wihdatul Wujud” atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai “Manunggaling Kawulo lan Gusti”, bersatunya hamba dengan Tuhannya. Menurut paham Ahlus Sunnah, bahwa segala seseuatu memang dijadikan oleh Allah. Tetapi Allah juga menjadikan ikhtiar dan kasab bagi manusia. Suatu yang diperbuat manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dan takdirNya. Ikhtiar dan kasab hanya sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan sesutau. Tidak jarang terjadi gesekan dan benturan-benturan antara aliran yang satu dengan aliran yang lain. Namun demikian, perbedaan pendapat itu bukanlah suatu 'aib atau tercela dalam agama Islam. Perbuatan yang tercela dan 'aib, adalah perbedaan pendapat yang menjurus kepada pertentangan dan permusuhan. Hal ini disebabkan, karena kurang dewasa dalam berpikir, terpengaruh oleh emosi dan kefanatikan menganut suatu aliran. Padahal kalau dilihat, maka "syahadat" semua penganut dari berbagai aliran adalah sama, tidak ada bedanya. Mengapa sampai terjadi saling mengkafirkan, sedangkan tempat kembali dan bernaung adalah sama, yaitu Allah dan sumber ajaran Allah adalah sama pula yaitu Al-Qur’an. Sebagai penutup bagian ini, sangatlah tepat apa yang dikatakan Muhaammad al-Baqir: Kaum muslim, baik di Indonesia maupun di negaranegara Islam lainnya, telah membuktikan bahwa sikap keras dan fanatik yang berlebihan dengan cara memandang madzhab dan faham kita saja yang berhak memonopoli kebenaran, sedangkan faham-faham lainnya pasti salah dan sesat dan oleh karena itu harus diganyang habis-habisan, ternyata tidak menghasilkan sesuatu kecuali pecahnya pertengkaran dan pertikaian sengit, dan timbulnya tragedi-tragedi yang meresahkan, serta menjalarnya kebencian di kalangan sesama muslim. Sehingga dalam hati kita timbul pertanyaan: “Sampai kapankah keadaan seperti ini tidak bisa diatasi?” Tidak kita bersedia mengamalkan firman Allah dalam surah Al-Fatah: 29: ”Muhammad itu adalah

18 utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orangorang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaannya”.

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Bab 2(2).docx
April 2020 5
November 2019 4