S3-2014-306941-chapter1_2.pdf

  • Uploaded by: Cloud Vii
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View S3-2014-306941-chapter1_2.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 2,340
  • Pages: 12
1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Indonesia memiliki keragaman budaya dan adat istiadat. Budaya dan adat istiadat yang dianut tersebut sesuai dengan pandangan hidup masyarakat penganutnya. Kebudayaan daerah hadir dalam bentuk sistem budaya yang meliputi sistem nilai, gagasan-gagasan, dan norma-norma. Kebudayaan juga hadir dalam bentuk sistem sosial berupa aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat (Poerwanto, 2010:53). Berbagai jenis kebudayaan tersebut perlu dibina dan dilestarikan serta dikembangkan. Pembinaan, pelestarian dan pengembangan budaya daerah bukanlah dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kesukuan yang berlebihan bagi masyarakat daerah, tetapi sebagai upaya melestarikan unsur budaya nasional. Gorontalo adalah sebutan untuk suku asli yang mendiami wilayah utara pulau Sulawesi. Masyarakat Gorontalo menyebut diri mereka dengan sebutan suku Hulondhalo. Wilayah Gorontalo sekarang telah menjadi provinsi yang disebut provinsi Gorontalo. Gorontalo dulunya adalah bagian dari provinsi Sulawesi Utara, dan baru pada tahun 2001 disahkan menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Gorontalo pada zaman penjajahan Belanda dan Pra Kolonialisme,

2

terbagi menjadi 2 kerajaan yaitu Hulondalo (Gorontalo) dan Limutu (Limboto) (Juwono, 2005:21). Masyarakat Gorontalo memiliki sebuah upacara adat yang disebut upacara adat Beati, yaitu sebuah rangkaian prosesi ritual yang dilaksanakan terhadap seorang anak gadis kecil yang beranjak dewasa. Upacara ini dilakukan sebagai sebuah bentuk legitimasi perubahan seorang gadis kecil menjadi gadis remaja yang ditandai dengan adanya menstruasi. Masyarakat Gorontalo meyakini bahwa upacara ini penting untuk dilakukan karena perubahan hormonal tersebut merupakan sebuah turning point kontekstual yang akan serta merta berimplikasi pada perubahan mental dan psikis gadis remaja tersebut. Fungsi utama dari upacara adat Beati adalah memberikan bimbingan moral kepada si gadis untuk menghadapi berbagai permasalahan yang mungkin akan muncul dalam kehidupan pergaulan remaja.. Upacara Beati merupakan sarana pembangun karakter dari gadis kecil menjadi gadis remaja dengan segala tanggung jawab yang menjadi konsekuensinya. Upacara Beati juga merupakan afirmasi dogmatis yang didoktrinkan kepada sang gadis guna penataan diri lahir dan batin serta pendewasaan sang gadis (Botutihe,70:2003). Upacara adat Beati pada prinsipnya merupakan upacara menginjak dewasa. Upacara ini merupakan ajang untuk mempersiapkan anak agar menjadi anggota keluarga dewasa yang bertanggung jawab. Bumi yang sebelumnya hanya dipandang sebagai tempat bermain berubah menjadi tempat bekerja. Seseorang diharapkan untuk mendapatkan peralihan yang baik, maka berbagai noda lama

3

harus dibersihkan. Seseorang juga diberi nasehat agar dapat mengambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat dengan baik (Subagya, 1979:125). Perhatian terhadap anak perempuan bagi masyarakat Gorontalo sangat diperlukan bahkan diperlakukan secara khusus. Perlakuan khusus ini bukan bermaksud mengekang kebebasan seorang anak perempuan, tetapi lebih pada menjaga martabat si anak dan martabat keluarga. Seorang anak perempuan dalam keluarga masyarakat Gorontalo sering diperlakukan lebih khusus. Misalnya waktu yang diperbolehkan untuk keluar rumah, waktu bermain bersama teman-teman dan dilibatkan dalam berbagai urusan rumah tangga. Anak perempuan dilibatkan dalam berbagai pekerjaan rumah tangga agar ketrampilan itu bisa menjadi bekal saat berumah tangga. Pengaruh Islam sangat besar dalam ritual adat Beati. Ritual adat ini hanya dilakukan oleh keluarga Islam dan dipandang sebagai ketentuan syari’at yang harus dijalani oleh seorang muslimah. Berbagai pesan yang dituangkan dalam upacara adat ini, sangat berhubungan dengan tata etika yang ada dalam Islam. Raja Eyato yang naik tahta pada tahun 1673, memiliki kebijakan untuk mengkolaborasikan berbagai upacara adat dengan ajaran syari’at Islam. Kebiasaan ini untuk mencegah konflik antara ulama dan kelompok penguasa adat. Kelompok ulama menginginkan pelaksanaan syari’at secara utuh. Kelompok penguasa adat menginginkan seluruh upacara adat tetap dilaksanakan sebagaimana Islam belum masuk di wilayah Gorontalo (Daulima, 2001:9). Sangat logis jika “pembacaan” terhadap tradisi ini berdasarkan “bacaan” ataupun pesan para ulama Islam terdahulu. Tradisi ini memuat berbagai pesan etis kepada seorang anak

4

perempuan. Berbagai ajaran etis juga ditemukan dalam pandangan sufi klasik. Kesamaan dalam artian pesan yang disampaikan memiliki kemiripan tetapi pandangan atau ajaran sufi klasik lebih detail tentang ajaran moralitas. Moral dalam Islam seringkali dihubungkan dengan perilaku yang diajarkan oleh kaum sufi. Kaum sufi adalah para pelaku tasawuf. Pengertian tasawuf sendiri pada umumnya bermakna menempuh kehidupan zuhud yaitu menghindari gemerlap kehidupan duniawi, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid. Amalan zuhud dilakukan sampai fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah sementara dimensi jiwa atau rohani menjadi kuat (Hilal, 2007:19). Beberapa asumsi menyatakan bahwa tasawuf tidak berasal dari ajaran Islam. Tasawuf dipandang sebagai ajaran dari luar Islam seperti Nasrani, teori-teori filsafat seperti filsafat mistik Phytagoras tentang kontemplasi, praktek mistisisme India, serta agama Majusi di Persia (AlJauzy, 2005:34). Tasawuf dibagi menjadi tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaqi. Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengajarkan pengenalan Tuhan (Ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat). Pengenalan Tuhan diharapkan sampai pada penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujuud). Tasawuf falsafi dapat pula dikatakan sebagai tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Jika tasawuf falsafi lebih menonjolkan segi teoritis (ilmy), maka pada falsafah akhlaqi lebih menonjolkan pada segi praktis (nadzhory) dimana tujuan

5

utamanya adalah penyucian jiwa dari berbagai hal yang tidak diridhoi Allah (Hilal, tt:20-23). Etika dalam Islam banyak menekankan pada hubungan manusia dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan. Penekanan ini tak jarang menjadikan aliran etika seperti ini disebut sebagai etika humanisme. Etika humanisme menekankan pada suatu hubungan yang harmonis, seimbang dan serasi sesama manusia, alam dan Tuhan (Ichsan, 2009:179). Para ulama sufi pada prinsipnya tidak mengajarkan sesuatu yang berbeda dari apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. S.A.W. Seringkali para sufi mengungkapkan apa yang menjadi pengalaman batin yang dialami. Pengalaman batin ini terkadang sulit terterima oleh masyarakat awam sehingga sering dipandang sebagai sebuah cerita mistis (Nicholson, 1914:5). Salah satu tokoh tasawuf akhlaqi atau yang beraliran filsafat moral adalah Imam Qusyairy an-Nisabury. Imam Qusyairy an-Nisabury memiliki nama lengkap Abdul Karim al Qusyairy. Nasab lengkapnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Gelar al-Qusyairy diberikan kepadanya karena berasal dari keluarga besar marga Qusyair. Marga Qusyair merupakan salah satu keluarga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Nama an-Nisabury dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur yaitu sebuah kota di mana Imam Qusyairy tinggal hingga akhir hayatnya (Ma’ruf, tt:xiii).. Imam Qusyairy an-Nisaburi adalah seorang filsuf Muslim yang memiliki karakteristik pemikiran filsafat moral. Hal ini tergambar dalam kitab Risalah Qusyairiyah yang dinilai mampu memberikan bimbingan moral dan menentang segala bentuk negatif dari kehidupan manusia. Sebagian ulama sufi bahkan

6

memandang bahwa kitab Risalah Qusyairiah adalah kitab induk kaum sufi. Risalah Qusyairiyah disusun pada tahun 434H/1046M.

Imam Qusyairy pada

tahun itu telah berusia 62 tahun. Usia yang telah dicapai Imam Qusyairy pada saat itu dipandang telah mapan dan jernih untuk menulis sebuah kitab tasawuf. Imam Qusyairy dikenal sebagai seorang ahli hadits, ahli bahasa dan sastra, penyair, namun lebih populer di bidang tasawuf sebagai seorang sufi (Zariq, tth:10). Tasawuf akhlaqi sangat mempengaruhi berbagai upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo. Selain pada upacara adat, pelaksana pemerintahan kerajaan Gorontalo sejak dibawah kepemimpinan Raja Eyato (1673 M). telah dipengaruhi oleh ajaran sufi. Pelaksana pemerintahan disumpah untuk selalu bersikap dengan sifat-sifat ilahiyah, seperti Qidam (setia), Mukholafatun lil hawadits (berbeda dengan makhluk), Sama’ (mendengar) dan Basyara (melihat). Qidam diartikan kesetiaan untuk selalu berbakti pada rakyat, Mukholafatun lil hawadits (berbeda dengan makhluk) dimaksudkan bahwa seorang pejabat pemerintah harus lebih baik dari rakyat biasa, dan akan dihukum lebih berat daripada rakyat biasa jika melanggar. Sama’ (mendengar) dan Basyara (melihat) berarti seorang pejabat pemerintah bersedia mendengarkan berbagai keluhan rakyatnya, serta mau melihat langsung rakyatnya dan bukan hanya duduk di belakang meja (Daulima, 2004:14-17). Upacara adat Beati dipengaruhi oleh ajaran tasawuf akhlaqi, sebagaimana upacara adat masyarakat Gorontalo lainnya. Upacara adat Beati hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebahagian besar masyarakat Gorontalo. Masyarakat Gorontalo yang masih melaksanakan upacara adat Beati berpandangan bahwa

7

upacara adat ini merupakan kewajiban syari’at Islam. Masyarakat yang tidak lagi melaksanakan upacara adat Beati berpandangan bahwa upacara adat ini hanyalah ritual adat yang tidak ada dalam tuntunan syari’at, bahkan dipandang sebagai sebuah bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sekalipun upacara adat Beati masih dijalankan, namun dekadensi moral tetap terjadi pada para remaja. Kondisi moral ini bisa saja terjadi akibat hilangnya sakralitas dalam penyelenggaraan upacara adat. Konsep kebudayaan di Indonesia saat ini memang cenderung antropologis daripada filosofis. Tidak mengherankan jika praktek kebudayaan tidak diarahkan kepada cita kemanusiaan tetapi lebih pada rekayasa nilai untuk kepentingan tertentu (Arif, 2010:307). Pemaknaan kembali berbagai pesan etis yang terdapat dalam upacara adat Beati dipandang perlu agar bisa menjadi pelajaran moral yang bermanfaat bagi masyarakat Gorontalo khususnya para remaja.

Para remaja saat ini merasa bangga dengan budaya asing, terutama budaya Barat. Perlu diingat bahwa tidak semua budaya Barat baik dan cocok untuk diterapkan di Indonesia. Ritzer (2010:565). menyatakan bahwa tidak semua bentuk-bentuk budaya dapat diterima oleh budaya lain karena bertentangan dengan “isi” kultur budaya lokal. Akulturasi budaya telah menggeser sebagian budaya lokal yang menjadi kebanggaan. Pengaruh negatif lain yang juga perlu disadari dalam globalisasi dan modernisasi adalah kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial terjadi jika hanya sebahagian orang yang dapat mengikuti arus globalisasi dan modernisasi (Kusuma, 2009:37).

8

Masuknya budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal terkadang menjadikan kelompok masyarakat tersebut merasa terasing dalam lingkungannya sendiri. Keterasingan ini semakin kental ketika seseorang memaksakan diri menganut budaya luar dan mengenyampingkan budaya sendiri (Kuntowijoyo, 2006:111-112).

Tidak berhenti sampai disitu, Bangsa Indonesia juga akan

mengalami krisis multidimensional jika mengenyampingkan berbagai aspek etika dan estetika dalam bertindak (Lestari, 2009:10).

Upacara adat Beati adalah sebuah ritual adat yang mengajarkan berbagai nilai etis bagi remaja. Nilai etis yang diajarkan sangat kental dengan ajaran Islam. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa upacara adat Gorontalo sangat dipengaruhi oleh ajaran sufistik. Pengaruh budaya Barat telah menjadikan upacara adat Beati kehilangan sakralitas dan makna.

Penelitian ini adalah untuk

menemukan berbagai nilai etis Upacara Adat Beati dari sudut pandang etika Imam Qusyairi.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman baru mengenai berbagai nilai etis yang terkandung dalam upacara adat Beati secara teoritis dan manfaatnya bagi pembinaan moralitas remaja secara praktis dalam menghadapi pengaruh modernisasi.

2. Rumusan Masalah Inti permasalahan yang ingin dicarikan jawabannya melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

9

1. Apa nilai etis yang terkandung dalam Kitab Risalah Qusyairiyah?. 2. Apa nilai etis yang diungkapkan di dalam upacara adat Beati?. 3. Apa nilai etis upacara adat Beati perspektif etika Qusyairy dan manfaatnya bagi pembinaan moralitas remaja?

3. Keaslian Penelitian. Beberapa penelitian dengan objek material yang sama antara lain; Tata Upacara Adat Gorontalo yang ditulis bersama oleh Medi Botutihe dan Farha Daulima (2003). Buku ini secara lengkap membahas proses berbagai upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Gorontalo. Upacara tersebut meliputi upacara adat sebelum kelahiran dan keremajaan, upacara adat pernikahan, penyambutan tamu, upacara adat penobatan dan pemberian gelar, sampai pada upacara adat pemakaman. Pembahasan upacara adat Beati dalam buku ini meliputi proses pelaksanaan dan berbagai perangkat adat yang digunakan dalam prosesi. Buku ini juga mengungkapkan bahwa Beati merupakan sebuah keharusan syari’at Islam. Inti dari Beati adalah pengucapan janji atau ikrar pelaksanaan rukun Islam dan rukun Iman secara utuh yang diawali dengan pengucapan Syahadat. Beati dipandang sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap keluarga muslim Gorontalo. Dipandang wajib karena Beati mengandung unsur pendidikan moral, penyucian diri, dan pendalaman ajaran agama. Buku ini menuturkan berbagai prosesi upacara adat Beati secara antropologis.

10

Penelitian lainnya adalah tesis karya Yowan Tamu (2009) Mahasiswi Pascasarjana UGM jurusan Cross Religion and Culture Studies. Tesis tersebut berjudul Upacara Adat Beati Terhadap Gadis Remaja Muslim Dalam Kultur Masyarakat Gorontalo. Kajian yang dibahas cenderung kepada pengaruh modernitas

kepada

mengeksplorasi

kelangsungan

berbagai

alasan

upacara

adat

masyarakat

Beati.

Gorontalo

Tesis yang

tersebut masih

mempertahankan Upacara Adat Beati. Penelitian ini juga membahas pergeseran nilai dalam pelaksanaan upacara adat Beati. Penelitian Tamu dibatasi pada masyarakat Gorontalo yang berada di kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Penelitian ini hampir memiliki kemiripan dengan apa yang ditulis oleh Alim Niode (1996) yang mengulas tentang perubahan nilai-nilai budaya dan pranata sosial. Niode mengulas tentang masuknya budaya asing yang mempengaruhi nilai-nilai budaya yang telah dimiliki dan dianut oleh masyarakat Gorontalo. Selain itu, masuknya nilai-nilai budaya asing telah memicu adanya pergeseran pranata sosial pada masyarakat Gorontalo. Secara sederhana tulisan Niode disebut sebagai “pembedahan” Gorontalo dari sudut pandang sosiologi. Umam (2009) menulis tesis tentang Nilai Etis Upacara Adat Beati Dalam Perspektif Filsafat Moral. Tesis tersebut mengungkap tentang proses adat Beati dengan berbagai perangkat adat yang digunakan dalam proses tersebut. Tulisan tersebut mengeksplorasi berbagai pesan etis yang terkandung dalam upacara adat Beati. Ditemukan bahwa berbagai perangkat adat dan dalam setiap proses upacara adat Beati memiliki pesan moral dan berbagai tata aturan yang harus dilakukan oleh seorang gadis dalam menjalani hidupnya.

11

Upacara adat Beati merupakan objek material dari penelitian ini, dan konsep etika Imam Qusyairy merupakan objek formalnya. Perbedaan objek formal inilah yang membedakan penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya. Sepanjang penelusuran penulis, belum ada penelitian yang mengkaji upacara adat Beati berdasarkan etika Imam Qusyairy.

4. Manfaat Penelitian. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat atau kegunaan baik bagi filsafat, ilmu pengetahuan, dan bangsa Indonesia: 1. Bagi ilmu pengetahuan secara umum diharapkan mengembangkan dan memperluas kajian ilmu-ilmu sosial dan budaya khsususnya budaya daerah. Bagi filsafat diharapkan dapat memberikan masukan terhadap kemajuan pemikiran etika Islam umumnya dan pemikiran etika Islam klasik

khususnya,

untuk

tetap

berkembang

di

tengah-tengah

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan dunia modern. Mengangkat kembali berbagai pemikiran etika yang telah dikemukakan oleh para ulama klasik dalam Islam guna menjadi sumbangan pemikiran terhadap pemikiran etis pada masyarakat modern melalui pendekatan filsafat adat tradisional yangl religius, serta inkulturasi etika Islam dan budaya lokal. 2. Bagi bangsa Indonesia diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khasanah kajian filsafat hidup masyarakat Indonesia, khususnya konsep

12

etika bagi remaja, dan kesadaran akan keberagaman budaya lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Selain itu pula, diharapkan menumbuhkan kembali rasa memiliki terhadap budaya lokal khususnya budaya Gorontalo bagi masyarakat Gorontalo. 3. Bagi pengkajian upacara adat Beati untuk memperkaya kajian budaya lokal masyarakat Gorontalo dan sebagai masukan bagi para peneliti selanjutnya.

B. Tujuan Penelitian 1. Mengungkap secara kritis berbagai nilai etis yang terkandung dalam Kitab Risalah Qusyairiah karangan Imam Qusyairy an-Nisabury, serta berbagai landasan etis yang disampaikannya. 2. Mendeskripsikan upacara adat Beati dan mengungkap secara kritis berbagai nilai etis yang terkandung di dalamnya, baik dalam proses maupun dalam perangkat adat yang digunakan. 3. Menganalisis secara kritis berbagai nilai etis yang terkandung dalam upacara adat Beati perspektif ajaran Etika Qusyairi serta merefleksikan manfaatnya untuk pembinaan moralitas remaja.

C. Tinjauan Pustaka Upacara adat merupakan salah satu cara yang digunakan masyarakat untuk memberikan pelajaran tentang norma serta nilai-nilai kehidupan. Kelestarian

More Documents from "Cloud Vii"

Bab 2(2).docx
April 2020 5
November 2019 4
Proofreading Checklist
July 2019 27
Final Paper Process
July 2019 25
Mikethegourami(2)
August 2019 16