BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Karya sastra adalah hasil pekerjaan seni kreatif manusia yangmenampilkan kehidupan di dalamnya, yang tidak hanya berisi imajinasi tetapi juga realita sosial. Karya sastra contohnya prosa memiliki beberapa jenis, seperticerpen, novel, dan novelet. Karya sastra seperti novel dan cerpen menurut pandangan tradisional memiliki dua unsur pembangun yaitu unsur intrinsik danekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra daridalam karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan karya sastra tersebut. Unsur pembangun novel atau karya fiksi terbagi ke dalam tiga macam yaitu fakta, tema dan sarana pengucapan. Fakta meliputi karakter atau penokohan, plot (alur), dan setting (latar) ketiganya secara fakta dan nyata bisa dibayangkan peristiwa dan eksistensinya. Tema adalah dasar cerita atau makna yang disampaikan pengarang, yang bersinonim dengan idecerita. Pengucapan atau sarana sastra (literary devices) adalah teknik yangdigunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detildetil cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sarana sastra pada umumnya meliputi sudut pandang,gaya dan nada, simbolisme, dan ironi. Metode atau sarana pengucapan ini bertujuan agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita yang disampaikan pengarang dari gambaran di atas penulis dapat mengambil simpulan bahwa sebuahkarya sastra sangat bergantung terhadap bagaimana seorang pengarangmembangun unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Menganalisis karya sastra berarti menguraikan unsur-unsur apresiasi Prosa novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar 3 pembentuknya. Sehingga, makna keseluruhan karya sastra dapat dipahami. Selainitu, makna keseluruhan karya sastra hanya dapat diketahui dari hubungan struktur yang membangun karya sastra unsur intrinsic, ekstrinsik, aliran yang digunakan dan kesimpulan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”? 2. Apa unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”? 3. Apa aliran yang digunakan yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara”? 4. Apa kesimpulan dari roman “Azab dan Sengsara”? 1.3 1. 2. 3. 4.
Tujuan Mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara” Menegtahui unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara” Mengetahui aliran yang digunakan yang terdapat dalam roman “Azab dan Sengsara” Menegtahui kesimpulan dari roman “Azab dan Sengsara”
BAB II PEMBAHASAN 2.1
Sinopsis AZAB DAN SENGSARA (Merari Siregar,1920)
Novel yang berjudul “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini menceritakan kisah kehidupan seorang anak gadis bernama Mariamin. Mariamin tinggal dipondok bambu beratapkan ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok. Di waktu senja Mariamin atau yang biasa dipanggil Riam seperti biasanya duduk di sebuah batu besar di depan rumahnya menunggu kekasih nya datang. Mariamin sangat sedih karena Aminu’ddin, kekasihnya itu menemuinya untuk berpamitan sebab dia akan pergi ke Medan untuk mencari pekerjaan supaya dia bisa menikahi kekasihnya itu dan bisa mengeluarkan Mariamin dan keluarganya dari kesengsaraan. Aminuddin seorang anak muda berumur delapan belas tahun. Dia adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak. Adapun kekayaannya itu berasal dari peninggalan orangtuanya tetapi karena rajin bekerja, maka hartanya bertambah banyak. Ayah Aminu’ddin mempunyai budi yang baik. Sifat-sifatnya itu menurun pada anak laki-laki satusatunya, Aminu’ddin. Aminuddin bertabiat baik, pengiba, rajin, dan cerdas. Setelah Aminu’ddin pulang, Mariamin pun masuk kedalam rumahnya untuk menyuapi ibunya yang sedang sakit. Mariamin tidak ingin membuat ibunya sedih oleh karena itu ia berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya walaupun itu hanya sementara. Ibunya sangat mengenal gadis itu sehingga dia mengetahui kalau Mariamin sedang bersedih. Ibunya mengira kesedihan anaknya itu karena dia sedang sakit sebab sakitnya ibu Mariamin sudah lama sekali. Setelah selesai menyuapi ibunya, Mariamin pergi ke kamarnya untuk tidur. Mariamin tidak dapat memejamkan matanya, Pikirannya melayang mengingatkan masa lalunya ketika dia masih kecil. Dahulu ayah Mariamin, Sutan Baringin adalah seorang yang terbilang hartawan dan bangsawan di seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya jatuh miskin dan hina. Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti berpengkara, tetapi tidak diindahkannya ia malah lebih mendengarkan perkataan pokrol bambu tukang menghasut bernama Marah Sait. Ibu Mariamin memang seorang perempuan yang penyabar, setia sederhana dan pengiba berlawanan dengan Sutan Baringin, suaminya yang pemarah, malas, tamak , angkuh dan bengis. Mariamin dan Aminu’ddin berteman karib sejak kecil apalagi mereka masih mempunyai hubungan saudara sebab ibu Aminu’ddin adalah ibu kandung dari Sutan Baringin, ayah Mariamin ditambah lagi Mariamin sangat berhutang budi kepada Aminu’ddin karena telah menyelamatkan nyawanya ketika Mariamin hanyut di sungai. Setelah 3 bulan Aminu’ddin berada di Medan, dia mengirimkan surat kepada Mariamin memberitahukan kalau dia sudah mendapat pekerjaan, Mariamin pun membalas surat dari Aminu’ddin tersebut. Mariamin sangat bahagia menerima surat dari Aminu’ddin yang isinya menyuruh Mariamin untuk berkemas karena Aminuddin telah mengirim surat kepada orangtuanya untuk datang ke rumah Mariamin dan mengambil dia menjadi istrinya serta mengantarkannya ke Medan. Tetapi ayah Aminu’ddin tidak menyetujui permintaan putranya itu, biarpun istrinya membujuknya supaya memenuhi permintaan Aminu’ddin. Mariamin sudah mempersiapkan jamuan untuk menyambut kedatangan orang tua Aminu’ddin. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, malah yang datang adalah surat permintaan maaf dari Aminu’ddin. Dalam surat itu memberitahukan kalau kedua orang tua nya sudah berada di Medan dengan membawa gadis lain
sebagai calon istrinya. Aminuddin sangat kecewa dan hatinya hancur tetapi dia tidak bisa menolak karena tidak ingin mempermalukan orang tuanya dan dia tidak mau durhaka pada orangtua Mariamin gadis yang solehah itu menerima maaf Aminu’ddin, dia menerima semuanya sebagai nasibnya dan harapannya untuk keluar dari kesengsaraan pun sudah pudar. Setelah dua tahun lamanya Mariamin pun menikah dengan orang yang belum dikenalnya, pria itu bernama Kasibun. Usia Kasibun agak tua, tidak tampan dan dia pintar dalam tipu daya, selain itu dia juga mengidap penyakit mematikan yang mudah menular pada pasangannya. Aminu’ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya ketika itu suaminya sedang bekerja di kantor. Kasibun sangat marah setelah dia mengetahui kedatangan Aminu’ddin apalagi ketika Mariamin menolak berhubungan suami-istri. Suaminya yang bengis itu tidak segan-segan menamparnya, memukulnya dan berbagai penyiksaan lainnya. Akhirnya karena dia sudah tidak tahan lagi Mariamin melaporkan perbuatan suaminya itu pada polisi. Sampai akhirnya mereka bercerai. Kesudahannya Mariamin terpaksa Pulang ke negrinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok. Hidup Mariamin sudah habis dan kesengsaraannya di dunia sudah berkesudahan. Azab dan Sengsara dunia ini sudah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu. 2.2 Unsur-unsur Intrinsik Unsur Intrinsik Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregars 1. Tema Roman “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini mengangkat tema tentang adat dan kebiasaan di masyarakat yang dapat membawa kesengsaraan dalam kehidupan. Adat dan kebiasaan yang dijelaskan dalam novel tersebut adalah adat dan kebiasaan menjodohkan anak yang menyebabkan kesengsaraan untuk dua anak manusia karena kasih tak sampai. 2. Penokohan Mariamin : Baik, penurut, rajin, ramah, lemah lembut, penyayang, penyabar, dan pemaaf. Aminu’ddin : Baik, rajin, tidak sombong, pemaaf, suka menolong, bijaksana, dan berbakti. Sutan Baringin atau Ayah Mariamin : Pemarah, malas, tamak, pemboros, angkuh, dan bengis. Nuria atau Ibu Mariamin : Penyabar, sederhana, setia, dan pengiba Baginda Diatas atau Ayah Aminu’ddin : sombong. Ibu Aminu’ddin : Baik, pengiba, dan setia. Kasibun : Jahat, bengis, pandai dalam tipu daya, buas, dan ganas Marah Sait : Jahat, dan suka menghasut 3. Latar (Setting) a. Latar Tempat di Kota Sipirok “Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”. di batu besar “Sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk pada waktu petang”. di rumah Mariamin “rumah kecil tempat kediaman ibu dan anaknya itu”. di sebelah rusuk rumah “Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”. di kampung A
“Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu”. di sawah dala “ Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya”. di tepi sungai “Tiada berapa lama sampailah mereka ke tepi sungai yang akan diseberangi mereka itu”. di stasiun Pulau Berayan “Setelah habis mandi dan berpakaian, pergilah Aminuddin ke stasiun Pulau Berayan”. di Deli “Setelah lengkaplah sekalian, Baginda di atas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya”. di Medan “Ia sudah mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang ke Medan”. b. Latar Waktu Sore hari “Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, kebalik gunung Gunung Sibualbuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok itu” Malam hari “Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu Angkang,” Pagi hari “Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminuddin” Hari pertama “Tepat hari pertama, setelah Mariamin sembuh, maka datanglah Baginda Diatas dengan istrinya membawa nasi bungkus ke rumah ibu Mariamin”. Hari Jumat “Waktunya berangkat pumn sudah dekat, yakni besok hari Jumat”. Tanggal enam belas “Adapun orang itu tiadalah lain memang Aminuddin. Waktu itu tanggal enam belas waktu istirahat bagi orang kebun”. Pukul setengah dua belas “Pukul setengah dua belas, pulanglah Aminuddin meninggalkan rumah itu” Pagi hari “Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai”. c. Latar Suasana Menyedihkan, senang, haru, tegang. 4. a. b.
Sudut Pandang Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak).
5. Alur a. Pengenalan Dijelaskan bahwa di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin dan Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan
Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Dan Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya, akan tetapi baginda Diatas memiliki sifat sombong. b. Menuju konflik Aminudin dan Mariamin memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan. Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin. Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia tidak setuju dengan rencana Aminudin, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat.. c. Konflik memuncak Karena baginda Diatas tidak ingin anaknya Aminudin menikah dengan Mariamin sehingga baginda Diatas mengajak istri nya keseorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya. Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Kemudian ayahnya mengabarkan kepada Aminudin bahwa ayahnya akan membawa gadis yang dicintainya, yaitu Mariamin. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati. Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin. Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu. d. Klimaks Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu
menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam. Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadijadinya. e. Penyelesaian Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin. Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaanya yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu. 6. Bahasa Figuratif Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini yaitu: a. Simile Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll. Simile adalah bahasa kiasan berupa pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa. “bagai ombak yang berpalu-paluan di atas laut yang lebar” “ sedang padi itu bagai air yang hijau rupanya” “ bagai orang yang hanyut di lautan kesusahan” “ karena nasib manusia itu bagai roda kadang-kadang di atas, kadang-kadang di bawah” “ibarat bunga yang belum kembang” “ “ bagai matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan” “ibarat gendang kalau dipalu keras suaranya, dibelah tak ada isinya” “ sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya ibarat mata air yang ditutup” “indah rupanya, bagai disepuh dengan emas juwita” “angin yang keras itu makin kencang dan kilat pun berturut-turut diiringi halilintar yang gemuruh, bagai gunung runtuh lakunya” b. Metafora Majas metafora membatu orang yang berbicara atau menulis untuk menggambarkan hal-hal dengan jelas, dengan cara membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain yang emiliki ciri-ciri dan sifat yang sama. “ Raja siang itu akan masuk kedalam keperaduannya” “ masing-masing menyanyi memuja tuhan dan memberi hormat kepada raja siang” “ ibu nya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu” “ mengusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan”
c. Personifikasi Personifikasi ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak. “ angin gunung yang lemah lembut itu berhembuslah” “sehingga daun dan cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang secara perlahan-lahan” “Batang padi yang tumbuh disawah luas itupun dibuais-buaikan angin” d. Hiperbola Hiperbola merupakan pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. “ matanya yang berkilat-kilat serta terang itu” “ dan air matanya bercucuran pada pipi yang halus itu” “ cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si kecil” e. Oksimoron Oksimoron ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama. “ sungguh pun tak enak dirasa lidah ku nanti, akan tetapi lezat juga pada perasaan hati ku” f. Paradoks Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar. “ matanya saja yang menatap kesana, tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang itu tak kan nampak pada matanya” “ tiadalah ia melihat nyala lampu itu, melainkan seolah-olah barang lain lah yang nampak olehnya” 7. Amanat jangan sombong atau menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak berguna. Lebih baik uang tersebut diberikan kepada yang memeng membutuhkan. agama adalah penopang hidup yang memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua derita dan kesukaan hidup ini. Sehingga jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan menjerumuskan. Padahal Tuhan menjadikan makhluk berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan mendatangkan azab dan kesengsaraan seperti perjodohan yang hanya ditentukan oleh orang tua dan anak hanya tinggal mengikuti keninginana orang tua tersebut. Adat dan kebiasaan yang kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang yang menjalankannya. Jangan mengambil hak milik orang lain. 2.3 Unsur-unsur Ektrinsik 1. Latar Belakang Pengarang Merari Siregar (1896-1940), dilahirkan di Sipirok, Sumatera Utara, adalah seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Angkatan Balai Pustaka. Setelah meraih ijazah Handelscorrespondent Bond A di Jakarta, ia bekerja sebagai guru bantu di Medan, kemudian bekerja di Rumah Sakit Umum Jakarta, dan terakhir di Opium & Zoutregie Kalianget, Madura. Selain Azab dan Sengasara, yang merupakan tonggak kesusastraan Indonesia, ia juga menulis cerita si Jamin dan si Johan yang merupakan saduran karya Jus Van Maurik (1918).
2. Zaman ketika karya sastra Azab dan Sengsara dibuat Roman Azab dan sengsara disusun pada tahun 1920 dan cetakan pertama pada tahun 1927, dimana pada waktu itu bangsa Indonesia tengah berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari tangan penjajahan Bangsa Jepang. Meskipun begitu, jalan cerita di dalamnya tidak menyinggung masalah peperangan yang terjadi pada waktu roman ini dibuat. Akan tetapi, isinya lebih banyak membahas tentenag adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara pada masa itu. 2.4 Aliran dan Pendekatan yang ada dalam Novel “Azab dan Sengsara” 1. Aliran Aliran yang terdapat dalam novel azab dan segsara yaitu : 1. Aliran romantisme Romantisme ialah aliran yang mengutamakan perasaan. Bahwa manusia harus lebih banyak menggunakan intuisi ( untuk meraba rahasia alam yang tak terduga). a. kutipan dalam roman azab dan sengsara yaitu : “Itu tidak benar. Aku tinggal dhidup dengan untungku, Aminuddin tak melihatku, tiada terdengar suaraku lagi, sebab tuan sudah jauh, tentu tuan melupakan aku lambat lautnya. Hilang dari mata, lenyap dari pikiran. Hal yang serupa ini telah beratus kali kulihat di dunia ini. Akan tetapi aku tiada lupa kepadamu, biarpun tuan tak mengingat aku. Sudah kukatakan, bahwa engkau kucintai, diriku pun sudah kuserahkan kepadamu, sebab aku berhutang budi dan nyawa kepadamu dan lagi aku sudah percaya akan kemuliaan hatimu. ( hal 21 ) b. Kakanda aminuddin ! Gundah dan gulana silih berganti dalam hati adainda selama kakanda meninggalkan sipirok yang indah itu. Rindu karena suara kakanda tak kulihat lagi, muka kakanda tak kulihat lagi. Bimbang dan gulana hati adinda, karena sudah sekian lama adinda tiada menerima kabar dari kakanda.. ( hal 118 ) c. Akan adinda, tak usahlah kubukakan di sini isi dadaku. Meskipun bagaimana jauhnya kakanda, tiadalah berkurang kasihku; gunung yang tinggi kudaki, lurah yang dalam kuturuni, sungai yang lebar kusebrangi, supaya bertemu dengan kakanda, lamun waktunya sudah datang. Aminuddinlah jiwaku, kakandalah yang kuharapkan. (hal 119 ) d.
e.
f. g.
h.
Sekali lagi Aminu’ddin mengulangi membaca surat kekasihnya itu. Kemudian ia termenung sejurus lamanya, lalu dengan perlahan-lahan ia mengangkat tangan kirinya ke mulutnya, dan mencium cincin suasa, yang ada pada jari manisnya itu. Cincin itu pemberian dari Mariamin. ( hal 119 ) Anggi ! Riam, kasihku tiada berkurang akan dikau. Percayalah, engkau tak kulupakan dari dahulu sampai sekarang, ya sehingga matiku. Aku pun percaya, adinda kasihku juga akan diri kakanda, sebab itu lebih dahulu aku minta ampun, dan keampunan itu harap aku peroleh, sebab Riam kasih kepada kakanda anak yang terbuang-buang di rantau ini. ( hal 137 ) Sekarang sampailah tulisanku ini pada kabar yang meremukkan hatiku. Ayah kita sudah datang ke medan membawa anak yang lain, dan kawan sehidupku. ( HAL 137 ) Riam tahu benar, bukanlah dia yang kuminta, tetapi adindalah. Akan tetapi sudah jauh terlanjur, sehingga tak dapat diulangi lagi. Dengan nama Allah kakanda bersumpah, bahwa kakanda tak bersalah, adinda pun tidak. Ya, hanya ini sajalah yang kakanda katakan : Sekaliannya itu terjadi dengan takdir Allah Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu kepada Dia-lah kita serahkan penangungan kita yang sedih ini. Allah yang akan kasih hambanya, Dialah yang dapat membuat hal ini berkesudahan yang baik, baik kepada kakanda, baik kepada adinda ( hal 138 ) Dan sekarang kita lupakan sekalian angan-angan dan janji kita yang dahulu itu. Ya, apa boleh buat, sekaliannya telah hanyut ke laut kedukaan . ( hal 138 )
i. j.
Kalau adinda ada semupakat, inilah kita janjikan, yakni kasih dan cinta yang bertahun-tahun itu kita biarkan hidup dalam kalbu kita berdua. ( hal 138 ) Aminu’ddin melihat air mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan percakapan lagi, takutlah ia kalau hati Mariamin bertambah-tambah sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia hidup Mariamin amat sengsara dan suaminya itu kurang mengasihi dia. ( hal 156 )
2. Pendekatan 1) Pendekatan Historis Pendekatan historis menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa terwujudnya prosa fiksi yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara, 13 Juli 1896. Masa kecil dilalui penulis berdarah Batak ini di kampung halamannya. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwanya amat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Saat itu, ia kerap menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, salah satunya kawin paksa. Setelah beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok. Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi karya tulisnya yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yang ditandai dengan berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun 1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun. Seiring berjalannya waktu, prosa Indonesia mulai berkembang menjadi lebih modern karena semakin banyaknya pengarang yang ‘bergaul’ dengan karya sastra barat, terutama Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Perkembangan itu semakin tampak saat Commissie Voor de VoLfcslectuur berubah nama menjadi Balai Pustaka. Perubahan itu juga disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru. Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879. Salah satunya dengan menampilkan kemandirian pada tokoh-tokoh cerita. Yang dimaksud dengan istilah kemandirian di sini adalah, para tokoh itu dapat menentukan nasibnya sendiri dan tidak tergantung pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian itulah yang tercermin dalam roman karya Merari Siregar, Azab dan Sengsara, dengan tokoh utamanya seorang gadis Batak bernama Mariamin. Kesadaran Mariamin terlihat ketika ia mengakhiri penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan tokoh Mariamin ini dimaksudkan Merari untuk menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah. Dalam roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang dikutip dari situs Laman Badan Bahasa, "Saya mengarang ceritera ini, dengan
maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang." Secara keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain tercermin dalam penggunaan pantun dan syair. Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879. Ide cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha memberantas pemabukan, mereka masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu. Ketika menyadur Si Jamin dan Si Johan, Merari sempat menemui hambatan saat memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran kemiskinan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan di Indonesia, begitu pula dengan kehidupan spiritualnya. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang meminum minuman keras adalah orang kaya. Pria Eropa pergi ke gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke masjid tanpa istri dan anak perempuannya. Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan, masih ada beberapa karya Merari lainnya meski tidak semasyur dua karya tadi, karya-karya itu adalah Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi, serta roman Cinta dan Hawa Nafsu. Selain dikenal sebagai sastrawan, dalam kesehariannya ia bekerja sebagai guru. Profesinya sebagai guru sedikit banyak berpengaruh pada gaya bercerita dan karya sastranya, baik karya asli maupun saduran. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi, ia tonjolkan dalam setiap karyanya untuk menarik pembaca. Di samping bahasa yang enak dibaca, Merari juga memberi nasihat, mengecam ketidakadilan, serta memberi pujian pada tindakan yang tidak menyalahi aturan ataupun norma yang berlaku dalam masyarakat. Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian dilanjutkan ke Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ yang berlokasi di Gunung Sahari, Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost En West. Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di dunia pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari ibukota provinsi Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di Opium end Zouregie di daerah Kalianget, Madura, hingga akhir hayatnya. Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
2) Pendekatan Didaktis Pendekatan didaktis berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan maupun sikap itu dalam hl ini akan mampu terwujud dalamdalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis, sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. Nilai-nilai yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara diantaranya: a. Nilai moral 1) Aminu’ddin adalah seorang anak yang rajin dan penurut terhadap kemauan orang tuanya 2) Tali perkauman tidak akan putus meskipun itu terjalin antara si Kaya dan si Miskin b. Nilai agama 1) Nuria adalah seorang yang taat dan yakin kepada agama. 2) Keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang memberi kekuatan baginya akan menerima nasibnya yang baik dan buruk. 3) Kalau sekiranya ia tiada menaruh kepercayaan yang kuat kepada Allah SWT, tentulah ia akan melarat dan tentu iblis dapat mendayanya. c. Nilai kebudayaan 1) Menurut kebiasaan orang Batak yang mendiami Tapanuli, ada dua nama yang dipakai oleh masing-masing pria. Satu nama diberikan sebelum kawin, dan satu nama setelah kawin yang disebut dengan gelar. 2) Bagi orang Tapanuli, sebelum mereka menikahkan anaknya, terlebih dahulu mereka pergi ke dukun untuk menanyakan untung dan rugi daripada perkawinan anak mereka kelak. 3) Dalam masyarakat Tapanuli, terdapat larangan untuk kawin dengan orang sesuku. Mereka tidak boleh ambil-mengambil dalam perkawinan, karena dilarang keras oleh adat. 4) Bagi orang tua, apabila hendak menikahkan anak perempuan mereka, yang harus dibicarakan boli (mahar) 5) Apabila seorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita, maka orang tuanya harus menjemput si gadis kemudian dibawa ke rumahnya. 6) Menurut adat orang Batak, orang yang meminta maaf akan kesalahannya, harus harus membawa nasi ke rumah orang tempat ia meminta maaf itu, supaya langkahnya berat. Nasi itu biasanya dibungkus dengan daun pisang sehingga disebut dengan nasi bungkus. d. 1) 2)
e. a) b)
Nilai sosial Kalau kita dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat. Bila kita jatuh miskin, seorang pun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum yang karib itu menjauhkan dirinya. Untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya, Nuria mengumpulkan kaum kelargnya serta para tetua di kampungnya untuk menasihati suaminya. Nilai pendidikan Setelah Mariamin berumur tujuh tahun, ia pun dimasukkan orang tuanya ke sekolah Meskipun ibu bapaknya orang kampung saja, tahu jugalah mereka itu, bahwa anak-anak perempuan pun harus juga disekolahkan
3) Pendekatan Sosiopsikologis Pendekatan sosiopsikologis berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya
atau zamannya pada saat prosa fiksi diwujudkan. Kisah cinta abadi penuh duka antara Maraiamin dengan Aminudin. Dua sejoli yang dipisahkan oleh harapan akan nasib baik di tanah rantau, ternyata mendatangkan petaka yang memupus cinta Mariamin hingga ke lubang kematian. Inilah parodi yang paling gelap tentang stereotipe kota dan desa, bahwa tidak selamanya tanah rantau yang bagi kebudayaan Minang dianggap tanah harapan, selalu bisa memberi kebahagiaan. Aminuddin yang terjebak ke dalam nilai-nilai baru yang dianggapnya lenih baik, pada akhirnya tak pernah merasa kasih sayang sejati. Ia adalah potret manusia gagal yang senantiasa berlari, dan terus berlari. Kehidupan yang dijalani oleh manusia di dunia ini adalah kehidupan bermasyarakat karena manusia merupakan makhluk sosial. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa orang lain. Hubungan manusia dengan masyarakat harus dilihat sebagai hubungan seseorang dengan masyarakat secara terpadu bukan dengan manusia secara perseorangan. Hubungan itu merupakan realisasi dari dorongan naluri “bergaul” bagi manusia yang keberadaannya di dalam diri manusia sejak lahir manusia, tanpa dipelajari. Dalam hubungan itu, manusia akan melibatkan dirinya dalam masyarakat secara penuh tanpa mempersoalkan keuntungan dan kerugian yang diperolehnya dalam masyarakat itu. Akibat yang diperoleh dari hubungan ini, tentu saja ada. Karena manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia itu akan menderita putus asa, terobsesi, merasa tidak pernah menerima keadilan, dan sebagainya. Manusia tidak bebas, selalu diteror atau meneror waktu, adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hubungan manusia dengan masyarakat itu. Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, penggambaran hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya. Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah, masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga). Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga yang lain. Secara kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas kekerabatan masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi akan berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah yang menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya.
Selain sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Hal ini dapat dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin. Walaupun Baginda Diatas telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap menjamu Baginda Diatas sebagaimana layaknya seorang tamu. Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku tetap menyambung tali silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga Aminuddin dan keluarga Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin menerima Baginda Diatas (ayah Aminuddin) dengan ramah-tamah. Begitu pula sebaliknya, Baginda Diatas memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena tergolong keluarga miskin.Hubungan silaturahmi ini jelas sekali tergambar ketika Aminuddin berkunjung ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan berita bahwa Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya. Aminuddin mengunjungi Mariamin karena dianggap sebagai saudara sekampung. 4) Pendekatan Emotif Pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsure-unsur yang menggugah perasan pembaca yang dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Dalam novel Azab dan Sengsara, pengarang menyuguhkan rasa senang dan sedih kepada pembaca. Dalam kutipan di bawah ini: “ Sejak kecil, Aminuddin bersahabat dengan Mariamin. Setelah keduanya beranjak dewasa, mereka saling jatuh cinta. Aminuddin sangat mencintai Mariamin dan berjanji akan melamar Mariamin bila telah mendapatkan pekerjaan. Keadaan yang miskin tidak menjadi masalah bagi Aminuddin.” Pengarang memberi perasaan senang kepada pembaca, karena cinta yang begitu tulus antara Mariamin dan Aminuddin, juga kesetiaan Mariamin memberikan rasa kagum dan terharu pada pembacanya. Kutipan cerita bahagia lainnya adalah: “ Baginda mengirim telegram yang isinya meminta Aminuddin menjemput calon isteri dan keluarganya di stasiun kereta api di Medan. Menerima telegram tersebut, Aminuddin merasa sangat gembira. Dalam hatinya telah terbayang wajah Mariamin.” Setelah cerita di atas, tidak ada kebahagiaan lagi yang dimunculkan oleh pengarang. Hanya kesedihan dan kesengsaraan yang kerena dua insan yang saling mencintai yaitu Mariamin dan Aminuddin tidak dapat bersatu, mereka menikah dengan pilihan orang tua mereka yang bahkan tidak mereka cintai. Dalam salah satu penggalan cerita yaitu ketika Mariamin menikah dengan lelaki yang tidak dikenalnya, serta tidak jelas latar belakangnya. Lalu tidak lama kemudian pasca pernikahan mereka, ibu Mariamin tutup usia. Setelah setahun usia pernikahan, barulah Mariamin tahu benar seperti apa suami yang dinikahinya ini, sosok lelaki yang boros, malas bekerja, dan suka berfoya-foya. Dari sinilah awal mula penderitaan Mariamin diawali, Mariamin menikah dengan orang yang tidak tepat. Mariamin adalah seorang anak yang tidak memiliki orang tua hidup seorang diri, dan dalam kemalangannya menghadapi tabiat dan tingkah laku sang suami dirinya harus bertahan hidup dengan sisa uang yang tak seberapa demi anak dalam kandungannya. Serta rentetan cerita yang menceritakan penderitaan Mariamin yang tidak kunjung habis bahkan hingga akhir hayatnya. Penulis menceritakan setiap detil cerita dengan teliti dan tidak tergesa-gesa, penggunaan bahasa yang mendayu-dayu dan pemilihan kata yang tepat, sehingga tercipta gambaran pada pikiran pembaca bahwa disini keadaan Mariamin sangat menyedihkan dan sengsara oleh perilaku suaminya. Penulis berhasil memainkan perasaan pembaca karena penulis berhasil menarik pembaca untuk mengikuti alur cerita yang menghanyutkan perasaan. Penyusunan cerita yang seperti ini tidak lepas pula dari usaha dalam memberi nilai keindahan dalam karya sastra tersebut.
BAB III PENUTUP 3.1
Kesimpulan Dari uraian analisis diatas dapat kelompok simpulkan bahwa novel “Azab dan Sengsara” salah satu karya sastra pada angkatan 20-an. Dilihat dari segi atau unsur intrinsik novel “Azab dan Sengsara” terdiri dari beberapa unsure diantaranya: (1) Tema, tema yang diangkat dalam novel ini adalah cinta yang terhalang asat. (2) Penokohan, tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel “Azab dan Sengsara yaitu: Mariamin, aminudin, nuria, ayah aminudin, ibu aminudin, kasibun, dan marah sail. (3) latar, latar yang digunakan dalam novel “Azab dan Sengsara” yaitu latar tempa, waktu dan suasana. (4) sudut pandang, dalam novel “Azab dan Sengsara” menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal. (5) alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju. (6) gaya bahasa yang digunkan dalam novel “Azab dan Sengsara” adalah simile, metafora, personifikasi, hiperbola, oksimoron, dan paradoks. (7) amanat yang dapat di ambil dalam novel “Azab dan Sengsara” jangan sombong atau menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak berguna,agama adalah penopang hidup yang memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua derita dan kesukaan hidup ini sehingga jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan menjerumuskan, padahal Tuhan menjadikan makhluk berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan mendatangkan azab dan kesengsaraan seperti perjodohan, Adat dan kebiasaan yang kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang yang menjalankannya, jangan mengambil hak milik orang lain. Jika dilihat dari unsure ekstrinsiknya, kelompok menganalisis dari latar belakang pengarang, zaman ketika karya “Azab dan Sengsara” dibuat. Kemudian aliran dan pendekatan yang digunakan dalam novel “Azab dan Sengsara” yaitu: Aliran Romantisme, karena hamper keseluruhan cerita mengedepankan suatu perasaan. Pendekatan yang digunkan dalam novel “Azab dan Sengsara” yaitu pendekatan historis, didaktis yang meliputi (nilai moral, agama, budaya, social, dan pendidikan), pendekatan sosiopsikologis dan emotif.
DAFTAR PUSTAKA Tarigan. (2009). Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. Mursal Esten. (2013). Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Merari Siregar. (2005). Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka Nurul Hidayati. (2013). Tersedia [online]. https://www.academia.edu/4803698/Analisis _Novel _Azab _dan_Sengsara. Dikutip pada tanggal 7 april 2017.