Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang memengaruhi kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu, autisme juga menyebabkan gangguan perilaku dan membatasi minat penderitanya. Autisme sekarang disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder(ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap penderita. Gangguan yang termasuk dalam ASD adalah sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS), gangguan autistik, dan childhood disintegrative disorder. Berdasarkan data yang dihimpun WHO, autisme terjadi pada 1 dari 160 anak di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah penderita autisme. Sangat penting untuk mewaspadai gejala autisme sedini mungkin, karena meskipun autisme tidak bisa disembuhkan, terdapat berbagai metode untuk menangani autisme yang bertujuan agar penderita dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Gejala dan tingkat keparahan autisme dapat berbeda pada tiap penderitanya. Pada penderita autisme dengan gejala yang ringan, aktivitas sehari-hari masih dapat dilakukan dengan normal. Tetapi bila gejala tergolong parah, penderita akan sangat membutuhkan bantuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Gejala yang muncul adalah terkait dengan cara penderita berkomunikasi dan berinteraksi. Sekitar 80-90% penderita, mulai menampakkan gejala pada usia 2 tahun. Pada kasus yang jarang, gejala autisme nampak pada usia di bawah 1 tahun atau baru muncul setelah penderita beranjak dewasa. Berikut adalah beberapa gejala yang biasanya muncul pada penderita autisme:
Gejala Terkait Komunikasi dan Interaksi Sosial Sekitar 25-30% anak dengan autisme kehilangan kemampuan berbicara, meski mereka mampu berbicara saat kecil. Sedangkan 40% anak penderita autisme tidak berbicara sama sekali. Gejala lain terkait komunikasi dan interaksi sosial adalah:
Tidak merespons saat namanya dipanggil, meskipun kemampuan pendengarannya normal.
Tidak pernah mengungkapkan emosi, dan tidak peka terhadap perasaan orang lain.
Tidak bisa memulai atau meneruskan percakapan, bahkan hanya untuk meminta sesuatu.
Sering mengulang kata (echolalia), tapi tidak memahami penggunaannya secara tepat.
Sering menghindari kontak mata dan kurang menunjukkan ekspresi
Nada bicara yang tidak biasa, misalnya datar seperti robot.
Lebih senang menyendiri, seperti ada di dunianya sendiri.
Cenderung tidak memahami pertanyaan atau petunjuk sederhana.
Enggan berbagi, berbicara, atau bermain dengan orang lain.
Menghindari dan menolak kontak fisik dengan orang lain.
Gejala Pada Pola Perilaku
Sensitif terhadap cahaya, sentuhan, atau suara, tapi tidak merespons terhadap rasa sakit.
Rutin menjalani aktivitas tertentu, dan marah jika ada perubahan.
Memiliki kelainan pada sikap tubuh atau pola gerakan, misalnya selalu berjalan dengan berjinjit.
Melakukan gerakan repetitif, misalnya mengibaskan tangan atau mengayunkan tubuh ke depan dan belakang.
Hanya memilih makanan tertentu, misalnya makanan dengan tekstur tertentu.
Selain berbagai gejala di atas, penderita autisme juga sering mengalami gejala yang terkait dengan kondisi lain, misalnya ADHD, epilepsi, sindrom Tourette, gangguan obsesif kompulsif (OCD), dyspraxia, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, dan depresi. Semakin dini autis ditangani, semakin efektif penanganan yang diberikan. Karena itu, sangat penting untuk menyadari gejala yang timbul. Segera periksakan anak ke dokter bila terlihat gejala di bawah ini:
Kehilangan kemampuan berbicara atau berinteraksi.
Tidak memberi respon bahagia atau senyum hingga usia 6 bulan.
Tidak meniru suara atau ekspresi wajah hingga usia 9 bulan.
Tidak mengoceh hingga 12 bulan.
Tidak memberi gestur tubuh seperti melambai hingga usia 14 bulan.
Tidak mengucapkan satu katapun hingga usia 16 bulan.
Penyebab Autisme Belum diketahui apa yang menyebabkan autisme. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang diduga bisa memicu seseorang mengalami gangguan ini, antara lain:
Jenis kelamin. Anak laki-laki 4 kali lebih berisiko mengalami autisme dibanding anak perempuan.
Faktor genetik. Sekitar 2-18% orang tua dari anak penderita autisme, berisiko memiliki anak kedua dengan gangguan yang sama.
Kelahiran prematur. Bayi yang lahir pada masa kehamilan 26 minggu atau kurang.
Terlahir kembar. Pada kasus kembar tidak identik, terdapat 0-31% kemungkinan autisme pada salah satu anak memengaruhi kembarannya juga mengalami autisme. Pengaruh autisme makin besar pada anak yang terlahir kembar identik, yaitu sekitar 3695%.
Usia. Semakin tua usia saat memiliki anak, semakin tinggi risiko memiliki anak autis. Pada laki-laki, memiliki anak di usia 40an, risiko memiliki anak autis lebih tinggi 28%. Risiko meningkat menjadi 66% pada usia 50-an. Sedangkan pada wanita, melahirkan di atas usia 40an, meningkatkan risiko memiliki anak autis hingga 77% bila dibandingkan melahirkan di bawah usia 25 tahun.
Pengaruh gangguan lainnya. Beberapa gangguan tersebut antara lain distrofi otot, fragile X syndrome, lumpuh otak atau cerebral palsy, neurofibromatosis, sindrom Down, dan sindrom Rett.
Pajanan selama dalam kandungan. Konsumsi minuman beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi) dalam masa kehamilan, dapat meningkatkan risiko anak yang lahir menderita autisme.
Perlu diketahui, tidak ada keterkaitan antara pemberian vaksin (terutama vaksin MMR) dengan anak menjadi autis. Justru dengan pemberian vaksin, anak akan terhindar dari infeksi,
seperti campak atau gondongan (mumps). Autisme juga terbukti tidak terkait dengan konsumsi makanan yang mengandung gluten, atau konsumsi susu dan produk turunannya. Diagnosis Autisme Penentuan diagnosis autisme adalah dengan merujuk pada sejumlah kriteria berikut: 1. Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial dalam berbagai konteks, yang ditandai dengan beberapa ciri berikut:
Kurangnya respons sosial dan emosional.
Kurangnya bahasa tubuh dalam interaksi sosial.
Kurangnya kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan sosial.
2. Pola perilaku, aktivitas, atau ketertarikan yang berulang dan terbatas, ditandai oleh setidaknya 2 dari 4 ciri berikut:
Melakukan aktivitas secara berulang, mencakup gerakan atau ucapan.
Perilaku atau ucapan yang memperlihatkan rutinitas yang sama.
Fokus dan ketertarikan yang abnormal pada sesuatu.
Reaksi yang berlebihan atau sebaliknya, kurangnya reaksi pada aspek sensorik terhadap lingkungan.
3. Gejala muncul pada periode perkembangan awal, dan makin terlihat jelas seiring waktu. 4. Gejala menyebabkan penderita autisme mengalami gangguan pada lingkungan kerja, sosial, dan lingkup kehidupan lainnya. 5. Gejala yang dialami tidak dapat dijelaskan dengan gangguan perkembangan atau kecacatan.
Komplikasi Autisme Penderita autisme mungkin mengalami masalah pada pencernaan, pola makan atau pola tidur yang tidak biasa, perilaku agresif, dan sejumlah komplikasi lain, seperti:
Gangguan mental. Autisme dapat menyebabkan penderita mengalami depresi, cemas, gangguan suasana hati, dan perilaku impulsif.
Gangguan sensorik. Penderita autisme dapat merasa sensitif dan marah pada lampu yang terang atau suara yang berisik. Pada beberapa kasus, penderita tidak merespon sensasi sensorik seperti panas, dingin atau nyeri.
Kejang. Kejang bisa terjadi pada penderita autisme, dan dapat muncul pada usia kanakkanak atau remaja.
Tuberous sclerosis. Tuberous sclerosis adalah penyakit langka yang memicu tumbuhnya tumor jinak di banyak organ tubuh, termasuk otak.
Pengobatan Autisme Autisme termasuk kelainan yang tidak bisa disembuhkan. Meskipun demikian, terdapat berbagai pilihan terapi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan penderita. Melalui terapi, diharapkan penderita bisa mandiri dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Beberapa metode terapi bagi penderita autisme adalah: Terapi perilaku dan komunikasi. Terapi ini memberikan sejumlah pengajaran pada penderita, mencakup kemampuan dasar seharihari, baik verbal maupun nonverbal, meliputi:
Applied behaviour analysis (ABA). Terapi Analisis Perilaku Terapan membantu penderita berperilaku positif pada segala situasi. Terapi ini juga membantu penderita mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan meninggalkan perilaku negatif.
Developmental, individual differences, relationship-based approach (DIR). DIR atau biasa disebut Floortime, berfokus pada pengembangan hubungan emosional antara anak autis dan keluarga.
Occupational therapy. Terapi okupasi mendorong penderita untuk hidup mandiri, dengan mengajarkan beberapa kemampuan dasar, seperti berpakaian, makan, mandi, dan berinteraksi dengan orang lain.
Speech therapy. Terapi wicara membantu penderita autis untuk belajar mengembangkan kemampuan berkomunikasi.
Treatment and education of autistic and related communication-handicapped children(TEACCH). Terapi ini menggunakan petunjuk visual seperti gambar yang menunjukkan tahapan melakukan sesuatu. TEACCH akan membantu penderita memahami bagaimana melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya untuk berganti pakaian.
The picture exchange communication system (PECS). Terapi ini juga menggunakan petunjuk visual seperti TEACCH. Namun PECS menggunakan simbol, untuk membantu penderita berkomunikasi dan belajar mengajukan pertanyaan.
Terapi keluarga Terapi keluarga berfokus membantu orang tua dan keluarga penderita autisme. Melalui terapi ini, keluarga akan belajar cara berinteraksi dengan penderita, dan mengajarkan penderita berbicara dan berperilaku normal. Obat-obatan. Walau tidak bisa menyembuhkan autisme, obat-obatan dapat diberikan guna mengendalikan gejala. Contohnya, obat antipsikotik untuk mengatasi masalah perilaku, obat antikonvulsanuntuk mengatasi kejang, antidepresan untuk meredakan depresi, dan melatonin untuk mengatasi gangguan tidur.
Pencegahan Autisme Meski belum diketahui apa yang menyebabkan autisme, dokter akan memberi beberapa saran untuk mengurangi risiko anak Anda terlahir dengan autisme, antara lain:
Menjalani pola hidup sehat, misalnya dengan menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala, konsumsi makanan dengan nutrisi seimbang, dan rutin berolahraga.
Hindari konsumsi minuman beralkohol selama masa kehamilan.
Sebisa mungkin hindari konsumsi obat dalam masa kehamilan. Bila tidak terhindarkan, konsultasikan terlebih dulu dengan dokter.
Pastikan Anda sudah mendapatkan vaksin sebelum hamil, terutama vaksin rubella.
Segera berobat dan ikuti saran dokter bila sakit, terutama bila Anda didiagnosis menderita penyakit celiac atau fenilketonuria (PKU).