BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome) meliputi spektrum penyakit dari Infark miokard akut (Ml) sampai angina tak stabil (unstable angina). Penyebab utama penyakit ni adalah trombosis arteri koroner yang berakibat pada iskemi dan infark miokard. Derajat iskemik dan ukuran infark ditentukan oleh derajat dan lokasi trombosis. Sejak 1960-an, ketika terapi standart menjadi istirahat penuh (beef rest) dan defibrilasi (Jika diperlukan), angka kematian infark miokard akut menurun terus. Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasl klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat lskemia miokardium. SKA tendiri atas angina pektoris tidak stabil, infark myocard acute (IMA) yang dlsertai elevasi segmen ST. Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. 3 SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit
jantung
koroner
(PJK)
merupakan
manifestasi
utama
proses
aterosklerosls. The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 Juta penduduk Amerika, menderita penyakit Jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 Juta orang yang dlperkirakan mengalaml serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun. 4-6 Penyakit jantung koroner juga mempakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas dapat diperoleh rumusan masalah seperti : 1.
Apa definisi sindrom koroner akut?
2.
Apa etiologi sindrom koroner akut?
3.
Apa saja tanda gejala sindrom koroner akut?
4.
Bagaimana patofisiologi sindrom koroner akut?
1
2
5.
Apa saja pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sindrom koroner akut?
6.
Bagimana penatalaksanaan medis sindrom koroner akut?
7.
Bagaimana pengkajian keperawatan sindrom koroner akut?
1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa : 1.
Untuk mengetahui definisi sindrom koroner akut.
2.
Untuk mengetahui etiologi sindrom koroner akut.
3.
Untuk mengetahui tanda gejala sindrom koroner akut.
4.
Untuk mengetahui patofisiologi sindrom koroner akut.
5.
Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sindrom koroner akut.
6.
Untuk mengetahui penatalaksanaan medis sindrom koroner akut.
7.
Untuk mengetahui pengkajian keperawatan sindrom koroner akut.
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi Penyakit Sindrom Koroner Akut adalah terjadi ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard.(Heni Rokhani, SMIP, CCRN. et.al). Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia miokard akut, terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segment ST ( non ST segemnt elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). (Jantunghipertensi.com) Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.(Satria Perwira’s)
2.2 Etiologi Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation), emboli paru-paru (pulmonary embolism) ,hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure, gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication- induced problems), intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat. Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam kategori utama: 1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati). 2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi). 3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup. 4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
3
4
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade). 6. Kelainan kongenital jantung. Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus Faktor predisposisi merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral, dan penyakit perikardial. Faktor pencetus merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.
2.3 Tanda dan Gejala Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag. Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi: 1.
Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
2.
Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.
5
2.4 Patofisiologi Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada Sindrom Koroner akut akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan
meningkatkan
LAP(
sehingga tekanan kapiler dan
Left
Atrium
Pressure
),
vena paru-paru juga akan meningkat. Jika
tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru. Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema. Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi sindrom koroner akut : b.
Mekanisme neurohormonal Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf adrenergik (aktivasi sistem saraf simpatis akan meningkatkan kadar norepinefrin), sistem reninangiotensin, stres oksidatif (peningkatan kadar ROS/reactive oxygen species), arginin
vasopressin
(meningkat),
natriuretic
peptides,
endothelin,
neuropeptide Y, urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin (meningkat), dan apelin (menurun). c.
Remodeling ventrikel kiri Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan memburuknya kemampuan ventrikel di kemudian hari.
d.
Perubahan biologis pada miosit jantung
6
Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan komplek kontraksi-eksitasi, perubahan miokard, nekrosis, apoptosis, autofagi. d.
Perubahan struktur ventrikel kiri Perubahan ini membuat jantung membesar, mengubah bentuk jantung menjadi lebih sferis mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih banyak, sehingga terjadi peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan cardiac output, dan peningkatan hemodynamic overloading.
2.5 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Fisik 1. Tampilan Umum Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas simpatis berlebihan. Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang (< 380 C) bisa timbul setelah 12-24 jam pasca infark. 2. Denyut Nadi dan Tekanan Darah Sinus takikardi (100-120 x/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya akan
melambat
dengan
pemberian
analgesic
yang
adekuat.
Denyut jantung yang rendah mengindikasikan adanya sinus tau blok jantung sebagai komplikasi dari infark. Peningkatan tekanan darah moderat merupakan akibat dari pelepasan kotekolamin. Sedangkan jika terjadi hipotensi maka hal tersebut merupakan akibat dari aktivitas vagus berlebih, dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau tanda dari syok kardiogenik. 3. Pemeriksaan jantung Terdangar bunyi jantung S4 dan S3 , atau mur-mur. Bunyi gesekan perikard jarang terdengar hingga hari kedua atau ketiga atau lebih lama lagi (hingga 6 minggu) sebagai gambatan dari sindrom Dressler. 4. Pemeriksaan paru Ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak terdapat gambaran edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal itu merupakan komplikasi infark luas, biasanya anterior.
7
Pemeriksaan Penunjang 1. EKG (Electrocardiogram) Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan menghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST. Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat nekrosis terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area nekrotik, gelombang Q terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut yang tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan perubahan gelombang T saat iskemik terjadi lagi. Pada awal infark miokard, elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjamjam atau berhari-hari berikutnya, gelombang T membaik. Sesuai dengan umur infark miokard, gelombang Q menetap dan segmen ST kembali normal. Daerah infark Perubahan EKG a. Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF. b.Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan resiprokal (depresi ST) V1 – V6, I, aVL. c. Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6. d.Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF, terutama gelombang R pada V1 – V2. e. Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior 2. Tes Darah a. Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga proteinprotein tertentu keluar masuk aliran darah. b.Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB terdetekai setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.
8
c. LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu. d.Iso enzim LDH lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan klinisnya masih kalah akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T. e. Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun LDH selain ditemukan pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot skeletal. f. Troponin T & I protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot jantung, terutama Troponin T (TnT) g.Tn T sudah terdeteksi 3-4 jam pasca kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam serum selama 1-3 minggu. h.Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari pertama; i. peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal. 3. Coronary Angiography Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar X pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner. Kateter dimasukkan melalui arteri pada lengan atau paha menuju jantung. Prosedur ini dinamakan kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi koroner Zat kontras yang terlihat melalui sinar X diinjeksikan melalui ujung kateter pada aliran darah. Zat kontras itu pemeriksa dapat mempelajari aliran darah yang melewati pembuluh darah dan jantung Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam arteri untuk menjaga arteri tetap terbuka.
9
2.6 Penatalaksanaan Pada tahap simptomatik dimana sindrom koroner akut sudah terlihat jelas seperti cepat capek, sesak napas, kardiomegali, peningkatan JVP, ascites, hepatomegali dan edema sudah jelas, maka diagnosis sindrom koroner akut mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri, maka keluhan fatig dan keluhan diatas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rongen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide. Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak sindrom koroner akut sampai edema atau acites hilang. ACE inhibitor atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE inhibitor tersebut diberikan. Digitalis diberikan bila ada aritmia supraventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. intoksikasi digitalis sangat
mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun
(ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (<3,5 meq/L). Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini. Pemakaian alat bantu Cardiac Resychronization Theraphy (CRP) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada sindrom koroner akut akibat iskemia maupun noniskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal.
2.7 Pengkajian Keperawatan Anamnesa 1.Identitas klien 2.Keluhan utama: keluhan pasien yaitu biasanya pasien mengalami nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri, rahang bawah dan pasien sulit untuk bernafas, pingsan (sinkop) atau keringat dingin (diaporesis).
10
Pemeriksaan fisik B1: sesak nafas, RR >24x/menit, penggunaan otot bantu pernafasan. B2: tekanan darah meningkat, nadi meningkat, adanya thrombus, arterosklerosis. B3: penurunan kesadaran, nyeri dada menusuk punggung. B4: normal, kadang produksi urin menurun. B5: mual, muntah B6: lemas Pengkajian nyeri P: nyeri saat beraktivitas Q: nyeri tajam R: di dada menjalar ke lengan kiri S: 6—8 T: <20 menit.
2.8 Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri dada (akut) berhubungan dengan iskhemia otot sekunder terhadap sumbatan arteri koroner. 2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan infark otot jantung. 3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dengan kebutuhan.
2.9 Intervensi Keperawatan 1. Dx 1: Nyeri dada (akut) berhubungan dengan iskhemia otot sekunder terhadap sumbatan arteri koroner. Tujuan : klien dapat menunjukkan nyeri dada berkurang atau hilang baik dalam frekuensi-durasi atau beratnya, kadar Troponin T dan CKMB dalam atas normal, EKG tidak ada ST elevasi-depresi dan T inverted. Intervensi : a. Anjurkan klien untuk memberitahukan perawat dengan cepat bila terjadi nyeri dada. b. Kaji dan catat respon pasien atau efek obat.
11
c. Observasi gejala yang berhubungan dispnea, mual/muntah, pusing, palpitasi, keringat dingin. d. Evaluasi laporan nyeri pada dada yang menjalar. e. Berikan klien untuk istirahat total selama periode angina. f. Bantu teknik relaksasi misal nafas panjang dan perlahan g. Pantau tanda vital setiap 5 menit selama serangan angina dan 1jam bila tidak terjadi serangan. h. Kolaborasi: pemberian O2, Nitrogliserin, beta bloker, morfin sulfat dan serial EKG.
2. Dx 2: Penurunan curah jantung berhubungan dengan infark otot jantung. Tujuan: Klien dapat menunjukkan tAnda-tAnda stabilitas hemodinamik BP : 120-140/80-90 mmHg, HR 80-90/menit, RR 12-20/menit, urin 1-1,5 cc/Kg BB/jam, tidak adanya disritmia. Intervensi : a. auskultasi bunyi nafas, bunyi jantung, irama jantung, ukur tAnda-tAnda vital, produksi urin tiap jam. b. Kolaborasi: - Berikan oksigen sesuai indikasi. - Pertahankan iv line - Kaji EKG serial. - Pantau data laboratorium : GDA (gula darah acak) - Berikan obat-obat anti infark.
3. Dx 3: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2 miokard dengan kebutuhan. Tujuan : klien dapat menunjukkan toleransi aktivitas yang dapat didukung oleh tanda vital BP : 120-140/80-90 mmHg, HR 80-90/menit, RR 1220/menit, kulit kering-hangat. Intervensi : a. Batasi pengunjung. b. Catat frekwensi, irama jantung, PB sebelum, selama, sesudah aktivitas.
12
c. Bantu kebutuhan klien sebatas kemampuan. d. Hindari peningkatan manuver valsava. e. Kolaborasi dengan rehabilitasi medik
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Sindrom koroner akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah gejala yang disebabkan adanya penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri koroner baik sebagian/total yang mengakibatkan suplai oksigen pada otot jantung tidak terpenuhi. Penyebabnya infark miokard, hipertensi, takikardi, tamponade, abnormalitas katup, kelainan kongenital jantung. Tanda dan gejala adalah rasa nyeri di bagian dada, sesak nafas, mual dan muntah. Pemeriksaan penunjang untuk pasien dengan sindrom koroner akut dengan menggunakan EKG, tes darah, coronary angiography. Diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada pasien dengan sindrom koroner akut adalah nyeri dada (akut) b.d iskhemia otot sekunder terhadap sumbatan arteri koroner, penurunan curah jantung b.d infark oto jantung, intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dengan kebutuhan.
3.2 Saran Dengan mengetahui tanda dan gejala serta proses penyakit ini diharapkan tercapai asuhan keperawatan yang komperehensif tanpa memperberat kondisi klinis pasien. Perawat diharapkan bisa memberikan informasi kepada pasien, sehingga pasien dapat mengetahui penyebab terjadinya SKA, sehingga resiko terjadinya SKA semakin kecil , menurunkan angka morbiditas, dan mortalitas. Perawat juga berperan sebagai jembatan informasi tentang edukas.
13
DAFTAR PUSTAKA
Bachrudin, M & Najib, Moh. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Keperawatan Medikal Bedah 1. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Heni Rokaeni, SMIP, CCRN. et. al. 2001. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Harapan Kita. http : // forum.upi.edu/v3/index.php ? topic = 15378.0 http : // peduli.com/? p=15 Smeltzer, Suzanne C. Bare, Brenda G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Edisi 8. Jakarta: EGC.
14