Asal Usul Minyak Bumi Kjlj

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asal Usul Minyak Bumi Kjlj as PDF for free.

More details

  • Words: 5,212
  • Pages: 16
asal usul minyak bumi Asal-usul Minyak Bumi Oleh admin Selasa, 27 Maret 2007 00:06:49 Klik: 4034 Saat ini, sejumlah besar ilmuwan secara umum berpendapat bahwa minyak bumi adalah makhluk hidup purbakala yang di bawah tekanan suhu tinggi dan setelah melalui proses pengolahan dalam jangka waktu yang panjang serta lamban, maka makhluk hidup zaman purbakala baru berubah menjadi minyak bumi. Namun, yang membuat para ilmuwan bingung adalah sebenarnya butuh berapa kali organisme prasejarah dalam skala besar terkumpul dan terkubur, baru bisa menghasilkan minyak bumi yang sedemikian banyak seperti sekarang ini? Masalah ini terjawab di majalah Scientist akhir November 2003. Penulis artikel tersebut yakni Jeffry S. Dukes dari Universitas Utah, melalui hasil hitungan dari data industri dan geokimia serta biologi yang ada sekarang: 1 galon minyak bumi Amerika, ternyata membutuhkan 90 ton tumbuhan purbakala sebagai bahan material, artinya 1 liter minyak bumi berasal dari 23,5 ton tumbuhan purbakala. Lalu berapa tumbuhan yang dapat mencapai 23,5 ton itu? Hasil hitungan didapati, bahwa itu setara dengan 16.200 meter persegi jumlah tanaman gandum, teremasuk daun, tangkai dan seluruh akarnya. Mengapa membutuhkan makhluk hidup purbakala dalam jumlah yang sedemikian besar baru bisa mengubahnya menjadi minyak bumi? Penyebabnya adalah bahwa minyak bumi harus di bawah tekanan suhu tinggi, dengan demikian baru bisa menghasilkan minyak bumi, lalu setelah makhluk hidup purbakala mati, jika penguburan tidak cepat, maka akan lapuk dan terurai. Namun, masalahnya adalah sebenarnya berapa besar rasio makhluk hidup purbakala berubah menjadi energi fosil? Penulis mengatakan: Kurang dari 1/10.000! Sebab sebagian besar karbon kembali ke atmosfer setelah melalui penguraian. Dan sejumlah kecil yang tersisa baru dapat berubah menjadi bahan bakar fosil. Selanjutnya penulis mengatakan: Berdasarkan hitungan jumlah pemakaian minyak bumi seluruh dunia tahun 1997, energi fosil yang dihabiskan seluruh dunia waktu itu setara dengan 400 kali lipat jumlah semua tumbuhan di atas bumi yang bisa menghasilkan minyak. Dilihat dari segi lainnya, data geologi menunjukkan, bahwa bumi pada zaman purbakala mutlak tidak mungkin lebih besar ukurannya dibanding bumi saat ini, lagi pula jumlah kandungan oksigen di udara dan suhu udara pada zaman purbakala kurang lebih 30% lebih tinggi dibanding bumi saat ini, atau dengan kata lain, kecepatan busuknya makhluk hidup lebih cepat dibanding sekarang. Seandainya minyak bumi berasal dari jasad makhluk hidup melalui sirkulasi karbon, maka meskipun bentuk tubuh makhluk hidup purbakala lebih besar, namun jika rasio penguburan lebih cepat dan skala besar malahan sangat rendah juga akan sangat sulit, ini adalah yang bisa diketahui dari fosil dinosaurus yang tidak sempurna dan tidak banyak jumlahnya, yang hanya dapat kita gali sekarang ini. Sebuah fosil individual dinosaurus yang demikian tidak mudah untuk disimpan, lalu berapa besar rasionya jasad dinosaurus dalam skala besar yang harus segera dikubur? Dilihat dari inferensi ilmu pengetahuan nyata modern, jika hipotesa mengenai jasad dinosaurus berubah menjadi minyak bumi sulit dipertahankan, maka bagaimanapun juga rasanya sang arif penciptanya atau sang dewa penciptanya juga merupakan suatu jalan pemecahannya! Firdaus Sulaiman Blog « Metode Magnetik Metode Geolistrik Resistivitas »

Asal Usul Minyak Bumi

Bagaimana terjadinya minyak dan gas bumi ? Ada tiga faktor utama dalam pembentukan minyak dan/atau gas bumi, yaitu: 1. Ada “bebatuan asal” (source rock) yang secara geologis memungkinkan terjadinya pembentukan minyak dan gas bumi. 2. Adanya perpindahan (migrasi) hidrokarbon dari bebatuan asal menuju ke “bebatuan reservoir” (reservoir rock), umumnya sandstone atau limestone yang berpori-pori (porous) dan ukurannya cukup untuk menampung hidrokarbon tersebut. 3. Adanya jebakan (entrapment) geologis. Struktur geologis kulit bumi yang tidak teratur bentuknya, akibat pergerakan dari bumi sendiri (misalnya gempa bumi dan erupsi gunung api) dan erosi oleh air dan angin secara terus menerus, dapat menciptakan suatu “ruangan” bawah tanah yang menjadi jebakan hidrokarbon. Kalau jebakan ini dilingkupi oleh lapisan yang impermeable, maka hidrokarbon tadi akan diam di tempat dan tidak bisa bergerak kemana-mana lagi.

Temperatur bawah tanah, yang semakin dalam semakin tinggi, merupakan faktor penting lainnya dalam pembentukan hidrokarbon. Hidrokarbon jarang terbentuk pada temperatur kurang dari 65oC dan umumnya terurai pada suhu di atas 260oC. Hidrokarbon kebanyakan ditemukan pada suhu moderat, dari 107 ke 177oC. Apa saja komponen-komponen pembentuk minyak bumi ? Minyak bumi merupakan campuran rumit dari ratusan rantai hidrokarbon, yang umumnya tersusun atas 85% karbon (C) dan 15% hidrogen (H). Selain itu, juga terdapat bahan organik dalam jumlah kecil dan mengandung oksigen (O), sulfur (S) atau nitrogen (N). Apakah ada perbedaan dari jenis-jenis minyak bumi ? Ada 4 macam yang digolongkan menurut umur dan letak kedalamannya, yaitu: young-shallow, old-shallow, young-deep dan old-deep.Minyak bumi young-shallow biasanya bersifat masam (sour), mengandung banyak bahan aromatik, sangat kental dan kandungan sulfurnya tinggi.Minyak old-shallow biasanya kurang kental, titik didih yang lebih rendah, dan rantai paraffin yang lebih pendek. Old-deep membutuhkan waktu yang paling lama untuk pemrosesan, titik didihnya paling rendah dan juga viskositasnya paling encer. Sulfur yang terkandung dapat teruraikan menjadi H2S yang dapat lepas, sehingga old-deep adalah minyak mentah yang dikatakan paling “sweet”. Minyak semacam inilah yang paling diinginkan karena dapat menghasilkan bensin (gasoline) yang paling banyak. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membentuk minyak bumi ?

Sekitar 30-juta tahun di pertengahan jaman Cretaceous, pada akhir jaman dinosaurus, lebih dari 50% dari cadangan minyak dunia yang sudah diketahui terbentuk. Cadangan lainnya bahkan diperkirakan lebih tua lagi. Dari sebuah fosil yang diketemukan bersamaan dengan minyak bumi dari jaman Cambrian, diperkirakan umurnya sekitar 544 sampai 505-juta tahun yang lalu. Para geologis umumnya sependapat bahwa minyak bumi terbentuk selama jutaan tahun dari organisme, tumbuhan dan hewan, berukuran sangat kecil yang hidup di lautan purba. Begitu organisme laut ini mati, badannya terkubur di dasar lautan lalu tertimbun pasir dan lumpur, membentuk lapisan yang kaya zat organik yang akhirnya akan menjadi batuan endapan (sedimentary rock). Proses ini berulang terus, satu lapisan menutup lapisan sebelumnya. Lalu selama jutaan tahun berikutnya, lautan di bumi ada yang menyusut atau berpindah tempat. Deposit yang membentuk batuan endapan umumnya tidak cukup mengandung oksigen untuk mendekomposisi material organik tadi secara komplit. Bakteri mengurai zat ini, molekul demi molekul, menjadi material yang kaya hidrogen dan karbon. Tekanan dan temperatur yang semakin tinggi dari lapisan bebatuan di atasnya kemudian mendistilasi sisa-sisa bahan organik, lalu pelan-pelan mengubahnya menjadi minyak bumi dan gas alam. Bebatuan yang mengandung minyak bumi tertua diketahui berumur lebih dari 600-juta tahun. Yang paling muda berumur sekitar 1-juta tahun. Secara umum bebatuan dimana diketemukan minyak berumur antara 10-juta dan 270-juta tahun. Bagaimana caranya menemukan minyak bumi ? Ada berbagai macam cara: observasi geologi, survei gravitasi, survei magnetik, survei seismik, membor sumur uji, atau dengan educated guess dan faktor keberuntungan. • •



Survei gravitasi: metode ini mengukur variasi medan gravitasi bumi yang disebabkan perbedaan densitas material di struktur geologi kulit bumi. Survei magnetik: metode ini mengukur variasi medan magnetik bumi yang disebabkan perbedaan properti magnetik dari bebatuan di bawah permukaan. Survei magnetik dan gravitasi biasanya dilakukan di wilayah yang luas seperti misalnya suatu cekungan (basin). Survei seismik menggunakan gelombang kejut (shock-wave) buatan yang diarahkan untuk melalui bebatuan menuju target reservoir dan daerah sekitarnya. Oleh berbagai lapisan material di bawah tanah, gelombang kejut ini akan dipantulkan ke permukaan dan ditangkap oleh alat receivers sebagai pulsa tekanan (oleh hydrophone di daerah perairan) atau sebagai percepatan (oleh geophone di darat). Sinyal pantulan ini lalu diproses secara digital menjadi sebuah peta akustik bawah permukaan untuk kemudian dapat diinterpretasikan.

Aplikasi metode seismik: 1. Tahap eksplorasi: untuk menentukan struktur dan stratigrafi endapan dimana sumur nanti akan digali. 2. Tahap penilaian dan pengembangan: untuk mengestimasi volume cadangan hidrokarbon dan untuk menyusun rencana pengembangan yang paling baik. 3. Pada fase produksi: untuk memonitor kondisi reservoir, seperti menganalisis kontak antar fluida reservoir (gas-minyak-air), distribusi fluida dan perubahan tekanan reservoir.

Setelah kita yakin telah menemukan minyak, apa selanjutnya ? Setelah mengevaluasi reservoir, selanjutnya tahap mengembangkan reservoir. Yang pertama dilakukan adalah membangun sumur (well-construction) meliputi pemboran (drilling), memasang tubular sumur (casing) dan penyemenan (cementing). Lalu proses completion untuk membuat sumur siap digunakan. Proses ini meliputi perforasi yaitu pelubangan dinding sumur; pemasangan seluruh pipa-pipa dan katup produksi beserta asesorinya untuk mengalirkan minyak dan gas ke permukaan; pemasangan kepala sumur (wellhead atau chrismast tree) di permukaan; pemasangan berbagai peralatan keselamatan, pemasangan pompa kalau diperlukan, dsb. Jika dibutuhkan, metode stimulasi juga dilakukan dalam fase ini. Selanjutnya well-evaluation untuk mengevaluasi kondisi sumur dan formasi di dalam sumur. Teknik yang paling umum dinamakan logging yang dapat dilakukan pada saat sumur masih dibor ataupun sumurnya sudah jadi. Ada berapa macam jenis sumur ?

Di dunia perminyakan umumnya dikenal tiga macam jenis sumur: 1. Sumur eksplorasi (sering disebut juga wildcat) yaitu sumur yang dibor untuk mentukan apakah terdapat minyak atau gas di suatu tempat yang sama sekali baru. 2. Jika sumur eksplorasi menemukan minyak atau gas, maka beberapa sumur konfirmasi (confirmation well) akan dibor di beberapa tempat yang berbeda di sekitarnya untuk memastikan apakah kandungan hidrokarbonnya cukup untuk dikembangkan. 3. Sumur pengembangan (development well) adalah sumur yang dibor di suatu lapangan minyak yang telah eksis. Tujuannya untuk mengambil hidrokarbon semaksimal mungkin dari lapangan tersebut.

Istilah persumuran lainnya: • •

• • •

Sumur produksi: sumur yang menghasilkan hidrokarbon, baik minyak, gas ataupun keduanya. Aliran fluida dari bawah ke atas. Sumur injeksi: sumur untuk menginjeksikan fluida tertentu ke dalam formasi (lihat Enhanced Oil Recovery di bagian akhir). Aliran fluida dari atas ke bawah. Sumur vertikal: sumur yang bentuknya lurus dan vertikal. Sumur berarah (deviated well, directional well): sumur yang bentuk geometrinya tidak lurus vertikal, bisa berbentuk huruf S, J atau L. Sumur horisontal: sumur dimana ada bagiannya yang berbentuk horisontal. Merupakan bagian dari sumur berarah.

Apakah rig ? Apa saja jenis-jenisnya ? Rig adalah serangkaian peralatan khusus yang digunakan untuk membor sumur atau mengakses sumur. Ciri utama rig adalah adanya menara yang terbuat dari baja yang digunakan untuk menaik-turunkan pipa-pipa tubular sumur. Umumnya, rig dikategorikan menjadi dua macam menurut tempat beroperasinya: 1. Rig darat (land-rig): beroperasi di darat. 2. Rig laut (offshore-rig): beroperasi di atas permukaan air (laut, sungai, rawarawa, danau atau delta sungai).

Ada bermacam-macam offshore-rig yang digolongkan berdasarkan kedalaman air: 1. Swamp barge: kedalaman air maksimal 7m saja. Sangat umum dipakai di daerah rawa-rawa atau delta sungai. 2. Tender barge: mirip swamp barge tetapi di pakai di perairan yang lebih dalam. 3. Jackup rig: platform yang dapat mengapung dan mempunyai tiga atau empat “kaki” yang dapat dinaik-turunkan. Untuk dapat dioperasikan, semua kakinya harus diturunkan sampai menginjak dasar laut. Terus badan rig akan diangkat sampai di atas permukaan air sehingga bentuknya menjadi semacam platform tetap. Untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, semua kakinya haruslah dinaikan terlebih dahulu sehingga badan rig mengapung di atas permukaan air. Lalu rig ini ditarik menggunakan beberapa kapal tarik ke lokasi yang dituju. Kedalaman operasi rig jackup adalah dari 5m sampai 200m. 4. Drilling jacket: platform struktur baja, umumnya berukuran kecil dan cocok dipakai di laut tenang dan dangkal. Sering dikombinasikan dengan rig jackup atau tender barge. 5. Semi-submersible rig: sering hanya disebut “semis” merupakan rig jenis mengapung. Rig ini “diikat” ke dasar laut menggunakan tali mooring dan jangkar agar posisinya tetap di permukaan. Dengan menggunakan thruster, yaitu semacam baling-baling di sekelilingnya, rig semis mampu mengatur posisinya secara dinamis. Rig semis sering digunakan jika lautnya terlalu dalam untuk rig jackup. Karena karakternya yang sangat stabil, rig ini juga popular dipakai di daerah laut berombak besar dan bercuaca buruk. 6. Drill ship: prinsipnya menaruh rig di atas sebuah kapal laut. Sangat cocok dipakai di daerah laut dalam. Posisi kapal dikontrol oleh sistem thruster

berpengendali komputer. Dapat bergerak sendiri dan daya muatnya yang paling banyak membuatnya sering dipakai di daerah terpencil atau jauh dari darat.

Dari fungsinya, rig dapat digolongkan menjadi dua macam: 1. Drilling rig: rig yang dipakai untuk membor sumur, baik sumur baru, cabang sumur baru maupun memperdalam sumur lama. 2. Workover rig: fungsinya untuk melakukan sesuatu terhadap sumur yang telah ada, misalnya untuk perawatan, perbaikan, penutupan, dsb.

Sumber : http://www.teknikmetalurgiunjani.com

Jurnal Natur Indonesia 5(1): 57-65 (2002) ISSN 1410-9379

KORELASI ANTAR MINYAK BUMI DARI SUMUR PRODUKSI DURI RIAU Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Riau Diterima 20-7-2002 Disetujui 30-9-2002

ABSTRACT To understand genetically relation between the old oil well (X,Y and Z) production having the same physical properties in WKP Caltex and a new well (W). The correlation studies were conducted using Petroleum Geochemistry. Fingerprint of crude oils from GC Analysis show that the correlation among them are possitive. However the new oul well W had a higher positive correlation to the well Z compared to the old well X and Y. Keywords: biomarker, crude oil correlation, fingerprint

PENDAHULUAN Sejak tahun 1950 ladang minyak bumi Duri yang terletak di cekungan Sumatera Tengah telah terbukti merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon yang produktif di Indonesia. Hidrokarbon diproduksi dari 60 lapangan minyak bumi dari cekungan ini, hingga tahun 1996 telah diproduksi 16 milyar barrel (Katz et al, 1997). Semakin sulitnya pencarian cadangan hidrokarbon di cekungan Sumatera Tengah pada tahun belakangan ini, sehingga diperlukan suatu strategi eksplorasi hidrokarbon dengan tingkat keberhasilan yang besar. Salah satu upaya yang penting untuk peningkatan efisiensi dan produksi minyak bumi adalah dengan melakukan studi korelasi minyak bumi dari beberapa sumur produksi guna membantu memecahkan problem kontinuitas disuatu reservoar (Kaufman et al, 1990). Biomarker merupakan senyawa komplek fosil molekular biologis, yang berasal dari suatu organisme makhluk hidup (Seifert & Moldowan 1981; Tissot & Welte 1984; Peters & Moldowan 1993; Hunt 1996), yang telah mengalami proses perubahan gugus fungsi, pemutusan ikatan dan perubahan stereokimia, namun masih menyimpan secara utuh kerangka atom karbon sehingga dapat ditelusuri asal usulnya. Oleh karena itu, 58 Jurnal Natur Indonesia 5(1): 57-65 (2002)

biomarker merupakan indikator yang penting untuk mengenal material organik minyak bumi, kondisi perubahan geologi, kimia dan fisika terhadap organisme akibat perubahan yang signifikan oleh panas selama proses diagnesis, katagenesis serta derajat biodegradasinya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan korelasi minyak bumi Sumur W yang baru diketemukan terhadap minyak bumi sebelumnya dari

beberapa sumur minyak bumi dalam satu lapangan produksi di cekungan Sumatera Tengah. Kajian korelasi ini akan dapat menunjukkan dengan minyak bumi dari sumur produksi yang mana minyak bumi dari sumur baru tersebut berkorelasi yang paling dekat. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi senyawa biomarker di dalam minyak bumi dari masingmasing sampel teranalisis, menentukan parameter geokimia molekular yang terdeteksi di dalam minyak bumi untuk selanjutnya digunakan untuk mengelompokkan minyak bumi berdasarkan hubungan genetiknya. Identifikasi senyawa biomarker dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari analisis kromatografi gas (GC). BAHAN DAN METODE Fraksi saturat, aromat dan polar didapat dengan cara fraksinasi minyak bumi. Secara lebih rinci metode yang digunakan sebagai berikut; dibuat kolom yang padat dari silika berukuran partikel 100 mesh, diperlukan empat gram silika untuk setiap percobaan. n-Heksana dituangkan pada beaker yang berisi silika dan aduk sampai rata, dan selanjutnya dituang ke kolom sambil digetarkan, sehingga didapat kolom yang padat. Teknik ini menggunakan kolom berdiameter 1 cm, tinggi kolom 20 cm. Lebih kurang 75 mg (50-100 mg) minyak ditimbang dalam vial, dengan perlahanlahan minyak diteteskan pada kolom yang telah disiapkan. Berturut-turut dituangkan 40 ml n-heksana, 40 ml 10% DCM dalam n-heksana, dan terakhir campurkan 20 ml DCM dan 20 ml metanol sehingga didapat fraksi saturat, aromat dan polar. Masing-masing fraksi dihilangkan pelarutnya dengan memanaskan dalam bak pasir kuarsa pada pemanas listrik. Larutan dipindahkan ke vial 2 ml, dikeringkan dengan pemanas listrik sehingga diperoleh berat yang tetap untuk masing-masing fraksi, kemudian ditimbang. Percobaan ini dilakukan untuk masing-masing sampel minyak bumi. Analisis GC sampel minyak bumi dengan menggunakan instrumen Hewlett Packard (HP) 6890 yang dilengkapi dengan kolom kapiler fused silica Ultra-1, panjang kolom = 50 m, tebal fasa diam = 0,33 μm. Gas HiKorelasi Minyak Bumi Sumur Produksi Duri 59

drogen digunakan sebagai gas pengemban dengan kecepatan 0.8ml/ menit. Sampel diinjeksikan menggunakan mode on colum injector, dengan temperatur inlet 2500C, sedangkan

pendeteksian digunakan detekt0r FID yang suhunya dipertahankan pada 3250C. Temperatur awal dari oven adalah 300C dipertahankan selama 4 menit, lalu suhu dinaikkan dengan bertahap, yakni dengan kenaikan 30C/ menit hingga suhu 400C, kemudian dinaikan 50C/menit hingga tercapai 2000C. Dengan demikian diperlukan waktu sekitar 70 menit untuk satu kali injeksi sampel. Untuk penentuan sidik jari whole oil diperlukan analisis hidrokarbon dalam kisaran C2 - C45. Untuk penentuan puncak alkana siklik maupun asiklik, biomarker Pr, Ph, dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi dari data yang telah terpublikasikan (Alexander et al, 1992; Hunt 1996). Dalam penelitian ini parameter geokimia yang diperoleh dari pengukuran kromatogram GC ditabulasikan. Semua parameter geokimia yang diukur didapat dengan menghitung luas puncak yang sesuai dari kromatogramnya. Ladang minyak Duri yang terletak di cekungan Sumatera Tengah adalah salah satu daerah penghasil minyak terpenting di Indonesia. Cekungan ini tersusun dari sedimen Tersier (Koning et al, 1984), terletak diantara Bukit Barisan dengan sebelah barat daya sampai keselatan dibatasi oleh patahan sesar naik dari batuan Pra Tersier sepanjang kaki Bukit Barisan dan dibatasi oleh Selat Malaka dari Utara sampai ke Timur. Luas cekungan ini diperkirakan sekitar 120.000 km2. Sampel minyak bumi dari empat sumur produksi Duri Riau telah digunakan untuk keperluan studi ini. Pemilihan sampel minyak dari tiga sumur produksi (X, Y dan Z) terdahulu dan Sumur W yang baru ditemukan tahun 1999. HASIL DAN PEMBAHASAN Kromatografi gas (GC) Pr/Ph Dari hasil analisis GC terhadap sampel minyak bumi dari sampel W dan tiga sampel minyak dari sumur produksi dilapangan minyak cekungan Sumatera Tengah, diperoleh data Pr/Ph untuk masing-masing sumur seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Dari data tersebut ternyata kisaran Pr/Ph untuk masing-masing sampel tersebut menunjukkan dua kisaran yang tidak berbeda jauh. Dari keempat sumur minyak bumi tersebut dapat dicirikan dengan Pr/Ph = 2,90-2,93 dan 2,70-2,75. Fakta ini dapat digunakan untuk mengindikasi60 Jurnal Natur Indonesia 5(1): 57-65 (2002)

kan lingkungan pengendapan batuan

sumber. Menurut Didyk et al, (1978) nilai rasio Pr/Ph antara 1,5-3 mengindikasikan tipe minyak bumi dari lingkungan akuatik-lakustrin. Jika mengacu pada pendapat di atas maka sampel minyak bumi dari keempat sumur produksi Sumatra Tengah ini termasuk tipe minyak lakustrin. Hal yang sama juga ditunjukkan dari fakta dimana nilai potong antara Ph/n-C18 terhadap Pr/n-C17 yang mengidikasikan material organik batuan sumbernya berasal dari kerogen Tipe I yang pada umumnya akan menghasilkan tipe minyak lakustrin (ten Haven & Schiefelbein 1995; Schiefelbein et al, 1997). Gambar 1 menunjukkan diagram antara rasio Ph/n-C18 terhadap Pr/nC17 (Schiefelbein et al, 1997) yang mengindikasikan area tipe kerogen untuk Tipe I dan Tipe II dan Tipe III. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat sampel minyak bumi sumur produksi Duri ini berasal dari kerogen Tipe I yang dapat mengindikasikan bahwa kempat sumur minyak produksi Sumatera Tengah ini memiliki asal-usul batuan sumber yang sama. Hal lain dari analisis kromatografi gas bahwa distribusi nalkana dari masing-masing sampel minyak masih utuh, kecuali antara C1 sampai C10 yang mengalami sedikit pengurangan. Dari fakta tersebut, maTabel 1. Data biomarker alkana bercabang dari sampel minyak. Sumur minyak Pr/Ph Pr/n-C17 Ph/n-C18 X 2.93 0.41 0.07 Y 2.91 0.44 0.08 Z 2.75 0.46 0.10 W 2.70 0.47 0.11 Gambar 1. Plot rasio isoprenoid; Fitana/n-C18 terhadap Pristana/n-C17. 1.0 2.0 3.0 4.0 6.0 5.0 0

Pristana / n -C17 Kerogen Tipe III Kerogen Tipe I & II 0.05 0.10 0.15 0.20 x y z w x = sampel X y = sampel Y z = sampel Z w = sampel W Fitana / n-C 18

Korelasi Minyak Bumi Sumur Produksi Duri 61

ka minyak bumi Sumur W dan minyak bumi dari sumur produksi sebelumnya dapat dinyatakan sebagai minyak bumi segar dengan tingkat biodegredasi minor. Sidik jari Minyak bumi dalam suatu lapangan umumnya sulit dibedakan karena mempunyai kemiripan sifat kimia dan fisika, tetapi masih dapat dibedakan konfigurasi sidik jari dari gas kromatografi (Kaufman et al, 1990). Parsial kromatogram gas sampel minyak W dan sampel minyak bumi lainnya (X, Y dan Z) dapat dilihat

dimana sidik jari dapat diuraikan sebagai berikut. Jendela C14 - C16 digunakan untuk memilih puncak-puncak yang tajam dan ada dalam setiap sampel minyak bumi. Dalam penelitian ini dipilih 12 pasang puncak, dihitung luas masing-masing puncak dan rasio masing-masing pasang, terakhir ditabelkan secara alpabetik. Metoda sidik jari ini merujuk pada metoda Kaufman et al, (1990; 1995). Data rasio puncak-puncak ditunjukkan pada Tabel 2. Dari data rasio puncak-puncak dengan bantuan perangkat lunak dibuat diagram bintang (star diagram) untuk masing-masing sampel minyak bumi. Diagram bintang untuk masingmasing sampel minyak dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar diagram bintang keempat sampel minyak menunjukkan pola diagram yang mirip ini berarti keempat sampel minyak A B C D E F HG I J K L M

Sampel x y z w

Gambar 2. Komposisi Hidrokarbon Minyak Bumi Sumur Produksi Sumatera Tengah (Duri). 62 Jurnal Natur Indonesia 5(1): 57-65 (2002)

bumi tersebut memiliki tipikal yang sama terutama antara sampel minyak dari Sumur X dengan sampel minyak dari Sumur Y, sedangkan sampel minyak W menunjukkan korelasi yang lebih dekat dengan sampel minyak Z. Fakta ini mengindikasi sampel dari Sumur minyak W yang baru diketemukan tahun 1999 tersebut mempunyai organik fasies (berasal dari lingkungan pengendapan yang sama, namun berbeda kontribusi senyawa kimianya) atau kemungkinan dari batuan sumber yang sama pula, khususnya dengan minyak bumi dari Sumur Produksi Z. Untuk lebih memperinci kesamaan tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mendalam dengan bantuan GC-MS. Pada penelitian ini pola diagram bintang yang mirip disimbolkan dengan notasi M, misalnya sampel minyak dari Sumur X dan Y merupakan grup M1 sedangkan sampel minyak bumi dari Sumur W yang lebih mirip dengan sampel minyak Z merupakan grup M2. Dari uraian diatas antara sampel minyak dari Sumur W dan sampel minyak dari sumur-sumur produksi sebelummya dapat disimpulkan menjadi dua grup (M1 dan M2). yang mengindikasikan keempat sumur minyak tersebut memiliki asalusul batuan sumber yang sama yang

pada proses selanjutnya hingga membentuk minyak bumi menjadi berbeda yaitu M1 dan M2. Korelasi minyak bumi antar sumur produksi Meskipun masing-masing sampel minyak yang teranalisis menunTabel 2 . Data rasio puncak GC untuk diagram bintang. Rasio Puncak Sumur Minyak XYZW A 1.24 1.20 1.36 1.38 B 1.16 1.20 1.01 0.91 C 0.83 0.76 0.44 0.38 D 0.50 0.47 0.65 0.71 E 1.15 1.20 0.83 0.80 F 1.65 1.70 1.41 1.30 G 0.35 0.40 1.02 1.15 H 0.85 0.77 1.01 0.95 I 2.06 1.95 1.71 1.68 J 1.25 1.15 1.29 1.39 K 1.01 0.95 1.31 1.27 L 1.48 1.40 2.55 2.42 M 1.75 1.69 2.34 2.45 Metode Diagram bintang dari Kaufman et al, (1990; 1995).

Korelasi Minyak Bumi Sumur Produksi Duri 63

jukkan tipikal yang sama, namun adanya perbedaan komposisi kimia dari hidrokarbon sehingga minyak bumi antar sumur produksi Duri dapat digolongkan menjadi dua grup (M1 dan M2) dimana minyak bumi dari Sumur W menunjukkan korelasi yang lebih dekat dengan minyak bumi dari Sumur Z dibanding dari minyak bumi dari kedua Sumur produksi lainnya X, Y. Karakteristik minyak bumi dari keempat sumur minyak Duri di Cekungan Sumatera tengah ini dianalisis dari data biomarker seperti distribusi n-alkana dan rasio Pr/Ph Meskipun sampel minyak bumi dari keempat sumur produksi Duri Sumatera Tengah tersebut menunjukkan tipe minyak bumi dan lingkungan pengendapan yang sama, akan tetapi dari 1) pola sebaran nalkana, 2) rasio Pr/Ph, 3) Pr/n-C17 4), Ph/n-C18 5) menunjukkan adanya dua korelasi yang sangat dekat, yaitu antara minyak bumi dari Sumur produksi W dengan minyak bumi dari Sumur Produksi Z. Sedangkan minyak bumi dari Sumur Produksi X menunjukkan hubungan yang lebih dekat dengan minyak bumi dari Sumur Y. Dari data diatas diyakini bahwa minyak bumi dari keempat sumur produksi Sumatera Tengah ini memiliki asal-usul batuan sumber yang sama dengan dua reservoar berbeda, atau juga mungkin awalnya dari reservoar sama namun karena adanya patahan baru menyebabkan hidrokarbonnya bermigrasi ketempat yang berbeda. Perpindahan hidrokarbon kereservoar yang tidak terlalu

jauh tersebut juga menyebabkan distribusi n-alkana, biomarker yang tidak berbeda terlalu jauh pula. Juga diyakini bahwa perbedaan antar sampel dari sumur minyak DuriSumatra Tengah ini menjadi kategori grup M1 dan grup M2, dimungkinkan dari perbedaan kelimpahan relatif input material organik, untuk itu perlu dilakukan peneltian lanjutan yang beresolusi tinggi. Informasi yang ditunjukkan dari perolehan data pada penelitian ini selanjutnya dapat digunakan untuk ekplorasi lanjutan, misalnya untuk menunjukkan arah atau posisi eksplorasi lanjutan untuk mendapatkan minyak bumi kategori yang termasuk grup M1 atau katagori untuk grup M2 yang berada pada satu reservoar dengan minyak bumi dari Sumur W. Implikasi Geokimia Dari hasil analisis pada masingmasing sampel yang menunjukkan adanya hubungan korelasi yang positif antara sampel minyak X dan Y, sedangkan sampel minyak Z berkorelasi lebih dekat dengan sampel dari Sumur minyak W tersebut 64 Jurnal Natur Indonesia 5(1): 57-65 (2002)

mengimplikasikan bahwa sampel minyak dari Sumur X berada satu layer dengan sampel minyak dari Sumur Y, sedangkan sampel minyak dari Sumur Z berada satu layer dengan sampel minyak dari Sumur W, yang bermakna bahwa minyak bumi dari Sumur W tersebut berkomunikasi lebih baik dengan minyak bumi dari Sumur minyak Z dari pada minyak bumi dari sumursumur minyak lainnya. Implikasi tersebut menunjukkan bahwa tindakan pengurasan lebih lanjut (enhanced oil recovery) terhadap minyak bumi dari Sumur W dapat dilakukan dengan teknik mendorong minyak bumi, yang dilakukan melalui Sumur Z, karena minyak bumi di Sumur W tersebut berkomunikasi lebih baik dengan minyak bumi yang ada pada Sumur Z. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu dengan menggunakan metoda sidikjari, maka keempat sampel minyak bumi dari sumur produksi Sumatra Tengah ini dapat diklasifikasikan menjadi dua grup korelasi (M1 dan M2), dimana sampel minyak dari Sumur W menunjukkan korelasi yang positif dengan sampel minyak dari Sumur Z, sedangkan sampel dari Sumur minyak

X berkorelasi yang positif dengan sampel dari Sumur Y. Korelasi antar sampel minyak tersebut mengimplikasikan bahwa sampel minyak dari Sumur W berada satu layer dengan sampel dari Sumur minyak Z, sedangkan sampel dari Sumur minyak X berada satu layer dengan sampel dari Sumur minyak Y, artinya sampel dari Sumur minyak W tersebut berkomunikasi lebih baik dengan sampel dari Sumur Z dibandingkan sampel dari sumur-sumur minyak lainnya. Fakta adanya perbedaan korelasi antar sampel tersebut, juga berimplikasi pada teknik pengurasan lebih lanjut (enhanced oil recovery), dimana untuk pengurasan lebih lanjut terhadap minyak bumi dari Sumur Z dapat dilakukan dengan teknik mendorong minyak bumi, yang dapat dilakukan dari Sumur minyak W, karena adanya komunikasi yang lebih baik diantara kedua sumur minyak tersebut. DAFTAR PUSTAKA Alexander R., Larcher A.V., Kagi R. I. & Price P.L. 1992. An oil source correlation study using age-specific plant-derived aromatic biomarker. Di dalam: Moldowan, J.M., Albrecht, P. & Philip, R.P. (ed). Biological Markers in Sediment and Petroleum. New Jersey: Prentice. Dydik, B.M., Simoneit, B.R.T., Brassell, S.C. & Eglington, G. 1978. Organic geochemical indicators of paleoenvironmental conditions of Korelasi Minyak Bumi Sumur Produksi Duri 65 sedimentation. Nature 272: 216 221. ten Haven, H.L. & Schiefelbein, C. 1995. The petroleum system of Indonesia. Proceedings of Indonesian Petroleum Association. 24th Annual Convention. Jakarta. Hunt, J.M. 1996. Petroleum Geochemistry and Geology. New York: Freeman. Katz, B.J. & Dawston, W.C. 1997. Petroleum system of Central Sumatra. Proceedings of the Indonesian Petroleum Association. 16: 685-695. Kaufman, R.L., Ahmed, A.S. & Elsinger, R.J. 1990. Gas chomatography as a development and production tool for finger printing oils from individual reservoirs: Applications in the Gulf of Mexico. Di dalam: Schumacker, D. & Perkins, B.F (ed). Proceedings of the 9th Annual Research Conference of the Society of Economic Paleontologists and Mineralogists. New Orleans. Kaufman, R.L., Ahmed, A.S. & Hempskins, W.B.A. 1995. New technique for the analysis of commingled

oils and its application calculation. Di dalam: Schumacker, D. & Perkins, B.F (ed). Proceedings of the Annual Reseach Conference of the Society of Economic Palaeontologists and Mineralogists Chevron Oil Field Research Company. Koning, T. & Darmon, F.X. 1984. The geology of the Beruk Northeast field, Central Sumatra, oil production from pre-Tertiary basement rocks. Proceeding of the Indonesia petroleum Associastio. 13: 385 – 406. Peters, K.E. & Moldowan, J.M. 1993. The Biomarker Guide, Interpreting molecular Fossils in Petroleum and Ancient Sediments. New Jersey: Prentice. Schiefelben, et al. 1997. Petroleum System Of Far East. Proceedings of the Indonesian Petroleum Association. 24th Annual Convention. Jakarta. Seifert, W.K. & Moldowan, J.M. 1981. Paleoreconstruction by biological markers. Geochimica et Cosmochimica Acta. 45: 783-794. Tissot, B.P. & Welte, D.H. 1984. Petroleum Fomation and Occurrence. New York: Springer-Verlag. 66 Jurnal Natur Indonesia 5(1): 57-65 (2002) Jurnal Natur Indonesia 5(1): 57-65 (2002) ISSN 1410-9379

3. MANFAAT MINYAK BUMI DAN GAS ALAM DAN PRODUKNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI Percayakah Anda jika suatu saat nanti botol plastik bekas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak pelumas untuk kendaraan bermotor? Jika tidak percaya, tanyakan saja pada Stephen J. Miller, Ph.D., seorang ilmuwan senior dan konsultan peneliti di Chevron. Bersama rekan-rekannya di Pusat penelitian Chevron Energy Technology Company, Richmond, California, Amerika Serikat dan University of Kentucky, ia berhasil mengubah limbah plastik menjadi minyak pelumas. Bagaimana caranya? Sebagian besar penduduk di dunia memanfaatkan plastik dalam menjalankan aktivitasnya. Berdasarkan data Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, pada tahun 2001, penduduk Amerika Serikat menggunakan sedikitnya 25 juta ton plastik setiap tahunnya. Belum ditambah pengguna plastik di negara lainnya. Bukan suatu yang mengherankan jika plastik banyak digunakan. Plastik memiliki banyak kelebihan dibandingkan bahan lainnya. Secara umum, plastik memiliki densitas yang rendah, bersifat isolasi terhadap listrik, mempunyai kekuatan mekanik yang bervariasi, ketahanan suhu terbatas, serta ketahanan bahan kimia yang bervariasi. Selain itu, plastik juga ringan, mudah dalam perancangan, dan biaya pembuatan murah. Sayangnya, di balik segala kelebihannya, limbah plastik menimbulkan masalah bagi lingkungan. Penyebabnya tak lain sifat plastik yang tidak dapat diuraikan dalam tanah. Untuk mengatasinya, para pakar lingkungan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu telah melakukan berbagai penelitian dan tindakan. Salah satunya dengan cara mendaur ulang limbah plastik. Namun, cara ini tidaklah terlalu efektif. Hanya sekitar 4% yang dapat didaur ulang, sisanya menggunung di tempat penampungan sampah.

Mungkinkah tumpukan sampah plastik ini dapat diubah menjadi minyak pelumas? Masalah itulah yang mendasari Miller dan rekan-rekannya melakukan penelitian ini. Sebagian besar plastik yang digunakan masyarakat merupakan jenis plastik polietilena. Ada dua jenis polietilena, yaitu high density polyethylene (HDPE) dan low density polyethylene (LDPE). HDPE banyak digunakan sebagai botol plastik minuman, sedangkan LDPE untuk kantong plastik. Dalam penelitiannya yang akan dipublikasikan dalam Jurnal American Chemical Society bagian Energi dan Bahan Bakar (Energy and Fuel) edisi 20 Juli 2005, Miller memanaskan polietilena menggunakan metode pirolisis, lalu menyelidiki zat hasil pemanasan tersebut. Ternyata, ketika polietilena dipanaskan akan terbentuk suatu senyawa hidrokarbon cair. Senyawa ini mempunyai bentuk mirip lilin (wax). Banyaknya plastik yang terurai adalah sekitar 60%, suatu jumlah yang cukup banyak. Struktur kimia yang dimiliki senyawa hidrokarbon cair mirip lilin ini memungkinkannya untuk diolah menjadi minyak pelumas berkualitas tinggi. Sekadar informasi, minyak pelumas yang saat ini beredar di pasaran berasal dari pengolahan minyak bumi. Minyak mentah (crude oil) hasil pengeboran minyak bumi di dasar bumi mengandung berbagai senyawa hidrokarbon dengan titik didih yang berbeda-beda. Kemudian, berbagai senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah ini dipisahkan menggunakan teknik

distilasi bertingkat (penyulingan) berdasarkan perbedaan titik didihnya. Selain

bahan bakar, seperti bensin, solar, dan minyak tanah, penyulingan minyak mentah juga menghasilkan minyak pelumas.

Sifat kimia senyawa hidrokarbon cair dari hasil pemanasan limbah plastik mirip dengan senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah sehingga dapat diolah menjadi minyak pelumas. Pengubahan hidrokarbon cair hasil pirolisis limbah plastik menjadi minyak pelumas menggunakan metode hidroisomerisasi. Miller berharap minyak pelumas buatan ini dapat digunakan untuk kendaraan bermotor dengan kualitas yang sama dengan minyak bumi hasil penyulingan minyak mentah, ramah lingkungan, sekaligus ekonomis. Sebenarnya, usaha pembuatan minyak sintetis dari senyawa hidrokarbon cair ini bukan suatu hal baru. Pada awal 1990-an, perusahaan Chevron telah mencoba mengubah senyawa hidrokarbon cair menjadi bahan bakar sintetis untuk tujuan komersial. Hanya saja bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan senyawa hidrokarbon cair berasal dari gas alam (umumnya gas metana) melalui proses katalitik yang dikenal dengan nama proses Fischer-Tropsch. Pada proses Fischer-Tropsch ini, gas metana diubah menjadi gas sintesis (syngas), yaitu campuran antara gas hidrogen dan karbon monoksida, dengan bantuan besi atau kobalt sebagai katalis. Selanjutnya, syngas ini diubah menjadi senyawa hidrokarbon cair, untuk kemudian diolah menggunakan proses hydrocracking menjadi bahan bakar dan produk minyak bumi lainnya, termasuk minyak pelumas. Senyawa hidrokarbon cair hasil pengubahan dari syngas mempunyai sifat kimia yang sama dengan polietilena.

Related Documents

Asal-usul
May 2020 38
Minyak Bumi
June 2020 23
Asal Usul Rendang
May 2020 23
Asal Usul Manusia.docx
June 2020 15