Tekanan yang terjadi pada kelapa sawit tahun ini masih terus dikelola. Pemerintah pun sudah bergerak untuk mengangkat komoditas itu. Untuk menaikkan harga tandan buah sawit (TBS) di tingkat petani, per 3 Desember lalu, pemerintah menghapus pungutan ekspor kelapa sawit, minyak sawit mentah (CPO), dan produk turunannya saat harga CPO di pasar dunia di bawah 570 dollar AS per ton. Putusan itu disambut gembira baik petani dan industri. Mereka berharap segera ada dampaknya. Diplomasi dan promosi juga dilakukan untuk mereduksi kampanye negatif sawit di Uni Eropa. Menurut Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun, langkah diplomasi dan promosi yang dilakukan pemerintah dan pelaku industri cukup positif. Hasil diplomasi itu antara lain penundaan penghentian biodiesel asal sawit dari tahun 2021 menjadi 2030. ”Sikap Pemerintah Perancis yang menolak boikot terhadap sawit juga tidak terlepas dari negosiasi dan advokasi pemerintah,” tutur Derom. Langkah itu perlu didukung pembenahan di dalam negeri. Tata kelola perkebunan sawit harus diatur secara tegas guna mengikuti prinsip berkelanjutan jika ingin kampanye hitam sawit menghilang. Hingga pekan lalu, harga tandan buah segar di pelosok berkisar Rp 400-Rp 600 per kilogram, jauh dari biaya produksi Rp 1.200 per kilogram. Berbagai pihak masih menunggu pergerakan harga setelah pungutan ekspor dihapus. Sejauh ini ekspor minyak kelapa sawit masih tertekan karena hambatan tarif dan nontarif, terutama kampanye negatif. Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang Januari-Oktober 2018, nilai ekspor minyak kelapa sawit mencapai 15,03 miliar dollar AS. Angka itu turun 10,61 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017. Tahun lalu, nilai ekspor produk sawit dan turunannya mencapai Rp 22,96 miliar atau Rp 321 triliun (1 dollar AS setara Rp 14.000). Selama Januari-Oktober 2018, nilai ekspor CPO ke India, negara utama ekspor sawit, misalnya, mencapai 3 miliar dollar AS atau turun 15,11 persen dari periode yang sama tahun 2017 sebesar 4,1 miliar dollar AS. Adapun ke Eropa, ekspor CPO ke Belanda, misalnya, turun dari 646 juta dollar AS pada Januari-Oktober 2017 menjadi 554 juta dollar AS periode yang sama tahun ini. Adapun ekspor ke Italia turun dari 584,9 juta dollar AS menjadi 466 juta dollar AS (Kompas, 30/11/2018). Statistik Perkebunan 2018 menyebutkan, dari 14,31 juta hektar luas lahan perkebunan sawit, 5,81 juta hektar atau 40,59 persennya merupakan kebun sawit rakyat yang terdiri dari 30 persen perkebunan swadaya dan 70 persen petani plasma.
Kebun yang dikelola swasta mencapai 7,79 juta hektar atau 54,43 persen. Adapun kebun yang dikelola BUMN atau negara 713.120 hektar atau 4,98 persen. Namun, luas lahan sawit sesuai izin yang dikeluarkan atau hak guna usaha mencapai 20 juta hektar, sedangkan tutupan lahan sawit mencapai 16,83 juta hektar (Kompas, 4/12/2018). Luas perkebunan yang sudah mendapat sertifikasi standar minyak sawit berkelanjutan yang dikeluarkan pemerintah (ISPO) per Oktober 2018 baru 2,23 juta hektar. Artinya, ada belasan juta hektar lahan yang belum tersertifikasi ISPO. Praktik-praktik perkebunan di luar standar kelapa sawit berkelanjutan dimungkinkan terjadi di kawasan itu. Laporan dari sejumlah daerah menunjukkan praktik perambahan hutan untuk ditanami kelapa sawit masih bermunculan. Perambahan Di Riau, misalnya, pekan lalu, seorang mantan anggota TNI ditahan karena diduga merambah Cagar Biosfer Giak Siak Kecil dan Bukit Batu di Bengkalis. Lahan seluas 100 hektar telah ditanami kelapa sawit dari rencana 3.000 hektar. Padahal, pada tahun 2014, pelaku telah merambah kawasan tidak jauh dari lokasi itu seluas 1.300 hektar dan berkontribusi pada bencana asap tahun itu. Pemecatan dari dinas militer dan dihukum dua tahun penjara ternyata tak membuat pelaku jera. Sementara di Kalimantan Barat, persisnya di Kampung Semunying Bungkang, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, warga terusir dari lahannya karena perkebunan sawit. Di Jambi, kehidupan Orang Rimba semakin tak memiliki kuasa atas hutan karena terdesak area perkebunan, terutama kelapa sawit. Bahkan, konflik satwa, terutama gajah dengan manusia dan perusakan kebun sawit, juga masih terjadi seperti di Aceh karena lahan jelajah gajah telah berganti perkebunan. Korban jiwa akibat penyerangan satwa juga terus berjatuhan. Itu hanya sebagian kecil laporan-laporan konflik yang terjadi yang berkorelasi dengan kelapa sawit tahun ini. Rumitnya tata kelola lahan tergambar saat pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) meremajakan tanaman sawit. Dari rencana peremajaan 185.000 hektar yang dicanangkan tahun ini, hingga Oktober 2018 baru terealisasikan 14.797 hektar. Banyak petani yang tak memiliki bukti hak atas lahan sehingga sulit mendapatkan bantuan. Legalitas lahan perkebunan masih dipertanyakan. Namun, tindakan tegas seperti perampasan lahan negara yang selama ini digunakan untuk perkebunan sawit ilegal mulai dilakukan. Di Sumatera Utara, sebanyak 2.250 hektar lahan hutan produksi dan hutan lindung di Labuhan Batu dirampas negara setelah sejak 2006 berubah menjadi perkebunan sawit.
Di Aceh Selatan, lahan seluas 14,5 hektar di kawasan hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser yang dirambah untuk perkebunan sawit juga akan dihutankan kembali. Dewan Minyak Kelapa Sawit terus mendorong perkebunan mengikuti prinsip berkelanjutan dengan mendapatkan sertifikasi ISPO. Perkebunan harus menerapkan NDPE atau No Deforestation, No Peat, No Exploitation yang mencakup eksploitasi hutan, lahan gambut, dan syarat kerja karyawan. Itu sebabnya, Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit Hasril Siregar menilai, standar praktik manajemen kelapa sawit terbaik yang selama ini dilakukan perlu diteruskan. Kampanye negatif semata-mata kampanye dagang karena problemnya bukan pada kelapa sawit, melainkan tata kelola perkebunan secara keseluruhan seperti deforestrasi, konflik satwa, tata kelola lahan, dan problem HAM. Itu dialami semua produk perkebunan. Dengan tata kelola yang diatur secara tegas mengikuti prinsip berkelanjutan, kampanye negatif sawit pelanpelan menghilang tahun-tahun mendatang. (Aufrida Wismi)
Sektor perkebunan menyumbang Rp 357 triliun produk domestik bruto nasional tahun 2018 hingga triwulan III. Nilai ini sesungguhnya baru sekitar 45 persen dari potensi kontribusi. Jika digenjot serius mulai proses produksi hingga hilirisasi produk, devisa negara bakal berlipat ganda lagi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, nilai Rp 357 triliun itu bersumber dari 15 komoditas unggulan, yakni kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, kopi, teh, tebu, jambu mete, kapas, nilam, lada, pala, cengkeh, sagu, dan tembakau. Sejauh ini kelapa sawit dan turunannya memberi kontribusi terbesar, sekitar 50 persen. Ini wajar karena kelapa sawit dikelola secara profesional oleh perusahaan swasta bermodal besar yang memberikan perhatian penuh, mulai persiapan lahan, pembibitan, pengolahan lahan, perawatan tanaman, produksi, hingga hilirisasi. KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Kopi robusta di kebun warga di sekitar Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi, Sabtu (20/1/2018). Sementara 14 komoditas lain bukan berarti tidak berpotensi, melainkan belum terurus dengan baik secara menyeluruh. Komoditas-komoditas ini sekitar 90 persen ditangani masyarakat secara mandiri. Mereka juga masih bergulat dengan persoalan kemiskinan sehingga selalu abai membenahi tanaman yang dimiliki. Bibit berkualitas hanya menjadi impian sepanjang hidup. Perawatan tanaman hampir tak berubah dari dulu sampai sekarang. Produktivitas rendah Sebut saja kopi. Nilai produksi komoditas ini pada tahun 2017 sebesar Rp 13,373 triliun. Jumlah itu tergolong kecil karena potensi yang dimiliki bisa mencapai Rp 100 triliun. Nilai ini bisa meningkat lagi jika dilakukan pengolahan dengan sejumlah gerakan kreatif. Bahkan, dari minuman siap saji saja, kopi bisa memberikan kontribusi devisa minimal Rp 42 triliun per tahun. Belum optimalnya kontribusi kopi karena perkebunan ini masih dikelola dengan sangat tradisional, bahkan sambil lalu. Perkebunan kopi di Indonesia 90 persen milik rakyat. Selama ini kebun-kebun itu belum terurus dengan baik. Sebagian petani hanya sambil lalu mengurus kopi. Luas lahan pun stagnan 1,2 juta hektar dengan produktivitas setiap tahun rata-rata 714 kg per hektar. Bandingkan dengan Vietnam yang memproduksi kopi 2,5 ton per hektar. Dengan luas 1 juta hektar saja, Vietnam menjadi produsen kopi terbesar kedua di dunia. Belakangan, kopi bangkit seiring perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan sehingga memicu pertumbuhan konsumsi, selain juga berkembangnya sektor pariwisata. Nasib serupa juga menimpa kakao dan kelapa. Kedua jenis tanaman ini tidak mendapatkan sorotan selayaknya kopi. Perkebunan kakao dan kelapa nyaris tak ada gerakan komunitas yang masuk. Dari sisi potensi produktivitas, kakao hanya mengantongi Rp 26,3 triliun. Padahal, potensinya bisa mencapai Rp 82 triliun.
Persoalan kakao mirip dengan kopi. Produktivitasnya hanya 0,8 ton per hektar, jauh lebih kecil dari potensi produktivitas yang mencapai 2,5 ton. Demikian juga kelapa. Komoditas ini sudah puluhan tahun harganya rendah, selalu di bawah Rp 5.000 per kilogram. Kadang jauh di bawah itu. Petani hanya tahu membuatnya menjadi kopra, minyak goreng, atau menjual buah muda. Padahal, dari buah kelapa bisa diolah aneka produk ikutan, seperti serabut yang bisa menjadi bahan baku jok mobil mewah, tempurung jadi briket, dan minuman berkhasiat virgin coconut oil (VCO). Para pemodal pun nyaris tidak didorong melakukan investasi untuk memproduksi produk turunan dari kelapa sehingga harga buahnya selalu rendah di tingkat petani. Padahal, secara nasional tersedia 3,653 juta hektar, tetapi volume produksinya hanya 2,870 juta ton dari seharusnya 9,132 juta ton per tahun. Hasil perkebunan yang juga terpuruk adalah kapas. Kapas hanya bisa menghasilkan 0,14 ton per hektar, jauh di bawah potensinya 2,5 ton per hektar. Nilainya pun hanya Rp 1,8 triliun. Lahan kapas terus berkurang. Pada 2016, pernah mencapai 5.993 hektar, tetapi kini hanya 5.833 hektar. Jika ditarik ke belakang, kian menyusut lagi. Pada 1990, lahan kapas masih 40.000 hektar dengan hasil 0,4 ton per hektar. Di Banyuwangi, tanaman kapas sudah banyak berganti menjadi lahan jagung. Kontrak hak guna lahan yang dimiliki perusahaan perkebunan kapas banyak yang habis pada 2012-2014. Sebagian besar perusahaan itu tak meneruskan lagi budidaya kapas. Penyebabnya adalah tergoda komoditas lain yang lebih baik seperti jagung atau konflik rebutan tanah dengan warga. Jika mengikuti dengan saksama, terpuruknya sebagian besar komoditas perkebunan akibat kelalain pemerintah. Selama puluhan tahun terakhir, fokus utama pemerintah pada Kementerian Pertanian adalah pangan. Sejak detik pertama dilantik menjadi menteri pertanian atau kepala dinas pertanian, yang ada dalam benak pejabat yang bersangkutan adalah meningkatkan produksi pangan. Keberhasilan dan kegagalannya diukur dari produktivitas pangan. Akhirnya, komoditas pangan menjadi segalanya. Komoditas perkebunan menjadi terabaikan. APBN untuk Kementerian Pertanian tahun 2018 sebesar Rp 22 triliun. Akan tetapi, sektor perkebunan hanya kebagian Rp 1,11 triliun. Jumlah ini berkurang lagi pada tahun 2019 menjadi Rp 1,114 triliun dari Rp 21,7 triliun. Hal itu diakui Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi Arif Setyawan. Saat ini pemerintah sangat serius mengurusi pangan. Beras, jagung, dan kedelai menjadi prioritas. Lahan pangan pun harus dijaga dan tidak boleh berkurang. Padahal, di Banyuwangi tanaman perkebunan dan hortikultura banyak diminta warga. ”Kami menghadapi dilema. Di sisi lain, ingin petani mendapat untung besar dengan menanam hortikultura atau tanaman perkebunan, di sisi lain tanaman pangan sangat penting,” kata Arif. Di Banyuwangi, keuntungan bertanam buah-buahan jauh lebih menggiurkan. Buah naga, misalnya, bisa meraih pendapatan bersih Rp 100 juta per hektar per tahun. Sementara padi hanya Rp 20 juta per tahun per hektar.
Pemerintah, menurut Direktur Jenderal Perkebunan Bambang, bergerak untuk meningkatkan produktivitas nasional. Tahun 2018, ada refocusing yang dilakukan pemerintah. Misalnya, penambahan area lahan yang diintensifkan, diperluas, diremajakan, dan direhabilitasi. Intensifikasi kopi arabika, misalnya, tahun 2016 hanya dilakukan pada 6.600 hektar, tahun 2017 sekitar 11.000 hektar, dan pada 2018 seluas 19.260 hektar. Peremajaan kopi arabika dari nol pada 2016 menjadi 7.650 di tahun 2018. Tahun 2017, alokasi anggaran pengembangan kopi Rp 63,4 miliar. Tahun ini, anggaran meningkat menjadi Rp 73,7 miliar. Kakao juga demikian dari 8.870 pada 2016, lalu 6.375 pada 2017, dan melonjak menjadi 18.750 hektar. Direktur Jenderal Perkebunan Bambang mengatakan, anggaran itu digunakan untuk intensifikasi, peremajaan, perluasan, dan rehabilitasi. Tahun ini intensifikasi dilakukan di 2.650 hektar lahan kopi arabika dan 2.350 ha lahan robusta. Sementara peremajaan dilakukan terhadap 5.970 ha lahan arabika dan 1.780 ha lahan robusta. Selain itu, pemerintah merancang perluasan lahan arabika seluas 4.030 ha dan lahan robusta 344 ha. Pemerintah juga merancang rehabilitasi lahan robusta seluas 410 ha. Jika dibandingkan dengan luasan lahan kopi yang mencapai 1,2 juta hektar, jumlah luasan intensifikasi, peremajaan, dan perluasan lahan kopi yang dilakukan pemerintah masih sempit. ”Pemerintah pusat belum mampu membuat banyak perubahan di bagian hulu karena dukungan dana juga tak begitu besar,” jelas Bambang. Saatnya otonom Bambang mengakui belum gencarnya dukungan pemerintah untuk perkebunan. Namun, bukan berarti perkebunan ditinggalkan. Pada 2019, saat tahun politik, pemerintah tentu akan mengembangkan sektor pangan terlebih dulu. Akan tetapi, pemerintah juga segera membuat pembiayaan untuk sektor perkebunan di luar APBN. Pembiayaan itu diharapkan bisa memberi suntikan dana segar bagi revitalisasi perkebunan di hulu. ”Dari mana dan bagaimana modelnya nanti segera kami bahas,” katanya. Harus diakui, sektor perkebunan memiliki potensi yang besar untuk memberi kontribusi devisa bagi negara. Saat ini saja sudah sekitar 19,7 juta orang terserap. Jika berkembang lebih baik, dapat menyerap puluhan juta tenaga kerja. Pendapatan petani di desa juga meningkat. Jika perikanan dalam dua dekade terakhir terbukti mampu berkembang pesat setelah diberikan otonomi, barangkali sudah saatnya perkebunan juga mendapatkan hak istimewa yang sama dari pemerintah guna menjadikan sektor ini tertangani lebih fokus dan serius. Perkebunan sesungguhnya dapat diandalkan sebagai salah satu penopang utama ekonomi nasional.