Artikel Carbon Dan Produk Hutan

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Carbon Dan Produk Hutan as PDF for free.

More details

  • Words: 4,619
  • Pages: 22
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manusia telah hidup di dunia selama beberapa juta tahun. Namun baru belakangan ini kegiatan manusia mencapai tingkat yang dapat mempengaruhi proses dasar alami, seperti terjadi konsentrasi gas di atmosfir, massa air planet bumi, jaringan spesies yang rumit yang mendukung kehidupan di bumi. Manusia melepas karbon emisi rumah kaca sekitar 7 sampai 8 milyar ton (gigatons, gtc) per tahun + 6 gtc untuk penggunaan bahan bakar fosil + 1 sampai 2 gtc dari hutan yang terbakar, penebangan pohon, dan erosi tanah (New Zealand Climate Change Program, 2001) Perubahan iklim merupakan isu penting dunia. Keberlangsungan kehidupan manusia terancam dengan lapisan ozone yang terganggu oleh emisi gas rumah kaca, hujan asam, dan perubahan iklim. Kebanyakan kerusakan ekosistem bumi disebabkan oleh insentif ekonomi. Hutan dibuka untuk ekstraksi sumberdaya alam (minyak, produk hasil hutan) atau untuk menanam tanaman industri dan padang gembalaan. Ada karbondioksida yang terlepas tiap kali ada pohon yang ditebang. Menurut Mudiyarso (1999), karbon yang terlepas sebesar 0.33 Gt/tahun/ha saat terjadi konversi hutan dan deforestasi. Tiap kali pohon ditebang, areal tutupan hutan berkurang. Hutan juga merupakan penata air dan penyimpan karbon yang sangat luas. Berkurangnya luas areal berhutan ini menjadi ukuran kerusakan lingkungan, karena mengurangi daya dukung hutan terhadap kehidupan. Hutan tropis menyimpan karbon sebesar 300 tc per hektar, lautan 2 gtc per tahun dan pohon 1.5 sampai 2.5 gtc per tahun. (Totten, WRI, 1999)

1

Perdagangan Karbon adalah gagasan yang tercetus sebagai respons terhadap Kyoto Protocol. Ditandatangani di Kyoto, Jepang, oleh sekitar 180 negara pada Desember 1997, Kyoto Protocol meminta 38 negara industri untuk mengurangi emisi greenhouse gas (GHG, gas rumah kaca) antara tahun 2008 sampai 2012 ke tingkat 5.2% lebih rendah dari tingkat tahun 1990. Pasar akan tercipta untuk memfasilitasi jual beli hak untuk melepas gas rumah kaca. Negara-negara industri yang diwajibkan mengurangi emisi dapat membeli hak pelepasan dari negara lain yang industrinya tidak menghasilkan gas rumah kaca sebanyak mereka. Pasar untuk karbon ini dapat terbentuk karena tujuan dari Kyoto Protocol mengurangi pelepasan GHG secara kolektif. Indonesia memiliki potensi dalam perdagangan karbon. Hutan Indonesia yang terbentang di khatulistiwa, dengan keanekaragaman hayati terdiri dari 10% tumbuhan berbunga dunia (sekitar 25000 jenis), 12% mamalia dunia (sekitar 500 jenis), 16% reptilia dan amphibia dunia (sekitar 16000 jenis), 17% burung dunia (sekitar 1500 jenis) dan 25% ikan (sekitar 3000 jenis). Dengan kekayaan seperti di atas, hutan Indonesia merupakan salah satu aset nasional sumberdaya alam yang diperhitungkan dunia, sehingga berkurangnya luas tutupan hutan merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Berkurangnya luas hutan atau laju deforestasi Indonesia antara 0.6 dan 1.3 juta hektar per tahun (Barber, 1998) sedangkan Forest Watch Indonesia memperkirakan deforestasi mencapai 3.4 juta hektar per tahun (FWI, 2000) laju deforestasi pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 5.19 juta hektar (Adi, 2007). Berbagai tulisan dan penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama deforestasi di

Indonesia

adalah

pembalakan

kayu

bulat

dari

hutan

alam

untuk

diperdagangkan langsung atau sebagai bahan baku perkayuan. Hanya penduduk asli yang melakukan pembalakan hanya untuk memenuhi kebutuhan

2

senidri. Selain itu, ada faktor lain seperti kebakaran hutan, pembukaan hutan untuk transmigrasi dan pembukaan hutan untuk perkebunan (WRI, 1999). Sesaat sebelum krisis ekonomi tahun 1997, total output dari kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan hutan sekitar 20 milyar USD atau sekitar 10% dari GDP; dari kayu saja sebesar 8 milyar USD, 4% dari keseluruhan. Pada periode sebelum krisis, ekspor yang bersumber dari hutan alam merupakan mesin bagi pertumbuhan ekonomi. Ekspor perkayuan meningkat dari sekitar 200 juta USD di awal tahun 1980 menjadi 8 milyar USD per tahun di pertengahan tahun 1990-an (FAO, 1998). Meskipun sejak krisis moneter menurun, kontribusi ini terus berlanjut; pada tahun 2000 mencapai USD 5,578098176 milyar (FAO, 2001 pada website FAO). Eksploitasi

hutan

Indonesia

untuk

memperoleh

sumber

dana

pembangunan terutama di luar pulau Jawa dimulai pada tahun 1967, yaitu sejak dilahirkannya UU No.5/1967 yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan hutan nasional yang diikuti dengan UU Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri. Pada awalnya eksploitasi dilakukan dengan secara langsung memanen

kayu-kayu

yang

secara

alamiah

telah

masak

tebang

dan

mengekspornya dalam bentuk kayu gelondongan, sehingga Indonesia bertindak sebagai pemasok bagi kemajuan industri pengolahan luar negeri, mendorong eksploitasi menjadi besar. Kondisi ini terhenti saat pemerintah melarang kayu bulat atau dolok, ekspor kayu bahan chip dan kayu gergajian yang bernilai tambah rendah (Keputusan Menteri Perdagangan No.292/KP/IX/1988 tanggal 19 September 1988). Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk menangkap nilai tambah yang selama ini dinikmati oleh negara lain. Namun demikian, kebijakan inti tidak mengurangi laju eksploitasi, karena tujuan kebijakan ini adalah meningkatkan taraf hidup, bukan melindungi hutan. Para eksportir beralih ke ekspor produk jadi berbahan baku kayu. Dengan demikian, jalur utama

3

perusahaan-perusahaan kayu untuk menangkap rente dari kayu adalah ekspor berbasis kayu. Kapasitas produksi perusahaan-perusahaan plywood, meningkat dari 41.4 juta m³ pada tahun 1990, menjadi 46.7 juta m³ (Deperindag,

1998).

Peningkatan

kapasitas

untuk

pada tahun 1997

mengejar

permintaan

menimbulkan masalah ketidakseimbangan penawaran dan permintaan di pasar kayu bulat sebagai input utama produk-perkayuan. Permintaan yang terus meningkat tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku yang memadai. Meskipun hutan Indonesia sangat kaya, namun sumber kayu hanya dapat diperoleh dari hutan produksi. Dengan berbagai dalih, eksplotasi terus dilakukan, bahkan ke hutan lindung dan konservasi. Sesuai dengan Letter of Intents IMF dalam rangka penyehatan perekonomian yang terpuruk, Menteri Keuangan menetapkan tarif pajak ekspor yang baru, yaitu maksimal 30% dan secara gradual turun menjadi 20%; 10% dan pada akhirnya akan menjadi 0% (SK Menkeu No. 107/KMK.017/1999). Di samping itu pemerintah menerapkan resource rent tax (Provisi Sumber Daya Hutan) untuk kayu bulat, kayu gergajian, rotan asalan/setengah jadi dan barang mineral yang bersifat non-diskriminatif, baik untuk ekspor maupum penjualan dalam negeri. Perubahan mekanisme pemungutan pajak tersebut membuka peluang untuk mengekspor kayu bulat, kayu gergajian dan rotan asalan/setengah jadi. Disertai

peningkatan

permintaan

dunia,

ketidakseimbangan

penawaran-

permintaan kayu bulat menjadi semakin besar. Dengan ijin penebangan tahunan (allowable annual cut) membatasi pembalakan di areal konsesi dan HTI belum dapat diandalkan sebagai pemasok kayu; peluang ini membuat permohonan ijin membuka perkebunan dan pembalakan ilegal baik di lahan konsesi maupun di kawasan konservasi menjadi marak, memperbesar tekanan terdapat hutan. Sektor kehutanan menghadapi masalah rumit, di satu sisi diandalkan sebagai

4

sumber dana pemangunan, di sisi lain proses memperoleh dana pembangunan tersebut diperdebatkan sebagai sumber kerusakan lingkungan. Kyoto Protocol memberikan alternatif baru sebagai pemecahan masalah kehutanan. Skim “debt for nature swap” merupakan skim pengurangan hutang negara berkembang dengan imbalan konsentrasi pada pelestarian hutan. Harga permintaan pada pasar lingkungan global pada skim adalah WTP (willingness to pay) untuk konsevasi dari warganegara, negara pemberi penghapusan hutang. Dengan skim ini negara berkembang dapat terlepas dari hutang luar negeri yang semakin besar atau dapat membangun dengan “kredit karbon” dengan mengindahkan kelestarian, atau bahkan keduanya. Pada kondisi permintaan pasar global yang terus meningkat, baik kebijakan restriksi perdagangan kayu bulat maupun kebijakan penghapusannya menyebabkan eksploitasi hutan yang berlebihan; maraknya pembalakan illegal baik di lahan konsesi dan kawasan konservasi, maupun tebang habis di lahan konversi dengan dalih membuka areal perkebunan (Adi, 2007). Alternatif perdagangan

karbon

dapat

dilakukan

dengan

kebijakan

moratorium

pembalakan. Apakah kiranya introduksi kebijakan konservasi berupa moratorium pembalakan dapat membantu mengurangi tekanan terhadap hutan? Bagaimana pengaruh kebijakan ini terhadap tingkat permintaan atau penawaran produkperkayuan? Berapa keuntungan atau kerugian yang diderita industri perkayuan? Bila kerugian yang diderita oleh industri perkayuan, mekanisme kompensasi apa yang tersedia bagi pemerintah? Diperlukan penelitian mengenai potensi perdagangan karbon, sebagai alternatif perdagangan perkayuan agar diperoleh informasi untuk pengelolaan hutan yang seimbang.

5

1.2. Perumusan Masalah Luas bawaan (endowment) sumberdaya hutan Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire, yakni sebesar 10% dari sumberdaya hutan dunia yang masih tersisa. Berdasarkan data satelit (19862002) Inventarisasi Hutan Nasional memperkirakan luas hutan Indonesia adalah 109.57 ha, dengan perkiraan persebaran Sumatera 20.8%, Kalimantan 32%, Sulawesi 9.7%, Maluku 5.5%, Papua 29.9% dan pulau-pulau lain 2.1% (FAO, 2000-2006). Dengan kekayaan seperti ini, Indonesia memiliki potensi untuk mengisi peluang dengan turut serta dalam perdagangan karbon global. Namun di sisi, Indonesia juga mengandalkan hutan sebagai sumber penerimaan melalui ekstraksi hutan dan industri perkayuan yang berorientasi ekspor.

Gambar 1. Kategori Hutan Indonesia. Sumber: Departemen Kehutanan, 2006 Apabila Indonesia turut serta dalam perdagangan karbon global, maka diperlukan perubahan proposi kategori Indonesia. Proporsi kawasan konservasi (hutan lindung, suaka alam dan perairan) akan semakin besar, sementara kawasan hutan konversi dan konsesi produksi semakin kecil.

Perubahan ini

akan berimplikasi pada menciutnya industri perkayuan, yang pada akhirnya mengurangi penerimaan dari sektor tersebut.

Akan tetapi dari perluasan

6

kawasan konservasi, dapat diperoleh kompensasi melalui skim carbon trading, perdagangan karbon yang merupakan respons terhadap Kyoto Protocol. Untuk dapat berkecimpung dalam perdagangan karbon, diperlukan kalkulasi yang tepat, berapa keuntungan/kerugiannya.

1.3. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari potensi perdagangan karbon dan perkayuan di Indonesia. Dengan mengetahui informasi tersebut, diharapkan tujuan spesifik dari penelitian ini dapat dicapai, yaitu : 1. Memperoleh informasi mengenai perkembangan keragaan industri perkayuan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan dampak berbagai kebijakan kehutanan

dan

perdagangan

terhadap

perkembangan

perdagangan

perkayuan dengan proses deforestasi di Indonesia. 2. Mempelajari kemungkinan dan potensi perdagangan karbon sebagai alternatif devisa Negara 3. Menganalisis implikasi perdagangan karbon pada industri perkayuan di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan khususnya dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan hutan berkelanjutan, berkenaan dengan pengambilan kebijakan melalui mekanisme pasar.

1.5. Ruang Lingkup Dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini pada dasarnya upaya mengungkap hubungan perdagangan karbon dan industri perkayuan di Indonesia, dengan ruang lingkup yang dibatasi pada :

7

1. Produk yang dianalisis terbatas pada output industri hulu perkayuan 2. Penawaran dan permintaan yang membentuk pola perdagangan 3. Bentuk kalkulasi bersifat transaksional

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perdagangan Karbon Dengan perubahan iklim yang menjadi isu penting bagi para penyusun kebijakan,

diperlukan

analisis

pendekatan

isu

tersebut.

Perdasarkan

kesepakatan Kyoto Protocol (1997), pendekatan yang digunakan untuk menurunkan panas bumi antara lain adalah: 1. Mengurangi emisi karbon dioksida dunia 2. Menggunakan bahan bakar alternatif 3. Mengurangi emisi karena perubahan pemanfaatan lahan Sukses Kyoto Protocol dalam mencegah perubahan iklim tergantung pada keadilan dan efisiensi sisten perdagangan karbon (Fahn, 1997). Perdagangan Karbon adalah gagasan yang tercetus sebagai respons terhadap Kyoto Protocol. Ditandatangani di Kyoto, Jepang, oleh sekitar 180 negara pada Desember 1997, Kyoto Protocol meminta kepada 38 negara industri untuk mengurangi emisi greenhouse gas (GHG, gas rumah kaca) antara tahun 2008 sampai 2012 ke tingkat 5.2% lebih rendah dari tingkat tahun 1990 (Ismailova et al, 2002). Karbon adalah elemen yang disimpan dalam bahan bakar fosil seperti batubata dan minyak bumi. Saat bahan bakar ini dibakar, yang biasanya terjadi di negara-negara industri, karbon dioksida terlepas dan menjadi gas rumah kaca. Gagasan di belakang perdagangan karbon serupa dengan perdagangan saham atau komoditi di bursa. Karbon akan diberi nilai ekonomi, memungkinkan perorangan, perusahaan atau negara memperdagangkannya. Apabila sebuah negara membeli karbon, negara tersebut membeli hak untuk membakarnya, dan

9

negara yang menjual karbon melepas hak tersebut. pada

kemampuan

negara

pemilik

mencegahnya terlepas ke atmosfir.

karbon

untuk

Nilai karbon didasarkan menyimpannya

atau

(semakin baik tersimpan, semakin besar

nilainya). Pasar akan tercipta untuk memfasilitasi jual beli hak untuk melepas gas rumah kaca. Negara-negara industri yang diwajibkan mengurangi emisi dapat membeli hak pelepasan dari negara lain yang industrinya tidak menghasilkan gas rumah kaca sebanyak mereka. Pasar untuk karbon ini dapat terbentuk karena tujuan dari Kyoto Protocol mengurangi pelepasan GHG secara kolektif. Di satu sisi, gagasan perdagangan karbon seperti situasi win-win; emisi GHG

dapat

keuntungan

dikurangi ekonomi.

sementara Di

sisi

lain,

negara-negara kritik

tertentu

terhadap

memperoleh

gagasan

tersebut

mengemukakan bahwa negara-negara tertentu akan mengeksploitasi sistem perdagangannya dan konsekuensinya akan negatif.

Sementara proposal

perdagangan karbon memiliki kebaikan, debat mengenai jenis pasar ini tidak terelakkan karena pasar ini melibatkan penemuan kompromi antara laba, keadilan, dan ekologi. Di bawah Kyoto Protocol banyak jenis mekanisme yang berbeda yang dapat mengakomodasi perdagangan karbon. Pada bentuk yang paling dasar, sebuah negara yang sulit menurunkan emisi GHG untuk memenuhi targetnya dapat membayar pihak lain untuk mengurangi emisinya dengan jumlah yang sesuai.

Di Kyoto, Uni Eropa awalnya menentang jual-beli seperti itu, tetapi

kemudian nelunak setelah ditunjukkan bahwa mekanisme itu tepat sama diantara negara-negara anggotanya sendiri. Joint Implementation (JI, pelaksanaan bersama) merupakan sistem perdagangan yang berbeda. Dengan pendekatan ini, sebuah perusahaan atau negara akan melaksanakan sebuah proyek untuk mengurangi emisi GHG atau

10

menyimpan karbon di negara lain, dan menerima ”kredit karbon” sebagai imbalan. Pada dasarnya, proyek JI akan menggunakan uang dan teknologi dari negara maju, tetapi dilaksanakan di negara berkembang, dimana biaya biasanya lebih murah. Perdagangan karbon yang berlangsung saat bersifat global, dampak yang dihasilkan berupa pengurangan emisi juga bersifat global, namun secara ekonomi bersifat lokal. Eksternalitas yang ditimbulkan oleh keikutsertaaan dalam perdagangan karbon ditanggung oleh masyarakat setempat (Schleiniger, 2004). 2.2.

Perdagangan Perkayuan Indonesia Studi yang dilakukan Sinaga (1989) berfokus pada industri produk kayu

Indonesia menjelaskan hubungan penawaran, permintaan dan harga pada berbagai skenario kebijakan.

Model yang dibangun berdasarkan data deret

waktu (1967-1982). Simulasi berbagai kebijakan dilakukan untuk mengevaluasi dampak alternatif kebijakan intervensi pada perekonomian Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan pembatasan ekspor log tidak mencapai tujuannya. Ekspor dapat meningkat dengan kebijakan penghapusan pajak ekspor atau devaluasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, namun dengan mengorbankan konsumen domestik. Rekomendasi yang dikemukakan adalah melakukan kombinasi kebijakan yang sesuai, yaitu embargo ekspor log oleh negara Asean dan penghapusan pajak ekspor kayu olahan, jika ada integrasi vertikal proses produksi kayu secara simultan. Model industri yang dibangun menyentuh areal konsesi yang dipanen, hasil dugaannya menunjukkan hubungan positif terhadap harga log domestik dan negatif terhadap tingkat suku bunga. Respons areal yang dipanen ini terhadap harga dalam jangka pendek 0.275 dan dalam jangka panjang 0.715, sementara terhadap tingkat suku bunga -0.195 dalam jangka pendek dan -0.505 dalam jangka panjang.

11

Dengan model Constant Market Share (CMS), Djaja (1992) melihat kinerja ekspor dan permintaan ekspor terhadap perkayuan Indonesia. Hasilnya menyarankan agar dapat memperoleh laba yang lebih besar dari perdagangan dunia perkayuan, strategi ekspor Indonesia harus bergeser ke komoditi yang banyak dinikmati, seperti kertas dan paperboard. Harga permintaan ekspor kayu gergajian Indonesia stabil dan elastis di 9 dari 17 negara tujuan ekspor yang diteliti. Hal ini menunjukkan kebijakan harga yang aktif bisa menaikkan penetrasi pasar, sedangkan kayu lapis, hanya 6 dari 17 negara tujuan ekspor yang memiliki harga permintaan elastis. Ini berarti kebijakan harga ekspor kayu lapis Indonesia tidak berdampak besar terhadap kenaikan pendapatan ekspor. Keseimbangan pasar bubur kayu Sumatera ditunjukkan oleh persamaan identitas market clearing, dimana jumlah bubur kayu yang diproduksi di Sumatera (QSP1t , m3) sama dengan jumlah permintaan bubur kayu Sumatera (QDP1t, m3). Nilai dugaan yang diperoleh sebesar 164171369 m3 . Manurung dan Bungiorno (1992) menggunakan spatial equilibrium market model dengan data cross-section dan time-series memprediksi dampak pajak impor yang diterapkan Masyarakat Eropa terhadap perdagangan internasional kayu tropis.

Hasilnya menunjukkan penetapan pajak impor ad valorem yang

diterapkan sebagian besar akan ditanggung oleh Masyarakat Eropa sendiri. Para importir yang bukan anggota Masyarakat Eropa diuntungkan; membayar lebih sedikit dan mengimpor lebih banyak, cukup untuk mengkompensasikan hampir seluruh penurunan jumlah impor Masyarakat Eropa, sehingga dampak bersih pada ekspor total dunia kayu tropis tak berarti. Penelitian WRI menunjukkan, penghapusan tariff mengurangi biaya perdagangan meningkatkan konsumsi perkayuan. Peningkatan dalam konsumsi meningkatkan permintaan perkayuan. Namun kenaikan ini kecil pada tingkat global. Ini karena tarif umumnya sudah rendah, (kecuali untuk Cina) dan

12

permintaan perkayuan sebagian besar domestik dan terutama dikendalikan oleh pendapatan, laju pertumbuhan penduduk, teknologi baru, dan tingkat bunga yang terutama mempengaruhi pembangunan perumahan dan industri konstruksi. (Sizer, Downes, Kaimowitz, 1999).

Lebih lanjut dikemukakan, dampak harga

perkayuan lebih besar terhadap penawaran daripada permintaan. Berarti, meskipun perdagangan bebas memungkinkan eksportir bisa menetapkan harga lebih tinggi, pertumbuhan penawaran global hanya sedikit. Tetapi pada beberapa negara dampaknya cukup besar. Wilayah dengan respons yang besar terhadap harga memperoleh kenaikan pangsa pasar.

Pengurangan tarif di Indonesia,

Malaysia dan Kanada meningkatkan produksi kayu. Suatmojo (2001) dan Timotius (2002), mengkaji dampak liberalisasi perdagangan terhadap kinerja industri pengolahan kayu hulu Indonesia dengan menggunakan data deret waktu, dengan membangun model ekonometrika dan melakukan peramalan dengan simulasi berbagai skenario kebijakan. Adi (2007) mengetengahkan

liberalisasi

perdagangan

dapat

memperparah

tekanan

terhadap hutan apabila aspek kelembagaan yang ada belum tertata dengan baik. Pada kajiannya, dia menunjukkan besar dorongan dari perdagangan produkproduk yang berbasis lahan luas terhadap berkurangnya luas hutan, yang merupakan informasi penting yang perlu dibahas untuk memberikan arah dalam perhitungan harga karbon.

13

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1.

Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah bahwa antara

karbon dan perkayuan saling menggantikan, sehingga diperlukan informasi berapa keseimbangan di antara keduanya yang memaksimumkan penerimaan negara.

Dengan demikian, perlu diketahui bagaimana keragaan industri

perkayuan di Indonesia, dan menghitung penerimaan negara dan kesejahteraan yang diperoleh dari kegiatan industri tersebut. Di sisi lain, juga perlu dilakukan eksplorasi pasar karbon yang tersedia untuk kegiatan sequestrial melalui hutan dan/atau lautan, yang kemudian diperbandingkan, untuk memperoleh komposisi optimal antara kredit karbon dan perkayuan. 3.2.

Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan melalui tahapan kegiatan studi literatur, pengambilan

data, analisis data, dan pelaporan. •

Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan hipotesis dan gambaran umum mengenai kondisi yang ada mengenai perdagangan karbon di Indonesia



Pengambilan data dilakukan dengan survey primer. Survey primer pada sektor kehutanan dilakukan dengan cara telesurvey, yaitu menggunakan telpon untuk menghubungi responden dan mailsurvey, yaitu mengirimkan kuesioner kepada responden melalui pos. Cara ini akan mengurangi biaya pengambilan data, namun juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: responden yang diwawancarai kurang mewakili perusahaan dan kurang menguasai permasalahan, respons balik yang diharapkan tidak terpenuhi. Responden yang dituju adalah perwakilan dari perusahaan-perusahaan yang

14

berkecimpung di bidang industri perkayuan di Indonesia. Adapun jumlah responden yang dituju adalah sebesar 500 responden/perusahaan yaitu Indonesia bagian Barat (Sumatera dan Kalimantan). •

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ekonometrik dengan model berbentuk persamaan simultan. Mode Operasi untuk model yang akan digunakan terdiri dari:

1. operasi sektor parsial (sektor kehutanan) dengan partial market clearing 2. model nasional dengan full market clearing Kebutuhan data 1. data ekonomi dan demografi 2. keseimbangan industri 3. deskripsi teknologi Asumsi yang digunakan:

1. Wilayah Indonesia yang luas dibagi menjadi 4 wilayah geografis, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku-Papua. 2. setiap wilayah beroperasi secara independent

3. menghasilkan barang yang diklasifikasikan sebagai dapat diperdagangkan (tradable), 4. Untuk Tradable, menghitung penawaran dan permintaan untuk semua sektor produksi industri perkayuan. 5. Semua pasar pada posisi keseimbangan

6. Mode operasi adalah terjadi market clearing paling sedikit pada semua pasar. 7. Tidak ada pasar dengan harga dunia tetap

8. Mencari rangkaian harga dunia yang membuat semua pasar dunia clear.

15

Referensi dan Kalibrasi 1. Penelitian-penelitian yang dilaporkan dengan bentangan waktu 1990 sampai 2020

2. Referensi dikalibrasi pada proyeksi regional 3. Kalibrasi lainnya, proyeksi emisi karbon dunia, populasi, Gross Domestik Probuct, konsumsi-produksi perkayuan, energi dan listrik. Skenario-skenario pemenuhan dan mitigasi a. Tidak diijinkan perdagangan karbon. 1.

Setiap wilayah secara individu memenuhi batas emisinya.

2.

Industri perkayuan melakukan usaha seperti biasa (business as usual)

3.

Pajak karbon ditetapkan untuk tiap wilayah untuk mengurangi emisi agar sesuai dengan hak emisi yang dialokasikan

4.

Biaya mitigasi Non-CO2 GHG dihitung sebaai proporsi biaya mitigasi karbon bahan baker minyak

5.

Biaya dibawah scenario tidak diijinkan perdagangan pada tahun 2010: Australia - $ 117/tonne CE Amerika Serikat - $ 168/tonne CE Jepang - $ 458/tonne CE 6. Menangkap dan menyimpan karbon (aforestasi, reforestasi) b.

1.

Melakukan Perdagangan Karbon Wilayah hanya boleh melepaskan lebih banyak karbon dari yang

dijatahkan hanya apabila wilayah lain bersedia menjual jumlah yang sama dengan jumlah yang dilepaskan. Wilayah yang menjual mengurangi emisi domestiknya lebih dari target yang ditentukan

16

2.

Isu penting: Perilaku dan kekuatan pasar, peraturan berdagang, pasar yang tidak lengkap (incomplete market) 3.3. Pemodelan Model Operasional: Yt = α 0 + α 1 Yt * + α 2 Xt + α 3 Xt-j + α 4 Zt + α 5 Zt-j + α 6 Yt-j +

µ t Di mana: Yt

=

Yt*

=

Xt

=

Xt-j

=

Zt Zt-j Yt-j

= = =

µ t α0 α1 ….α 6

= = =

peubah endogen pada periode t (current endogenous variables) peubah endogen penjelas pada periode t (explanatory current endogenous variabels) peubah eksogen pada periode t (current exogenous variables) peubah eksogen bedakala t-j (lagged exogenous variables) peubah kebijakan (policy variables) peubah kebijakan bedakala t-j (lagged policy variables) pubah endogen bedakala t-j (lagged endogenous variables) faktor kesalahan (error term) konstanta (intercept) parameter

Model Industri Perkayuan Indonesia XSTjt

=

f (PWjt,TXXjt , QSTjt, RERIt, XSTjt-1) ……………………..

1

PWjt

=

f (XSWjt , IMWjt, PWjt-1) ……………………………………

2

QSTjt

=

∑ QSjit………………………………………………………..

3

IMTjt

=

f (PWjt, QDTjt, RERIt, TXMjt, IMTjt-1) ……………………...

4

QDTjt

=

∑ QDjit………………………………………………………

5

SSTjt

=

QSTJt + IMTJt ……………………………………………….

6

SDTJt

=

QDTJt + XSTJt ………………………………………………

7

SSTJt

=

SDTJt…………………………………………………………

8

QSjit

=

f (PDjt, PLDt, IRjt, IMTjt, QSjit-1) ……………………..........

9

QDjit

=

f (PDjt, XSTjt , POPit, GDPit, QDjit-1) ……………………...

10

QSjit

=

QDjit ………………………………………………………..

11

CQjit

=

12

QDLit

=

QSjit X RWEj ………………………………………………. ΣCQjit................................................................................... ..

13

17

QSLit

=

QQLit + QIPKit + QILLit …………………………..............

QQLit

=

f (PLWt, IRt, FRTXt, AACit, ) ……………..........…………

QIPKit

=

(AECit + ATRit ) * PRit ……………………………………..

QILLit

=

QDLit - QSLit ……………………………………………….

XSLT t

=

f (PLWt , PLDt, TXLXt, RERIit, XSLTt-1)..........................

IMLTt

=

PLWt

=

PLDt

=

SSLTt

=

QDLTt

=

ΣQSLTt + IMLTt ..…………….………………………… ΣQDLjit............................................................................

SDLTt

=

QDLTt + XSLTt…………………………………………….

ALit

= =

f (QQLit, DRt, IHHt, IRt, PRt, z, ALit-1)……………………

25

f (PPOt, PCAt, PRBt, PKOt, PLDt, IRt, PRt, POPit, GDPt, AECit-1) …………………………………………………

26

AECit

14 15 16 17 18

f (PLWt , TXLMt, RERIit, QSLTt IMLTt-1)..........................

19

f (IMLWt , XSLWt, PLWt-1) ……………………………….. f (QSLTt, IMLTt , XSLTt, PLDt-1) ………………………….

20 21 22 23 24

DFCit

=

DALit+ DAECit+ DATRit …………………………………

27

DALit

=

ALit--1 - ALit ………………………………………………

DAECit

=

AECit-1 – AECi t …………………………………………

28 29

DATRit

=

ATRit-1 – ATRit …………………………………………

30

Di mana : AACt = AECit = ALit ATRt

= =

CQjit

=

DAECt

=

DALt

=

DATRt

=

DFCt GDPit IMLTt IMTjt IMTjt-1

= = = = =

IMWjt INT

= =

jatah tebang tahunan pada tahun t, m3 luas tutupan hutan yang dibuka untuk perkebunan (ha) luas areal berhutan pada areal konsesi (ha) luas tutupan hutan yang dibuka untuk areal transmigrasi (ha) Konsumsi kayu bulat industri produk j di wilayah i pada tahun t (m3) selisih areal berhutan pada satu periode dengan periode sebelumnya di areal perkebunan selisih areal berhutan pada satu periode dengan periode sebelumnya di areal konsesi HPH selisih areal berhutan pada satu periode dengan periode sebelumnya di areal transmigrasi proses deforestasi Produk domestik bruto wilayah i pada tahun t (milyar Rupiah) impor total log Indonesia pada tahun t (m3) Impor total produk j Indonesia pada tahun t (m3) Impor total produk j Indonesia pada 1 tahun sebelum tahun t (m3) Impor dunia produk j pada tahun t (m3) Indeks nilai tukar nominal rupiah terhadap dolar Amerika

18

IRjt PCA PDjt PKO PLDt PLWt POPit PPO PRB PWjt PWjt-1

= = = = = = = = = = =

QDjit QDjit-1

= =

QDLTt QDTjt QILL QIPK

= = =

QQL QSLit QSjit QSjit-1 QSTjt RERIt RWEj SDLTt SDTJt SSLTt SSTJt TXMjt TXXjt XSLT t XSTjt XSTjt-1 XSWjt J

= = = = = = = = = = = = = = = = = =

I

=

Z

=

Tingkat suku bunga riil Indonesia yang berlaku pada tahun t %) harga riil cacao (Rp/IHK/ton) Harga riil domestik produk j pada tahun t (Rp/IHK/ m3) harga riil kopi (Rp/IHK/ton) Harga riil domestik kayu bulat pada tahun t (Rp/IHK/ m3) harga riil log dunia pada tahun t(US $/CPI/m3) Jumlah penduduk wilayah i pada tahun t (jiwa) harga riil minyak sawit (Rp/IHK/ton) harga riil rata-rata karet pada tahun t(Rp/IHK/ton) Harga riil dunia produk j pada tahun t (US$/CPI/ m3) Harga riil dunia produk j pada 1 tahun sebelum tahun t (US$/CPI/ m3) Permintaan produk j di wilayah i pada tahun t (m3) Permintaan produk j di wilayah i pada 1 tahun sebelum tahun t (m3) Jumlah permintaan log total (m3) Permintaan domestik produk j Indonesia pada tahun t (m3) kayu curian, hasil pembalakan ilegal (M3) kayu ipk, dari hasil pembalakan pembukaan hutan konversi(m3) produksi log HPH (M3) Jumlah log total yang tersedia(m3) Penawaran produk j di wilayah i pada tahun t (m3) Penawaran produk j pada tahun t (m3) Produksi total produk j Indonesia pada tahun t (m3) Nilai tukar riil rupiah terhadap dolar (Rp/US$)/INT Roundwood Equivalent, nilai setara kayu bulat untuk produk j Penawaran total log Indonesia pada tahun t (m3) Permintaan total produk j Indonesia pada tahun t (m3) Penawaran total log Indonesia pada tahun t (m3) Penawaran total produk j Indonesia pada tahun t (m3) Tarif impor Indonesia untuk produk j pada tahun t (%) Tarif ekspor Indonesia untuk produk j pada tahun t (%) Ekspor log Indonesia pada tahun t (m3) Ekspor produk j Indonesia pada tahun t (m3), Ekspor produk j Indonesia pada 1 tahun sebelum tahun t (m3) Ekspor dunia produk j pada tahun t (m3) jenis PBK yaitu S = kayu gergajian; P = kayu lapis, U= pulp O = lainnya. wilayah yaitu 1=Sumatera; 2 = Kalimantan; 3=Sulawesi; 4=Maluku-Papua peubah kebijakan

Hasil estimasi model industri perkayuan kemudian dimasukkan ke dalam model perdagangan karbon berikut: Model Perdagangan Karbon CRAR FRSACS FRSACV

= = =

f (PPOW, PLW, GDPP, CRAR1); f (PLW , IR, GDPP, FRTX, FRSACS1); f (PAG, IR, GDPP, FRSACV1);

19

FAAV TREV TCOST RENTE

= = = =

CRAR + FRSACS + FRSACV; FAAV * WTP; FAAV * PLCO; TREV – TCOST - TTLOSS

Dimana: TTLOSS RENTE CRAR FRSACS FRSACV FAAV TREV WTP PLCO PPOW PLW GDDP

= = = = = = = = = = = =

kerugian karena kehilangan peluang perdagangan kayu Keuntungan dari perdagangan karbon lahan kritis yang tersedia ambang batas tutupan hutan konsesi ambang batas tutupan hutan konversi luas hutan yang tersedia Penerimaan total Willingness to pay negara-negara maju Biaya aforestasi, reforestasi Harga minyak sawit dunia Harga kayu bulat dunia Produk domestik bruto per kapita

20

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Perkembangan Perdagangan Karbon Dampak negatif terkait dengan perubahan iklim terjadi di berbagai

belahan bumi. Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Bangladesh, Filipina, Vietnam, serta negara-negara di Amerika Tengah dan menelan korban ribuan jiwa diklaim berkaitan langsung dengan perubahan iklim. Sebagian dari negaranegara kepulauan, seperti Fiji dan Maladewa, dilaporkan tenggelam bila permukaan air laut meninggi. Sejumlah ahli melaporkan peningkatan jumlah kematian sekitar 50 persen untuk setiap dekade sejak 1950-an dan kerugian ekonomi sebesar 14 kali lipat dibandingkan pada 1950-an, yaitu US$ 50-100 miliar. Di Indonesia, kegagalan panen meningkat tiga kali lipat pada periode 1991-2000 dibanding 1981-1990 sebagai akibat dari kemarau panjang, merebaknya hama dan penyakit, serta pergeseran musim. Dari 2001 hingga 2004, tercatat 530 kejadian banjir. Sebagai negara kepulauan dengan penduduk yang banyak menggantungkan hidupnya pada alam, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Petani semakin sulit menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Nelayan pesisir harus menghadapi cuaca yang tidak menentu, gelombang tinggi, dan tempat tinggal mereka terancam tenggelam bila terjadi kenaikan permukaan air laut. Tingginya konsentrasi gas karbon di atmosfer merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global dan penanganannya perlu dilakukan dengan segera. Bila tidak, IUCN memperkirakan, pada 2050 korban jiwa akibat bencana iklim bisa mencapai 100.000 orang per tahun dan kerugian ekonomi dunia dapat

21

mencapai US$ 300 miliar per tahun. Dampak negatif perubahan iklim akan dirasakan berbeda bagi negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang akan membayar kerugian lebih tinggi dan beban yang ditanggung semakin berat, karena belum mempunyai teknologi yang memadai untuk mengatasi dan beradaptasi dengan berbagai perubahan. Hutan

diyakini

mempunyai

kemampuan

menyerap

karbon

dan

menstabilkan iklim. Karena itu, pencegahan terhadap deforestasi dan perusakan hutan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh. Hingga saat ini, belum ada mekanisme insentif atau kompensasi terhadap upaya pencegahan deforestasi dan degradasi di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change. REDD diusulkan sebagai mekanisme insentif bagi pemerintah dan masyarakat yang komit terhadap pengurangan gas rumah kaca pasca-Protokol Kyoto pada 2012. Dalam COP ke-13 di Bali, Indonesia mencari dukungan agar mekanisme insentif untuk pengatasan peningkatan suhu global dan aplikasinya setelah Protokol Kyoto berakhir mendapat pengesahan internasional. Dari skema ini, diperkirakan sekitar US$ 2 miliar per tahun (13,33 persen) potensi pasar REDD dapat diserap Indonesia untuk mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Tentunya dana yang besar ini akan meminta tanggung jawab serius.

22

Related Documents