Purnama mengatakan, nengenai kasus Yusri, jika benar seperti dilaporkan, seharusnya pihak RSUZA tidak diperbolehkan membebankan biaya perawatan, operasi, dan sebagainya kepada korban. Korban tetap harus dijamin pelayanan kesehatannya. Langkah yang harus dilakukan, menurut Purnama adalah biaya pelayanan kesehatannya dilaporkan oleh pihak RSUZA kepada BPJS Kesehatan kemudian BPJS meneruskan laporan tersebut kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk mendapatkan klaim pembayaran pelayanan kesehatan terhadap korban. Dijelaskan Purnama, pada Mei 2015 antara LPSK dan BPJS Kesehatan sudah pernah membuat MoU. Artinya, BPJS juga tidak boleh meminta pembayaran kepada korban namun melakukan pengajuan klaim kepada LPSK dengan melampirkan salah satunya laporan polisi yang telah dibuat oleh keluarga korban. “Kami juga telah berkonsultasi dengan Pengacara PDIB Muhammad Reza Maulana, SH. Beliau juga menyampaikan persoalan teknis administratif itu telah jelas diatur di dalam dua peraturan tersebut (BPJS dan LPSK) sehingga yang perlu dilakukan adalah koordinasi saja, sehingga tidak menimpakan tangga kepada korban yang sedang dalam tahap penyembuham,” kata Purnama. Ketentuan tentang koordinasi antarlembaga dan dalam pelaksanaan pelayanan dalam keadaan gawat darurat, lanjut Purnama bisa dibaca ketentuan selanjutnya dalam Perpres tersebut yaitu Pasal 53, 63 dan Pasal 79 Perpres 82/2018 sehingga BPJS harus bertindak aktif dan kritis dalam menangani permasalah seperti ini dan tidak setengah-setengah membaca peraturan tetapi bacalah peraturan dengan lengkap.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Tak Ditanggung BPJS, Korban Bacok Harus Bayar ke RSUZA Rp 17,8 Juta, http://aceh.tribunnews.com/2018/12/12/tak-ditanggung-bpjs-korbanbacok-harus-bayar-ke-rsuza-rp-178-juta?page=2.
Editor: bakri