BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki jumlah kendaraan bermotor yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini disebabkan semakin tingginya aktivitas masyarakat yaang membutuhkan transportasi. Gas yang ditimbulkan kendaraan bermotor menimbulkan polusi udara sebesar 70 – 80 %. Dari Industri menyumbang sebesar 20 – 30%. Polusi udara terjadi dimana-mana diakibatkan karena asap kendaraan, asap industri, pembakaran sampah dan lain-lain. Polusi udara kendaraan bermotor berasal dari sisa hasil pembakaran bahan bakar yang tidak habis terurai atau terbakar sempurna. Unsur yang terdapat pada gas yang terbuang antara lain CO, NO2, HC, C, H2, CO2, H2O, dan N2. Gas yang dihasilkan banyak yang bersifat mencemari lingkungan, dan mengganggu kesehatan hingga menimbulkan kematian. Emisi yang dihasilkan oleh internal mesin pembakaran menjadi perhatian utama karena dampak negatifnya terhadap kualitas udara, kesehatan manusia, dan pemanasan global. "Emisi" adalah istilah kolektif yang digunakan untuk menggambarkan gas dan partikel yang tidak diinginkan yang dilepas ke udara atau dipancarkan oleh berbagai sumber, jumlah dan jenisnya berubah dengan perubahan dalam aktivitas industri, teknologi, dan sejumlah faktor lainnya (Engine, 2013). Menurut A.S. Environmental Protection Agency (EPA) apapun yang berkaitan dengan emisi dapat berbahaya bagi masyarakat luas. EPA menganggap karbon monoksida (CO), timbal (Pb), nitrogen dioksida (NO2), ozon (O3), partikulat (PM), dan sulfur dioksida (SO2) sebagai polutan primer, yang disebut Kriteria Polutan. Gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh emisi kendaraan bermotor adalah gangguan saluran pernafasan, sakit kepala, iritasi mata, asma, ispa, gangguan fungsi paru dan penyakit jantung. Orang yang dalam pekerjaannya selalu terpapar oleh substansi tertentu, seperti karbonmonoksida, timbal, sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, maka substansi tersebut akan masuk melalui hidung dan atau rongga mulut yang selanjutnya
dapat mengendap di paru sehingga dapat mengakibatkan perubahan fungsi paru-paru terutama rasa sesak napas (Kurnia Dwi Cahya Rose, 2014).
1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Terjadinya Emisi Gas Buang oleh Kendaraan Transportasi Tidak ada yang bisa menepis emisi gas buang berupa asap knalpot adalah akibat terjadinya proses pembakaran yang tidak sempurna, dan mengandung timbal/timah hitam (Pb), suspended particulate matter (SPM), oksida nitrogen (NOx), oksida sulfur (SO ), hidrokarbon (HC), karbon 2
monoksida (CO), dan oksida fotokimia (Ox)”. Selanjutnya, emisi gas buang yang paling signifikan yaitu dari kendaraan bermotor ke atmosfer berdasarkan massa, adalah gas karbondioksida (CO ), dan uap air (H O) yang dihasilkan 2
2
dari pembakaran bahan bakar yang berlangsung sempurna yang dapat dicapai dengan tersedianya suplai udara yang berlebih. Namun demikian, kondisi pembakaran yang sempurna dalam mesin kendaraan, jarang sekali terjadi (Ismiyati, 2014).
2.2 Konsentrasi Emisi Kendaraan Bermotor Konsentrasi parameter emisi kendaraan bermotor yang telah diukur oleh Balai Lingkungan Hidup (BLH) meliputi parameter karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2). Dari ketiga parameter tersebut diketahui dari hasil penelitian bahwa tidak ada parameter yang memiliki konsentrasi tinggi saat malam hari. Seperti halnya yang ditulis oleh Kusminingrum dan Gunawan (2008) bahwa pada malam hari tekanan udara cenderung lebih stabil daripada waktu pagi, siang ataupun sore hari. Pada malam hari terjadi pemancaran radiasi matahari yang diserap oleh bumi, sehingga temperatur permukaan bumi lebih tinggi dari pada di udara, keadaan ini mengakibatkan tekanan di permukaan bumi rendah sehingga udara akan bergerak ke permukaan bumi sampai dengan kondisi udara cukup stabil (Kurnia Dwi Cahya Rose, 2014).
2.3 Emisi gas buangan kendaraan bermotor Emisi gas buang merupakan polutan yang mengotori udara yang dihasilkan oleh gas buang kendaraan. Gas buang kendaraan yang dimaksud disini adalah gas sisa proses pembakaran yang dibuang ke udara bebas melalui saluran buang kendaraan. Terdapat emisi pokok yang dihasilkan kendaraan, yaitu;
2.3.1 Konsentrasi karbon monoksida (CO) Karbon monoksida yang keluar dari knalpot akan berada di udara ambient, jika terhirup oleh manusia maka molekul tersebut akan masuk kedalam saluran pernapasan terus masuk ke dalam paru – paru dan kemudian akan menempel pada haemoglobin darah membentuk carboxy Haemoglobin (COHb). Semakin tinggi konsentrasi CO yang terhirup oleh manusia maka semakin fatal resiko yang diterima oleh manusia tersebut, bahkan dapat menyebabkan kematian. Sifat CO yang berupa gas yang tidak berbau dan tidak berwarna serta sangat toksik tersebut, maka CO sering disebut sebagai silent killer. Efek terhadap kesehatan gas CO merupakan gas yang berbahaya untuk tubuh karena daya ikat gas CO terhadap Hb adalah 240 kali dari daya ikat CO terhadap O2. Apabila gas CO darah (HbCO) cukup tinggi, maka akan mulai terjadi gejala antara lain pusing kepala (HbCO 10 persen), mual dan sesak nafas (HbCO 20 persen), gangguan penglihatan dan konsentrasi menurun (HbCO 30 persen) tidak sadar, koma (HbCO 40-50 persen) dan apabila berlanjut akan dapat menyebabkan kematian. Pada paparan menahun akan menunjukkan gejala gangguan syaraf, infark otak, infark jantung dan kematian bayi dalam kandungan. Gas CO yang tinggi di dalam darah dapat berasal dari rokok dan asap dari kendaraan bermotor. Terhadap lingkungan udara dalam ruangan, gas CO dapat pula merupakan gas yang menyebabkan building associated illnesses, dengan keluhan berupa nyeri kepala, mual, dan muntah – muntah. Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau, mudah terbakar dan sangat beracun. Merupakan hasil utama pembakaran karbo monoksida dan senyawa yang mengandung karbon monoksida yang tidak lengkap. Agar kadar emisi gas buang CO yang keluar dari knalpot dapat memenuhi standart baku mutu, maka perlu dilakukan upaya pengendalian antara lain dengan modifikasi mesin pembakar, pengembangan reaktor sistem pembuangan gas buang sehingga subtitusi bahan bakar untuk bensin menghasilkan polutan dengan konsentrasi rendah selama pembakaran, yaitu melakukan inovasi pada knalpot dengan penambahan glass wool, arang aktif, air atau bahan-bahan lain yang bersifat adsorben atau absorben (Dicky Maryanto, 2009). 2.3.2 Konsentrasi Timbal (Pb) Logam Pb yang terkandung dalam bensin ini sangatlah berbahaya, sebab pembakaran bensin akan mengemisikan 0,09 gram timbal tiap 1 km. Efek yang
ditimbulkan tidak main-main. Salah satunya yaitu kemunduran IQ dan kerusakan otak yang ditimbulkan dari emisi timbal ini. Pada orang dewasa umumnya ciri -ciri keracunan timbal adalah pusing, kehilangan selera, sakit kepala, anemia, sukar tidur, lemah, dan keguguran kandungan. Selain itu timbal berbahaya karena dapat mengakibatkan perubahan bentuk dan ukuran sel darah merah yang mengakibatkan tekanan darah tinggi. Logam Pb yang mencemari udara terdapat dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk gas dan partikel-partikel. Gas timbal terutama berasal dari pembakaran bahan aditif bensin dari kendaraan bermotor yang terdiri dari tetraetil Pb dan tetrametil Pb. Partikelpartikel Pb di udara berasal dari sumber-sumber lain seperti pabrik-pabrik alkil Pb dan Pb-oksida, pembakaran arang dan sebagai-nya. Polusi Pb yang terbesar berasal dari pembakaran bensin, dimana dihasilkan berbagai komponen Pb, terutama PbBrCl dan PbBrCl.2PbO. Emisi Pb ke udara dapat berupa gas atau partikel sebagai hasil samping pembakaran yang kurang sempurna dalam mesin kendaraan bermotor. Semakin kurang sempurna proses pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor, maka semakin banyak jumlah Pb yang akan di emisikan ke udara. Senyawa yang terdapat dalam kendaraan bermotor yaitu PbBrCl, PbBrCl.2PbO, PbCl2, Pb(OH)Cl, PbBr2, dan PbCO3.2PbO, diantara senyawa tersebut PbCO3.PbO merupakan senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Gambar 2-1 menunjuk-kan alur pajanan Pb dalam lingkungan (Gusnita, 2012). 2.3.3 Konsentrasi nitrogen dioksida (NO2) Gas nitrogen oksida ada dua macam yaitu: gas nitrogen monoksida (NO) dan gas nitrogen dioksida (NO2). Keduanya mempunyai sifat berbeda dan sangat berbahaya bagi kesehata. Gas NO sulit diamati secara visual karena tidak berbau dan tidak berwarna. Sifat racun gas ini pada konsentrasi tinggi menyebabkan gangguan pada syaraf sehingga menimbulkan kejang-kejang, bila keracunan terus berlanjut mengakibatkan kelumpuhan. Sedangkan untuk gas NO2 empat kalim lebih berbahaya dari pada gas NO. Organ tubuh yang paling peka terhadap gas NO2 adalah paru-paru, paru-paru yang terkontaminasi dengan NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat mengakibatkan kematian. Pada konsentrasi rendah gas NO2 juga menyebabkan iritasi pada mata yang meyebabkan mata perih dan berair (Ismiyati, 2014).
2.3.4 Konsentrasi ozon (O3) Ozon (O3) merupakan molekul kimia dari 3 atom yang saling melekat dan merupakan bahan yang berenergi, bila ozon bersinegri dengan bahan maka dengan cepat mengeluarkan energi kimia yang kuat, dan karena bentuk molekul ozon adalah energi solar (matahari) dengan reaksi photokimia dari polutan maka akan meningkatkan konsentrasi ozon yang puncaknya terjadi pada tengah hari, Bila telah mencapai 0,08 ppm akan menganggu kesehatan bila kondisi tersebut berlanjut sampai delapan jam. Untuk mengantisipasi polusi udara akibat menipisnya lapisan ozon maka langkah-langkah yang dapat dilakukan dengan mengurangi atau meniadakan penggunaan Chlorofluorocarbon (CFC) pada produksi industri-industri, misalnya pada kemasan aerosol dan mesin pendingin sehingga diperlukan modifikasi mesin pengguna CFC dari alat-alat tersebut (Basri, 2010). 2.3.5 Konsentrasi partikulat (PM10) PM10 adalah debu partikulat yang terutama dihasilkan dari emisi gas buangan kendaraan. Sekitar 50% - 60% dari partikel melayang merupakan debu berdiameter 10 μm. Debu PM10 ini bersifat sangat mudah terhirup dan masuk ke dalam paru-paru, sehingga PM10 dikategorikan sebagai Respirable Particulate Matter ( RPM ). Akibatnya akan mengganggu sistem pernafasan bagian atas maupun bagian bawah (alveoli). Pada alveoli terjadi penumpukan partikel kecil sehingga dapat merusak jaringan atau sistem jaringan paru-paru, sedangkan debu yang lebih kecil dari 10 μm, akan menyebabkan iritasi mata. (Devianti Muziansyah, 2015). 2.3.6 Konsentrasi sulfur dioksida (SO2) Salah satu gas pencemar udara yang berbahaya tersebut adalah gas SO2, pencemaran Sox menimbulkan dampak terhadap manusia dan hewan, kerusakan pada tanaman terjadi pada kadar sebesar 0,5 ppm. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistim pernapasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1–2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernapasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit
tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah (Kurnia Dwi Cahya Rose, 2014) .
2.3.7 Konsentrasi hidrokarbon (HC) Senyawa Hidro karbon (HC), terjadi karena bahan bakar belum terbakar tetapi sudah terbuang bersama gas buang akibat pembakaran kurang sempurna dan penguapan bahan bakar. Senyawa hidro karbon (HC) dibedakan menjadi dua yaitu bahan bakar yang tidak terbakar sehingga keluar menjadi gas mentah, serta bahan bakar yang terpecah karena reaksi panas berubah menjadi gugusan HC lain yang keluar bersama gas buang. Senyawa HC akan berdampak terasa pedih di mata, mengakibatkan tenggorokan sakit, penyakit paru-paru dan kanker. Pada mesin, emisi Hidrokarbon (HC) terbentuk dari bermacam-macam sumber. Tidak terbakarnya bahan bakar secara sempurna, tidak terbakarnya minyak pelumas silinder adalah salah satu penyebab munculnya emisi HC. Emisi HC pada bahan bakar HFO yang biasa digunakan pada mesin-mesin diesel besar akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan mesin diesel yang berbahan bakar Diesel Oil (DO). Emisi HC ini berbentuk gas methan (CH4) (Novita Eka Jayanti, 2014).
2.4 Baku Mutu Udara Ambien Nasional Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara :
(Sumber: PerMenLH Nomor 12, 2010) Catatan: Nomor 10 sampai dengan 13 hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan Industri kimia dasar Contoh : Industri petrokimia dan industri pembuatan asam sulfat HC yang dimaksud adalah Non Methane HC
2.5 Dampak Terjadinya Pencemaran Udara Terhadap Kehidupan dan Lingkungan Sebagaimana kita ketahui bersama, pencemaran udara atau perubahan salah satu komposisi udara dari keadaan normal, mengakibatkan terjadinya perubahan suhu dalam kehidupan manusia. Pembangunan transportasi yang terus dikembangkan menyusul dengan permintaan pasar, ternyata telah mendorong terjadinya bencana pembangunan. Saat ini, kita semua telah mengetahui bahwa pengaruh polusi udara juga dapat menyebabkan pemanasan efek rumah kaca bakal menimbulkan pemanasan global atau (global warming). Tentunya, hal ini merupakan sebuah peringatan kepada para pemilik kebijakan industri dan kebijakan transportasi agar melihat kepada masalah udara di sekitarnya. Proses pembangunan yang ada di Indonesia dalam konteks transportasi, ternyata, telah menimbulkan bencana pembangunan yang pada akhirnya bermuara menjadi permasalahan ekologis. Akibatnya, udara sebagai salah satunya commons yang open access menjadi berbahaya bagi kesehatan manusia dan alam sekitarnya (Ismiyati, 2014). 2.6 Upaya untuk Mengurangi Dampak Polusi/Pencemaran Udara Upaya pengendalian pencemaran udara akibat kendaraan bermotor yang mencakup upayaupaya pengendalian baik langsung maupun tidak langsung akan dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan bermotor secara efektif antara lain : 1. Mengurangi jumlah mobil lalu lalang. Misalnya dengan jalan kaki, naik sepeda, kendaraan umum, atau naik satu kendaraan pribadi bersama teman-teman (car pooling). 2. Selalu merawat mobil dengan saksama agar tidak boros bahan bakar dan asapnya tidak mengotori udara. 3. Meminimalkan pemakaian AC. Pilihlah AC non-CFC dan hemat energi. 4. Memilih bensin yang bebas timbal (unleaded fuel) (Ismiyati, 2014).
2.7 Analisa Perhitungan Analisis data dilakukan dengan metode pemodelan beban pencemar dari kendaraan bermotor. Teknik analisis data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif untuk menentukan konsentrasi polutan akibat emisi kendaraan bermotor di udara : (Sandri Linna Sengkey, 2011)
1) Menganalisa komposisi lalu lintas 2) Menormalisasi volume kendaraan ke satuan mobil penumpang (smp) 3) Menghitung laju emisi 4) Menghitung kekuatan emisi 5) Menghitung dispersi 6) Menghitung konsentrasi polutan 7) Membandingkan hasil perhitungan kon-sentrasi polutan dengan baku mutu udara ambient nasional (PP. No. 41 tahun 1999) 2.7.1 Menormalisasi Volume Kendaraan ke Satuan Mobil Penumpang (SMP) Untuk dapat menormalisasi volume kendaraan ke satuan mobil penumpang (smp), digunakan table faktor pengali emisi CO berdasarkan jenis kendaraan seperti terlihat pada tabel 1 serta perlu menentukan ukuran kota dilokasi pengamatan berdasarkan jumlah penduduk. (Sandri Linna Sengkey, 2011) Tabel 2.7.1 Faktor Pengali Satuan Mobil Faktor Pengali Satuan Mobil Penumpang Metropolitan Kota Besar Kota Sedang Lain-lain 0.6 0.6 0.6 0.6
Jenis Kendaraan Sepeda Motor Kendaraan Penumpang Kendaraan Berat
1
0.76
0.8
0.76
1.97 1.93 1.95 ( Sumber : Sandri Linna Sengkey, 2011)
1.93
2.7.2 Menghitung Laju Emisi Laju emisi adalah besarnya massa polutan yang dilepaskan oleh satu kendaraan per kilometer jarak tempuh. Laju emisi didapatkan dengan memasukkan variabel kecepatan kendaraan ratarata pada ruas jalan yang diprediksi dengan persamaan (1) : qCO
= 867,92 V-0,8648
(1)
Dari tabel diatas terlihat bahwa semakin lambat kecepatan kendaraan, semakin besar polutan yang dilepaskan ke udara berarti semakin besar laju emisinya. (Sandri Linna Sengkey, 2011)
2.7.3 Menghitung Kekuatan Emisi Kekuatan sumber emisi adalah besarnya massa polutan yang dilepaskan ke udara oleh lalulintas sebagai sumber polusi udara dalam satuan waktu tertentu. Besarnya kekuatan emisi pada jam-jam padat untuk hari Senin, Sabtu dan Minggu diperoleh dengan menggunakan persamaan (2) (Sandri Linna Sengkey, 2011) : Q = n.q
(2)
2.7.4 Menghitung Dispersi Dispersi (penyebaran) sangat ditentukan oleh faktor meteorologi, seperti kecepatan angin, suhu, kelembaban, yang dinyatakan dalam kelas stabilitas atmosfir. Dispersi dihitung dengan mengambil asumsi jarak pada arah angin 0,1 km. (Sandri Linna Sengkey, 2011) Tabel 2.7.4.1 Klasifikasi stabilitas atmosfer berdasarkan klasifikasi Pasquill’s
(Sumber : Ni Wayan Srimani Puspa Dewia, 2018)
Keterangan: A :Sangat Tidak Stabil
C :Sedikit Tidak Stabil
B :Tidak Stabil Menengah D :Netral
E :Sedikit Stabil F :Stabil
Untuk area perkotaan (urban), nilai koefisien dispersi dapat ditentukan dengan persamaan (Febriandi Hasibuan, 2015) : σ = Ix (1 + Jx)k
(3)
dengan σ
: koefisien dispersi (m)
x
: jarak searah dengan angin (km)
Sementara nilai konstanta I, J dan K dapat dilihat pada tabel 2.7.4.2 dibawah ini Tabel 2.7.4.2 Konstanta I,J dan K pada persamaan McCullen
(Sumber : Febriandi Hasibuan, 2015) 2.7.5 Menghitung Konsentrasi Polutan Konsentrasi polutan adalah besarnya zat pencemar yang dilepaskan ke udara oleh lalulintas dalam satuan volume. Untuk mengetahui besarnya konsentrasi polutan CO, digunakan persamaan (4) sebagai berikut : (Sandri Linna Sengkey, 2011)
𝑄
𝐶(𝑋, 𝑌. 𝑍) = 𝜋𝜇𝜎
𝑦 𝜎𝑧
− 𝐻2
− 𝑦2
𝑒𝑥𝑝 { 2𝜎2 } 𝑒𝑥𝑝 { 2𝜎2 } 𝑧
𝑦
(4)
Keterangan :
C
: Konstanta
Q
: Debit (gram/m3)
µ
: Kecepatan angina rata-rata, m/detik
σz
: Standar deviasi konsentrasi plume arah horizontal
σy : Standar deviasi konsentrasi plume arah vertical H
: Tinggi lubang knalpot kendaraan
X
: Jarak downwind sepanjang centerline plume dari sumber titik, m
Y
: Jarak crosswind dari centerline plume dari sumber titik, m
2.8 Pemodelan Pencemaran Udara 2.8.1 Model Dispersi Gaussian Menurut Bakar (2006), Model Dispersi Gauss merupakan salah satu model perhitungan yang banyak digunakan untuk mensimulasikan pengaruh emisi terhadap kualitas udara. Model Dispersi Gauss merupakan bentuk persamaan matematika yang dapat dimasukkan ke dalam perhitungan variabel yang bersifat fisik dan diberikan informasi yang lebih detail mengenai sumber cemaran pada suatu daerah yang diteliti. Menurut Pasquill (1961), model ini banyak digunakan untuk menilai dampak adanya sumber pencemaran udara terhadap kualitas udara lokal dan perkotaan. (Aktrista Ayu Ika Permatasari, 2013) Model dispersi Gauss dapat menyatakan secara sederhana penyimpangan partikel di udara terhadap waktu. Banyaknya polutan yang dikeluarkan secara tetap dari cerobong asap (Q) akan terbawa angin dengan kecepatan u daiam arah horizontal (x) dengan kerapatan massa Q/u. Unluk polutan yang tidak bereaksi, massa polutan yang terkandung dalam setiap volum dan setiap jarak akan sarna harganya. Akan tetapi kadarnya akan berkurang sesuai dengan bertambahnya jarak, karena turbulensi atmosfir cenderung menyebarkan material ke arab horizontal dan vertikal. Kadar ratarata polutan pacta suatu titik akan berbanding terbalik terhadap lebar sebaran dan kecepatan angin. (Nauli, 2002) Dalam sistem koordinat tiga-dimensi seperti yang ditunjukkan pacta Gambar 1, terdapat cerobong pacta titik pusat, dengan jarak jatuhnya asap dinyatakan oleh x, melebarnya asap dinyatakan oleh y, dan tinggi semburan asap dinyatakan oleh z.
Gambar 2.8.1 Sistem koordinat sebaran asap. Yang memperlihatkan distribusi Gauss dalam arah horizontal dan vertikal.
Karena yang diperhatikan hanyalah persoalan cemaran (terhadap penduduk dan ekosistem) pacta permukaan tanah, maka bentuk persamaan dispersi asap dari Gauss menjadi kurang umum dengan rnasuknya nilai z = 0. Sehingga : (Nauli, 2002) 𝑄 − 𝐻2 − 𝑦2 𝐶(𝑋, 𝑌. 𝑍) = 𝑒𝑥𝑝 { 2 } 𝑒𝑥𝑝 { 2 } 𝜋𝜇𝜎𝑦 𝜎𝑧 2𝜎𝑧 2𝜎𝑦 σy dan σz menyatakan deviasi standar dari distribusi Gauss dalam arah horizontal dan vertikal. Sebanyak 68 persen daerah di bawah kurva Gauss berada pada selang kurang lebih σ dari nilai rata-rata hitung. Semakin kecil nilai tetapan dispersi berarti semakin sempit kurva Gauss yang terbentuk, dan puncaknya menjadi semakin tinggi. Sedangkan hila nilai tetapan dispersi semakin besar, rnaka terjadi kebalikannya. Ketika jarak asap semakin menjauhi sumber dalam arah angin, maka tetapan dispersinya menjadi bertambah besar. lni mengakibatkan kurva Gauss menjadi kian melebar. (Nauli, 2002)