Apakah Budaya Indonesia Menghambat Kemajuan

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Apakah Budaya Indonesia Menghambat Kemajuan as PDF for free.

More details

  • Words: 2,356
  • Pages: 9
APAKAH BUDAYA INDONESIA MENGHAMBAT KEMAJUAN Sabam Siagian *) Kolumnis harian The New York Times, Thomas Friedman yang luas sekali khalayak pembacanya di berbagai benua, dalam sebuah tulisan baru-baru ini mengutip sebuah buku karya Lawrence Harrison. Karya tersebut mengkaji dampak budaya sebuah bangsa pada dinamika politik dan pembangunan ekonomi di negara yang bersangkutan. Si penulis tiba pada kesimpulan bahwa ada sejumlah bangsa-bangsa yang budayanya memang mendorong laju kemajuan (istilah bahasa Inggrisnya progressprone). Tapi, menurut Lawrence Harrison, ada pula sejumlah bangsa-bangsa yang budayanya cenderung menghambat kemajuan (istilah bahasa Inggrisnya progressresistance). Berdasarkan kerangka analisis itu, para pengamat wilayah Asia Tenggara sering membanding-bandingkan perkembangan di dua negara: Indonesia dan Vietnam. Memang dua bangsa itu memiliki ciri-ciri kesejarahan yang paralel. Mereka masing-masing memproklamasikan kemerdekaan secara unilateral setelah Perang

Asia-Pasifik

berakhir

pada

14

Agustus

1945.

Soekarno-Hatta

memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Dan Ho Chi Minh mencanangkan kemerdekaan Vietnam pada 2 September 1945 di Hanoi. Baik Indonesia, maupun Vietnam harus mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaannya. Namun, kalau perjuangan Indonesia melawan kolonialisme Belanda relatif singkat-maka Vietnam harus berhadapan dengan Perancis selama bertahun-tahun sampai 1954. Kemudian ia terlibat dalam suatu peperangan dahsyat melawan adikuasa dunia, Amerika Serikat. Perdamaian dan persatuan Vietnam baru tercipta pada tahun 1975. Hasil sementara (moga-moga hanya “sementara”) dari perbandingan demikian menyimpulkan bahwa budaya Vietnam cenderung mendorong kemajuan. Sedangkan budaya Indonesia seperti menghambat kemajuan. Memang setiap pengamat yang mengunjungi Vietnam sekarang, mau tidak mau terkesan oleh semangat kerja dan gairah hidup masyarakat Vietnam. Sebagai

seorang yang secara periodik mengunjungi Vietnam, dan tertarik pada sejarah modernnya, dalam kunjungan bulan April lalu di Hanoi saya tertegun menatap hirukpikuk keramaian kota Hanoi. “Dalam sepuluh tahun, ekonomi Vietnam mengadakan loncatan kuantum dari tahap sepeda ke sepeda motor,” demikian observasi seorang wartawan AS. Bangsa yang berjumlah 82 juta ini seperti mesin yang berputar siang-malam, bekerja tanpa henti. Vietnam secara resmi adalah negara komunis, di mana partai komunis yang berkuasa. Tapi budayanya memang pragmatis. Ketika Uni Soviet ambruk pada tahun 1991 dan tetangga raksasa di sebelah Utara, Republik Rakyat Tiongkok, mempraktekkan prinsip ekonomi pasar, maka Vietnam juga menyesuaikan diri. Investasi asing disambut tidak hanya dengan ucapan manis dan janji muluk, tapi dengan tindakan nyata. Contoh yang sering disebut-sebut akhir-akhir ini adalah kasus investasi perusahaan elektronik Intel Corp. Rencana orisinalnya, ia akan membangun pabrik chip dengan fasilitas uji coba di lokasi seluas 13.500 meter persegi dengan investasi 300 juta dolar AS. Namun, setelah terkesan oleh lingkungan investasi yang kondusif, Intel Corp mengumumkan akan melipatgandakan investasinya itu menjadi sekitar satu miliar dolar AS. Dan lokasinya di luar kota Ho Chi Minh diperluas menjadi 45 ribu meter persegi. Wakil Presiden Intel Corp Brian Krzanich menerangkan, keputusan itu didasarkan, karena, “Vietnam memiliki penduduk yang dinamis, sistem pendidikan yang bertambah baik, tenaga kerja yang produktif dan pemerintahan yang memandang kedepan. Pada tahun 2009, ketika pabrik itu mulai operasional, sekitar 4 ribu buruh mendapatkan lapangan kerja. Sikap memandang ke depan dan tidak terjerat oleh kemegahan masa-lampau (Vietnam berhasil mengalahkan AS secara strategik) yang ditekankan oleh seorang redaktur dan penulis The New York Times, Roger Cohen, setelah baru-baru ini ia keliling Vietnam. “Budaya Vietnam berfokus ke depan. Kadang-kadang memang perlu kompromi, tapi kemudian maju terus, “tulisnya. Baru-baru ini, Profesor Michael Porter dari Harvard Business School (bagian

dari Universitas Harvard di Cambridge, AS) diundang untuk menyampaikan ceramah-ceramah di Jakarta. Ia dikenal sebagai pakar ekonomi, khususnya tentang peningkatan produktivitas dan daya-saing. DR. Porter telah diundang oleh sejumlah negara sebagai konsultan khusus. Pertemuan yang agaknya paling menarik berlangsung Selasa malam (28/11) dengan sejumlah tokoh-tokoh pemerintahan Indonesia, termasuk juga Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan pimpinan badan-badan independen seperti Bank Indonesia. Apa yang dikemukakannya Selasa malam di hadapan tokoh-tokoh pemerintah pusat dan yang disampaikannya pada ceramah umum Rabu lalu (29/11) dengan tema “Mengembangkan daya saing dalam lingkungan Global” (terjemahan bahasa Indonesia), merupakan suatu daftar kelemahan-kelemahan yang ada pada diri Indonesia sekarang ini. Kalau disimpulkan, maka diagnosa yang dilakukan Profesor Michael Porter terhadap pasiennya Indonesia, sebagai berikut: “Perekonomian Indonesia stagnan dan produktivitas rendah karena sejumlah faktor: sistem tenaga kerja tidak efisien, berbagai peraturan dan prosedur baik di pusat maupun di daerah yang sering saling bertentangan, infrastruktur yang tidak me-madai. Indonesia berusaha keras menarik investasi asing tapi lingkungan berbisnis justru seperti menolak investasi. Mentalitas yang terlalu memikirkan kepentingan sendiri dalam jangka pendek harus dirubah. Dunia sekarang sedang maju cepat, kalau Indonesia tidak segera melakukan pembenahan diri, maka akan ketinggalan.” Demikian inti yang tersimpul dalam pesan-pesan Profesor Potter. Ia tidak pergunakan istilah progressive-resistant, tapi jelas, yang dimaksud betapa budaya Indonesia itu seperti menghambat kemajuan. Berbagai cerita aneh-aneh yang dapat kita tampung. Tentang sebuah perusahaan pertambangan internasional yang ingin mengadakan investasi sekitar 2 miliar dolar AS di luar Jawa di lokasi dengan endapan logam yang sudah terbuktikan. Berbagai prosedur dan peraturan diikuti dengan tekun. Namun di mana ada peraturan yang saling bertentangan, sulit menemukan pejabat yang berani mengambil keputusan. Akhirnya, setelah lebih setahun, proses investasinya ngambang terus. Cerita demikian dalam berbagai versi begitu sering kita tampung. Sebenarnya Indonesia pernah mengalami tahap-tahap ketika semangat hidup,

kegairahan bekerja dan keberanian mengambil risiko nampak mekar. Kenapa sekarang ini, ketika Indonesia membanggakan dirinya sebagai negara demokrasi dan presidennya rajin ke luar negeri untuk menarik investasi, maka justru para pejabatnya dan birokrasinya ragu-ragu mengambil keputusan, enggan mengambil risiko demi kemajuan? Dalam long march kita sebagai bangsa yang kadang-kadang jatuh-bangun, agaknya kita mesti yakin bahwa bangsa ini masih memiliki kekuatan utuh yang mampu mengubah budayanya supaya mendorong kemajuan. *) Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik dan masalah internasional Sumber : http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/2370 Tulisan ini dikirim pada pada Jumat, Juli 6th, 2007 2:49 am dan di isikan dibawah Sosial Budaya.

Anda dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0

feed. Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.

ULASAN ARTIKEL: APAKAH BUDAYA INDONESIA MENGHAMBAT KEMAJUAN Oleh: SABAM SIAGIAN

Assalamu’alaikum wr.wb. Sangat menarik membaca artikel di atas; cara penyampaian kalimat per kalimat, pemilihan kata yang persuasif yang tersusun sangat baik; pendekatan komparatif yang komprehensif dan representatif serta autentik. Hal ini memang karena penulis adalah seorang yang memang sudah kesehariannya berkecimpung dalam dunia tulis menulis (jurnalistik). Namun, di balik keindahan tulisan tersebut, terdapat satu inti yang jauh lebih baik kita cermati sebagai bahan pemikiran bagi kita semua yaitu, “Apakah memang budaya kita ini penghambat dari kemajuan bangsa?” Berbicara mengenai budaya, ada baiknya kita berikan defenisi budaya itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata budaya berarti: pikiran, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar untuk dirubah. Sementara itu dalam Wikipedia, budaya diartikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum terbentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia. Dalam pembahasan artikel dari Siagian di atas, sepertinya kata budaya yang digunakan lebih mengacu kepada defenisi dalam arti kata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pikiran, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar untuk dirubah. Walaupun defenisi kedua tidak dapat dipisahkan yang merupakan cikal bakal dari adanya defenisi yang pertama tadi. Menarik memang, untuk mengkaji kenapa sudah sekian tahun (sekian dekade) setelah kemerdekaan, Indonesia masih saja seperti “itu-itu” saja. Sebagian orang menyebutnya “jalan di tempat” sementara beberapa pendapat lain menyatakan “jatuh-bangun”. Indonesia, seperti yang dikemukakan dalam artikel di atas, memang pernah mengalami tahap semangat untuk membangun, namun semangat itu

kemudian hancur kembali dan “tidak bangun-bangun lagi” sepertinya bukan sementara (menurut artikel di atas) karena ketidak-bangunan itu sampai sekarang ini, yang katanya sudah era “reformasi”. Pertanyaan kami mengenai artikel ini adalah, “apakah benar yang dimaksud dengan penghambat dalam artikel di atas (=mentalitas yang terlalu mementingkan diri sendiri) itu suatu budaya? Ataukah hanya paradigma sesaat? Ataukah fenomena akibat dari ketidak-beresan sistem yang ada di Indonesia (sebagaimana yang paling sering dibicarakan orang-orang)? Kami sebagai salah satu bagian dari masyarakat biasa, bisa dikatakan sangat banyak sekali bergelimang dengan berbagai kejadian yang berkaitan dengan “mentalitas yang terlalu mementingkan diri sendiri”. Contohnya beberapa hari yang lalu sewaktu kami mengurus cek fisik kendaraan bermotor (kami menggunakan sepeda motor) di Kantor Bersama Samsat di Jl. Khatib Sulaiman, kami melihat tulisan yang sangat besar “TIDAK DIPUNGUT BIAYA”, namun setelah cek fisik yang dilakukan oleh petugas (sepertinya petugas yang tidak ada ikatan dinas apa-apa) berkata, “Sudah siap, pak. Terserah mau diberi berapa untuk uang rokok”. Mendengar hal itu, terpaksa kami rogoh kantong dan berpindahlah satu lembar uang Rp10.000,- ke tangan petugas tersebut. Kami berasumsi nantinya sewaktu di kounter cek fisik tidak akan ada lagi pungutan (kan tulisan tidak dipungut biayanya sangat besar). Namun ternyata setelah melihat kesigapan petugas yang bekerja cukup profesional, dalam waktu hitungan menit semuanya siap. Seorang petugas (sepertinya beliau adalah kepala bagian) setelah menanda-tangani berita acara cek fisik kami, beliau menyerahkan melalui celah di jendela, “Dua puluh lima ribu” katanya tanpa melihat ke arah saya dan memberikan berita acara tersebut dengan tangan kiri. ADA APA INI? Kembali ke inti permasalahan. Memang sulit untuk memutuskan apakah hal ini merupakan budaya ataukah hanya fenomena saja. Kami sangat setuju sekali dengan isi tulisan dari artikel di atas bahwa banyak sekali hal-hal yang menghambat pembangunan di negara ini, terutama adalah sikap yang terlalu mementingkan diri sendiri. Namun kami tidak setuju apabila hal ini dikatakan sebagai budaya, karena mengacu kepada defenisi pertama dari budaya adalah sesuatu kebiasaan yang tidak bisa dirubah lagi. Sementara hal ini menurut hemat kami masih dapat dirubah dan

harus secepatnya dirubah. Selanjutnya ada juga beberapa pendapat yang menyatakan bahwa penghambat kemajuan adalah kebobrokan sistem yang ada di Indonesia (walaupun hal ini tidak disampaikan secara tersurat di dalam artikel di atas). Untuk pendapat yang satu ini, sulit bagi kami untuk menyetujuinya. Bagaimanapun baik atau buruknya suatu sistem, semuanya tergantung kepada pelaksana dari sistem tersebut; sistem hukum, sistem perekonomian, sistem sosial. Apabila pelaksananya memiliki mentalitas yang baik, komitmen yang baik, maka alhasil dari keseluruhan tersebut adalah baik. Oleh karena itu, inti permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia pada saat ini kembali ke satu akar inti permasalahan yaitu personal dari pelaksana sistem tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh penulis artikel di atas yang secara halus menyatakan penghambat kemajuan pembangunan adalah sikap (individu) yang terlalu mementingkan diri sendiri. Kami juga kurang setuju apabila dikatakan sikap (mentalitas) di atas sebagai suatu bentuk budaya. Karena menurut hemat kami mentalitas seperti ini BISA DIRUBAH dan kami memiliki keyakinan bahwa sikap ini memang seharusnya bisa dirubah. Buktinya tidak semua orang memiliki mentalitas seperti ini. Contohnya adalah perbandingan mentalitas pelaku bisnis (perusahaan swasta) dengan mentalitas pejabat. Fenomena yang terjadi adalah mentalitas yang mementingkan diri sendiri ini hanya terjadi pada jajaran pejabat (pegawai pemerintah; eksekutif, legislatif dan yudikatif) saja. Sulit, bahkan tidak ditemukan adanya mentalitas serupa pada jajaran pelaku bisnis (hal ini sebagaimana pengalaman kami pribadi). Pertanyaan berikutnya adalah, “Kenapa bisa timbul mentalitas yang demikian ini?” Menjawab pertanyaan ini mungkin tidak akan cukup hanya dibahas dari satu aspek dan dalam satu tulisan saja, karena permasalahannya cukup kompleks. Namun dalam kaca mata sederhana mungkin kami akan menanggapinya dari kaca mata sejarah. Indonesia sebagaimana kita ketahui berakar dari berbagai perpaduan budaya dan pola pikir. Negara kita sebenarnya memiliki budaya yang sangat luhur yang sebagian besar dipengaruhi oleh kemurnian ajaran Islam. Namun keluhuran ajaran ini terkontaminasi oleh berbagai ajaran materialis, liberalis, dan sekularis dari Barat yang selama berpuluh dan bahkan beratus tahun merongrong pola pikir bangsa kita. Sebagai pemahaman awal, materialistik dapat dipahami sebagai suatu ajaran yang

hanya mementingkan keduniaan materi saja tanpa adanya pertimbangan ukhrawi. Memang dalam satu sisi beberapa ajaran Barat tersebut ada sisi positifnya, namun sebagian dari masyarakat kita terlalu banyak dan bahkan kebablasan dalam menerapkan ajaran ini. Kami teringat akan satu tulisan, namun kami tidak teringat tulisan yang mana yang menyatakan bahwa apapun yang apabila kebablasan (berlebihan) akan lebih banyak efek negatifnya daripada positifnya. Sebagai contoh dalam ajaran Islam juga diajarkan untuk bersikap materialistik, liberalistik namun semua itu jangan sampai kebablasan harus juga diimbangi oleh sikap keakhiratan. Bukankah dalam hadits kita diajarkan untuk bekerja sekuat tenaga seolah-olah kita akan abadi di dunia ini namun kita juga harus beribadah seolah-olah kita akan mati esok? Kebablasan atau fanatisme yang ada di masyarakat kita terjadi akibat dari berbagai mobilisasi Barat dalam menanamkan ajarannya, yang katanya menurut sebagian pendapat ulama, ingin menjauhkan masyarakat kita dari ajaran Islam. Mobilisasi Barat ini pada umumnya bersifat terselubung (masih pendapat beberapa ulama). Sebagai contoh adalah menyanjung-nyanjung budaya tepat waktu yang ada di Barat, komitmen orang-orang Barat terhadap suatu pekerjaan. Padahal menyanjung orang Barat sama saja mengejek budaya kita sendiri (Islam). Padahal sebenarnya di dalam Islam sudah ada ajaran yang demikian itu (disiplin, komitmen). Hanya saja kita tidak tahu bahwa ajaran itu berasal dari ajaran kita juga. Untuk itu sebagai kata penutup dari ulasan kami ini, marilah kita kembali kepada ajaran luhur Islam, doktrin hidup kita, doktrin kerja kita, doktrin sosial kita. Kembalilah kita mengkaji Al-Qur'an dan Sunnah. Janganlah kita terbawa arus mobilisasi yang menjauhkan kita dari ajaran Islam. Jikalau memang dan sepertinya memang inti permasalahan bangsa ini adalah dari mentalitas individu, maka kami yakin satu jawaban pasti yang dapat menjawabnya adalah bukan sistem, bukan aturan, bukan pendidikan yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini melainkan mentalitas yang jauh dari ajaran Islam. Kami teringat akan satu SMS yang dimuat di dalam Surat Kabar Harian Padang Ekspress (atau Haluan, kami tidak ingat lagi) beberapa waktu lalu, menurut pengirim bahwa pulsanya ditarik oleh Telkomsel sekian banyak hampir setiap mengisi ulang, kemudian dia menyatakan bahwa biar nanti di akhirat saya tuntut.

Mungkin ini salah satu kata yang menurut kami bisa kita ambil, karena merubah fenomena (menurut kami kurang cocok dikatakan budaya) sogokmenyogok tidak bisa kita tanggulangi sendiri, kita harus tetap ikhlas, namun dan memang pasti kita bisa ucapkan, “Di akhirat nanti saya akan tuntut ketidak-adilan ini”. Entahkah secara lisan atau batin kita ucapkan itu yang penting ucapan ini mengajarkan kita bahwa ada yang lebih penting dari kehidupan dunia / materi ini yaitu kehidupan kelak di Akhirat. Mudah-mudahan ulasan ini dapat memenuhi tugas kami dalam mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar dan mudah-mudahan dapat juga bermanfaat bagi para pembaca. Kami selalu berusaha dengan ikhlas agar nantinya apa yang kami lakukan berfaedah baik dunia maupun akhirat. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada merekamereka yang telah mengajarkan banyak hal kepada kami (ucapan ini sunnah untuk menunjukkan keikhlasan kita dalam menuntut ilmu), semoga semuanya berfaedah. Amin yaa Robbal ‘alamin. Billahi taufik wal-hidayah wassalam.

Padang, 17 Juni 2009

SAYUTI. M BP. 405.408

Related Documents