Anjing Emang.pdf

  • Uploaded by: candra
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Anjing Emang.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 14,671
  • Pages: 117
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM GEOLOGI MINYAK BUMI

Disusun Oleh: ARYA CANDRA WIGUNA 410016038

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA 2018

1

LEMBAR PENGESAHAN PRAKTIKUM GEOLOGI MINYAK BUMI Disusun oleh :

ARYA CANDRA WIGUNA 410016038 Laporan ini dibuat sebagai pertanggung jawaban atas kegiatan mata kuliah Praktikum Geologi Minyak Bumi tahun ajaran 2018/2019, Jurusan Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional

DISAHKAN OLEH Dosen Pengampu

Asisten Praktikum Geologi Minyak Bumi

(………………………..)

(………………………..)

LABORATORIUM SOFTROCK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA 2018

2

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang sudah memberikan karuniaNya pada saya dalam melaksanakan Laporan Akhir Praktikum Geologi Minyak Bumi ini. Dengan selesainya Laporan Akhir Praktikum Geologi Minyak Bumi ini, maka tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua orang yang sudah membantu kami. dan terima kasih juga untuk para pihak yang sudah terlibat langsung. Kami mohonkan saran dan kritiknya apabila terdapat banyak kekurangan pada hasil Laporan Akhir Praktikum Geologi Minyak Bumi yang sudah kami buat. Semoga laporan ini memberi banyak kegunaan pada semua pihak termasuk diri saya sendiri. Terima kasih.

Yogyakarta, 20 Desember 2018

Penulis

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4 DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. 6 DAFTAR TABEL ................................................................................................... 7 Bab I Geologi Minyak Bumi .................................................................................. 8 1.1 Pendahuluan .................................................................................................. 8 Bab II Operasi Pemboran ........................................................................................ 9 2.1. Dasar Teori ................................................................................................... 9 2.2. Interpretasi .................................................................................................. 28 2.3. Laporan Resmi Operasi Pemboran ............................................................. 29 Bab III Analisis Sampel Pemboran ....................................................................... 30 3.1. Analisis Sampel Cutting ............................................................................. 30 3.1.1. Dasar Teori .......................................................................................... 30 3.1.2 Interpretasi ............................................................................................ 33 3.1.3 Laporan Resmi Analisis Cutting ........................................................... 34 3.2. Analisa Sampel Coring ............................................................................... 35 3.2.1. Dasar Teori .......................................................................................... 35 3.2.2 Interpretasi ............................................................................................ 46 Bab 4 Geokimia Hidrokarbon ............................................................................... 48 4.1. Dasar Teori ................................................................................................. 48 4.2. Interpretasi .................................................................................................. 73 4.3. Laporan Resmi Geokimia Hidrokarbon ..................................................... 76 Bab 5 Wireline Log ............................................................................................... 77 5.1. Evaluasi Kualitatif ...................................................................................... 82 5.1.1. Dasar Teori .......................................................................................... 82

4

5.1.2. Interpretasi ........................................................................................... 86 5.1.3. Laporan Resmi Evaluasi Kualitatif ...................................................... 88 5.2. Evaluasi Kuantitatif .................................................................................... 89 5.2.1. Dasar Teori .......................................................................................... 89 5.2.1. Interpretasi ........................................................................................... 93 5.2.3. Laporan Resmi Evaluasi Kuantitatif .................................................... 96 Bab 6 Korelasi Struktur ......................................................................................... 97 6.1. Dasar Teori ................................................................................................. 97 6.2. Interpretasi ................................................................................................ 104 6.3. Laporan Resmi Korelasi Struktur ............................................................. 106 BAB 7 PERHITUNGAN CADANGAN ............................................................ 107 7.1. Dasar Teori ............................................................................................... 107 7.2. Iterpretasi .................................................................................................. 112 7.3. Laporan Resmi Peta Bawah Permukaan .................................................. 113 7.4. Laporan Resmi Perhitungan Cadangan .................................................... 114 Bab 8 Kesimpulan Dan Saran ............................................................................. 115 Kesimpulan ...................................................................................................... 115 Saran ................................................................................................................ 116 DAFTA PUSTAKA ............................................................................................ 117

5

DAFTAR GAMBAR

6

DAFTAR TABEL

7

Bab I Geologi Minyak Bumi 1.1 Pendahuluan Geologi Minyak Bumi adalah ilmu geologi yang mempelajari minyak bumi, mulai

dari

rekonaise,

pemetaan,

dan

analisis

keberadaan

minyak

bumi.Keberadaan dari minyak bumi itu sendiri harus memiliki beberapa persyatan diantaranya: ➢ Batuan Induk, ➢ Kematangan, ➢ Reservoar, ➢ Migrasi, ➢ Penutup Batuan, dan ➢ Perangkap Istilah minyak bumi di Indonesia dikenal dengan sebagai minyak tanah, yang berarti minyak yang keluar dari dalam tanah. Di Negara barat dikenal sebagai petroleum, yang dalam Bahasa latin Oleum berarti minyak dan petro berarti batu. Disebut juga sebagai minyak mentah (crude oil). sedangkan istilah yang paling tepat adalah minyak bumi, karena terdapat di dalam bumi, bukan di dalam tanah.

8

Bab II Operasi Pemboran 2.1. Dasar Teori Operasi Pemboran merupakan proses kelanjutan dari eksplorasi untuk mengetahui lebih lanjut atas keterdapatan minyak atau gas bumi di bawah permukaan. Dalam pelaksanaanya banyak hal yang perlu di persiapkan dan direncanakan. Persiapan yang perlu dilakukan antara lain mengenai tempat pemboran, logistic, dan perangkat pemboran (drilling rig) yang akan digunakan. Persiapan dan perencanaan secara detail akan memudahkan dan melancarkan proses pemboran serta mengurangi kendala secara teknis yang mungkin timbul saat proses pemboran berlangsung. Adapun beberapa jenis-jenis pemboran yaitu : ➢ Pemboran Eksplorasi (Wildcat) untuk membuktikan keterdapatan minyak dam gas bumi pada suatu cekungan yang belum pernah dilakukan pemboran sebelumnya, sehingga memerlukan perencanaan dengan matang yang memperhitungkan segala kemungkinan kendala yang akan timbul selama proses pemboran berlangsung. Dalam pelaksanaanya perlu dilakukan pengamatan dengan seksama dikarenakan kondisi dari lapisan batuan dan sifat-sifatnya belum diketahui. Sehingga perencanaan penggunaan casing, penyemenan, lumpur pemboran, dan bit yang akan digunakan sangat berpengaruh kepasa cost yang akan dikeluarkan. Sumur eksplorasi sering disebut dengan sumur “wild cat”. Apabila setelah dilakukan pemboran namun hasilnya tidak ditemukan kandungan minyak atay gas bumi maka kemudian sumur pemboran tersebut disebut dengan Dry Hole. ➢ Pemboran Deliniasi 9

Untuk mengetahui penyebaran, batas, dan ketebalan reservoir. Pemboran ini biasanya tidak terlalu banyak menghabiskan biaya karena sudah ada data dari pemboran eksplorasi sebelumnya. Untuk Menetukan batas reservoir maka dilakukan pemboran deliniasi untuk jarak-jarak tertentu dari sumur yang pertama. ➢ Pemboran Pengembangan/Eksplorasi Pemboran ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurasan terhadap reservoir sekaligus meningkatkan volume produksi. Aktivitas ini memerlukan biaya yang lebih murah dikarenakan lengkapnya data sumur seperti kedalaman dan ketebalan reservoir serta jenis dan sifat batuan pada formasi yang sudah ditembus oleh mata bor. Sumur eksplorasi dapar diubah fungsinya menjadi sumur eksplorasi atau disebut juga sumur produksi. ➢ Pemboran sumur-sumur Sisipan (Infill) Kegiatan ini bertujuan untuk hidrokarbon dari area yang tidak terambil oleh sumur-sumur sebelumnya. Pembuatan sumur sisipan ini terletak diantara sumur-sumur yang telah ada sebelumnya. Dalam perminyakan, juga dikenal beberapa istilah mengenai sumur, yaitu: a. Sumur produksi, merupakan sumur yang menghasilkan minyak, gas, maupun keduanya dan memiliki aliran fluida dari bawah ke atas. b. Sumur Injeksi, merupakan sumur yang bertujuan untuk menginjeksikan fluida tertentu ke formasi dan memiliki aliran fluida dari atas ke bawah. c. Sumur Vertikal, merupakan sumur yang lurus dan memanjang secara vertical.

10

Gambar 1 Sumur Vertical

d. Sumur Berarah,(Deviated Well, Directional Well), merupakan sumur yang secara geometri tidak memiliki benyuk lurus vertical, melainkan dapat berbentuk S, J, maupun L.

Gambar 2 Sumur Berarah

e. Sumur Horizontal, merupakan sumur yang memiliki bagian yang berarah horizontal dan merupakan bagian dari sumur berarah.

11

Gambar 3 Sumur Horizontal

Berdasarkan lokasinya, rig dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Rig darat (land rig), merupakan rig yang beroperasi di daratan yang dibedakan atas rig besar dan rig kecil. Pada rig kecil biasanya hanya digunakan unruk pekerjaan sederhana seperti well service atau work over. Sementara itu untuk rig besar digunakan untuk operasi pemboran baik secara vertical maupun directional. rig darat ini dirancang secara portable sehingga dapat dengan mudah untuk dilakukan pembongkaran dan pemasangannya ketika berpindah lokasi.

12

Gambar 4 Ring Darat

2. Rig laut ( offshore rig), merupakan rig yang dioperasikan di atas permukaan air seperti laut, rawa-rawa, sungai, danau, maupun delta sungai. Offshore rig terbagi atas beberapa jenis berdasarkan kedalaman air, yaitu: a. Swamp barge, rig ini merupakan jenis rig laut yang beroperasi pada kedalaman maksimum 7 meter dan sangat sering dipakai pada daerah rawa-rawa dan delta sungai.

Gambar 5 Ring Laut pada Rawa

b. Tender barge, merupakan jenis rig laut yang sama dengan model swamp barge, namun dipakai pada kedalaman yang lebih lagi yaitu pada kedalaman 10-30 meter. Rig jenis ini digunakan dengan cara

13

memobilisasi rig ke dalam sumur, kemudian ditenggelamkan dengan cara mengisi ballast tanks-nya dengan air.

Gambar 6 Rig Laut Tender Berge

c. Jack up rig, rig jenis ini banyak digunakan pada pengeboran lepas pantai dengan kedalaman 5-200 meter. Rig ini memiliki badan atau disebut dengan platform. Platform ini berdiri diatas permukaan air yang di topang oleh kaki-kaki (biasanya terdiri dari 3 atau 4 kaki) yang terbuat dari baja. Saat dioperasikan, kaki-kaki baja tersebut berpijak pada dasar laut. Setelah itu platform tersebut kemudian diangkat ke atas permukaan air. Saat mobilisasi, kaki-kaki baja tersebut kemudian diangkat, sehingga platform tersebut mengapung diatas permukaan air. Saat terapung, maka platform dapat dengan mudah dimobilisasi dengan cara ditarik menggunakan kapal jenis tug boat. Rig jenis ini bisa dipakai untuk melakukan pengeboran sumur-sumur eksplorasi.

14

Gambar 7 Jack up rig

d. Drilling jacket, merupakan jenis rig yang menggunakan platform berstruk baja. Pada umumnya memiliki bentuk yang kecil dan sangat cocok berada di laut dangkal maupun laut tenang. Rig jenis ini sering dikombinasikan dengan rig jack up maupun tender barge

Gambar 8 Drilling Jacket

e. Semi-submersible rig, merupakan jenis rig yang mengapung (flooded atau ballasted) yang menggunakan hull atau semacam kaki. Rig ini dipakai ketika jack up rig tidak mampu menjangkau permukaan dasar laut. Karena jenis rig ini sangat stabil, mala rig ini

15

sering dipakai pada lokasi yang memiliki gelombang laut besar dan cuaca yan buruk. Rig ini dipakai pada kedalaman 90-750 meter.

Gambar 9 Semi-submersible rig

f. Drill ship, merupakan jenis rig yang bersifat mobile dan diletakkan di atas kapal laut, sehingga sangat cocok untuk pemboran di laut dalam. Rig ini didirikan diatas kapal dan bagian bawahnya terbuka ke laut (moon pool). Memiliki daya maut yang lebih banyak sehingga sering dipakai pada daerah terpencil maupun jauh dari daratan.

Gambar 10 Drill Ship

16

A. Perangkat Pemboran Pada perkembangannya teknologi pengeboran semakin maju, dan hingga saat ini sistem peralatan bor putar adalah teknologi yang paling tepat untuk digunakan dalam operasi pembuatan sumur pengeboran. Pada sistem peralatan bor putar ini memiliki beberapa fungsi utama yang mendukung dalam kegiatan operasi pengeboran, secara garis besar peralatan pengeboran dapat dibagi menjadi lima sistem peralatan utama, yaitu, sistem angkat (hoisting system), sistem putar (rotating system), sistem sirkulasi (circulating system), sistem tenaga (power system) dan sistem pencegah sembur liar (Blow Out Preventer system). Pada prinsipnya lima sistem ini saling mendukung satu sama lainnya. Dalam kegiatan yang dilakukan pada operasi pengeboran, lima sistem ini bekerja secara bersamaan dan saling mendukung. Sehingga keberhasilan suatu operasi pengeboran sangat tergantung pada baik tidaknya performa dari lima sistem ini. Dalam operasi pengeboran yang menggunakan sistem peralatan putar ini dikenal dua jenis sistem putar yakni sistem Kelly dan top drive. Pada sistem Kelly putaran yang dihasilkan adalah dengan mentrasfer putaran dari rotary table ke Kelly dan diteruskan ke rangkaian pengeboran lainnya. Sedangkan pada top drive, rangkain pengeboran langsung disambungkan ke top drive dan putaran yang dihasilkan adalah dari motor yang ada pada top drive.

17

Gambar 11 Bagian Rig

➢ Sistem angkat (Hoisting System) Sistem

angkat

(hoisting system)

fungsi

utamanya

adalah

memberikan ruang kerja yang cukup bagi crew pengeboran dan untuk pengangkatan serta penurunan rangkaian pipa bor dan peralatan lainnya. Sistem angkat ini sangat penting dalam kegiatan menyambung dan melepaskan rangkaian pengeboran seperti bit, drill collar, drill pipe dan atau Kelly. Sistem angkat terdiri dari dua bagian utama, yaitu : a. Struktur pendukung (Supporting structure) b. Peralatan Angkat (Hoisting equipment)

18

Gambar 12 Sistem Angkat

➢ Sistem Putar (Rotating System) Fungsi utama dari sistem putar (rotating system) adalah untuk memberikan puataran pada rangkaian pipa bor dan juga memberikan beratan pada pahat dalam mengebor suatu formasi. Putaran bersumber dari putaran rotary table (apabila menggunakan Kelly) atau dari putaran motor pada top drive. Besarnya putaran yang diinginkan biasanya disebut dengan Rotation Per Minutes(RPM). Besarnya beban rangkaian pemboran akan memberikan beratan yang berguna untuk membantu mata bor dalam pemecahan batuan pada saat operasi pengeboran berlangsung. Beban ini sering dinamakan denga Weight On Bit(WOB). Dengan kombinasi RPM dan WOB yang tepat akan menghasilkan kecepatan pengeboran yang optimum (Rate of Penetration optimum).

19

Gambar 13 Sistem Putar

➢ Sistem Sirkulasi (Circulating System) Sistem

sirkulasi

merupakan

salah

satu

sistem

yang

memegangperanan penting di dalam operasi pengeboran putar (rotary drilling).Tugas utamanya adalah membantu sistem pemutar didalam “mengebor sumur” dengan menyediakan perlengkapan-perlengkapan yang sesuai untuk mengatur bahan-bahan lumpur dan tempat-tempat kerja untuk mempersiapkan, merawat dan mengganti fluida pengeboran. Sistem sirkulasi tersusun oleh empat sub komponen utama, yaitu : a. Lumpur pengeboran (drilling fluid) b. Tempat persiapan (preparation area) c. Peralatan sirkulasi (circulating equipment) d. Tempat pengkondisian lumpur (conditioning area atau solid control equipment) Secara umum lumpur pengeboran dapat disirkulasikan dengan urutan sebagai berikut:

20

lumpur dalam steel mud pit dihisap oleh pompa - pipa tekanan – stand pipe – rotary hose – swivel head – kelly – drill pipe – drill collar – bit – annulus drill collar – annulus drill pipe – mud line/flow line, shale shaker – steel mud pit – dihisap pompa kembali dan seterusnya. Hal ini bisa dilihat pada Gambar dibawah ini:

Gambar 14 Sistem Sirkulasi

➢ Sistem Tenaga (Power System) Sistem tenaga dalam operasi pengeboran terdiri dari power suplayequipment, yang dihasilkan oleh mesin-mesin besar yang biasa dikenal dengan nama “prime mover” dan distribution equipment yang berfungsi untuk meneruskan tenaga yang diperlukan untuk mendukung jalannya kegiatan pengeboran. Tenaga yang dihasilkan prime mover besarnya berkisar antara 500-5000 Hp. Pada umumnya suatu operasi pengeboran memerlukan dua atau tiga buah mesin. Sedangkan untuk pengeboran yang lebih dalam memerlukan tenaga yang lebih besar, sehingga prime mover yang diperlukan dapat mencapai empat unit. Prime mover sebagai sistem daya penggerak harus mampu mendukung keperluan

21

fungsi angkat, putar, pemompaan, penerangan, dan lain-lain. Dengan demikian perencanaan dan pemilihan tipe dan jenis prime mover yang dipergunakan harus memperhatikan hal tersebut.

Gambar 15 Sistem Tenaga

➢ Sistem Pencegah Semburan Liat (BOP System) Lumpur pengeboran merupakan pencegah semburan liar (blow out)yang utama atau primer, sedangkan blowout preventer (BOP) system merupakan pencegah blowout sekunder. Apabila kick sudah terjadi, segera penutupan sumur sesuai prosedur kemudian dilakukan sirkulasi untuk mematikannya.

Gambar 16 Sistem Pencegah Semburan

22

Pengertian Casing Casing adalah pipa yang dimasukkan kedalam sumur bor dimana casing ini memiliki beberapa fungsi yang penting baik dalam pekerjaan pemboran (drilling) maupun dalam pekerjaan penyelesaian sumur (completion). Casing merupakan komponen yang cukup mahal dan harus diperhitungkan dalam pekerjaan pemboran karena biasanya biaya untuk casing berkisar antara 25% sampai dengan 30% dari keseluruhan biaya pemboran suatu sumur. Casing terdiri dari 5 (lima) tipe dasar, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. ➢

Conductor Casing Surface Casing Intermediate Casing Production Casing Liner Conductor Casing Conductor Casing merupakan rangkaian casing yang pertama. Conductor casing (conductor pipe) ini ditanamkan pada titik dimana suatu sumur akan dibor dengan cara menumbuknya dengan menggunakan diesel hammer. Kedalaman conductor pipe ini berkisar antara 10 ft sampai dengan 300 ft tergantung dari kondisi lokasi yang akan dibor. Ukuran diameter conductor pipe biasanya antara 16 inci sampai dengan 36 inci. Conductor pipe ini harus mempunyai ukuran yang lebih besar agar casing berikutnya bisa masuk kedalamnya.

Kegunaan Conductor Pipe : •

Menampung drilling fluid (mud) agar sirkulasi bisa dilakukan.



Mencegah membesarnya lobang (washout) pada lapisan permukaan yang umumnya bersifat tidak solid/gampang runtuh (unconsolidated formation).

23

➢ Surface Casing Surface

casing

ialah

casing

yang

dimasukkan

kedalam

sumur/lobang bor melalui conductor pipe. Kedalaman (setting) dari surface casing ini akan sangat bergantung dari kedalaman formasi yang tidak solid (unconsolidated formation). Biasanya surface casing ini memiliki ukuran diameter antara 9-5/8 inci sampai dengan 20.0 inci. Karena temperatur, tekanan dan fluida yang korosif cenderung meningkat sejalan dengan kedalaman lobang bor, maka pemilihan jenis besi casing (grade) harus disesuaikan dengan kondisi sumur.

Kegunaan Surface Casing : •

Melindungi formasi dari lapisan air bersih (fresh water formation).



Menutup unconsolidated formation dan zona-zona lost circulation.



Menyediakan tempat untuk pemasangan BOP.



Melindungi/menjaga “build” section pada sumur berarah.



Menyediakan tempat untuk melakukan “leak-off test”.

➢ Intermediate Casing Intermediate casing ialah casing yang dipasang setelah surface casing yang biasanya digunakan untuk menutup/mengatasi masalah yang akan timbul dengan formasi selama pekerjaan pemboran. Biasanya intermediate casing ini ukuran diameternya antara 9 5/8 inci sampai dengan 13 5/8 inci.

24

Kegunaan Intermediate Casing: •

Menutup zona-zona yang akan menimbulkan masalah dalam pemboran (gas zones, lost circulation zones, dl

➢ Production Casing Production casing ialah rangkaian pipa selubung yang terakhir dimasukkan kedalam lobang bor. Ukuran production casing ini akan sangat bergantung dari perkiraan jumlah produksi dari sumur tersebut. Semakin tinggi produksi suatu sumur akan semakin besar ukuran production casing yang akan digunakan. Biasanya production casing ukuran diameternya antara 13.0 inci sampai dengan 7.0 inci.

Kegunaan Production Casing: •

Menyediakan tempat berkumpulnya fluida yang akan diproduksi.



Memisahkan formasi produksi dengan formasi lainnya.



Menghubungkan formasi produksi dengan permukaan.



Menyediakan tempat untuk alat bantu produksi (submersible pump).

➢ Linear

Liner ialah merupakan rangkaian casing produksi (production casing) yang dipasang dalam lobang bor/sumur tetapi tidak sampai kepermukaan. Biasanya liner dipasang pada intermediate casing dengan menggunakan packer atau slip. Didalam pemasangannya, liner biasanya akan berhimpitan (overlap) dengan intermediate casing antara 100 ft sampai dengan 150 ft.

25

Kegunaan Liner : •

Dugunakan untuk mengurangi biaya casing dan biaya untuk running casing. Jika liner ini harus disambung sampai kepermukaan dengan menggunakan rangkaian casing lainnya, maka rangkian casing ini disebut dengan “Tie Back” string.

B. Standarisasi Casing American Petroleum Institute (API) telah membuat dan mengembangkan standard dan spesifikasi untuk casing dan tubing yang digunakan dalam lapangan perminyakan. Salah satu standard yang lebih umum digunakan baik untuk casing maupun untuk tubing ialah berat per satuan panjang (weight per unit length) yang biasanya ditulis dengan pound per foot (ppf).

Terdapat 3 (Tiga) Standard API Untuk Berat Casing: •

Nominal Weight: Berat yang dihitung secara teoritikal terhadap casing yang mencakup derat pin dan coupling nya untuk setiap panjang 20 feet.



Plain End Weight: Berat batangan casing dimana casing tersebut diukur beratnya tanpa memiliki derat dan coupling.



Threaded and Coupled Weight: Berat batangan casing yang memiliki derat pada kedua ujungnya dan coupling pada salah satu ujungnya.

Terdapat 3 (Tiga) Standard API Untuk Panjang Casing: •

R-1: Kisaran panjang setiap batangan casing antara 16 ft sampai dengan 25 ft, 95% memiliki panjang diatas 18 ft.

26



R-2: Kisaran panjang setiap batangan casing antara 25 ft sampai dengan 34 ft, 95% memiliki panjang diatas 28 ft.



R-3: Kisaran panjang setiap batangan casing lebih dari 34 ft, 95% memiliki panjang diatas 36 ft.

Selain standard panjang (range) dan berat (weight) terdapat pula standard grade (jenis besi) yang menggambarkan property/sifat besi atau metal dari casing. Didalam penulisan property besi dari casing, “huruf” akan menerangkan grade casing sedangkan “angka” akan menerangkan minimum yield point dari casing. Misalkan: Casing J-55 berarti casing tersebut memiliki grade “J” dan minimum yield point casing ini besarnya 55.000 psi.

27

2.2. Interpretasi Pada kedalaman 6433 ft hingga kedalaman 6445 ft dapat di Tarik kesimpulan bahwa lingkungan pengendapannya yaitu laut dalam (lower fan), lalu pada kedalaman 6445 ft hingga kedalaman 6454 ft masuk ke dalam lingkungan pengendapan laut dangkal, lalu pada kedalaman 6454 ft hingga 6460 masuk ke dalam lingkungan pengendapan transisi. Lalu pada data analisis sample batuan pada kedalaman 4754-4760 m diketahui bahwa batuan memiliki warn alt gy 20%, m lt gy 30%, m dk gy 20%, gysh 30% dengan grain size vf 25%, f 25%, mg 30%, cg 20%. Porosity sample adalah f fair dan campuran dy , hardness mid hd, sortasi v psrtd dan shape ang. batuan pada kedalaman 4760-4766 m diketahui bahwa batuan memiliki warna lt gy 40%, m lt gy 30%, m dk gy 20%, gysh 10% dengan grain size vf 20%, f 30%, mg 30%, cg 20%. Porosity sample adalah f fair dan campuran cdy , hardness mid hd, sortasi v psrtd dan shape ang. batuan pada kedalaman 4766-4772 m diketahui bahwa batuan memiliki warna lt gy 30%, m lt gy 30%, m dk gy 15%, gysh 25% dengan grain size vf 25%, f 25%, mg 30%, cg 20%. Porosity sample adalah f fair dan campuran dy , hardness mid hd, sortasi v psrtd dan shape ang. batuan pada kedalaman 4772-4778 m diketahui bahwa batuan memiliki warna lt gy 20%, m lt gy 30%, m dk gy 20%, gysh 30% dengan grain size vf 25%, f 25%, mg 30%, cg 20%. Porosity sample adalah f fair dan campuran dy , hardness mid hd, sortasi v psrtd dan shape ang.

28

2.3. Laporan Resmi Operasi Pemboran

29

Bab III Analisis Sampel Pemboran 3.1. Analisis Sampel Cutting 3.1.1. Dasar Teori Cutting adalah serpihan-serpihan batuan sebagai akibat tergerusnya batuan tersebut

oleh

mud

bor

pada

saat

pemboran

berlangsung.

Pekerjaan analisa cutting ini dilakukan dalam kerangka pekerjaan mud logging. Pertama-tama cutting dipisahkan dari aliran lumpur pemboran dengan menggunakan shale shaker, setelah itu dilakukan deskripsi litologi dengan menggunakan mikroskop, kemudian dianalisa untuk mengetahui ada tidaknya kandungan hidrokarbon. ➢ Analisis Sampel Cutting a. PenampakanNoda Pada batuan jenis hidrokarbon berat (residu,tar) akan memberikan noda yang lebih nyata. Jika kadar hidrokarbon dalam batuan cukup tinggi akan terlihat kesan berupa cucuran.

Kualitas Penampakan Sangat baik Baik Sedang Buruk

Presentasi Distribusi Dalam Batuan >75% 50-75% 25-50% <25%

Table 1 Kualitas Penampakan Noda Berdasarkan Penyebaran Dalam Batuan

b. Bau

30

Biasanya batuan yang mengandung hidrokarbon mempunyai bau yang spesifik. Kekuatan baunya tergantung dari jenis dan kadar kuantitas kandungan hidrokarbon didalam batuan. Bau wangi biasanya berasal dari minyak parafine dan naftatik, sedangkan bau busuk berasal dari minyak aromatik. c. Fluoroscopic

Yang akan dilakukan pada praktikum ini adalah pemeriksaan indikasi hidrokarbon dengan pemeriksaan fluoroscopic (UV), prinsip kerjanya: contoh cutting diletakkan diatas tray kemudian dimasukkan kedalam fluoroscope untuk melihat ada tidaknya warna fluoresensi. Biasanya hidrokarbon cair atau minyak memberikan warna tertentu terhadap sinar ultra violet, sedangkan gas dan minyak residu kadang-kadang tidak berfluorensi.

Jenis Minyak Residu Minyak berat Minyak medium Minyak ringan Kondensat

Warna Fluorescensi Coklat gelap – tidak berwarna Coklat – kuning tua Putih – kuning cerah Putih biru – biru cerah Ungu – biru cerah

Tabel 1.2 Table 2Warna Fluoresensi Masing-masing Minyak

31

Residu Batu gamping / dolomite Batu gamping pasiran Paper shale Fosil Napal Grease atau Gemuk Solar Kulit kumbang

Warna Fluorescensi Kuning/ kekuning-kuningan Coklat-coklat tua Kuning- coklat kopi Kuning putih – kuning coklat Kuning tua – abu-abu coklat Putih susu Putih terang Biru

Table 3 Jenis Residu dan Warna Fluoresensi

Kualitas penampakan fluoresensi ditentukan dari distribusi fluoresensi dalam contoh batuan, yaitu:

Kualitas Penampakan Sangat baik Baik Sedang Buruk

Presentasi Distribusi Dalam Batuan >75% 50-75% 25-50% <25%

Table 4 Kualitas Penampang dan Prosentase Distribusi Dalam Batuan

32

3.1.2 Interpretasi Depth 4760 – 4766 Warna, m dkgy (20%), gy (10%), ltgy (40%), m ltgy (30%), grain size, vf (20%), f (30%), mg (30%), cg (20%), porosity p poor, campuran cly, soratasi p srtd, bentuk butir ang – sub rd. Nama batuan Clyst Depth 4766 – 4772 Warna, m dk gy (15%), gy (25%), ltgy (30%), mdlgy (30%), grain size vf (20%), f (25%), mg (40%), cg (15%), porosity poor, sortasi p srtd, bentuk butir ang – sub rd. Nama Batuan Clyst Depth 4772 – 4778 Warna, ltgy (20%), nltgy (30%), md lgy (40%), gush (20%), mg (20%), Vf (30%), f (35%), cg (15%), porosity F poor, Campuran Cly, hardness mid hd, sortasi poor hd, shape ang. Nama Batuan Clyst Depth 4754 – 4760 Warna, lgty (20%), mdltgy (30%), m dkgy (20%), gy (30%), grain size, uf (25%), f (25%), mg (30%), cg (20%). Porosity, p poor, campuran cly, kekerasan mid, sortasi p srtd, bentuk butir ang. Nama Batuan Clyst

33

3.1.3 Laporan Resmi Analisis Cutting

34

3.2. Analisa Sampel Coring 3.2.1. Dasar Teori Untuk dapat menentukan bahwa suatu reservoir migas dapat/ pantas untuk dikembangkan / dikelola maka diperlukan informasi yang pasti tenang jumlah HK yang ada didalamnya serta kemungkinan dari HK tersebut untuk di produksikan. Jumlah hidrokarbon yang ada di reservoir dapat di hitung antara lain dengan metode volumetric. Data yang diperlukan disini antara lain porsitas , saturasi dan data geologi. Sedang untuk memperkirakan jumlah HK yang dapat di produksikan diperlukan informasi yang tepat tentang permeabilitas. Kesemua informasi tersebut dapat diperoleh dari beberapa macam test dan analisa antara lain adalah : 1. Logging 2. Analisa batuan 3. Analisa tekanan. Coring adalah pemboran khusus untuk mendapatkan besaran-besaran fisik dari batuan reservoir. Pemboran khusus ini sangat mahal biayanya karena membutuhkan peralatan khusus dan memakan waktu lebih lama dari pemboran biasa ( pemboran sumur keseluruhan) . Coring dilakukan pada interval tertentu yang diperlukan data-data petrofisiknya terutama pada zone produktif. Hasil dari coring diharapkan merupakan data yang valid sehingga perlu penanganan yang cermat. Banyak factor yang dapat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas coring antara lain : ➢ Konstruksi dari peralatan ➢ Kondisi dari formasi

35

➢ Teknik pelaksanaan operasi Coring

Peralatan Coring

Peralatan coring terdiri dari : 1. Core bit : adalah pahat yang khusus untuk coring berbeda dengan pahat pemboran biasa. Pahat biasa menghancurkan batuan menjadi cutting/ssrpih akan tetapi core bit akan memotong batuan berbentuk silinder. Pemilihan jebis core bit tergantung pada batuan formasi yang akan diambil contohnya. Dibawah ini salah satu contoh core bit dan rangkaian alat coring.

Gambar 17 Core Bit

2. Core Barrel : alat ini berfungsi untuk tempat contoh yang diperoleh dari coring yang dapat menjaga keutuhan core dan melindungi core darui pengaruh luar misalnya kontaminasi dengan lumpur, tekanan/beban dan lain sebagainya. Barrel ini terletak diatas pahat ( cor bit) ada outer barrel ada inner barrel.

3. Core Catcher : berfungsi untuk menahan core/contoh batuan agar tidak jatuh dari

36

inner barrel. Macam-macam coring Ada dua macam cara pengambilan contoh batuan ( coring) yaitu : 1. Coring yang dilakukan bersamaan dengan pemboran dikenal sebagai Bottom coring Sesuai dengan alat yang digunakan maka bottom core dibedakan menjadi: > Conventional coring yaitu coring yang menggunakan core bit biasa atau diamond bit. Ukuran core yang didapat adaloah diameter antara 3 – 5 inch dan panjang >Wire-line Retrievable coring dimana pada cara ini alat diturunkan kedasar sumur tanpa mengangkat drill string. Ukuran core yang diperoleh dengan cara ini lebih kecil yaitu 1 1/8 - 1 ¾ inch dan panjang 10 - 20 ft.

2. Sidewall Coring yaitu coring yang dilakukan setelah pemboran umumnya digunakan untuk mengambil sample/contoh pada interval tertentu (yang dipilih ) yang telah dibor. Sample diambil dari dinding lubang bor dengan diameter ¾ - 1 3/16 inch dan panjang ¾ - 1 inch.

Gambar 18 Side Wall Coring

37

Perawatan core ( Core Handling). Kualitas/ keakuratan core yang diperoleh adalah sangat penting agar analisa yang dilakukan memberikan hasil yang representative dan akurat. Pada saat core sampai dipermukaan harus segera di lakukan konservasi / pengawetan agar kondisi tidak berubah karena perubahan tekanan & temperature. Cara pengawetan/ konsevasi core dilapangan umumnya dilakukan dengan beberapa cara yaitu antara lain : 1. Dengan dibungkus plastic tipis ( glad warp), lalu dibungkus lagi dengan aluminium foil ( kertas auminium), diberi label ( nama sumur, kedalaman) dan diberi tanda panah arah top & bottom) setelah itu core dicelupkan dalam plastic wax ( seal peel ). Core yang sudah dibungkus disusun dalam kotak kayu diurutkan sesuai dengan kedalamannya.. cara ini umumnya digunakan untuk batuan yang cukup kompak dan sidewall core. 2. Pengawetan core dengan jalan memasukkan core kedalam pipa pralon yang kedua ujungnya ditutrup rapat dan diluar pralon diberi label 3. Pengawetan dengan menggunakan pipa karet ( rubber sleeve) yang lansung dipasang dalam core barrel. Jadi sampai permukaan core sudah langsung terbungkus dalam pipa karet.. Core dalam rubber sleeve dipotong setiap 3 ft dan ujungnya ditutup rapat. Dalam pengiriman core ini disimpan dalam kotak kayu.

38

Gambar 19 Sample Core

Yang harus diperhatikan adalah sebelum core diawetkan core tidak boleh dicuci hanya boleh dibersihkan dengan lap yang sebelumnya dibasahi dengan lumpur pemboran yang dipakai .

Analisa core ( Core analysis ) Analisa core ( inti batuan) pada prinsipnya adalah menentukan sifat sifat petrofisika dari batuan reservoir yang sangat diperlukan dalam pengelolaan suatu lapangan Migas karena sifat-sifat ini dibutuhkan oleh bagian geologi, pemboran, reservoir maupun produksi. Sifat petrofisika tersebut antara lain adalah : 1.

Porositas

6.

Wettabilitas

2.

Permeabilitas

7.

Kompresibilitas

3.

Saturasi

8.

Permeabilitas relative

4.

Tekanan kapiler

9.

Water flooding

5.

Sifat kelistrikan

10. EOR Dan lain-lain

39

Analisa core dibedakan menjadi dua yaitu : ➢ Analisa rutin ( Rutine Core analysis) Analisa rutin menentukan sifat-sifat fisik batuan

yang umum untuk

menentukan storage capacity dan flow capacity antara lain

porositas,

saturasi dan permeabilitas . ➢ Analisa khusus ( Special Core Analysis) Analisa khusus ini menentukan sifat –sifat khusus dari batuan reservoir antara lain tekanan kapiler, wettability, kompresilititas, sifat kelistrikan dan lain-lain. Test yang dilakukan dalam aanalisa khusus ini dibedakan menjadi dua yaitu static test dan dimanik test. Statik test menentukan antara lain kompresibilitas, tekanan kapiler , sifat kelistrikan . Sedang dinamik test mencakup permeabilitas relative, flooding dan EOR.

Hubungan dari analisa rutin dan analisa khusus adalah bahwa hasil analisa rutin akan dipilih untuk digunakan dalam analisa khusus dengan jalan plot antara permeabilitas dengan porositas atau ( √ k/ø ). Sampel dipilih dengan range harga permeabilitas dan porositas serta litologi batuan tertentu. Persiapan pengukuran sifat petrofisika batuan inti Jenis core ( contoh batuan) atau sample yang dianalisa dibedakan berdasarkan besar serta jenisnya menjadi : 1. Conventional plug core adalah core yang dianalisa diambil dengan jalan dibor sejajar

40

dengan pelapisan dalam bentuk silinder dengan diameter 1 atau 1 ½ inch. Umumnya ini diterapkan pada batuan yang homogen. 2. Full diameter core yaitu core yang dianalisa sesuai dengan diameter aslinya dengan panjang kira-kira 8 inch. Core jenis ini umumnya diterapkan pada formasi yang heterogen atau batuan yang mempunyai rekahan / berongga. 3. Whole core dimana seluruh core dianalisa , ini biasanya untuk batuan yang heterogen 4. Sidewall core adalah contoh batuan yang diambil dari sidewall coring ( diambil dari penembakan pada dinding lubang bor Setiap core akan dibagi-bagi untuk beberapa pengukuran (test) antara lain : 1. Pemeabilitas ( vertical, horizontal) 2. Porositas 3, CEC 4. SEM 5. Sieve analysis dll.

Persiapan yang lain sebelum test adalah pencucian dan pengeringan. Sebelum dianalisa contoh dicuci/ dibersihkan dengan pelarut /solvent yaitu: a. Toluene untuk melarutkan HK. b. Methanol untuk melarutkan air garam.

41

LUMPUR PEMBORAN (DRILLING FLUID, MUD) Fluida pemboran merupakan suatu campuran cairan dari beberapa komponen yang dapat terdiri dari : air (tawar atau asin), minyak, tanah liat (clay), bahan-bahan kimia, gas, udara, busa maupun detergent. Di lapangan fluida dikenal sebagai "lumpur" (mud). Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting serta sangat menentukan dalam mendukung kesuksesan suatu operasi pemboran. Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung pada kinerja lumpur pemboran. Fungsi lumpur dalam suatu operasi pemboran antara lain adalah sebagai berikut : 1.

Mengangkat cutting ke permukaan.

2.

Mendinginkan dan melumasi bit dan drill string.

3.

Memberi dinding lubang bor dengan mud cake.

4.

Mengontrol tekanan formasi.

5. Membawa cutting dan material-material pemberat pada suspensi bila sirkulasi lumpur dihentikan sementara. 6.

Melepaskan pasir dan cutting dipermukaan.

7.

Menahan sebagian berat drill pipe dan cutting (bouyancy efect).

8.

Mengurangi effek negatif pada formasi.

9.

Mendapatkan informasi (mud log, sampel log).

10. Media logging.

42

Komposisi lumpur pemboran. Komposisi lumpur pemboran ditentukan oleh kondisi lubang bor dan jenis formasi yang ditembus oleh mata bor. Ada dua hal penting dalam penentuan komposisi lumpur pemboran, yaitu : ➢ Semakin ringan dan encer suatu lumpur pemboran, semakin besar laju penembusannya. ➢ Semakin berat dan kental suatu lumpur pemboran, semakin mudah untuk mengontrol kondisi dibawah permukaan separti masuknnya fluida formasi bertekanan tinggi (dikenal sebagai "kick"). Bila keadaan ini tidak dapat diatasi maka akan menyebabkan semburan liar (blowout).

Fungsi Lumpur Pemboran Menurut Preston L. Moore (1974), lumpur pemboran mulai dikenal pada sekitar tahun 1900-an bersamaan dengan dikenalnya pemboran rotari. Pada mulanya tujuan utama dari lumpur pemboran adalah untuk mengangkat serbuk bor secara kontinyu. Dengan berkembangnya zaman, banyak fungsi-fungsi tambahan yang diharapkan dari lumpur pemboran. Banyak additif dengan berbagai fungsi yang ditambahkan kedalamnya, menjadikan lumpur pemboran yang semula hanya berupa fluida sederhana menjadi campuran yang kompleks antara fluida, padatan dan bahan kimia. Dari adanya perkembangan dalam penggunaan lumpur hingga saat ini, fungsi-fungsi utama dari lumpur pemboran yang diharapkan adalah sebagai berikut: 1) Mengendalikan tekanan formasi.

43

2) Mengangkat serbuk bor kepermukaan dan membersihkan dasar lubang bor. 3) Memberi dinding pada lubang bor dengan mud-cake. 4) Melumasi dan mendinginkan rangkaian pipa pemboran. 5) Menahan padatan dari formasi dan melepaskannya dipermukaan.

Tipe Lumpur Pemboran Sesuai dengan lithologi dan stratigrafi yang berbeda-beda untuk setiap lapangan, serta tujuan pemboran yang berbeda-beda (eksplorasi, pengembangan, kerja ulang) kita mengenal type/ sistim lumput yang berbeda-beda pula, seperti : 1) Sistim Lumpur Tak Terdispersi (Non Dispersed). Termasuk diantaranya lumpur tajak untuk permukaan dan sumur dangkal dengan treatment yang sangat terbatas. 2) Sistim Lumpur Terdispersi untuk sumur yang lebih dalam yang membutuhkan berat jenis yang lebih tinggi atau kondisi lubanh yang problematis. Lumpur perlu didispersikan menggunakan dispersant seperti senyawa Lignosulfonat, Lignite serta Tannin 3) Lime Mud (Calcium Treated Mud), sistim Lumpur yang mengandalkan ion-ion Calcium untuk melindungi lapisan formasi shale yang mudah runtuh karena me-nyerap air. 4) Sistim Lumpur Air Garam yang mengandalkan larutan garam (NaCl, KCl)) untuk mengurangi pembasahan formasi oleh air. 5) Sistim Lumpur Polymer yang mengandalkan polymer-polymer seperti Poly Acrylate, Xanthan Gum, Cellulosa untuk melindungi formasi dan

44

mencegah terlarutnya cuttings kedalam lumpur bor. Sistim ini dapat ditingkatkan kemam-puannya dengan menambahkan daram KCl atau NaCl, sehingga sistim ini disebut Salt Polymer System. 6) Oil Base Mud. Untuk membor lapisan formasi yang sangat peka terhadap air, digunakan sistim lumpur yang menggunakan minyak sebagai medium pelarut.

Bahan-bahan

kimia

yang

dipakai

haruslah

dapat

larut

atau kompatibel dengan minyak., berbeda dengan bahan kimia yang larut dalam air. Sistim Lumpur ini Sistim Lumpur ini sangat handal melindungi desintefrasi formasi, tahan suhu tinggi, akan tetapi kecuali mahal juga kurang ramah lingkungan 7) Sistim Lumpur Synthetis menggunakan fluida sintetis dar jenis ester, ether, dan poly alha olefin, untuk menggantikan minyak sebagai medium pelarut. Lumpur ini sekwaalitas dengan Oil Based Mud, ramah lingkungan, akan tetapi dianggap teralu mahal.

45

3.2.2 Interpretasi •

Jadi di interpretasikan pada bagian bawah yaitu kedalaman 6450 – 6454 lingkungan pengendapannya adalah transisi / lower fan.



Pada kedalaman 6454 – 6436 lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal / upper fan.



Pada kedalaman 6436 – 6433 lingkungan pengendapannya adalah laut dalam / lower fan.

46

3.2.3 Laporan Resmi Analisa Coring

47

Bab 4 Geokimia Hidrokarbon

4.1. Dasar Teori Hidrokarbon adalah sumber daya energi yang penting peranannya dalam mendukung perekonomian negara. Di Indonesia terdapat lebih dari enam puluh cekungan sedimen, baik yang ada di lepas pantai maupun di darat. Saat ini batuan sedimen laut dalam mendapat perhatian karena berpotensi sebagai reservoir hidrokarbon, seperti yang telah dibuktikan di Cekungan Kutai, Brunei, Tarakan, Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Cekungan Palawan (Kusumastuti drr., 2001; Guritno drr., 2003)

Agar minyak dan gas Bumi dapat terbentuk dan tersimpan dalam perut Bumi untuk kemudian ditemukan oleh manusia, dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu di antaranya:

1. Terdapatnya batuan induk atau source rock, yaitu batuan sedimen yang mengandung material organik 2. Adanya migrasi, yaitu proses berpindahnya minyak dan gas Bumi yang terbentuk di source rock menuju lapisan resorvoir 3. Adanya batuan resorvoir yang merupakan batuan sedimen berpori, sehingga minyak dan gas Bumi dapat tersimpan di daerah tersebut 4. Adanya perangkap minyak dan gas Bumi atau yang biasa disebut oil trap, yaitu bentukan yang menyebabkan minyak dan gas Bumi terperangkap di dalamnya

48

5. Terdapatnya batuan penutup yang merupakan batuan sedimen kedap air, yang menyebabkan minyak dan gas Bumi tidak bisa keluar lagi sampai saatnya ditemukan oleh manusia.

Ada beberapa pengertian dari batuan induk ataupun sorce rock yaitu sebagai berikut :

1. Batuan induk (Source rocks) adalah batuan sedimen berbutir halus yang memiliki kapabilitas sebagai sumber hidrokarbon (Waples, 1985) 2. Pengertian batuan induk adalah batuan sedimen yang sedang, akan, atau telah menghasilkan hidrokarbon (Tissot and Welte, 1984 vide Peter and Cassa, 1994). 3. Source rock adalah batuan karbonat yang berasal dari zat-zat organic yang terendapkan oleh batuan sedimen. Sehingga tidak terjadi siklus carbon seperti selayaknya. Justru karbonat terendapkan dan menjadi batu

Ada beberapa istilah mengenai batuan induk yang harus kita pahami, antara lain :

1. Batuan Induk efektif (effective source rocks) adalah batuan sedimen yang sudah menghasilkan dan mengeluarkan (expelled) hidrokarbon 2. Batuan induk yang mungkin (possible source rocks) adalah batuan sedimen yang potensi sumbernya belum dievaluasi, tetapi mungkin telah menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon 3. Batuan Induk potensial (potential source rocks) adalah batuan sedimen yang belum matang (immature) yang kapabilitasnya dalam menghasilkan dan

49

mengeluarkan hidrokarbon diketahui jika tingkat kematangan termal menjadi lebih tinggi.

Batuan induk (source rock) diklasifikasikan dari jenis kerogen bahwa mereka mengandung, yang pada gilirannya mengatur jenis hidrokarbon yang akan dihasilkan :

a. Tipe 1 batuan sumber terbentuk dari alga masih diendapkan di bawah anoksik kondisi di dalam danau : mereka cenderung menghasilkan minyak mentah lilin ketika diberikan stres termal selama penguburan yang mendalam

b. Tipe 2 sumber batuan terbentuk dari plankton laut dan bakteri tetap dipertahankan dalam kondisi anoxic di lingkungan laut: mereka menghasilkan baik minyak dan gas ketika termal retak selama penguburan dalam.

c. Tipe 3 batuan sumber terbentuk dari bahan tanaman darat yang telah diurai oleh bakteri dan jamur dalam kondisi oxic atau sub-oxic: mereka cenderung menghasilkan sebagian besar gas dengan minyak ringan terkait ketika termal retak selama penguburan dalam. Kebanyakan serpih bara dan hitam legam umumnya Tipe 3 batuan sumber.

Faktor Terbentuknya Source Rock

Untuk menjadi source rock ada 3 faktor yang mempengaruhi, yaitu :

50

1. TOC ( total organic karbon ) merupakan kuantitas dari karbon organic yang terendapkan dalam batuan tersebut. Semakin tinggi nilai OC maka akan semakin baik source rock tersebut dan kemungkinan terbentuknya hidrokarbon akan semakin tinggi. TOC yang dapat menghasilkan adalah di atas 1 % .

2. Kerogen merupakan kualitas dari carbon organic yang terendapkan dala batuan tersebut. Komposisi kerogen juga dipengaruhi proses pematangan termal (katagenesis dan metagenesis) yang mengubah kerogen tersebut.

Analisis dan Evaluasi Batuan Induk

Ada 5 hal yang akan di perhatikan dalam analisis dan evaluasi batuan induk, yaitu :

1. Transformasi material organik

Menurut Waples (1985), hidrokarbon berasal dari material organik tumbuhan yang telah mati pada masa lampau dengan proses pembentukan yang sangat rumit. Sampai saat ini, beberapa bagian daripada proses pembentukan hidrokarbon masih belum dapat dimengerti. Namun secara garis besar diketahui bahwa material organik ini berasal dari tumbuhan dan alga yang terlindungi dengan baik pada sedimen berbutir halus yang terendapkan pada daerah tanpa oksigen (anoksik). Kandungan organik ini akan berubah oleh adanya reaksi kimia dan biologi pada suhu yang rendah (diagenesis) yang terjadi selama proses transportasi dan pengendapan.

51

Perubahan kimia pada tahapan ini akan berkurang dengan hilangnya kandungan oksigen (O2) dari material organik dalam bentuk air (H2O) dan karbondioksida (CO2). Material organik yang selama diagenesis berubah menjadi molekul yang lebih besar dinamakan kerogen. Dengan bertambahnya kedalaman, porositas dan permeabilitas sedimen akan menurun, sementara suhu akan naik. Perubahan ini menyebabkan terhentinya aktivitas mikroba secara bertahap, dan pada akhirnya proses diagenesis organik akan terhenti. Dengan naiknya suhu, maka reaksi termal menjadi semakin penting.

Selama fase berikutnya (katagenesis), kerogen mulai memisah menjadi molekul yang lebih kecil dan mudah bergerak. Pada tahap perubahan akhir (metagenesis), produk pokoknya akan terdiri dari molekul gas yang lebih kecil. Kerogen yang terbentuk dari material organik yang berbeda, atau pada kondisi diagenetik yang berbeda, akan memiliki perbedaan secara kimia satu sama lain. Adanya perbedaan ini juga akan memberi perbedaan pada karakteristik hidrokarbon yang dihasilkan.

2. Preservasi material organik

Batuan induk, yang dicirikan oleh jumlah kandungan organik tipe tertentu akan terendapkan pada konisi tertentu. Kondisi yang tepat untuk pembentukan sedimen yang kaya kandungan organik adalah sebagai berikut: – Suplai detritus yang kaya material organik dalam jumlah yang banyak – Terlindungi dari proses oksidasi biogenik/ abiogenik

52

– Sedimentasi pada daerah dengan energi rendah – Transportasi yang cepat menuju permukaan pengendapan

Kondisi anoksik (depleted oxygen) diperlukan dalam preservasi material organik pada suatu lingkungan pengendapan, dikarenakan kondisi lingkungan ini akan membatasi aktivitas bakteri aerobik dan organisme biturbasi yang sangat berperan dalam pengrusakan material organik. Kondisi anoksik berkembang dimana kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai oksigen. Oksigen biasanya dikonsumsi oleh proses pembusukan (degradasi) zat organik yang telah mati, dimana kebutuhan oksigen amat besar pada area dimana produktivitas organik yang tinggi. Pada lingkungan berair (aquatic), suplai oksigen dikontrol oleh sirkulasi air yang mengandung oksigen dan berkurang pada kondisi pada dasar air yang stagnan.

3. Analisis kerogen

Material organik akan terpendam dalam sedimen (batuan induk) dalam bentuk yang disebut kerogen. Pengukuran geokimia dapat digunakan untuk menentukan kadar dan tingkat kematangan termal batuan ini. Pengukuran potensi untuk menghasilkan hidrokarbon ditentukan oleh pengukuran Total Organic Carbon (TOC) dan pyrolysis yield. Batuan dengan pyrolysis yield lebih besar dari 5 kg/ ton disebut batuan induk efektif. Untuk peralatan geokimia yang lebih modern lagi, seperti gas chromatography dan studi isotop dapat digunakan untuk menentukan produk hidrokarbon dan juga untuk aplikasi lain, seperti korelasi batuan induk dengan minyak bumi.

53

Deskripsi kerogen secara visual (optical) juga dapat menjadi petunjuk yang berguna untuk mengetahui potensi dan tipe hidrokarbon. Dari pengamatan secara mikroskopik pada cahaya refeksi (reflected light), kerogen dapat diklasifikasikan kepada grup exinite, vitrinite, and inertinite. Grup exinite terdiri dari maseral dengan potensi minyak yang signifikan, sementara grup vitrinit adalah penghasil gas (gasprone). Grup intertinit tidak mempunyai potensi untuk menghasilkan hidrokarbon. Pengukuran dari vitrinite reflectance sering digunakan untuk pengukuran index kematangan thermal.

Table 5Potensi sumber dari Immature Kerogen Berdasarkan Indeks Hidrogen

Hidrogen Indeks (mg HCg/TOC < 150 150-300 300-450 450-600 > 600

Principal Product

Relative Quantity

gas Oil + gas Oil Oil Oil

Small Small Moderate Large Very Large

4. Indikator kematangan termal

Vitrinite reflectance adalah indicator kematangan batuan induk yang paling sering digunakan, dilambangkan dengan Ro (Reflectance in oil). Nilai Ro untuk mengukur partikel-partikel vitrinite yang ada dalam sampel amat bervariasi. Untuk menjamin kebenaran pengukuran, maka penentuan nilai Ro diperlukan secara berulang pada sampel yang sama. Bila distribusi dari vitrinite reflectance adalah bimodal, maka ada kemungkinan telah terjadi reworking. Skala vitrnite relectance yang telah dikalibrasikan oleh berbagai parameter kematangan yang lain oleh studi minyak dan gas adalah sebagai berikut:

54

– Ro < 0.55 belum matang (immature) – 0.55 < Ro < 0.8 telah menghasilkan minyak dan gas bumi – 0.8 < Ro < 1.0 minyak berubah menjadi gas bumi (zona kondensat gas) – 1.0 < Ro < 2.5 dry gas

Vitrinite reflectance adalah indikator kematangan termal yang sangat baik pada Ro antara 0.7 dan 0.8. Salah satu penggunaan vitrinite reflectance yang juga penting dalam analisis cekungan (basin analysis) adalah kalibrasi sejarah termal (thermal history) dan sejarah pengendapan (burial history) dengan tingkat kematangan pada masa sekarang.

5. Akumulasi dan pembentukan minyak bumi

Hidrokarbon terbentuk ketika batuan induk telah menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon. Hidrokarbon ini seterusnya akan mengalir melalui lapisan pembawa (carrier bed) menuju perangkap (trap). Hidrokarbon dihasilkan sebagai reaksi dari perpecahan kimiawi kerogen (chemical breakdown) bersamaan dengan bertambahnya suhu. Dengan keluarnya hidrokarbon dari batuan induk, maka sisa kerogen akan berubah menjadi residu karbon. Suhu dan waktu adalah faktor terpenting dari pecahnya kerogen. Keluarnya hidrokarbon dari batuan induk kemungkinan terjadi akibat adanya perpecahan mikro (micro-fracturing) pada batuan induk setelah terjadi overpressure akibat terbentuknya hidrokarbon.

Batuan induk yang miskin tidak akan menciptakan cukup minyak untuk mengakibatkan ekspulsi hidrokarbon. Pada tingkat kematangan yang lebih lanjut,

55

maka minyak akan akan berubah menjadi gas yang lebih mudah untuk lepas dari batuan induk. Untuk batuan induk yang kaya, efisiensi dari pengeluaran minyak cukup tinggi (60 – 90 %). Lepasnya hidrokarbon dari batuan induk ke lapisan pembawa (carrier bed) disebut juga migrasi primer (primary migration). Perpindahan hidrokarbon melalui lapisan pembawa yang porous dan permeable menuju perangkap (traps) disebut juga migrasi sekunder (secondary migration). Kekuatan utama dibalik migrasi sekunder adalah adanya buoyancy yang diakibatkan oleh adanya perbedaan densitas antara minyak (atau gas) dan air pada pori pori batuan.

Sedangkan yang menahan buoyancy ini adalah tekanan kapiler (capillary pressure). Tekanan kapiler akan semakin naik dengan semakin kecilnya pori pori batuan. Selama migrasi sekunder (secondary migration), hidrokarbon cenderung mengalir melalui jaringan pori pori batuan yang saling berhubungan pada lapisan penghantar (carrier bed) daripada meliputi volume lapisan penghantar secara keseluruhan. Perpindahan akan terhenti pada saat hidrokarbon melalui pori batuan yang lebih kecil dimana tekanan kapiler (capillary pressure) akan lebih besar dari gaya buoyancy dari kolom minyak. Sistem pori ini disebut juga sebagai lapisan penutup (seal) dengan tinggi maksimum kolom minyak yang dapat ditahan oleh lapisan penutup (seal) dapat dihitung. Hidrokarbon cenderung untuk pindah searah dengan kemiringan (true dip) pada bagian atas dari lapisan penghantar (carrier bed). Oleh karena itu peta struktur kontur dapat digunakan untk mebuat model arah migrasi. Selama migrasi yang panjang (sebagai contoh pada foreland basin), hidrokarbon akan mengalir terpusat pada tinggian regional (regional high).

56

Hilangnya hidrokarbon pada saat migrasi sekunder (secondary migration) sangat sulit untuk dihitung. Akhirnya, hidrokarbon akan terperangkap dalam reservoar yang yang disemuti oleh lapisan penghambat (seal). Hidrokarbon ini akan berubah secara fisik dan kimia oleh proses biodegradasi, water washing, deeasphalting dan alterasi termal pada perangkap tersebut.

Analisa Jumlah Organik Dalam Batuan Induk Jumlah material organik yang terdapat di dalam batuan sedimen dinyatakan sebagai Karbon Organik Total (TOC). Analisis ini cukup murah, sederhana dan cepat. Biasanya memerlukan satu gram batuan, tetapi jika sample banyak material organik, jumlah yang lebih kecil dari satu gram cukup. Analisa TOC biasanya dilakukan dengan suatu alat penganalisis karbon, Leco Carbon Analyzer. Dimana tekniknya cukup sederhana, yaitu dengan membakar sample yang berbentuk bubuk, bebas mineral karbonat pada temperatur tinggi dengan batuan oksigen. Semua karbon organik dirubah menjadi karbon dioksida, yang kemudian diperangkap dalam alat tersebut dan dilepaskan dalam suatu detector ketika pembakaran sudah usai jumlah karbon organik di dalam batuan karbonat harus dihilangkan dalam sample dengan asam klorida sebelum pembakaran, karena mineral karbonat juga terurai selama pembakaran dan menghasilkan karbon dioksida. Sample dengan kandungan TOC rendah biasanya dianggap tidak mampu membentuk hidrokarbon yang komersial dan karena itu sample seperti biasanya tidak dianalisis lebih lanjut. Titik batas didiskualifikasikan biasanya tidak merata, tetapi pada umumnya antara 0,5 dan 1 % TOC. Sample yang terpilih, dianalisis lebih lanjut untuk tipe material organik yang dikandungnya.

57

Jika penentuan TOC ditentukan terhadap sample inti bor, maka pengambilan sample tersebut didasarkan pada litologi yang menarik. Sebelum melakukan penentuan TOC, teknisi harus membuang kontaminan dan material jatuhan. Jika terdapat lebih dari satu litologi dalam suatu sample, maka kita harus melakukan pengambilan material tertentu saja. Pendekatan lain adalah tanpa memilih materialnya dengan harapan agar kita mendapatkan harga yang mencerminkan keseluruhan sample. Kekurangan dari cara ini adalah kita secara tidak sadar mencampur material kaya yang seringkali jumlahnya relatif sedikit dengan material yang tidak mengandung material organik (kosong) yang jumlahnya cukup banyak, sehingga akhirnya memberikan data yang membuat kita menjadi pesimis. Karena kedua cara tersebut berbeda, maka jika tidak seseorang akan melakukan interpretasi haruslah mengetahui metode mana yang telah ditempuh agar dapat menghasilkan interpretasi dengan akurasi tinggi.

ANALISA KEMATANGAN BATUAN INDUK Tingkat Kematangan Minyak Bumi Para ahli berpendapat bahwa proses kematangan dikontrol oleh suhu dan waktu. Pengaruh suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat atau suhu yang rendah dalam waktu yang lama akan menyebabkan terubahnya kerogen minyak bumi. Mengenai jenis Minyak bumi yang terbentuk tergantung pada tingkat kematangan panas batuan induk, semakin tinggi tingkat kematangan panas batuan induk maka akan terbentuk Minyak bumi jenis berat, Minyak bumi ringan, kondensat dan pada akhirnya gas.

58

Dari pengaruh suhu dan kedalaman sumur, umur batuan juga berperan dalam proses pembentukan minyak bumi. Umur suatu batuan erat hubungannya dengan lamanya proses pemanasan bedangsung serta jumlah panas yang diterima batuan induk, sehingga suatu batuan induk yang terletak pada kedalaman yang dangkal, pada kondisi temperatur yang rendah dapat mencapai suhu pembentukan minyak bumi dalam suatu skala waktu tertentu. Dari hasil suatu riset, Bissada (1986) menyatakan bahwa temperatur pembentukan minyak bumi sangat bervariasi. Dijelaskan bahwa batuan yang berusia lebih muda relatif memerlukan temperatur yang lebih tinggi dalam pembentukan minyak bumi. 5 tahapan zonasi pematangan minyak bumi menurut Bissada (1986) adalah : 1. Zona I : dimana gas dapat terbentuk sebagai akibat aktivitas bakteri tidak ada minyak yang dapat dideteksi kecuali minyak bumi tersebut merupakan zat pengotor atau hasil suatu migrasi. 2. Zona II :

merupakan awal pembentukan minyak bumi. Hasil utama yang

terbentuk pada zona ini adalah gas kering basah dan sedikit kondensat. Adanya pertambahan konsentrasi minyak akan menyebabkan minyak burni terus mengalami pengeceran, tetapi belum dapat terbebaskan dari batuan induknya. Begitu titik kritis kemampuan menyimpan terlampaui, proses pelepasan minyak bumi sebagai senyawa yang telah matang dimulai. 3. Zona III : merupakan zona puncak pembentukan dan pelepasan minyak bumi dari batuan induk. Bentuk utama yang dihasilkan berupa gas dan minyak bumi.

59

Dengan bertambahnya tingkat pematangan maka minyak yang berjenis ringan akan terbentuk. 4. Zona IV : merupakan zona peningkatan pembentukan kondensat gas basah. 5. Zona V : merupakan zona terakhir, dicirikan dengan suhu yang tinggi sehingga zat organik akan terurai menjadi gas kering (metana) sebagai akibat karbonisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat penambahan panas dan lamanya pemanasan pada kerogen atau batubara dapat bersifat kimia dan fisika, seperti diuraikan oleh Bissada (1980) sebagai berikut : a.

Daya pantul cahaya dari partikel vitrinit akan meningkat secara eksposnensial.

b. Warna kerogen akan berubah menjadi lebih gelap. c.

Adanya peningkatan mutu batubara, dengan kandungan volatile akan

berkurang. d. Sifat kimia dari kerogen akan berubah, kandungan oksigen dan hidrokarbon akan berkurang sehingga perbandingan dari atom oksigen / karbon dan hydrogen / karbon akan menurun dan akhirnya hanya akan membentuk karbon mumi (grafit).

60

ZONE I BIOHEMICAL METANE GENERATION DRY GAS ZONE II INITIAL THERMOCHEMICAL GENERATION NO EFFECTIVE OIL RELEASE DRY GAS - WET GAS - CONDENSATE - (OIL ?) ZONE III MAIN PHASE OF MATURE OIL GENERATION AND RELEASE OIL AND GAS ZONE IV THERMAL DEGRADATION OF HEAVY HIDROCARBON (OIL PHASE - OUT) CONDENSATE WET GAS - DRY GAS ZONE V INTENSE ORGANIC METAMORFISM: METANA FORMATION DRY GAS Table 6 Zonasi pembentukan minyak bumi (Sissada, 1986)

61

Identifikasi kematangan minyak bumi Perubahan thermal zat organik mungkin akan dimulai pada kondisi temperatur sebesar 1000 C. Perubahan temperatur yang teejadi dapat menyebabkan terjadinya proses metamorfosa dan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi zat organik yang terkandung dalam sedimen. Sehingga saat ini berkembang suatu cara pengidentifikasian pematangan berdasarkan data geokimia organik yaitu dengan cara : Analisa Pantulan vitrinit Analisa ini berdasarkan pada kemampuan daya pantul cahaya vitrinit. Besarnya pantulan vitrinit merupakan petunjuk langsung untuk tingkat kematangan zat organik, terutama humus yang cenderung membentuk gas dan merupakan petunjuk tidak langsung untuk sapronel kerogen yang cenderung membentuk minyak (Cooper, 1977). Kemampuan daya pantul ini merupakan fungsi temperatur artinya dengan perubahan waktu pemanasan dan temperatur akan menyebabkan warna vitrinit berubah dibawah sinar pantul. Cara penganalisaam pantulan vitrinit ini yaitu dengan mengambil contoh batuan dari kedalaman tertentu diletakkan diatas kaca preparat dan direkatkan dengan epoxyresin. Kemudian digosokkan dengan kertas korondum kasar sampai halus dan terakhir dengan menggunakan alumina. Selanjutnya contoh batuan tersebut diuji dalam minyak immersi (indeks bias = 1,516) dengan menggunakan mikroskop dan suatu micro photomultiplier dan digital voltmeter attachment. Kemudian dilakukan kalibrasi terhadap vitrinit berdasarkan suatu standart yang terbuat dari gelas. Table di bawah memperlihatkan hubungan antara nilai pantulan vitrinit dengan tingkat kematangan hidrokarbon. (Tissot and Welte, 1978).

62

VITRINITE REFLECTANCE

HYDROCARBON TYPE

0,33 – 0,35

Biogenic gas

0,35 – 0,66

Biogenic gas and oil immature

0,60 – 0,80

Immature oil

0,80 – 1,30

Mature oil

1,30 – 1,60

Mature oil, condensat, wet gas

1,60 – 2,00

Condensat, wet gas

> 2,00

Petrogenoic methane gas Table 7 Vitrinite

Analisa Indeks Warna Spora Analisa ini untuk mengetahui tingkat kematangan zat organik dengan menggunakan mikro fosil dari sekelompok spora dengan serbuk sari. Analisa ini dilakukan dengan cara contoh kerogen yang diperlukan dari keratan bor diuraikan dengan cairan asam kemudian contoh spora atau tepung sari ini diletakkan pada kaca preparat dan diamati tingkat warnanya dengan suatu skala warna melalui mikroskop. Kesulitan dalam analisis indeks warna spora ini terkadang timbul dalam hal membandingkan tingkat warna dari suatu contoh spora atau tepung sari dengan warna standart tertentu. Keterbatasan lainnya adalah bahwasannya tingkat warnan spora akan sangat tergantung pada ketebalan dindingnya, pada beberapa jenis spora efek panas yang mengenainya terkadang tidak selalu tercermin dari perubahan warnanya. Table 3.2. memperlihatkan hubungan antara warna dari spora atau tepung sari dengan tingkat kematangannya.

63

SCI

PALYNOMORPH COLOUR

MATURITY DEGREE

1

Pale Yellow

Immature

2

Yellow

Immature

3

Yellow

Transition to mature

4

Gold Yellow

Transition to mature

5

Orange of Yellow

Mature

6

Orange

Optimum oil generation

7

Brown

Optimum oil generation

8

Drak Brown

Mature, gas condensat

9

Drak Brown to Black

Over mature, dry gas

10

Black

Over mature, dry gas (traces) Table 8 Warna Spora

Indeks Pengubahan Thermal Metode ini mempergunakan penentuan warna secara visuil dari pollen (serbuk kepala putik) dan zat organik lainnya, dari warna kuning, coklat sampai hitam. Klasifikasi ini dihubungkan langsung dengan pembentukan atau pematangan dari minyak dan gas bumi.

64

Identifikasi Kematangan Berdasarkan Pyrolisis Metode Analisis Alat yang dipergunakan untuk ini adalah rock-eval. Di dalam pyrolisis, sejumlah kecil bubuk sample (biasanya sekitar 50 -100 mg) dipanasi secara perlahan tanpa adanya oksigen dari suatu temperatur awal 2500 C ke temperatur maksimum 5500 C. Selama pemanasan berlangsung dua jenis hidrokarbon dikeluarkan dari batuan. Hidrokarbon yang pertama, yang keluar sekitar 2500 C, merupakan hidrokarbon yang sudah ada dalam batuan. Hidrokarbon ini setara dengan bitumen yang dapat diekstraksi dengan mepergunakan pelarut. Detector pada Rock-Eval akan merekam hal ini dan menggambarkannya dalam bentuk S1 pada kertas pencatat. Dengan menerusnya pemanasan, aliran hidrokarbon yang sudah ada di dalam batuan mulai berkurang. Pada temperatur 3500 C jenis hidrokarbon jenis kedua mulai muncul. Aliran kedua ini mencapai maksimum ketika temperatur pyrolisis hidrokarbon mencapai 4200 C dan 4600 C, yang kemudian menurun sampai akhir pyrolisis. Hidrokarbon kedua ini disebut S2, merupakan hidrokarbon yang terbentuk dari kerogen didalam Rock-Eval karena penguraian bahan kerogen. S2 dianggap sebagai indicator penting tentang kemampuan kerogen memproduksi hidrokarbon pada saat ini. Selama pyrolisis, karbon dioksida juga dikeluarkan dari kerogen. Karbon dioksida ini ditangkap oleh suatu perangkap selama pyrolisis berlangsung dan kemudian dilepas pada detector kedua (direkam sabagai S3) setelah semua pengukuran hidrokarbon selesai. Jumlah karbon dioksida yang didapat dari kerogen yang dikorelasikan dengan jumlah oksigen tinggi berkaitan dengan material yang

65

berasal dari kayu selulosa atau oksida tinggi selama diagenesis, maka kandungan oksigen tinggi di dalam kerogen merupakan indicator negatif potensial sumber hidrokarbon.

Pyrolisis Tmax Parameter Tmax adalah temperatur puncak S2 mencapai maksimum. Temperatur pyrolisis digunakan sebagai indicator kematangan, sebab jika kematangan kerogen meningkat, temperatur yang menunjukkan laju maksimum pyrofisis terjadi juga meningkat atau dengan kata lain jika Tmax makin tinggi batuan semakin matang. Demikian pula halnya dengan ratio S1 (S2 + S3) yang disebut juga transportation ratio atau OPI (Oil Production Index) dan juga parameter Tmax. Untuk hubungan antara transformation Ratio dan Tmax dengan kematangan dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel Hubungan antara traspormation Ratio dengan Kematangan (Espifatie etal 77 Vide tissot & Wefte 1978) S1 1 (S1 = S2) (mg/gr atau kg/ton) < 0,1 0,1-0,4 > 0,4

Tingkat Kematangan Beium matang Matang (oil wirndow) Lewat matang (gas window)

Tabel Hubungan antara T Max dengan Tingkat Kematangan (Espilatie etal Vide tissot & Wefte 1978) T Max (0C) 400 – 435

Tingkat Kematangan Beium matang

66

435 – 460 > 460

Matang (oil wirndow) Lewat matang (gas window)

Peningkatan kematangan pada Torcian Paper Shale, cekungan Pads. Peningkatan ini sejalan dengan bertambahnya kedalaman penimbun, seperti juga ditunjukkan oleh meningkatnya puncak S1, bertambahnya rasio Sl(S1 + S2) dan bertambahnya T Max (Waples, 1985, P.95).

Table 9 Klasifikasi S1 + S2 (HY) (Espilatie etal 77 Vide tissot & Welte 1978)

S1 + S2 (mg/gr atau kg/ton)

Tingkat Kematangan

0,00-1,00

Poor

1,00-2,00

Marginal

2,00-6,00

Moderate

6,00-10,0

Good

10,0-20,0

Very good

> 20,0

Excellent

ANALISA TIPE MATERIAL ORGANIK

Tipe - tipe Bahan Organik Dalam Batuan Induk Hampir seluruh bahan organik dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe utama yaitu Sapropefic dan Hurnic (POTONIE, 1908). Istilah Spropelic menunjukkan hasil dekornposisi dari lemak, zat organik lipid yang diendapkan dalam lumpur bawah air (Laut dan Danau) pada kondisi oksigen terbatas. Istilah Humic menjelaskan hasil dari pembentukan gambut, dan pada umumnya berasal dari tumbuhan darat yang diendapkan pada rawa pada kondisi

67

adanya oksigen. Istilah Kerogen pada mulanya menunjukkan bahan organik dan serpih minyak yang menjadi yang menjadi minyak akibat pematangan thermal. Sekarang Kerogen didefinisikan sebagai bahan organik yang tidak dapat larut dalam asam non oksidasi, basa dan pelarut organik (HUNT, 1979), sekitar 80 - 99% kandungan bahan organik pada batuan induk tersusun oleh kerogen, selebihnya adalah bitumen. Dalam diagram Van Krevelen yang dimodifikasi Tissot (1974) dan ahli lainnya (North, 1985). Ia menggambarkan jalur evolusi pematangan (Evolusi thermal), 4 tipe kerogen yaftu : •

Tipe 1 : Tipe ini merupakan tipe tinggi, berupa sedimen-sedimen algal,

umumnya merupakan endapan danau, mengandung bahan organik Sapropelic, rasio atom H:C sekitar 1,6 – 1,8. Kerogen ini cenderung menghasilkan minyak (oil prone). •

Tipe 2 : Kerogen tipe ini merupakan tipe intermediat, umumnya merupakan

endapan-endapan tepi laut. Bahan organiknya merupakan campuran antara bahan organik asal darat dan laut, rasio atom H:C sekitar 1,4. Tipe ini juga menghasilkan minyak (oil prone). •

Tipe 3 : Kerogen ini mengandung bahan organik Humic yang berasal dari darat,

yakni dari tumbuhan tingkat tinggi (ekivalen dengan vitrinite pada batubara). Rasio antara atom H:C adalah 1,0. Tipe ini cenderung untuk membentuk gas (gas prone). •

Tipe 4 : Tipe ini bahan organiknya berasal dari berbagai sumber, namun telah

mengalami oksidasi, daur ulang atau teralterasi. Bahan organiknya yang lembam (inert) miskin hydrogen (rasio atom H:C kurang dari 0,4) dan tidak menghasilkan hidrokarbon.

68

Kelompok maseral

Maseral

Asal Tanaman

Alginit

Alga

Kutinit

Lapisan lilin

Eksinit

Sporinit

Spora / pollen

(cenderung ke minyak

Resinit

Resin

Siberinit

Gabus

Liptoderinit

Berbagai materil di atas

Vitrinit

Telinit

Jaringan tanaman

(cenderung gas)

Kolinit

Gel humus

Fussinit

Arang

Semi Fussinit

Tanaman

Piro Fussinit

Jaringan

Sklerotinit

Jamur

Makrinit

Amor tidak jelas praztnya

Inertinit (inert)

Makrinit Table 10 Tipe Vitrinite

Metode Evaluasi Tipe Material Organik Ada dua cara pendekatan untuk menentukan tipe material organik di dalam batuan induk. Metode Langsung Metode yang dipakai adalah metode pyrolisis, dimana setelah pyrolisis didapat (S1, S2, S3 dan T Max), maka kita bisa mendapatkan harga Hidrogen Index dan Oksigen Indeks yaitu Hidrogen Indeks (H1) = S2/TOC x 100; Oksigen Indeks (OI) = S3/TOC x 100. Harga ini kemudian diplotkan kedalam diagram Van Krevelen, sehingga kita bisa menentukan tipe material organiknya. Kemudian bisa juga dengan menggunakan data T Max dan HI, setelah itu kita mengetahui type material organiknya, maka kita bisa menentukan lingkungan pengendapannya.

69

Metode tidak langsung Sangat berbeda dengan metode langsung, metode ini mengamati potensial sumber dari suatu kerogen dengan mengamati karakteristik fisik dan kimia yang diperkirakan kaitannya dengan potensial sumber. Teknik tak langsung yang umumnya digunakan adalah analisis mikroskopis dan analisis unsur. Analisis Mikroskopis Studi parlikel kerogen di bawah suatu mikroskop dengan menggunakan sinar transisi sudah merupakan bagian integral geokimia organik untuk jangka dua decade. Kerogen dikonsentrasikan atau diisolasi dan kemudian ditempatkan didalam sayatan mikroskopik. Pengamatan yang terlatih akan dengan mudah mengetahui adanya beberapa macam partikel kerogen, seperti spora, pollen, acritachs, resin dan material dari lapisan lilin tanaman yang dapat diakitkan dengan prazat biologisnya. Partikel lain yang telah mengalami transformasi eksistensif sering dilakukan untuk membedakan kerogen amorf yang berpotensial membentuk minyak (berflouresen) dari kerogen amorf yang berpotensial membentuk gas (tidak berflouresen). Analisis Unsur Parameter penting di dalam analisis unsur untuk evaluasi batuan induk adalah rasio HIC suatu kerogen. Karena hydrogen merupakan reagen terbatas dalam pembentukan hidrokarbon (hydrogen biasanya habis lebih dahulu dibandingkan dengan karbon), maka jumlah asal hydrogen menentukan jumlah maksimum hidrokarbon yang terbentuk oleh suatu kerogen. Metode tidak langsung merupakan metode yang berguna dalam penetuan potensial batuan induk meskipun kepopuleran metode ini tergeser oleh kepopuleran

70

metode pyrolisis batuan induk. Walaupun demikian, disarankan agar setiap avaluasi batuan induk dilakukan analisis unsur atau mikroskopik untuk mencek hasil pyrobsis. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tidak Langsung Kelebihan dari metode ini adalah kita dapat memperoleh gambaran tentang komposisi kimia dan sejarah suatu kerogen, sehingga kita akan dapat mengerti semua masalah geologi dan geokimia yang mempengaruhi kualitas batuan induk. Kelebihan lainnya ialah kita akan mendapatkan data yang akhimya akan kita bandingkan dengan metode langsung. Kekurangannya ada dua : kecepatan dan biaya analisisnya yang umumnya lebih tinggi dari kedua hal tersebut untuk pyrolisis, sedangkan hasilnya tidak langsung memberikan kita gambaran tentang kapasitas pembentukan hidrokarbon batuan tersebut.

Table 11Geochemical Parameters Describing Source Rock Generative Potential

Quantity

TOC (wt. %)

S1*

S2*

Poor

0–5

0 – 0,5

0 – 2,5

Fair

0,5 – 1

0,5 – 1

2,5 – 5

1–2

1–2

5 – 10

>2

>2

> 10

Good Very Good *Nomenclature

S1 = mg HC/g rock

S2 = mg HC/g rock

Table 12 Geochemical Parameters Describing Type of Generative Generated Type

HI

S2/S3

71

(mg HG/g Corg)* Gas Gas and Oil Oil

0 – 150

0–3

150 – 300

3–5

> 300

>5

*Assumes a level of thermal maturation equivalent to Ro = 0,6% Table 13 Geochemical Parameters Describing Type of Thermal Maturation

Maturation Top oil window (birthline) Bottom oil (deadline)

PI

Tmax

Ro

[S1/(S1+S2)]

(oC)

(%)

~ 0,1

~ 435 – 445*

~ 0,6

~ 0,4

~ 470

~ 1,4

72

4.2. Interpretasi Kekayaan Batuan Induk. Jadi, di interpretasikan dalam tabulasi hasil perhitungan kekayaan batuan induk, pada formasi A, B, C kekayaan batuan induk sebesar >20% ( possibility of good to exellent source capacity, waples 1985), dan formasi A, B, C kekayaan batuan induk sebesar >2 ( Verry Good, Petters 1986). Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa hidrokarbon akan banyak di produksi pada formasi A, B, C, dan hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada formasi D, karena cenderung stabil. Tipe kerogen. Jadi, dapat di interpretasikan bahwa dari hasil plot pada diagram cross plot nilai HI & OI dalam diagram Van Kravelen, formasi C memiliki tipe kerogen dengan komposisi yaitu, alga laut, polen, spora, lapisan lilin, dan resin tanaman, serta menggandung H yang tinggi. Tipe kerogennya adalah tipe II yang mana tipe ini merupakan penghasil minyak ( Oil Prone). Menurut tabel komposisi kerogen ( waples, 1985). Pada formasi A, B, dan D, termasuk kedalam kegoren tipe III yang tersusun oleh maseral berupa vitrinit dan maseral organik dengan lingkungan pengendapan darat dan cenderung menghasilkan gas (gas prone), menurut tabel komposisi kerogen (waples,1985).

73

Kematangan batuan induk Dari hasil cross plot nilai RO dan kedalaman diatas dapat di interpretasikan bahwa formasi D dengan nilai RO rata-rata 1,01 masuk kedalam fase late mature. Formasi B dengan nilai rata-rata 0,61 masuk kedalam fase early mature. Formasi A dengan nilai RO rata-rata 0.54 masuk kedalam fase immature. Menurut parameter kematangan thermal ( Petters and Cassa, 1994). Dari crossplot diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa adanya anomali yang ditunjukkan oleh penyimpangan nikai RO antara formasi A, B, C dengan nilai RO formasi D. Kesimpulan : Dari hasil analisa batuan induk dapat ditarik keimpulan bahwa : •

Formasi A adalah batuan induk yang belum matang atau belum berpotensi menghasilkan minyak dan gas bumi ( Petters and Cassa, 1994).



Formasi C merupakan batuan induk yang belum matang atau belum berpotensi menghasilkan minyak dan gas bumi ( Petters & Cassa,1994).



Formasi B merupakan batuan induk yang telah mengalami kematangan (early mature) ( Petters & Cassa, 1994 ).



Formasi D merupakan batuan induk yang terlalu matang atau late mature ( Petters and Cassa, 1994).

Tingkat Migrasi Dari analisis diatas dapat di interpretasikan bahwa adanya anomali yang dicirikan dengan bentuk kurva yang tidak selaras (perubahan nilai dengan

74

signifikan secara tiba-tiba). Pada formasi D ke C menunjukkan adanya migrasi berupa gas, karena nilai PI formasi D rata-rata 0,82 dan berada pada fase lewat matang / gas generation ( Beamont & Fletcher, 1999). Nilai PI >0,4 berada pada fase lewat matang / gas window (Tissot & Welte, 1978). Sedangkan formasi diatasnya tidak menunjukkan adanya anomali yang mengidentifikasi adanya migrasi minyak dan gas bumi pada formasi D. Dari data-data diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada formasi D masuk kedalam effective source rock atau telah membentuk dan menghasilkan hidrokarbon ( Waples, 1985) atau batuan sumber efektif ( Petters & Cassa, 1994). Sedangkan formasi A, B, dan C masuk kedalam potensial source rock atau batuan induk yang belum matang hingga hampir matang, tetapi mempunyai kemampuan untuk membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon. Jika terkena suhu yang lebih tinggi lagi ( Waples 1986). Hal tersebut selaras dengan pernyataan (Petters & Cassa,1994) yaitu formasi A, B, C masuk kedalam sumber berpotensi dimana batuan induk memiliki maseral yang cukup untuk menjelaskan bahwa batuan tersebut memiliki hidrokarbon jika mengalami peningkatan suhu.

75

4.3. Laporan Resmi Geokimia Hidrokarbon

76

Bab 5 Wireline Log Log merupakan suatu grafik kedalaman/waktu dari suatu set data yang menunjukkan parameter diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah sumur pemboran (Harsono, 1997). Wireline logging adalah parameter yang dilakukan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan dan mencari reservoar pada kedalaman berapa, hal ini dilakukan pada saat pemboran suatu sumur. Hasil dari wireline logging ini adalah kurva-kurva log Permeable (Log Spontaneous Potensial, Gamma Ray, Caliper), log Resistivity (Log Induksi dan Log Lateral), dan log Porosity (Log Density, Neutron, dan Sonic) dan Caliper. Kurva-kurva ini digunakan untuk mengetahui zona prospek hidrokarbon, evaluasi formasi, dan mengetahui lithologi di dalam formasi dan sebagainya.

Gambar 20 Wireline Log

77

Log wireline dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan sifat fisik yang diukur. 1. Log spontaneous potensial (SP) Pada formasi yang permeable kurva SP menjauh dari garis lempung. Pada zona permeabel yang tebal , kurva SP mencapai suatu garis konstan. Dalam evaluasi formasi log SP digunakan untuk : -

Menentukan jenis litologi

-

Menentukan kandungan lempung

-

Menentukan harga tahanan jenis air formasi.

Gambar 21 Log SP

2. Log Gamma Ray (GR) Log GR merupakan suatu catatan terhadap kedalaman dari radioaktivitas alamiah suatu formasi. Log Gamma Ray digunakan untuk : -

Menentukan volume lempung

-

Identifikasi litolog

78

Gambar 22 Log Gamma Ray

3. Log Resistivitas Merupakan log elektrik yang digunakan untuk : -

Mendeterminasi kandungan fluida dalam batuan reservoir .

-

Mengidentifikasi zona permeable

-

Menentukan porositas

-

Ada dua tipe log yang digunakan untuk mengukur resistiviti formasi yaitu log induksi dan log elektroda.

Gambar 23 Gambar Log Resistivitas

4. Log Densitas Log Densitas merupakan suatu tipe log porositas yang mengukur densitas elektron suatu formasi. Dalam evaluasi sumur log densitas berguna untuk: -

Menentukan porositas

79

-

Identifikasi litologi

-

Identifikasi adanya kandungan gas

-

Mederteminasi densitas hidrokarbon

Gambar 24 Log Densitas

5. Log Netron Merupakan tipe log porositas yang mengukur konsentrasi ion hydrogen dalam suatu formasi. Dalam penentuan pekerjaan evaluasi formasi log netron berguna untuk : -

Menentukan porositas

-

Identifikasi litologi

-

Indentifikasi adanya gas

80

Gambar 25 Log Neutron

6. Log Sonik Merupakan suatu log porositas yang mengukur interval waktu lewat dari suatu gelombang suatu suara kompresional untuk melalui satu feet formasi. Dalam evaluasi formasi log sonic berguna untuk : -

Menentukan porositas

-

Identifikasi litologi

Gambar 26 Log Sonik

81

5.1. Evaluasi Kualitatif 5.1.1. Dasar Teori Menginterpretasikan dengan metode quick look log pada analisis kualitatif: 1. Log Gamma Ray Dizona serpih, nilai GR tinggi dan pada batuan karbonat dan pasir bersih nilai GR akan rendah. Selama interpretasi, pertama kita harus memilih ‘zona bersih’. Zona ini didefinisikan dengan zona dimana nilai GR rendah. 2. Log Spontaneous Potential Zona permeable akan menampakkan defleksi pada kurva log SP. 3. Log Densitas dan log Neutron Merupakan log yang baik sebagai pengenal dari indikasi lapisan pembawa hidrokarbon. Pada zona pembawa hidrokarbon, hadir cross over antara log densitas dan log neutron. Cirinya berupa kurva log densitas bergerak ke sisi kiri dan kurva log neutron bergerak ke sisi kanan. 4. Log Resistivitas Hidrokarbon memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi dari air formasi. Resistivitas air ‘fresh’ lebih tinggi dari pada saline water. Resistivitas formasi tergantung dari fluida formasi dan porositasnya. 5. Log Sonic Pada zona porous travel time dari suara besar (lambat). Sedangkan pada zona kompak travel time gelombang suara cepat. Sehingga travel timenya menjadi sedikit/cepat.

82

1.2 Zona Batuan Reservoir Batuan reservoir yang sarang dapat dibedakan dengan zona batuan kedap dengan melihat bentuk – bentuk kurva log. Perbedaan antara batuan kedap dengan lapisan batuan sarang log adalah: A. Zona batuan kedap dicirikan oleh: •

Harga kurva GR yang tinggi.



Tidak terbentuk kerak lumpur pemboran, diameter lubang kadang membesar.



Adanya cross ove negative pada microlog.



Harga tahanan jenis pada zona teusir (Rxo) hamper sama dengan harga tahanan jenis formasi (Rt).



Harga porositas neutron lebih tinggi dari pada porositas densitasnya.

B. Zona batuan reservoir yang porous dicirikan oleh: •

Harga kurva GR yang rendah.



Harga kurva SP menjauhi garis dasar serpih.



Terbentuknya kerak lumpur pemboran.



Adanya cross over positif pada microlog.



Mempunyai harga porositas menengah sampai tinggi.

1.3 Jenis Lithologi Jenis litologi zona reservoir dapat ditentukan berdasarkan kenampakan defleksi log tanpa melakukan perhitungan. Adapun kenampakan beberapa jenis litologi batuan reservoir sebagai berikut:

83

a) Batupasir pada log dicirikan oleh: •

Defleksi GR rendah.



Terjadinya cross over positif pada kurva tahanan jenis mikro.



Kadang – kadang diameter lubang bor yang relative lebih kecil.

b) Batugamping pada log dicirikan oleh: •

Defleksi kurva GR rendah.



Harga ɵ lebih tinggi.



Terjadinya cross over positif pada kurva tahanan jenis mikro apabila batugamping tersebut porous, dan terjadi cross over negative bila tidak ada porous.



Kurva log neutron berhimpitan dengan kurva log densitas.



Kadang – kadang lubang bor membesar,

c) Batubara pada log dicirikan oleh: •

Nilai GR memiliki harga yang paling rendah, karena batu bara sedikit mengandung unsur kalium.



Densitas batu bara rendah.



Batubara pada log neutron biasanya akan memberikan respon defleksi yang relative lebih besar dengan batupasir.



Umumnya memiliki nilai resistivitas yang cukup besar.



Batubara umumnya memiliki transit waktu yang lebih lama.

84

Gambar Hubungan jenis litologi dengan Log 1.4 Jenis Cairan Pengisi Formasi Untuk membedakan jenis cairan yang ada di dalam formasi, apakah air, minyak atau gas dapat ditentukan dengan melihat log resistivity dan gabungan log neutron dengan densitas. Zona hidrokarbon ditunjukan oleh adanya cross over antara harga tahanan jenis zona terusir (Rxo) dengan harga tahanan jenis formasi (Rt). Unruk membedakan gas atau minyak yang ada di dalam formasi dapat dilihat pada gabungan log neutron dan densitas. Zona gas oleh harga porositas neutron yang jauh lebih kecil dari harga porositas densitas, sehingga akan ditunjuakna oleh cross over kurva log densitas dan neutron yang lebih besar. Dalam zona minyak kurva neutron dan kurva densitas membentuk cross over positif yang lebih sempit dari zona gas. Pada zona lempungan kurva neutron dan kurva densitas berhimpitan. Zona air dibedakan dengan zona minyak akan menunjukan harga tahanan jenis formasi (Rt) yang lebih tinggi dari pada zona air.

85

5.1.2. Interpretasi W10 Perselingan antara batupasir dan serpih , ditemukan sisipan batubara pada kedalaman 2035 – 2040. Pembagian litologi dilhat dari kurva GR, batupasir kalau defleksinya ke arah kiri atau nilainya kecil, batuserpih kalau defleksinya besar. Pada kurva LLD defleksi batupasir ke arah kanan atau kearah yang lebih besar, sedangkan batuserpih kearah sebaliknya atau lebih kecil. Batubara dilihat dari kurva RHOB yang defleksinya kearah kiri dan sangat jelas karena berbeda dengan defleksi batupasir dan batuserpih. W11 Perselingan batuopasir dengan batuserpih, dominan batupasir. Pembagian litologi dilhat dari kurva GR, batupasir kalau defleksinya ke arah kiri atau nilainya kecil, batuserpih kalau defleksinya besar. Pada kurva LLD defleksi batupasir ke arah kanan atau kearah yang lebih besar, sedangkan batuserpih kearah sebaliknya atau lebih kecil. W19 Perselingan batupasir dengan batuserpih, terdapat sisipan batubara di 2 tempat, yaitu pada kedalaman 1710-1715 dan 1845 – 1850. Pembagian litologi dilhat dari kurva GR, batupasir kalau defleksinya ke arah kiri atau nilainya kecil, batuserpih kalau defleksinya besar. Pada kurva LLD defleksi batupasir ke arah kanan atau kearah yang lebih besar, sedangkan batuserpih kearah sebaliknya atau lebih kecil. Batubara dilihat dari defleksi RHOB yang sangat kecil atau berbeda dengan defleksi batupasir dengan batuserpih.

86

W22 Perselingan batupasir dengan batuserpih, terdapat sisipan batubara pada kedalaman 1735 – 1740 dan 1850 – 1855. Pembagian litologi dilhat dari kurva GR, batupasir kalau defleksinya ke arah kiri atau nilainya kecil, batuserpih kalau defleksinya besar. Pada kurva LLD defleksi batupasir ke arah kanan atau kearah yang lebih besar, sedangkan batuserpih kearah sebaliknya atau lebih kecil. Batubara dilihat dari defleksi RHOB yang sangat berbeda dengan batupasir dan batuserpih. W33 Perselingan batupasir dengan batuserpih, terdapat sisipan batubara pada kedalaman 1830 – 1835 , 1940 – 1945 dan 1960 -1965. Pembagian litologi dilhat dari kurva GR, batupasir kalau defleksinya ke arah kiri atau nilainya kecil, batuserpih kalau defleksinya besar. Pada kurva LLD defleksi batupasir ke arah kanan atau kearah yang lebih besar, sedangkan batuserpih kearah sebaliknya atau lebih kecil. Batubara dilihat dari defleksi RHOB yang sangat berbeda dengan defleksi batupasir dan batuserpih. W34 Perselingan batupasir dengan batuserpih, terdapat sisipan batubara pada kedalaman 1825-1830, 1925 – 1930, dan 1945 – 1950. Pembagian litologi dilhat dari kurva GR, batupasir kalau defleksinya ke arah kiri atau nilainya kecil, batuserpih kalau defleksinya besar. Pada kurva LLD defleksi batupasir ke arah kanan atau kearah yang lebih besar, sedangkan batuserpih kearah sebaliknya atau lebih kecil. Batubara dilihat dari defleksi RHOB yang sangat berbeda dengan defleksi batupasir dan batuserpih.

87

5.1.3. Laporan Resmi Evaluasi Kualitatif

88

5.2. Evaluasi Kuantitatif

5.2.1. Dasar Teori Dalam melakukan evaluasi kuantitatif parameter – parameter yang harus diidentifikasikan adalah: •

Penentuan volume lempung (Vsh).



Porositas



Tahanan jenis ➢ Tahanan jenis air formasi (Rw) ➢ Tahanan jenis cairan lumpur (Rmf) ➢ Tahanan jenis formasi (Rt) ➢ Tahanan jenis zona terusir (Rxo)



Kejenuhan air



Indeks mobilitas hidrokarbon



Volume hidrokarbon yang dapat bergerak

2.2 Penentuan Volume Lempung (Vsh) ➢ Menggunakan log Gamma Ray (GR) adalah yang seiring digunakan karena log ini mengukur tingkat radioaktif formasi. 𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛

➢ 𝑉𝑠ℎ = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 ➢ Dimana :

Vsh

➢ GR log

: Harga kurva GR formasi

➢ GR min

: Harga GR log minimum

➢ GR max

: Harga GR log maksimum

: Volume lempung standar

89

2.3 Porositas Dengan menggunakan log densitas, untuk formasi yang bersih berlaku persamaan: 𝜙𝐷 =

Dimana : 𝜙𝐷 pma

𝑝𝑚𝑎 − 𝑝𝑏 𝑝𝑚𝑎 − 𝑝𝑓

: Kesarangan dari log densitas : Densitas matrik batuan :

2,65 untuk batupasir 2,71 untuk

batugamping 2,87 untuk dolomit pf

: Densitas caritan lumpur

pb

: Densitas bulk formasi

Porositas efektif didapatkan dari nilai rata – rata porositas log densitas dan porositas log neutron dengan rumus (Dewan, 1983):

𝜙𝑒 = Dimana : 𝜙𝑒 𝜙𝐷𝑐 𝜙𝑁𝑐

(𝜙𝐷𝑐 + 𝜙𝑁𝑐) 2

: Porositas efektif : Porositas densitas terkoreksi : Porositas neutron terkoreksi

90

2.4 Tahanan Jenis Tahanan jenis air formasi (Rw) merupakan tahanan jenis air yang terdapat dalam formasi sebelum formasi tersebut ditembus oleh bit pemboran. Tahanan jenis air formasi (Rw) dapat ditentukan dengan cara:

𝑅𝑤 =

𝑅𝑡 𝑥 𝜙𝑒 𝑚 𝛼

Dimana : Rw : Tahanan jenis air formasi Rt

: Tahanan jenis yang sesungguhnya

𝛼

: Factor pembandingan (= 1)

m

: Faktor semestinya (=2)

2.5 Kejenuhan Air Harga kejenuhan air formasi

(Sw) dapat ditentukan dengan

menggunakan persamaan dari Arcie (1942), Indonesia (1971), Simandoux (1972), dan modifikasi Simandoux (1986). Persamaan Arcie (1942): 𝑎 𝑥 𝑅𝑤 𝑆𝑤 = √ 𝑚 𝜙𝑒 𝑥 𝑅𝑡

Dimana :

Sw

: Kejenuhan air formasi

Rt

: Tahanan jenis formasi

Rw

: Tahanan jenis cairan lumpur

𝜙𝑒𝑚

: Porositas yang sesungguhnya

a

: Faktor pembanding (=1)

91

2.6. Kejenuhan Hidrokarbon yang Dapat Bergerak Dalam suatu sumur hidrokarbon, seluruh cadangan hidrokarbon didalam reservoir tidak dapat dikeluarkan semua, ada hidrokarbon yang tersisa didalam formasi. Kejenuhan hidrokarbon sisa pada zona dirumuskan sebagai berikut: 𝑆ℎ = 1 − 𝑆ℎ𝑟 Dimana :

Sh

: Kejenuhan hidrokarbon

Shr

: Harga kejenuhan sisa

92

5.2.1. Interpretasi W10 -

Reservoir 1 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 78% air dan 22% HC.

-

Reservoir 2 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 76% air dan 24% HC.

-

Reservoir 3 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 76% air dan 24% HC.

W11 -

Reservoir 1 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 65% air dan 35% HC.

-

Reservoir 2 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 63% air dan 27% HC

-

Reservoir 3 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 71% air dan 29% HC.

W19 -

Reservoir 1 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 62,55% air dan 37,45% HC.

-

Reservoir 2 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 56,59% air dan 43.41% HC.

-

Reservoir 3

93

Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 80,40% air dan 19,60% HC. W22 -

Reservoir 1 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 85% air dan 15% HC

-

Reservoir 2 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 85,6% air dan 14,4% HC

-

Reservoir 3 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 89,1% air dan 10,9% HC.

W33 -

Reservoir 1 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 32,23% Air dan 67,77% HC.

-

Reservoir 2 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 86,4% air dan 13,6% HC.

-

Reservoir 3 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 7,99 % air dan 92,01% HC

W34 -

Reservoir 1 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 29% air dan 71% HC

94

-

Reservoir 2 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 45% air dan 55% HC.

-

Reservoir 3 Jadi kandungan fluida dalam reservoir adalah 72% air dan 28% HC

95

5.2.3. Laporan Resmi Evaluasi Kuantitatif

96

Bab 6 Korelasi Struktur

6.1. Dasar Teori Korelasi ialah penghubungan titik-titik kesamaan waktu atau penghubungan satuan-satuan stratigrafi dengan mempertimbangkan kesamaan waktu (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Menurut North American Stratigraphy Code (1983) ada tiga macam prinsip dari korelasi, yaitu : ➢ Litokorelasi, yang menghubungkan unit yang sama pada litologi dan posisi stratigrafinya. ➢ Biokorelasi,

yang

secara

cepat

menyamakan

fosil

dan

posisi

biostratigrafinya. ➢ Kronokorelasi, yang secara cepat menyesuaikan umur dan posisi kronostratigrafi. Log adalah suatu terminologi yang secara original mengacu pada hubungan nilai dengan kedalaman, yang diambil dari pengamatan kembali (mudlog). Sekarang itu diambil sebagai suatu pernyataan untuk semua pengukuran kedalam lubang sumur (Mastoadji, 2007) Tahapan Korelasi Log Sumur (Well Log) 1. Penyamaan Datum (Flatten) Tahap awal dalam melakukan korelasi suatu unit stratigrafi terlebih dahulu kita harus menyamakan datum yang akan dipakai (Di-flatten pada satu datum), datum yang dipakai harus sama antara satu sumur dengan sumur lainnya supaya sumur dapat dikorelasikan. Datum merupakan suatu kesamaan data yang dimiliki 97

oleh semua sumur yang akan dikorelasikan, datum tersebut dapat berupa kedalaman (depth) lapisan maupun kesamaan waktu geologi yang dikontrol oleh dinamika muka air laut (principal of stratigraphic sequence) dalam hal ini yang biasa dipakai adalah Maximum Flooding Surface (MFS), Unconformity (UC) / Sequence Boundary (SB). Maximum flooding surface dapat teridentifikasi oleh adanya maximum landward onlap dari lapisan marine pada batas basin dan kenaikan maksimum secara relatif dari sea level (Armentout, 1991), MFS biasanya ditunjukan oleh adanya akumulasi shale yang melimpah yang merupakan amplitude dari log pada daerah shale (High gamma ray), akan tetapi pada kondisi litologi berupa batugamping terumbu (Reef Carbonate) MFS biasanya ditandai oleh pertumbuhan gamping yang optimal pada saat genang laut sehingga datum yang dipakai yaitu pada zona reservoir (low gamma ray) yaitu kondisi dimana log gamma ray menunjukan akumulasi batugamping yang sangat melimpah. Unconformity merupakan suatu jeda pengendapan (hiatus) yang terjadi pada kondisi diatas muka air laut (Sub aerial) yang biasanya ditunjukan oleh perubahan drastis dari fining upward menjadi coarsening upward atau sebaliknya, sebagian ahli menyamakan antara sequence boundary dengan unconformity, sedangkan pengertian sequence boundary sendiri merupakan batas atas dan bawah satuan sikuen stratigrafi yang berupa bidang ketidakselarasan atau bidang-bidang keselarasan padanannya (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).

98

Gambar 27 Log Gamma ray

Masing-masing flatten dalam korelasi stratigrafi memiliki fungsi yang berbeda, untuk mengetahui deformasi struktur geologi yang telah terjadi sepanjang waktu geologi kita dapat melakukan flatten pada kedalaman (depth) yang sama pada masing-masing sumur dimana dalam flatten ini kondisi stratigrafi yang diamati adalah kondisi pada saat ini (setelah terdeformasi), korelasi ini dinamakan dengan korelasi struktur. Sedangkan untuk melihat distribusi reservoir dan gejala sedimentasi dengan baik kita dapat melakukan flatten pada salah satu datum sikuen stratigrafi umumnya pada Maximun Flooding Surface (FS), korelasi ini dinamakan dengan korelasi stratigrafi.

99

Gambar 28 Korelasi Struktur

100

2. Korelasi Lapisan Reservoir Prinsip dari korelasi stratigrafi adalah untuk menyamakan umur suatu lapisan sejenis dalam satu sumur dengan sumur lainnya, karena dalam hal ini korelasi digunakan untuk kepentingan eksplorasi minyak dan gas bumi maka korelasi perlu dikombinasikan antara kronokorelasi (menggunakan prinsip sikuen stratigrafi) dan litokorelasi. Biasanya lapisan yang dikorelasikan adalah lapisan reservoir baik itu sandstone maupun limestone karena lapisan inilah yang memungkinkan untuk menyimpan dan mengalirkan hidrokarbon dalam jumlah yang ekonomis. Untuk mengetahui kesamaan lapisan tersebut kita dapat membaca pola dari log sumur baik itu log gamma ray, resistivity, neutron, density maupun photoelectric dan juga bila perlu dikalibrasi dengan data sampel cutting dan side wall core untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Lapisan dengan litologi sejenis dan memiliki umur geologi yang sama diasumsikan akan menghasilkan pola kurva log yang sama ketika dideteksi oleh logging tools sehingga kesamaan pada masing-masing sumur tersebut dapat ditarik garis korelasi. Setelah menggantung log pada datum kedalaman (depth) maupun sikuen stratigrafi (MFS, SB/UC) selanjutnya kita dapat dengan mudah melakukan korelasi lapisan pada masing-masing sumur, korelasi dapat dilakukan dengan melihat litologi penciri pada masing-masing sumur misalnya batubara (coal), dapat juga dilakukan dengan membaca pola log gamma ray, log ini membaca kandungan radioaktif pada batuan dimana semakin tinggi kandungan radioaktifnya maka log gamma ray akan menunjukan nilai yang tinggi. Gamma ray dengan nilai yang tinggi biasanya

101

mencirikan litologi berbutir halus (shaly) sedangkan gamma ray dengan harga yang rendah biasanya menunjukan litologi berupa reservoir baik itu sandstone maupun limestone, akan tetapi dalam kondisi lapangan tertentu juga ditemukan high gamma ray sand dimana lapisan sandstone banyak mengandung mineral feldspar sehingga kurva log gamma ray akan menunjukan defleksi nilai yang tinggi disebabkan oleh mineral feldspar yang bersifat radioaktif (Terutama Potassium), untuk itu dalam penentuan zona reservoir kita juga harus membaca log lain dan di kalibrasi dengan sampel cutting dan side wall core. Ada beberapa pola pada log gamma ray yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mempermudah dalam korelasi diantaranya pola bell shape, funnel, symmetric, irregular dan blocky/boxcar seperti yang ditunjukan oleh gambar 4. Pola-pola tersebut menunjukan gejala sedimentasi yang berbeda dimana faktor yang mempengaruhi gejala sedimentasi tersebut dikontrol oleh suplai sedimen, ruang akomodasi, perubahan muka air laut dan subsiden. Pola-pola log tersebut juga dapat menunjukan perbedaan fasies dan lingkungan pengendapan yang dikenal dengan istilah elektrofasies.

102

Gambar 29 Bentuk Gamma Ray

Setelah membaca kesamaan pola pada log gamma ray kita juga harus membaca pada log resistivity, log ini membaca nilai resistivitas dari suatu fluida pada lapisan batuan sehingga jika kandungan fluidanya sama maka log resistivitasnya akan menunjukan harga yang sama, akan tetapi pada suatu reservoir sering kali kandungan fluidanya berbeda dikarenakan adanya perbedaan hydrocarbon to water contact yang biasanya dikontrol oleh sistem jebakan hidrokarbon (Gambar 5), kasus ini sering terjadi pada lapisan antiklin dimana pada lapisan puncak antiklin akan terbaca sebagai hidrokarbon yang menunjukan resistivitas tinggi dan semakin rendah akan terbaca sebagai water yang memiliki resistivitas rendah.

103

6.2. Interpretasi Line 1 Pada line ini berkembang pola yaitu : funnel, serrated, dan bell. Elektrofasies yang dominan pada line ini adalah Bell. Pada line ini keybed dengan litologi berupa batubara yang digaris dengan warna merah yaitu pada kedalaman 1850 (w22) , 1845 (w19), 1820 (w34), 2160 (w11), 2040 (w10) dari w22 ke w19 kemungkinan ada sesar naik karena ada perubahan kedalaman yaitu 1850 (w22) dan – 1845(w19). Dari w19 ke w34 juga terdapat kemungkinan sesar naik. Dari w34 – w11 kemungkinan ada sesar turun dikarenakan ada penurunan kedalaman yaitu 1820 (w34) – 2160 (w11). Dari w11 ke w10 kemungkinan ada struktur sesar naik. Pola elektrofasies yaitu bell yang merupakan akibat adanya pengisian channel yang merupakan tanda adanya tetrogradasi, karena pola bell yang bergradasi dari kasar ke halus. Bentuk ini diasumsikan sebagai hasil endapan poin bars, tidal deposit, sub marine ( channel & turbidid). Line 2 Pada line ini pola yang berkembang yaitu serrated dan bell. Relatif dominan pola bell. Keybed berada pada kedalaman 1710 (w19), 1820 (w34), 1825 (w33), 1975 (PSK01). Pada w19 – w34 kemungkinan ada sesar turun karena ada perbedaan kedalaman yaitu 1710 – 1820. Pada w34 – w33 sesar turun karena perbedaan kedalaman yaitu 1820 – 1825. Pada w33 – psk01 kemungkinan ada struktur sesar turun karena adanya perbedaan kedalaman yaitu 1825 – 1975. Pola elektrofasies yaitu bell yang merupakan lingkungan pengendapan transisi, karena pola bell yang bergradasi dari kasar ke halus.

104

105

6.3. Laporan Resmi Korelasi Struktur

106

BAB 7 PERHITUNGAN CADANGAN 7.1. Dasar Teori Pemetaan Geologi Bawah Permukaan adalah metoda atau teknik pemetaan struktur, ketebalan lapisan dan karakteristik unit batuan dengan menggunakan data bawah permukaan. Metoda Pemetaan Geologi Bawah Permukaan merupakan salah satu metoda yg penting dalam eksplorasi dan eksploitasi migas atau endapan mineral ekonomi lainnya. Pada prinsipnya pemetaan bawah permukaan sama dengan pemetaan pada permukaan, hanya terdapat beberapa perbedaan yang agak mencolok. Pada pemetaan permukaan kita berhadapan dengan satu bidang permukaan dan yang dipetakan adalah sifat-sifat/keadaan geologi/topografi yang dituangkan dalam bentuk gambar pada bidang permukaan tersebut. Pada pemetaan bawah permukaan, kita berhadapan dengan berbagai macam bidang permukaan atau interval-interval antara 2 bidang permukaan tersebut. Bidang permukaan ini biasanya adalah bidang perlapisan atau lapisan, tetapi dapat pula bidang-bidang lainnya misalnya bidang ketidákselarasanatau bidang patahan. Suatu hal yang khas dan peta-peta bawah permukaan adalah sifat kuantitatif dan peta-peta tersebut. Sifat kuantitatif itu dinyatakan dengan apa yang dinamakan garis iso atau secara popular disebut garis kontur (countour lines/tranches untuk peta topografi). Garis ini menyatakan titik-titik yang mempunyai nilai yang sama, terutama nilai kuantitatif dan suatu gejala atau sifat tertentu yang terdapat pada suatu bidang permukaan/perlapisan atau dalam interval antar dua bidang permukaan/perlapisan. Nilai dan gejala tersebut dapat berupa: •

Kedalaman suatu lapisan terhadap permukaan laut (kontur struktur)

107



Kedalaman suatu permukaan (bidang ketidakselarasan, basement (isolath)



Ketebalan suatu interval antar dua bidang



Ketebalan total lapisan-lapisan batuan tertentu dalam suatu interval (isolith)



Persentase ketebalan total lapisan-lapisan batuan tertentu dalam suatu interval perlapisan (isopresentase)



Perbandingan ketebalan total suatu lapisan batuan tertentu terhadap ketebalan lapisan lain (isoratio)

Menghitung Cadangan Metode perhitungan cadangan dalam dunia perminyakan adalah jumlah kandungan hidrokarbon yang terdapat didalam reservoir. Berdasarkan nilainya, cadangan digolongkan dalam : 1. Cadangan Minyak mula-mula di Reservoir (STOIIP) Merupakan jumlah cadangan minyak pada reservoir secara keseluruhan sebelum diproduksikan, biasa ditulis dengan STOIIP. 2. Cadangan Minyak Ekonomis (Recoverable Reserve) Cadangan minyak ekonomis adalah jumlah cadangan minyak yang terdapat pada reservoir yang biasa diproduksikan, biasa dinotasikan RR. Metode Perhitungan Cadangan Secara umum perhitungan cadangan dapat dilakukan dengan 4 metode, yaitu :

108

1. Metode Volumetrik 2. Metode Material Balance 3. Metode Decline Curva (kurva penurunan produksi) 4. Metode Monte Carlo

1. Volume Bulk Reservoir Dalam perhitungan volume reservoir dibutuhkan data berupa net pay area dan alat planimeter, dimana alat planimeter akan dapat mengukur luas masing-masing kontur ketebalan yang ada pada peta net pay area.Kemudian dari bentuk kontur yang ada pada peta tersebut,dapat digambarkan bentuk reservoir.Untuk menghitung volume reservoir,ditentukan dengan dua cara,yaitu cara pyramidal dan cara trapezoidal. a. Cara Pyramidal Metode ini digunakan bila harga perbandingan antara kontur yang berurutan kurang atau sama dengan 0,5 atau An+1/An<0,5 (Sylvan,J.Pirson,1985). Dimana persamaan yang digunakan : Vb = h/3 x (An + An+1 + √An x An+1) b. Cara Trapezoidal Metode ini digunakan bila harga perbandingan antara kontur yang berurutan lebih dari 0,5 atau An+1/An>0,5 (Sylvan,J.Pirson,1985). Dimana persamaan yang digunakan : Vb = h/2 x (An + An+1) 109

Dimana : Vb

= Volume Bulk, (m³)

H

= Interval garis-garis net pay area (m)

An

= Luas daerah yang dibatasi oleh garis net pay terendah (m²)

An+1 = Luas daerah yang dibatasi oleh garis net pay diatasnya (m²)

2. Penentuan Cadangan Minyak dengan Metode Volumetris Pada metode ini perhitungan didasarkan pada persamaan volume, data-data yang menunjang dalam perhitungan cadangan ini adalah porositas dan saturasi hidrokarbon, persamaan yang digunakan dalam metode volumetric adalah :

STOIIP = 77758 x Vb x Ф x Sh (STB) Boi Atau STOIIP = Vb x Ф x Sh (STM³) BOI

Dimana : STOIIP

: Volume hidrokarbon mula-mula (a) STB atau (b) STM³

Vb

: Volume reservoir, (a) acre feet atau (b) STM³

Ф

: Porositas batuan

Sh

: Hidrokarbon saturasi

110

Boi

: Faktor volume formasi minyak mula-mula (a) BBL/STB atau (b) m³/STM³.

7758

: Konstanta konversi, BBL/acre feet

Sedangkan cadangan minyak yang dapat terambil adalah :

RR = STOIIP x RF Dimana STOIIP

: Volume hidrokarbon mula-mula,STB atau STM³

RR

: Cadangan hidrokarbon yang dapat diambil,STB atau STM³

RF

: Harga recovery factor

111

7.2. Iterpretasi

112

7.3. Laporan Resmi Peta Bawah Permukaan

113

7.4. Laporan Resmi Perhitungan Cadangan

114

Bab 8 Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan kesimpulan secara umum,yaitu : •

Operasi pemboran merupakan proses kelanjutan dari eksplorasi untuk mengetahui lebih lanjut atas keterdapatan minyak atau gas bumi di bawah permukaan.



Cutting merupakan serbuk bor berupa hancuran dari batuan yang ditembus mata bor, serbuk bor ini diangkat dari dasar lubang bor ke permukaan oleh gerakan lumpur pemboran yang digunakan untuk mengebor pada waktu kegiatan pemboran berlangsung.



Analisa core ( inti batuan) pada prinsipnya adalah menentukan sifat sifat petrofisika dari batuan reservoir yang sangat diperlukan dalam pengelolaan suatu lapangan Migas karena sifat-sifat ini dibutuhkan oleh bagian geologi, pemboran, reservoir maupun produksi.



Batuan induk (source rock) merupakan batuan yang mempunyai banyak kandungan material organik. Batuan ini memiliki ukuran butir yang halus dan terendapkan pada lingkungan reduksi, sehingga mampu mengawetkan materal organik yang berada didalamnya, seperti batulempung dan batuserpih atau batuan yang banyak memiliki kandungan material organik seperti batugamping dan batubara.



Log merupakan suatu gambaran terhadap kedalaman dari suatu perangkat kurva yang mewakili parameter-parameter tertentu yang di ukur secar amenerus dan kesinambungan di dalam suatu sumur (Schlumbarger, 1986).

115



Dalam korelasi dikenal dua macam metode, yaitu kolerasi organik dan korleasi anorganik (koesoemadinata, 1971), metode organik adalah metode korelasi dengan menggunakan fosil. Sedangkan metode anorganik menggunakan kesamaan litologi atau urutan dari stratigrafinya



Korelasi dapat diartikan sebagai penentuan unit stratigrafi dan struktur yang mempunyai persamaan waktu, umur, posisi stratigradi (SSI, 1996). Korelasi ini digunakan untuk keperluan dalam pembuatan penampang dan peta bawah permukaan.

Saran Saran saya untuk praktikum Geologi Minyak Bumi ini adalah : -

Diharapkan untuk asisten dosen lebih memahami lagi terhadap apa yang dijelaskan dan cara penyampaian kepada yang bertanya lebih di tingkatkan lagi

116

DAFTA PUSTAKA

Kosoemadinata, R.P. 1980. Geologi Minyak Dan Gas Bumi Halliburton 1995. “ Electrical Micro-Images Tool”. Halliburton. 2004, “Persentasi Tentang Logging”. Harsono, A. 1997. “Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log”. Kosoemadinata, R.P. 1980. Teknik Evaluasi Geologi Bawah Permukaan. ITB. Bandung Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1980. Sandi Stratigrafi Indonesia. IAGI. Jakarta

117

Related Documents

Anjing
May 2020 36
03 Anjing-anjing Neraka
April 2020 35
Anjing!.docx
December 2019 32
Anjing Galak.docx
August 2019 37
Anjing Musafir
April 2020 24
Anjing Pintar
December 2019 38

More Documents from "faqih ashri"