MAD U A MB UN DI S UN GAI SER KA P Teriknya panas yang memayungi perjalanan pulang dari Tasik Besar menuju Teluk Meranti menyebabkan kami enggan beringsut dari lantai perahu pompong yang kami duduki. Panasnya serasa memanggang sekujur tubuh. Serba salah. Jikapun pindah, maka kaki harus dicelupkan dulu ke air, baru menginjak lantai perahu tempat duduk kami. Tak pindah, maka kebosanan akan melingkupi seluruh isi perahu. Telah tiga hari kami menyusuri Sungai Serkap untuk keperluan menutup parit (canal blocking) di Kawasan Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar-Riau, pertengahan April 2009 lalu. Bersamaan dengan ini, kami juga melakukan syuting potensi Semenanjung Kampar untuk program Jelajah Wisata – Riau Televisi. Hari ini memang panas, kontras dengan kemarin dimana kami seharian diguyur hujan hingga basah kuyup sepanjang hari. Beruntung jamu ***** angin dalam kemasan yang kami bawa memberikan sugesti bagi kami untuk tak terkena masuk angin, hehehe! Alur sungai yang berkelok menyebabkan kami harus menurunkan gas putaran mesin untuk memelankan laju perahu. Baru sekitar dua jam kami berpompong selepas makan siang di Tasik Tengah. Alur sungai yang berkelok tak terlalu menyulitkan kami saat bermanuver di setiap kelok badan sungai karena panjang badan perahu pompong kami tak lebih dari 8 meter. ‘Turunkan gas….., turunkan gas….’, teriak Dodi dari haluan sambil melambaikan tangan ke Yono, sang kemudi, untuk memelankan laju perahu di tikungan depan. Teriakannya memang tak terdengar, kalah dengan bising knalpot mesin jenis dompeng yang menyalak. Rupanya Dodi melihat ada perahu dayung kecil yang sedang melaju dari arah berlawanan. Kami memang harus memelankan laju perahu, tidak hanya di tikungan, tapi juga ketika berpapasan dengan perahu dayung agar tak mereka tak terganggu oleh gelombang yang dimunculkan oleh perahu mesin. Seketika Yono menurunkan gas, bahkan mematikannya ketika melihat perahu dayung berpenumpang dua itu ternyata Anas, seorang nelayan asal Teluk Meranti yang dikenal. Seketika kami dempet perahu kecil dengan panjang tak lebih dua meter itu sehingga bersatu dengan pompong kami. Rupanya Anas dan adiknya, Si Jef, baru kembali dari mengambil madu lebah, nampak dari isi perahu kecil yang berisi satu ember dan bongkahan sarang lebah berwarna putih. Sekelebat bayangan kesegaran menenggak madu segar dan asli di terik siang itu. 70 Sa ran g ‘Naik saja ke pondok itu, biar dapat kami bagi madu ini untuk abang-abang nih”, Anas menawarkan kami untuk ikut menikmati madu yang baru dipanennya sembari istirahat di pondok nelayan yang kosong. Mulailah mengalir cerita dari Anas tentang potensi madu lebah Ambun yang ada di sepanjang Sungai Serkap ini. Madu lebah Ambun sejatinya sama dengan madu Sialang yang banyak ditemui di tempat lainnya di Sumatra. Jenis lebahnya sama (Dorsata), yang membedakan adalah pohon tempat bersarang bagi lebah madu Ambun adalah pohon-pohon yang tak setinggi dan tak sebesar lebah madu Sialang. Selain itu, warna madu lebah Ambun lebih jernih dan cenderung tak sekental madu lebah Sialang. Itulah sebabnya madu ini disebut madu Ambun, karena si lebah bersarang di pohon yang rimbun dan rendah. “Paling banyak lebah madu Ambun bersarang di pohon Samak dan Terentang’, Anas menjelaskan keberadaan madu ini di Sungai Serkap. Anas juga memaparkan bahwa tak kurang dari 70 sarang lebah madu Ambun yang ada di sekitar Tasik Tengah. “Inilah salah satu sumber pendapatan kami selain ikan yang kami tangkap di Sungai Serkap ini”, imbuh Jef. Men ge lu h ta k Me ng el uh Telah terkumpul sekitar 30 kilo madu lebah Ambun oleh Anas dan Jef selama hampir sebulan mandah ini. Dua hari lagi mereka akan pulang ke Teluk Meranti, bertepatan dengan hari pasar. Memasarkan madu dan ikan yang berhasil diperoleh. Terbayang oleh mereka tambahan
pandapatan dari kegiatan menangkap ikan dengan pengilar yang tersirat dikeluhkan mereka karena hasilnya yang sedikit. Ya, mereka memang pantas mengeluh. Kondisi air asam yang keluar dari kanal-kanal yang dulunya dipakai untuk mengeluarkan kayu log menyebabkan ikan banyak lari, terutama saat kemarau. Belum lagi sampah berupa serasah daun dan pohon yang keluar kanal-kanal itu menutupi alat tangkap pengilar mereka, dan ini berpengaruh bagi ikan yang bisa ditangkap. Mereka memang mengeluh, tapi sejatinya mereka tak mengeluh karena tak kudengar keluhan mereka. Bahkan ketika kutanya seberapa sering pemerintah datang dan menjalankan tugas mereka membantu nelayan, tak kudengar tuntutan mereka. “Siapa yang akan ke sini, Pak? Tempatnya jauh, sulit pula”, kata Jef. Seketika ragam pertanyaan muncul di kepalaku. Siapa yang pernah memikirkan tentang hal-hal semacam ini. Siapa yang harusnya bertanggung jawab atas kondisi ini. Bukankah struktur Negara ini telah menyediakan bagian yang harusnya mengurus nelayan? Apakah selalu perangkat Negara ini tak pernah bisa, atau kalaupun bisa mereka sangat lambat sekali untuk memetakan potensi, mengatasi masalah, dan memfasilitasi masyarakat di pedalaman seperti mereka? Cukuplah operasi pemberantasan kayu liar dilakukan, tapi dampaknya ,masih tersisa, oleh adanya kanalkanal itu. = Anas masih mengisap batang rokok berwarna putih itu, ditemani secangkir kopi yang kami buat. “Madu lebah Sialang dulunya banyak, Bang”, kata Anas, “Tapi sekarang yang tinggal hanya sebatang pohon, habis (pohonnya) ditebang dulu”, tambahnya. Anas, Jef, dan banyak nelayan lainnya memang berharap dukungan banyak pihak untuk mengatasi kondisi air asam, dukungan alat tangkap, dan pemasaran hasilnya.
==o0o==