KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala Rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami ucapkan banyak terimakasih atad bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan yang berbentuk fikiran. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik. Karena keterbatasan kemampuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu juga kami sangat membutuhkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pontianak, 10 September 2018 Hormat kami
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................... 1 DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2 BAB 1 ....................................................................................................................................... 3 PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 3 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4 1.3 Tujuan ............................................................................................................................. 4 BAB 2 ....................................................................................................................................... 5 PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 5 2.1 Kependudukan ................................................................................................................ 5 2.2 Persebaran dan kepadatan penduduk .............................................................................. 6 2.3 Analisis proyeksi penduduk Kalimantan barat ............................................................. 10 2.4 Bonus demografi ........................................................................................................... 12 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Penduduk di Suatu Wilayah ................. 17 2.4.1 Fertilisasi (Tingkat Kelahiran) ................................................................................... 17 2.5 Kebijakan Pemerintah untuk Menghambat Laju Pertumbuhan Penduduk ................... 26 2.6 Kebijakan Untuk Penduduk Lansia............................................................................... 28 2.7 Analisis Piramida Penduduk Kalimantan Barat ............................................................ 34 BAB 3 ..................................................................................................................................... 36 PENUTUP .............................................................................................................................. 36 3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 36 3.2 Saran ............................................................................................................................. 37 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 38 Lampiran – lampiran ............................................................................................................... 39
2
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu di antara sejumlah daftar negara-negara berkembang di dunia. Hal yang paling mendasar yang umum dijumpai dalam suatu negara berkembang adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terbanyak. Hal ini dapat dilihat dari hasil sensus penduduk yang semakin tahun semakin meningkat. Dalam pengetahuan tentang kependudukan dikenal sebagai istilah karakteristik penduduk yang berpengaruh penting terhadap proses demografi dan tingkah laku sosial ekonomi penduduk. Dibanding dengan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah penduduk setelah Cina dan India. Indonesia merupakan negara yang sedang membangun dengan mempunyai masalah kependudukan yang sangat serius yaitu jumlah penduduk yang sangat besar disertai dengan tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dan persebaran penduduk yang tidak merata. Jumlah penduduk bukan hanya merupakan modal , tetapi juga akan merupakan beban dalam pembangunan. . Pertumbuhan penduduk yang meningkat berkaitan dengan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Pengetahuan tentang aspek-aspek dan komponen demografi seperti fertilitas, mortalitas, morbiditas, migrasi, ketenagakerjaan, perkawinan, dan aspek keluarga dan rumah tangga akan membantu para penentu kebijakan dan perencana program
untuk
dapat
mengembangkan
program
pembangunan kependudukan dan peningkatan ksesejahteraan masyarakat yang tepat pada sasarannya. Dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi tersebut akan melahirkan beragam masalah dalam kehidupan. Masalah utama yang dihadapi di bidang kependudukan di Indonesia adalah masih tingginya pertumbuhan penduduk dan kurang seimbangnya penyebaran dan struktur umur penduduk. Program kependudukan
dan keluarga berencana bertujuan turut
serta menciptakan
kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat melalui usaha-usaha
3
perencanaan dan pengendalian penduduk. Dengan demikian diharapkan tercapai keseimbangan yang baik antara jumlah dan kecepatan pertambahan penduduk dengan perkembangan produksi dan jasa. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut a. Bagaimana proyeksi pertumbuhan penduduk di Kalimantan Barat b. Bagaimana bonus Demografi yang di hadapi Kalimantan Barat ? c. Bagaimana keadaan gambaran kependudukan di Kalimantan Barat ? d. Bagaimana persebaran Kependudukan di Kalimantan Barat 1.3 Tujuan Adapaun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut a. Gambaran proyeksi pertumbuhan penduduk di Kalimantan Barat b. Perkembangan Bonus Demogrfi di Kalimantan Barat c. Keadaan kependudukan Kalimantan Barat d. Persebaran kependudukan di Kalimantan Barat
4
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Kependudukan Isu kependudukan yang kian mengemuka belakangan ini berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Penduduk memang dapat menjadi modal dasar dala pembengunan, namun di sisi lain penduduk juga dapat menjadi hambatan dalam mencapai tujuan penbangunan. Hal ini memungkinkan terjadi apabila pertumbuhan jumlah penduduk tidak terkendali dan tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan penduduk seoerti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan yang layak. Pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang dapat menganggu kesejahteraan penduduk. Penyediaan pangan yang tidak mencukupi dapat menimbulkan terjadinya kelaparan dan dapat meningkatkan jumlah kematian penduduk. Selain itu, ketersediaan pemukiman yang tidak mencukupi dapat mengakibatkan munculnya pemukimanpemukiman liar, kumuh dan tidak layak akibat sempitnya lahan untuk pemukiman sering dengan meningkatkan jumlah penduduk. Masalah lain yang dapat muncul diantaranya terjadinya gangguan keamanan akibat marak aksi tindakan kriminalitas, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat sarana kesehatan yang kurang memadai, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia terkait degan sarana pendidikan yang terbatas. Selian tingkat pertumbuhan penduduk, masalah komposisi penduduk dan ketimpangan distribusi juga menjadi masalah serius yang harus segera ditangani oleh pemerintah.bila melihat komposisi penduduk menurut jenis kelamin penduduk lakilaki dan perempuan di Kalimantan Barat tahun 2016 sebesar 103,75. Ini berarti bahwa dari setiap 100 penduduk perempuan ada sebanyak 104 penduduk laki-laki. Dengan kata lain jumlah penduduk laki-laki di Kalimantan di Provinsi Kalimantan lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan. Rasio jenis kelamin berdasarkan kabupaten/kota dari 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat, hanya dua kabupaen
5
yang memeliki rasio jenis kelamin di bawah 100 rasio jenis kelamin terendah terdapat di Kabupaten Sambas (97,25) dan diiktui oleh Kota Pontianak (99,27) sementara dari 12 Kabupaten/Kota yang rasio jenis kelamin diatas 100. Kabupaten/kota yang memiliki rasio jenis kelamin paling tertinggi tahun 2016 adalah Kabupaten Landak (108,72), Bengkayang (107,91) dan Ketapang (107,05). 2.2 Persebaran dan kepadatan penduduk Salah satu persolan yang terkait dengan kependudukan yang masih harus dihadapi Kalimantan Barat adalah persebaran penduduk yang tidak merata antar wilayah Kabupaten/Kota kecematan, Desa/Kelurahan, maupun antar wilayah kawasan pantai bukan pantai atau perkotaan dan pedesaan. Misalnya daerah pesisir yang mencakup Kab. Sambas, Kab. Bengkayang, Kab. Pontianak, Kab Ketapang, Kab Kayong Utara, Kab Kubu raya dan Kota Singkawang. Yang dihuni oleh hamper 50%dari total penduduk Kalimantan Barat dengan kepadatan mencapai 41 Jiwa. Sebaliknya tujuh kabupaten lain (bukan pantai) selain kota Pontianak secara rata-rata tingkat kepdatan penduduknya relative lebih jarang. Tahun
Jumlah Penduduk
Laju Pertumbuhan
Rasio
(Ribu)
Per tahun (%)
Jenis Kelamin
2010
4.396
-
105,00
2011
4.477
1,79
105,00
2012
4.55
1,63
104,57
2013
4.641
2,00
104,00
2014
4.716
1,62
103,90
2015
4.789
1,55
103,84
2016
4.862
1,63
103,75
Sumber : proyeksi penduduk indonesia 2010 - 2035 Dilihat dari laju pertumbuhan penduduk tiap tahunnya, laju pertumbuhan penduduk Kalimantan barat pada tahun 2016 tercatat sebesar 1,63% atau mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebeleumnya. Pada periode 2010
6
– 2016 pertumbuhan penduduk Kalimantan tertinggi terjadi pada tahun 2013 mencapai 2,00%. Dengan adanya penurunan oertumbuhan yang terjadi, hal ini menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dalam hal pengendalian pertumbuhan penduduk di Indonesia dan khususnya di Kalimantan Barat menunjukan adanya keberhasilan. Dilihat berdasarkan Kabupaten/Kota periode 2010 – 2016 laju pertumbuhan penduduk di 9 Kabupaten/Kota berada di atas laju pertumbuhan penduduk provinsi Kalimantan Barat. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi dicapai oleh Kabupaten Ketapang (2,07%), diikuti oleh Kota Singkawang (2,06%), dan kabupaten bengkayang (1,96%). Sementara lima kabupaten atau kota lainnya mengalim laju pertumbuhan penduduk di bawah angka provinsi Kalimantan barat kabuateb atau kota yang mengalami laju pertumbuhan penduduk paling rendah dicapai oleh kabupaten sambas (0,94%), diikuti kabupaten sekadau (1,19%) dan kabupaten Pontianak (1,39%), kabupaten Kapuas hulu dengan luas wilayah 29,842 km2 atau sekitar 20,33% dari luas wilayah Kalimantan barat hanya dihuni rata-rat 8 jiwa per kilometer persegi. Sementara kota Pontianak dengan luas wilayah paling kecil diantara kabupaten/kota di Kalimantan yaitu sekitar 107,80 km2 memiliki jumlah penduduk paling besar mencapai 617,459 jiwa atau sekitar 12,70% dari total penduduk Kalimantan Barat. Dengan demikian Kota Pontianak merupakan kota yang terdapat penduduknya yaitu rata-rata 5.728 per km2. Distribusi penduduk yang tidak merata menimbulkna masalah pada kepadatan penduduk dan tekanan penduduk di suatu daerah. Ada beberapa daerah yang mempunyai penduduk yang begitu besar, di daerah lain masih ada yang hanya dihuni oleh jumlah penduduk yang relative sedikit. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi masyarakat setempat. Di satu sisi, dengan jumlah penduduk yang besar akan dihadapkan pada persoalan meningkatkan jumlah pengangguran karena tidak memadai penyediaan lapangan pekerjaan, permasalahan kebutuhan lahan untuk pemukiman, serta tidak
7
memadai akses fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masalah-masalah social lainnya. Di sisi lainnya, wilayah dengan jumlah penduduk yang relative sedikit akan memunculkan persoalan optimalisasi sumber daya alam terkait dengan kekurangan tenaga kerja padahal daerah tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Tingkat Kepadatan (Km2 / Jiwa) Tahun
Kota Pontianak
Pesisir Pantai
(2)
(3)
(1)
Non Pesisir/ Bukan Pantai (4)
2011
5.146
38,95
17,72
2012
5.342
39,58
18,02
2013
5.447
40,37
18,38
2014
5.548
41,00
18,68
2015
5.637
41,66
19,00
Sumber : BPS tahun 2011 2.2.1 Angka beban ketergantungan Angka beban ketergantungan merupakan salah satu indicator demografi yang penting semakin tinggi presentase angka beban ketergantungan menujukan semakin tingginya beban ketergantungan menujukan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan yang tidak produktif lagi. Sedangkan presentase angka beban ketergantungan yang semakin rendah menujukan semakin rendahnya beban yang di tanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif lagi. Dampak keberhasilan pembangunan kependudukan juga dapat dilihat pada perubahan komposisi penduduk menurut umur seperti tercermin pada semakin rendahnya angka beban ketergantungan. Hal ini disebabkan dengan semakin rendahnya angka beban ketergantungan. Hal ini disebabkan dengan semakin kecilnya angka beban ketergantungan akan memberikan kesempatan yang semakin besr bagi 8
penduduk usia produktif untuk meningkatkan kualitas dirinya. Dalam periode 2011 – 2016 angka beban ketergantungan setiap tahun cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2011 angka beban tanggungan Kalimantan barat sebesar 54,59%. Hal ini berarti bahwa 100 penduduk usia produktif menaggung sector 55 penduduk usia tidak produktif. Pada tahun 2013 angka bebn ketergantungan penduduk menurun menjadi 51,41%. Pada tahun 2016, angka beban ketergantungan penduduk Kalimantan Barat berada pada posisi 50,91%. Artinya setiap 100 penduduk produktif masih menanggung beban 51 penduduk tidak produktif (dibawah umur 15 tahun dan 65 tahun ke atas) Rasio ketergantungan yang terus cenderung menurun belakangan ini diperkirakan akan mencapai titik terendah pada periode 2020 – 2030. Pada periode itu akan terdapat peluang lebih besar untuk melakukan investasi bahwa di satu sisi mereka dapat mendorong ekonomi untuk tumbuh jika sebagian besar dari mereka bekerja tetapi di sisi lain mereka dapat menciptakan instabilitas social dan politik jika produktif tapi tidak dapat termanfaatkan tenaganya karena tidak terserap di pasar kerja Tahun
0 – 14 tahun
15 – 64 tahun
63 Tahun
Angka beban ketergantungan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
2012
31,78
64,68
3,54
54,62
2013
30,06
66.06
3,88
51,41
2014
24,01
71,65
4,34
51,12
2015
29,58
66,28
4,13
50,87
2016
29,33
66,00
4,27
50,91
Menurunnya angka beban ketergantungan diikuti pula dengan menurunnya proporsi penduduk usia muda (0 – 14 tahun) dan turun menjadi 30,06 persen pada tahun 2013. Hingga tahun 2016 proporsi penduduk usia 0 – 14 tahun turun menjadi 29,33%.
9
Pada table di atas juga dapat dilihat bahwa struktur umur penduduk Kalimantan barat masih di dominasi oleh penduduk usia produktif., yang pada tahun 2012 mencapai 64,68 persen dan kembali meningkat menjadi 66,00% pada tahun 2016. Hal ini menujukan bahwa penduduk usia produktif di Kalimantan Barat menjadi sangat potensial sebagai modal dasar yang besar untuk pembangunan. Semenara itu, proporsi penduduk usia lanut (65 tahun ke atas) semakin bertambah dari 3,54% pada tahun 2012 menjadi 4,27% pada tahun 2016. 2.3 Analisis proyeksi penduduk Kalimantan barat Menurut mantra, 2000 (dalam muta`ali, 2015:29) proyeksi pertumbuhan penduduk bukan merupakan suatu ramalan di masa mendatang akan tetapi merupakan suatu perhitungan yang di asumsikan dengan beberapa variable seperti kematian, kelahiran dan migrasi. Yang mana proyeksi Dibawah ini merupakan data proyeksi pertumbuhan penduduk di Kalimantan barat hingga tahun 2020 tahun
Proyeksi jumlah penduduk (ribu jiwa)
2010
4490
2011
4568
2012
4642
2013
4716
2014
4790
2015
4863
2016
4934
2017
5003
2018
5069
2019
4680
2020
5137
Table: sumber BPS Kalimantan Barat tahun 2014 (yang di olah kembali oleh penulis)
10
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, adapun penyebab terjadi pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi yaitu : 1. Peningkatan angka kelahiran, alasan lain dibalik pertumbuhan populasi manusia adalah bahwa tidak adanya musim kawin tertentu pada manusia. Mereka dapat kawin dan memiliki anak setiap saat sepanjang tahun tidak seperti binatang yang memiliki bulan kawin pada bulan-bulan tertentu atau tahun-tahun tertentu. 2. Penurunan tingkat kematian, mengurani tingkat kematian merupakan penyebab terjadinya pertumbuhan penduduk yang tinggi. Pada zaman ini, dunia media sudah sangat canggih sehingga penyakit-penyakit yang terjadi pada masyarakat dapat di sembuhkan melalui dunia medis. Kemajuan di dunia kedokteran baik preventif dan kuratif, penyakit dapat diberantas atau mendapatkan pengobatan yang efektif. Perkembangan di bidang kedokteran dapat meningkatkan angka harapan hidup dan mengurani angka kematian pada manusia. Angka kematian bayi dan angka kematian saat melahirkan sudah rendah pada saat ini berkat kemajuan dunia medis. Peningkatan keperwatan memungkinkan untuk bayi dan ibu untuk bertahan hidup. 3. Kurangnya pendidikan, buta aksara merupakan faktor penting sebagai penyebab terhadap pertumbuhan populasi yang tinggi. Mereka yang kurang pendidikan
gagal
untuk
memahami
kebutuhan
dalam
mengekang
pertumbuhan penduduk. Metode pengendalian kelahiran dan keluarga berencana tidak mencapai dalam bagian buta huruf masyarakat. Pada strata terdidik dapat membuat keputusan yang lebih bertanggung jawab tentang pernikahan dan melahirkan. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat yang efektif untuk mengekang pertumbuhan populasi yang tinggi. 4. Pengaruh budaya, konsep pengendalian kelahiran tidak diterima secara luas. Menerapkan langkah pengendalian kelahiran dianggap tabu dalam budaya tertentu. Beberapa kebudayaan memupuk kepercayaan yakni menikah pada usia tertentu atau memiliki sejumlah anak dan dianggap ideal. Dalam
11
beberapa budaya, anak laki-laki lebih disukai. Hal ini secara tidak langsung memaksa pasangan untuk menghasilkan anak dengan jenis kelamin yang disukai, selain itu ada tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk memiliki anak 2.4 Bonus demografi Isu
kependudukan
dewasa
ini
menjadi
underline
factor
disaat
pembangunan nasional dan daerah menghadapi fenomena bonus demografi. Sebagai bagian dari proses transisi demografi, bonus demografi memberikan keuntungan ekonomis ketika kondisi struktur umur penduduk menjadi rasio ketergantungan berada pada tingkat yang rendah. Rasio ketergantungan penduduk indonesia dari tahun ke tahun menurun. Berdasarkan data BPS, rasio ketergantungan penduduk Indonesia tahun 1971 sebesar 86%, tahun 2000 menjadi 54% dan tahun 2010 menjadi 52%. Beberapa pakar demograafi dan studi kependudukan yang terkait lainnya memperkirakan dalam rentang waktu 2020 – 2030 angka ketergantungan Indonesia berada pada titik terendah yaitu sebesar 44%. Inilah fase yang disebeut sebagai jendela kesempatan, suatu kondisi atau ukuran perbandingan jumlah penduduk produktif dengan non produktif yang ideal. Pada saat itu, setiap 100 orang penduduk berusia produktif (15 – 64 tahun) hanya menanggung 44 orang penduduk usia nonproduktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun). Dalam lingkung regional, capaian bonus demografi di berbagai provinsi di Indonesia cenderung beda-beda. Dalam prespektif pembangunan di Kalimantan Barat, bonus demografi merupakan momentum bagi daerah untuk memanfaatkan jumlah tenaga kerja yang relative besar. Potensi kependudukan demikian tentunya dapat dioptimalisasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyaraka. Persoalannya adalah bagaimana kondisi kependudukan dan ketenagakerjaan di daerah saat ini dan bagaiman kesiapan daerah dalam menyongsong bonus demografi.
12
Kabupaten/Kota
TPAK (dalam persen)
Kota Singkawang
71,938
Kota Pontianak
209,565
Kubu Raya
200,174
Kayong Utara
42,490
Melawi
92,448
Sekadau
97,340
Kapuas Hulu
117,740
Sintang
186,828
Ketapang
188,504
Sanggau
206,092
Pontianak
93,215
Landak
158,187
Bengkayang
98,114
Sambas
237,584
Table Angkatan Kerja menurut Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat tahun 2010 Parameter ketenagaan kerja lainnya adalah tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK Kalimantan Barat sebesar 73,93%, naik 0,76% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 73,17% (BPS Sakernas, Agustus 2011). Pada tahun 2011 TPAK tertinggi adalah Kabupaten Kapuas Hulu (77,48%), Kabupaten Sekadau (77,26%) dan Kabupaten Sanggau (76,77%), sedangkan terendah dan di bawah rata-rata provinsi adalah kota Pontianak (63,87%), kota Singkawang (67,17%) dan Kabupaten Kubu Raya (73,26%). Dari sisi serapan tenaga kerja, penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di Kalimantan Barat menujukan bahwa lapangan usaha yang dominan
adalaah
sector pertanian, menyerap (60,03% tenaga kerja (BPS, Sakernas, Agusutus 2011). Sector lain yang menyerap tenaga kerja relative besar adalah sector perdagangan sebesar 12,92%. Sedangkan sector industry pengolahan hanya menyerap seitar 4,17% tenaga kerja.
13
Pada sisi lain, komposisi ketenaga kerjaan di Provinsi Kalimantan Barat masih di dominasi oleh penduduk yang berpendidikan rendah, yang tamat SD ke bawah sekitar 67,69%, pendidikan SLTP 14,55%, yang berpendidikan SMU/sederajat sekitar 14,26 dan hanya sekitar 3,50 yang berpendidikan akamedisi/universitas. Terbatasnya tingkat
pendidikan angkatan kerja di
Kalimantan Barat mengindikasi derajat kasualitas sumber daya manusia yang masih rendah.
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi yang disertai dengan peningkatan
investasi
menjadi
tumpuan
untuk
perbaikan
kesejahteraan
masyarakat. Ketersediaan sumber daya manusia yang produktif menjadi prasyarat
14
dalam mempercepat pembangunan ekonomi. Sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, di Kalimantan Barat saat ini menghadapi jumlah penduduk usi produktif yang meningkat. Meningkatnya penduduk usia produktif di daerah merupakan momentum yang tepat untuk memanfaatkan jendela peluang bonus demografi, potensi ini dapat dimanfaatkan untuk memperluas kesepmatan kerja di berbagai sector ekonomi, meningkatkan produktivitas, menurukan pengangguran dan kemisikina serta meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah. Penduduk Kalimantan barat berjumlah 4.395.983 jiwa dengan rasio kertergantungan tahun 2010 sebesar 55. Hasil perhitungan proyeksi penduduk Kalimantan Barat pperiode 2015 – 20135 menunjukan terjadi pergeseran struktur umur penduduk mengarah pada kelompok usia menengah. Mengacu pada kondisi puncak demografi pada tahun 20125, dan berlanjut pada tahun 2080. Pada masa bonus demografi tersebut, rasio ketergantungan sebesar 46%. Setelah terlampaui jendela peluang, diperkirakan rasio ketergantngan meningkat lagi di tahun 20135. Perubahan struktur umur pada penduduk periode ini mengakibatkan penduduk Kalimantan barat mengalami penuaan.
15
Tabel Capaian Bonus Demografi
Kabupaten/Kota
Capaian
Rasio
Penduduk
Ketergantungan
Tahun
Rendah
(jiwa)
Sambas
***
53
496.120
Bengkayang
2030
47
215.277
Landak
***
50
329.649
Pontianak
2030
45
234.021
Sanggau
2020
44
408.47
Ketapang
2035
43
427.460
Melawi
2020
45
178.645
Kayong Utara
2030
47
95.594
Kubu Raya
2030
45
500.970
Kota Pontianak
2010
47
554.754
Kota Singkawang
2030
48
186.462
2010
Sumber : BPS 2010 (diolah kembali oleh penulis) Selanjutnya berdasarkan hasil proyeksi penduduk selama periode 2015 – 2035 menunjukan bahwa pencapaian bonus demografi di tiap – tiap Kabuoaten/Kota di Kalimantan Barat rekatif bervariasi. Kota Pontianak merupakan satu-satunya daerah di Kalimantan Barat yang lebih awal mencapai bonus demografi. Pada tahun 2010, rasio ketergantungannya sebesar 47% dan berlanjut sampai tahun 2030. Terdapat dua kabupaten yang mencapai puncak demografi dengan rasio ketergantungan paling rendah, yakni Kabupaten Kapuas Hulu pada tahun 2020 dan Kabupaten pada tahun 2025. Sementara itu kabupaten sambas dan kabupaten landak tidak menikmati bonus demografi sampai tahun 2035 rasio ketergantungannya tetap masih tinggi, masing-masing sebesar 53 dan 50. Patut juga di kemukakan bahwa hamper semua Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat ternyata mengalami peningkatan cukup tajam pada proporsi 16
penduduk lanjut. Usia setelah melewati masa puncak bonus demografi. Ledakan penduduk lansia ini perlu disikapi lebih lanjut dalam upaya memberikan jaminan social di masa tua. Memperhatikan
berbagai
parameter
kependudukan
khususnya
ketenagakerjaan maka dibutuhkan kesiapan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan tiap-tiap Kabupaten/Kota berkaitan dengan perluasan kesempatan kerja pengembangan sector ekonomi dan peningkatan kualitas SDM (pendidikan dan keterampilan). 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Penduduk di Suatu Wilayah 2.4.1 Fertilisasi (Tingkat Kelahiran) Kelahiran merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi besarnya penduduk di suatu wilayah selain kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (mobolitas). Angka ferlitas yang tinggi apabila disertai angka mortalitas yang rendah akan menyebabkan pertambahan penduduk. Apabila angka fertilitas tidak dapat dikendalikan maka akan menyebabkan pertambahan penduduk. Apabila angka fertilitas yang tinggi apabila disertai angka mortalitas yang rendah akan menyebabkan pertambhan penduduk. Apabila angka fertilitas tidak dapat dikendalikan maka akan menyebabkan terjadinya ledakan penuduk sehingga menyebabkan jumlah penduduk semakin membangkak dan memicu berbagai macam permasalahan penduduk di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Di samping itu, ledakan penduduk yang terjadi akan menjadi beban daerah semakin besar dan berisiko menghambat pembangunan daerah. Salah satu indicator yang digunakan untuk mengukur fertilitas adalah angka kelahiran total, angka kelahiran kasar, angka reproduksi neto. TFR adalah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia suburnya. Indicator TFR mempunyai kegunaan untuk membandingkan keberhasilan antar wilayah dalam melaksanakan pembangunan social ekonomi, menujukan tingkat keberhasilan program KB, membantu para perencana program pembangunan untuk meningkatkan rata-rata usia kawin, meningkatkan program pelayanan
17
kesehatan yang berkaitan dengan pelayanan ibu hamil dan perawatan anak, serta mengambangkan penurunan tingkat kelahiran. Tingka Fertilitas
2010
2015
TFR
2,73
2,56
GRR
1,3
1,2
NRR
1,3
1,2
CBR
23,9
21,5
Jumlah kelahiran (000)
105,2
103,0
Sumber : proyeksi penduduk 2010 – 2015 Pada table di atas terlihat bahwa TFR sejak tahun 2010 – 2015 tidak mengalami penurunan yang sangat signifikan, yaitu dari 2,73 menjadi hanya 2,56. Hal ini menujukan bahwa rata-rata benyaknya anak yang dilahirkan oleh seorang wanita hingga selesai masa reproduksinya usia 15 – 49 tahun Kalimantan barat tahun 2010 mendekati 3 orang, sedangkan tahun 2015 menurun mendekati 2 orang GRR adalah banykanya bayi perempuan yang dilahirkan oleh perempuan selama masa reproduksinya. Ukuran ini tidak memperhitungkan kemungkinan bayi perempuan meninggal sebelum mencapai masa reproduksinya. Sejalan dengan TFR, GRR Kalimantan Barat selama kurun waktu 2010 – 2015 juga menujukan penurunan yatu dari 1,3 tahun 2010 menjadi 1,2 di tahun 2015. NRR adalah jumlah bayi perempuan yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa reproduksinya, dan dapat menganggantikan ibunya untuk memproduksi dengan mengikuti pola fertilitas dan mortalitas ibunya. NRR memperhitungkan kemungkinan si bayi perempuan meninggal sebelum mencapai akhir masa reproduksinya. NRR merupakan ukuran kemampuan suatu populasi yang menggantikan dirinya NRR bernilai satu berarti satu populasi dapat menggantikan dirinya dengan jumlah yang sama. NRR bernilai lebih dari satu berarti bahwa suatu populasi dapat menggantikan dirinya dengan jumlah yang
18
sama NRR Kalimantan barat selama kurun waktu 2010 – 2015 tidak mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu dari 1,3 menjadi hanya 1,2. CBR adalah banyaknya kelahiran pada tahun tertentu per 1000 penduduk pada pertegahan tahun yang sama. Indicator CBR digunakan untuk mengetahui tingkat kelahiran di suatu daerah tertentu. CBR selama kurun waktu 2010 – 2015 menglami penurunan dari 23,9 pada tahun 2010 menjadi 21,5 pada tahun 2015. Angka ini dikatakan sebagai angka kelahiran kasar karena pembaginya adalah seluruh penduduk baik laki-laki maupun perempuan. 2.4.2 Mortalitas (Tingkat Kematian) 2.4.2.1 Angka Kematian Bayi Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal : adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Dan eksogen atau kematian post neo-natal : adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat untuk tahun 2012 berdasarkan laporan pendahuluan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 adalah 31 per 1.000 Kelahiran hidup. Sedang untuk Angka Kematian Bayi Nasional adalah 32 per 1.000 Kelahiran Hidup. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kematian bayi yang signifikan di provinsi Kalimantan Barat dimana Angka Kematian Bayi di Kalimantan Barat sudah lebih rendah dibandingkan dengan Angka Kematian Bayi Nasional. Berturut-turut AKB di Kalimantan Barat berdasarkan hasil SDKI mulai tahun 1994 adalah 97 per 1.000 Kelahiran Hidup,
19
Tahun 1997 menjadi 70 per 1.000 KH, Tahun 2002 menjadi 47 per 1.000 KH, turun menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI Tahun 2007 dan turun menjadi 31 per 1.000 KH berdasarkan laporan pendahuluan SDKI 2012. Table Angka Kematian Bayi di Kalimantan Barat tahun 1994 – 2012 Tahun
Jumlah
1994
97
1997
70
2002
47
2007
46
2012
32
Sumber : SDKI Namun demikian jika merujuk pada data profil kesehatan kabupaten/kota yang masuk di Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, terlihat bahwa kasus kematian bayi yang dilaporkan pada tahun 2016 adalah sebesar 653 kasus dengan 90.379 kelahiran hidup. Sehingga dengan demikan jika dihitung angka kematian bayinya adalah 7 per 1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi untuk pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan kematian bayi yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor endogen yang berhubungan dengan kehamilan maka program-program untuk mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi (tablet Fe) dan suntikan anti tetanus. Sedangkan Angka Kematian Post-NeoNatal dan Angka Kematian Anak serta Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi, serta program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak, program penerangan tentang gizi dan pemberian makanan sehat untuk anak dibawah usia 5 tahun.
20
2.4.2.2. Angka Kematian Ibu Informasi mengenai tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) bermanfaat untuk pengembangan program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi (making pregnancy safer), program peningkatan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistim rujukan dalam penanganan komplikasi kehamilan, penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran, yang semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat kesehatan reproduksi. Mengacu hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian ibu periode dua dasawarsa seperti terlihat di table. dimana angka kematian menunjukan adanya penurunan dari tahun ke tahun, namun tejadi kenaikan kembali pada periode tahun 2007 – 2012. Table Angka Kematian Ibu 1994 – 2012 Tahun
Jumlah
1994
390
1997
334
2002
307
2007
228
2012
359
Sumber : SDKI Dilihat dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, angka kematian ibu Provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar 240 per 100.000 Kelahiran Hidup, sedang untuk nasional sebesar 259 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini berarti bahwa angka kematian ibu di Kalimantan Barat telah menunjukan adanya penurunan yang sangat signifikan, dimana dalam dua dasawarsa, pada tahun 2012 angka kematian ibu di Kalimantan Barat berada dibawah angka nasional, baik dibandingkan dengan hasil SDKI maupun hasil Sensus Penduduk. Sedang, jika dilihat berdasarkan kasus kematian maternal yang terjadi pada tahun 2016 di Provinsi Kalimantan Barat, tercatat sebanyak 86 kasus kematian ibu. 21
Sehingga jika dihitung angka kematian ibu maternal dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak 90.379, maka kematian Ibu maternal di provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2016 adalah sebesar 95 per 100.000 kelahiran hidup. Kasus Kematian Ibu Maternal di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2016 Kabupaten/Kota
Jumlah
Sambas
12
Bengkayang
2
Landak
6
Mempawah
7
Sanggau
9
Ketapang
8
Sintang
4
Kapuas Hulu
5
Sekadau
4
Melawi
7
KKU
3
KKR
15
Pontianak
3
Singkawang
1
Sumber : seksi kesehatan keluarga dan gizi dinkes provinsi Kalbar 2.4.2.3 Angka Kematian Balita Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian anak berusia 0-5 tahun (59 Bulan) selama satu tahun tertentu per 1.000 anak umur yang sama pada pertengahan tahun itu (termasuk kematian bayi). AKABA menggambarkan faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan.
22
Angka Kematian Balita di Kalbar 1994 – 2012 Tahun
Jumlah
1994
93
1997
88
2002
63
2007
59
2012
40
Sumber : SDKI AKABA Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan hasil SDKI berturut-turut mulai tahun 1994 adalah 93 per 1.000 Kelahiran Hidup, turun menjadi 88,2 per 1.000 Kelahiran Hidup pada tahun 1997, turun menjadi 63 per 1.000 Kelahiran Hidup pada tahun 2003, turun menjadi 59 per 1.000 Kelahiran Hidup pada tahun 2007, dan menurun kembali menjadi 37 per 1.000 Kelahiran Hidup pada tahun 2012. Angka ini lebih rendah dari rata-rata angka kematian balita secara nasional yaitu 40 per 1.000 Kelahiran Hidup. Jika dilihat berdasarkan kasus kematian Balita yang terjadi pada tahun 2016 di Provinsi Kalimantan Barat, tercatat sebanyak 720 kasus. Sehingga jika dihitung berdasarkan kasus yang terjadi dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak 90.379, maka kematian Balita di provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2016adalah sebesar 8 per 1.000 kelahiran hidup. 2.4.1 Wanita Menurut Usia Perkawinan Salah satu persoalan penduduk yang dapat memicu tingginya pertambahan jumlah penduduk yaitu tingginya angka kelahiran di suaru daerah. Banyaknya kelahiran yang terjadi pada seorang wanita dapat dipengaruhi oleh masa reproduksinya. Semakin panjang masa reproduksi seorang wanita, kemungkinan semakin banyak anak yang dilahirkan. Semakin muda seseorang saat melaksanakan perkawinan pertama maka akan semakin panjang masa reproduksinya. Terdapat beberapa sumber menganai batasan usia minimal seorang wanita untuk melakukan perkawinan pertma. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 7 ayat (1), syarat menikah untuk perempuan harus sudah 23
berusia minimal 16 tahun, sedangkan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Usia minimal untuk menikah yaitu berumur 18 tahun. Sementara itu, menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia pernikahan pertama bagi seorang adalah 21 – 25 tahun. Berdasarkan hasil susena tahun 2016 Kabupaten/Kota se Kalimantan Barat, presentase wanita yang melakukan perkawinan pertama domisili usia 21+ yaitu mencapai 74,86%. Hal ini menujukan bahwa kesdaran masyarakat mengenai usia ideal untuk melakukan pertama cukup baik. Sedangkan masih berdasarkan hasil susenas tahun 2016, Kabupaten/Kota se Kalimantan Barat presentase wanita Kalimantan Barat berusia 10 – 16 tahun yang melakukan perkawinan pertama sebesar 16,91%, ini cukup besar disbanding wanita yang melakukan perkawinan pertama pada usia 17 – 18 tahun (4,21%). Padahal pada usia 10 – 16 tahun, seseorang masih dapat dikatakan sebagai anak-anak yang belum siap untuk membina sebuah keluarga. Kemudian dari hasil sakenas tahun 2016 sebagai besar wanita Kalimantan Barat melakukan perkawinan pertama pada usia 19 – 20 tahun mencapai 4,01. Paling tinggi terjadi di Kabupaten Kubu Raya (4,93%), kemudian Kabupaten Landak (4,91%), sedangkan yang terkecil presentase wanita melakukan perkawinan pertama pada usia ini, terjadi di Kabupaten Bengkayang (3,22%).
24
Table presentase wanita umur 10+ tahun pernah kawin menurun usia perkawinan pertama, 2016 Kabupaten/Kota
Usia
Jumlah
<16
17 – 18
19 – 20
21+
Sambas
16,99%
3,37%
3,31%
76,33%
100%
Bengkayang
17,98%
4,78%
3,22%
74,01%
100,01%
Landak
18,70%
4,82%
4,91%
71,57%
100,00%
Pontianak
17,27%
3,89%
4,54%
74,30%
100.00%
Sanggau
16,28%
4,05%
3,63%
76,04%
100,00%
Ketapang
16,02%
4,60%
3,27%
76,11%
100.00%
Sintang
17,52%
3,56%
3,28%
75,65%
100,01%
Kapuas Hula
16,90%
3,18%
3,44%
76,48%
100.00%
Sekadau
17,24%
3,88%
4,32%
74,56%
100.00%
Melawi
19,31%
4,35%
4,01%
72,34%
100.01%
Kayong Utara
20,15%
4,43%
3,64%
71,78%
100.00%
Kubu Raya
16,30%
5,23%
4,93%
73,54%
100.00%
Kota Pontianak
15,16%
3,88%
4,86%
76,11%
100,00%
Singkawang
16,90%
5,28%
3,98%
73,84%
100.00%
Jumlah
16,91%
4,21%
4,01%
74,86%
100,00%
Total
Sumber : BPS Jika dilihat berdasarkan Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat tahun 2016, presentase wanita yang melakukan perkawinan pertamanya pad usia <16 tahun paling tinggi terjadi di Kabupaten Kayong Utara mencapai 20,15%, kemudian Kabupaten Melawi mencapai 19,31 dan yang paling kecil wanita yang melakukan perkawinan pertama pada usia ini terdapat di Kota Pontianak, nilainya 15,16%. Untuk kelompok umur 17 – 18 tahung paling tinggi di kota Singkawang mencapai 5,28%, kemudia Kabupaten Kubu Raya (5,33%), kemudian Kabupaten Landak (4,82%). Sedangkan paling kecil wanita di Kabupaten Kapuah Hulu, nilainya 3,18%.
25
2.5 Kebijakan Pemerintah untuk Menghambat Laju Pertumbuhan Penduduk 2.5.1 Penggunaan Alat KB Program Keluarga Berenvana (KB) merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, mengurangi angka kelahiran anak dan kematian ibu, Program KB dilakukan dengan penggunaan alat kontrasepsi / KB yang berbagai jenis/kecamatan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku instansi pemerintah yang menangani program KB ini mengharapkan cakupan akseptor KB terus meningkat. Terutama untuk kepersertaan KB dengan metode kontrasepsi jangka panjang (MJKP) seperti IUD dan implant. Dengan cakupan KB yang meningkat, diharapkan laju pertumbuhan penduduk bisa dikendalikan lebih baik lagi. Di Kalimantan Barat saat ini perkembangan cakupan ber- KB dapat dikatakan sangat lamban, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan penduduk (LPP) cukup tinggi. Lambatnya kenaikan angka cakupan ber-KB dipicu oleh beberapa factor. Utamanya adalah masalah tingginya kelompok yang tidak melayani program KB dengan berbagai alasan dan kendala. Selain itu adalah makin kecilnya akseptor KB yang memiliki KB dengan metode jangka panjang, sehingga angka drop out KB menjadi tinggi. Upaya pemerintah sangat diperlukan dalam rangka melaksanakan program Keluarga Berencana. Sehingga perlu dilakukan gerakan menyatukan presepsi dalam mengendalikan penduduk, agar pertumbuhan penduduk sesuai dengan partumbuhan pangan yang tersedia, termasuk pendidikan dan kesehatan. Program Keluarga Berencana (KB) merupakan suatu usaha langsung yang ditujukan untuk mengurang tingkat kelahiran terutama melalui program pengunaan alat kontrasepsi secara konsisten dan berkesinambungan. Disamping itu, program KB ini bertujuan membangun keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Table di atas dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 20120 -2013 realisasi akseptor baru peserta di Kalimantan Barat melebihi target yang di tetapkan. Hal ini menujukan bahwa tingginya tingkat kesadaran masyarakat mengikuti program keluarga berencana. Akan
26
tetapi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir yaitu 2015 – 2016, realisasi akseptor baru peserta KB di Kalimanr 2.5.2 Menggalakan Program Transmigrasi Salah
satu
program
mengatasi
kepadatan (baca: penyebab
kepadatan
penduduk) penduduk tanpa menekan pertumbuhan penduduk adalah dengan menggalakan
program
transmigrasi
(baca: manfaat
transmigrasi
penduduk).
Transmigrasi merupakan program penduduk dari wilayah yang banyak atau padat penduduknya ke wilayah yang masih jarang penduduknya. Transmigrasi ini akan mendorong terjadinya pemerataan penduduk (baca: manfaat sensus penduduk). Jika penduduknya sudah merata maka maka hal ini akan mendorong terjadinya pemerataan pembangunan. Program transmigrasi akan mengurangi kepadatan penduduk di daerah yang padat dan akan dialihkan ke wilayah-wilayah Indonesia (baca: batas wilayah Indonesia secara geografis) yang penduduknya belum terlalu padat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwasannya wilayah di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk paling banyak, bahkan menjadi yang paling padat adalah di Pulau Jawa. Bahkan Pulau Jawa juga dikenal sebagai salah satu pulau terpadat di dunia. Selama ini pemerintah Indonesia sudah melakukan program transmigrasi besar- besaran ini. Sasaran program transmigrasi pemerintah adalah orang- orang di Pulau Jawa. Mereka biasanya ditempatkan di wilayah timur Indonesia, seperti di Pulau Kalimantan (baca: pulau terbesar di dunia). Peserta transmigrasi akan disediakan tempat tinggal dan juga diberikan lahan supaya bisa untuk ditanami. Dengan demikian ada beberapa dampak positif yang bisa dirasakan, tidak hanya pemerataan penduduk saja, namun juga jumlah pengangguran di Pulau Jawa dapat berkurang serta akan membuat lahan-lahan yang semula kosong menjadi lahan yang produktif.
27
2.5.3 Pemerataan Lapangan Kerja Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan alasan mengapa orang-orang suka berpindah tempat kerja yang banyak dikemukakan adalah karena urusan pekerjaan. Memang benar, lapangan jumlah kerja saat ini masih timpang dimana hanya di daerah-daerah yang ramai seperti kota besar saja yang banyak. Selain itu lapangan kerja ini juga biasanya ditemukan di daerah-daerah yang sudah banyak penduduknya, karena hal ini berarti tenaga kerja tidak langka sehingga produsen bisa menekan gaji pegawai. Nah, di Indonesia sendiri, coba kita tengok kira-kira di Pulau Jawa dengan Pulau Sulawesi jumlah lowongan kerja banyak dimana? Pasti semua akan setuju menjawab di Jawa. Hal ini karena tenaga kerja di Jawa lebih banyak dan lebih berkualitas. Dengan melihat fenomena (baca: fenomena alam yang menakjubkan) yang demikian, idealnya pemerintah mulai melakukan program pemerataan lapangan kerja. Misalnya pabrik-pabrik sekarang dibangun di luar Pulau Jawa saja, pembukaan perkebunan atau lahan pertanian baru untuk diolah supaya orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan bisa lebih produktif dalam mengolah lahan. Untuk merealisasikan hal ini sebenarnya pemerintah Indonesia sudah melakukannya. Salah satu bukti bisa dilihat bahwa lowongan-lowongan kerja di instansi pemerintah rata-rata saat ini ditempatkan di wilayah luar Pulau Jawa. Hal ini akan sangat mempengaruhi kepadatan penduduk, karena banyak yang akan pindah ke luar Pulau Jawa untuk bekerja 2.6 Kebijakan Untuk Penduduk Lansia Oleh banyak pihak, Indonesia disebut sedang menikmati bonus demografi ketika jumlah penduduk dengan usia produktif sangat besar, sementara penduduk usia mudanya semakin mengecil dan penduduk usia lanjutnya (lansia) belum membesar. Pemerintah sendiri mengklaim bonus demografi ini sudah dinikmati sejak 2012 dimana rasio ketergantungan penduduk di bawah 50% per 100 penduduk usia produktif. Dengan kekuatan tenaga kerja produktifnya, ke depannya bangsa Indonesia diharapkan mampu menguasai ekonomi dunia. Puncak bonus demografi yang
28
dinikmati Indonesia, diperkirakan terjadi tahun 2028-2031. Setelah itu, jumlah penduduk lansianya akan membesar. Jumlah penduduk lansia yang membesar ternyata berpotensi memberikan banyak benefit jika tangguh, sehat dan tetap produktif. Penduduk lansia tersebut bahkan diprediksi menjadi bonus demografi kedua bagi Indonesia. Namun demikian, menjadikan penduduk lansia tetap sehat, tangguh dan produktif tentu membutuhkan banyak persiapan serta dukungan dari semua pihak. Persoalan kualitas gizi, sanitasi serta dukungan lingkungan yang sehat kemudian menjadi beberapa hal prioritas yang wajib diwujudkan, sama halnya dengan penyiapan kualitas penduduk usia produktif. 2.6.1 Peran Lansia Menjadi menarik menganalisis lebih lanjut pentingnya peran penduduk lansia ini jika dikaitkan dengan laporan di sebuah kolom majalah The Economist, dimana populasi kaum lansia diprediksikan melesat tinggi di beberapa negara kaya, misalnya di Jepang, proyeksi perbandingan kaum lansia dengan kaum produktif 69 berbanding 100 di tahun 2035. Dibandingkan data tahun 2010, kondisi ini meningkat sangat tajam. Saat itu, kaum lansia di Jepang masih berkisar 43 dari total kaum produktif. Kondisi yang sama juga dihadapi negara Korea, Jerman dan Perancis. Secara umum, menurut catatan PBB, populasi lansia juga meningkat dua kali lipat hanya dalam tempo 25 tahun. Saat ini, PBB memprediksikan jumlah kaum manula mencapai 600 juta jiwa di seluruh dunia, atau setara dengan 8% total populasi penduduk dunia dan terus meningkat hingga 1,1 miliar atau 13% di tahun 2035. Uniknya, fenomena tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara maju yang notabene menghadapi sindrom less population, karena Amerika Serikat (AS) dan China yang dikenal sebagai negara dengan populasi yang terbesar juga menghadapi permasalahan yang sama. Di AS, dengan tingkat kelahiran yang begitu besar, harus menanggung 44 lansia berbanding 100 penduduk, sementara di China populasi lansia meningkat dari 15 menjadi 36 per 100 orang penduduk usia produktif. Jika sebelumnya dianggap sebagai mesin pertumbuhan, beberapa pengamat kemudian manganalogikan kaum lansia ini sebagai faktor yang dominan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi dunia.
29
Di Indonesia sendiri, setiap tanggal 29 Mei selalu diperingati sebagai Hari Lanjut Usia (Lansia) Nasional. Untuk tahun 2014 kemarin, tema yang diusung adalah ”Jadikan Lanjut Usia Indonesia Sejahtera” dengan sub tema ”Pengabdianku Untuk Orang Tua”. Definisi Lansia menurut Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas atau sering disebut sebagai penduduk dengan usia non-produktif. Perayaan Hari Lansia Nasional itu sendiri dicanangkan pertama kali oleh Presiden Soeharto tahun 1996 sebagai bentuk keperdulian dan penghargaan atas penduduk Lansia. Menurut data pemerintah, hingga kini jumlah lansia mencapai 18 juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Nantinya di tahun 2050, satu dari empat penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita. Sayangnya, perhatian terhadap penduduk lansia ini dianggap masih sangat kurang. Belum ada satupun kota di Indonesia yang memenuhi kriteria kota ramah lansia. Sebuah kota didefinisikan ramah lansia jika memiliki banyak ruang publik yang dapat digunakan penduduk lansia untuk bersosialisasi serta tersedianya sistem transportasi dan pelayanan umum yang memperhatikan keterbatasan lansia. Mengingat begitu besarnya peran penduduk lansia, kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah harus komprehensif bersinergi dengan kebijakan penduduk usia produktif. Momen ini juga harus dijadikan sebagai awal dari reformasi kebijakan pemerintah di sektor kependudukan. Terlalu lama pengelolaan kependudukan di Indonesia dijalankan dengan mekanisme asal-asalan. Padahal dengan kekuatan jumlah penduduk terbesar ke-3 di dunia, Indonesia harus menaruh perhatian serius terhadap persoalan kependudukan ini. Kebijakan yang ada, sering kali bersifat populis jangka pendek. Padahal tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka
pembangunan,
sama
artinya
dengan
”menyengsarakan”
generasi
mendatang.
30
Banyak teori yang menyebutkan penduduk sebagai salah satu faktor strategis dalam mendukung pembangunan nasional. Penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek, penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu menjadi mesin penggerak pembangunan. Sebagai obyek, pembangunan
harus
dapat
dinikmati
oleh
masyarakat.
Dengan
demikian,
pembangunan harus diperhitungkan dengan seksama, dengan memperhitungkan kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif. Di periode Orde Baru, pemerintah sebetulnya cukup sukses dalam mengelola persoalan kependudukan. Banyak kebijakan yang kemudian dihasilkan, bersifat terintegrasi demi menciptakan penduduk yang berkualitas. Sayangnya di era reformasi, masalah kependudukan justru menjadi salah satu sektor yang paling terabaikan. Otonomi daerah sepertinya tidak berkorelasi dengan otonomi pengelolaan penduduk. Banyak daerah yang justru tidak menganggap penting pengelolaan kependudukan. Akibatnya peningkatan penduduk semakin tidak terkendali, sehingga di banyak daerah khususnya Jawa dan Bali, terjadi over populated dengan kualitas penduduk yang semakin memprihatinkan. Hal inilah sejujurnya yang menjadi pekerjaan terbesar pemerintah saat ini dan di masa depan, bagaimana mengubah peran kependudukan dari sekedar konsumsi menjadi hal yang lebih produktif via peningkatan kualitas penduduk. Bukan hal mudah memang, namun justru disinilah peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah harus mampu menciptakan berbagai program yang akan digunakan sebagai stimulus bagi upaya peningkatan kualitas masyarakat Indonesia yang kompetitif. Tanpa itu semua, niscaya mustahil bangsa ini mampu berbicara di level internasional. Mumpung masih ada waktu, seyogyanya pekerjaan ini dimulai dari sekarang.
31
2.6.2 Pentingnya Mempersiapkan Lansia Merujuk pada publikasi BPS pada Statistik Penduduk Usia Lanjut 2017, dinyatakan bahwa terjadi kenaikan presentase jumlah lansia sebesar dua kali lipat dalam kurun waktu 1971-2017 sebanyak 8,97%. Jumlah lansia perempuan memiliki presentase yang lebih banyak dari lansia laki-laki yaitu 9,47% banding 8,48%. Melalui publikasi ini kita bisa melihat hal positif yaitu kenaikan jumlah lansia berarti kenaikan pada angka harapan hidup di Indonesia, hal ini berarti pemerintah dianggap telah berhasil dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Pada tahun 2013, angka harapan hidup orang Indonesia saat ini adalah 70,9 tahun (BPS, 2017). Kenaikan jumlah lansia dan angka harapan hidup ini tentunya menorehkan prestasi bagi pemerintah, di sisi lain ada pekerjaan rumah yang harus dipersiapkan juga terkait dengan angka ini. Pertama adalah mempersiapkan lansia yang sehat. Kedua, mempersiapkan tempat yang layak bagi para lansia. Terakhir adalah menyusun strategi agar lansia menjadi produktif. Mempersiapkan lansia sehat menjadi hal yang sama penting dengan mempersiapkan balita sehat. Apabila terdapat banyak lansia yang sakit hal ini berarti ada beban baru yang harus ditanggung oleh pemerintah dan angkatan usia produktif. Beban pembiayaan kesehatan dan pengobatan lansia perlu menjadi perhatian khusus pemerintah. Kemudian hal kedua yang perlu diperhatikan adalah perlunya persiapan tempat yang layak bagi lansia. Hal ini menjadi penting karena sejatinya lansia masih merupakan masyarakat Indonesia yang memerlukan perhatian. Sebagai contoh, tercatat sebanyak 1.392 lansia terlantar Jakarta dirawat di Panti Sosial Tresna Werdha yang dikelola oleh Dinas Sosial DKI Jakarta. Para lansia ini menjadi tanggungan pemerintah karena sudah tidak bisa bekerja dan tidak memiliki keluarga di Jakarta. Keberadaan lansia Jakarta di panti sosial ini merupakan contoh betapa pentingnya mempersiapkan tempat yang layak bagi lansia. Tempat yang layak akan menjadikan lansia menjadi sehat dan tidak diperlukan biaya yang besar untuk merawat kesehatan mereka. Di sisi lain, kehadiran keluarga sebagai pendamping hidup lansia juga
32
penting untuk menjaga kesehatan lansia. Apabila banyak lansia yang dititipkan ke dinas sosial tentunya akan menjadi beban tambahan bagi pemerintah. Hal terakhir yang penting untuk menjadi perhatian adalah mempersiapkan lansia yang produktif. Naiknya jumlah lansia Indonesia berimplikasi pada naiknya beban tanggungan kelompok usia produktif yang disebut sebagai sandwich generation yang mencerminkan kondisi terjepitnya usia kelompok produktif berbanding pada usia non-produktif muda dan lansia. Secara tidak langsung keadaan ini juga akan membebani PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Secara statistik, keberadaan lansia membebani PDRB. 2.6.3 Mempersiapkan Lansia berkaca pada Program SHRC Jepang Dimulai pada tahun 1990-an, Jepang masuk ke dalam kategori ageing country. Hal ini berarti Jepang memiliki populasi penduduk usia yang banyak dibandingkan dengan usia mudanya. Menjadi ageing country membuat Jepang mendirikan lembaga yang mengatur lansia dalam mencari pekerjaan dengan mudah, lembaga ini dimanakan dengan Silver Human Resource Center (SHRC). SHRC memiliki program-program untuk mendukung para lansia untuk tetap produktif di usia tua. Kemudian SHRC juga membantu para lansia untuk mencari pekerjaan paruh waktu secara fleksibel. Menurut Weiss, dkk. (2005) tradisi Jepang membagi pekerjaan laki-laki dan perempuan terhadap dua domain, laki-laki berada pada domain pekerjaan dan perempuan dalam domain rumah tangga. Kebanyakan laki-laki pada usia produktif hanya menghabiskan waktu di rumah untuk tidur setelah bekerja seharian. Memasuki masa pensiun, berarti laki-laki harus lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tetap produktif di usia lanjut menjadi salah satu solusi mengatasi kecanggungan atas kebiasaan domain ini. Di sisi lain, upah yang diberikan kepada perempuan di Jepang lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki, untuk itulah lansia perempuan masih membutuhkan pekerjaan di usia senjanya. Pemerintah membuat program SHRC untuk menjembatani permasalahan domain tradisi dan gender pada masyarakat Jepang.
33
Program yang dilakukan oleh SHRC pada dasarnya bertujuan agar para lansia tetap memiliki kesibukan di usia senja. Dengan melakukan aktivitas di luar rumah, para lansia ini bisa lebih sehat sekaligus dapat memiliki relasi yang baik dengan masyarakat. Program-program yang diberikan SHRC diantaranya adalah program untuk menjadi relawan dan pekerja paruh waktu. Kegiatan-kegiatan ini disinyalir memberikan efek yang positif tidak hanya bagi para lansia tetapi juga kepada komunitas. 2.6.4 Lansia Indonesia dan Tantangan Masa Depan Pemerintah diharapkan bisa merancang program yang serius untuk mempersiapkan lansia di masa depan. Proporsi jumlah lansia yang meningkat memerlukan penanganan khusus agar tidak membebani usia produktif. Kemudian, penting juga bagi pemerintah untuk menjaga keberadaan lansia tetap sehat dan produktif. Langkah Jepang dalam membentuk SHRC dapat menjadi teladan yang baik bagaimana penanganan lansia akhirnya memberikan efek positif di dalam masyarakat. Kerjasama antara pemerintah dan pemilik usaha juga diperlukan agar para lansia yang masih memiliki keinginan untuk bekerja dapat diberikan kesempatan untuk bekerja paruh waktu. Jika hal ini dapat dilaksanakan, niscaya Indonesia akan siap dalam menghadapi peningkatan jumlah lansia di masa depan. 2.7 Analisis Piramida Penduduk Kalimantan Barat Pada tahun 2010, terlihat bahwa jumlah penduduk usia muda (0–19 tahun) sangat besar, sedangkan usia tua sedikit. Ini menunjukkan angka kelahiran jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kematian. Pertumbuhan penduduk relatif tinggi. Sebagian besar berada pada kelompok penduduk muda. Kelompok usia tua jumlahnya sedikit. Piramida ini dicirikan sebagian besar penduduk masuk dalam kelompok umur muda. Digambarkan seperti Limas. Jadi di suatu daerah terdapat angka kelahiran yang tinggi dan angka kematian yang rendah yang menyebabkan penduduk yang berumur muda banyak. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2015, yang juga menunjukkan bahwa penduduk yang berusia muda lebih banyak daripada penduduk berusia tua. Hampir sama dengan tahun 2010 dan 2015, pada tahun 2020
34
bahwa penduduk berusia muda lebih banyak daripada penduduk berusia tua. Pada tahun 2010 dan tahun 2015 yang lebih mendominasi adalah penduduk dengan rentang usia 0 hingga 4 tahun. Sedangkan pada tahun 2025 terlihat hampir mirip dengan piramida penduduk yang terjadi pada tahun 2010 hingga tahun 2020. Namun, pada tahun 2025 jumlah penduduk berusia muda dan dewasa hampir sama, akan tetapi besarnya jumlah penduduk berusia tua tetap lebih kecil dibandingkan penduduk berusia muda maupun penduduk berusia dewasa. Tahun 2025 yang lebih mendominasi adalah penduduk dengan rentang usia 10 hingga 14 tahun. Hal ini juga terjadi pada tahun 2030 dan 2035. Pada tahun 2030 dan 2035 yang lebih mendominasi adalah penduduk dengan usia 15 tahun hingga 19 tahun.
35
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Isu kependudukan yang kian mengemuka belakangan ini berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Penduduk memang dapat menjadi modal dasar dala pembengunan, namun di sisi lain penduduk juga dapat menjadi hambatan dalam mencapai tujuan penbangunan. Hal ini memungkinkan terjadi apabila pertumbuhan jumlah penduduk tidak terkendali dan tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan penduduk seoerti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan yang layak. Di satu sisi, dengan jumlah penduduk yang besar akan dihadapkan pada persoalan meningkatkan jumlah pengangguran karena tidak memadai penyediaan lapangan pekerjaan, permasalahan kebutuhan lahan untuk pemukiman, serta tidak memadai akses fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masalah-masalah social lainnya. Di sisi lainnya, wilayah dengan jumlah penduduk yang relative sedikit akan memunculkan persoalan optimalisasi sumber daya alam terkait dengan kekurangan tenaga kerja padahal daerah tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Memperhatikan
berbagai
parameter
kependudukan
khususnya
ketenagakerjaan maka dibutuhkan kesiapan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan tiap-tiap Kabupaten/Kota berkaitan dengan perluasan kesempatan kerja pengembangan sector ekonomi dan peningkatan kualitas SDM (pendidikan dan keterampilan). Pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang dapat menganggu kesejahteraan penduduk. Penyediaan pangan yang tidak mencukupi dapat menimbulkan terjadinya kelaparan dan dapat meningkatkan jumlah kematian penduduk. Selain itu, ketersediaan pemukiman yang tidak mencukupi dapat mengakibatkan munculnya pemukimanpemukiman liar, kumuh dan tidak layak akibat sempitnya lahan untuk pemukiman
36
sering dengan meningkatkan jumlah penduduk. Masalah lain yang dapat muncul diantaranya terjadinya gangguan keamanan akibat marak aksi tindakan kriminalitas, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat sarana kesehatan yang kurang memadai, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia terkait degan sarana pendidikan yang terbatas. 3.2 Saran Rencana aksi yang perlu dilakukan pemerintah provinsi dan Kabupaten Kalimantan Barat dalam menyongsong bonus demografi adalah menyusun Grand Design
Ketenagakerjaan,
dengan
melakukan
melakukan
pemetaan
potensi
kesempatan kerja di tiap – tiap Kabupaten/Kota untuk menjaga ketersediaan lapangan kerja. Selanjutnya adalah perlunya dukungan kebijakaan untuk mendorong investasi padat karya dan memfasilitasi pelatihan – pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja, dengan tetap memfokuskan perhatian pada perbaikan kualitas hidup masyarakat mulai dari pendidikan, kesehatan dan penguasaan tekhnologi.
37
DAFTAR PUSTAKA Adioetomo, Sri Moertiningsih, 2005. “Bonus Demografi Menjelaskan Hubungan antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi” pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jakarta : FE – UI Pentaloka BKKBN, Jakarta : 27 April 2011. Kementrian Koordinator Bidang Kesra, 2011. Grand Design Pembangunan Kependudukan tahun 2011 – 2035 Minister of Finance – Republic of Indonesia, 2011. Indonesia Intergovernmental Transfer – Response on Futurre Demographic and Urbanization Shifts, DecentralizationSupport Facility, Minister of Financial Indonesia. UNF/IPEA, 2007. The Demografhic Bonus and Population in Active Age, Research Paper 7, Brassilia dll. Setiani, Tri. 2011. “Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kalimantan Barat”. BPS Wirosuhajo, Kartomo. 2015. “Ilmu Kependudukan”. Jakarta : Grasindo
38
Lampiran – lampiran
39