Analisis Pidato Presiden Tentang Polemik Di Kpk

  • Uploaded by: Zulfajri
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisis Pidato Presiden Tentang Polemik Di Kpk as PDF for free.

More details

  • Words: 1,061
  • Pages: 3
OLEH: ZULFAJRI/01072/08 ADM.PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG PADANG - Seperti yang sudah kita ketahui bersama selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Presiden SBY telah memberikan reaksi atas desakan berbagai pihak sehubungan dengan polemik KPK vs Polri. Presiden memberikan pernyataan tidak akan dan tidak boleh mencampuri atau mengintervensi proses penanganan perkara. Baik oleh Polri maupun Kejaksaan. Pernyataan ini kemudian dipertegas kembali oleh Menkopolkam dalam sebuah konferensi pers. Namun, tak lama kemudian --juga atas desakan berbagai pihak termasuk atas saran dari Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Deny Indrayana, Presiden melalui sebuah Keppres akhirnya membentuk sebuah Tim Pencari Fakta. Tim ini kemudian lebih dikenal sebagai Tim 8 yang bertugas mencari fakta sehubungan dengan polemik KPK vs Polri dalam kaitannya dengan proses penyidikan terhadap Wakil Ketua KPK non aktif Bibbit S Riyanto dan Chandra Hamzah. Oleh Presiden Tim 8 tersebut diberi waktu untuk bekerja selama dua minggu. Mereka telah melakukan berbagai tindakan dalam waktu dua minggu serta telah secara resmi menyampaikan laporan hasil kerjanya kepada Presiden pada hari Selasa, 17 November 2009. Yang sangat dinanti oleh publik sekarang adalah bagaimana sikap Presiden SBY yang rencananya akan disampaikan secara resmi pada hari Senin tanggal 23 November 2009. Apakah Presiden akan merespon rekomendasi Tim 8 atau tidak. Saya mencoba memberikan pendapat berdasarkan Konstitusi tertinggi RI yaitu UUD 1945 yang sudah diajarkan di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yang menjadi sorotan utama saya dalam rekomendasi Tim 8 tersebut adalah rekomendasi supaya Presiden melakukan tindakan: - Memerintahkan supaya penyidikan dan atau penuntutan kasus Bibit dan Chandra supaya dihentikan (SP3). - Menindak atau memberikan sanksi kepada para pejabat yang terlibat atau disebut dalam rekaman hasil sadapan KPK yang diputar di Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya perkenankan saya memberikan analisis dan pendapat sebagai berikut: 1. Tentang Penghentian Penyidikan atau Penuntutan Kasus Bibit dan Chandra. Berdasarkan Konstitusi dan hal ini secara tegas telah dinyatakan sendiri oleh Presiden SBY. Bahwa Presiden tidak boleh mencampuri atau mengintervensi penyelidikan atau penyidikan yang sedang dilakukan oleh Polri atau Kejaksaan, tidak boleh meminta seseorang ditahan atau meminta penagguhan penahanan, serta tidak boleh memerintahkan penghentian penyidikan atas suatu perkara. Ini sudah menjadi amanat UUD 1945 sumber hukum tertulis tertinggi RI.

Apabila nantinya Presiden SBY merespon rekomendasi Tim 8 dengan memerintahkan Polri menghentikan penyidikan kasus Bibit dan Chandra atau memerintahkan Kejaksaan menghentikan penuntutan kasus tersebut berarti Presiden telah melanggar konstitusi --bila dilihat dari kaca mata Hukum Acara Pidana penghentian penyidikan atau penuntutan suatu perkara harus dilakukan tanpa tekanan dari pihak lain dan harus benar-benar yakin bahwa suatu perkara itu tidak cukup bukti sehingga harus dihentikan penyidikan atau penuntutannya dan dalam praktek penghentian penyidikan atau penuntutan itu tidak memberikan kepastian atau jaminan hukum dalam arti perkara tersebut telah selesai. Mengingat apabila ternyata setelah suatu perkara dihentikan penyidikan atau penuntutannya dapat dibuka kembali perkaranya dan dilanjutkan kembali penyidikan atau penuntutannya apabila di kemudian hari ditemukan bukti-bukti baru. Di lain pihak penghentian penyidikan atau penuntutan tersebut juga bisa menimbulkan masalah baru. Ketika pihak pelapor merasa tidak puas, tidak menerima penghentian penyidikan atau penuntutan tersebut, serta kemudian mengajukan gugatan pra peradilan berdasarkan pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP, dan tiada kekuasaan apa pun yang bisa melarang pengajuan pra peradilan tersebut. Apakah kemungkinan akan ada bukti baru yang bisa membuka kembali penyidikan kasus Bibit dan Chandra bila akhirnya kasus ini di SP3? Jawabannya adalah: ada. Harus diingat bahwa meskipun Tim 8 menganggap kasus ini terputus di Ary Muladi, namun terputus atau tidaknya kasus ini di Ary Muladi bisa terungkap di persidangan Ary Muladi atas tindak pidana penggelapan sebagaimana dilaporkan oleh Anggodo. Kasus ini sudah sangat cukup bukti untuk bisa diteruskan ke Pengadilan. Dalam sidang Pengadilan nanti bisa terungkap fakta-fakta hukum yang sebelumnya tidak atau belum terungkap dalam penyidikan. Seperti misalnya apakah benar ada tokoh bernama Yulianto. Ataukah hanya tokoh fiktif. Atau memang benar-benar ada tapi sengaja disembunyikan. Bisa muncul indikasi bahwa Bibit dan Chandra memang terlibat atau bahkan bisa muncul tersangka baru dalam kasus ini. 2. Pemberian Sanksi Kepada Pejabat yang Ada dalam Rekaman Hasil Sadapan KPK Tanpa membahas apakah penyadapan yang dilakukan oleh KPK itu legal atau ilegal sejauh ini upaya pro yustisia yang pernah dilakukan terhadap rekaman hasil penyadapan KPK tersebut baru sebatas diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi. Belum proses penyidikan pidana dan peradilan pidana yang memeriksa para pejabat tersebut dan tentunya belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan mereka bersalah. Misalnya dinyatakan secara sah terbukti menurut hukum telah melakukan tindakan rekayasa atas pemidanaan (bukan kriminalisasi) Bibit dan Chandra. Polri sudah secara resmi mengajukan permohonan untuk menyita rekaman tersebut guna kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Marilah kita pantau dan kita kawal supaya penyidikan dilakukan dengan benar dan

segera dilimpahkan ke Pengadilan supaya terungkap siapa yang benar dan siapa yang salah. Apabila nantinya Presiden SBY merespon rekomendasi Tim 8 ini dengan memberikan sanksi kepada para pejabat tersebut tanpa suatu proses pemeriksaan internal atau peradilan maka dunia penegakan hukum di Indonesia akan mundur ke era awal terbentuknya rezim Orde Baru yang menyebabkan banyak pejabat yang dijebloskan ke penjara. Bahkan, ada yang dieksekusi mati tanpa peradilan karena dianggap terlibat G 30 S / PKI. Rekomendasi Tim 8 tersebut bagaikan pedang bermata dua. Di satu pihak merekomendasikan supaya melepaskan atau membebaskan orang dari proses hukum tanpa peradilan, dan di lain pihak memberikan tindakan atau sanksi kepada orang tanpa peradilan juga. Jadi lebih baik kita serahkan semuanya berdasarkan hukum sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia. Kalau pun para pejabat Polri dan Kejaksaan yang diduga terlibat "merekayasa" kasus Bibit dan Chandra harus dikenai sanksi. Maka pemberian sanksinya murni berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur atau atas putusan peradilan yang bebas dari intervensi. Bukan karena desakan Tim 8 semata. Mari bersama-sama kita nanti konsistensi Presiden SBY atas kasus Bibit dan Chandra. Saya berharap Presiden akan bertindak tetap dalam batas kekuasaan dan kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi. Kita tunggu apakah rekomendasi Tim 8 bisa menyelesaikan polemik KPK vs Polri atau malah menimbulkan masalah baru. Atau bahkan menjadi "boomerang" bagi Presiden mengingat Tim 8 bukanlah Lembaga Pro-yustisia yang dibentuk berdasarkan Keppres yang levelnya dalam hirarki Konstitusional Perundangundangan berada di bawah UUD 1945 serta undang undang atau perpu yang melindungi, mengatur, serta membatasi tugas dan wewenang lembaga Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif. Dan, jika nantinya rekomendasi Tim 8 ini malah justru menjadi "boomerang" bagi presiden maka yang harus bertanggung jawab paling utama adalah Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Deny Indrayana yang bertugas memberikan saran atau masukan atau pendapat yang benar kepada presiden atas masalah-masalah hukum sesuai.

Related Documents


More Documents from "fairuz satwiko"