03.06.2005 saat ini proses perencanaan anggaran publik (apbd) untuk 2005 di daerah-daerah sudah ditetapkan menjadi perda. tapi, di sebagian lain ada juga yang masih diproses di dprd. inilah momentum bagi publik untuk menelusuri seberapa jauh apbd sudah berpihak kepada kepentingan masyarakat. berikut analisis tim jawa pos institute of pro-otonomi (jpip). kamis, 20 jan 2005 anggaran publik (apbd); sudahkah berpihak kepada rakyat? tidak khianat dengan tiga dimensi saat ini proses perencanaan anggaran publik (apbd) untuk 2005 di daerah-daerah sudah ditetapkan menjadi perda. tapi, di sebagian lain ada juga yang masih diproses di dprd. inilah momentum bagi publik untuk menelusuri seberapa jauh apbd sudah berpihak kepada kepentingan masyarakat. berikut analisis tim jawa pos institute of pro-otonomi (jpip). otonomi derah secara formal dikonsepkan berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. daerah punya kewenangan dan keleluasaan membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. artinya, otonomi daerah bukan sekadar otonomi pemerintah daerah, tetapi lebih dari itu, juga otonomi bagi masyarakat daerah. otonomi daerah sendiri secara konseptual bertujuan menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih efisien dan transparan. daerah memiliki keleluasaan untuk menjalankan sebuah kewenangan sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan daerah. dalam menerjemahkan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan daerah, tentu saja pemerintah daerah tidak bisa berjalan sendiri. ada keharusan keterlibatan masyarakat. sebagai pihak yang terkena dampak sebuah kebijakan, masyarakat selayaknya ikut menentukan apa yang menjadi kebutuhannya. di sinilah esensi kontrol masyarakat sebagai kunci transparansi penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan urgensinya. dengan transparansi, kebocoran maupun penyimpangan sebuah implementasi kebijakan bisa ditekan, yang dampaknya pada efisiensi dan efektivitas program atau kebijakan itu sendiri. otonomi daerah membuka kunci partisipasi untuk menjadikan program pembangunan yang hendak dilakukan lebih realistis, tepat sasaran, dan sesuai kebutuhan publik. artinya, peluang terjadinya ketidaktepatan, bahkan kesia-siaan, pemborosan, sampai kebocoran, bisa diperkecil sekecil-kecilnya. kiranya apbd merupakan contoh konkret penampakan wajah implementasi otonomi daerah. di dalamnya kita akan menemukan wujud sebenarnya komitmen dprd dan pemerintah daerah dalam memperjuangkan nasib rakyatnya. pembuatan apbd sendiri secara substantif tidak bisa lepas dari kaidah akuntansi sektor publik yang bertumpu pada prinsip akuntabilitas publik (public accountability). bila kita sarikan dari berbagai sumber, secara sederhana kaidah penyusunan apbd tersebut harus memenuhi berbagai dimensi kaidah. yang bila ditinggalkaan, berarti penyusun apbd sesungguhnya telah mengkhianati rakyat. kaidah itu meliputi setidaknya dimensi efektivitas dan efisiensi finansial, dimensi demokrasi (politik), dan dimensi prosedural legal formal. sudahkah apbd kita memenuhi prinsip ini? mari kita bedah dengan pisau berikut. pertama, dalam dimensi efektivitas dan efisiensi finansial, kita diajak melihat bahwa segala pendanaan yang dianggarkan dalam apbd harus wajar secara nominal dan
bisa maksimal dari sisi pemanfaatan (nilai kegunaan). dengan demikian, kita bisa ikut memastikan dana yang dianggarkan apbd adalah alokasi yang tepat, murah (efisien & efektif), terhindar dari manipulasi yang pada ujungnya menyengsarakan masyarakat. contoh sederhana masyarakat bisa ikut menilai kewajaran anggaran pengadaan sejumlah komputer dengan harga pasaran yang kita ketahui. contoh lain anggaran pembelian helikopter pemda aceh atau pembelian kapal landing craft truck di banyuwangi bisa dinilai aspek finansial pengadaannya. ketidakwajaran nilai gaji anggota dprd bisa pula jadi contoh pengkhianatan kaidah ini. sekadar mengingatkan, anggota dprd jawa timur tahun lalu tidak malu-malu menuntut kenaikan gaji dalam rapbd 2004 menjadi rp 43,6 juta per bulan, tunjangan, dan fasilitas lain. nilai ini setara dengan gaji presiden. tak salah bila orang menyebut apbd akronim dari "ajang penggarongan belanja daerah" atau "ajang penggarukan belanja oleh dewan". kejahatan ini tentu tidak sekadar dilakukan legislatif, tetapi juga eksekutif. kedua, dalam dimensi demokrasi (politik), kita anggaran dalam apbd jelas legitimasinya. dalam dengan proses yang demokratis berdasarkan atas seringnya muncul keluhan masyarakat atas hasil dilakukan di tingkat masyarakat ternyata tidak cermin dalam kasus ini.
dapat melihat apakah pengalokasian hal ini, anggaran yang ada dibuat mandat dan aspirasi masyarakat. musyawarah pembangunan yang terakomodasi dalam apbd menjadi
janji-janji pejabat politik maupun politisi parlemen bisa dilihat komitmennya dalam kebijakan penganggaran apbd ini. dalam kaitan ini, kita bisa mengkritisi contoh kasus maraknya dprd baik provinsi maupun kabupaten/kota ramai-ramai menganggarkan kenaikan gaji yang berlipat di tengah krisis ekonomi rakyat yang belum teratasi. hilangnya sense of crisis anggota dprd menunjukkan kurangnya mereka atas apa yang dialami rakyat. hal ini menunjukan pula buruk yang pernah dialami dprd kita tahun-tahunj belakangan. ingin apbd 2005 ke depan ini di banyak daerah tidak dicacati
kepekaan sosial etika politik yang tentunya kita tidak kasus semacam itu.
apbd menyangkut kebutuhan masyarakat, karenanya masyarakat harus terlibat dalam penyusunannya. apbd bukan urusan yang boleh dimonopoli pemerintah, sebagai sebuah persoalan yang sangat eksklusif tanpa ruang keterlibatan bagi masyarakat. justru anggaran menjadi simbol komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk memakmurkan kehidupan masyarakat. anggaran harus mulai disadari sebagai dokumen penting yang menjelaskan, bahkan menentukan hajat hidup orang banyak, paling tidak untuk jangka waktu setahun ke depan. kebijakan anggaran (politik anggaran) merupakan pemerintah dan parlemen kepada warganya. dengan anggaran merupakan instrumen pemenuhan tanggung sebagai konsekuensi logis kontrak sosial rakyat
ekspresi konkret komitmen demikian, secara fungsional jawab negara (obligation of state) dan negara.
ketiga, dalam dimensi prosedural legal formal, penganggaran apbd harus memiliki keabsahan secara formal berdasarkan hukum atau aturan yang berlaku. hal ini untuk mengantisipasi bila terjadi sesuatu, ada rujukan aturan yang jelas. kasus pemunculan gaji ke-14 di dprd blora. misalnya, apakah hal tersebut memenuhi aspek legal formal? padahal, kita tahu hanya ada rujukan aturan tentang gaji ke-13, itu pun buat pns. jadi, tidak ada gaji ke-14. satu tahun anggaran adalah 12 bulan atau 12 kali. tak salah bila dalam pemberitaan jawa pos beberapa hari ini, fitra (forum indonesia untuk transparansi anggaran) maupun icw ikut mengkritisi kasus ini. (dadan/jpip)