Anak Burung Bangau Dan Seekor Ketam.docx

  • Uploaded by: sutini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Anak Burung Bangau Dan Seekor Ketam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 947
  • Pages: 3
Anak Burung Bangau Dan Seekor Ketam Pengarang: Anonim Kategori: Fabel Alkisah, pada zaman dahulu terdapat sebuah danau indah berair jernih dan ditumbuhi pohonpohon teratai yang senantiasa berbunga sepanjang masa. Di sekeliling danau itu pun tidak kalah indahnya karena ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang yang berjejer rapi. Suasana seperti ini tentu saja menarik perhatikan makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Salah satu diantaranya adalah burung bangau yang selalu selalu datang ke tepian danau untuk menangkap ikan-ikan kecil, ketam atau katak. Seiring dengan berlalunya waktu, usia Sang Burung pun semakin tua dan fisiknya semakin melemah. Dia tidak segesit dulu lagi dalam menangkap buruannya, baik ikan, ketam ataupun katak. Bahkan, sering ia tidak memperoleh satu pun hasil buruan, sehingga seharian tidak makan. “Kalau begini terus, aku bisa mati kelaparan. Aku harus mencari cara agar memperoleh makanan dengan mudah,” pikir Sang Burung Bangau. Setelah berpikir agak lama akhirnya ia menemukan suatu ide dengan berpura-pura termenung di tepi danau seakan tidak bergairah untuk mencari mangsa. Tujuannya adalah agar para penghuni danau menjadi bingung dan menghampiri untuk menanyakan keadaannya. Ternyata siasat Sang Bangau berhasil. Tidak berapa lama dia duduk termenung, dari arah kejauhan datanglah seekor katak. Setelah agak dekat Si Katak berkata, “Hai Bangau, mengapa engkau hanya duduk termenung dan terlihat murung?” Dengan cerdik Sang Bangau menjawab, “Aku sedang memikirkan nasib kita yang menghuni danau ini.” “Ada apa dengan nasib kita? Setahuku, dari dulu hingga sekarang para penghuni di danau ini baik-baik saja,” kata Si Katak. “Engkau yang hanya tinggal di air tentu saja tidak tahu. Aku yang selalu terbang ke manamana sering sekali mendengar manusia sedang berbincang tentang bencana kekeringan yang akan menimpa kawasan ini dalam beberapa bulan mendatang. Tanda-tandanya dapat engkau lihat sendiri kan? Akhir-akhir ini hari semakin panas dan hujan pun sudah lama tidak turun. Aku khawatir danau ini akhirnya mengering dan semua penghuni di dalamnya akan mati,” kata Sang Bangau panjang lebar. Mendengar penjelasan Sang Bangau tadi Si Katak hanya mengangguk-anggukan kepalanya sebagai tanda persetujuan. Dan setelah berpamitan, tanpa membuang waktu lagi Si Katak langsung melompat ke dalam danau untuk memberitahukan kepada teman-temannya. Singkat cerita, berita ancaman kekeringan karangan Sang Bangau tersebar cepat sekali ke seluruh penjuru danau. Sebagian besar penghuninya menjadi resah dan gelisah. Mereka lalu mendatangi Sang Bangau untuk meminta penjelasan akan kebenaran berita tersebut.

Setelah berhadapan langsung dengan Sang Bangau, salah satu diantara mereka, Ikan Haruan, memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah betul apa yang engkau katakan pada Si Katak mengenai bencana kekeringan yang akan melanda danau ini, hai Sang Bangau?” “Yang aku dengar dari pembicaraan para manusia memang begitu adanya,” jawab Sang Bangau. “Apakah engkau dapat membantu kami mengatasi masalah ini?” tanya yang lain. “Sebenarnya ada satu cara untuk mengatasinya, tetapi aku khawatir kalian semua tidak akan setuju,” jawab Sang Bangau bersiasat. “Cara apakah itu?” tanya Ikan Haruan dengan tidak sabar. “Tidak jauh dari sini ada sebuah danau lagi yang sangat besar. Danau itu adalah tempat bermuaranya beberapa sungai besar sehingga akan selalu ada airnya walau berbulan-bulan tidak turun hujan. Apabila kalian dapat berpindah ke danau itu, niscaya masalah kekeringan tidak akan lagi terlintas dalam pikiran,” kata Sang Bangau berbohong. “Lalu, bagaimana caranya agar kami semua dapat pindah ke danau itu?” tanya beberapa ikan yang lain. “Tidak ada jalan yang menghubungkan danau ini dengan danau yang aku ceritakan tadi. Satusatunya cara hanyalah dengan membawa kalian terbang bersamaku. Tetapi karena kemampuanku yang terbatas, aku hanya dapat mengangkut kalian satu persatu. Itu pun kalau kalian percaya padaku. Bagaimana?” Sang Bangau balik bertanya. Suasana seketika menjadi hening sejenak. Para ikan, ketam dan katak berada pada suatu dilema yang sulit untuk dipecahkan. Di satu sisi mereka merasa harus segera pindah ke danau lain agar tidak mati ketika danau menjadi kering. Namun di sisi yang lain, untuk dapat pindah tersebut mau tidak mau harus ikut Sang Bangau yang notabene adalah predator yang biasa memakan hewan-hewan sejenis mereka. “Bagaimana?” tanya Sang Bangau sekali lagi. Karena lebih takut mati apabila terjadi kekeringan, tanpa berpikir panjang lagi mereka pun setuju dengan saran Sang Bangau. Satu per satu mereka diangkut menuju danau hasil imajinasi Sang Bangau. Namun saat sampai di sebuah batu besar ikan yang dibawa dihempaskan hingga mati kemudian dimakannya. Selesai memakan satu ikan ia kembali lagi untuk “mengangkut” ikan yang lainnya. Begitu seterusnya hingga tiba giliran si ketam atau kepiting. Tidak seperti ikan yang diangkut oleh Bangau menggunakan paruhnya, ketam lebih memilih menggunakan sapitnya sendiri untuk bergantung pada leher Bangau. Saat mereka terbang mendekati batu besar, Sang Ketam melihat banyak sekali tulang ikan berserakan. Sontak saja dia menjadi cemas dan langsung berprasangka bahwa itu adalah ulang Sang Bangau. Sang Ketam langsung memutar otak agar dapat meloloskan diri dari Sang Bangau. Sambil berpegangan erat pada leher Bangau, Ketam berkata, “Di manakah letak danau itu?”

Bangau pun tergelak dengan terbahak-bahak lalu berkata, “Danau itu hanya khayalanku saja. Yang nyata, sekarang engkau akan menjadi makananku yang paling lezat!” Dengan perasaan geram dan marah Sang Ketam langsung menjepit dengan lebih kuat lagi sehingga Sang Bangau sukar untuk bernapas. Sambil tersengal-sengal dan terbang semakin rendah ia memohon pada Sang Ketam agar mengendurkan jepitannya dan berjanji akan menghantarkannya pulang. Namun Sang Ketam tidak mempedulikannya dan bahkan semakin memperkuat jepitan sapitnya hingga leher Bangau akhirnya putus dan mati saat itu juga. Setelah mati, kepala Sang Bangau diseret oleh Ketam menuju danau untuk diperlihatkan kepada seluruh penghuni danau. Sesampainya di danau, para penghuni yang telah mengantri menunggu giliran diangkut menjadi kaget dan sekaligus marah pada Sang Ketam. Mereka mengira kalau Ketam bermaksud ingin membinasakan mereka semua dengan cara menghabisi sang transporter yang akan mengantarkan ke danau “imipian”. Namun, setelah Sang Ketam menceritakan secara detil seluruh kejadian yang dialaminya bersama Sang Bangau, para penghuni danau menjadi maklum. Mereka bahkan mengucapkan terima kasih kepasa Sang Ketam karena telah diselamatkan dari ancaman maut Sang Bangau.

Related Documents


More Documents from ""