Anak-anak Melukis Tugu Muda Sebuah panitia lomba gambar memacak tema ''Semarang Kota Atlas'' bagi peserta. Hasilnya, hampir semua peserta menggambar Tugu Muda. Fakta ini memicu beberapa penafsiran, tapi paling menonjol adalah tingginya naluri keseragaman. Setidaknya sampai saat ini, bakat untuk menjadi seragam masih menjadi ancaman yang mencemaskan. Pendidikan menuju seragam itu bahkan telah kita mulai begitu dini, lewat anak-anak pula. Itulah kenapa kehidupan sosial kita pernah begitu kesepian. Sepi imajinasi, sepi inisiatif dan sepi eksperimen. Berimajinasi menjadi sesuatu yang tak biasa. Berinisiatif menjadi kegiatan yang langka. Di dalam kehidupan sehari-hari, akibat dari itu semua sungguh terasa. Sebagai penonton film, kita pernah sangat rendah diri jika harus nonton film Indonesia. ''Aktingnya wagu, ceritanya mudah diduga,'' begitu komentar yang biasa. Komentar ini telah dibikin umum, karena kelemahan film kita bukan cuma akting dan cerita. Tapi bagaimana mungkin menuntut yang lain sedang soal cerita saja belum rampung. Tapi bagaimana soal cerita hendak dibereskan sedang pelajaran berimajinasi tak pernah diberikan. Maka jika harus bercerita kita hanya bisa menghafal konvensi yang sudah ada tapi gagal bereksplorasi. Jika musim ''Ratapan Anak Iri'' tiba, seluruh cerita di Indonesia akan penuh ratapan dan air mata. Jika cerita hantu tengah digemari, hantu-hantu akan langsung bergentayangan di seluruh negeri. Seniman lalu tak beda dengan petani tadah hujan yang bekerja atas dasar perintah musim. Di luar musim yang ada, ia tak berani lagi bekerja karena tak biasa menyemai musim yang lain. Maka jika harus berakting, akting itu harus serba ngotot dan tegang. Kita belum merasa menangis jika belum berteriak dan memelototkan mata segede bola, belum merasa kejam jika belum berbuat sadistis. Lalu pernahlah kita memiliki tradisi cerita sedih yang fantastis. Sudah menjadi anak tiri, cacat pula. Sudah cacat, sial pula. Ia masih harus dijahili teman sebaya, tertabrak bus, kejatuhan tangga, dituduh maling, diuber-uber.... Pendek kata, kita belum merasa bahwa si anak itu menderita jika belum kita siapkan penderitaan yang spektakuler, jika langit belum runtuh menimpa kepalanya. Apapun profesi yang kita pilih selalu muncul rangsangan untuk menjadi peniru. Jika seorang musisi menemukan campur sari, penemuan itu langsung menjadi milik bersama, dinikmati sebagai pesta. Kredo profesi kita karenanya ialah: biarlah orang lain menemukan, tapi kitalah pemakainya. Biarlah orang lain yang bekerja, tapi kita jua penikmatnya. Jadi wajar jika para penemu, pioner dan kaum peneliti menjadi mahkluk paranoid. Belum pula ia hendak menggubah lagu, telah keburu terbayang wajah pembajak kasetnya. Belum pula ia hendak menemukan sesuatu, telah keburu tegang oleh hebatnya pelanggaran hak cipta. Jadilah mereka orang yang tidak cuma menjadi peragu, tapi juga penakut dan akhirnya malah tak siap berbuat apa-apa. Dalam cuaca yang menakutkan semacam itu, rasa aman adalah kebutuhan utama. Dan rasa aman itu diperolrh justru setelah seseorang menjadi pembajak, penjiplak, pengikut dan tampil seragam. Maka anak-anak yang diminta melukis Kota Semarang pun harus membayangkan Tugu Muda, membayangkan Monas jika harus melukis Jakarta. Tentu bayangan itu tidak keliru. Tapi bahwa mereka melakukan bayangan yang sama adalah sebuah persoalan. Tentu anak-anak itu juga bukan pihak yang keliru karena bisa apa mereka tanpa para pembisik, pendesain dan penggemar keseragaman yaitu: kita! (03) (PrieGS/)